ITSBAT NIKAH DI PENGADILAN AGAMA
DASAR HUKUM PENETAPAN
DALAM PERKARA ITSBAT NIKAH
DI PENGADILAN AGAMA
oleh
Nur Moklis
I.
PENDAHULUAN
Berbicara
tentang nikah sirri, maka sebagian masyarakat akan memahami sebagai pernikahan
yang dirahasiakan oleh dua orang mempelai, wali nikahnya dan para saksi
sehingga masyarakat luas tidak mengetahui telah terjadi peristiwa pernikahan
tersebut, namun mayoritas masyarakat Indonesia memahami nikah sirri sebagai
peristiwa pernikahan yang dilaksanakan menurut ajaran agama yang dianut dua
calon mempelai namun tidak dicatatkan pada lembaga yang berwenang, bagi seorang
muslim adalah Kantor Urusan Agama (KUA) atau bagi yang non-muslim pada Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil. Nikah sirri jenis pertama jelas dilarang oleh
ajaran agama Islam karena bertentangan dengan Hadits Nabi SAW yang memerintahkan adanya walimah (perayaan
pernikahan). Beliau bersabda: “Adakanlah pesta perkawinan, sekalipun hanya
dengan hidangan kambing”.(HR. Muslim: 2557).[1]
Dengan adanya walimah tentunya akan terhindar dari fitnah dan resiko lain yang
tidak diinginkan baik untuk mempelai dan keluarganya. Adapun jenis nikah sirri
yang kedua biasa disebut nikah “bawah tangan” karena pernikahan ini telah
memenuhi syarat dan rukun pernikahan menurut ajaran agama namun tidak
dicatatkan pada lembaga yang berwenang.
Secara realita jumlah pelaku nikah
di “bawah tangan” masih sangat banyak, tentu dengan berbagai alasan yang
melingkupinya. Setidaknya sampai bulan Nopember 2017, terdapat sekitar 300
perkara permohonan yang diajukan di Pengadilan Agama Martapura lebih dari 70 %
adalah Istbat Nikah.[2]
Sementara itu aturan
perundang-undangan sangat membatasi aturan istbat nikah sebagaimana dalam Pasal
7 Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum
Islam (KHI) yakni sebagai berikut:
1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat
oleh Pegawai Pencatat Nikah.
2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah,
dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.
3) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas
mengenai hal-hal yang berkenaan dengan :
a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;
b. Hilangnya akta nikah;
c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat
perkawinan;
d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974;
e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai
halangan perkawinan menurut Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974.
4) Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau
istri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan
perkawinan itu.[3]
Pada
Makalah ini Penulis akan mengkaji tentang dasar hukum penetapan dalam perkara
itsbat nikah di Pengadilan Agama, guna mengetahui secara factual, Apakah
penetapan tersebut telah sesuai dengan aturan Perundang-Undangan?, ataukan para
hakim Pengadilan Agama memiliki alasan lain untuk mengistbatkan nikah dibawah
tangan tersebut?.
II.
PANDANGAN
MASYARAKAT TENTANG NIKAH “BAWAH TANGAN”
Apabila diamati secara
detail dan teliti di lingkungan masyarakat yang menjalankan praktek nikah sirri di wilayah tersebut tidak
mengalami kendala yang berarti dalam aspek pergaulan di masyarakat. Pemahaman
tentang pernikahan yang cukup simpel dengan mencukupkan terpenuhinya syarat dan
rukun nikah, dengan tanpa melengkapi admintrasi untuk pencatatan pernikahan
yang telah dilaksanakan pada Kantor Urusan Agama (KUA) setempat tidak akan
mengganggu keharmonisan hidup di masyarakat setempat. Hal ini akan menyadarkan
kita bahwa keberadaan pemahaman ajaran agama tidak lepas dari pengaruh realitas
sekelilingnya. Pertemuan antara doktrin agama dengan realitas sekelilingnya
menghasilkan konten budaya. Pertemuan ajaran agama dengan
realitas sosial seringkali kita temui dalam praktek kehidupan sehari-hari, karena tidak mungkin
ajaran agama berada dalam realita yang vacum (original), ambil sebuah contoh
perayaan idul fitri di Indonesia dengan tradisi sungkeman, silaturrahmi dengan
yang lebih tua, kepada para guru, ulama, para kyai adalah sebuah bukti
keterkaitan antara ajaran agama dengan budaya.
Bagi masyarakat tertentu nikah sirri
mampu menyelesaikan masalah seseorang yang menginginkan untuk membangun sebuah
keluarga sakinah mawaddah dan penuh rahmah, dengan tanpa menyadari bahwa dengan
terjadi peristiwa pernikahan akan menimbulkan hukum keperdataan yang
mengiringinya. Pelaku nikah di “bawah tangan”, tetap diterima masyarakat
sesuai kapasitasnya, bagi tetua masyarakat tidak akan mereduksi ketokohannya,
bagi seorang tuan guru tidak akan menggangu kewibawaanya dan bagi masyarakat
biasa tidak akan mengurangi eksistensinya. Dengan penerimaan ini membuat para
pelaku nikah bawah tangan mendapatkan “penguat” dari masyarakat setempat bahwa
apa yang mereka lakukan adalah wajar. Teori Penguat (reinforcement theory)
dapat digunakan untuk menerangkan berbagai tingkah laku sosial tersebut. Salah
satu teori untuk menerangkan terbentuknya sikap ini dikemukakan oleh Darryl
Beum (1964) yang juga pengikut Skinner. Ia mendasarkan diri pada pernyataan
Skinner bahwa tingkah laku manusia berkembang dan dipertahankan oleh
anggota-anggota masyarakat yang memberi penguat pada individu untuk bertingkah
laku secara tertentu (yang dikehendaki oleh masyarakat).[4]
III.
NIKAH
“BAWAH TANGAN” DILAKUKAN SECARA TURUN TEMURUN
Apakah
para hakim Pengadilan Agama memiliki alasan lain untuk mengistbatkan nikah
dibawah tangan yang ada sekarang? Selain
mengacu pada peraturan perundang-undangan. Penulis akan sajikan sejumlah fakta
menarik berikut ini.
Penulis
sering melakukan sidang keliling diberbagai tempat selama bertugas di
Pengadilan Agama. Penulis pernah melakukan penelitian di 4 (empat) desa yang
terdiri Desa Simpang Warga dan Desa Podok Kecamatan Aluh-Aluh,
Desa Sungai Lurus Kecamatan Sambung Makmur dan Desa Lok Baintan Dalam Kecamatan
Sei/ Sungai Tabuk
Kabupaten Banjar Provinsi Kalimantan, Penulis mengambil sampel
65 keluarga yang telah melaksanakan nikah sirri, 63 keluarga adalah penduduk
asli di desanya atau setidaknya adalah tetangga Desa dalam satu kecamatan, dan
sudah saling mengenal baik antara keluarga pria dengan keluarga wanita. Nikah
secara sirri ini bukanlah digenerasi mereka saja, namun juga dilaksanakan pada
generasi sebelumnya. Dengan adanya tokoh desa yang menjadi panutan dan sangat
dihormati yang mampu menjaga tradisi serta sedikitnya masyarakat pendatang
membuat situasi di lingkungan keluarga yang menikah sirri nyaris tidak
mengalami masalah berarti.[5]
Ada beberapa factor yang
menjadikan nikah sirri ini tetap berlanjut sampai sekarang. Penulis meringkas
factor-faktor yang ada dilapangan sebagai berikut:[6]
a.
