HADITS-HADITS AHKAM TENTANG JUAL BELI (SALE AND PURCHASE)

Oleh
Nur Moklis

I.     Pendahuluan
Transaksi jual beli memiliki cakupan luas dan umum, subjek hukum (المحكوم عليه ) baik person dan atau badan hukum dapat melakukan transaksi jual beli dalam skala kecil, sedang dan atau besar. Transaksi jual beli dapat terjadi oleh person dengan person, person dengan badan hukum atau sebaliknya dan atau badan hukum dengan badan hukum.
Pada makalah ini Penulis akan menujuk istilah khusus dalam transaksi jual beli dengan istilah “pembiayaan”. Istilah tersebut sangat populer dalam berbagai produk perbankan syariah dan penulis menggunakan terma tersebut sekedar untuk mempermudah gambaran aplikatif dalam praktik sehari-hari yang sering digunakan masyarakat.
Dalam pembiayaan dengan prinsip jual beli (bai’) biasanya menggunakan tiga jenis akad, yaitu akad murabahah, akad salam dan akad istishna’.[1]
Berikut dibawah ini akan dikaji tentang hadits-hadits ahkam tentang tema pokok jual beli yang meliputi murabahah, salam dan istishna’.

II.  Hadits Tentang Jual Beli (Sale And Purchase)
A.    Hadits tentang murabahah
1.      Pengertian murabahah
Akad murabahah merupakan akad jual beli yang disepakati antara Bank syariah[2] dengan nasabah, dimana bank menyediakan pembiayaan untuk pembelian bahan baku atau modal kerja lainnya yang dibutuhkan nasabah, yang akan dibayar kembali oleh nasabah sebesar harga jual bank (harga beli bank dari pemasok ditambah margin keuntungan) pada waktu yang ditetapkan sesuai kesepakatan.[3] Kepemilikan barang akan berpindah dari bank kepada nasabah segera setelah akad jual beli ditandatangani. Dalam hal bank mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang (wakalah), maka akad murabahah harus dilakukan setelah barang secara prinsip menjadi milik bank.
Dalam akad murabahah, cara pembayaran dan jangka waktunya disepakati oleh kedua belah pihak, dapat dilakukan secara langsung ataupun angsuran secara proporsional, dan bank berwenang meminta nasabah untuk menyediakan jaminan untuk mengantisipasi resiko apabila nasabah tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimuat dalam akad. Bank juga dapat meminta pembayaran uang muka (urbun) oleh nasabah saat awal akad. Selama akad jual beli belum berakhir, harga jual beli tidak boleh berubah, bila terjadi perubahan maka akad menjadi batal. Pada umumnya sering dilakukan dalam pembiayaan perumahan (KPR).
Bank Indonesia melalui Surat Edaran Nomor 10/14/DPbS tanggal 17 Maret 2008 menyatakan bahwa dalam kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan atas dasar akad murabahah berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut:[4]
a)      Bank bertindak sebagai pihak penyedia dana dalam rangka membelikan barang terkait dengan kegiatan transaksi  murabahah dengan nasabah sebagai pihak pembeli barang.
b)      Barang adalah obyek jual beli yang diketahui secara jelas  kuantitas, kualitas, harga perolehan dan spesifikasinya.
c)      Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik  produk pembiayaan atas dasar akad murabahah, serta hak dan kewajiban nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi informasi produk Bank dan penggunaan data pribadi nasabah.
d)     Bank wajib melakukan analisis atas permohonan pembiayaan atas dasar akad murabahah dari nasabah yang antara lain meliputi aspek personal berupa analisa atas karakter (character) dan/atau aspek usaha antara lain meliputi analisa kapasitas usaha (capacity), keuangan (capital), dan/atau prospek usaha (condition).
e)      Bank dapat membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian  barang yang telah disepakati kualifikasinya.
f)       Bank wajib menyediakan dana untuk merealisasikan penyediaan barang yang dipesan nasabah.
g)      Kesepakatan atas marjin ditentukan hanya satu kali pada awal pembiayaan atas dasar murabahah dan tidak berubah selama periode pembiayaan,
h)      Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan dalam bentuk perjanjian tertulis berupa akad pembiayaan atas dasar murabahah  dan
i)        Jangka waktu pembayaran harga barang oleh nasabah kepada Bank ditentukan berdasarkan kesepakatan Bank dan nasabah. Bank dapat memberikan potongan dalam besaran yang wajar dengan tanpa diperjanjikan dimuka. Bank dapat meminta ganti rugi kepada nasabah atas pembatalan pesanan oleh nasabah sebesar biaya riil.

