ITSBAT NIKAH DI PENGADILAN AGAMA

DASAR HUKUM PENETAPAN DALAM PERKARA ITSBAT NIKAH
DI PENGADILAN AGAMA
oleh
Nur Moklis

I.              PENDAHULUAN
Berbicara tentang nikah sirri, maka sebagian masyarakat akan memahami sebagai pernikahan yang dirahasiakan oleh dua orang mempelai, wali nikahnya dan para saksi sehingga masyarakat luas tidak mengetahui telah terjadi peristiwa pernikahan tersebut, namun mayoritas masyarakat Indonesia memahami nikah sirri sebagai peristiwa pernikahan yang dilaksanakan menurut ajaran agama yang dianut dua calon mempelai namun tidak dicatatkan pada lembaga yang berwenang, bagi seorang muslim adalah Kantor Urusan Agama (KUA) atau bagi yang non-muslim pada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Nikah sirri jenis pertama jelas dilarang oleh ajaran agama Islam karena bertentangan dengan Hadits Nabi SAW yang memerintahkan adanya walimah (perayaan pernikahan). Beliau bersabda: “Adakanlah pesta perkawinan, sekalipun hanya dengan hidangan kambing”.(HR. Muslim: 2557).[1] Dengan adanya walimah tentunya akan terhindar dari fitnah dan resiko lain yang tidak diinginkan baik untuk mempelai dan keluarganya. Adapun jenis nikah sirri yang kedua biasa disebut nikah “bawah tangan” karena pernikahan ini telah memenuhi syarat dan rukun pernikahan menurut ajaran agama namun tidak dicatatkan pada lembaga yang berwenang.
Secara realita jumlah pelaku nikah di “bawah tangan” masih sangat banyak, tentu dengan berbagai alasan yang melingkupinya. Setidaknya sampai bulan Nopember 2017, terdapat sekitar 300 perkara permohonan yang diajukan di Pengadilan Agama Martapura lebih dari 70 % adalah Istbat Nikah.[2]
Sementara itu aturan perundang-undangan sangat membatasi aturan istbat nikah sebagaimana dalam Pasal 7 Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yakni sebagai berikut:
1)      Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.
2)      Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.
3)      Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan :
a.       Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;
b.      Hilangnya akta nikah;
c.       Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;
d.      Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974;
e.       Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
4)      Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau istri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.[3]

Pada Makalah ini Penulis akan mengkaji tentang dasar hukum penetapan dalam perkara itsbat nikah di Pengadilan Agama, guna mengetahui secara factual, Apakah penetapan tersebut telah sesuai dengan aturan Perundang-Undangan?, ataukan para hakim Pengadilan Agama memiliki alasan lain untuk mengistbatkan nikah dibawah tangan tersebut?.

II.           PANDANGAN MASYARAKAT TENTANG NIKAH “BAWAH TANGAN”
Apabila diamati secara detail dan teliti di lingkungan masyarakat yang menjalankan praktek  nikah sirri di wilayah tersebut tidak mengalami kendala yang berarti dalam aspek pergaulan di masyarakat. Pemahaman tentang pernikahan yang cukup simpel dengan mencukupkan terpenuhinya syarat dan rukun nikah, dengan tanpa melengkapi admintrasi untuk pencatatan pernikahan yang telah dilaksanakan pada Kantor Urusan Agama (KUA) setempat tidak akan mengganggu keharmonisan hidup di masyarakat setempat. Hal ini akan menyadarkan kita bahwa keberadaan pemahaman ajaran agama tidak lepas dari pengaruh realitas sekelilingnya. Pertemuan antara doktrin agama dengan realitas sekelilingnya menghasilkan konten budaya. Pertemuan ajaran agama dengan realitas sosial seringkali kita temui dalam praktek  kehidupan sehari-hari, karena tidak mungkin ajaran agama berada dalam realita yang vacum (original), ambil sebuah contoh perayaan idul fitri di Indonesia dengan tradisi sungkeman, silaturrahmi dengan yang lebih tua, kepada para guru, ulama, para kyai adalah sebuah bukti keterkaitan antara ajaran agama dengan budaya.
Bagi masyarakat tertentu nikah sirri mampu menyelesaikan masalah seseorang yang menginginkan untuk membangun sebuah keluarga sakinah mawaddah dan penuh rahmah, dengan tanpa menyadari bahwa dengan terjadi peristiwa pernikahan akan menimbulkan hukum keperdataan yang mengiringinya. Pelaku nikah di “bawah tangan”, tetap diterima masyarakat sesuai kapasitasnya, bagi tetua masyarakat tidak akan mereduksi ketokohannya, bagi seorang tuan guru tidak akan menggangu kewibawaanya dan bagi masyarakat biasa tidak akan mengurangi eksistensinya. Dengan penerimaan ini membuat para pelaku nikah bawah tangan mendapatkan “penguat” dari masyarakat setempat bahwa apa yang mereka lakukan adalah wajar. Teori Penguat (reinforcement theory) dapat digunakan untuk menerangkan berbagai tingkah laku sosial tersebut. Salah satu teori untuk menerangkan terbentuknya sikap ini dikemukakan oleh Darryl Beum (1964) yang juga pengikut Skinner. Ia mendasarkan diri pada pernyataan Skinner bahwa tingkah laku manusia berkembang dan dipertahankan oleh anggota-anggota masyarakat yang memberi penguat pada individu untuk bertingkah laku secara tertentu (yang dikehendaki oleh masyarakat).[4]

