HADITS-HADITS AHKAM TENTANG JUAL BELI (SALE AND PURCHASE)
Oleh
Nur
Moklis
I.
Pendahuluan
Transaksi jual
beli memiliki cakupan luas dan umum, subjek hukum (المحكوم عليه ) baik person
dan atau badan hukum dapat melakukan transaksi jual beli dalam skala kecil,
sedang dan atau besar. Transaksi jual beli dapat terjadi oleh person dengan
person, person dengan badan hukum atau sebaliknya dan atau badan hukum dengan
badan hukum.
Pada makalah
ini Penulis akan menujuk istilah khusus dalam transaksi jual beli dengan istilah
“pembiayaan”. Istilah tersebut sangat populer dalam berbagai produk
perbankan syariah dan penulis menggunakan terma tersebut sekedar untuk
mempermudah gambaran aplikatif dalam praktik sehari-hari yang sering digunakan
masyarakat.
Dalam
pembiayaan dengan prinsip jual beli (bai’) biasanya menggunakan tiga
jenis akad, yaitu akad murabahah, akad salam dan akad
istishna’.[1]
Berikut
dibawah ini akan dikaji tentang hadits-hadits ahkam tentang tema pokok jual beli yang meliputi murabahah,
salam dan istishna’.
II. Hadits Tentang Jual Beli (Sale And Purchase)
A.
Hadits tentang murabahah
1.
Pengertian murabahah
Akad murabahah
merupakan akad jual beli yang disepakati antara Bank syariah[2]
dengan nasabah, dimana bank menyediakan pembiayaan untuk pembelian bahan baku
atau modal kerja lainnya yang dibutuhkan nasabah, yang akan dibayar kembali
oleh nasabah sebesar harga jual bank (harga beli bank dari pemasok ditambah
margin keuntungan) pada waktu yang ditetapkan sesuai kesepakatan.[3] Kepemilikan barang akan berpindah dari
bank kepada nasabah segera setelah akad jual beli ditandatangani. Dalam hal
bank mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang (wakalah), maka akad
murabahah harus dilakukan setelah barang secara prinsip menjadi milik
bank.
Dalam akad murabahah, cara
pembayaran dan jangka waktunya disepakati oleh kedua belah pihak, dapat
dilakukan secara langsung ataupun angsuran secara proporsional, dan bank
berwenang meminta nasabah untuk menyediakan jaminan untuk mengantisipasi resiko
apabila nasabah tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimuat dalam akad. Bank
juga dapat meminta pembayaran uang muka (urbun) oleh nasabah saat awal
akad. Selama akad jual beli belum berakhir, harga jual beli tidak boleh
berubah, bila terjadi perubahan maka akad menjadi batal. Pada umumnya sering
dilakukan dalam pembiayaan perumahan (KPR).
Bank Indonesia melalui Surat Edaran
Nomor 10/14/DPbS tanggal
17
Maret 2008 menyatakan bahwa dalam kegiatan penyaluran dana dalam bentuk
pembiayaan atas dasar akad murabahah berlaku persyaratan paling kurang
sebagai berikut:[4]
a)
Bank bertindak sebagai pihak
penyedia dana dalam rangka membelikan barang terkait dengan kegiatan
transaksi murabahah dengan
nasabah sebagai pihak pembeli barang.
b)
Barang adalah obyek jual beli
yang diketahui secara jelas kuantitas,
kualitas, harga perolehan dan spesifikasinya.
c)
Bank wajib menjelaskan kepada
nasabah mengenai karakteristik produk
pembiayaan atas dasar akad murabahah, serta hak dan kewajiban nasabah
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi informasi
produk Bank dan penggunaan data pribadi nasabah.
d)
Bank wajib melakukan analisis
atas permohonan pembiayaan atas dasar akad murabahah dari nasabah yang
antara lain meliputi aspek personal berupa analisa atas karakter (character)
dan/atau aspek usaha antara lain meliputi analisa kapasitas usaha (capacity),
keuangan (capital), dan/atau prospek usaha (condition).
e)
Bank dapat membiayai sebagian
atau seluruh harga pembelian barang yang
telah disepakati kualifikasinya.
f)
Bank wajib menyediakan dana untuk
merealisasikan penyediaan barang yang dipesan nasabah.
g)
Kesepakatan atas marjin
ditentukan hanya satu kali pada awal pembiayaan atas dasar murabahah dan tidak
berubah selama periode pembiayaan,
h)
Bank dan nasabah wajib menuangkan
kesepakatan dalam bentuk perjanjian tertulis berupa akad pembiayaan atas dasar
murabahah dan
i)
Jangka waktu pembayaran harga
barang oleh nasabah kepada Bank ditentukan berdasarkan kesepakatan Bank dan
nasabah. Bank dapat memberikan potongan dalam besaran yang wajar dengan tanpa
diperjanjikan dimuka. Bank dapat meminta ganti rugi kepada nasabah atas
pembatalan pesanan oleh nasabah sebesar biaya riil.
2.
Hadits tentang Murabahah
Berikut ini Penulis kutibkan sebuah
hadis Nabi SAW:
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : إنما البيع عن تراض (رواه البيهقي وابن ماجه وصححه ابن حبان )
Artinya: Bahwa Rasulullah
saw bersabda : “Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka”. (HR
Al Baihaqi dan Ibnu Majah, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban).[5]
3.
