STUDI TENTANG PEMIKIRAN IMAM AL-SYAUKANI DALAM KITAB IRSYAD AL-FUHUL
STUDI TENTANG PEMIKIRAN IMAM AL-SYAUKANI
DALAM KITAB IRSYAD AL-FUHUL
Oleh
Nur Moklis
I.
IDENTITAS BUKU
Judul buku
|
Irsyad al-Fuhul Ila Tahqiqi al-Haqi min
Ilmi al-Ushul
|
Penulis
|
Imam Muhammad bin Ali al-Syaukani
|
Penerbit
|
Dar al-Fadhilah, al-Riyad, 1421 H/
2000 M
|
Cetakan ke
|
I
|
Jumlah halaman
|
ه dan و dan 1238 (terbagi dalam 2 Jilid)
|
II.
BIOGRAFI
IMAM AL-SYUAKANI
Dalam
kitab irsyadul fuhul ila tahqiqi min ilmil wushul, telah termuat riwayat
kehidupan imam al-Syaukani. Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ali bin
Muhammad bin Abdullah bin Al-Hasan bin Muhammad bin Sholah bin Ibrahim bin
Muhammad al-Afif bin Muhammad bin Marzuq al-Syaukani al-Shan’ai. Beliau lahir
di Syaukan suatu kota dekat San’a, Yaman Utara pada hari Senin, 28 Zulqaidah
1173 H (1759 M) dan meninggal pada umur 76 tahun di San’a pada hari Rabu, 27
Jumadil akhir 1250 H (1834 M), dimakamkan di pemakaman Khuzaimah San’a. Sebelum
kelahirannya, orang tuanya tinggal di San’a. ketika musim gugur mereka pulang
ke Syaukan, kampung asal mereka dan pada waktu itulah al-Syaukani lahir. Dan
tidak berapa lama setelah itu, ia dibawa oleh orang tuanya kembali ke san’a.[1]
Ayahnya,
Ali al-Syaukani (1130-1211 H), adalah seorang ulama yang terkenal di Yaman,
yang bertahun-tahun dipercaya oleh pemerintah imam-imam Qasimiyyah, sebuah
dinasti Zaidiyyah di Yaman, untuk memegang jabatan Qadi (hakim) selama 40 tahun.[2] Ia
mengundurkan diri dari jabatan tersebut dua tahun menjelang ajalnya. Dalam
lingkungan keluarga inilah al-Syaukani dibesarkan. Pada masa kecilnya, ia
belajar al-Qur’an pada beberapa guru, yang diselesaikan pada al-Faqih Hasan ibn
Abdullah al-Habi. Kemudian, ia meneruskan pelajarannya dengan mempelajari ilmu
Tajwid pada beberapa guru (masyayikh) di San’a. sehingga ia menguasai bacaan
al-Qur’an dengan baik. Maka dari itu, kelihatan sejak kecil, al-Syaukani
mempunyai minat kepada ilmu pengetahuan. Disebutkannya sendiri, sebelum
mendapat bimbingan guru secara formal ia telah mendapat membaca buku-buku
ringan secara mandiri. Ia mendapat bimbingan secara formal dari beberapa guru
setelah lebih dahulu menghafal dan membaca sendiri beberapa karya dalam
berbagai bidang ilmu. Orang yang pertama menjadi gurunya ialah ayahnya sendiri,
Ali al- Syaukani, yang membimbingnya mempelajari fiqih, dan hadis. Setelah itu
ia belajar pada beberapa guru dalam berbagai bidang ilmu.[3]
Guru-guru
Imam Al-Syaukani yang terekam dalam kitab irsyadul fuhul sangat banyak antara
lain adalah Ahmad ibn ‘Amir al- Hada’i (1127–1197 H). Ahmad ibn Muhammad ibn al-Harazi, Isma’il ibn
al-Hasan ibn Ahmad ibn al-Hasan ibn al-Imamal-Qasam ibn Muhammad (1120-1206 H).
‘Abdullah ibn Isma’il al-Nahmi (1150-1228 H), Al-Qasim ibn Yahya al-Khaulani
(1162 – 1209 H). Al-Hasan ibn Isma’il
al-Maghribi (1162 – 1207 H),. ‘Ali ibn Hadi ‘Urhab. ‘Abd al- Qadir ibn Ahmad
al-Kaukabani (1135 – 1207 H). Hadi ibn
Husain al-Qarini, Yusuf bin Muhammad al-Hanafi.[4]
III.
KARYA-KARYA
IMAM AL-SYAUKANI
Karya
ilmiyah imam al-syaukani sangat banyak dalam berbagai bidang disiplin ilmu, diantaranya
adalah Hadis dan Ulum al-Hadis (al-Hadis Wa ‘ulumuh), meliputi: Ithaf
al-akabir bi isnad al-Dafair dan Al-Fawaid al-Majmua’ah fi al-hadists
al-maudu’ah wa ghairuha. Dalam bidang Aqidah, terdiri; 1. Irsyat
al-Siqat ila ittifaq al-Syara’I ‘ala tauhid wa al-ma’ad wa alnibuwwat. 2. Qatr
al-wali ‘ala hadits al-wali. 3. Bahs anna ijabah al-du’a la yunafi sabaq
al-qada’. Di bidang ilmu ushul fiqih, ilmu tafsir, fiqih dan lain-lainnya.[5]
IV.
PEMIKIRAN
IMAM AL-SYAUKANI DALAM KITAB IRSYAD AL-FUHUL
A. Konsep Ijtihad Menurut Al-Syaukani
Terma
ijtihad secara lughowi dari kata Al-Juhd, yaitu al-musyaqah dan Al-thaqah. Al-thaqah
(daya, kemampuan, kekuatan) dan Al-masyaqqah (kesulitan, kesukaran). jadi
ijtihad secara kebahasaannya berarti “badl Al-wus’i wa Al-majhud”
(pengerahan daya dan kemampuan), atau “pengerahan segala daya dan kemampuan
dalam suatu aktivitas dari aktivitas yang berat dan sulit”. al-Syaukani melihat
bahwa ijtihad secara umum memang memiliki makna yang begitu luas, mencakup
segenap pencurahan daya intelektual dan bahkan spiritual dalam menghadapi suatu
kegiatan atau permasalahan yang sukar. Dari itu, upaya pengerahan kemampuan
dalam berbagai lapangan ilmu, seperti ilmu kalam, falsafah, tasawuf, fikih, dan
sebagainya merupakan suatu bentuk ijtihad, dan pelakunya disebut mujtahid.
Al-Syaukani, ketika membicarakan ijtihad dalam pengertian umum ini, mengaku
eksistensi ijtihad yang dilakukan oleh para ahli ilmu kalam, dan menempatkan
ijtihad tersebut sebagai ijtihad fi tahshil Al-hukm Al-‘ilmi (dalam
mencapai ketentuan ilmu pengetahuan). Menurut al-Syaukani, bila disebut kata “ijtihad”
dalam konteks hukum Islam, maka pengertiannya tidak lagi mengacu kepada
pengertian umum kata ijtihad.[6]
al-Syaukani memberikan definisi ijtihad seperti
berikut: “mengerahkan segenap kemampuan dalam mendapatkan hukum syarak yang
praktis dengan menggunakan metode istinbath”. Atau dengan rumusan yang lebih
sempit: “Upaya seseorang ahli fikih (Al-faqih) mengerahkan kemampuannya
secara optimal dalam mendapatkan suatu hukum syariat yang bersifat zhanni.”[7] Pengertian
ijtihad yang dikemukakan al-Syaukani mirip definisi-definisi yang dikemukakan
oleh para ulama usul fikih pada umumnya .