III.        NIKAH “BAWAH TANGAN” DILAKUKAN SECARA TURUN TEMURUN
Apakah para hakim Pengadilan Agama memiliki alasan lain untuk mengistbatkan nikah dibawah tangan  yang ada sekarang? Selain mengacu pada peraturan perundang-undangan. Penulis akan sajikan sejumlah fakta menarik berikut ini.
Penulis sering melakukan sidang keliling diberbagai tempat selama bertugas di Pengadilan Agama. Penulis pernah melakukan penelitian di 4 (empat) desa yang terdiri Desa Simpang Warga dan Desa Podok Kecamatan Aluh-Aluh, Desa Sungai Lurus Kecamatan Sambung Makmur dan Desa Lok Baintan Dalam Kecamatan Sei/ Sungai Tabuk Kabupaten Banjar Provinsi  Kalimantan, Penulis  mengambil sampel 65 keluarga yang telah melaksanakan nikah sirri, 63 keluarga adalah penduduk asli di desanya atau setidaknya adalah tetangga Desa dalam satu kecamatan, dan sudah saling mengenal baik antara keluarga pria dengan keluarga wanita. Nikah secara sirri ini bukanlah digenerasi mereka saja, namun juga dilaksanakan pada generasi sebelumnya. Dengan adanya tokoh desa yang menjadi panutan dan sangat dihormati yang mampu menjaga tradisi serta sedikitnya masyarakat pendatang membuat situasi di lingkungan keluarga yang menikah sirri nyaris tidak mengalami masalah berarti.[5]
Ada beberapa factor yang menjadikan nikah sirri ini tetap berlanjut sampai sekarang. Penulis meringkas factor-faktor yang ada dilapangan sebagai berikut:[6]
a.       Faktor pemahaman tokoh agama dalam memahami ajaran khusunya pencatan dalam pernikahan. Dalam lingkup sosio kultural masyarakat yang sangat menghormati ketokohan dan kharisma seorang alim (bentuk jamak = ulama) atau dengan sebutan tuan guru, namun tidak semua tokoh agama memiliki kesamaan pandangan tentang pentingnya pencatatan pernikahan, sehingga berakibat masih banyaknya masyarakat yang melalukan nikah tanpa dicatatkan (nikah sirri).
b.      Faktor pendidikan. Rendahnya pendidikan masyarakat Desa Simpang Warga dan Desa Podok Kecamatan Aluh-Aluh, Desa Sungai Lurus Kecamatan Sambung Makmur dan Desa Lok Baintan Dalam Kecamatan Sei/ Sungai Tabuk Kabupaten Banjar Provinsi  Kalimantan jika diukur secara rata-rata, sehingga kurang memahami adanya aturan pemerintah terhadap pernikahan, sehingga mau melakukan pernikahan sirri.
c.       Faktor rendahnya pemahaman terhadap hukum. Banyak masyarakat yang kurang paham terhadap hukum pernikahan yang sesuai dengan aturan pemerintah, tentunya ini juga diakibatkan rendahnya tingkat pendidikan.
d.      Faktor Budaya/ kebiasan dalam masyarakat. Pada faktor ini memegang peranan sangat menentukan yang dapat memungkinkan nikah sirri terjadi, calon mempelai dan keluarganya merasa cukup untuk melaksanakan pernikahan pada seorang tokoh agama, karena berkeyakinan pencatatan nikah bukanlah hal penting karena pencatatan pernikahan bukan termasuk bagian dari syarat maupun rukun dalam pernikahan.
e.       Faktor kebutuhan seks (kebutuhan biologis). Hal ini juga dapat di pertimbangkan karena bagian dari kebutuhan dasar manusia untuk melanjutkan silsilah nasabnya.
f.       Faktor persepsi masyarakat tentang mahalnya biaya untuk nikah di Kantor Urusan Agama (KUA). Sebagian masyarakat merasa bahwa biaya yang dikeluarkan karena untuk pernikahan di KUA cukup mahal, hal tersebut dimungkinkan kurangnya informasi yang di dapat oleh masyarakat setempat bahwa pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang pembebasan biaya pernikahan di Kantor Urusan Agama (KUA).
Dalam teorinya  Darryl Beum (1964), menyatakan bahwa dalam interaksi sosial terjadi 2 macam hubungan fungsional, yang pertama adalah hubungan fungsional dimana terdapat kontrol penguat (reinforcement control) yaitu jika tingkah laku balas (response) ternyata menimbulkan penguat (reinforcement) yang bersifat ganjaran (reward). Dalam hal ini ada tidaknya atau banyak sedikitnya rangsang penguat akan mengontrol tingkah laku balas. Tingkah laku untuk mendapat ganjaran tersebut disebut tingkah laku operan (operant response). Sedang hubungan fungsional kedua hanya terjadi jika tingkah laku balas hanya mendapat ganjaran pada keadaan-keadaan tertentu. Teori Belajar melalui Instrumental Conditioning juga menerapkan prinsip pemberian hadiah (reward) dan hukuman (punishment) terhadap munculnya respon-respon dari subyek. Respon yang muncul sesuai yang dikehendaki diberi hadiah, sedangkan respon yang muncul tidak sesuai dengan kehendak dikenai hukuman.[7]
Dalam hal nikah sirri masyarakat di Desa Simpang Warga dan Desa Podok Kecamatan Aluh-Aluh, Desa Sungai Lurus Kecamatan Sambung Makmur dan Desa Lok Baintan Kecamatan Sei/ Sungai Tabuk Kabupaten Banjar Provinsi  Kalimantan tersebut tidaklah dianggap sebagai suatu peristiwa negatif yang harus mendapatkan hukuman (punishment) secara sosial dari masyarakat. Pernikahan yang tidak dicatatkan pada KUA setempat masih dipandang oleh masyarakat setempat menjadi solusi pemecahan untuk calon mempelai yang sudah saling mencintai guna membangun sebuah keluarga sesuai dengan ajaran agama dan oleh masyarakat para pelaku nikah sirri diberi sebuah apresiasi, hadiah (reward) karena telah menjalankan  bagian dari ajaran agama.