Kandungan Hadits
Dalam al-jami’ al-shaghir wa ziyadatuh (al-fathu
al-kabir), Muhammad Nasiruddin Al-Albani menjelaskan tentang pentingnya
saling rela antara penjual dan pembeli dalam transaksi jual
beli, sebagaimana dikutip
berikut dibawah ini:
البيعُ
والشِّراءُ مِن الأُمورِ الحَياتِيَّةِ، وقد بيَّنَ الشَّرعُ ضوابطَها ووضَّحَها،
والتَّراضي مِن أهمِّ شُروطِ نَفاذِ البيعِ، وهذا الحديثُ له سبَبُ وُرودٍ، حيثُ
يقولُ أبو سعيدٍ الخُدريُّ رضِيَ اللهُ عنه: "قدِمَ يهوديٌّ بتَمْرٍ وشعيرٍ
وقد أصابَ النَّاسَ جُوعٌ"، أي: في وقْتِ مَجاعةٍ وشِدَّةٍ، فسألوه أنْ
يُسَعِّرَ لهم فأبَى"، أي: طلَبوا مِن النَّبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ
أنْ يُحدِّدَ سعرًا يُباعُ به، فرفَضَ النَّبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، وقال:
"إنَّما البيعُ"، أي: الشَّرعيُّ الصَّحيحُ المُعتَبَرُ عند الشَّارعِ، الَّذي يترتَّبُ عليه صِحَّةُ المِلْكِ هو البيعُ الصَّادِرُ، "عن تراضٍ" مِن البائعِ بإخراجِ السِّلعةِ عن
مِلْكِه، ومِن المُشتري بإدخالِه في مِلْكِه، وهذا إخراجٌ لبيعِ المُكْرَهِ، فهو
ليس بيعًا مُعتَبَرًا.
ثمَّ ذكَرَ أبو سَعيدٍ رضِيَ اللهُ عنه باقِيَ الحديثِ وما يشتمِلُ عليه مِن الخِصالِ الَّتي تُؤَدِّي إلى التَّراضي، فقال: "فصَعِدَ"، أي: النَّبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، "المِنْبَرَ، فحَمِدَ اللهَ، وأثْنى عليه، ثمَّ قال: لا ألْقيَنَّ اللهَ مِن قبْلِ أنْ أُعْطِيَ أحدًا مِن مالِ أحدٍ مِن غيرِ طِيبِ نفْسٍ؛ إنَّما البيعُ عن تراضٍ، ولكنَّ في بُيوعِكم خِصالًا، أذْكُرُها لكم، لا تَضاغَنُوا، ولا تَناجَشوا، ولا تَحاسَدوا، ولا يَسُومُ الرَّجلُ على سَوْمِ أخيه، ولا يبيعَنَّ حاضرٌ لِبادٍ، والبيعُ عن تراضٍ، وكونوا عِبادَ اللهِ إخوانًا".
ثمَّ ذكَرَ أبو سَعيدٍ رضِيَ اللهُ عنه باقِيَ الحديثِ وما يشتمِلُ عليه مِن الخِصالِ الَّتي تُؤَدِّي إلى التَّراضي، فقال: "فصَعِدَ"، أي: النَّبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، "المِنْبَرَ، فحَمِدَ اللهَ، وأثْنى عليه، ثمَّ قال: لا ألْقيَنَّ اللهَ مِن قبْلِ أنْ أُعْطِيَ أحدًا مِن مالِ أحدٍ مِن غيرِ طِيبِ نفْسٍ؛ إنَّما البيعُ عن تراضٍ، ولكنَّ في بُيوعِكم خِصالًا، أذْكُرُها لكم، لا تَضاغَنُوا، ولا تَناجَشوا، ولا تَحاسَدوا، ولا يَسُومُ الرَّجلُ على سَوْمِ أخيه، ولا يبيعَنَّ حاضرٌ لِبادٍ، والبيعُ عن تراضٍ، وكونوا عِبادَ اللهِ إخوانًا".
Artinya: Jual beli adalah kegiatan rutin
dalam kehidupan manusia, syara’ telah memberikan aturan-aturan dalam hal
tersebut. Persetujuan adalah syarat
terpenting dalam sebuah transaksi. Hadits tersebut diatas memiliki sabab
wurud ketika seorang pedagang yahudi
datang dengan membawa tamar dan syair, saat itu masyarakat dalam kondisi kelaparan
yang parah. Masyarakat meminta pada Nabi SAW untuk menetapkan harga dalam
transaksi, namun Nabi SAW menolaknya, kemudian bersabda: “Sesungguhnya
transaksi jual beli” yaitu aturan yang dianggap benar menurut Syari’, ketika
seorang Penjual menyerahkan barang yang dimiliki “secara suka rela” dan Pembeli
melakukan tanpa paksaan.
Abu
Said RA menyebutkan hadist Nabi SAW berikutnya tentang arti “saling merelakan”.
Abu Said RA berkata: Nabi SAW telah menaiki mimbar kemudian membaca tahmid.
Nabi bersabda: tidak ada kepastian Allah dengan memberikan salah satu uang dari
orang yang sama baiknya, sesungguhnya jual beli adalah saling merelakan, tetapi
dalam transaksi jual beli kalian ada keberhasilan, saya katakan hal tersebut
pada kalian semua, jangan saling dengki, jangan saling bertengkar, jangan saling hasut,
dan janganlah seseorang menawar dagangan yang sedang ditawar orang lain, dan
jangan menjual sesuatu yang tidak jelas, jual beli adalah saling merelakan.
Semoga kalian semua (menjadi) hamba-hamba Allah (yang baik).
4.