2.      Hadits tentang Murabahah
Berikut ini Penulis kutibkan sebuah hadis Nabi SAW:
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : إنما البيع عن تراض  (رواه البيهقي وابن ماجه وصححه ابن حبان )

Artinya: Bahwa Rasulullah saw bersabda : “Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka”. (HR Al Baihaqi dan Ibnu Majah, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban).[5]

3.      Kandungan Hadits
Dalam al-jami’ al-shaghir wa ziyadatuh (al-fathu al-kabir), Muhammad Nasiruddin Al-Albani menjelaskan tentang pentingnya saling rela antara penjual dan pembeli dalam transaksi jual beli, sebagaimana dikutip berikut dibawah ini:

البيعُ والشِّراءُ مِن الأُمورِ الحَياتِيَّةِ، وقد بيَّنَ الشَّرعُ ضوابطَها ووضَّحَها، والتَّراضي مِن أهمِّ شُروطِ نَفاذِ البيعِ، وهذا الحديثُ له سبَبُ وُرودٍ، حيثُ يقولُ أبو سعيدٍ الخُدريُّ رضِيَ اللهُ عنه: "قدِمَ يهوديٌّ بتَمْرٍ وشعيرٍ وقد أصابَ النَّاسَ جُوعٌ"، أي: في وقْتِ مَجاعةٍ وشِدَّةٍ، فسألوه أنْ يُسَعِّرَ لهم فأبَى"، أي: طلَبوا مِن النَّبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ أنْ يُحدِّدَ سعرًا يُباعُ به، فرفَضَ النَّبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، وقال: "إنَّما البيعُ"، أي: الشَّرعيُّ الصَّحيحُ المُعتَبَرُ عند الشَّارعِ، الَّذي يترتَّبُ عليه صِحَّةُ المِلْكِ هو البيعُ الصَّادِرُ، "عن تراضٍ" مِن البائعِ بإخراجِ السِّلعةِ عن مِلْكِه، ومِن المُشتري بإدخالِه في مِلْكِه، وهذا إخراجٌ لبيعِ المُكْرَهِ، فهو ليس بيعًا مُعتَبَرًا.
ثمَّ ذكَرَ أبو سَعيدٍ رضِيَ اللهُ عنه باقِيَ الحديثِ وما يشتمِلُ عليه مِن الخِصالِ الَّتي تُؤَدِّي إلى التَّراضي، فقال: "فصَعِدَ"، أي: النَّبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، "المِنْبَرَ، فحَمِدَ اللهَ، وأثْنى عليه، ثمَّ قال: لا ألْقيَنَّ اللهَ مِن قبْلِ أنْ أُعْطِيَ أحدًا مِن مالِ أحدٍ مِن غيرِ طِيبِ نفْسٍ؛ إنَّما البيعُ عن تراضٍ، ولكنَّ في بُيوعِكم خِصالًا، أذْكُرُها لكم، لا تَضاغَنُوا، ولا تَناجَشوا، ولا تَحاسَدوا، ولا يَسُومُ الرَّجلُ على سَوْمِ أخيه، ولا يبيعَنَّ حاضرٌ لِبادٍ، والبيعُ عن تراضٍ، وكونوا عِبادَ اللهِ إخوانًا".

Artinya: Jual beli adalah kegiatan rutin dalam kehidupan manusia, syara’ telah memberikan aturan-aturan dalam hal tersebut.  Persetujuan adalah syarat terpenting dalam sebuah transaksi. Hadits tersebut diatas memiliki sabab wurud  ketika seorang pedagang yahudi datang dengan membawa tamar dan syair, saat itu masyarakat dalam kondisi kelaparan yang parah. Masyarakat meminta pada Nabi SAW untuk menetapkan harga dalam transaksi, namun Nabi SAW menolaknya, kemudian bersabda: “Sesungguhnya transaksi jual beli” yaitu aturan yang dianggap benar menurut Syari’, ketika seorang Penjual menyerahkan barang yang dimiliki “secara suka rela” dan Pembeli melakukan tanpa paksaan.
      Abu Said RA menyebutkan hadist Nabi SAW berikutnya tentang arti “saling merelakan”. Abu Said RA berkata: Nabi SAW telah menaiki mimbar kemudian membaca tahmid. Nabi bersabda: tidak ada kepastian Allah dengan memberikan salah satu uang dari orang yang sama baiknya, sesungguhnya jual beli adalah saling merelakan, tetapi dalam transaksi jual beli kalian ada keberhasilan, saya katakan hal tersebut pada kalian semua, jangan saling dengki,  jangan saling bertengkar, jangan saling hasut, dan janganlah seseorang menawar dagangan yang sedang ditawar orang lain, dan jangan menjual sesuatu yang tidak jelas, jual beli adalah saling merelakan. Semoga kalian semua (menjadi) hamba-hamba Allah (yang baik).