IV.        DASAR HUKUM PENETAPAN DALAM PERKARA ITSBAT NIKAH
Dalam pemeriksaaan perkara Itsbat nikah Penulis akan mengambil beberapa sampel penetapan dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2017. Dalam masing-masing sampel tersebut setiap tahunnya Penulis sajikan 3 (tiga) penetapan istbat nikah. Adapun secara sampel penetapan secara lengkap sebagai berikut  table dibawah ini.[8]
Tabel
Sampel Istbat nikah tahun 2010 s.d. tahun 2017

Tahun Penetapan
No. Perkara
Dasar Hukum Penetapan Istbat Nikah tahun 2010 s.d. 2017
al-Qur’an
Hadits
UU
KHI
PP
Kitab Fiqih
Teori Sosial
Pendapat Pakar
2010
0860/Pdt.G/2010/PA.Kds.
0008/Pdt.P/2010/PA. Kds.
0005/Pdt.P/2010/PA.Kds.
-
-
-
-
-
-
-
-
-
v
v
v
-
-
-
v
v
v
-
-
-
-
-
-
2011
0595/Pdt.G/2011/PA.Kds.
0500/Pdt.G/2011/PA.Kds.
0113/Pdt.P/2011/PA.Kds.
-
-
-
-
-
-
-
-
v
v
v
v
-
-
v
v
v
-
-
-
-
-
-
2012
0030/Pdt.P/2012/PA.Kds
0083/Pdt.P/2012/PA.Kds.
0082/Pdt.P/2011/PA.Kds.
-
-
-
-
-
-
-
v
-
v
v
-
-
-
-
-
v
v
-
-
-
-
-
-
2013
0162/Pdt.P/2013/PA.Mtp
0238/Pdt.P/2013/PA.Mtp
0284/Pdt.P/2013/PA.Mtp
-
-
-
-
-
-
v
v
v
v
v
v
-
-
-
v
v
v
-
-
-
-
-
v
2014
0173/Pdt.P/2014/PA.Mtp
0072/Pdt.G/2014/PA.Mtp
0006/Pdt.P/2014/PA.Mtp
-
-
-
-
-
-
v
v
v
-
v
v
-
-
-
v
v
v
-
-
-
-
v
-
2015
0083/Pdt.P/2015/PA.Mtp
0062/Pdt.P/2015/PA.Mtp
0223/Pdt.P/2015/PA Mtp
-
-
v
-
-
v
v
v
v
v
v
v
v
v
-
v
v
v
-
-
v
-
-
-
2016
0174/Pdt.P/2016/PA.Mtp
0183/Pdt.P/2016/PA.Mtp
0143/Pdt.P/2016/PA.Mtp
-
-
-
-
-
-
v
v
v
v
v
v
-
-
-
v
v
v
-
-
-
-
-
-
2017
0074/Pdt.P/2017/PA.Mtp
0203/Pdt.P/2017/PA.Mtp
0208/Pdt.P/2017/PA.Mtp
-
-
-
-
-
-
v
v
v
v
v
v
-
-
-
v
v
v
-
-
-
-
-
-