Kwalitas periwayatan hadits
Sanad
dalam hadits diatas adalah:
حدثنا العباس بن الواليد الدمشقي . حدثنا مروان بن محمد .
حدثنا عبد العزيز بن محمد , عن داود بن صاليح الدمني , عن ابيه , قال : سمعت ابا
سعيد الخدري يقول : قال رسول الله صلى لله عليه وسلم ( انما البيع عن تراض)
Artinya:
Al-Abbas bin Al walid al-Dimasqi telah
bercerita pada kami. Marwan bin Muhammad telah bercerita pada kami. Abdul Aziz
bin Muhammad telah bercerita pada kami. Dari Dawud bin Sholih al-Damani, dari ayahnya. Saya telah mendengar
Abu Said al- Al-Khudri berkata, Nabi SAW bersabda: (Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka).
Dalam
hadist ini terdapat beberapa sahabat yang meriwayatkan hadist tersebut dari
Nabi SAW, antara lain: Abdullah Bin Abbas, Abu Huiarirah, Abdullah bin Umar,
Abdullah bin Malik, Aisyah ummul mukminin, Jabir Bin Abdullah, Ali bin Abi
Tholib, Abdullah bin Mas’ud dan Abu Said al-Khudri.[6]
5.
Analisis hukum
Para ulama berpendapat Hadist diatas adalah termasuk
hadis shohih. Hadis shohih adalah yang sanadnya tersambung dengan kwalitas rawi yang adil
dan dhobit disetiap tingkatan, rowinya tidak tercela dan memiliki ingatan yang kuat.[7]
Dari segi matan, maka diperlukan beberapa di mensi
keilmuan untuk memahami matan hadist tersebut. Dalam persepektif ushul
fiqih lafadl انما pada hadits berikut:
إنما البيع عن تراض
Para ulama memiliki pendapat yang berbeda sebagaimana
termuat dalam jam’ul jawami’ sebagai berikut:
مسالة "انما" قال الامدى وابو حيان :لا تفيد
الحصر . وابو اسحاق الشيرزي والغزالي والكيا والامام الرازي
تفيد فهما . وقيل نطقا .وبالفتح الاصح ان حرح أن فيها فرع ان المكسورة .ومن
ثم أدعى الزمخشري افادتها الحصر .[8]
Artinya: Masalah "انما" menurut al-amidy dan Abu hayyan adalah tidak perlu di
perhitungkan. Menurut abu ishak a-syairazi dan al-ghazali dan al-kiya dan imam
ar-razi adalah dapat membantu pemahaman. Sebagian ulama berpendapat bahwa "انما" dengan harakat fathah lebih baik yang
didalamnya termasuk lafad "انما" yang
menggunakan harakat kasroh. Zamahsary berpendapat bahwa lafadl "انما"dibutuhkan
(untuk memahami sebuah kalam).
Terlepas
dari pendapat pada ahli dibidang ushul fiqih, jika kita menengok dalam kaidah
bahasa arab maka dapat ditemukan lafad ان
memiliki fungsi untuk menguatkan dalam sebuah kalam.
Adapun
dalil-dalil lain yang memiliki korelasi dengan Hadis diatas adalah sebagai
berikut di bawah ini:
Firman Allah QS. Al-Nisa’ (4) : 29:
يا أيها الذين أمنوا لا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل إلا أن تكون تجارة عن تراض منكم …
Artinya: Hai orang-orang yang
beriman! Janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan
jalan bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela
diantaramu …….
Firman Allah QS. Al-Baqarah (2): 275:
…… وأحل الله البيع وحرم الربا ……
Artinya:“…….Dan Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba..”
Firman Allah QS. Al-Ma’idah (5): 1:
يا أيها الذين أمنوا أوفوا بالعقود ……
Artinya: Hai orang yang
beriman! Penuhilah akad-akad itu....
Firman Allah QS. Al-Baqarah (2) : 280 :
وإن كان ذو عسرة فنظرة إلى ميسرة ….
Artinya : Dan jika (orang
berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai ia kelapangan …………
Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah:
أن رسـول الله صلى الله عليه وسلم قال : ثلاث فيهن البركة : البيع إلى أجـل والمقارضة وخلط البر بالشعير للبيت لا للبيع) رواه ابن ماجه عن صهيب(
Artinya: Bahwa Rasulullah saw
bersabda : Ada tiga hal yang mengandung berkah, jual beli tidak secara tunai,
muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan
rumah tangga, bukan untuk dijual. (HR Ibnu Majah dari Shuhaib).
Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari Amr bin Auf:
الصلح جائز بين المسلمين إلا صلحا حرم حلالا أو أحل حراما والمسلمون على
شروطهم إلا شرطاحرم حلالا أو أحل حراما
Artinya:Antara
kaum Muslimin boleh mengadakan perdamaian, kecuali perdamaian yang mengharamkan
yang halal atau menghalalkan yang haram, dan setiap muslim terikat pada
syaratnya (perjanjian yang dibuatnya) masing-masing kecuali syarat mengharamkan
yang halal atau menghalalkan yang haram. Hadits riwayat
Turmudzi dan hadits ini dishahihkannya.