B. Sayarat-Syarat Ijtihad
Menurut
al-syaukani, untuk dapat melakukan ijtihad hukum diperlukan lima syarat.
Masing-masing dari lima persyaratan itu akan dilihat di bawah ini.[8]
Pertama,
mengetahui al-kitab (al-quran) dan sunnah. Persyaratan pertama ini disepakati
oleh segenap ulama, mereka menyebutkan bahwa mengetahui alquran dan sunnah
merupakan syarat mutlak yang harus dimiliki oleh mujtahid. Akan tetapi,menurut
al-syaukani, cukup bagi seseorang mujtahid hanya mengetahui ayat-ayat hukum
saja. Dalam hal ini, ia mengutip pendapat al-ghazali dan ibn al-‘arabi, salah
seorang musafir dan ahli fiqih maliki, yang menyebutkan bahwa jumlah ayat hukum
dalam alquran ialah 500 ayat. Akan tetapi, al-syaukani sendiri cenderung tidak
membatasi hanya dalam jumlah 500 ayat. Ia mengatakan bahwa jumlah tersebut adalah
dilihat dari segi lahir (zhahir), tetapi jika diteliti lebih jauh, jumlahnya
akan berlipat ganda. Bahkan, bagi orang yang memiliki pemikiran yang jernih dan
penalaran yang sempurna akan dapat pula mengeluarkan hukum dari ayat-ayat yang
mengandung kisah dan tamsil. Bagi al-syaukani, ayat-ayat hukum itu tidak perlu
dihapal oleh mujtahid, tetapi cukup jika ia mengetahui letak ayat itu, sehingga
dengan mudah ditemukannya ketika diperlukan. Sebenarrnya, apa yang dikemukan
oleh al-syaukani diatas merupakan syarat seseorang mujtahid mutlak yang akan
melakukan ijtihad dalam segenap masalah hukum. Akan tetapi, bagi seseorang yang
ingin melakukan ijtihad dalam suatu masalah tertentu, ia hanya dituntut hanya
memiliki pengetahuan tentang ayat-ayat hukum yang menyangkut masalah tersebut
secara mendalam.
Adapun
berkenaan dengan pengetahuan tentang sunnah, menurut al-Syaukani seseorang
mujtahid harus mengetahui sunnah sebanyak-banyaknya. Ia mengutip beberapa
pendapat tentang jumlah hadist yang harus diketahui oleh seseorang mujtahid.
Salah satu pendapat menyebutkan bahwa seorang mujtahid harus mengetahui 500.000
hadist. Pendapat lain, yang diterima oleh ibn al-dharir dari Ahmad ibn-Hambal,
menyebutkan bahwa seorang mujtahid harus mengetahui 500.000 ribu hadist.[9]
Akan tetapi, menurut al-Ghazali dan sekelompok ulama ushul, cukup bagi seorang
mujtahid mengetahui hadist-hadist hukum yang terdapat seumpama dalam kitab
Sunan abu Daud dan Sunan al-Baihaki. Akan tetapi, pendapat tersebut dikutib
al-Syaukani dibantah oleh al-nawawi (w.676 H), salah seorang ulama fiqih
stafi’i. menurut al-Nawawi Sunan abu Daud tidak dapat dijadikan tolak ukur
sebagai kitab standar dalam berijtihad, karena didalamnya terdapat sejumlah
hadist hukum yang tidak shahih dan masih banyak hadist hukum yang terdapat
dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim yang tidak terdapat didalam Sunan abu
Dawud. Al syaukani menyebutkan, para ulama dalam hal ini ada yang terlalu
meringankan dan ada pula yang terlalu memberatkan. Menurutnya, dalam hal ini,
seorang mujtahid seharusnya mengetahui segenap kitab hadist yang telah di tulis
oleh para ahlinya, seumpama kitab induk yang enam (shahih al-Bukhari, Shahih
Muslim, Sunan abu Dawud, Sunan al-Tirmizi, Sunan an-Nasa’i, dan Sunan ibn
Majah) dan (kitab-kitab hadist) yang menyusul kitab yang enam itu (seumpama
Sunan al-Baihaqi, Sunan al-Daraquthni, Sunan al-Thabarani, Sunan al-Darimi),
lebih baik pula kalau mengetahui kitab-kitab Musnad (seumpama musnad
Ahmad ibn Hanbal, musnad al-Syafi’i, dan lain-lain), kitab-kitab mustakhraj (seperti
mustakhraj abi Nu’aim, mustakhraj Ahmad ibn Hamdan, dan
lain-lain), kitab kitab yang ditulis oleh para penulisnya atas (syarat-syarat
hadist) shahih (yang ditentukan oleh Bukhari dan Muslim, seperti shahih ibn
Khuzaimah, shahih ibn Hibban, mustadrak al-hakim, dan lain-lain),
sehingga seseorang mujtahid tidak berpegang kepada ra’yi dan qiyas pada
tempat yang ada nashnya. Akan tetapi, hadist-hadist itu tidak wajib dihapal di
luar kepala, cukup kalau ia mengetahui letak hadist-hadist itu, sehingga dapat
ditemukan segera bila diperlukan.[10]
Di
samping itu, seseorang mujtahid menurut al-syaukani tidak hanya wajib mengetahui
sejumlah besar hadist dari segi lafalnya, tetapi pula mengetahui rijal,
(periwayat-periwayat) yang terdapat dalam sanad (kesinambungan riwayat
hadist sampai kepada nabi) menyangkut hadist-hadist yang akan dipergunakannya, sehingga
dapat memilah antara hadist yang Shahih, Hasan, dan Dha’if (lemah).
Sekalipun demikian, hal itu tidak harus dihafalnya di luar kepala, cukup
baginya mengetahui yang demikian dengan baik melalui kitab-kitab yang
membicarakan tentang jarh (cacat periwayat hadist) dan ta’dil (keadilan
periwayat hadist). Apa yang dikemukakannya al-syaukani di atas ada benarnya,
karena hadist sebagai sumber kedua hukum Islam tidak boleh diabaikan untuk
mendapatkan suatu ketetapan hukum. Dalam mendapatkan ketentuan hukum, seorang
mujtahid tidak boleh secara langsung melangkah kepada qiyas, istihad, istihsan,
dan dalil-dalil hukum yang lain sebelum lebih dahulu meneliti hadist secara
cermat melalui kitab-kitab hadist. Sebab, jika hal ini diabaikan berarti
mujtahid telah melakukan kesalahan besar, karena dipandang telah menarik solusi
hukum atas kehendak nafsunya sendiri.[11]
Syarat
kedua, mengetahui ijma’, sehingga ia tidak mengeluarkan fatwa yang bertentangan
ijma’. Akan tetapi, seandainya dia tidak memandang ijma’ sebagai dasar hukum,
maka mengetahui ijma’ ini tidak menjadi syarat baginya untuk melakukan ijtihad.[12]
Di sini, al-Syaukani terlihat tidak secara ketat menempatkan pengetahuan
tentang ijma’ sebagai syarat mutlak untuk dapat melakukan ijtihad.
