NIKAH SIRRI BERLATAR BUDAYA
NIKAH
SIRRI BERLATAR BUDAYA DI KABUPATEN BANJAR KALIMANTAN SELATAN
Oleh: Nur
Moklis
ABSTRAK
Masyarakat muslim di Desa Simpang Warga dan Desa Podok Kecamatan
Aluh-Aluh, Desa Sungai Lurus Kecamatan Sambung Makmur dan Desa Lok Baintan Dalam
Kecamatan Sei/ Sungai Tabuk Kabupaten Banjar Provinsi Kalimantan Selatan, sangat banyak yang melakukan praktek nikah sirri padahal
sangat merugikan masyarakat dalam aspek perlindungan hukum, sementara di sisi
lain tujuan datangnya agama Islam untuk menjadi rahmat seluruh alam, dalam
artikel ini berusaha menjawab beberapa permasalahan tentang latar belakang dan
faktor penyebab terjadinya praktek nikah sirri, mengungkap fakta nikah sirri yang
berlangsung secara turun temurun, dan pandangan masyarakat setempat mengenai
praktek nikah sirri tersebut, serta upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalisir
praktek nikah sirri tersebut.
Artikel ini menggunakan pendekatan
yuridis sosiologis/ empiris, yaitu dengan melakukan penelitian terhadap
identifikasi hukum dan terhadap efektifitas hukum, atau secara non doktrinal
(sosial legal research). Tujuan yang ingin didapat adalah untuk mengetahui faktor
penyebab terjadinya nikah sirri,
menemukan hal-hal yang membuat eksistensi nikah sirri berkelanjutan dan
cara-cara memecahkan permasalahan tersebut. Artikel ini menjadi sangat penting
jika digunakan untuk salah satu referensi guna tujuan memberikan pemerataan
perlindungan di bidang hukum keluarga bagi masyarakat setempat.
Akibat telah mengakarnya budaya dan pandangan yang
membenarkan adanya praktek nikah sirri maka diperlukan kerja keras pemerintah
baik pusat dan daerah serta tokoh-tokoh masyarakat, tokoh-tokoh agama setempat
untuk merubah budaya dan pandangan tersebut. Penanganan nikah sirri hendaknya
melalui pendekatan yang disesuaikan dengan kondisi dan situasi daerah setempat,
tidak lagi bisa disamaratakan untuk semua daerah yang terjadi praktek nikah
sirri.
1.
Pendahuluan
Berbicara tentang nikah sirri, maka sebagian masyarakat akan
memahami sebagai pernikahan yang dirahasiakan oleh dua orang mempelai, wali
nikahnya dan para saksi sehingga masyarakat luas tidak mengetahui telah terjadi
peristiwa pernikahan tersebut, namun mayoritas masyarakat Indonesia memahami
nikah sirri sebagai peristiwa pernikahan yang dilaksanakan menurut ajaran agama
yang dianut dua calon mempelai namun tidak dicatatkan pada lembaga yang
berwenang, bagi seorang muslim adalah Kantor Urusan Agama (KUA) atau bagi yang
non-muslim pada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Nikah sirri jenis pertama
jelas dilarang oleh ajaran agama Islam karena bertentangan dengan Hadits Nabi
SAW yang memerintahkan adanya walimah (perayaan pernikahan). Beliau bersabda: “Adakanlah
pesta perkawinan, sekalipun hanya dengan hidangan kambing”.(HR. Muslim: 2557).
Dengan adanya walimah tentunya akan terhindar dari fitnah dan resiko lain yang
tidak diinginkan baik untuk mempelai dan keluarganya. Adapun jenis nikah sirri
yang kedua biasa disebut nikah “bawah tangan” karena pernikahan ini telah
memenuhi syarat dan rukun pernikahan menurut ajaran agama namun tidak
dicatatkan pada lembaga yang berwenang.
Dalam artikel
ini Penulis akan mendeskripsikan dan
mengkaji praktek nikah sirri jenis kedua di atas, khususnya pada masyarakat
di Desa Simpang Warga dan Desa Podok Kecamatan Aluh-Aluh, Desa Sungai Lurus Kecamatan Sambung Makmur dan
Desa Lok Baintan Dalam Kecamatan Sei/ Sungai Tabuk Kabupaten Banjar di wilayah Provinsi Kalimantan Selatan. Masyarakat di wilayah ini
mayoritas beragama Islam yang mendukung Nahdhatul Ulama, namun di sisi lain
adalah sangat toleran terhadap prilaku nikah sirri, dengan kata lain adalah sebuah
kebudayaan yang telah dan masih berkembang tentang sikap perilaku “membudayakan”
nikah sirri. Kebuadayaan tidaklah statis namun mengalami perubahan dan dinamika
perkembangan, sehingga secara kasatmata dapat dikatakan nikah sirri di Desa
Simpang Warga dan Desa Podok Kecamatan Aluh-Aluh, Desa Sungai Lurus Kecamatan Sambung Makmur dan
Desa Lok Baintan Kecamatan Sei/ Sungai Tabuk
Kabupaten Banjar adalah bagian dari budaya setempat. Unsur “tradisi” dari
konsep kebudayaan dalam kasus ini berkaitan
dengan praktek nikah sirri yang dilaksanakan secara turun temurun
dalam banyak keluarga asli di wilayah
tersebut.