Secara garis besar dalam penetapan istbat nikah, hakim yang memeriksa perkara tersebut menuangkan hasil keputusannya dalam bentuk sebuah penetapan.[9] Apabila diamati secara teliti penetapan  tersebut terdiri dari kepala putusan, identitas para pihak, duduk perkara, dan pertimbangan hukum serta amar penetapan dan tanggal penetapan tersebut. 
Pada sampel-sampel penetapan diatas hakim yang memeriksa perkara istbat nikah terlebih dahulu mempertimbangakan legal standing para pihak, mempertimbangakan kompetensi absolute dan kompetensi relative Pengadilan Agama, alasan pokok para pihak mengajukan perkaranya, kemudian pada dasar hukum yang digunakan hakim pemeriksa perkara adalah dengan menggali fakta-fakta melalui pembuktian surat-surat dan juga menggunakan alat bukti saksi-saksi.[10]
Setelah mempelajari dengan teliti table diatas, kemungkinan besar masyarakat pemerhati hukum dan peradilan akan bertanya, mengapa setelah hukum islam (baca: Kompilasi Hukum Islam) sudah eksis (terkodifikasi) sebagai sumber materiil peradilan agama, Hakim Agama masih mengutip kitab-kitab fikih klasik sebagai rujukan untuk memutus perkara istbat nikah di Pengadilan?
Tentang hal tersebut Penulis berusaha mencari sumber baik dari peraturan-peraturan perundang-undangan dan bertanya langsung pada beberapa Hakim Peradilan Agama. Akhirnya penulis berkesimpulan bahwa alasan utamanya adalah, pertama; landasan Hukum menggunakan kitab-kitab fikih klasik merujuk pada Surat Edaran Biro Peradilan Agama No.B/1/735 tanggal 18 Februari 1958 sebagai pelaksana PP No. 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Peradilan Agama/ Mahkamah Syariah di Luar Jawa dan Madura. Dalam huruf b surat Edaran tersebut di Jelaskan sebagi berikut:
“Untuk mendapatkan kesatuan hukum dalam memeriksa dan memutuskan perkara maka para hakim Pengadilan Agama/ Mahkamah Syariah dianjurkan agar mempergunakan sebagi pedoman kitab-kitab tersebut di bawah ini:
1.      Al-Bajuri
2.      Fathulmui’in
3.      Syarqowi alat’ tahrir
4.      Qolyubi/Mahalli
5.      Fathul Wahab dengan Syarahnya
6.      Tuhfah
7.      Targhibul Musytaq
8.      Qowanin syar’iyah lis sayyid bin Yahya
9.      Qowanin syar’iyah lis sayyid Sadaqah Dachlan
10.  Syamsuri fil Fara’idl
11.  Bughyatul Musytarsyidin
12.  Alfiqu Alaa Mandzahibil Arba’ah
13.  Mughnil Muhtaj.”[11]

Kedua, Pengkutipan dari kitab-kitab fikih klasik, kaidah-kaidah fiqhiyah merupakan salah satu idenditas  intelektual yang ingin di tunjukkan kepada public bahwa para Hakim Peradilan Agama adalah para ilmuan dalam hukum Islam dan tetap menghormati fara fuqaha (pakar hukum Islam) terkemuka di dunia Islam dengan mengambil alih pendapat mereka yang memiliki relefansi dengan perkara yang sedang diperiksa dan di adili.[12]
Hal ini jika diperhatikan dengan seksama tentang banyaknya penetapan itsbat nikah[13] ternyata, langkah yang ditempuh para hakim yang mengadili perkara sesuai dengan tujuan pembentukan hukum islam (maqashid al-syari’ah), yaitu merealisir kemaslahatan manusia dengan menjamin kebutuhan primernya (dhoruriyah), memenuhi kebutuhan skundernya (hajiyah) dn serta kebutuhan pelengkapnya (tahsiniyah)[14]. Muhammad Abu Zahra menyatakan bahwa tujuan pemberlakuan hukum syari’ah adalah untuk kesejahteraan manusia.[15] Hal tersebut sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an bahwa tidaklah Allah mengutus Muhammad SAW kecuali dengan tujuan mensejahterkan alam seisinya
Apabila diperhatikan dengan seksama, dari sampel beberapa penetapan tentang istbat nikah diatas, Majelis yang memeriksa perkara tersebut tidak sebatas memahami aturan perundang-undangan secara tektual semata namun terlihat adanya pertimbangan dari aspek sosiologis, antropologis dan juga kultur masyarakat setempat.[16] Dan hal itu ternyata bukanlah hal yang mudah bagi para pengadil tersebut. Dialektika perdebatan antar pengadil yang memeriksa perkara istbat nikah juga sangat ketara dalam memutuskan sebaian penetapan mereka. Hal itu dapat dilihat dari sebuah kalimat yang Penulis kutip, bahwa:
“…oleh karena terjadi perbedaan pendapat (Dissenting Opinion) dalam musyawarah Majelis Hakim, dan telah diusahakan dengan sungguh-sungguh, akan tetapi tidak tercapai permufakatan, maka Majelis Hakim setelah bermusyawarah dan diambil keputusan dengan suara terbanyak…”.[17]