Syarat
ketiga, mengetahui bahasa arab, yang memungkinkannya menggali hukum dari al-quran
dan sunnah secara baik dan benar. Dalam hal ini menurut alsyaukani seorang
mujtahid harus mengetahui seluk beluk bahasa arab secara sempurna, sehingga ia
mampu mengetahui makna-makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-quran dan
sunnah nabi saw. Secara rinci dan mendalam mengetahui makna lafal-lafal gharib
(yang jarang dipakai); mengetahui susunan-susunan kata yang khas (khusus) yang
memiliki keistimewaan-keistimewaan unik. Untuk mengetahui seluk beluk
kebahasaan itu diperlukan beberapa cabang ilmu, yaitu: nahwu, saraf, ma’ani,
dan bayan. Akan tetapi, menurutnya, pengetahuan (kaidah-kaidah) kebahasaan itu
tidak harus dihafal luar kepala, cukup bagi seorang mujtahid mengetahui
ilmu-ilmu tersebut melalui buku-buku yang ditulis oleh para pakar di bidang itu,
sehingga ketika ilmu-ilmu tersebut diperlukan, maka dengan mudah diketahui
tempat pengambilannya.[13]
Keempat,
mengetahui ilmi usul fiqih. Menurut al-Syaukani, ilmu ushul fiqih penting
diketahui oleh seseorang mujtahid karena melalui ilmu inilah diketahui tentang
dasar-dasar dan cara-cara berijtihad. Seseorang akan dapat memperoleh jawaban
suatu masalah secara benar apabila ia mampu menggalinya dari al-Quran dan
sunnah dengan menggunakan metode dan cara yang benar pula. Dasar dan cara itu
di dalam ilmu ushul fiqih.[14]
Syarat
kelima, mengetahui nasikh (yang menghapuskan) dan mansukh (yang dihapuskan).
Menurut al-Syaukani pengetahuan tentang nasikh dan mansukh penting agar
mujtahid tidak menerapkan suatu hukum yang telah mansukh, baik yang terdapat
dalam ayat-ayat atau hadis- hadis. Disamping itu, al syaukani melihat bahwa
syarat-syarat tersebut bukanlah hal sulit bagi orang yang ingin melakukannya.
Ia mengatakan, bahwa ijtihad itu telah dimudahkan oleh Allah bagi orang-orang
belakangan (muta’akhir) sebagai kemudahan yang belum ditemukan oleh orang-orang
terdahulu.[15] Sebab, (pada periode
belakangan) tafsir-tafsir atas al-Qur’an telah dibukukan, sehingga tak
terhitung jumlahnya, sunnah (juga) telah dibukukan, sementara salaf al
shalih (orang-orang yang hidup di zaman klasik) dan orang- orang sebelum
itu telah bersusah payah mencari suatu hadis dari suatu daerah kedaerah lain,
maka ijtihad bagi orang orang belakangan lebih mudah dari orang- orang
terdahulu.
C. Objek Ijtihad
Imam
al-syaukani membagi hukum atas dua jenis: (hukum qath’i yaitu hukum yang
dipetik dari ayat-ayat dan hadis-hadis yang sifatnya qath’i al-Tsubut dan
qath’i al-Dalalah, hukum zhanni yaitu hukum-hukum yang dipetik dari
ayat-ayat dan hadis yang sifatnya zhanni (adakalanya zhanni al tsubut dan
mungkin pula zhanni al dalalah), atau dihasilkan melalui metode-metode
ijtihad yang lain yang bertaraf zhanni, seperti ijma’ sukuti, qiyas adna,
istishhab, istihsan dan metode-metode ijtihad lain. menurut al-Syaukani yang
menjadi lahan ijtihad ialah jenis hukum kedua.[16] Untuk
menguatkan pandangannya yaitu, al-Syaukani mengutip ucapan ahli fiqih syafi’i,
Fakhr al-Razi, yang menyebutkan bahwa yang menjadi objek ijtihad ialah segenap
hukum syara’ yang bukan didasarkan atas dalil yang qath’i.[17]
singkatnya,
yang menjadi objek ijtihad menurut al-Syaukani ialah: 1. Sesuatu yang semula
tidak ditemukan hukumnya di dalam nahs secara langsung, 2. Sesuatu yang
ditemukan hukumnya di dalam nash secara langsung, tetapi bukan dalam nash yang
qath’i.
Al-Syaukani,
sebagaimana pakar ushul fiqih yang lain, berpendapat bahwa hukum dalam kategori
zhanni ini dapat berubah dengan adanya perubahan zaman, tempat dan kebiasaan.
al-Syaukani menyebutkan bahwa seseorang mujtahid tidak boleh mengeluarkan hasil
ijtihad yang berbeda menyangkut satu masalah dalam waktu yang sama. Ia dapat
mengeluarkan hasil ijtihad yang berbeda dalam satu masalah jika dilakukan dalam
waktu yang berbeda, karena suatu hasil ijtihad dapat menerima perubahan, yang
muncul secara internal dari diri mujtahid atau secara eksternal dari
lingkungannya.[18]
lapangan
ijtihad yang lain, menurut al-Syaukani dan umumnya para ulama usul fiqih ialah
menyangkut kasus-kasus yang pada dasarnya tidak ditemukan alasannya di dalam
alquran, sunnah, maupun ijma’. Dalam hal ini, al- Syaukani mengakui adanya
kasus-kasus yang tidak ditemukan hukumnya di dalam teks-teks kitab suci dan
hadist maupun ijma’, namun menurutnya ada cara lain untuk menemukan hukumya,
yaitu melalui istidlal. Kendati demikian, menurut al-Syaukani jangan
dikira bahwa sesuatu kasus yang secara pintas belum ditemukan hukumnya didalam
teks-teks al-Quran dan Hadist, lantas dipandang bahwa kasus tersebut tidak ada
hukumnya didalam teks-teks suci tersebut. Nash-nash al-Quran dan Hadist
memiliki makna yang demikian luas dan mendalam. Ada sesuatu kasus yang tidak
ditemukan hukumya dalam pengertian lahir dari nas-nas, tetappi justru terdapat
dalam makna yang tersirat dari nas tersebut. Untuk itu al-syaukani membagi nas
atas dua bentuk: (1) al-nushush al-jaliyyah (nashnash yang jelas maknanya);
(2) al-nushush al-khafiyyah (nash-nash yang tersamar dan tersembunyi
(maknanya). Sesuatu hukum yang dipahami (mafhum) dari nash yang tersembunyi
bukan berarti hukum tersebut tidak didasarkan atas nash. Qiyas, menurut
al-Syaukani adalah suatu bentuk pemahaman nash, bukan di luar dari makna nas.
Al- Syaukani sendiri menempatkan salah satu bentuk qiyas sebagai bagian dari
mafhum.[19]
Terhadap
sesuatu masalah yang tidak ditemukan hukumnya didalam nash, ijma’ dan qiyas,
disini diperlukan istidlal. Al-Syaukani mencatat lima bentuk istidlal yang
biasa digunakan para ulama ushul fiqih dalam memecahkan suatu masalah yang
tidak diketahui ketentuan hukumnya di dalam al-Quran dan Sunnah, yakni: (1) al-talazum
bain al-hukmain, yakni menghubungkan antara dua hukum yang bukan dikaitkan
oleh suatu illah; (2) istishhab al-hal, yaitu melestarikan ketentuan
hukum yang telah ada pada masa lalu, hingga terdapat ketentuan dalil yang
mengubahnya; (3) syar’man qablana, yakni pemberlakuan syariat ummat
sebelum syariat nabi Muhammad saw;(4) istihsan, yakni mentakhsiskan
dengan yang lebih kuat dari padanya; (5) al-mashalih al-murshalah, yakni
menetapkan hukum sesuatu masalah yang tidak disebutkan di dalam nash, atas
pertimbangan kemaslahatan kehidupan manusia.[20]
D. Metode Ijtihad Imam Al-Syaukani
Dalam upaya mendapatkan solusi hukum atas masalah yang
muncul dalam kehidupan individual dan masyarakat, al-Syaukani menekankan bahwa
metode ijtihad yang paling tepat untuk diterapkan ialah metode yang telah
disebutkan dalam sunnah dan dipraktekkan oleh para sahabat, yaitu memberikan
solusi hukum didasarkan atas kandungan kitab allah dan sunnah Nabi saw. Untuk
itu, al- Syaukani mengemukan sejumlah alasan dari al-Qu’ran dan Hadits yang
memerintahkan agar orang berpegang kepada al-Qur’an dan Sunnah dalam menetapkan
hukum, seperti antara lain: “kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah al-Qur’an dan rasul sunnahnaya”.(QS.
al- Nisa’/4:59).