Agama Islam hadir untuk menjadi rahmat seluruh alam. Jika
pernyataan ini dipahami sebagai dokma, maka tidak akan menimbulkan perdebatan
maupun keberatan dari berbagai komponen masyarakat Islam, karena tentang hal
tersebut Allah SWT telah berfirman dalam surat al-Anbiya’ ayat 107, namun jika
terma tersebut didudukkan sebagai fenomena empiris, maka banyak pertanyaan yang
perlu penjelasan lebih lanjut. Dalam sejarah keberhasilan Islam dalam membangun
peradaban dunia, dan sekaligus memeratakan rahmat dan kesejahteraan manusia
dapat diakui, namun dalam sejarah pula dapat ditemui kegagalan untuk
mensejahterakan umat manusia.[1] Di
Indonesia sekarang, masyarakat berpenduduk mayoritas beragama Islam,
keberhasilan faktual dalam implementasi
dokma rahmatan lilalamin belum dapat dikatakan berhasil, indikasi
faktual dapat di lihat masih maraknya praktek korupsi, kolusi, nepotisme, melemahnya
supremasi hukum, konflik antar masyarakat, konflik antar umat beragama dan
konflik antar pemeluk Islam sendiri, praktek prostitusi, premanisme, meluasnya
praktek nikah sirri, serta gejala serupa yang lain menjadi sampel jelas bagi
para pengamat sosial.
Kesenjangan antara idea dengan fakta, antara ajaran dengan
pelaksanaan mengharuskan adanya kajian lebih lanjut tentang Islam itu sendiri.
Pada dasarnya ilmu tentang Islam sudah sangat berkembang semenjak zaman sahabat
dan tabi’in. menurut H. Muslim A. Kadir, studi untuk menjelaskan ajaran Islam
dan studi tentang Islam sebaiknya dibedakan. Studi jenis pertama bermaksud
mengurai, menerangkan, menjabarkan dan mungkin pula menjelaskan kata atau
preposisi yang tidak jelas, jadi unsur pokok studi ini Islam sebagai “subjek”
yang di persilahkan untuk mengurai dirinya. Studi kedua, Islam didudukan
sebagai “objek” kajian dan analisa. Sebagai objek Islam dapat didudukkan
menjadi sasaran kegiatan Islam yang dilakukan oleh orang atau pihak yang
berkepentingan. Lebih lanjut studi tentang Islam didudukkan sebagai objek,
tidak saja dipahami sebagai wahyu Tuhan semata, namun juga dalam berbagai
bentuk pelaksanaannya dalam kehidupan masyarakat.[2]
Pada artikel ini, Penulis akan melakukan studi tentang Islam dengan
mendudukkannya sebagai “objek”, sehingga Penulis akan fokus mengkaji, meneliti, mengobservasi
dan menganalisa pola keberagamaan (tadayyun) masyarakat di Desa Simpang
Warga dan Desa Podok Kecamatan
Aluh-Aluh, Desa Sungai Lurus Kecamatan Sambung Makmur dan Desa Lok Baintan
Kecamatan Sei/ Sungai Tabuk Kabupaten Banjar
dalam dataran empiris, khususnya dalam praktek nikah sirri.
Oleh karenanya berkaitan dengan prakek nikah sirri
yang ada di Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan, maka pertanyaannya adalah apa
yang melatar belakangi dan faktor penyebab terjadinya praktek nikah sirri?
mengapa nikah sirri berlangsung secara turun temurun? dan bagaimana pandangan
masyarakat setempat mengenai praktek nikah sirri tersebut? serta upaya apa saja
yang dapat dilakukan untuk meminimalisir praktek nikah sirri tersebut?
2.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan
yuridis sosiologis/ empiris, yaitu dengan melakukan penelitian terhadap
identifikasi hukum dan terhadap efektifitas hukum, atau secara non doktrinal (sosial
legal research) yaitu penelitian dengan studi-studi empiris untuk menemukan
teori-teori mengenai proses terjadinya dan mengenai proses bekerjanya
hukum dimasyarakat. Spesifikasi
penelitian ini adalah deskriftif analitis yaitu dengan cara menggambarkan
masalah hukum, sistem hukum kemudian mengkaji dan menganalisanya sehingga lebih
mudah untuk difahami dan disimpulkan. Adapun tujuan penelitian deskriptif
adalah menggambarkan situasi atau kejadian secara sitematik, faktual dan akurat
terhadap objek penelitian.
Jenis data yang disajikan dalam Penulis an artiker ini meliputi
data primer dan data skunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung
dari subjek penelitian dengan mengenakan alat pengukuran atau pengambilan data
langsung pada subjek sebagai sumber informasi yang dicari, yaitu data yang
berasal dari sumber data utama, yang berwujud tindakan sosial, kata-kata dari
pihak yang terlibat dengan dan atau para pelaku yaitu masyarakat yang melakukan
pernikahan secara sirri, masyarakat yang berdekatan dengan tempat tinggal
pelaku nikah sirri, keluarga pelaku nikah sirri dan tokoh masyarakat setempat.
Data primer ini akan diperoleh melalui wawancara secara bebas terpimpin. Responden dalam penelitian ini ditentukan
langsung oleh peneliti sesuai dengan keterlibatan pihak-pihak dalam praktek nikah sirri, seperti para pelaku nikah sirri,
para keluarga pelaku nikah sirri, tokoh agama, tokoh pemuda dan tokoh
masyarakat setempat yang menjadi objek penelitian.
Data sekunder diperoleh melalui studi
pustaka yang berasal dari perundang-undangan di Indonesia maupun Al Qur’an, Hadist, serta metode-metode ijtihad lainnya dalam
hukum Islam antara lain seperti Ijma, Qiyas, Maslahah Mursalah, Syad Dzariah. Untuk mengumpulan data dalam Penulis an penelitian
ini menggunakan studi kepustakaan (library research), wawancara (interview),
yaitu proses tanya jawab dalam penelitian yang berlangsung secara lisan dalam
mana dua orang atau lebih bertatap muka mendengar secara langsung
informasi-informasi atau keterangan-keterangan, dan observasi yaitu alat
mengumpulkan data yang dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat secara
sitematik gejala-gejala yang dihadapi.
3.
Hasil dan Pembahasan
Letak geografis Desa Simpang Warga dan Desa
Podok Kecamatan Aluh-Aluh, Desa Sungai Lurus Kecamatan Sambung Makmur dan
Desa Lok Baintan Dalam Kecamatan Sei/ Sungai Tabuk Kabupaten
Banjar Provinsi Kalimantan Selatan
sangat jauh dari pusat kota. Dari keempat desa yang menjadi objek penelitian
tersebut Penulis mengambil sampel 65
keluarga yang telah melakukan nikah sirri, sedikit gambaran tentang lokasi
empat objek penelitian, Penulis uraikan
seperti di bawah ini.