Hadis Nabi riwayat Jama’ah:
مطل الغني ظلم) …… رواه الجماعة(
Artinya:Menunda-nunda
(pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kedhaliman ………
Hadis Nabi riwayat Nasa’i Abu Dawud, Ibnu Majah
dan Ahmad:
لَيُّ الْوَاجِدِ يُحِلُّ عِرْضَهُ وَعُقُوْبَتَهُ ( رواه النسائى و ابو داود وابن ماجه و أحمد)
Artinya:Menunda-nunda
(pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu menghalalkan harga diri dan
pemberian sanksi kepadanya. (HR An
Nasa’i, Abu dawud, Ibnu Majah dan Ahmad)
Hadis Nabi riwayat ‘Abd al-Raziq dari Zaid bin
Aslam:
أنه سئل رسول الله صلى الله عليه وسلم عن العربان فى البيع فأحله (رواه عبد الرازق)
Artinya: Rasulullah ditanya
tentang ‘urban (uang muka) dalam jual beli, maka beliau menghalalkannya. (HR
‘Abd ar-Raziq)
Ijma’ Mayoritas ulama tentang kebolehan jual beli
dengan cara Murabahah[9]
al-Kasani, Bada’i as-Sana’i V/220-222).
Kaidah fiqh:
الأصل في المعاملات الإباحة إلا أن يدل دليل على تحريمها
Artinya: Pada dasarnya, semua bentuk
muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkan.
Setelah diperhatikan dengan seksama tentang
kwalitas hadis dan pendapat para ulama serta dalil-dalil lain yang memiliki
korelasi dengan hadits tersebut diatas maka penulis berpendapat bahwa akad murabahah
dalam jual beli adalah sesuai dengan aturan syari’.
B.
Hadits tentang Salam
1.
Pengertian Salam
Akad salam
merupakan akad jual beli antara bank dengan nasabahnya atas suatu barang dimana
harganya dibayar oleh bank dengan segera, sedangkan barangnya akan diserahkan
kemudian oleh nasabah (produsen) kepada bank dalam jangka waktu yang telah
disepakati. Selanjutnya, bank dapat menjual kembali barang
tersebut kepada nasabah/pihak lain (pembeli) maupun kepada nasabah (produsen)
semula secara angsuran.[10]
Syarat utama dari salam adalah jenis, macam, ukuran, mutu dan jumlah
barang yang dijual harus jelas dan menguntungkan. Keuntungan diperoleh oleh
bank dari selisih harga jual barang antara bank kepada pihak lain (pembeli) dan
nasabah (produsen) kepada bank. Pada umumnya banyak dilakukan untuk pembiayaan
sektor pertanian.
2.
Hadits tentang salam
Hadits terkait
akad salam antara lain dapat ditemukan dalam Shohih Bukhori dan juga Sunan At-Titmidy
sebagai berikut dibawah ini:
Artinya: “Menunda-nunda
(pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kedhaliman ………”
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ
بْنُ مَهْدِيٍّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَطْلُ
الْغَنِيِّ ظُلْمٌ وَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِيٍّ فَلْيَتْبَعْ قَالَ
وَفِي الْبَاب عَنْ ابْنِ عُمَرَ وَالشَّرِيدِ بْنِ سُوَيْدٍ الثَّقَفِيِّ
Artinya:
Muhammad bin Basyar telah bercerita pada kami, Abdurrahman bin Mahdi telah
bercerita pada kami, Sufyan telah bercerita pada kami, dari Abi Zanad, dari
Al-A’raj, dari Abu Hurairah dari Nabi Muhammad SAW, Nabi SAW. Bersabda: Penundaan
orang kaya dalam membayar hutang adalah kezhaliman, jika seseorang dari kalian
melimpahkan hutang kepada orang kaya, hendaklah orang kaya itu menanggungnya.
Ia mengatakan; Dalam hal ini ada hadits serupa dari Ibnu Umar & Syarid bin
Suwaid Ats Tsaqafi. (HR.
Tirmidzi No.1229).
3.
Kandungan Hadits
Kandungan hadis diatas
adalah sebagai berikut[12]:
أَمَر اللهُ سبحانه وتعالى بِأداءِ الحقوقِ،
وحذَّر مِن أَكْلِ أموالِ النَّاسِ بِالباطلِ، فقال: {وَلَا تَأْكُلُوا
أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ} [البقرة: 188]، وتوعَّد النَّبيُّ صلَّى
اللهُ عليه وسلَّم مَنِ استدانَ أموالَ النَّاسِ وهو يُريدُ إتلافَها ولا يُريدُ
رَدَّها، وفي هذا الحديثِ يُخْبرُ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم أنَّ مَطْلَ الغنيِّ
ظُلمٌ، والمطلُ: هو التَّسويفُ والتَّأخيرُ في قَضاءِ الدَّينِ، فإذا مَاطَلَ
الغنيُّ فهذا يُعدُّ ظلمًا؛ لأنَّه قادِرٌ على السَّدادِ ورَدِّ المالِ، فلمَّا
مَنعَ المالَ وأخذَ يُماطلُ كان ظالِمًا، ثُمَّ قال صلَّى اللهُ عليه وسلَّم:
«فَإذا أُتْبِعَ أحدُكُم على مَلِيٍّ فَلْيَتْبعْ»، والْمَلِيُّ: الغنيُّ،
والمعنى: أنَّه إذا كان لِأحدكِم دَينٌ على أحدٍ، وأحالَ هذا الْمَدينُ الدَّائنَ
بِالدَّين ِعلى رَجلٍ غنيٍّ، فَلْيوافقِ الدائنُ ولْيقبَلْ هذه الحَوالةَ وتحويلَ
الدَّينِ مِن على هذا الْمَدينِ إلى الرَّجلِ الغنيِّ؛ لَيَسُدَّ عنه الدَّينَ
Artinya: Allah SWT telah memerintahkan untuk menyampaikan hak (orang lain), dan memeringatkan supaya tidak memakan harta manusia dengan batil. Allah berfirman: “Dan janganlah kalian makan kekayaan kalian di antara kalian dengan bathil” (Q.S. Al-Baqarah: 188). Nabi SAW mengancam orang yang mengambil hutang namun tidak mau membayarnya. Dalam hadis ini Nabi SAW bersabda, sesungguhnya menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan orang yang mampu adalah suatu kedholiman. Arti menunda-nunda adalah mengakhirkan dalam pembayaran hutang. Apabila orang yang menunda-nunda membayar hutang tersebut termasuk orang yang mampu membayar maka hal tersebut adalah perbuatan dholim, karena dia mampu untuk bersegera membayar hutangnya, apabila seseorang tidak membayar hutang meski mampu membayar orang tersebut adalah orang yang dholim. Kemudian Nabi SAW bersabda: dan apabila salah satu dari kalian mengikuti orang kaya (yang telah mengambil alih hutang kalian) maka ikutilah. Lafad al-maliy artinya adalah orang kaya, maksudnya adalah apabila salah satu dari kalian memiliki hutang pada yang lain, dan ada orang kaya yang bersedia membayarkan hutang tersebut maka setujuilah, kemudian hutang tersebut pembayarannya akan berpindah dari kreditur (awal) pada orang kaya tersebut (kreditur baru)
4.