Akan tetapi kalimat-kalimat dan lafal-lafal yang
terkandung dalam al-Quran dan Sunnah ada yang jelas, sehingga secara mudah
dapat dirujuk sebagai alasan hukum, dan tidak sedikit pula yang samar dan
mengandung beragam makna, sehingga untuk merujuknya sebagai alasan hukum
memerlukan pemahaman yang komprehensif.
Dalam
menghadapi hal seperti demikian ,diperlukan suatu metode pendekatan dan dalam
hal ini, al-Syaukani menggunakan metode pendekatan sebagai berikut:
Pertama, melalui kaidah-kaidah kebahasaan.
Hal tersebut telah dijelaskna oleh imam al-syaukani dalam
bagian ke empat kitab irsyadul fuhul, yang meliputi nahi, amar, am, khas,
dhahir, muawal, manthuq, mafhum, nasikh, mansukh.[21]
Kedua, al-Syaukani juga menganjurkan untuk menggunakan
metode pendekatan melalui maqashid al-Syari’ah, yang disebutnya dengan qawa’id
kulliyyah (kaidah-kaidah umum).[22]
Menurutnya, orang yang hanya berhenti pada lahir nas atau hanya melakukan
pendekatan melalui pendekatan lafzhiyyah (tekstual) serta terikat dengan
makna-makna juz’i dari nash, tampa memperhatikan maksud-maksud umum dan
mendasarnya dari pensyariatan hukum, ia akan terjebak kepada
kekeliruan-kekeliruan ijtihad.
Ketiga, imam al-Syaukani menggunakan metode tarjih.[23]
Menurutnya, metode tarjih ditetapkan apabila terdapat hal-hal berikut: (1)
terdapat kesetaraan validitas (tsubut) dua dalil, seperti satu ayat dan ayat
yang lain, atau antara satu hadits ahad dan hadits ahad yang lain: (2) terdapat
kesetaraan dalam kekuatan, tidak ada tarjih jika terjadi pertentangan antara
hadits ahad dan ayat al-quran: (3) mengacuh kepada satu sasaran hukum, yang
disertai kesamaan waktu dan tempat.
Kendati
imam al-Syaukani membicarakan ketiga
metode ijtihad tersebut, pembicaraannya tidak jauh berbeda dengan ulama-ulama
ushul fiqih sebelumnya, hanya ia lebih banyak mengungkapkan perbedaan-perbedaan
pandangan antara ulama-ulama usul sebelumnya, dan sering membiarkan perbedaan
itu berjalan sendiri, tanpa memberikan komentar untuk mencari jalan
penyelesaiannya atau menguatkan salah satu dari pendapat-pendapat yang
berkembang itu. Apalagi menyangkut maqasyid al-syari’ah, al-Syaukani
tidak membicarakannya dalam satu kajian tersendiri, tetapi dijadikan sebagai
bagian dari qiyas. Oleh sebab
itu, penulis mengemukakakan konsep al-Syaukani tentang ketiga metode diatas
secara ringkas.
Selanjutnya penulis paparkan metode-metode ijtihad imam
al-syaukani yang menyangkut peristiwa-peristiwa yang dipandang tidak mempunyai
kaitan secara langsung dengan nas (ma la nashsh fih). Metode-metode
tersebut ialah: ijmak, qiyas, istishhab, istihsan, istishlah, dan sad
al-Zari’ah. Sebagai 2 sumber
hukum utama imam al-syaukani membahas tema pokok tentang al-qur’an dan
al-sunnah dalam content cukup luas.
1. Al-Qur’an
Al-Qur’an
sebagi sumber hukum telah di bahas dalam kitab irsyadul fuhul dalam
empat bab, berkaitan tentang pengertiannya, tentang al-qur’an yang dibaca oleh
seseorang termasuk al-qur’an atau tidak?, tentang ayat-ayat muhkam dan
mutasyabihat dalam al-qur’an dan tentang apakah ada bahasa asing yang digunakan
dalam al-qu’an seperti ishaq, ismail, ibrahim ya’kubs.[24]
2. Sunnah Nabi SAW
Al-Sunnah
sebagai sumber hukum telah dibahas oleh Imam al-Syaukani dalam 12 bab, yang
antara lain; makna sunnah secara lughawi dan istilahi, independensi sunnah
sebagai sumber hukum, perbuatan Nabi
SAW, perbuatan nabi yang terlihat bertentangan satu dengan lainnya,
pertentangan antara ucapan dan tindakan Nabi SAW, dan lainnya[25]
3. Ijma’[26]
Imam
al-Syaukani, sebagai mana ulama ushul fikih umumnya, memberi definisi ijmak (al-ijma’)
dengan “kesepakatan (konsensus) para mujtahid dari kalangan umat Muhammad saw
setelah beliau wafat, pada suatu masa atas hukum suatu masalah yang
dihadapinya. Dalam definisi tersebut, Al-Syaukani menyimpulkan adanya tiga
unsure ijma’, yaitu:(1) adanya kesepakatan
segenap mujtahid dari kalangan ummat islam.dari segenap penjuru dunia islam, tidak
boleh tertinggal seorang mujtahid pun dalam kesepakatan tersebut. (2)
terjadinya kesepakatan tersebut adalah dalam suatu masa sesusah meninggalnya
nabi Muhammad saw. (3) kesepakatan itu adalah menyangkut segenap permasalahan
yang muncul dalam masyarakat seperti masalah keagamaan, pemikiran, adat,
bahasa, dan sebagainya. Dalam menetapkan ijma’ sebagai metode untuk mendapatkan
solusi hukum tentang suatu peristiwa, al-Syaukani menjelaskan pandangan yang
berkembang dalam islam, tampa berpihak kepada sala satu pendapat.
Pendapat
pertama dikemukakan oleh jumhur ulama ushul fiqih, yang memandang bahwa ijma’
merupakan salah satu metode untuk mendapatkan hukum. Pendapat kedua dikemukakan
oleh al-nazhazham, syi’ah imamiyyah, dan sebagian kaum khawarij,yang memandang
ijma’ tidak dapat dipakai sebagai metode ijtihad. Argumenargumen yang
dikemukakan oleh kedua kelompok itu dipaparkan oleh al-Syaukani secara obyektif
dalam karyanya Irsyad-fuhul. Selain menggemukakan alasan dari ayat-ayat
al-Quran dan Hadits, kelompok pertama menggunakan argument rasional dalam
menetapkan eksistensi ijmak sebagai metode ijtihad. Salah satu argumen yang
dikemukan oleh kelompok pertama ialah bahwa kesepakatan sekelompok orang untuk
memakan suatu jenis makanan dalam suatu waktu dan di tempat yang sama merupakan
hal yang bias terjadi. Dengan demikian, jika mereka mempunyai kesamaan pendapat
tentang hukum suatu masalah, juga merupakan hal yang biasa terjadi. Apa lagi
jika hal itu diusahakan secara gigih. Suatu hal yang tak biasa dimungkiri, bahwa
segenap manusia cenderung kepada kebenaran. Kalau demikian halnya, tidak tertutup kemungkinan kalau
mereka sepakat atas suatu kebenaran. Dari itu Nabi saw. Menyatakan: ”tidak akan
bersepakat umatku atas kesesatan.”(H.R.al-Thabarani dari Ibn’Umar).