Terlepas dari kasus-kasus particular sebagaimana Penulis uraikan diatas sebagaimana dalam sample penetapan diatas, dalam sistem hukum dimanapun didunia, keadilan selalu menjadi objek perburuan, khususnya melalui lembaga pengadilannya. Keadilan adalah hal yang mendasar bagi bekerjanya suatu sistem hukum. Sistem hukum tersebut sesungguhnya merupakan suatu struktur atau kelengkapan untuk mencapai konsep keadilan yang telah disepakati bersama.[18]
Ambil contoh saja dalam konsep keadilan dalam pemikiran hukum progresif.  Disini di uraikan bagaimana bisa menciptakan keadilan yang subtantif dan bukan keadilan prosedur. Akibat dari hukum modren yang memberikan perhatian besar terhadap aspek prosedur, maka hukum di Indonesia dihadapkan pada dua pilihan besar antara pengadilan yang menekankan pada prosedur atau pada substansi. Keadilan progresif bukanlah keadilan yang menekan pada prosedur melainkan keadilan substantif.
Bagaimana mungkin itu terjadi, karena kerusakan dan kemerosotan dalam perburuan keadilan melalui hukum modern disebabkan permainan prosedur yang menyebabkan timbulnya pertanyaan “apakah pengadilan itu mencari keadilan atau kemenangan?”. Proses pengadilan dinegara yang sangat sarat dengan prosedur (heavly proceduralizied) menjalankan prosedur dengan baik ditempatkan diatas segala-galanya, bahkan diatas penanganan substansi (accuracy of substance). Sistem seperti itu memancing sindiran terjadinya trials without truth.[19]
Dalam rangka menjadikan keadilan subtantif sebagai inti pengadilan yang dijalankan di Indonesia, Mahkamah Agung memegang peranan yang sangat penting. Sebagai puncak dari badan pengadilan, ia memiliki kekuasaan untuk mendorong (encourage) pengadilan dan hakim dinegeri ini untuk mewujudkan keadilan yang progresif tersebut.[20]
Hakim menjadi faktor penting dalam menentukan, bahwa pengadilan di Indonesia bukanlah suatu permainan (game) untuk mencari menang atau kalah, melainkan mencari kebenaran dan keadilan. Keadilan progresif semakin jauh dari cita-cita “pengadilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan” apabila membiarkan pengadilan didominasi oleh “permainan” prosedur.  Proses pengadilan yang disebut fair trial dinegeri ini hendaknya berani ditafsirkan sebagai pengadilan dimana hakim memegang kendali aktif untuk mencari kebenaran.[21]
Hukum Islam sebagaimana hukum-hukum yang lain mempunyai asas dan tiang pokok.  kuatan suatu hukum, sukar mudahnya, dapat diterima atau ditolak masyarakat tergantung kepada asas dan tiang-tiang pokoknya.[22] Hudari Bik berpendapat bahwa dalam pembinaan hukum Islam, setidaknya ada tiga asas.[23]
a) ‘Adamul Harj (Tidak Menyempitkan).
Haraj menurut bahasa Arab adalah sempit. Banyak dalil-dalil yang menunjukkan bahwa syari’at ini didasarkan atas dihilangkannya kesempitan. Firman Allah Ta’ala:

Artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” (QS. al-Baqarah ayat 185).

Artinya:“Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan” (Q.S. Al-Hajj ayat 78).

Artinya: dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka (Q.S. Al-A’raf ayat 157)

Maksudnya adalah dalam syari'at yang dibawa oleh Nabi Muhammad itu tidak ada lagi beban-beban yang berat yang dipikulkan kepada Bani Israil. Umpamanya: mensyari'atkan membunuh diri untuk sahnya taubat, mewajibkan qisas pada pembunuhan baik yang disengaja atau tidak tanpa membolehkan membayar diat, memotong anggota badan yang melakukan kesalahan, membuang atau menggunting kain yang kena najis. Dan hadits Nabi : ”Aku diutus dengan agama yang ringan”
Menurut Yusuf al-Qaradhawi,[24] memudahkan adalah manhaj al-Qur’an dan Nabi. Manhaj tersebut diajarkan oleh Nabi kepada para sahabat. Beliau memerintahkan mereka untuk mengikutinya. Baik individu maupun jamaah. Ketika mengutus Abu Musa dan Muadz bin Jabal ke Yaman, beliau mengutus dengan wasiat ini, “Mudahkan jangan menyulitkan, beri kabar gembira bukan ketakutan, dan taatlah bukan berselisih”. Hal yang beliau wasiatkan kepada Muadz dan Abu Musa beliau wasiatkan juga kepada umat. Anas meriwayatkan bahwa Nabi pernah bersabda, “Mudahkanlah dan jangan menyulitkan, berilah kabar gembira dan jangan ketakutan.” (Muttafaq alaih). Dengan demikian yang dicipta adalah memudahkan dalam fatwa, dan memberi kabar gembira dalam dakwah.[25]
Ulama sering menguatkan pendapat mereka dengan perkataan “Ini lebih mudah bagi manusia”. Jika berijtihad, merekapun sering membetulkan muamalah manusia sesuai dengan kemampuan. Mereka menyandarkan hal tersebut kepada kaidah-kaidah syariat, seperti al-dharurat tubih al-mahzhurat (keadaan darurat membolehkan hal yang terlarang), al-hajah tunazzil manzilah al-dharurah (kebutuhan mendesak disesuaikan dengan kedudukan darurat), al-dharar yuzal (darurat harus dihilangkan), al-adah muhakkamah (adat menjadi hukum), al-masyaqqqah tajlib al-taysir (kesulitan mendatangkan kemudahan), serta kaidah-kaidah lainnya yang dibuat oleh ulama dan mereka ambil dari teks-teks dan hukum-hukum syariat.[26].
Di sini harus diingatkan ungkapan yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam kitab Hilyatul Auliya, Imam Ibnu Abdil Barr dalam al-Ilm, dan Imam an-Nawawi dalam muqaddimah kitab al-Majmu‟ dari Imam Sufyan bin Said al-Tsauri, yang menjadi imam dalam bidang fiqih, hadits, dan wara’. Ia berkata dengan ungkapan yang sangat agung, Fiqih adalah pemberian rukhshah dari tokoh yang tsiqat, sedang memberikan tuntutan hukum yang keras dapat dilakukan oleh semua orang.”[27]
Kita harus memperhatikan perkataannya bahwa rukhshah dari ulama yang tsiqat, yaitu ulama yang dipercayai kefaqihan dan kesalehan agamanya. Sedangkan orang yang tidak memiliki kedua hal itu atau salah satunya maka bisa saja ia memberikan rukhshah dalam sesuatu yang tidak boleh diberikan rukhshah, sehingga tindakannya itu melanggar dalil-dalil syari’at yang qath‟i dan muhkamat serta kaidah-kaidahnya. Hal ini tentunya tidak dapat diterima oleh insan muslim yang cinta dan teguh memegang agamanya.[28]
Yusuf al-Qaradhawi mengatakan bahwa maksud dari kemudahan itu mengandung beberapa perkara[29]:
1)      Memperhatikan sisi keringanan atau rukhshah.
2)      Memperhatikan kondisi yang mendesak dan kondisi yang meringankan.
3)      Memilih yang paling mudah dan bukan yang paling hati-hati di zaman kita hidup masa kini[30].
4)      Membatasi dalam masalah-masalah yang wajib dan yang haram.
5)      Membebaskan diri dari fanatisme mazhab.
6)      Kemudahan dalam semua masalah.
Terkait dengan prinsip ini, dalam kaidah fiqih terdapat kaidah yang berbunyi al-masyaqqah tajlib al-taysir (kesulitan mendorong kemudahan) yang oleh Ali Haydar dijelaskan bahwa kesulitan yang terdapat pada sesuatu menjadi sebab dalam mempermudah dan memperingan sesuatu tersebut, yang pada intinya menekankan besarnya perhatian syariat pada bentuk-bentuk kemudahan dan keringanan hukum. Bahkan al-Sya’bi pernah menyatakan, jika seorang muslim diperintahkan melakukan salah satu di antara dua hal, kemudian ia memilih yang paling ringan baginya, maka pilihannya itu lebih disukai Allah SWT.[31]
b) Taqlil al-Taklif (Menyedikitkan Beban)
Menyedikitkan beban merupakan konsekuensi logis bagi tidak adanya menyulitkan (asas pertama), karena di dalam banyaknya beban mengakibatkan kesempitan. Orang yang menyibukkan diri terhadap al-Qur’an untuk melihat perintahperintah dan larangan-larangan yang di dalamnya niscaya dapat menerima terhadap kebenaran pokok ini, karena dengan melihatnya sedikit memungkinkan untuk mengetahuinya dalam waktu sekilas dan mudah mengamalkannya, tidaklah banyak perincianperinciannya sehingga banyaknya itu tidak menimbulkan kesulitan terhadap orang-orang yang mau berpegang dengan kitab Allah yang kuat. Sebagian dari ayat yang menunjukkan hal itu adalah firman Allah Ta’ala dalam surat al-Maidah yang berbunyi:
  