Kecamatan
Aluh-Aluh di Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan memiliki 19 Desa yang terdiri dari Desa Aluh Aluh
Kecil, Desa Aluh Aluh Kecil Muara, Desa
Aluh-Aluh Besar, Desa Bakambat, Desa Balimau, Desa Bunipah, Desa Handil Baru,
Desa Handil Bujur, Desa Kuin Besar, Desa Kuin Kecil, Desa Labat Muara, Desa
Pemurus, Desa Podok, Desa Pulantan, Desa Sei/Sungai Musang, Desa Simpang Warga,
Desa Simpang Warga Dalam, Desa Tanipah, Desa Terapu. Dari 19 Desa diwilayah
Kecamatan Aluh-Aluh tersebut Penulis mengambil
sampel 13 keluarga penduduk Desa Simpang Warga dan 12 keluarga penduduk Desa
Podok yang telah melakukan nikah sirri. Dilihat letak geografisnya Kecamatan
Aluh-Aluh di sebelah utara berbatasan dengan Kota Banjarmasin, sebelah timur
berbatasan dengan Kecamatan Kertak Hanyar, Gambut dan Kecamatan Beruntung Baru,
sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Tanah Laut, sebelah barat
berbatasan dengan Kabupaten Barito Kuala. Adapun Jarak Desa Podok ke kantor
kecamatan sekitar 4,00 Km, dan jarak Desa Simpang warga ke kantor kecamatan
sekitar 1,00 Km.[3]
Bukan perkara mudah untuk sampai kedua desa tersebut, karena harus melewati
jalan pedesaan disepanjang bantaran sungai yang siap meluap di saat musim
penghujan atau disaat air laut pasang yang kemudian dilanjutkan dengan naik
sampan (perahu kecil) menyusuri sungai guna mencapai kedua desa tersebut.
Wilayah
Kecamatan Sambung Makmur terbagi menjadi 7 desa yakni Desa Madurejo, Batu
Taman, Gunung Batu, Baliagin, Batang Banyu, Sungai Lurus, Pasar Baru. Tujuh Desa
tersebut memiliki 26 rukun tetangga (RT). Desa Madurejo
terdapat 3 RT. Desa Batu Tamam terdapat 3 RT. Gunung Baru Terdapat 4 RT.
Baliagin terdapat 6 RT. Batang Banyu terdapat 4 RT. Sungai Lurus terdapat 3 RT.
Pasar Baru 3 RT.[4]
dengan luas wilayah 57.830 Ha. Kecamatan Sambung Makmur memiliki Jumlah kepala
keluarga (KK) 766, jenis kelamin Laki-Laki 5100 dan jenis kelamin perempuan
6599. Jadi seluruh Jumlah penduduk 11699. Dari 7 Desa tersebut Penulis mengambil sampel 15 keluarga penduduk Desa Sungai
Lurus yang telah melakukan nikah sirri. Untuk mencapai Desa ini haruslah
menyiapkan fisik yang kuat, selain durasi waktu tempuh yang lama juga jalan
bebatuan, melewati tambang batu bara dengan jalan berdebu, serta menyusuri bukit dan hutan dengan jurang yang
tajam di kanan dan kiri jalan.
Kecamatan
Sei/ Sungai Tabuk Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan terdiri 21 Desa yang
terdiri dari Desa Abumbun Jaya, Desa
Gudang Hirang, Desa Gudang Tengah, Desa
Keliling Benteng Ilir, Desa Lok Baintan, Desa Lok Baintan Dalam, Desa
Lokbuntar, Desa Paku Alam, Desa
Pejambuan, Desa Pemakuan, Desa Pematang Panjang, Pembantanan, Desa Sei/Sungai
Bakung, Desa Sei/Sungai Bangkal, Desa Sei/Sungai Lulut, Desa Sei/Sungai Pinang Baru, Desa Sei/Sungai
Pinang Lama, Desa Sei/Sungai Tabuk Keramat, Desa Sei/Sungai Tabuk Kota, Desa
Sei/Sungai Tandipah, Desa Tajau Landung.[5] Penulis
mengambil sampel 25 keluarga penduduk
Desa Lok Baintan Dalam yang telah melaksanakan nikah sirri. Untuk mencapai desa
ini juga diperlunya stamina yang cukup, selain jarak tempuh yang lumayan jauh,
jalan yang sempit, di sepanjang bantaran sungai, juga serta sedikitnya
fasilitas umum yang dapat ditemui.
3.1.
Faktor Penyebab Terjadinya Praktek Nikah Sirri
Apabila
diamati secara teliti dan cermat maka akan terdapat banyak hal yang melatar
belakangi dan juga menjadi penyebab terjadinya praktek nikah sirri di Desa Simpang
Warga dan Desa Podok Kecamatan
Aluh-Aluh, Desa Sungai Lurus Kecamatan Sambung Makmur dan Desa Lok Baintan Dalam
Kecamatan Sei/ Sungai Tabuk Kabupaten Banjar Provinsi Kalimantan, antara lain:
a.
Faktor
pemahaman tokoh agama dalam memahami ajaran khusunya pencatan dalam pernikahan.
Dalam lingkup sosio kultural masyarakat yang sangat menghormati ketokohan dan kharisma
seorang alim (bentuk jamak = ulama) atau dengan sebutan tuan guru, namun tidak
semua tokoh agama memiliki kesamaan pandangan tentang pentingnya pencatatan
pernikahan, sehingga berakibat masih banyaknya masyarakat yang melalukan nikah
tanpa dicatatkan (nikah sirri).
b.