Sedangkan
kelompok kedua menolak terjadinya ijma’. Menurut kelompok ini, untuk mencapai
kesepakatan seperti disebutkan dalam definisi ijma’ adalah suatu hal yang sulit
untuk diwujudkan. Kesulitan itu disebabkan beberapa faktor, antara lain: 1)
Sulit menentukan siapa yang mujtahid dan yang bukan mujtahid. Sering seseorang
yang dipandang memiliki pengetahuan yang memadai tentang hukum islam, tetapi
belum mencapai peringkat mujtahid, dan tidak jarang pula ada orang yang
dipandang belum mencapai peringkat mujtahid, tetapi sebenarnya ia telah
memiliki syarat-syarat sebagai mujtahid. Kesulitan demikian memang wajar,
karena ilmu bukan bersipat konkret, tetapi abrak, karena susah untuk membedakan
antara orang berilmu dan orang tidak berilmu. 2) Luasnya wilayah dunia islam
juga merupakan kendala tercapainya ijma’. Sebab, untuk mengumpulkan segenap
mujtahid dari wilayah dunia islam yang luas itu adalah suatu hal yang sukar
dilakukan. 3) Berbedanya keadaan suatu wilayah dengan wilayah lain dalam dunia
islam merupakan kesulitan tersendiri pula untuk mencapai kesepakatan hukum atas
suatu masalah. Karena perbedaan suasana suatu wilayah dengan wilayah yang lain
akan menimbulkan perbedaan cara berpikir. Perbedaan demikian tidak boleh ada
dalam suatu ijmak. Al-Syaukani tidak berkomentar apa-apa tentang kedua
pandangan tersebut, tetapi ia menjelaskan bahwa ijma’ para sahabat merupakan
hal yang dapat terima oleh segenap ulama, karena pada masa itu kaum muslimin
masih berdomisili dalam batas-batas wilayah yang memungkinkan berkumpulnya para
mujtahid untuk melakukan suatu kesepakatan tentang hukum suatu masalah.
Kendati
terdapat kemungkinan bagi para sahabat untuk melakukan kesepakatan atas hukum
suatu kasus, al-Syaukani menyebutkan bahwa tidak ada riwayat yang menyebutkan
adanya ijma’ sahabat. Apa yang biasa yang disebut sebagai ijma sahabat hanya
berupa kesepakatan sebagian sahabat atas hukum suatu peristiwa yang mereka
hadapi.
Disamping
bentuk ijmak yang lazim dikemukakan oleh para ulama,seperti yang disebutkan
diatas, al-Syaukani mengemukakan pula kemungkinan adanya ijma’ yang terbatas
dikalangan para ilmuan dalam berbagai cabang ilmu, sesuai dengan cabang ilmu
yang ditekuni oleh ilmuan tersebut, seperti nahwu, saraf, ilmu kalam, ilmu
tafsir, ilmu hadits, ilmu ekonomi, ilmu pendidikan, dan sebagainya. Apa yang
dikemukakan al-Syaukani diatas, kendati tidak diterima oleh sementara ulama
karena tidak memenuhi kriteria ijma’ secara umum, mempunyai arti penting dalam
memecahkan suatu masalah hukum.sebab, permasalahan hukum yang muncul dalam
masyarakat mempunyai kaitan dengan berbagai cabang ilmu misalnya masalah
reksadana, terkait dengan ilmu perbangkan, masalah cloning, terkait dengan
bioteknologi, dan sebagainya. Bila terdapat kesepakatan dalam cabang-cabang
ilmu pengetahuan,seperti yang disebut itu, hal demikian akan mempermudah
pemecahan hukum yang terkait dengan cabang ilmu tersebut.
Al-Syaukani,
sebagai mana para ulama ushul fiqih yang lain, memasukkan qiyas sebagai metode
ijtihad. Ketika berbicara tentang definisi qiyas, al-Syaukani mengemukakan
sejumlah definisi yang telah dirumuskan oleh para ushul terdahulu, antara lain,
ia mengemukakan definisi yang dirumuskan oleh al-Baqillani (wafat tahun 403H) bahkan yang
dikatakan qiyas adalah “membawa (menghadapkan) suatu ma’lum (objek yang
diketahui) kepada objek yang lain, guna untuk menetapkan atau menegaskan hukum
bagi keduanya dengan memperhatikan ‘illa hukum dan sipatnya.
Al-Syaukani
juga mengemukakan definisi yang dirumuskan oleh Abu al-Husain al-Basri (wafat tahun 436 H), yang mendefinisikan qiyas adalah: “penerapkan hukum yang terjadi pada ashl
(pokok) kepala far’un
(cabang),
karena terdapat kesamaan ‘illah hukum diantara keduanya.
Selain
kedua definisi tersebut, al-Syaukani juga menyebutkan sepuluh definisi lain
yang dikemukakan oleh para ushuli (ulama ushul fiqih) tentang qiyas. Bertolak
dari definisi-definisi tersebut, al-Syaukani sendiri merumuskankan definisi
lain, yang berbunyi :”upaya mengeluarkan hukum atas sesuatu yang belum ada
hukumnya sebanding dengan sesuatu yang telah ada hukumnya, dengan memperhatikan
kesamaan illah antara keduanya. Dari
definisi terakhir itu, al- syaukani menyimpulkan adaya empat unsure utama dalam
qiyas, yaitu: (1) hukum yang
telah ditetapkan allah sejak azal, yang dikatakan oleh Al-Syaukani melalui kutipan
dari imam al- haramain sebagai
sesuatu yang kadim; (2) sesuatu yang telah diketahui hukumnya dan dijadi kan
sebagai patokan untuk menentukan hukum yang lain, yang disebut ash (pokok).
(3) sesuatu yang belum ada hukumnya dan akan ditetapkan hukumnya, yang disebut far’ un (cabang), kedua unsur tersebut
disebut oleh al-Syaukani sebagai dua hal yang baru (haditsan). (4) sesuatu yang
mengabungkan pokok dan cabang, yang disebut ‘illah.
ketika
membicarakan rukun qiyas, ia mengemukakan urutan unsur-unsur qiyas itu sebagai
berikut:(1) ashl; (2) far’;(3) ‘illah; dan (4) hukum.
Selanjutnya,
al-Syaukani menjelaskan bahwa tidak ada perbedaan pendapat dikalangan ummat
islam dalam menerapkan qiyas untuk hal-hal yang bersifat duniawi. Akan tetapi
para ulama ushul berbeda pendapat tentang qiyas syar’I yang diterapkan dalam
mengambil keputusan hukum atas suatu kasus.