Faktor pemahaman
tokoh agama dalam memahami ajaran khusunya pencatan dalam pernikahan. Dalam
lingkup sosio kultural masyarakat yang sangat menghormati ketokohan dan
kharisma seorang alim (bentuk jamak = ulama) atau dengan sebutan tuan guru,
namun tidak semua tokoh agama memiliki kesamaan pandangan tentang pentingnya
pencatatan pernikahan, sehingga berakibat masih banyaknya masyarakat yang
melalukan nikah tanpa dicatatkan (nikah sirri).
b. Faktor
pendidikan. Rendahnya pendidikan masyarakat Desa Simpang Warga dan Desa Podok Kecamatan
Aluh-Aluh, Desa Sungai Lurus Kecamatan Sambung Makmur dan Desa Lok Baintan Dalam
Kecamatan Sei/ Sungai Tabuk
Kabupaten Banjar Provinsi Kalimantan
jika diukur secara rata-rata, sehingga kurang memahami adanya aturan pemerintah
terhadap pernikahan, sehingga mau melakukan pernikahan sirri.
c. Faktor
rendahnya pemahaman terhadap hukum. Banyak masyarakat yang kurang paham
terhadap hukum pernikahan yang sesuai dengan aturan pemerintah, tentunya ini
juga diakibatkan rendahnya tingkat pendidikan.
d. Faktor
Budaya/ kebiasan dalam masyarakat. Pada faktor ini memegang peranan sangat
menentukan yang dapat memungkinkan nikah sirri terjadi, calon mempelai dan
keluarganya merasa cukup untuk melaksanakan pernikahan pada seorang tokoh
agama, karena berkeyakinan pencatatan nikah bukanlah hal penting karena
pencatatan pernikahan bukan termasuk bagian dari syarat maupun rukun dalam
pernikahan.
e. Faktor
kebutuhan seks (kebutuhan biologis). Hal ini juga dapat di pertimbangkan karena
bagian dari kebutuhan dasar manusia untuk melanjutkan silsilah nasabnya.
f.
Faktor persepsi masyarakat tentang mahalnya biaya untuk
nikah di Kantor Urusan Agama (KUA). Sebagian masyarakat merasa bahwa biaya yang
dikeluarkan karena untuk pernikahan di KUA cukup mahal, hal tersebut
dimungkinkan kurangnya informasi yang di dapat oleh masyarakat setempat bahwa
pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang pembebasan biaya pernikahan di Kantor
Urusan Agama (KUA).
Dalam teorinya Darryl
Beum (1964), menyatakan bahwa dalam interaksi sosial terjadi 2 macam hubungan
fungsional, yang pertama adalah hubungan fungsional dimana terdapat kontrol
penguat (reinforcement control) yaitu jika tingkah laku balas (response)
ternyata menimbulkan penguat (reinforcement) yang bersifat ganjaran (reward).
Dalam hal ini ada tidaknya atau banyak sedikitnya rangsang penguat akan
mengontrol tingkah laku balas. Tingkah laku untuk mendapat ganjaran tersebut
disebut tingkah laku operan (operant response). Sedang hubungan
fungsional kedua hanya terjadi jika tingkah laku balas hanya mendapat ganjaran
pada keadaan-keadaan tertentu. Teori Belajar melalui Instrumental
Conditioning juga menerapkan prinsip pemberian hadiah (reward) dan
hukuman (punishment) terhadap munculnya respon-respon dari subyek.
Respon yang muncul sesuai yang dikehendaki diberi hadiah, sedangkan respon yang
muncul tidak sesuai dengan kehendak dikenai hukuman.[7]
Dalam hal nikah sirri masyarakat di Desa Simpang Warga dan Desa Podok Kecamatan
Aluh-Aluh, Desa Sungai Lurus Kecamatan Sambung Makmur dan Desa Lok Baintan
Kecamatan Sei/ Sungai Tabuk
Kabupaten Banjar Provinsi Kalimantan tersebut tidaklah dianggap sebagai suatu peristiwa negatif yang
harus mendapatkan hukuman (punishment) secara sosial dari masyarakat.
Pernikahan yang tidak dicatatkan pada KUA setempat masih dipandang oleh
masyarakat setempat menjadi solusi pemecahan untuk calon mempelai yang sudah
saling mencintai guna membangun sebuah keluarga sesuai dengan ajaran agama dan
oleh masyarakat para pelaku nikah sirri diberi sebuah apresiasi, hadiah (reward)
karena telah menjalankan bagian dari
ajaran agama.
IV.
DASAR
HUKUM PENETAPAN DALAM PERKARA ITSBAT NIKAH
Dalam
pemeriksaaan perkara Itsbat nikah Penulis akan mengambil beberapa sampel
penetapan dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2017. Dalam masing-masing sampel
tersebut setiap tahunnya Penulis sajikan 3 (tiga) penetapan istbat nikah.
Adapun secara sampel penetapan secara lengkap sebagai berikut table dibawah ini.[8]
Tabel
Sampel
Istbat nikah tahun 2010 s.d. tahun 2017
Tahun Penetapan
|
No.
Perkara
|
Dasar Hukum Penetapan Istbat Nikah tahun 2010 s.d. 2017
|
|||||||
al-Qur’an
|
Hadits
|
UU
|
KHI
|
PP
|
Kitab Fiqih
|
Teori Sosial
|
Pendapat Pakar
|
||
2010
|
0860/Pdt.G/2010/PA.Kds.
0008/Pdt.P/2010/PA.
Kds.
0005/Pdt.P/2010/PA.Kds.
|
-
-
-
|
-
-
-
|
-
-
-
|
v
v
v
|
-
-
-
|
v
v
v
|
-
-
-
|
-
-
-
|
2011
|
0595/Pdt.G/2011/PA.Kds.
0500/Pdt.G/2011/PA.Kds.
0113/Pdt.P/2011/PA.Kds.
|
-
-
-
|
-
-
-
|
-
-
v
|
v
v
v
|
-
-
|
v
v
v
|
-
-
-
|
-
-
-
|
2012
|
0030/Pdt.P/2012/PA.Kds
0083/Pdt.P/2012/PA.Kds.