Faktor
pendidikan. Rendahnya pendidikan masyarakat Desa Simpang Warga dan Desa Podok Kecamatan Aluh-Aluh, Desa Sungai Lurus Kecamatan Sambung Makmur dan
Desa Lok Baintan Dalam Kecamatan Sei/ Sungai Tabuk Kabupaten
Banjar Provinsi Kalimantan jika diukur secara rata-rata, sehingga kurang memahami adanya aturan
pemerintah terhadap pernikahan, sehingga mau melakukan pernikahan sirri.
c.
Faktor
rendahnya pemahaman terhadap hukum. Banyak masyarakat yang kurang paham
terhadap hukum pernikahan yang sesuai dengan aturan pemerintah, tentunya ini
juga diakibatkan rendahnya tingkat pendidikan.
d.
Faktor
Budaya/ kebiasan dalam masyarakat. Pada faktor ini memegang peranan sangat
menentukan yang dapat memungkinkan nikah sirri terjadi, calon mempelai dan
keluarganya merasa cukup untuk melaksanakan pernikahan pada seorang tokoh agama,
karena berkeyakinan pencatatan nikah bukanlah hal penting karena pencatatan
pernikahan bukan termasuk bagian dari syarat maupun rukun dalam pernikahan.
e.
Faktor
kebutuhan seks (kebutuhan biologis). Hal ini juga dapat di pertimbangkan karena
bagian dari kebutuhan dasar manusia untuk melanjutkan silsilah nasabnya.
f.
Faktor persepsi masyarakat tentang mahalnya
biaya untuk nikah di Kantor Urusan Agama (KUA). Sebagian masyarakat merasa
bahwa biaya yang dikeluarkan karena untuk pernikahan di KUA cukup mahal, hal
tersebut dimungkinkan kurangnya informasi yang di dapat oleh masyarakat
setempat bahwa pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang pembebasan biaya
pernikahan di Kantor Urusan Agama (KUA).
3.2.
Nikah Sirri Berlangsung Secara Turun Temurun
Empat desa yang terdiri Desa Simpang Warga dan
Desa Podok Kecamatan Aluh-Aluh, Desa Sungai
Lurus Kecamatan Sambung Makmur dan Desa Lok Baintan Dalam Kecamatan Sei/ Sungai
Tabuk Kabupaten
Banjar Provinsi Kalimantan, Penulis mengambil
sampel 65 keluarga yang telah melaksanakan nikah sirri, 63 keluarga adalah
penduduk asli di desanya atau setidaknya adalah tetangga Desa dalam satu
kecamatan, dan sudah saling mengenal baik antara keluarga pria dengan keluarga
wanita. Nikah secara sirri ini bukanlah digenerasi mereka saja, namun juga
dilaksanakan pada generasi sebelumnya. Dengan adanya tokoh desa yang menjadi
panutan dan sangat dihormati yang mampu menjaga tradisi serta sedikitnya
masyarakat pendatang membuat situasi di lingkungan keluarga yang menikah sirri
nyaris tidak mengalami masalah berarti.
Untuk
menjelaskan fenomena nikah sirri di Desa Simpang Warga dan Desa Podok Kecamatan Aluh-Aluh, Desa Sungai Lurus Kecamatan Sambung Makmur dan
Desa Lok Baintan Dalam Kecamatan Sei/ Sungai Tabuk Kabupaten
Banjar Provinsi Kalimantan, setidaknya harus mengetahui perilaku yang merupakan
salah satu komponen dalam struktur sikap (komponen kognitif, afektif dan
konatif) menunjukkan bagaimana perilaku atau kecenderungan berperilaku yang ada
dalam diri seseorang berkaitan dengan objek sikap yang dihadapinya. Kaitan ini
didasari oleh asumsi bahwa kepercayaan dan perasaan banyak mempengaruhi
perilaku. Maksudnya, bagaimana orang berperilaku dalam situasi tertentu dan
terhadap stimulus tertentu akan banyak ditentukan oleh bagaimana kepercayaan
dan perasaannya terhadap stimulus tersebut. Kecenderungan berperilaku secara
konsisten, selaras dengan kepercayaan dan perasaan ini membentuk sikap
individual. Karena itu, adalah logis untuk mengharapkan bahwa sikap seseorang
akan dicerminkannya dalam bentuk tendensi perilaku terhadap objek. Pengertian
kecenderungan berperilaku menunjukkan bahwa komponen konatif meliputi bentuk
perilaku yang tidak hanya dapat dilihat secara langsung saja, akan tetapi
meliputi pula bentuk-bentuk perilaku yang berupa pernyataan atau perkataan yang
diucapkan oleh seseorang.
Sikap
sosial seperti nikah sirri di Desa Simpang Warga dan Desa Podok Kecamatan Aluh-Aluh, Desa Sungai Lurus Kecamatan Sambung Makmur dan
Desa Lok Baintan Dalam Kecamatan Sei/ Sungai Tabuk Kabupaten
Banjar Provinsi Kalimantan terbentuk karena adanya interaksi sosial yang
dialami oleh individu. Interaksi sosial mengandung arti lebih daripada sekedar
adanya kontak sosial dan hubungan antar individu sebagai anggota kelompok sosial.
Dalam interaksi sosial, terjadi hubungan saling mempengaruhi di antara individu
yang satu dengan yang lain, terjadi hubungan timbal balik yang turut
mempengaruhi pola perilaku masing-masing individu sebagai anggota masyarakat.
Lebih lanjut, interaksi sosial itu meliputi hubungan antara individu dengan
lingkungan fisik maupun lingkungan psikologis di sekelilingnya. Dalam interaksi
sosialnya, individu bereaksi membentuk pola sikap tertentu terhadap berbagai
objek psikologis yang dihadapinya adalah pengalaman pribadi, kebudayaan, orang
lain yang dianggap penting, media massa, institusi atau lembaga pendidikan dan
lembaga agama, serta faktor emosi dalam
diri individu.