Mayoritas
Sahabat, Tabiin, Fuqaha’ (ahli fiqih), dan ulama kalam memandang qiyas sebagai
salah satu dasar syariat dan dipandang sebagai salah satu metode ijtihad.48
Akan
tetapi, al-Nazhzham, Dawud al-zhahiri dan syi’ah Imamiyyah tidak mengakui
otoritas qiyas sebagai metode ijtihad. Al-syaukini
telah memaparkan diskusi panjang antara kedua kelompok itu dengan alasan-alasan
yang mereka kemukakan dalam karyanya irsyad al-Fuhur. dimana alasan
kelompok pertama ialah ayat Kitab suci, Artinya:“Maka ambillah kejadian itu
untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan.” (QS.
Al-Hasr: 2).
Kelompok
pertama mengambil ayat di atas sebagai alasan dengan mengemukakan bahwa kata
al-I’tibar adalah suatu bentuk derivasi dari kata al-‘Ubur yang berarti al-Mujawazah
(melampaui, melewati). Seseorang yang melewati sungai mengatakan, (saya
melewati sungai). Air mata yang keluar darikelopak mata disebut ‘ibrah,
karena telah melewati atau melampaui kelopak mata. Qiyas pun sama dengan kedua
hal di atas, yakni lewatnya hukum ashl sehingga mencapai far’.
Dengan demikian, maka makna ayat itu adalah: Jadikanlah olehmu (kejadian itu)
sebagai qiyas, hai orang-orang yang mempunyai mata hati. Akan tetapi, kelompok
kedua membantah argumen tersebut. Menurut mereka, kata al-I’tibar dalam
ayat di atas bukan mengandung makna qiyas, tetapi berarti iktibar, yakni
mengambil pelajaran dari peristiwa yang terjadi. Dan menurut mereka inilah
makna hakiki dari kata i’tibar. Al-Syafii
dari kelompok pertama mengemukakan alasan lain, yakni ayat yang Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu
sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka
dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang
dibunuhnya, (QS. Al-Ma’idah:95).
Menurut
kelompok pertama, menyamakan binatang peliaraan dengan binatang buruan dalam
membayar dam (denda) ihram haji merupakan suatu bentuk qiyas. Dengan patokan
demikian, orang dapat menyamakan suatu kasus dengan kasus lain, yang telah ada
hukumnya, jika keduanya memiliki segi-segi kesamaan. Kelompok kedua memandang
ayat itu bukan mengandung makna qiyas, tetapi hanya sekedar menunjukkan cara
membayar dam jika seseorang yang sedang ihram membunuh binatang liar, yakni
dengan menyembelih binatang piaraan
yang seimbang dengan binatang yang dibunuh. Dari berbagai alasan yang
dikemukakan oleh kedua pihak, akhirnya al-Syaukani cenderung menolak qiyas,
jika ‘illah qiyas tersebut tidak terkandung di dalam nash (ghair manshushah).
Sedangkan qiyas yang manshushah dapat diterima oleh al-Syaukani sebagai
metode ijtihad hukum. Kendati demikian, ia cenderung untuk mengatakan bahwa
bentuk qiyas yang terakhir itu sebenarnya adalah berupa makna tersirat dari
nas. Tegasnya, al-Syaukani dapat menerima qiyas sebagaimana metode ijtihad
dalam tiga bentuk, yaitu: 1) Qiyas yang ‘illah-nya dikandung oleh nash itu
sendiri secara nyata. Sebagai contoh, dalam sebuah hadits, Nabi SAW, melarang
menyimpan daging kurban untuk kepentingan al-Daffah (para tamu dari perkampungan
Badui yang datang ke kota Madinah, yang membutuhkan daging), tetapi setelah
tamu-tamu itu pulang, Nabi membolehkan menyimpan daging kurban. Dalam hadits
tersebut, Nabi SAW menunjukkan ‘illah larangan menyimpan daging kurban,
yaitu untuk kepentingan masyarakat Badui yang membutuhkan daging. Lalu, ketika
‘illah itu habis, Nabi membolehkan menyimpan daging kurban itu. Dari hadits itu
dapat diqiyaskan bahwa tidak boleh menumpuk bahan makanan selama bahan makanan
itu dibutuhkan masyarakat umum. 2) Dapat
dipastikan bahwa tidak ada perbedaan antara ‘illah yang dikandung oleh
ashl dan yang dikandung oleh far’ (maqatha’ fih bi-nafy Al-fariq).
Atau dengan kata lain, terdapat kesamaan ‘illah yang ada pada ashl dengan
‘illah yang ada pada far’. Sebagai contoh, terdapat kesamaan antara ‘illah memabukkan
pada khammar sebagai ashl dengan sifat memabukkan pada minuman-minuman
keras yang lain sebagai far’.3) Qiyas yang berbentuk mafhum muwafaqah
(makna yang tersirat dari suatu teks sama hukumnya dengan yang ditunjukkan
oleh redaksi teks itu sendiri). Mafhum muwafaqah mempunyai dua bentuk.
Pertama, disebut fahwa al-Khithab, yaitu apabila makna yang dipahami lebih
utama hukumnya daripada yang tertulis. Seperti, memukul orang tua lebih buruk
dan lebih berat hukumannya dari mengeluarkan kata-kata keji kepadanya,
berdasarkan
firman Allah: “Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya
perkataan “ah”. (QS. Al-Isra’:23). Kedua, disebut lahn Al-khithab, yaitu
apabila makna yang tersirat sama dengan yang redaksi tertulis. Seperti,
membakar harta anak yatim sama hukumannya dengan memakannya, berdasarkan firman
Allah: “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara aniaya,
sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya.” (QS. An-Nisa:10). Dari
kajian di atas kelihatan bahwa al-Syaukani tidak menafikan qiyas sama sekali,
tetapi tidak dapat pula menerima segala bentuk qiyas. Baginya, tidak semua
aturan syari’at ditetapkan karena ‘illah, kecuali yang telah ditegaskan
oleh nash ‘illah-nya. Bila dilihat pembagian qiyas, maka al-Syaukani
dapat menerima qiyas yang disebut dengan al-Qiyas al-Jali, yang
didalamnya terdapat kesamaan ‘illah antara ashl dan far’.
Di dalam qiyas jall ini tercakup dua bentuk qiyas: (1) al-Qiyas al-Awlawi,
yakni qiyas yang ‘illah pada far’-nya lebih kuat daripada ‘illah
pada ashl; (2) qiyas al-musawi, yakni qiyas yang ‘illah pada
far’-nya sama kuat dengan ‘illah pada ashl. al-Syaukani tidak
dapat menerima al-Qiyas al-Khafi. Yakni qiyas secara pasti terdapat
kesamaan ‘illah yang terdapat di dalam far’-nya dengan yang
terdapat di dalam ashl (ma lam yaqtha ‘bi-nafy Al-fariq). Qiyas
bentuk ini identik dengan al-Qiyas al-Adna, yakni qiyas yang ‘illah pada
far’-nya lebih lemah daripada ‘illah pada ashl. Dengan
demikian, maka pandangan al-Syaukani dalam hal ini sama dengan pandangan
al-Syafii.