4.      Kwalitas periwayatan hadits
Sanad dalam hadits diatas adalah:
حدثنا العباس بن الواليد الدمشقي . حدثنا مروان بن محمد . حدثنا عبد العزيز بن محمد , عن داود بن صاليح الدمني , عن ابيه , قال : سمعت ابا سعيد الخدري يقول : قال رسول الله صلى لله عليه وسلم ( انما البيع عن تراض)
Artinya: Al-Abbas  bin Al walid al-Dimasqi telah bercerita pada kami. Marwan bin Muhammad telah bercerita pada kami. Abdul Aziz bin Muhammad telah bercerita pada kami. Dari Dawud bin Sholih al-Damani, dari ayahnya. Saya telah mendengar Abu Said al- Al-Khudri berkata, Nabi SAW bersabda: (Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka).

Dalam hadist ini terdapat beberapa sahabat yang meriwayatkan hadist tersebut dari Nabi SAW, antara lain: Abdullah Bin Abbas, Abu Huiarirah, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Malik, Aisyah ummul mukminin, Jabir Bin Abdullah, Ali bin Abi Tholib, Abdullah bin Mas’ud dan Abu Said al-Khudri.[6]

5.      Analisis hukum
Para ulama berpendapat Hadist diatas adalah termasuk hadis shohih. Hadis shohih adalah yang sanadnya tersambung dengan kwalitas rawi yang adil dan dhobit disetiap tingkatan, rowinya tidak tercela dan memiliki ingatan yang kuat.[7]
Dari segi matan, maka diperlukan beberapa di mensi keilmuan untuk memahami matan hadist tersebut. Dalam persepektif ushul fiqih  lafadl  انما pada hadits berikut:
إنما البيع عن تراض
Para ulama memiliki pendapat yang berbeda sebagaimana termuat dalam jam’ul jawami’ sebagai berikut:
مسالة "انما" قال الامدى وابو حيان :لا تفيد الحصر . وابو اسحاق الشيرزي والغزالي والكيا والامام  الرازي  تفيد فهما . وقيل نطقا .وبالفتح الاصح ان حرح أن فيها فرع ان المكسورة .ومن ثم أدعى الزمخشري افادتها الحصر .[8]

Artinya: Masalah "انما" menurut al-amidy dan Abu hayyan adalah tidak perlu di perhitungkan. Menurut abu ishak a-syairazi dan al-ghazali dan al-kiya dan imam ar-razi adalah dapat membantu pemahaman. Sebagian ulama berpendapat bahwa "انما" dengan harakat fathah lebih baik yang didalamnya termasuk lafad "انما" yang menggunakan harakat kasroh. Zamahsary berpendapat bahwa lafadl "انما"dibutuhkan (untuk memahami sebuah kalam).

Terlepas dari pendapat pada ahli dibidang ushul fiqih, jika kita menengok dalam kaidah bahasa arab maka dapat ditemukan lafad ان memiliki fungsi untuk menguatkan dalam sebuah kalam.
Adapun dalil-dalil lain yang memiliki korelasi dengan Hadis diatas adalah sebagai berikut di bawah ini:
Firman Allah QS. Al-Nisa’ (4) : 29:
يا أيها الذين أمنوا لا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل إلا أن تكون تجارة عن تراض منكم

Artinya: Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela diantaramu …….
Firman Allah QS. Al-Baqarah (2): 275:
…… وأحل الله البيع وحرم الربا ……
Artinya:“…….Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba..”
Firman Allah QS. Al-Ma’idah (5): 1:
يا أيها الذين أمنوا أوفوا بالعقود ……
Artinya: Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu....
Firman Allah QS. Al-Baqarah (2) : 280 :
وإن كان ذو عسرة فنظرة إلى ميسرة ….
Artinya : Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai ia kelapangan …………
Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah:
أن رسـول الله صلى الله عليه وسلم قال : ثلاث فيهن البركة : البيع إلى أجـل والمقارضة وخلط البر بالشعير للبيت لا للبيعرواه ابن ماجه عن صهيب(
Artinya: Bahwa Rasulullah saw bersabda : Ada tiga hal yang mengandung berkah, jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual. (HR Ibnu Majah dari Shuhaib).
Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari Amr bin Auf:
الصلح جائز بين المسلمين إلا صلحا حرم حلالا أو أحل حراما والمسلمون على
شروطهم إلا شرطاحرم حلالا أو أحل حراما
Artinya:Antara kaum Muslimin boleh mengadakan perdamaian, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram, dan setiap muslim terikat pada syaratnya (perjanjian yang dibuatnya) masing-masing kecuali syarat mengharamkan yang halal  atau  menghalalkan yang haram. Hadits riwayat Turmudzi dan hadits ini dishahihkannya.
Hadis Nabi riwayat Jama’ah:
مطل الغني ظلم) …… رواه الجماعة(
Artinya:Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kedhaliman ………
Hadis Nabi riwayat Nasa’i Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad:
لَيُّ الْوَاجِدِ يُحِلُّ عِرْضَهُ وَعُقُوْبَتَهُ ( رواه النسائى و ابو داود وابن ماجه و أحمد)
Artinya:Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu menghalalkan harga diri dan pemberian sanksi kepadanya. (HR  An Nasa’i, Abu dawud, Ibnu Majah dan Ahmad)
Hadis Nabi riwayat ‘Abd al-Raziq dari Zaid bin Aslam:
أنه سئل رسول الله صلى الله عليه وسلم عن العربان فى البيع فأحله   (رواه عبد الرازق)