Hal
ini tentu mengingatkan pada beberapa teori sosial, antara lain Teori Rangsang
Balas (Stimulus Response Theory), Teori ini sering juga disebut Teori
Penguat (Reinforcement Theory) yang dapat digunakan untuk menerangkan
berbagai gejala tingkah laku sosial. Teori Penguat menerangkan tentang sikap (attitude),
yaitu kecenderungan atau kesediaan seseorang untuk bertingkah laku tertentu
kalau ia menghadapi suatu rangsang tertentu. Salah satu teori untuk menerangkan
terbentuknya sikap ini dikemukakan oleh Darryl Beum (1964), salah seorang
pengikut Skinner. Ia mendasarkan diri pada pernyataan Skinner bahwa tingkah
laku manusia berkembang dan dipertahankan oleh anggota-anggota masyarakat yang
memberi penguat pada individu untuk bertingkah laku secara tertentu (yang
dikehendaki oleh masyarakat). Dalam teori tersebut, Beum menyatakan bahwa dalam
interaksi sosial terjadi 2 macam hubungan fungsional, yang pertama adalah
hubungan fungsional dimana terdapat kontrol penguat (reinforcement control)
yaitu jika tingkah laku balas (response) ternyata menimbulkan penguat (reinforcement)
yang bersifat ganjaran (reward). Dalam hal ini ada tidaknya atau banyak
sedikitnya rangsang penguat akan mengontrol tingkah laku balas. Tingkah laku
untuk mendapat ganjaran tersebut disebut tingkah laku operan (operant
response). Sedang hubungan fungsional kedua hanya terjadi jika tingkah laku
balas hanya mendapat ganjaran pada keadaan-keadaan tertentu. Teori Belajar
melalui Instrumental Conditioning juga menerapkan prinsip pemberian
hadiah (reward) dan hukuman (punishment) terhadap munculnya
respon-respon dari subyek. Respon yang muncul sesuai yang dikehendaki diberi
hadiah, sedangkan respon yang muncul tidak sesuai dengan kehendak dikenai
hukuman.
Dalam
hal nikah sirri masyarakat di Desa Simpang Warga dan Desa Podok Kecamatan Aluh-Aluh, Desa Sungai Lurus Kecamatan Sambung Makmur dan
Desa Lok Baintan Kecamatan Sei/ Sungai Tabuk Kabupaten Banjar Provinsi Kalimantan tersebut tidaklah dianggap sebagai suatu peristiwa negatif yang
harus mendapatkan hukuman (punishment) secara sosial dari masyarakat.
Pernikahan yang tidak dicatatkan pada KUA setempat masih dipandang oleh
masyarakat setempat menjadi solusi pemecahan untuk calon mempelai yang sudah
saling mencintai guna membangun sebuah keluarga sesuai dengan ajaran agama dan oleh
masyarakat para pelaku nikah sirri diberi sebuah apresiasi, hadiah (reward)
karena telah menjalankan bagian dari
ajaran agama.
Teori
sosial kedua yang dapat digunakan untuk memahami fenomena ini adalah Teori
Belajar Sosial (Social Leaarning Theory) atau Modelling Teori ini
menjelaskan bahwa sikap itu dapat terbentuk melalui subyek yang mengobservasi
atau melihat kejadian-kejadian atau model-model yang ada di sekitarnya. Atau
dapat juga dikatakan bahwa pada umumnya orang belajar menanggapi sesuatu dan
meresponnya dengan melihat dari apa yang dilakukan oleh orang lain. Menurut Albert
Bandura, bahwa tingkah laku itu tergantung dari lingkungan tempat berinteraksi
dengan organisme. Yang dimaksud interaksi disini adalah saling berhubungan
antara lingkungan dan organisme. Antara lingkah-laku, lingkungan dan organisme
itu sebenarnya satu dengan yang lain saling mempengaruhi.
Dalam
dataran empiris praktis, pelaku nikah sirri telah berlangsung secara meluas dan
dilakukan secara turun temurun, tidak hanya di kalanagan masyarakat biasa namun
juga di lakukan oleh para tetua dan juga tokoh agama setempat, mereka bisa
hidup harmonis dengan keluarga yang utuh serta kekerabatan yang kuat serta
tidak tereduksi eksistensinya di kehidupan sosial kemasyarakatan, oleh karena
hal itulah kemudian generasi berikutnya mulai mengambil contoh bahwa nikah
sirri bukanlah suatu hal yang berbahaya dalam membentuk suatu keluarga yang
sakinah mawaddah dan penuh rahmah. Selain itu dengan melihat pelaku nikah sirri
terdahulu yang berhasil membangun keluarga sakinah, mawaddah warahmah merupakan
“modelling” bagi calon mempelai lain untuk turut melakukan pernikahan
secara sirri, demikian juga bagi keluarga calon mempelai tidak akan keberatan
keluarganya melakukan nikah sirri karena masyarakat lain dan bahkan tokoh-tokoh
masyarakat dan pemuka-pemuka agama juga melaksanakan nikah sirri tersebut.
Selain itu masyarakat sekitar juga merasa tidak keberatan dengan pernikahan
sirri tersebut karena telah memenuhi syarat dan rukun nikah secara agama.
Dalam
kondisi tersebut perilaku nikah sirri seseorang di Desa Simpang
Warga dan Desa Podok Kecamatan
Aluh-Aluh, Desa Sungai Lurus Kecamatan Sambung Makmur dan Desa Lok Baintan
Kecamatan Sei/ Sungai Tabuk Kabupaten Banjar Provinsi Kalimantan, tidak akan mereduksi kewibawaan, eksistensi, nama baik keluarga
ataupun ketokohan seseorang di masyarakat, meskipun dalam atministrasi
kependudukan dan hak-haknya untuk memperoleh perlindungan hukun akan sulit didapatkan.
3.3.