0082/Pdt.P/2011/PA.Kds.
|
-
-
-
|
-
-
-
|
-
v
-
|
v
v
-
|
-
-
-
|
-
v
v
|
-
-
-
|
-
-
-
|
2013
|
0162/Pdt.P/2013/PA.Mtp
0238/Pdt.P/2013/PA.Mtp
0284/Pdt.P/2013/PA.Mtp
|
-
-
-
|
-
-
-
|
v
v
v
|
v
v
v
|
-
-
-
|
v
v
v
|
-
-
-
|
-
-
v
|
2014
|
0173/Pdt.P/2014/PA.Mtp
0072/Pdt.G/2014/PA.Mtp
0006/Pdt.P/2014/PA.Mtp
|
-
-
-
|
-
-
-
|
v
v
v
|
-
v
v
|
-
-
-
|
v
v
v
|
-
-
-
|
-
v
-
|
2015
|
0083/Pdt.P/2015/PA.Mtp
0062/Pdt.P/2015/PA.Mtp
0223/Pdt.P/2015/PA
Mtp
|
-
-
v
|
-
-
v
|
v
v
v
|
v
v
v
|
v
v
-
|
v
v
v
|
-
-
v
|
-
-
-
|
2016
|
0174/Pdt.P/2016/PA.Mtp
0183/Pdt.P/2016/PA.Mtp
0143/Pdt.P/2016/PA.Mtp
|
-
-
-
|
-
-
-
|
v
v
v
|
v
v
v
|
-
-
-
|
v
v
v
|
-
-
-
|
-
-
-
|
2017
|
0074/Pdt.P/2017/PA.Mtp
0203/Pdt.P/2017/PA.Mtp
0208/Pdt.P/2017/PA.Mtp
|
-
-
-
|
-
-
-
|
v
v
v
|
v
v
v
|
-
-
-
|
v
v
v
|
-
-
-
|
-
-
-
|
Secara
garis besar dalam penetapan istbat nikah, hakim yang memeriksa perkara tersebut
menuangkan hasil keputusannya dalam bentuk sebuah penetapan.[9] Apabila diamati secara
teliti penetapan tersebut terdiri dari
kepala putusan, identitas para pihak, duduk perkara, dan pertimbangan hukum
serta amar penetapan dan tanggal penetapan tersebut.
Pada
sampel-sampel penetapan diatas hakim yang memeriksa perkara istbat nikah
terlebih dahulu mempertimbangakan legal standing para pihak, mempertimbangakan
kompetensi absolute dan kompetensi relative Pengadilan Agama, alasan pokok para
pihak mengajukan perkaranya, kemudian pada dasar hukum yang digunakan hakim
pemeriksa perkara adalah dengan menggali fakta-fakta melalui pembuktian
surat-surat dan juga menggunakan alat bukti saksi-saksi.[10]
Setelah
mempelajari dengan teliti table diatas, kemungkinan besar masyarakat pemerhati
hukum dan peradilan akan bertanya, mengapa setelah hukum islam (baca: Kompilasi
Hukum Islam) sudah eksis (terkodifikasi) sebagai sumber materiil peradilan
agama, Hakim Agama masih mengutip kitab-kitab fikih klasik sebagai rujukan
untuk memutus perkara istbat nikah di Pengadilan?
Tentang
hal tersebut Penulis berusaha mencari sumber baik dari peraturan-peraturan perundang-undangan
dan bertanya langsung pada beberapa Hakim Peradilan Agama. Akhirnya penulis
berkesimpulan bahwa alasan utamanya adalah, pertama; landasan
Hukum menggunakan kitab-kitab fikih klasik merujuk pada Surat Edaran Biro
Peradilan Agama No.B/1/735 tanggal 18 Februari 1958 sebagai pelaksana PP No. 45
Tahun 1957 tentang Pembentukan Peradilan Agama/ Mahkamah Syariah di Luar Jawa
dan Madura. Dalam huruf b surat Edaran tersebut di Jelaskan sebagi berikut:
“Untuk mendapatkan kesatuan
hukum dalam memeriksa dan memutuskan perkara maka para hakim Pengadilan Agama/
Mahkamah Syariah dianjurkan agar mempergunakan sebagi pedoman kitab-kitab
tersebut di bawah ini:
1. Al-Bajuri
2. Fathulmui’in
3. Syarqowi alat’ tahrir
4. Qolyubi/Mahalli
5. Fathul Wahab dengan Syarahnya
6. Tuhfah
7. Targhibul Musytaq
8. Qowanin syar’iyah lis sayyid bin Yahya
9. Qowanin syar’iyah lis sayyid Sadaqah Dachlan
10. Syamsuri fil Fara’idl
11. Bughyatul Musytarsyidin
12. Alfiqu Alaa Mandzahibil Arba’ah
13. Mughnil Muhtaj.”[11]
Kedua, Pengkutipan dari
kitab-kitab fikih klasik, kaidah-kaidah fiqhiyah merupakan salah satu idenditas
intelektual yang ingin di tunjukkan
kepada public bahwa para Hakim Peradilan Agama adalah para ilmuan dalam hukum
Islam dan tetap menghormati fara fuqaha (pakar hukum Islam) terkemuka di dunia
Islam dengan mengambil alih pendapat mereka yang memiliki relefansi dengan
perkara yang sedang diperiksa dan di adili.[12]
Hal ini jika diperhatikan dengan seksama tentang banyaknya
penetapan itsbat nikah[13]
ternyata, langkah yang ditempuh para hakim yang mengadili perkara sesuai dengan
tujuan pembentukan hukum islam (maqashid
al-syari’ah), yaitu merealisir kemaslahatan manusia dengan menjamin
kebutuhan primernya (dhoruriyah),
memenuhi kebutuhan skundernya (hajiyah)
dn serta kebutuhan pelengkapnya (tahsiniyah)[14].
Muhammad Abu Zahra menyatakan bahwa tujuan pemberlakuan hukum syari’ah adalah
untuk kesejahteraan manusia.[15]
Hal tersebut sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an bahwa tidaklah
Allah mengutus Muhammad SAW kecuali dengan tujuan mensejahterkan alam seisinya
Apabila
diperhatikan dengan seksama, dari sampel beberapa penetapan tentang istbat
nikah diatas, Majelis yang memeriksa perkara tersebut tidak sebatas memahami
aturan perundang-undangan secara tektual semata namun terlihat adanya
pertimbangan dari aspek sosiologis, antropologis dan juga kultur masyarakat
setempat.[16] Dan
hal itu ternyata bukanlah hal yang mudah bagi para pengadil tersebut. Dialektika
perdebatan antar pengadil yang memeriksa perkara istbat nikah juga sangat
ketara dalam memutuskan sebaian penetapan mereka. Hal itu dapat dilihat dari
sebuah kalimat yang Penulis kutip, bahwa:
“…oleh karena
terjadi perbedaan pendapat (Dissenting
Opinion) dalam musyawarah Majelis Hakim, dan telah diusahakan dengan
sungguh-sungguh, akan tetapi tidak tercapai permufakatan, maka Majelis Hakim
setelah bermusyawarah dan diambil keputusan dengan suara terbanyak…”.[17]
Terlepas
dari kasus-kasus particular sebagaimana Penulis uraikan diatas sebagaimana
dalam sample penetapan diatas, dalam sistem hukum dimanapun didunia, keadilan
selalu menjadi objek perburuan, khususnya melalui lembaga pengadilannya.