Artinya: Rasulullah ditanya tentang ‘urban (uang muka) dalam jual beli, maka beliau menghalalkannya. (HR ‘Abd ar-Raziq)
Ijma’ Mayoritas ulama tentang kebolehan jual beli dengan cara Murabahah[9] al-Kasani, Bada’i as-Sana’i V/220-222).
Kaidah fiqh:
الأصل في المعاملات الإباحة إلا أن يدل دليل على تحريمها
Artinya: Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkan.
Setelah diperhatikan dengan seksama tentang kwalitas hadis dan pendapat para ulama serta dalil-dalil lain yang memiliki korelasi dengan hadits tersebut diatas maka penulis berpendapat bahwa akad murabahah dalam jual beli adalah sesuai dengan aturan syari’.

B.     Hadits tentang Salam
1.      Pengertian Salam
Akad salam merupakan akad jual beli antara bank dengan nasabahnya atas suatu barang dimana harganya dibayar oleh bank dengan segera, sedangkan barangnya akan diserahkan kemudian oleh nasabah (produsen) kepada bank dalam jangka waktu yang telah disepakati. Selanjutnya, bank dapat menjual kembali barang tersebut kepada nasabah/pihak lain (pembeli) maupun kepada nasabah (produsen) semula secara angsuran.[10] Syarat utama dari salam adalah jenis, macam, ukuran, mutu dan jumlah barang yang dijual harus jelas dan menguntungkan. Keuntungan diperoleh oleh bank dari selisih harga jual barang antara bank kepada pihak lain (pembeli) dan nasabah (produsen) kepada bank. Pada umumnya banyak dilakukan untuk pembiayaan sektor pertanian.

2.      Hadits tentang salam
Hadits terkait akad salam antara lain dapat ditemukan dalam Shohih Bukhori dan juga Sunan At-Titmidy sebagai berikut dibawah ini:
)مطل الغني ظلم[11] …… (
Artinya: “Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kedhaliman ………

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ وَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِيٍّ فَلْيَتْبَعْ قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ ابْنِ عُمَرَ وَالشَّرِيدِ بْنِ سُوَيْدٍ الثَّقَفِيِّ
Artinya: Muhammad bin Basyar telah bercerita pada kami, Abdurrahman bin Mahdi telah bercerita pada kami, Sufyan telah bercerita pada kami, dari Abi Zanad, dari Al-A’raj, dari Abu Hurairah dari Nabi Muhammad SAW, Nabi SAW. Bersabda: Penundaan orang kaya dalam membayar hutang adalah kezhaliman, jika seseorang dari kalian melimpahkan hutang kepada orang kaya, hendaklah orang kaya itu menanggungnya. Ia mengatakan; Dalam hal ini ada hadits serupa dari Ibnu Umar & Syarid bin Suwaid Ats Tsaqafi. (HR. Tirmidzi No.1229).

3.      Kandungan Hadits
Kandungan hadis diatas adalah sebagai berikut[12]:

أَمَر اللهُ سبحانه وتعالى بِأداءِ الحقوقِ، وحذَّر مِن أَكْلِ أموالِ النَّاسِ بِالباطلِ، فقال: {وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ} [البقرة: 188]، وتوعَّد النَّبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم مَنِ استدانَ أموالَ النَّاسِ وهو يُريدُ إتلافَها ولا يُريدُ رَدَّها، وفي هذا الحديثِ يُخْبرُ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم أنَّ مَطْلَ الغنيِّ ظُلمٌ، والمطلُ: هو التَّسويفُ والتَّأخيرُ في قَضاءِ الدَّينِ، فإذا مَاطَلَ الغنيُّ فهذا يُعدُّ ظلمًا؛ لأنَّه قادِرٌ على السَّدادِ ورَدِّ المالِ، فلمَّا مَنعَ المالَ وأخذَ يُماطلُ كان ظالِمًا، ثُمَّ قال صلَّى اللهُ عليه وسلَّم: «فَإذا أُتْبِعَ أحدُكُم على مَلِيٍّ فَلْيَتْبعْ»، والْمَلِيُّ: الغنيُّ، والمعنى: أنَّه إذا كان لِأحدكِم دَينٌ على أحدٍ، وأحالَ هذا الْمَدينُ الدَّائنَ بِالدَّين ِعلى رَجلٍ غنيٍّ، فَلْيوافقِ الدائنُ ولْيقبَلْ هذه الحَوالةَ وتحويلَ الدَّينِ مِن على هذا الْمَدينِ إلى الرَّجلِ الغنيِّ؛ لَيَسُدَّ عنه الدَّينَ
 