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (Q.S.Al-Maidah ayat 101)

Masalah-masalah yang dilarang ini adalah sesuatu yang telah dimaafkan oleh Allah yakni didiamkan pengharamannya seandainya mereka tidak menanyakannya niscaya hal itu diampuni dalam meninggalkannya.
c) Berangsur-angsur Mendatangkan Hukum
Dalam menetapkan suatu hukum, hendaknya tidak dilakukan secara radikal, karena masyarakat akan sulit untuk melaksanakannya. Maka seyogyanya dilakukan setahap demi setahap. Sebagai contoh, jika pemerintah mengeluarkan peraturan tentang kewajiban bagi pengendara sepeda motor agar menyalakan lampu di siang hari secara sekaligus, maka masyarakat akan menentangnya karena belum mengetahui tujuan dari hal tersebut, namun masyarakat akan mudah menerima dan melaksanakannya jika peraturan itu diterapkan secara bertahap dan setelah masyarakat memahami manfaatnya.[32]
 Dalam sosiologi Ibnu Khaldun dinyatakan bahwa suatu masyarakat (tradisional atau yang tingkat intelektualnya masih rendah) akan menentang apabila ada sesuatu yang baru atau sesuatu yang datang kemudian dalam kehidupannya, lebih-lebih apabila sesuatu yang baru tersebut bertentangan dengan tradisi yang ada. Masyarakat senantiasa memberikan respon apabila timbul sesuatu di tengah-tengah mereka.[33] Dengan mengingat faktor tradisi dan ketidaksenangan manusia untuk menghadapi perpindahan sekaligus dari suatu keadaan lain yang asing sama sekali bagi mereka, al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur, surat demi surat dan ayat demi ayat sesuai dengan peristiwa, kondisi, dan situasi yang terjadi. Dengan cara demikian, hukum yang diturunkannya lebih disenangi oleh jiwa dan lebih mendorong ke arah menaatinya, serta bersiapsiap meninggalkan ketentuan lama dan menerima ketentuan baru.[34]
 Berangsur-angsur mendatangkan hukum, artinya Allah dalam mendatangkan hukum-hukumnya tidak dengan sekaligus, tetapi diangsur dari satu demi satu. Misalnya tentang hokum dilarangnya orang meminum khamar dan main judi. Ketika Rasulullah SAW ditanya tentang hukum keduanya itu oleh sebagian kaum muslim yang telah meminum khamar dan main judi, maka turun firman Allah dalam surat al-Baqarah yang berbunyi:

Artinya: mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir. Al-Baqarah ayat :219)

Dalam ayat ini tidak jelas kelihatan tentang terlarangnya kedua perkara yang ditanyakan itu, padahal sebenarnya sudah terkandung di dalamnya larangan keras, karena segala yang mendatangkan dosa bagi orang yang mengerjakannya sudah dilarang keras orang mengerjakannya[35].
Belakangan diturunkan pula satu ayat yang berarti melarang orang mengerjakan shalat dikala mabuk yang bunyinya :

Artinya:”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam Keadaan junub[301], terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun”. (Q.S.An-Nisa’ ayat 43)

Kemudian pada suatu saat diturunkan pula ayat yang tegas jelas melarang orang meminum arak dan bermain judi, yang bunyinya:

Artinya:Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah[434], adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu). (Q.S. Al-Maidah ayat 90-91)
Barulah dengan ayat ini jelas terlarangnya orang meminum arak dan bermain judi, yang berarti supaya kedua macam perbuatan itu dijauhi benar-benar oleh segenap orang yang beriman.
Fathurrahman Djamil menambahkan dua asas lagi, yaitu sebagaimana tersebut dibawah ini:
d) Memperhatikan Kemaslahatan Manusia
Hukum Islam dihadapkan kepada bermacam-macam jenis manusia dan ke seluruh dunia. Maka tentulah pembina hokum memperhatikan kemaslahatan masing-masing mereka sesuai dengan adat kebudayaan mereka serta iklim yang menyelubunginya. Jika kemaslahatan-kemaslahatan itu bertentangan satu sama lain, maka pada saat itu didahulukan maslahat umum atas maslahat khusus dan diharuskan menolak kemudharatan yang lebih besar dengan jalan mengerjakan kemudharatan yang kecil.[36]
Dalam masa kepemimpinannya, Umar menjadikan maslahat dan nash sebagai pokok atau dasar tasyri’nya. Hampir pada semua kejadian dan kasus yang dihadapinya diputuskan dengan tujuan untuk maslahat ammah. Jika dalam suatu kejadian ada nash khususnya, maka Umar harus melaksanakannya dan agar hal itu dapat membawa maslahat, serta menjadikan masalah yang ada nashnya itu membawa dua sisi manfaat. Karena penguasa jika memutuskan satu keputusan hanya karena menurutnya hal itu ada kemaslahatannya, dan dengan sengaja melanggar nash, maka putusannya itu tidak harus dipatuhi, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Nujaim[37].
Umar selalu berpijak pada pemahaman nash dan yang tidak ditolak oleh akal, di samping ia juga selalu berpegangan pada keputusan-keputusan tasyri’ yang umum. Adapun jika dalam masalah yang tidak ada nash khususnya, maka pada saat itu Umar tidak mengeluarkan satu keputusan tasyri’ hanya dengan menggunakan ra’yu dan ijtihadnya dan mengatakan bahwa itu adalah maslahat, dengan tanpa mengaitkan dan menguatkannya dengan alasan lain[38].
e)   Mewujudkan Keadilan yang Merata.
Manusia di dalam hukum Islam, sama kedudukannya. Mereka tidak lebih melebihi karena kebangsaan, karena keturunan, karena harta atau karena kemegahan. Tak ada di dalam hukum Islam penguasa yang bebas dari jeratan undang-undang, apabila mereka berbuat zalim. Semua manusia di hadapan Allah Hakim yang Maha Adil adalah sama.[39]
Nabi bersabda: Artinya:“diriwayatkan dari Aisyah r.a ia berkata;”ada seorang perempuan mahzumiah meminjam barang dan mengingkarinya. Kemudian Nabi Muhammad saw menyuruh agar tangan perempuan itu dipotong. Tetapi kemudian keluarganya datang kepada Usamah bin Zaid ra dan mengadukan hal itu. Selanjutnya Usamah bin Zaid menyampaikan pengaduan itu kepada Nabi. Nabi saw berkata,‟Hai Usamah, aku tidak melihatmu dapat membebaskan suatu hadd dari Allah Azza wa Jalla‟. Kemudian Nabi berdiri dan berkhotbah, seraya berkata.‟ Sesungguhnya kehancuran generasi sebelum kamu adalah karena bila orang yang mulia dari mereka mencuri, maka mereka biarkan. Bila orang yang rendah dari mereka mencuri, maka mereka menegakkan hadd potong tangan atasnya. Demi Dzat yang jiwaku berada di dalam genggaman-Nya, Andaikata Fatimah putri Muhammad mencuri, niscaya aku potong tangannya." Dengan demikian maka tangan perempuan mahzumah itu dipotong. (HR. Muslim)[40]
Setelah memperhatikan konsep hukum progresifnya Prof. sacipto Raharjo dan juga asas-asas Hukum Islam yang di kemukakan oleh Hudhari Bik, dan Fathurrahman Djamil serta teori-teori Maqhasid syariah dalam tulisannya Abdul wahab khalaf dan juga Abu Zahra, dan memperhatikan contoh kasus nikah “bawah tangan” dengan sampel 63 keluarga  diatas, nampaknya para pengadil Pengadilan Agama dalam kasus itsbat nikah sengaja menyimpangi pasal 7 ayat 3 Kompilasi Hukum Islam hanya semata-mata merealisir kemaslahatan bagi pelaku nikah “bawah tangan” dengan tujuan membangaun keluarga sakinah waddah dan penuh rahmah sebagaimana dalam ajaran Islam