5. Istishab[28]
Imam al-Syaukani memulai membicarakan
istishab dengan mengemukakan definisinya, yang menurut al-Syaukani adalah: “apa
yang telah ditetapkan (hukumnya) pada masa lalu, pada dasarnya, masih dapat
dilestarikan pada masa yang akan datang selama tidak didapati sesuatu yang
mengubahnya.” Dalam menetapkan boleh atau tidaknya istishhab sebagai metode
ijtihad ketika tidak ada dalil al-Qur'an dan Sunnah, al-Syaukani mengemukakan
tujuh pendapat ulama ushul, yaitu:
Pertama,
istishhab dapat dijadikan sebagai alasan hukum secara mutlak. Inilah pendapat
ulama Malikiyyah, mayoritas ulama Syafi’iyyah, ulama Hanabilah, dan ulama
Zhahiriyyah. Kedua, istishhab tidak dapat dijadikan sebagai alasan hukum,
karena untuk menetapkan suatu hukum harus dengan dalil hukum yang ditetapkan
pada masa lalu tanpa dalil, tidak dapat dilestarikan sampai sekarang, dan mujtahid
sekarang harus berijtihad menetapkan hukumnya dengan metode-metode lain. Inilah
pendapat mayoritas ulama Hanafiyyah dan ulama kalam, di antaranya Abu al-Husain
Al-Bashri. Ketiga, istishhab hanya dapat berlaku dalam hubungan seseorang
mujtahid dengan Tuhannya, karena ketika seseorang mujtahid tidak mendapatkan
dalil suatu hukum, maka hukum yang telah ada merupakan rujukan maksimal
baginya, tetapi itu hanya berlaku sebagai pegangan bagi mujtahid itu sendiri,
bukan sebagai alasan (hujjah) dalam penetapan hukum.
Keempat,
istishhab hanya dapat diberlakukan untuk menafikan hukum suatu kasus, bukan
untuk menetapkan hukumnya. Disebutkan oleh al-Kayya bahwa inilah pendapat ulama
Muta’akkhirin Hanafiyyah. Kelima, istishhab hanya dapat dipakai untuk
men-tarjih hukum suatu kasus. Menurut Abu Ishaq, inilah pendapat yang sah dari
Al-Syafii, tetapi Al-Syafii tidak menggunakannya sebagai alasan hukum. Keenam,
istishhab boleh dipakai secara mutlak untuk menafikan suatu hukum, tetapi jika
dipakai untuk menetapkan hukum baru, dalam hal ini ada yang membolehkan dan ada
yang memandang tidak boleh, tergantung pada bentuk istishhab yang ingin
diterapkan. Al-Syaukani memandang istishhab merupakan salah satu metode ijtihad
untuk mendapatkan suatu ketentuan hukum. Akan tetapi, ia tidak dapat menerima
segala bentuk istishhab. Ia hanya menerima dua bentuk istishhab, yaitu: 1)
Istishhab yang ditunjukkan oleh akal dan syara’ kebolehan elestarian dan pemberlakuannya. Seperti,
seseorang yang telah melakukan nikah secara sah, kemudian si suami meninggalkan
istrinya dalam jangka waktu yang lama. Isteri masih tetap dipandang mempunyai
ikatan pernikahan dengan suaminya, selama suami tidak menceraikannya. Dari itu,
isteri tidak boleh kawin dengan lelaki lain, kendati suaminya telah lama meninggalkannya.
2) Istishhab Al-‘adam Al-ashli atau disebut juga Bara’an al-Dzimmah,
yaitu yakni kebebasan asli yang dimiliki oleh manusia. Seperti, kebebasan manusia
dari suatu taklif syarak sebelum ada dalil yang menunjukkan adanya taklif
tersebut. Dari itu, ditetapkan hukum, tidak ada salat fardu yang keenam, karena
tidak ada dalil yang mewajibkannya
6. Istihsan[29]
Para
ulama usul fikih berbeda pendapat dalam melihat apa yang dimaksud dengan
istihsan. Al-Syaukani menyebutkan beberapa definisi yang dirumuskan oleh para
ulama dalam karyanya Insyad al-Fuhul,55 tanpa
menyebutkan perumusannya. Antara lain, ada yang menyebutkan bahwa istihsan
adalah “dalil yang tergores (tekesan) di dalam jiwa seseorang mujtahid, yang
tidak mampu diungkapkannya.” Ada yang mengatakan, “istihsan ialah pindah dari
suatu bentuk qiyas kepada qiyas yang lebih kuat.” Ulama ushul yang lain
memberikan definisinya: “Pindah dari ketentuan dalil kepada adat, demi
kemaslahatan manusia.” Suatu rumusan definisi
istihsan yang dikatakan berasal dari Abu Hanifah berbunyi: Istihsan ialah
mentakhshishkan qiyas dengan yang lebih kuat daripadanya.”
Bertolak
dari definisi yang berbeda-beda itu, kemudian terjadi pula perbedaan pendapat
dalam menetapkan istihsan sebagai metode ijtihad. al-Syaukani telah menjelaskan
masing-masing definisi tersebut. Definisi pertama disebutnya sebagai definisi
yang meragukan, karena lafal yang qadih dapat bearti yutahaqqad
tsubutuhu (direalisasikan ketepatannya) dan dapat pula berarti syak
(membingungkan) untuk diterima sebagai dalil atau ditolak. al-Syaukani
mengatakan, jika pengertian pertama yang dipakai, maka istihsan dapat diterima,
tetapi jika pengertian kedua yang dipakai, maka dalil itu tidak dapat dipakai.
7. Istislah[30]
Al-Syaukani
tidak menyebutkan definisi istishlah atau mashlahah mursalah karena
dipandangnya telah cukup jelas karena lafal mashlahah sudah lazim dipakai dalam
masyarakat, namun ketika membicarakan munasabah dalam mencari ‘illah qiyas
ia melihat bahwa maslahah itu sebagai suatu yang cocok bagi manusia, karena membawa
manfaat dan menjauhkana dari mudarat. Ia
menyebutkan juga bahwa ;istilah istihlah disebut oleh imam al-Haramain al-
Juwaini dan ibn al-Sam’ani dengan istilah al-Isti’dal, sementara ulama
ushul yang lain menyebutnya Al-istidlal Al-mursal. Al-syaukani melihat
ada empat pendapat ulama dalam memakai istihlah sebagai metode ijtihad, yang
masing-masing pendapat itu adalah seperti dibawah ini. Pertama, ulama yang
tidak memakai istishlah secara mutlak. Pendapat ini menurut al-Syaukani
dipegang oleh jumhur ulama ushul. Akan
tetapi, menurut penelitian Wahbah al-Zuhaili dan Husain Hamid Hassan apa yang
disebutkan oleh al-Syaukani itu tidak sepenuhnya benar. Memang jumhur ulama
tidak secara jelas menyebut istilah sebagai metode ijtihad atau dalil hukum,
tetapi mereka memasukkannya sebagai bagian dari dalil-dalil yang lain. Abu
Hanifah memasukkannya dalam pembicaraan tentang qiyas, khususnya dalam
membicarakan masalik Al-‘illah.