Artinya: Allah SWT telah memerintahkan untuk menyampaikan
hak (orang lain), dan memeringatkan supaya tidak memakan harta manusia dengan
batil. Allah berfirman: “Dan janganlah kalian makan kekayaan kalian di antara kalian dengan bathil (Q.S. Al-Baqarah:
188).  Nabi SAW mengancam orang yang mengambil hutang namun tidak mau membayarnya. Dalam hadis ini Nabi SAW
bersabda, sesungguhnya menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan orang yang
mampu adalah suatu kedholiman. Arti menunda-nunda adalah mengakhirkan dalam
pembayaran hutang. Apabila orang yang menunda-nunda membayar hutang tersebut
termasuk orang yang mampu membayar maka hal tersebut adalah perbuatan dholim,
karena dia mampu untuk bersegera membayar hutangnya, apabila seseorang tidak
membayar hutang meski mampu membayar orang tersebut adalah orang yang dholim.
Kemudian Nabi SAW bersabda: dan apabila salah satu dari kalian mengikuti orang
kaya (yang telah mengambil alih hutang kalian) maka ikutilah. Lafad al-maliy
artinya adalah orang kaya, maksudnya adalah apabila salah satu dari kalian
memiliki hutang pada yang lain, dan ada orang kaya yang bersedia membayarkan
hutang tersebut maka setujuilah, kemudian hutang tersebut pembayarannya akan
berpindah dari kreditur (awal) pada orang kaya tersebut (kreditur baru)

 
4.      Kwalitas periwayatan hadits

حدثنا عبد الله بن يوسف أخبرنا مالك عن أبي الزناد عن الأعرج عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال مطل الغني ظلم فإذا أتبع أحدكم على ملي فليتبع

Artinya: Abdullah bin yunus telah bercerita, Malik bin Abi al-Zinad telah bercerita pada kami, dari al-A’raj dari Abi Hurairah r.a. se sungguhnya Rasullullah SAW telah bersabda: Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kedhaliman. jika seseorang dari kalian melimpahkan hutang kepada orang kaya, hendaklah orang kaya itu menanggungnya.

Hadist tersebut termuat dalam berbagai kitab Hadist, antara lain termuat dalam  صحيح البخاري, صحيح مسلم , جامع الترمذي ,  سنن أبي داودسنن النسائى الصغرى ,  سنن ابن ماجهموطأ مالك رواية يحيى الليثي  ,   مسند أحمد بن حنبل  ,  صحيح ابن حبان  ,  مستخرج أبي عوانة , dan berberapa kitab lainnya.[13]
Adapun shabat yang mendengar langsung dari Nabi SAW antara lain Abdurrahman bin Shakhra, Abdullah bin Umar, Jabir bin Abdullah, Abdullah bin Abbas, Imron bin al-Hasin.[14]

5.      Analisis hukum
Para ulama berpendapat Hadist diatas adalah termasuk hadis shohih[15]. Hadis shohih adalah yang sanadnya tersambung dengan kwalitas rawi yang adil dan dhobit disetiap tingkatan, rowinya tidak tercela dan memiliki ingatan yang kuat.
Dalam hadis tersebut Nabi SAW bersabda bahwa : “Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kedhaliman”. kalam tersebut secara bahasa termasuk dalam jenis khobar. Dalam teori ushul fiqih ada jenih khabar yang memiliki arti perintah. Perintah untuk tidak melakukan sesuatu adalah sama dengan larangan. Jika diperhatikan dengan seksama maka matan hadist diatas memiliki arti bersegera membayar kewajiban (hutang) bagi orang yang sudah mampu.
Dalil- dalil lain yang memiliki korelasi dengan hadis diatas antara lain adalah sebagai berikut dibawah ini:
Firman Allah QS. Al-Baqarah (2) : 282:
يا أيها الذين أمنوا إذا تداينتم بدين إلى أجل مسمى فاكتبوه

Artinya: Hai orang-orang yang beriman ! Jika kamu melakukan transaksi hutang piutang untuk jangka waktu yang ditentukan, tuliskanlah …….
Firman Allah QS. Al-Ma’idah (5): 1:
يا أيها الذين أمنوا أوفوا بالعقود ……
Artinya: Hai orang-orang yang beriman ! Penuhilah akad-akad itu...
Hadis Nabi dari Abu Said al-Khudri:
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : إنما البيع عن تراض ) رواه البيهقي وابن ماجه وصححه ابن حبان(
Artinya: Bahwa Rasulullah saw bersabda : “Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka “ (HR Al Baihaqi dan Ibnu Majah, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban).
Hadis riwayat Bukhari dari Ibn ‘Abbas, Nabi bersabda:
من أسلف في شيء ففى كيل معلوم ووزن معلوم وأجل معلوم
Artinya: Barang siapa melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas, untuk jangka waktu yang diketahui.
Hadis Nabi riwayat Nasa’i Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad:
)لي الواجد يحل عرضه وعقوبته ( رواه النسائى و ابو داود وابن ماجه و أحمد

