ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERDATA DAN PENERAPANNYA DI PENGADILAN AGAMA (SESI KE-1)

 Asas-asas yang berlaku di lingkungan peradilan agama adalah melekat secara menyeluruh terhadap batang tubuh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah mengalami perubahan kedua berupa Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009. Oleh karena asas-asas tersebut melekat pada keseluruhan batang tubuh, maka menjadi fondamentum umum dan pedoman umum dalam melaksanakan penerapan seluruh jiwa dan semangat undang-undang. Asas dapat dikatakan sebagai sebagai karakter yang melekat pada keseluruhan rumusan pasal-pasal. Sehingga pendekatan penafsiran, penerapan dan pelaksanaannya tidak boleh menyimpang dan bertentangan dengan jiwa dan semangat yang tersurat dan tersirat dalam setiap asas tersebut.

Di antara asas-asas yang berlaku di lingkungan peradilan agama adalah sebagaimana asas-asas yang berlaku di lingkungan peradilan umum kecuali yang secara khusus termuat dalam batang tubuh peraturan perundang-undangan yang berlaku di lingkungan peradilan agama. Adapun di antara asas-asas yang berlaku di lingkungan peradilan agama adalah :

1. Asas Ketuhanan 

Peradilan Agama dalam menerapkan hukum terhadap perkara ekonomi syari’ah selalu berpedoman pada sumber hukum agama Islam dan hukum-hukum lain yang tidak berlawanan dengan prinsipprinsip hukum Islam, sehingga tiap putusan dan penetapan harus dengan kalimat BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM diikuti dengan irahirah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” (Pasal 57 UU No. 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama jo. Pasal 3 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

2. Asas Personalitas Islam dan Penundukan Diri.

Sebagaimana Pasal 2 UU No. 50 Tahun 2009 bahwa Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu, sebagaimana diatur dalam Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 tentang Amandemen UU No. 7 Tahun 1989 tentang peradilan yang meliputi perkara Perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari’ah.

3. Asas Kebiasaan

Asas ini merupakan asas paling sentral dalam kehidupan peradilan. Sebab peradilan diselenggarakan secara merdeka, bebas dari campur tangan pihak kekuasaan negara lainnya dan kebebasan dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang datang dari pihak ekstra yudisial kecuali dalam hal yang diijinkan undang-undang (Pasal 24 UUD 1945 jo. Pasal 1 UU No. 48 Tahun 2009).

4. Asas Menunggu

Inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak dalam perkara di lingkungan peradilan agama adalah diserahkan sepenuhnya kepada pihak yang berkepentingan, dengan kata lain dikenal dengan asas “nemo judex sine actor / Judex ne pralebat ex officio”/ who kein klanger ist, ist kein richter (kalau tidak ada penuntutan maka tidak ada hakim). Namun demikian, sekali perkara diajukan kepadanya, hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadilinya, meskipun dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas (Pasal 16 (1) UU No. 4 Tahun 2004 jo. Pasal 56 UU No. 7 Tahun 1989.

5. Asas Pasif

a. Ruang lingkup perkara di lingkungan peradilan agama ditentukan oleh para pihak berperkara, bukan oleh hakim. Hakim hanya membantu para pencari keadilan (justiciable) untuk tercapainya keadilan (Pasal 5 (2) UU No. 4 Tahun 2004). Sebagai contoh, diakhirinya suatu perkara dengan cara damai atau pencabutan gugatan (Pasal 130 HIR/154 RBg). b. Hakim tidak boleh menjatuhkan atas perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih dari yang dituntut (Pasal 178 ayat (2) dan (3) HIR atau Pasal 189 ayat (2 dan 3) RBg.). c. Hakim tidak boleh menghalang-halangi kepada para pihak bila para pihak yang berperkara akan mencabut perkaranya (Pasal 138 HIR atau 154 RBg). d. Upaya hukum banding diseranhkan sepenuhnya kepada para pihak, bukan hakim (Pasal 199 RBg). e. Mengenai pembuktian, hanya peristiwa yang disengketakan saja yang harus dibuktikan, hakim terikat pada peristiwa yang menjadi sengketa yang diajukan oleh para pihak dan para pihaklah yang diwajibkan untuk membuktikan, bukan hakim. Asas ini disebut “Verhandlungs maxime”. f. Pengertian pasif bukan berarti hakim tidak aktif sama sekali tetapi hakim harus aktif memimpin pemeriksaan perkara. Oleh karena itu hakim berhak: 1) Memberikan nasehat kepada para pihak (pasal 119 HIR atau Pasal 143 RBg.). 2) Hakim berhak menunjukkan upaya hukum dan memberikan keterangan secukupnya kepada para pihak (Pasal 132 HIR atau Pasal 156 RBg).   

Selanjutnya di lanjutkan sesi ke-2......,



Comments

Popular posts from this blog

HADITS-HADITS AHKAM TENTANG JUAL BELI (SALE AND PURCHASE)

SHUNDUQ HIFZI IDA’ (SAFE DEPOSIT BOX) BANK SYARI’AH

STUDI TENTANG PEMIKIRAN IMAM AL-SYAUKANI DALAM KITAB IRSYAD AL-FUHUL