Kwalitas periwayatan hadits
حدثنا
عبد الله بن يوسف أخبرنا مالك عن أبي الزناد عن الأعرج عن أبي هريرة رضي الله عنه أن
رسول الله صلى الله عليه وسلم قال مطل الغني ظلم فإذا أتبع أحدكم على ملي فليتبع
Artinya: Abdullah bin yunus telah
bercerita, Malik bin Abi al-Zinad telah bercerita pada kami, dari al-A’raj dari
Abi Hurairah r.a. se sungguhnya Rasullullah SAW telah bersabda: Menunda-nunda
(pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kedhaliman. jika
seseorang dari kalian melimpahkan hutang kepada orang kaya, hendaklah orang
kaya itu menanggungnya.
Hadist tersebut termuat dalam berbagai
kitab Hadist, antara lain termuat dalam صحيح البخاري,
صحيح مسلم , جامع الترمذي , سنن أبي داود , سنن النسائى الصغرى , سنن ابن ماجه
, موطأ مالك رواية يحيى الليثي , مسند أحمد بن حنبل , صحيح ابن حبان
, مستخرج
أبي عوانة , dan berberapa kitab lainnya.[13]
Adapun shabat yang mendengar langsung dari Nabi SAW antara lain
Abdurrahman bin Shakhra, Abdullah bin Umar, Jabir bin Abdullah, Abdullah bin
Abbas, Imron bin al-Hasin.[14]
5.
Analisis hukum
Para ulama berpendapat Hadist diatas adalah termasuk
hadis shohih[15]. Hadis
shohih adalah yang sanadnya
tersambung dengan kwalitas rawi yang adil dan dhobit disetiap tingkatan, rowinya tidak tercela dan memiliki ingatan yang
kuat.
Dalam
hadis tersebut Nabi SAW bersabda bahwa : “Menunda-nunda (pembayaran) yang
dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kedhaliman”. kalam tersebut secara
bahasa termasuk dalam jenis khobar. Dalam teori ushul fiqih ada jenih khabar
yang memiliki arti perintah. Perintah untuk tidak melakukan sesuatu adalah sama
dengan larangan. Jika diperhatikan dengan seksama maka matan hadist diatas
memiliki arti bersegera membayar kewajiban (hutang) bagi orang yang sudah
mampu.
Dalil-
dalil lain yang memiliki korelasi dengan hadis diatas antara
lain adalah sebagai berikut dibawah
ini:
Firman
Allah QS. Al-Baqarah (2) : 282:
يا أيها الذين أمنوا إذا تداينتم بدين إلى أجل مسمى فاكتبوه …
Artinya: Hai orang-orang
yang beriman ! Jika kamu melakukan transaksi hutang piutang untuk jangka waktu
yang ditentukan, tuliskanlah …….
Firman Allah
QS. Al-Ma’idah (5): 1:
يا أيها الذين أمنوا أوفوا بالعقود ……
Artinya: Hai orang-orang
yang beriman ! Penuhilah akad-akad itu...
Hadis Nabi
dari Abu Said al-Khudri:
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : إنما البيع عن تراض ) رواه البيهقي وابن ماجه وصححه ابن حبان(
Artinya: Bahwa Rasulullah saw
bersabda : “Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka “ (HR Al
Baihaqi dan Ibnu Majah, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban).
Hadis
riwayat Bukhari dari Ibn ‘Abbas, Nabi bersabda:
من أسلف في
شيء ففى كيل
معلوم ووزن معلوم
وأجل معلوم
Artinya: Barang siapa melakukan salaf (salam),
hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas,
untuk jangka waktu yang diketahui.
Hadis Nabi
riwayat Nasa’i Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad:
)لي الواجد يحل عرضه وعقوبته ( رواه النسائى و ابو داود وابن ماجه و أحمد
Artinya: Menunda-nunda
(pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu menghalalkan harga diri dan
pemberian sanksi kepadanya. (HR An
Nasa’i, Abu dawud, Ibnu Majah dan Ahmad)
Hadis Nabi
riwayat Tirmidzi dari Amr bin Auf:
الصلح جائز بين المسلمين إلا صلحا حرم حلالا أو أحل حراما والمسلمون على شروطهم إلا شرطاحرم حلالا أو أحل حراما
Artinya: Antara kaum Muslimin boleh mengadakan perdamaian, kecuali
perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram, dan
setiap muslim terikat pada syaratnya (perjanjian yang dibuatnya) masing-masing
kecuali syarat mengharamkan yang halal
atau menghalalkan yang haram.