Artinya: Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu menghalalkan harga diri dan pemberian sanksi kepadanya. (HR  An Nasa’i, Abu dawud, Ibnu Majah dan Ahmad)
Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari Amr bin Auf:
الصلح جائز بين المسلمين إلا صلحا حرم حلالا أو أحل حراما والمسلمون على شروطهم إلا شرطاحرم حلالا أو أحل حراما
Artinya: Antara kaum Muslimin boleh mengadakan perdamaian, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram, dan setiap muslim terikat pada syaratnya (perjanjian yang dibuatnya) masing-masing kecuali syarat mengharamkan yang halal  atau  menghalalkan yang haram. Hadits riwayat Turmudzi dan hadits ini dishahihkannya.

Menurut Ibnu Munzir, ulama sepakat (ijma’) atas kebolehan jual beli dengan cara salam. Di samping itu, cara tersebut juga diperlukan oleh masyarakat (Wahbah, 4/598).
Kaidah fiqh:
الأصل في المعاملات الاباحة إلا أن يدل دليل على تحريمها

Artinya: Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkan.

Jika diperhatikan dengan seksama tentang kwalitas hadis dan pendapat para ulama serta dalil-dalil lain yang memiliki korelasi dengan hadits tersebut diatas maka penulis berpendapat bahwa akad salam dalam jual beli adalah sesuai dengan aturan syari’.

C.    Hadits tentang Istisna’
1.      Pengertian istisna’
Merupakan akad jual beli yang dilakukan antara nasabah sebagai pemesan/pembeli (mustashni) dengan bank syariah sebagai produsen/penjual (shani) dimana penjual (pihak bank) membuat barang yang dipesan oleh nasabah.[16] Bank untuk memenuhi pesanan nasabah dapat mensubkan pekerjaannya kepada pihak lain dan barang yang akan diperjual-belikan harus dibuat lebih dulu dengan kriteria yang jelas. Pada umumnya, pembiayaan istishna’ dilakukan untuk pembiayaan konstruksi.
Bank Indonesia melalui Surat Edaran Nomor 10/14/DPbS tanggal 17 Maret 2008 menyatakan bahwa dalam kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan atas dasar akad istishna' berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut:[17]
a)        Bank bertindak baik sebagai pihak penyedia dana maupun penjual barang untuk kegiatan transaksi istishna’ dengan nasabah sebagai pihak pembeli barang.
b)        Barang dalam transaksi istishna’ adalah setiap keluaran (output) yang antara lain berasal dari proses manufacturing atau construction yang melibatkan tenaga kerja, dengan spesifikasi, kualitas, jumlah, jangka waktu, tempat, dan harga yang jelas serta disepakati oleh kedua belah pihak.
c)        Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik produk pembiayaan atas dasar istishna’, serta hak dan kewajiban nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi informasi produk Bank dan penggunaan data pribadi nasabah.
d)       Bank wajib melakukan analisis atas permohonan pembiayaan atas dasar istishna' dari nasabah yang antara lain meliputi aspek personal berupa analisa atas karakter (character ) dan/atau aspek usaha antara lain meliputi analisa kapasitas usaha (capacity), keuangan (capital), dan/atau prospek usaha (condition).
e)        Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan dalam bentuk perjanjian tertulis berupa akad pembiayaan atas dasar Istishna’, dan
f)         Pembayaran pembelian barang tidak boleh dalam bentuk pembebasan utang atau dalam bentuk pemberian piutang. Bank tidak dapat meminta tambahan harga apabila nasabah menerima barang dengan kualitas yang lebih tinggi, kecuali terdapat kesepakatan kedua belah pihak. Bank tidak harus memberikan potongan harga (discount) apabila nasabah menerima barang dengan kualitas yang lebih rendah, kecuali terdapat kesepakatan kedua belah pihak.

2.      Hadits Ahkam tentang istisna’
Berikut ini adalah hadist yang berkaitan dengan tema pokok diatas[18]:
الصلح جائز بين المسلمين إلا صلحا حرم حلالا أو أحل حراما والمسلمون على شروطهم إلا شرطاحرم حلالا أو أحل حراما
Artinya: Antara kaum Muslimin boleh mengadakan perdamaian, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram, dan setiap muslim terikat pada syaratnya (perjanjian yang dibuatnya) masing-masing kecuali syarat mengharamkan yang halal  atau  menghalalkan yang haram. Hadits riwayat Turmudzi dan hadits ini dishahihkannya.