Pandangan Masyarakat Setempat Mengenai Praktek Nikah
Sirri
Apabila
diamati secara detail dan teliti di lingkungan masyarakat yang menjalankan praktek
nikah sirri di wilayah tersebut tidak
mengalami kendala yang berarti dalam aspek pergaulan di masyarakat. Pemahaman
tentang pernikahan yang cukup simpel dengan mencukupkan terpenuhinya syarat dan
rukun nikah, dengan tanpa melengkapi admintrasi untuk pencatatan pernikahan
yang telah dilaksanakan pada Kantor Urusan Agama (KUA) setempat tidak akan
mengganggu keharmonisan hidup di masyarakat setempat. Hal ini akan menyadarkan
kita bahwa keberadaan pemahaman ajaran agama tidak lepas dari pengaruh realitas
sekelilingnya. Pertemuan antara doktrin agama dengan realitas sekelilingnya
menghasilkan konten budaya. Pertemuan
ajaran agama dengan realitas sosial seringkali kita temui dalam praktek kehidupan sehari-hari, karena tidak mungkin
ajaran agama berada dalam realita yang vacum (original), ambil sebuah contoh
perayaan idul fitri di Indonesia dengan tradisi sungkeman, silaturrahmi dengan
yang lebih tua, kepada para guru, ulama, para kyai adalah sebuah bukti
keterkaitan antara ajaran agama dengan budaya.
Bagi masyarakat
setempat nikah sirri mampu menyelesaikan masalah seseorang yang menginginkan
untuk membangun sebuah keluarga sakinah mawaddah dan penuh rahmah, dengan tanpa
menyadari bahwa dengan terjadi peristiwa pernikahan akan menimbulkan hukum
keperdataan yang mengiringinya. Pelaku nikah sirri di Desa Simpang
Warga dan Desa Podok Kecamatan
Aluh-Aluh, Desa Sungai Lurus Kecamatan Sambung Makmur dan Desa Lok Baintan
Dalam Kecamatan Sei/ Sungai Tabuk Kabupaten Banjar Provinsi Kalimantan, tetap diterima masyarakat sesuai kapasitasnya, bagi tetua
masyarakat tidak akan mereduksi ketokohannya, bagi seorang tuan guru tidak akan
menggangu kewibawaanya dan bagi masyarakat biasa tidak akan mengurangi
eksistensinya. Dengan penerimaan ini membuat para pelaku nikah sirri
mendapatkan “penguat” dari masyarakat setempat bahwa apa yang mereka lakukan
adalah wajar. Teori Penguat (reinforcement theory) dapat digunakan untuk
menerangkan berbagai tingkah laku sosial tersebut. Salah satu teori untuk
menerangkan terbentuknya sikap ini dikemukakan oleh Darryl Beum (1964) yang
juga pengikut Skinner. Ia mendasarkan diri pada pernyataan Skinner bahwa
tingkah laku manusia berkembang dan dipertahankan oleh anggota-anggota
masyarakat yang memberi penguat pada individu untuk bertingkah laku secara
tertentu (yang dikehendaki oleh masyarakat).
3.4. Upaya Yang Dapat
Dilakukan Untuk Mengurangi Praktek Nikah Sirri
Keberadaan hukum, khususnya penegakan hukum di
tengah-tengah masyarakat adalah sangat penting untuk melindungi hak-hak
masyarakat dari kesewenang-wenangan kelompok atau golongan tertentu dan
memenuhi kebutuhan serta memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat pada
umumnya. Hukum yang baik tentunya yang mencerminkan budaya, adat atau kepercayaan yang diyakini oleh
masyarakat setempat. Hukum yang demikian akan mudah dipahami dan juga dipatuhi
oleh masyarakat. Hubungan hukum
dengan masyarakat dapat dipahami melalui adagium seperti yang dikemukakan oleh
Cicero yaitu “Ubi Societis, Ibi Ius” (dimana ada masyarakat di
situ pasti ada hukum). Abdul
Wahab Khalah menjelaskan bahwa secara umum hukum bertujuan merealisir
kemaslahatan manusia dengan menjamin kebutuhan pokoknya (dhoruriyah),
dan memenuhi kebutuhan sekundernya (hajiyah) serta kebutuhan pelengkap (tahsiniyah)
masyarakat.[6]
Satjipto
Rahardjo mengatakan bahwa ada dua macam fungsi hukum yang berdampingan satu
sama lain, yaitu pertama: fungsi hukum sebagai sarana pengendalian
sosial, dan kedua: sabagai sarana untuk melakukan sosial engineering.
Fungsi hukum sebagai sarana pengendalian sosial yaitu hukum sekedar menjaga
agar setiap orang menjalankan peranannya sebagaimana yang telah ditentukan atau
diharapkan. Perubahan sosial yang terjadi akan berpengaruh pula terhadap
bekerjanya mekanisme pengendalian sosial ini.[7]
Fungsi hukum sebagai sarana untuk melakukan rekayasa sosial (merubah
masyarakat) yakni di sini hukum tidak hanya dipakai untuk mengukuhkan pola-pola
kebiasaan dan tingkah laku yang terdapat dalam masyarakat, melainkan juga untuk
mengarahkan kepada tujuan-tujuan yang dikehendaki, menghapuskan kebiasaan yang
dipandang tidak sesuai lagi, menciptakan pola-pola kelakuan baru.[8]
Hukum Islam
tidak hanya mengatur di ranah publik semata namun juga mengatur dalam ranah
privat. Hubungan Hukum Islam dan moral sangat erat, tidak ada perbedaan dan
pembedaan yang jelas antara hukum Islam dan moral, sehingga Hukum Islam
merupakan kode hukum dan kode moral sekaligus, antara keduanya tidak dapat
dipisahkan. Hukum Islam secara umum bertujuan untuk mencegah kerusakan dan
mendatangkan kemaslahatan bagi manusia, mengarahkan manusia mencapai
kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat kelak dengan jalan mengambil segala
yang bermanfaat dan mencegah semua madharat, yakni yang tidak berguna bagi
hidup dan kehidupan manusia.
Dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, unit terkecil dalam masyarakat adalah
keluarga yang biasanya terdiri dari kepala keluarga dan orang-orang yang
terkumpul dan tinggal bersama dalam satu atap. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) keluarga adalah kata benda yang artinya ibu dan bapak beserta
anak-anaknya (seisi rumah). Mengingat pentingnya posisi keluarga dalam tatanan
kehidupan sosial dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, Islam telah
mengaturnya dalam ayat-ayat ahkam dan hadits-hadits Nabi Muhammad SAW. Allah
SWT telah memberikan panduan terkait membangun keluarga ideal tersebut dalam 70
(tujuh puluh) ayat dalam al-Qur’an.[9]
Jika diamati
secara komprehensif, Islam sebagai ajaran yang universal dan integral, telah
mengatur segala aspek kehidupan manusia, baik di bidang politik, hukum,
pertahanan keamanan, bidang ekonomi dan keuangan maupun bidang sosial dan budaya. Seiring dengan berkembangnya nilai-nilai
Islam di tengah masyarakat setelah runtuhnya ajaran komunisme yang berpusat di
Sovyet pada tahun 1990-an, sehingga Samuel Paul Hantington menyatakan bahwa
setelah komunis runtuh ancaman bagi negara-negara barat adalah peradaban Islam.[10]
Cakupan hukum Islam yang begitu luas
yang mengatur, mengontrol dan meregulasi semua perilaku manusia baik terkait
hukum privat maupun hukum publik,
berakibat pada pendekatan hukum Islam
yang begitu generalis dan eklektis dalam mendekati semua persoalan.[11]
Maqashid
al-syariah (tujuan utama hukum) adalah untuk kemaslahatan
(kebaikan) dan mencegah kemafsadatan (kerusakan), hukum menetapkan
ada lima kebutuhan pokok manusia yang harus dilindungi yaitu; agama, jiwa,
harta, akal, dan keturunan,[12]
sehingga Allah SWT menjadikan risalah Nabi Muhammad SAW sebagai rahmatan lil
alamiin sebagaimana tercermin dalam surah Al-Anbiya ayat 107 yang artinya; “Tidaklah
kami mengutus engkau, kecuali menjadi rahmat bagi seru sekalian alam”.
Apabila diperhatikan secara cermat, satu upaya yang
telah dilakukan oleh lembaga negara adalah diadakannya sidang keliling yang
dilaksanakan oleh Pengadilan Agama Martapura untuk mewujudkan program kerja justice
for all, di Desa Simpang Warga dan Desa Podok Kecamatan Aluh-Aluh, Desa Sungai Lurus Kecamatan Sambung Makmur dan
Desa Lok Baintan Dalam Kecamatan Sei/ Sungai Tabuk Kabupaten
Banjar Provinsi Kalimantan, kurang lebih
80 perkara terdaftar, mayoritas perkara yang diterima atau 96% lebih adalah
istbat nikah, ini adalah indikasi bahwa peristiwa nikah sirri masih banyak
dipraktekkan oleh masyarakat setempat.
Untuk
kedepannya diperlukan program aksi bersifat preventif diwilayah tersebut, salah satu alternatif
yang dapat dipertimbangkan adalah perubahan paradigma, yang semula pernikahan
cukup dengan hanya memenuhi syarat dan rukun, kemudian dilakukan penambahan
berupa pencatatan pernikahan adalah bagian dari menyempurnakan dari aspek
hukumnya. Bukan perkara mudah untuk melakukan transformasi perubahan paradigma
ini, butuh kerja keras. Eksplanasi dan diagnose satu kasus disuatu tempat tidak
serta-merta bisa diterapkan pada tempat lain meskipun efek yang ditimbulkan
kelihatan sama, karena faktor penyebab yang berbeda. Yang paling
bertanggungjawab menjadi lokomotif perubahan paradigma adalah pemerintah, dan
tokoh-tokoh agama serta tokoh-tokoh masyarakat setempat. Perubahan paradigma
tersebut menjadi sebuah keniscayaan guna mengimplementasikan konsep rahmatan
lilalamin, merealisir maqashid al-syariah, dan secara teknis dengan melakukan
rekayasa sosial bagi warga setempat sehingga menghapus budaya lama yang tidak
sesuai (nikah sirri) menjadi sebuah budaya baru yang Islami (nikah tercatat).
4.
Penutup
4.1.Kesimpulan
4.1.1.
Banyak
faktor yang melatar belakangi dan
sekaligus menjadi penyebab masih maraknya nikah sirri di masyarakat Desa Simpang Warga
dan Desa Podok Kecamatan
Aluh-Aluh, Desa Sungai Lurus Kecamatan Sambung Makmur dan Desa Lok Baintan Dalam
Kecamatan Sei/ Sungai Tabuk Kabupaten Banjar Provinsi Kalimantan, antara lain faktor pemahaman sebuah ajaran agama, faktor rendahnya pendidikan secara rerata, faktor rendahnya pemahaman hukum, faktor budaya dan faktor kebutuhan hubungan seks (biologis) serta faktor
ekonomi.
4.1.2.
Nikah sirri yang terjadi di lingkungan
masyarakat desa Simpang Warga dan Desa Podok Kecamatan Aluh-Aluh, Desa Sungai Lurus Kecamatan Sambung Makmur dan
Desa Lok Baintan Dalam Kecamatan Sei/ Sungai Tabuk Kabupaten
Banjar Provinsi Kalimantan adalah
bertujuan mulia yaitu untuk membangun keluarga sakinah mawaddan warahmah, nikah
sirri sudah dilakukan secara turun temurun juga oleh para tokoh agama dan tokoh
masyarakat, tidak ada fakta empiris yang mendukung bahwa nikah sirri di tempat
ini untuk penyimpangan dalam pernikahan.
4.1.3.
Masyarakat memandang nikah sirri di Desa Simpang Warga dan Desa Podok Kecamatan Aluh-Aluh, Desa Sungai Lurus Kecamatan Sambung Makmur dan
Desa Lok Baintan Dalam Kecamatan Sei/ Sungai Tabuk Kabupaten
Banjar Provinsi Kalimantan, adalah peristiwa
pernikahan biasa seperti pada umumnya, yang oleh masyarakat setempat telah
dilangsungkan dari generasi ke generasi berikutnya, oleh karena nikah sirri di
tempat tersebut dapat dikatakan sebagai budaya masyarakat setempat.