Kedua,
pendapat yang menerapkan istishlah secara mutlak. Inilah pendapat yang dipegang
oleh Malik. Akan tetapi, kata al-Syaukani, sekelompok ulama malikiyyah menolak
menisbahkan kepada malik sebagai pemakai istilah tanpa batas. Tuduhan tersebut
tidak beralasan, karena tidak ditemukan dalamkarya-karya Malik dan ashhab
teman-temannya pemakaian istishlah secara bebas. Akan tetapi, yang memakai
istishlah secara liberal sebagai dikatakan oleh Mushthafa Zaid ialah Najm
al-Din al-Thufi, salah seorang pengikut Mazhab Hanbali. Menurutnya, inti dari
segenap ajaran Islam yang dikandung oleh nas adalah kemaslahatan manusia. Oleh
sebab itu, segenap bentuk kemaslahatan disyariatkan dan kemaslahatan tersebut
tidak perlu didukung oleh nash atau kandungannya. Maslahah merupakan dalil
syara’ yang mandiri. Ketiga, pendapat yang membolehkan memakai istishlah sebagai
dalil jika mula’imah (sesuai) dengan ashl al-kulli (prinsip umum)
dan ashl juz’i (prinsip parsial) dari prinsip-prinsip syari’at. Pendapat
ini seperti dikutip oleh al-Syaukani dari Ibn Burhan al-Juwaini dipegang oleh
al-Syafii dan mayoritas ulama Hanafiyyah. Keempat,
pendapat yang dapat menerima istishlah dengan tiga syarat, yaitu: (1) terdapat
kesesuaian mashlahah dengan maksud syara’ dan tidak bertentangan dengan dalil
yang qath’i; (2) mashlahah tersebut dapat diterima oleh akal sehat; (3)
mashlahah bersifat dharuri, yakni untuk memelihara salah satu dari: agama,
akal, keturunan, kehormatan, dan harta benda. Pendapat ini menurut al-Syaukani
dipegang oleh al-Ghazali dan al-Baidawi. Al-Syaukani
sendiri membolehkan memakai istislah dalam bentuk terakhir diatas. Menurutnya,
syariat agama bukanlah hasil dari rekayasa otak manusia yang serba terbatas,
tetapi bersumber dari wahyu ilahi yang mutlak. Kendati demikian, para ulama
dapat menerapkan wahyu itu dalam konteks masyarakat yang dihadapinya. Akan
tetapi, mereka tidak boleh lepas sama sekali dari kandungan wahyu. Dalam hal
pemakaian mashlahah mursalah (kemaslahatan yang lepas dari konteks nas),
al-Syaukani setuju dengan apa yang dikatakan oleh ibn Daqiq al-‘Id: “saya tidak
menolak al-Mashalih, tetapi merasa keberatan dengan al-Istirsal (lepas,
tanpa konteks dengan nas). Untuk merealisasikan yang demikian diperlukan
ketajaman nalar, karena diragui menyimpang dari batasan syari’at.
Dari
kutipan itu terlihat bahwa al-Syaukani kurang setuju dengan pemakaian mashlahah
mursalah sebagai metode ijtihad. Kalau pun ada peluang untuk memakainya, tentu
dengan batas-batas yang ketat, pertimbangan yang mendalam, dan melihat
perspektifnya jauh kedepan
8. Sad al-Zariah[31]
Al-Syaukani
memberi definisi dzari’ah dengan “masalah (sesuatu) yang dilihat secara
lahir adalah mubah (boleh), tetapi membawa kepada perbuatan yang terlarang.
Definisi
tersebut mirip dengan definisi yang dirumuskan oleh al-Syathibi, yakni: “Segala
yang membawa kepada sesuatu yang terlarang, yang mengandung mafsadah
(kerusakan).” Dari definisi ini muncul istilah sadd
Al-dzari’ah (menutup sarana kepada kejahatan). Akan tetapi, Ibn Qayyim
al-Jauziyyah memberikan definisi yang berbeda dari definisi al-Syaukani dan
al-Syathibi. Menurutnya, dzari’ah ialah sesuatu yang menjadi wasilah (sarana)
dan thariq (jalan) kepada yang lain.” Definisi
Ibn Qayyim ini disetujui oleh Wahbah al-Zuhaili. Dari
definisi kedua ini muncul dua istilah: (1) sadd al-dzari’ah, yakni
menutup sarana (kepada kejahatan); dan (2) fath al-dzari’ah, yakni membuka
sarana kepada kebaikan. Al-Syaukani mengutip ucapan al-Baji bahwa sadd
al-dzari’ah ini dipegang oleh Malik, sementara Abu Hanifah dan al-Syafii
menolak menggunakannya. Akan tetapi, Wahbah
Al-Zuhaili menyebutkan bahwa Abu Hanifah dan al-Syafii dalam kondisi-kondisi
tertentu juga menggunakan sadd aldzari’ah. Sedangkan Ahmad ibn Hanbal
memakainya seperti Malik. Akan tetapi, Ibn Hazm menolak memakainya secara
keseluruhan. Ibn al-Rifah, seperti dikutip al-Syaukani, dapat menerima sadd
aldzari’ah, tetapi tergantung pada bentuk dzari’ahnya. Dalam hal ini, ia
membagi dzari’ah menjadi tiga bentuk: (1) sesuatu yang secara pasti akan
membawa kepada yang haram (terlarang), maka hukumnya haram pula, dan di sini
berlaku sadd al-dzari’ah; (2) sesuatu yang secara pasti tidak membawa
kepada yang haram, tetapi tercampur dengan sesuatu yang dapat membawa kepada
yang haram, di sini diperlukan kehati-hatian dengan memperhatikan
kebiasaan-kebiasaan menyangkut hal tersebut, kalau biasanya akan membawa kepada
yang haram, maka perlu diterapkan sadd al-dzari’ah, tetapi jika hal
tersebut jarang membawa kepada yang haram, tidak perlu diterapkan sadd
al-dzari’ah, karena kalau
diterapkan, maka sudah dipandang berlebih-lebihan; (3) sesuatu yang
mengandung kemungkinan membawa kepada haram, dan dalam dzari’ah dalam hal ini
terdapat beberapa peringkat, jika berat kepada yang haram, maka harus
diberlakukan sadd al-dzari’ah, tetapi jika berat kepada yang mubah, maka
sadd al-dzari’ah tidak perlu diterapkan, karena dianggap berlebih-lebihan.
Tegasnya
al-Syaukani dapat menerima sadd al-dzari’ah sebagai salah satu metode
ijtihad dan dapat dijadikan dalil dalam menetapkan hukum.
Alasannya,
antara lain, ialah ayat kitab suci, artinya:
“dan
janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena
mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan”. (QS.
Al-An’am:108).
V.
KESIMPULAN
Epistimologi hukum
islam yang ditawarkan dalam kitab irsyadul fuhul karya imam al-Syaukani,
mencakup dua metode besar.
Pertama
method ijtihad dengan pendekatan kaidah-kaidah kebahasaan, Pendekatan Maqashid
syariah, Pendekatan tarjih. Hal ini jika ada suatu peristiwa hukum, sumber
hukum berupa al-qur’an dan atau sunnah ada namun secara tektual terlihat ada ta’arud
antara pertentangan antara dua sumber hukum rujukan atau lebih.
Metode
kedua, yaitu suatu peristiwa hukum terjadi namun di dalam nash al-qur’an dan
atau sunnah Nabi SAW tidak ada dalilnya, maka menggunakan metode al-ijma’,
al-qiyas, al-istishab, al-istihsan, al-istislah dan syad al-dzariah.
[1] Muhammad Ali Al-Syaukani, Irsyadul
Fuhul Ila Tahqiqi Min Ilmil Wushul, Juz I., Dar Al-Fadhilah, Riyadh, Juz
I., 2000, Hal. 13.
[2] Ibid., hal 14.
[3] Ibid. hal. 14-15
[4] Ibid. hal 16
[5] Ibid.18-19.
[6] Muhammad Ali
Al-Syaukani, Irsyadul Fuhul Ila Tahqiqi Min Ilmil Wushul, Juz I., Dar
Al-Fadhilah, Riyadh, Juz II., 2000, hal. 1025-1026
[7] Ibid.
[8] Ibid, hal. 1026-1035
[10] Ibid.
[11] Ibid. hal.1031
[12] Ibid.
[13] Ibid. hal.1031-1032
[14] Ibid. hal. 1032
[15] Ibid. hal. 1033
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18] Ibid.
[19] Ibid.
[20] Ibid.
Comments
Post a Comment