3.      Kandungan Hadits
Kandungan hadir tersebut adalah sebagai berikut:
الإصلاحُ بين المُتخاصِمينَ من مكارمِ الأخلاقِ، ومحاسنِ الشَّريعةِ الغَرَّاءِ؛ فهو يُؤلِّفُ بين قلوبِ المؤمنين، ويُحافظُ على رُوحِ الأُخُوَّةِ بينهم، وينزِعُ عنهم الأحقادَ والعَداواتِ.
وفي هذا الحديثِ يَحُثُّ النَّبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم المسلِمين على الصُّلْحِ بين المُتخاصِمينَ، فيقول: «الصُّلْحُ جائزٌ بين المسلِمين»، وخصَّ المسلِمين في الحديثِ؛ اهتمامًا بشأنِهم، «إلَّا صُلْحًا أحَلَّ حرامًا، أو حرَّمَ حلالًا»، أي: يُستثنى من الصُّلحِ الجائِزِ أنْ يَشتمِلَ على تحليلِ مُحَرَّمٍ؛ كأنْ يُصالِحَ المرءُ على أكْلِ مالٍ لا يحِلُّ له، أو زيادةٍ رِبويَّةٍ على الدَّينِ، وكذلك لا يجوز الصُّلحُ إذا اشتَمَلَ على تحريمِ حلالٍ؛ كأنْ يُصالِحَ الزَّوجُ زَوجتَه على ألَّا يَبيتَ عِندَ زَوجتِه الأُخرى.
ثمَّ قال رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم: «المسلِمون على شُروطِهم»، أي: ثابِتونَ على الشُّروطِ الجائزةِ شَرْعًا التي تَقَعُ بينهم؛ فيُوفون بها ولا يَرجِعون عنها؛ لأنَّ هذا من الوفاءِ بالعُقودِ الذي أمَرَ اللهُ به، وأمَّا الشُّروطُ الفاسدةُ أو غيرُ الجائزة شرعًا؛ فلا يُوفَى بها
Artinya: perdamaian diantara orang-orang yang bermusuhan adalah bagian dari akhlaq yang terpuji, mempertautkan semangat persaudaraan dan menghilangkan permusuhan diantara mereka. Dalam hadits ini, Nabi (saw) mendesak kaum Muslim untuk mendamaikan pertengkaran tersebut, dengan mengatakan: "Damai diperbolehkan di kalangan umat Islam" kecuali damai yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal. Artinya dikecualikan perdamaian menghalalkan yang haram, seperti berdamai dalam hal mengambil harta (milik orang lain), hal tersebut tidak dijinkan, atau member tambahan riba dalam hutang. Begitu juga tidak diperbolehkan mengharamkan hal yang halal. Seperti sang suami mendamaikan istrinya agar tidak tinggal dengan istri yang lain, Kemudian Rasulullah SAW. bersabda: "Orang-orang Muslim sesuai dengan syarat mereka."artinya, mereka harus mentaati aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh syari’. Karena itu adalah soal pemenuhan kontrak yang telah diperintahkan Allah padanya. Adapun syarat yang tidak benar atau tidak diperbolehkan, dia tidak diberi imbalan dengannya.



4.      Kwalitas periwayatan hadits
Rawi dalam hadis tersebut diatas antara lain adalah Abu Hurairah, Amr Bin Auf Al-Mizani. Berkaitan dengan Hadis tersebut, sebagian ahli ulumul hadis berpendapat sebagai hadits shohih, sebagain berpendapat senagai hadis dhoif dan sebagian berpendapat sebagai hadis hasan[19].

5.      Analisis hukum
Dalil dalil yang mempunyai korelasi dengan dengan hadis diatas adalah sebagai berikut dibawah ini.
Hadis Nabi:

لا ضرر ولا ضرار [20]

Artinya: Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan orang lain.
Dalam kaidah fiqih karya Dr. Sholih bin Ganim as-Sadlan disebutkan[21]:
الاصل فى العبادة الحظر وفى العادات الاباحة
Artinya: pada dasarnya dalam hal ibadah adalah larangan dan dalam hal kebiasaan adalah diperbolehkan.
Dan dalam kaidah fiqh yang lain disebutkan:
الأصل في المعاملات الإجابة إلا أن يدل دليل على تحريمها
Artinya: Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkan.
Menurut mazhab Hanafi, istishna’ hukumnya boleh (jawaz) karena hal itu telah dilakukan oleh masyrakat muslim sejak masa awal tanpa ada pihak (ulama) yang mengingkarinya.
Apabila diperhatikan secara seksama maka hadits tentang akad istisna’ dapat dijadikan dasar hukum karena pada azaznya, tidak bertentangan dengan dalil-dalil nagli lainnya. Pada dataran empiris akad istisna’ tidak dilarang dan juga telah dipraktekkan oleh sebagaian masyarakat untuk memenuhi kebutuhan mereka dalam kegiatan bisnis.

III.             Penutup
Bahwa  setelah mengkaji dan menganalisa tentang hadist-hadis ahkam yang dijadikan sumber hukum dalam  akad murabahah, akad salam dan akad istisna’ penulis berkesimpulan jual beli dengan akad-akad tersebut diatas telah sesuai dengan ketentuan syari’ dan diperbolehkan.