4.1.4.
Salah
satu upaya yang telah dilakukan dalam untuk memecahkan masalah yang di hadapi
masyarakat Desa Simpang Warga dan Desa Podok Kecamatan Aluh-Aluh, Desa Sungai Lurus Kecamatan Sambung Makmur dan
Desa Lok Baintan Kecamatan Sei/ Sungai Tabuk Kabupaten Banjar Provinsi Kalimantan, adalah dengan diadakannya istbat
nikah melalui sidang keliling oleh Pengadilan Agama Martapura dan untuk
kedepannya diperlukan lankah bersifat preventif berupa upaya perubahan paradigma
dengan mengimplementasikan konsep rahmatan lilalamin, merealisir maqashid
al-syariah, serta secara teknis dengan melakukan rekayasa sosial bagi warga
setempat sehingga menghapus budaya lama yang tidak sesuai (nikah sirri) menjadi
sebuah budaya baru yang Islami (nikah tercatat).
4.2. Rekomendasi
Setelah
melakuan ekplanasi dan mendiagnosa faktor-faktor penyebab nikah sirri, serta
mengetahui kondisi sosial dan respon masyarakat setempat tentang praktek nikah
sirri serta upaya yang telah dilaksankan oleh pemangku kepentingan, maka yang
dapat direkomendasikan adalah adanya program-program aksi seperti
merealisasikan undang-undang perkawinan untuk Peradilan Agama yang mangkrak
sejak masuk prolegnas tahun 2008 silam, penyuluhan hukum Islam dari Mahkamah
Agung melalui Pengadilan Agama, menambah anggaran untuk melaksanakan sidang keliling
khususnya istbat nikah, pengayaan pemahaman administrasi pernikahan dan hukum
perkawinan bagi para tokoh agama setempat dari kementerian agama, meningkatan
infrastruktur jalan dan sarana pendidikan oleh pemerintah daerah Kabupaten
Banjar, serta peran pengurus daerah nahdhotul ulama mengingat wilayah Desa Simpang Warga
dan Desa Podok Kecamatan
Aluh-Aluh, Desa Sungai Lurus Kecamatan Sambung Makmur dan Desa Lok Baintan Dalam
Kecamatan Sei/ Sungai Tabuk Kabupaten Banjar Provinsi Kalimantan adalah basis pendukung organisasi Islam
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Wahab Khalaf, “Ilmu Ushul Fiqih”, Darul Qalam, Kuwait, 1978.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Banjar, Kecamatan Aluh-Aluh Dalam
Angka 2014, Tahun 2014.
Daud
Rosyid, “Indahnya Syari’at Islam”, Usamah Press, Jakarta, 2003.
H.
Muslim A. Kadir, Ilmu Islam Terapan Menggagas Paradigma Amali Dalam Agama
Islam, Pustaka Pelajar-STAIN Kudus, Cet.I, Yogjakarta 2003.
Kecamatan Sambung Makmur Dalam Angka 2014, bekerjasama dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten
Banjar Badan Pusat Statistik Kabupaten Banjar, Tahun 2014. .
Kecamatan Sungai Tabuk Dalam Angka 2014, bekerjasama dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten
Banjar Badan Pusat Statistik Kabupaten Banjar, Tahun 2014.
Ratno
Lukito, “Tradisi hukum Indonesia”, Teras, Yogjakarta, Cet.I, 2008.
Sarlito Wirawan Sarwono. “Teori-Teori Psikologi Sosial”,
PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta 1995
Satjipto
Rahardjo, “Ilmu Hukum”, PT Citra aditya Bakti, Cet. V, Bandung. 2000.
Satjipto
Rahardjo, “Pemanfaatan Ilmu Sosial Bagi Pemanfaatan Ilmu Hukum”, Alumni,
Bandung. 1977.
Yusuf
Al-Qardawi, “Umat Islam Menyongsong Abad Ke-21”, Era Intermedia, Solo,
2000.
[1]H. Muslim A.
Kadir, Ilmu Islam Terapan Menggagas Paradigma Amali Dalam Agama Islam, Penerbit
Pustaka Pelajar-STAIN Kudus, Cet.I, Yogjakarta 2003. Hlm.3.
[2] Ibid.,
hlm. 4.
[3]Badan
Pusat Statistik Kabupaten Banjar, Kecamatan Aluh-Aluh Dalam Angka 2014,
Tahun 2014 Hal. 2-3.
[4]Kecamatan
Sambung Makmur Dalam Angka 2014, bekerjasama
dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Banjar Badan Pusat
Statistik Kabupaten Banjar, Tahun 2014. Hal. 3
[5]Kecamatan
Sungai Tabuk Dalam Angka 2014, bekerjasama
dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Banjar Badan Pusat
Statistik Kabupaten Banjar, Tahun 2014. Hal. 3
[6]Abdul Wahab
Khalaf, “Ilmu Ushul Fiqih”, Darul Qalam, Kuwait, 1978, hlm.198.
[7]Satjipto
Rahardjo, “Pemanfaatan Ilmu Sosial Bagi Pemanfaatan Ilmu Hukum”, Alumni,
Bandung. 1977. hlm. 143.
[8]Satjipto
Rahardjo, “Ilmu Hukum”, PT Citra aditya Bakti, Cet. V, Bandung. 2000,
hlm.206.
[9] Abdul Wahab
Khalaf, Op.,Cit. hlm.33.
[10] Yusuf
Al-Qardawi, “Umat Islam Menyongsong Abad Ke-21”, Era Intermedia, Solo,
200, hlm 330-335.
[11] Ratno Lukito, “Tradisi
hukum Indonesia”, Teras, Yogjakarta, Cet.I, 2008, hlm. 104.
[12] Daud Rosyid,
“Indahnya Syari’at Islam”, Usamah Press, Jakarta, 2003, hlm. 35.
Comments
Post a Comment