Hadits riwayat Turmudzi dan hadits ini dishahihkannya.
Menurut Ibnu Munzir, ulama sepakat (ijma’) atas kebolehan jual beli
dengan cara salam. Di samping itu, cara tersebut juga diperlukan oleh
masyarakat (Wahbah, 4/598).
Kaidah
fiqh:
الأصل في المعاملات الاباحة إلا أن يدل دليل على تحريمها
Artinya: Pada dasarnya, semua bentuk muamalah
boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkan.
Jika diperhatikan dengan seksama tentang
kwalitas hadis dan pendapat para ulama serta dalil-dalil lain yang memiliki
korelasi dengan hadits tersebut diatas maka penulis berpendapat bahwa akad
salam dalam jual beli adalah sesuai dengan aturan syari’.
C.
Hadits tentang Istisna’
1.
Pengertian istisna’
Merupakan akad jual beli yang dilakukan
antara nasabah sebagai pemesan/pembeli (mustashni) dengan bank syariah
sebagai produsen/penjual (shani) dimana penjual (pihak bank) membuat
barang yang dipesan oleh nasabah.[16] Bank
untuk memenuhi pesanan nasabah dapat mensubkan pekerjaannya kepada pihak lain
dan barang yang akan diperjual-belikan harus dibuat lebih dulu dengan kriteria
yang jelas. Pada umumnya, pembiayaan istishna’ dilakukan untuk pembiayaan
konstruksi.
Bank Indonesia melalui Surat Edaran
Nomor 10/14/DPbS tanggal 17 Maret 2008 menyatakan bahwa dalam
kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan atas dasar akad istishna'
berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut:[17]
a)
Bank bertindak baik sebagai pihak
penyedia dana maupun penjual barang untuk kegiatan transaksi istishna’
dengan nasabah sebagai pihak pembeli barang.
b)
Barang dalam transaksi istishna’
adalah setiap keluaran (output) yang antara lain berasal dari proses manufacturing
atau construction yang melibatkan tenaga kerja, dengan spesifikasi,
kualitas, jumlah, jangka waktu, tempat, dan harga yang jelas serta disepakati
oleh kedua belah pihak.
c)
Bank wajib menjelaskan kepada
nasabah mengenai karakteristik produk pembiayaan atas dasar istishna’,
serta hak dan kewajiban nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank
Indonesia mengenai transparansi informasi produk Bank dan penggunaan data
pribadi nasabah.
d)
Bank wajib melakukan analisis
atas permohonan pembiayaan atas dasar istishna' dari nasabah yang antara
lain meliputi aspek personal berupa analisa atas karakter (character )
dan/atau aspek usaha antara lain meliputi analisa kapasitas usaha (capacity),
keuangan (capital), dan/atau prospek usaha (condition).
e)
Bank dan nasabah wajib menuangkan
kesepakatan dalam bentuk perjanjian tertulis berupa akad pembiayaan atas dasar Istishna’,
dan
f)
Pembayaran pembelian barang tidak
boleh dalam bentuk pembebasan utang atau dalam bentuk pemberian piutang. Bank
tidak dapat meminta tambahan harga apabila nasabah menerima barang dengan
kualitas yang lebih tinggi, kecuali terdapat kesepakatan kedua belah pihak.
Bank tidak harus memberikan potongan harga (discount) apabila nasabah
menerima barang dengan kualitas yang lebih rendah, kecuali terdapat kesepakatan
kedua belah pihak.
2.
Hadits Ahkam tentang istisna’
Berikut ini adalah hadist yang
berkaitan dengan tema pokok diatas[18]:
الصلح جائز بين المسلمين إلا صلحا حرم حلالا أو أحل حراما والمسلمون على شروطهم إلا شرطاحرم حلالا أو أحل حراما
Artinya: Antara kaum Muslimin boleh mengadakan perdamaian, kecuali
perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram, dan setiap
muslim terikat pada syaratnya (perjanjian yang dibuatnya) masing-masing kecuali
syarat mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. Hadits riwayat
Turmudzi dan hadits ini dishahihkannya.
3.
Kandungan Hadits
Kandungan hadir
tersebut adalah sebagai berikut:
الإصلاحُ بين المُتخاصِمينَ من مكارمِ الأخلاقِ،
ومحاسنِ الشَّريعةِ الغَرَّاءِ؛ فهو يُؤلِّفُ بين قلوبِ المؤمنين، ويُحافظُ على
رُوحِ الأُخُوَّةِ بينهم، وينزِعُ عنهم الأحقادَ والعَداواتِ.
وفي هذا الحديثِ يَحُثُّ النَّبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم المسلِمين على الصُّلْحِ بين المُتخاصِمينَ، فيقول: «الصُّلْحُ جائزٌ بين المسلِمين»، وخصَّ المسلِمين في الحديثِ؛ اهتمامًا بشأنِهم، «إلَّا صُلْحًا أحَلَّ حرامًا، أو حرَّمَ حلالًا»، أي: يُستثنى من الصُّلحِ الجائِزِ أنْ يَشتمِلَ على تحليلِ مُحَرَّمٍ؛ كأنْ يُصالِحَ المرءُ على أكْلِ مالٍ لا يحِلُّ له، أو زيادةٍ رِبويَّةٍ على الدَّينِ، وكذلك لا يجوز الصُّلحُ إذا اشتَمَلَ على تحريمِ حلالٍ؛ كأنْ يُصالِحَ الزَّوجُ زَوجتَه على ألَّا يَبيتَ عِندَ زَوجتِه الأُخرى.