Keadilan adalah hal yang mendasar bagi bekerjanya suatu sistem hukum. Sistem
hukum tersebut sesungguhnya merupakan suatu struktur atau kelengkapan untuk
mencapai konsep keadilan yang telah disepakati bersama.[18]
Ambil
contoh saja dalam konsep keadilan dalam pemikiran hukum progresif. Disini di uraikan bagaimana bisa menciptakan
keadilan yang subtantif dan bukan keadilan prosedur. Akibat dari hukum modren
yang memberikan perhatian besar terhadap aspek prosedur, maka hukum di
Indonesia dihadapkan pada dua pilihan besar antara pengadilan yang menekankan
pada prosedur atau pada substansi. Keadilan progresif bukanlah keadilan yang
menekan pada prosedur melainkan keadilan substantif.
Bagaimana
mungkin itu terjadi, karena kerusakan dan kemerosotan dalam perburuan keadilan
melalui hukum modern disebabkan permainan prosedur yang menyebabkan timbulnya
pertanyaan “apakah pengadilan itu mencari keadilan atau kemenangan?”. Proses
pengadilan dinegara yang sangat sarat dengan prosedur (heavly
proceduralizied) menjalankan prosedur dengan baik ditempatkan diatas
segala-galanya, bahkan diatas penanganan substansi (accuracy of substance).
Sistem seperti itu memancing sindiran terjadinya trials without truth.[19]
Dalam
rangka menjadikan keadilan subtantif sebagai inti pengadilan yang dijalankan di
Indonesia, Mahkamah Agung memegang peranan yang sangat penting. Sebagai puncak
dari badan pengadilan, ia memiliki kekuasaan untuk mendorong (encourage) pengadilan
dan hakim dinegeri ini untuk mewujudkan keadilan yang progresif tersebut.[20]
Hakim
menjadi faktor penting dalam menentukan, bahwa pengadilan di Indonesia bukanlah
suatu permainan (game) untuk mencari menang atau kalah, melainkan
mencari kebenaran dan keadilan. Keadilan progresif semakin jauh dari cita-cita
“pengadilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan” apabila membiarkan
pengadilan didominasi oleh “permainan” prosedur. Proses pengadilan yang disebut fair trial dinegeri
ini hendaknya berani ditafsirkan sebagai pengadilan dimana hakim memegang
kendali aktif untuk mencari kebenaran.[21]
Hukum
Islam sebagaimana hukum-hukum yang lain mempunyai asas dan tiang pokok. kuatan suatu hukum, sukar mudahnya, dapat
diterima atau ditolak masyarakat tergantung kepada asas dan tiang-tiang
pokoknya.[22]
Hudari Bik berpendapat bahwa dalam pembinaan hukum Islam, setidaknya ada tiga
asas.[23]
a)
‘Adamul Harj (Tidak Menyempitkan).
Haraj
menurut
bahasa Arab adalah sempit. Banyak dalil-dalil yang menunjukkan bahwa syari’at
ini didasarkan atas dihilangkannya kesempitan. Firman Allah Ta’ala:
Artinya: “Allah menghendaki kemudahan
bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” (QS. al-Baqarah ayat 185).
Artinya:“Dia
telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama
suatu kesempitan” (Q.S. Al-Hajj ayat 78).
Artinya: dan membuang dari mereka beban-beban dan
belenggu-belenggu yang ada pada mereka (Q.S. Al-A’raf ayat 157)
Maksudnya
adalah dalam syari'at yang dibawa oleh Nabi Muhammad itu tidak ada lagi
beban-beban yang berat yang dipikulkan kepada Bani Israil. Umpamanya:
mensyari'atkan membunuh diri untuk sahnya taubat, mewajibkan qisas pada
pembunuhan baik yang disengaja atau tidak tanpa membolehkan membayar diat,
memotong anggota badan yang melakukan kesalahan, membuang atau menggunting kain
yang kena najis. Dan hadits Nabi : ”Aku diutus dengan agama yang
ringan”
Menurut
Yusuf al-Qaradhawi,[24]
memudahkan adalah manhaj al-Qur’an dan Nabi. Manhaj tersebut diajarkan oleh
Nabi kepada para sahabat. Beliau memerintahkan mereka untuk mengikutinya. Baik
individu maupun jamaah. Ketika mengutus Abu Musa dan Muadz bin Jabal ke Yaman,
beliau mengutus dengan wasiat ini, “Mudahkan jangan menyulitkan, beri kabar gembira
bukan ketakutan, dan taatlah bukan berselisih”. Hal yang beliau wasiatkan
kepada Muadz dan Abu Musa beliau wasiatkan juga kepada umat. Anas meriwayatkan
bahwa Nabi pernah bersabda, “Mudahkanlah dan jangan menyulitkan, berilah kabar
gembira dan jangan ketakutan.” (Muttafaq alaih). Dengan demikian yang
dicipta adalah memudahkan dalam fatwa, dan memberi kabar gembira dalam dakwah.[25]
Ulama
sering menguatkan pendapat mereka dengan perkataan “Ini lebih mudah bagi
manusia”. Jika berijtihad, merekapun sering membetulkan muamalah manusia
sesuai dengan kemampuan. Mereka menyandarkan hal tersebut kepada kaidah-kaidah
syariat, seperti al-dharurat tubih al-mahzhurat (keadaan darurat
membolehkan hal yang terlarang), al-hajah tunazzil manzilah al-dharurah (kebutuhan
mendesak disesuaikan dengan kedudukan darurat), al-dharar yuzal (darurat
harus dihilangkan), al-adah muhakkamah (adat menjadi hukum), al-masyaqqqah
tajlib al-taysir (kesulitan mendatangkan kemudahan), serta kaidah-kaidah
lainnya yang dibuat oleh ulama dan mereka ambil dari teks-teks dan hukum-hukum syariat.[26].