DAFTAR PUSTAKA


Abi Abdillah Muhammad Bin Ismail Al-Bukhori, Shohih Bukhori, Dar Ibnu Katsir, Libanon,Cet I. 2002.
Abi Abdullah Musthofa Bin Al-Adawi, Syarah Ilalul Hadist, Dar Ibnu Rajab, Makkah, 1234 H.
Adiwarman A. Karim, “Bank Islam Analisa Fiqih Dan Keuangan”, Edisi III, PT.  Grafindo Persada, Jakarta, 2008.
Al- Imam Abi Walid Muhammad Bin Ahmad Bin Muhammad Bin Ahmad Bin Rasyid Al-Qurtubi, Bidayah Al-Mujtahid Wa Nihayatul Muqtasyid, Juz II, Darul Makrifat Libanon, 1982.
Fatwa Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), No: 04/DSN-MUI/IV/2000, Tentang Murabahah, 17 Jumadil Akhir 1421 H /16 September 2000 M.
Fatwa Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama Indonesia, No: 05/DSN-MUI/IV/2000, Tentang Jual Beli Salam, 29 Dzulhijjah 1420 H / 4 April 2000 M.
Shohih Sunan Ibnu Majah, Penulis Muhammad Nasiruddin Albani, Maktab Al-Tarbiyah Al-Arabiyah Li Duwali Al-Khalij, 1407 H.
Sholin Bin Ghanim As-Sadlan, Al-Qhawaid Al-Fiqhiyah Al-Qubra, Dar Balnasiyah, Al-Mamlakah A-Arabiyah As-Su’udiyah, Riyad, 1417 H
Tajuddin Abdul Wahab Bin Ali As-Subki,  Jam’ul Jawami’ Fi Ushulil Fiqhi, Darul Kutub Al-Ilmiyah, Bairut Libanon, Cet. II, 1423 H.




[1] Adiwarman A. Karim, “Bank Islam Analisa Fiqih Dan Keuangan”, Edisi Iii, Pt.  Grafindo Persada, Jakarta, 2008, Hlm. 97-100.
[2] Kata “bank syariah” adalah sample subjek hukum yang digunakan dalam makalah ini untuk mempermudah dalam ilustrasi transaksi jual beli.

[3]Disarikan Dari Fatwa Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama Indonesia (Dsn-Mui), No: 04/Dsn-Mui/Iv/2000, Tentang Murabahah, 17 Jumadil Akhir 1421 H /16 September 2000 M.
[5]Shohih Sunan Ibnu Majah, Penulis Muhammad Nasiruddin Albani, Maktab Al-Tarbiyah Al-Arabiyah Li Duwali Al-Khalij, 1407 H, (nomor 1792).
[7] Abi Abdullah Musthofa Bin Al-Adawi, Syarah Ilalul Hadist, Dar Ibnu Rajab, Makkah, 1234 H, Hal.13.
[8] Tajuddin Abdul Wahab Bin Ali As-Subki,  Jam’ul Jawami’ Fi Ushulil Fiqhi, Darul Kutub Al-Ilmiyah, Bairut Libanon, Cet. Ii, 1423 H, Hal. 23-24.
[9]Al- Imam Abi Walid Muhammad Bin Ahmad Bin Muhammad Bin Ahmad Bin Rasyid Al-Qurtubi, Bidayah Al-Mujtahid Wa Nihayatul Muqtasyid, Juz II, Darul Makrifat Libanon, 1982, Hal.161.
[10] Disarikan Dari Fatwa Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama Indonesia, No: 05/Dsn-Mui/Iv/2000, Tentang Jual Beli Salam, 29 Dzulhijjah 1420 H / 4 April 2000 M.
[11] Abi Abdillah Muhammad Bin Ismail Al-Bukhori, Shohih Bukhori, (Hadist No.2287)  Dar Ibnu Katsir, Libanon,Cet I. 2002, Hal. 547.
[12]Lihat syarah hadis nomor 14912. https://www.dorar.net/hadith/search, 14 September 2017
[16] Adiwarman A Karim, Op.,Cit., Hlm. 100
[18] Hadis tersebut dapat ditemukan dalam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Al-Fatawa, nomor 29/147.
[20] Hadits ini dapat ditemukan dalam Al-Thabari, Mu’jam Al-Ausad, nomor 1/90. dan juga dapat ditemukan dalam Al-Baihaqi, Sunan Al-Kubra Al-Baihaqi, nomor 6/70.
[21]Sholin Bin Ghanim As-Sadlan, Al-Qhawaid Al-Fiqhiyah Al-Qubra, Dar Balnasiyah, Al-Mamlakah A-Arabiyah As-Su’udiyah, Riyad, 1417 H, Hal. 154.

Comments

Popular posts from this blog

SHUNDUQ HIFZI IDA’ (SAFE DEPOSIT BOX) BANK SYARI’AH

STUDI TENTANG PEMIKIRAN IMAM AL-SYAUKANI DALAM KITAB IRSYAD AL-FUHUL