ثمَّ قال رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم: «المسلِمون على شُروطِهم»، أي: ثابِتونَ على الشُّروطِ الجائزةِ شَرْعًا التي تَقَعُ بينهم؛ فيُوفون بها ولا يَرجِعون عنها؛ لأنَّ هذا من الوفاءِ بالعُقودِ الذي أمَرَ اللهُ به، وأمَّا الشُّروطُ الفاسدةُ أو غيرُ الجائزة شرعًا؛ فلا يُوفَى بها
وفي هذا الحديثِ يَحُثُّ النَّبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم المسلِمين على الصُّلْحِ بين المُتخاصِمينَ، فيقول: «الصُّلْحُ جائزٌ بين المسلِمين»، وخصَّ المسلِمين في الحديثِ؛ اهتمامًا بشأنِهم، «إلَّا صُلْحًا أحَلَّ حرامًا، أو حرَّمَ حلالًا»، أي: يُستثنى من الصُّلحِ الجائِزِ أنْ يَشتمِلَ على تحليلِ مُحَرَّمٍ؛ كأنْ يُصالِحَ المرءُ على أكْلِ مالٍ لا يحِلُّ له، أو زيادةٍ رِبويَّةٍ على الدَّينِ، وكذلك لا يجوز الصُّلحُ إذا اشتَمَلَ على تحريمِ حلالٍ؛ كأنْ يُصالِحَ الزَّوجُ زَوجتَه على ألَّا يَبيتَ عِندَ زَوجتِه الأُخرى.
ثمَّ قال رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم: «المسلِمون على شُروطِهم»، أي: ثابِتونَ على الشُّروطِ الجائزةِ شَرْعًا التي تَقَعُ بينهم؛ فيُوفون بها ولا يَرجِعون عنها؛ لأنَّ هذا من الوفاءِ بالعُقودِ الذي أمَرَ اللهُ به، وأمَّا الشُّروطُ الفاسدةُ أو غيرُ الجائزة شرعًا؛ فلا يُوفَى بها
Artinya: perdamaian diantara orang-orang
yang bermusuhan adalah bagian dari akhlaq yang terpuji, mempertautkan semangat
persaudaraan dan menghilangkan permusuhan diantara mereka. Dalam hadits ini, Nabi (saw) mendesak kaum
Muslim untuk mendamaikan pertengkaran tersebut, dengan mengatakan: "Damai
diperbolehkan di kalangan umat Islam" kecuali
damai yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal. Artinya
dikecualikan perdamaian menghalalkan yang haram, seperti berdamai dalam hal
mengambil harta (milik orang lain), hal tersebut tidak dijinkan, atau member
tambahan riba dalam hutang. Begitu juga tidak diperbolehkan mengharamkan hal
yang halal. Seperti
sang suami mendamaikan istrinya agar tidak tinggal dengan istri yang lain, Kemudian
Rasulullah SAW. bersabda: "Orang-orang Muslim sesuai dengan syarat
mereka."artinya, mereka harus mentaati aturan-aturan yang telah ditetapkan
oleh syari’. Karena itu adalah soal pemenuhan kontrak yang telah diperintahkan
Allah padanya. Adapun syarat yang tidak benar atau tidak diperbolehkan, dia
tidak diberi imbalan dengannya.
4.
Kwalitas periwayatan hadits
Rawi
dalam hadis tersebut diatas antara lain adalah Abu Hurairah, Amr Bin Auf
Al-Mizani. Berkaitan dengan Hadis tersebut, sebagian ahli ulumul hadis berpendapat
sebagai hadits shohih, sebagain berpendapat senagai hadis dhoif dan sebagian
berpendapat sebagai hadis hasan[19].
5.
Analisis hukum
Dalil dalil yang mempunyai korelasi dengan
dengan hadis diatas adalah sebagai berikut dibawah ini.
Hadis Nabi:
لا ضرر
ولا ضرار [20]
Artinya:
Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh
pula membahayakan orang lain.
Dalam kaidah fiqih karya Dr. Sholih bin Ganim
as-Sadlan disebutkan[21]:
الاصل فى العبادة الحظر
وفى العادات الاباحة
Artinya: pada dasarnya dalam hal ibadah
adalah larangan dan dalam hal kebiasaan adalah diperbolehkan.
Dan dalam kaidah fiqh yang lain disebutkan:
الأصل في المعاملات الإجابة إلا أن يدل دليل على تحريمها
Artinya: Pada dasarnya, semua bentuk
muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkan.
Menurut mazhab Hanafi, istishna’ hukumnya
boleh (jawaz) karena hal itu telah dilakukan oleh masyrakat muslim sejak masa
awal tanpa ada pihak (ulama) yang mengingkarinya.
Apabila diperhatikan secara seksama maka hadits
tentang akad istisna’ dapat dijadikan dasar hukum karena pada azaznya, tidak
bertentangan dengan dalil-dalil nagli lainnya. Pada dataran empiris akad istisna’
tidak dilarang dan juga telah dipraktekkan oleh sebagaian masyarakat untuk
memenuhi kebutuhan mereka dalam kegiatan bisnis.