Di
sini harus diingatkan ungkapan yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam kitab Hilyatul
Auliya, Imam Ibnu Abdil Barr dalam al-Ilm, dan Imam an-Nawawi dalam
muqaddimah kitab al-Majmu‟ dari Imam Sufyan bin Said al-Tsauri, yang
menjadi imam dalam bidang fiqih, hadits, dan wara’. Ia berkata dengan ungkapan yang
sangat agung, Fiqih adalah pemberian rukhshah dari tokoh yang tsiqat, sedang
memberikan tuntutan hukum yang keras dapat dilakukan oleh semua orang.”[27]
Kita
harus memperhatikan perkataannya bahwa rukhshah dari ulama yang tsiqat, yaitu
ulama yang dipercayai kefaqihan dan kesalehan agamanya. Sedangkan orang yang
tidak memiliki kedua hal itu atau salah satunya maka bisa saja ia memberikan
rukhshah dalam sesuatu yang tidak boleh diberikan rukhshah, sehingga tindakannya
itu melanggar dalil-dalil syari’at yang qath‟i dan muhkamat serta
kaidah-kaidahnya. Hal ini tentunya tidak dapat diterima oleh insan muslim yang
cinta dan teguh memegang agamanya.[28]
Yusuf
al-Qaradhawi mengatakan bahwa maksud dari kemudahan itu mengandung beberapa
perkara[29]:
1) Memperhatikan
sisi keringanan atau rukhshah.
2) Memperhatikan
kondisi yang mendesak dan kondisi yang meringankan.
3) Memilih
yang paling mudah dan bukan yang paling hati-hati di zaman kita hidup masa kini[30].
4) Membatasi
dalam masalah-masalah yang wajib dan yang haram.
5) Membebaskan
diri dari fanatisme mazhab.
6) Kemudahan
dalam semua masalah.
Terkait
dengan prinsip ini, dalam kaidah fiqih terdapat kaidah yang berbunyi al-masyaqqah
tajlib al-taysir (kesulitan mendorong kemudahan) yang oleh Ali Haydar
dijelaskan bahwa kesulitan yang terdapat pada sesuatu menjadi sebab dalam
mempermudah dan memperingan sesuatu tersebut, yang pada intinya menekankan
besarnya perhatian syariat pada bentuk-bentuk kemudahan dan keringanan hukum.
Bahkan al-Sya’bi pernah menyatakan, jika seorang muslim diperintahkan melakukan
salah satu di antara dua hal, kemudian ia memilih yang paling ringan baginya,
maka pilihannya itu lebih disukai Allah SWT.[31]
b)
Taqlil al-Taklif (Menyedikitkan Beban)
Menyedikitkan
beban merupakan konsekuensi logis bagi tidak adanya menyulitkan (asas pertama),
karena di dalam banyaknya beban mengakibatkan kesempitan. Orang yang
menyibukkan diri terhadap al-Qur’an untuk melihat perintahperintah dan
larangan-larangan yang di dalamnya niscaya dapat menerima terhadap kebenaran
pokok ini, karena dengan melihatnya sedikit memungkinkan untuk mengetahuinya
dalam waktu sekilas dan mudah mengamalkannya, tidaklah banyak
perincianperinciannya sehingga banyaknya itu tidak menimbulkan kesulitan
terhadap orang-orang yang mau berpegang dengan kitab Allah yang kuat. Sebagian
dari ayat yang menunjukkan hal itu adalah firman Allah Ta’ala dalam surat
al-Maidah yang berbunyi:
Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal
yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan
di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah
memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”
(Q.S.Al-Maidah ayat 101)
Masalah-masalah
yang dilarang ini adalah sesuatu yang telah dimaafkan oleh Allah yakni
didiamkan pengharamannya seandainya mereka tidak menanyakannya niscaya hal itu
diampuni dalam meninggalkannya.
c) Berangsur-angsur
Mendatangkan Hukum
Dalam
menetapkan suatu hukum, hendaknya tidak dilakukan secara radikal, karena
masyarakat akan sulit untuk melaksanakannya. Maka seyogyanya dilakukan setahap
demi setahap. Sebagai contoh, jika pemerintah mengeluarkan peraturan tentang
kewajiban bagi pengendara sepeda motor agar menyalakan lampu di siang hari
secara sekaligus, maka masyarakat akan menentangnya karena belum mengetahui
tujuan dari hal tersebut, namun masyarakat akan mudah menerima dan
melaksanakannya jika peraturan itu diterapkan secara bertahap dan setelah
masyarakat memahami manfaatnya.[32]
Dalam sosiologi Ibnu
Khaldun dinyatakan bahwa suatu masyarakat (tradisional atau yang tingkat
intelektualnya masih rendah) akan menentang apabila ada sesuatu yang baru atau
sesuatu yang datang kemudian dalam kehidupannya, lebih-lebih apabila sesuatu
yang baru tersebut bertentangan dengan tradisi yang ada. Masyarakat senantiasa
memberikan respon apabila timbul sesuatu di tengah-tengah mereka.[33]
Dengan
mengingat faktor tradisi dan ketidaksenangan manusia untuk menghadapi
perpindahan sekaligus dari suatu keadaan lain yang asing sama sekali bagi
mereka, al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur, surat demi surat dan ayat
demi ayat sesuai dengan peristiwa, kondisi, dan situasi yang terjadi. Dengan
cara demikian, hukum yang diturunkannya lebih disenangi oleh jiwa dan lebih
mendorong ke arah menaatinya, serta bersiapsiap meninggalkan ketentuan lama dan
menerima ketentuan baru.[34]
Berangsur-angsur
mendatangkan hukum, artinya Allah dalam mendatangkan hukum-hukumnya tidak
dengan sekaligus, tetapi diangsur dari satu demi satu. Misalnya tentang hokum
dilarangnya orang meminum khamar dan main judi. Ketika Rasulullah SAW ditanya
tentang hukum keduanya itu oleh sebagian kaum muslim yang telah meminum khamar
dan main judi, maka turun firman Allah dalam surat al-Baqarah yang berbunyi:
Artinya: mereka
bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya
terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa
keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa
yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan."
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir.
Al-Baqarah ayat :219)
Dalam
ayat ini tidak jelas kelihatan tentang terlarangnya kedua perkara yang
ditanyakan itu, padahal sebenarnya sudah terkandung di dalamnya larangan keras,
karena segala yang mendatangkan dosa bagi orang yang mengerjakannya sudah
dilarang keras orang mengerjakannya[35].
Belakangan diturunkan
pula satu ayat yang berarti melarang orang mengerjakan shalat dikala mabuk yang
bunyinya :
Artinya:”Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan
mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri
mesjid) sedang kamu dalam Keadaan junub[301], terkecuali sekedar berlalu saja,
hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang
dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak
mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah
mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun”.
(Q.S.An-Nisa’ ayat 43)
Kemudian pada
suatu saat diturunkan pula ayat yang tegas jelas melarang orang meminum arak
dan bermain judi, yang bunyinya:
Artinya:Hai
orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah[434], adalah Termasuk perbuatan
syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan
dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan
menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; Maka berhentilah kamu
(dari mengerjakan pekerjaan itu). (Q.S. Al-Maidah ayat 90-91)
Barulah
dengan ayat ini jelas terlarangnya orang meminum arak dan bermain judi, yang
berarti supaya kedua macam perbuatan itu dijauhi benar-benar oleh segenap orang
yang beriman.