III.
Penutup
Bahwa setelah mengkaji dan menganalisa tentang hadist-hadis
ahkam yang dijadikan sumber hukum dalam akad
murabahah, akad salam dan akad istisna’ penulis berkesimpulan
jual beli dengan akad-akad tersebut diatas telah sesuai dengan ketentuan syari’
dan diperbolehkan.
DAFTAR PUSTAKA
Abi Abdillah
Muhammad Bin Ismail Al-Bukhori, Shohih Bukhori, Dar Ibnu Katsir,
Libanon,Cet I. 2002.
Abi Abdullah
Musthofa Bin Al-Adawi, Syarah Ilalul Hadist, Dar Ibnu Rajab, Makkah,
1234 H.
Adiwarman A.
Karim, “Bank Islam Analisa Fiqih Dan Keuangan”, Edisi III, PT. Grafindo Persada, Jakarta, 2008.
Al- Imam Abi Walid Muhammad Bin Ahmad Bin Muhammad Bin
Ahmad Bin Rasyid Al-Qurtubi, Bidayah Al-Mujtahid Wa Nihayatul Muqtasyid,
Juz II, Darul Makrifat Libanon, 1982.
Fatwa Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), No: 04/DSN-MUI/IV/2000, Tentang Murabahah, 17 Jumadil Akhir 1421 H /16 September 2000 M.
Fatwa Dewan
Syari'ah Nasional Majelis Ulama Indonesia, No: 05/DSN-MUI/IV/2000, Tentang Jual
Beli Salam,
29 Dzulhijjah 1420 H / 4
April 2000 M.
Shohih Sunan Ibnu Majah, Penulis Muhammad Nasiruddin
Albani, Maktab Al-Tarbiyah Al-Arabiyah Li Duwali Al-Khalij, 1407 H.
Sholin Bin Ghanim As-Sadlan, Al-Qhawaid Al-Fiqhiyah
Al-Qubra, Dar Balnasiyah, Al-Mamlakah A-Arabiyah As-Su’udiyah, Riyad, 1417
H
Tajuddin Abdul Wahab Bin Ali As-Subki, Jam’ul Jawami’ Fi Ushulil Fiqhi, Darul
Kutub Al-Ilmiyah, Bairut Libanon, Cet. II, 1423 H.
[1] Adiwarman A. Karim, “Bank
Islam Analisa Fiqih Dan Keuangan”, Edisi Iii, Pt. Grafindo Persada, Jakarta, 2008, Hlm. 97-100.
[2] Kata “bank
syariah” adalah sample subjek hukum yang digunakan dalam makalah ini untuk
mempermudah dalam ilustrasi transaksi jual beli.
[3]Disarikan Dari Fatwa Dewan Syari'ah Nasional
Majelis Ulama Indonesia (Dsn-Mui), No: 04/Dsn-Mui/Iv/2000, Tentang
Murabahah, 17 Jumadil Akhir 1421 H
/16 September 2000 M.
[5]Shohih
Sunan Ibnu Majah, Penulis Muhammad Nasiruddin Albani, Maktab Al-Tarbiyah
Al-Arabiyah Li Duwali Al-Khalij, 1407 H, (nomor 1792).
[7] Abi Abdullah Musthofa Bin
Al-Adawi, Syarah Ilalul Hadist, Dar Ibnu Rajab, Makkah, 1234 H, Hal.13.
[8] Tajuddin
Abdul Wahab Bin Ali As-Subki, Jam’ul
Jawami’ Fi Ushulil Fiqhi, Darul Kutub Al-Ilmiyah, Bairut Libanon, Cet. Ii,
1423 H, Hal. 23-24.
[9]Al-
Imam Abi Walid Muhammad Bin Ahmad Bin Muhammad Bin Ahmad Bin Rasyid Al-Qurtubi,
Bidayah Al-Mujtahid Wa Nihayatul Muqtasyid, Juz II, Darul Makrifat
Libanon, 1982, Hal.161.
[10] Disarikan Dari Fatwa Dewan Syari'ah
Nasional Majelis Ulama Indonesia, No: 05/Dsn-Mui/Iv/2000, Tentang Jual Beli Salam, 29 Dzulhijjah 1420 H / 4 April 2000 M.
[11] Abi Abdillah Muhammad Bin Ismail
Al-Bukhori, Shohih Bukhori, (Hadist No.2287) Dar Ibnu Katsir, Libanon,Cet I. 2002, Hal. 547.
[12]Lihat syarah hadis nomor 14912. https://www.dorar.net/hadith/search,
14 September 2017
[13] http://library.islamweb.net/hadith/hadithsearch.php,
14 September 2017.
[16] Adiwarman A Karim, Op.,Cit.,
Hlm. 100
[18] Hadis tersebut dapat ditemukan
dalam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Al-Fatawa, nomor 29/147.
[19]https://www.dorar.net/hadith/search?q,
14 september 2017
[20] Hadits ini dapat ditemukan dalam
Al-Thabari, Mu’jam Al-Ausad, nomor 1/90. dan juga dapat ditemukan dalam Al-Baihaqi,
Sunan Al-Kubra Al-Baihaqi, nomor 6/70.
[21]Sholin
Bin Ghanim As-Sadlan, Al-Qhawaid Al-Fiqhiyah Al-Qubra, Dar Balnasiyah,
Al-Mamlakah A-Arabiyah As-Su’udiyah, Riyad, 1417 H, Hal. 154.
Comments
Post a Comment