Fathurrahman
Djamil
menambahkan
dua asas lagi, yaitu sebagaimana tersebut dibawah ini:
d) Memperhatikan
Kemaslahatan Manusia
Hukum
Islam dihadapkan kepada bermacam-macam jenis manusia dan ke seluruh dunia. Maka
tentulah pembina hokum memperhatikan kemaslahatan masing-masing mereka sesuai
dengan adat kebudayaan mereka serta iklim yang menyelubunginya. Jika
kemaslahatan-kemaslahatan itu bertentangan satu sama lain, maka pada saat itu
didahulukan maslahat umum atas maslahat khusus dan diharuskan menolak
kemudharatan yang lebih besar dengan jalan mengerjakan kemudharatan yang kecil.[36]
Dalam
masa kepemimpinannya, Umar menjadikan maslahat dan nash sebagai pokok atau
dasar tasyri’nya. Hampir pada semua kejadian dan kasus yang dihadapinya
diputuskan dengan tujuan untuk maslahat ammah. Jika dalam suatu kejadian
ada nash khususnya, maka Umar harus melaksanakannya dan agar hal itu dapat
membawa maslahat, serta menjadikan masalah yang ada nashnya itu membawa dua
sisi manfaat. Karena penguasa jika memutuskan satu keputusan hanya karena
menurutnya hal itu ada kemaslahatannya, dan dengan sengaja melanggar nash, maka
putusannya itu tidak harus dipatuhi, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Nujaim[37].
Umar
selalu berpijak pada pemahaman nash dan yang tidak ditolak oleh akal, di
samping ia juga selalu berpegangan pada keputusan-keputusan tasyri’ yang umum.
Adapun jika dalam masalah yang tidak ada nash khususnya, maka pada saat itu
Umar tidak mengeluarkan satu keputusan tasyri’ hanya dengan menggunakan ra’yu
dan ijtihadnya dan mengatakan bahwa itu adalah maslahat, dengan tanpa
mengaitkan dan menguatkannya dengan alasan lain[38].
e) Mewujudkan Keadilan yang Merata.
Manusia
di dalam hukum Islam, sama kedudukannya. Mereka tidak lebih melebihi karena
kebangsaan, karena keturunan, karena harta atau karena kemegahan. Tak ada di
dalam hukum Islam penguasa yang bebas dari jeratan undang-undang, apabila
mereka berbuat zalim. Semua manusia di hadapan Allah Hakim yang Maha Adil
adalah sama.[39]
Nabi bersabda: Artinya:“diriwayatkan
dari Aisyah r.a ia berkata;”ada seorang perempuan mahzumiah meminjam barang dan
mengingkarinya. Kemudian Nabi Muhammad saw menyuruh agar tangan perempuan itu
dipotong. Tetapi kemudian keluarganya datang kepada Usamah bin Zaid ra dan
mengadukan hal itu. Selanjutnya Usamah bin Zaid menyampaikan pengaduan itu
kepada Nabi. Nabi saw berkata,‟Hai Usamah, aku tidak melihatmu dapat
membebaskan suatu hadd dari Allah Azza wa Jalla‟. Kemudian Nabi berdiri dan
berkhotbah, seraya berkata.‟ Sesungguhnya kehancuran generasi sebelum kamu adalah
karena bila orang yang mulia dari mereka mencuri, maka mereka biarkan. Bila
orang yang rendah dari mereka mencuri, maka mereka menegakkan hadd potong
tangan atasnya. Demi Dzat yang jiwaku berada di dalam genggaman-Nya, Andaikata
Fatimah putri Muhammad mencuri, niscaya aku potong tangannya." Dengan
demikian maka tangan perempuan mahzumah itu dipotong. (HR. Muslim)[40]
Setelah
memperhatikan konsep hukum progresifnya Prof. sacipto Raharjo dan juga asas-asas
Hukum Islam yang di kemukakan oleh Hudhari Bik, dan Fathurrahman Djamil serta
teori-teori Maqhasid syariah dalam tulisannya Abdul wahab khalaf dan juga Abu
Zahra, dan memperhatikan contoh kasus nikah “bawah tangan” dengan sampel 63
keluarga diatas, nampaknya para pengadil
Pengadilan Agama dalam kasus itsbat nikah sengaja menyimpangi pasal 7 ayat 3
Kompilasi Hukum Islam hanya semata-mata merealisir kemaslahatan bagi pelaku
nikah “bawah tangan” dengan tujuan membangaun keluarga sakinah waddah dan penuh
rahmah sebagaimana dalam ajaran Islam
V.
KESIMPULAN
1. Terkadang
dalam kasus Istbat nikah terhadap nikah “bawah tangan” para Pengadil
menyimpangi ketentuan perundang-undangan guna mewujudkan tujuan-tujuan
substansi sebagaimana yang di kemukakan Prof. Sacipto Rahardjo dalam hukum
progresifnya, hal ini terlihat dalam penetapan isbat nikah nomor 0223/Pdt.P/2015/PA Mtp
2. Dalam
mengambil sebuah keputusan, hakim yang memeriksa perkara penetapan Istbat nikah
selain menggunakan dasar Perundang-Undangan yang ada juga memperhatikan aspek
soiokultural masyarakat setempat. Dalam hal ini kadang terjadi perbedaan
pendapat dalam mengambil sebuah keputusan hukum diantara hakim yang memeriksa
sebuah perkara, meskipun fakta hukum yang di temukan dalam pembuktian tidak ada
perbedaan diantara mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Haq, Ahmad Mubarok, dan Agus Ro’uf, Formulasi Nalar Fiqh, Telaah Kaidah Fiqh
Konseptual, Surabaya: Khalista, 2006.
Abdul Wahab Kholaf, Ilmu Ushul Fiqih, Darul Qalam, 1978.
Al-Qaradhawi
berkata-Manhaj yang menjadi pilihan saya dan manhaj yang Allah tunjukkan
Chalil
Moenawar, Kembali Kepada Al-Qur‟an dan As-Sunnah, Jakarta: PT Midas
Surya, 1993.
Dr. Muhammad Faturrahman, Belajar
Dan Pembelajaran Modern, Konsep Dasar, Inovasi, dan Teori Pembelajaran,
Penerbit Garudhawaca, Joqjakarta, 2017.
Fatchurrahman Djamil, Filsafat
Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
http://pa-martapura.go.id/,
akses tanggal 03 Nopember 2017
https://putusan.mahkamahagung.go.id/pengadilan/pa-martapura,
akses 03 Nopember 2017.
https://putusan.mahkamahagung.go.id/pengadilan/pa-martapura,
akses 03 Nopember 2017
Hudari
Bik, Tarikh al-Tasyri‟ al-Islami, diterjemahkan Mohammad Zuhri, Sejarah
Pembinaan Hukum Islam, Darul Ihya, 1980.
http://pa-martapura.go.id/,
akses tanggal 03 Nopember 2017.
Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991
tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Ishom Talimah, al-Qaradhawi
Faqihan, diterjemahkan Samson Rahman, Manhaj Fiqih Yusuf al-Qaradhawi, Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2001.
Mahkamah Agung RI Direktorat
Jendral Badan Peradilan Agama, Buku II Pedoman Penyelesaian Tugas Dan
Administrasi Peradilan Agama Edisi Revisi, Tahun 2013.
Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqih, Darul Fikr Al-Arabi, TT, Hal. 164
Muhammad Baltaji, Manhaj
Umar Ibn al-Khathab fi al-Tasyrii‟, diterjemahkan H. Masturi Irham, Metodologi
Ijtihad Umar bin al-Khathab, Jakarta: Khalifa, 2005.
Muslim ibn Hajjaj
al-Qusyairy al-Naysabury, Sahih Muslim, Jilid II, Libanon: Dar al- Kutub
al-Ilmiyah, t.th.
Nur Moklis, Nikah Sirri Berlatar Budaya di Kabupaten
Banjar Kalimantan Selatan, http://hukum-i.blogspot.co.id/2016/09/nikah-sirri-berlatar-budaya-di.html,
akses tanggal 09 Nopember 2017
Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Rachmat
Djatnika, Jalan Mencari Hukum Islami Upaya ke Arah Pemahaman Metodologi
Ijtihad, dalam kata pengantar, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum
Nasional, Amrullah Ahmad, dkk (ed), et. al., Jakarta: Gema Insani Press,
1996.
Satjipto Rahardjo, Membedah
Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2006, hlm. 270
Surat Edaran Biro Peradilan Agama
No.B/1/735 tanggal 18 Februari 1958 sebagai pelaksana PP No. 45 Tahun 1957
tentang Pembentukan Peradilan Agama/ Mahkamah Syariah di Luar Jawa dan Madura
T.M
Hasbi Ash Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Semarang: PT Pustaka Rizki
Putra, 2001, hlm. 58.
Undang-Undang Nomor 03
Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama
Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang Nomor 50
Tahun 2009 Tentang Perubahan ke dua Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama
Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
Yusuf
al-Qaradhawi, “Taisir al-Fiqh li al-Muslim al-Mua‟shir fi Dahu al-Qur‟an wa
as-Sunnah”, diterjemahkan Abdul Hayyie al-Kattani, M. Yusuf Wijaya, dan
Noor Cholis Hamzain, Fiqih Praktis bagi Kehidupan Modern, Jakarta: Gema
Insani Press, 2002.
Yusuf
al-Qaradhawi, Dirasah fi Fiqh Maqashid Syari‟ah, diterjemahkan H. Arif
Munandar Riswantom Fiqih Maqashid Syariah, Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
2007.
[1] Tentang perintah melalukan
pelaksanaan pesta pernikahan juga dapat ditemukan dalam Hadis Muslim yang lain
823, 824, dan juga Hadis Bukhori 1855, 1856.
[2] Informasi Perkara Pengadilan
Agama Martapura, lihat di http://pa-martapura.go.id/,
akses tanggal 03 Nopember 2017. Hal demikian juga terjadi di Pengadilan Agama
Lainnya, dari perkara permohonan yang ada, Itsbat nikah adalah salah satu
perkara yang paling dominan.
[3] Instruksi Presiden No. 1 Tahun
1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (KHI)
[4] Lihat Dr. Muhammad Faturrahman, Belajar Dan
Pembelajaran Modern, Konsep Dasar, Inovasi, dan Teori Pembelajaran,
Penerbit Garudhawaca, Joqjakarta, 2017, hal. 89-105
[5] Nur Moklis, Nikah
Sirri Berlatar Budaya di Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan, http://hukum-i.blogspot.co.id/2016/09/nikah-sirri-berlatar-budaya-di.html,
akses tanggal 09 Nopember 2017
[6] Ibid.
[7] Dr. Muhammad Faturrahman, Op.Cit.,
[8] https://putusan.mahkamahagung.go.id/pengadilan/pa-martapura,
akses 03 Nopember 2017
[9] Penetapan adalah produk dari
perkara volentair, adapun produk hukum lainnya yang dikeluarkan oleh pengadilan
agama adalah putusan untuk jenis perkara contentius dan akta perdamaian untuk
penyelesaian perkara secara damai dalam litigasi. Lihat Mahkamah Agung RI
Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama, Buku II Pedoman Penyelesaian Tugas
Dan Administrasi Peradilan Agama Edisi Revisi, Tahun 2013.
[10] https://putusan.mahkamahagung.go.id/pengadilan/pa-martapura,
akses 03 Nopember 2017.
[11] Surat Edaran Biro Peradilan
Agama No.B/1/735 tanggal 18 Februari 1958 sebagai pelaksana PP No. 45 Tahun
1957 tentang Pembentukan Peradilan Agama/ Mahkamah Syariah di Luar Jawa dan
Madura. 13 kitab klasik tersebut merupakan rujukan utama dalam pembuatan
Kompilasi Hukum Islam, selain kitab-kitab fiqih lainnya.
[12] disarikan dari wawancara
beberapa Hakim di Peradilan Agama. Dalam beberapa pembinaan Pimpinan Mahkamah
Agung RI, sering mengingatkan pentingnya menggali hukum yang hidup dalam
masyarakat dan khusus untuk hakim peradilan agama juga sangat dianjurkan dalam
pertimbangan hukum putusannya memahami dan menggali hukum dari para fuqaha
terdahulu dalam kitab-kitab fiqih dan kaidah-kaidah fiqhiyah.
[13] Banyaknya
kebutuhan masyarakat tentang pelayanan administrasi kependudukan seperti akta
kelahiran anak para pemohon dan lainya yang menyebabkan para hakim mengabulkan
permohonan para pemohon istbat nikah tidak hanya pernikahan yang dilalukan
sebelum di sahkannya undang-undang nomor 1 tahun 1974, namun juga dengan
mempertimbangakan kemanfaatan, dan social justice, yang pada akhirnya
permohonan para pemohon dikabulkan. Lihat: 0083/Pdt.P/2015/PA.Mtp., 0062/Pdt.P/2015/PA.Mtp., 0223/Pdt.P/2015/PA.Mtp dan lainya sebagaimana dalam table diatas.
[14] Abdul Wahab Kholaf, Ilmu Ushul Fiqih, Darul Qalam, 1978,
Hal. 197
[15] Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqih, Darul Fikr Al-Arabi, TT,
Hal. 164
[16] Lihat penetapan nomor 0223/Pdt.P/2015/PA Mtp. Berlatar belakan
pernikahan menggunakan wali ayah angkat. Dalam perspektif KHI, hal tersebut
tidaklah dibenarkan. Disini selain merujuk peraturan perundang-undangan dalam
pertimbangan hukum juga memperhatikan social justice. Dalam hal penetapan nomor 0223/Pdt.P/2015/PA Mtp. diatas, Majelis
Hakim merujuk pada Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman Pasal 5 ayat (1) yang menyatakan: “Hakim
dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum
dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”
jo. Pasal
3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang
berbunyi: “Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat
kepastian hukum dalam semangat di depan hukum” sehingga hal ini secara
tidak langsung menuntut jiwa seorang hakim untuk memberikan rasa keadilan yang
berlandaskan asas manfaat dan asas kepastian hukum, dan mengenai kedudukan
seorang wali terhadap pernikahan yang dilakukan seorang wanita yang berstatus
janda, Majelis Hakim memiliki pandangan dan pendapat yang merujuk pada mazhab
Hanafi yang menyatakan bahwa pernikahan tanpa wali itu sah, hal ini sesuai
firman Allah dalam surah al Baqarah ayat 230, 232 dan 234
[17]Lihat dalam perkara isbat nikah
dalam Penetapan nomor 0223/Pdt.P/2015/PA.Mtp. https://putusan.mahkamahagung.go.id/pengadilan/pa-martapura,
akses 03 Nopember 2017
[18]Satjipto Rahardjo, Membedah
Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2006, hlm. 270
[19] Ibid,
hlm. 272
[20] Kedailan substantive dalam
konsep hukum progresif nampaknya telah dijalankan oleh hakim-hakim Pengadilan
Agama selama ini, jika secara procedural perkara istbat nikah hanya boleh
secara limitative sebagaimana dalam pasal 7 ayat 3 Kompilasi Hukum Islam, yang
hanya terbatas pada Adanya perkawinan dalam
rangka penyelesaian perceraian, Hilangnya akta nikah, Adanya keraguan
tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan, Adanya perkawinan yang
terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, Perkawinan yang
dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974, namun secara factual sebagian penetapan
menyimpangi ketentuan pasal diatas untuk mewujudkan social justice. Lihat dalam
table penetapan diatas di: https://putusan.mahkamahagung.go.id/pengadilan/pa-martapura,
akses 03 Nopember 2017.
[21] Satjipto
Rahardjo,Op.,Cit., hlm. 276
[22] T.M Hasbi Ash
Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2001,
hlm. 58.
[23] Hudari Bik, Tarikh
al-Tasyri‟ al-Islami, diterjemahkan Mohammad Zuhri, Sejarah Pembinaan
Hukum Islam, Darul Ihya, 1980, hlm. 31-39.
[24] Yusuf
al-Qaradhawi, Dirasah fi Fiqh Maqashid Syari‟ah, diterjemahkan H. Arif
Munandar Riswantom Fiqih Maqashid Syariah, Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
2007, hlm. 158.
[25] Ibid.
[26] Salah satu
contoh bahwa Rasulullah SAW mempraktekkan kemudahan ialah ketika beliau
memperhatikan karakter orang-orang Ethiopia yang senang menari dan bermain.
Oleh karena itu, beliau mengizinkan mereka untuk melakukan hal itu di masjid
beliau yang mulia. Saat itu Umar melempari mereka dengan kerikil, Rasululah SAW
bersabda kepadanya, “Biarkanlah mereka wahai Umar”. (Muttafaq alaih).
Dalam riwayat lain, beliau bersabda, “Mereka adalah Bani Rafdah. Lihat
juga Yusuf al-Qaradhawi, “Taisir al-Fiqh li al-Muslim al-Mua‟shir fi Dahu
al-Qur‟an wa as-Sunnah”, diterjemahkan Abdul Hayyie al-Kattani, M. Yusuf
Wijaya, dan Noor Cholis Hamzain, Fiqih Praktis bagi Kehidupan Modern, Jakarta:
Gema Insani Press, 2002, hlm.
[27] Ibid, hlm. 21
[28] Ibid.
[29] Ishom Talimah, al-Qaradhawi
Faqihan, diterjemahkan Samson Rahman, Manhaj Fiqih Yusuf al-Qaradhawi, Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2001, hlm. 94.
[30] Al-Qaradhawi
berkata-Manhaj yang menjadi pilihan saya dan manhaj yang Allah tunjukkan kepada
saya dan saya akan selalu komitmen dengannya dalam tulisan, fatwa dan
pengajaran. Saya akan mengambil yang mudah dalam masalah furu‟ (cabang)
dan tegas dalam masalah yang ushul (pokok). Jika dalam satu masalah
terdapat dua pandangan yang berbeda dan dua pendapat yang sama berdekatan, satu
diantaranya penuh kehati-hatian, sedangkan yang satunya lagi lebih mudah, maka
selayaknya bagi kita untuk memilih fatwa yang lebih mudah bagi seluruh manusia
dan jangan mengambil yang paling hati-hati. Alasan dan hujjahnya ialahperkataan
Aisyah, “Tidaklah Rasulullah diberi pilihan dua perkara kecuali dia
memilih yang paling gampang di antara keduanya selama itu tidak mengandung
dosa. Siapa pun yang belajar fiqih sahabat dan para ulama salafus shalih (ujar
al-Qaradhawi), dia akan mendapatkan bahwa fiqih yang mereka ambil umumnya
mengarah kepada fiqih yang lebih mudah, sedangkan fiqih setelah sahabat lebih
cenderung kepada kehati-hatian. Ishom Talimah, Ibid, hlm. 95.
[31] Abdul Haq,
Ahmad Mubarok, dan Agus Ro’uf, Formulasi Nalar Fiqh, Telaah Kaidah Fiqh
Konseptual, Surabaya: Khalista, 2006, hlm. 177.
[32] Rachmat
Djatnika, Jalan Mencari Hukum Islami Upaya ke Arah Pemahaman Metodologi
Ijtihad, dalam kata pengantar, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum
Nasional, Amrullah Ahmad, dkk (ed), et. al., Jakarta: Gema Insani Press,
1996, hlm. 107-108.
[33] Fatchurrahman
Djamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm.69
[34] Ibid, hlm. 70.
[35] Chalil
Moenawar, Kembali Kepada Al-Qur‟an dan As-Sunnah, Jakarta: PT Midas
Surya, 1993, hlm. 230.
[36] Fathurrahman Djamil, op.
cit., hlm. 71-75.
[37] Muhammad
Baltaji, Manhaj Umar Ibn al-Khathab fi al-Tasyrii‟, diterjemahkan H.
Masturi Irham, Metodologi Ijtihad Umar bin al-Khathab, Jakarta: Khalifa,
2005, hlm. 480.
[38] Ibid.
[39] T.M Hasbi Ash Shiddieqy, op.
cit., hlm. 68-69.
[40] Muslim ibn
Hajjaj al-Qusyairy al-Naysabury, Sahih Muslim, Jilid II, Libanon: Dar
al- Kutub al-Ilmiyah, t.th.
Comments
Post a Comment