V.           KESIMPULAN
1.    Terkadang dalam kasus Istbat nikah terhadap nikah “bawah tangan” para Pengadil menyimpangi ketentuan perundang-undangan guna mewujudkan tujuan-tujuan substansi sebagaimana yang di kemukakan Prof. Sacipto Rahardjo dalam hukum progresifnya, hal ini terlihat dalam penetapan isbat nikah nomor 0223/Pdt.P/2015/PA Mtp
2.    Dalam mengambil sebuah keputusan, hakim yang memeriksa perkara penetapan Istbat nikah selain menggunakan dasar Perundang-Undangan yang ada juga memperhatikan aspek soiokultural masyarakat setempat. Dalam hal ini kadang terjadi perbedaan pendapat dalam mengambil sebuah keputusan hukum diantara hakim yang memeriksa sebuah perkara, meskipun fakta hukum yang di temukan dalam pembuktian tidak ada perbedaan diantara mereka.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Haq, Ahmad Mubarok, dan Agus Ro’uf, Formulasi Nalar Fiqh, Telaah Kaidah Fiqh Konseptual, Surabaya: Khalista, 2006.
Abdul Wahab Kholaf, Ilmu Ushul Fiqih, Darul Qalam, 1978.
Al-Qaradhawi berkata-Manhaj yang menjadi pilihan saya dan manhaj yang Allah tunjukkan
Chalil Moenawar, Kembali Kepada Al-Qur‟an dan As-Sunnah, Jakarta: PT Midas Surya, 1993.
Dr. Muhammad Faturrahman, Belajar Dan Pembelajaran Modern, Konsep Dasar, Inovasi, dan Teori Pembelajaran, Penerbit Garudhawaca, Joqjakarta, 2017.
Fatchurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
http://pa-martapura.go.id/, akses tanggal 03 Nopember 2017
Hudari Bik, Tarikh al-Tasyri‟ al-Islami, diterjemahkan Mohammad Zuhri, Sejarah Pembinaan Hukum Islam, Darul Ihya, 1980.
http://pa-martapura.go.id/, akses tanggal 03 Nopember 2017.
Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Ishom Talimah, al-Qaradhawi Faqihan, diterjemahkan Samson Rahman, Manhaj Fiqih Yusuf al-Qaradhawi, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001.
Mahkamah Agung RI Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama, Buku II Pedoman Penyelesaian Tugas Dan Administrasi Peradilan Agama Edisi Revisi, Tahun 2013.
Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqih, Darul Fikr Al-Arabi, TT, Hal. 164
Muhammad Baltaji, Manhaj Umar Ibn al-Khathab fi al-Tasyrii‟, diterjemahkan H. Masturi Irham, Metodologi Ijtihad Umar bin al-Khathab, Jakarta: Khalifa, 2005.
Muslim ibn Hajjaj al-Qusyairy al-Naysabury, Sahih Muslim, Jilid II, Libanon: Dar al- Kutub al-Ilmiyah, t.th.
Nur Moklis, Nikah Sirri Berlatar Budaya di Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan, http://hukum-i.blogspot.co.id/2016/09/nikah-sirri-berlatar-budaya-di.html, akses tanggal 09 Nopember 2017
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Rachmat Djatnika, Jalan Mencari Hukum Islami Upaya ke Arah Pemahaman Metodologi Ijtihad, dalam kata pengantar, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Amrullah Ahmad, dkk (ed), et. al., Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2006, hlm. 270
Surat Edaran Biro Peradilan Agama No.B/1/735 tanggal 18 Februari 1958 sebagai pelaksana PP No. 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Peradilan Agama/ Mahkamah Syariah di Luar Jawa dan Madura
T.M Hasbi Ash Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2001, hlm. 58.
Undang-Undang Nomor 03 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan ke dua Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
Yusuf al-Qaradhawi, “Taisir al-Fiqh li al-Muslim al-Mua‟shir fi Dahu al-Qur‟an wa as-Sunnah”, diterjemahkan Abdul Hayyie al-Kattani, M. Yusuf Wijaya, dan Noor Cholis Hamzain, Fiqih Praktis bagi Kehidupan Modern, Jakarta: Gema Insani Press, 2002.
Yusuf al-Qaradhawi, Dirasah fi Fiqh Maqashid Syari‟ah, diterjemahkan H. Arif Munandar Riswantom Fiqih Maqashid Syariah, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007.



[1] Tentang perintah melalukan pelaksanaan pesta pernikahan juga dapat ditemukan dalam Hadis Muslim yang lain 823, 824, dan juga Hadis Bukhori 1855, 1856.
[2] Informasi Perkara Pengadilan Agama Martapura, lihat di http://pa-martapura.go.id/, akses tanggal 03 Nopember 2017. Hal demikian juga terjadi di Pengadilan Agama Lainnya, dari perkara permohonan yang ada, Itsbat nikah adalah salah satu perkara yang paling dominan.
[3] Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (KHI)
[4] Lihat  Dr. Muhammad Faturrahman, Belajar Dan Pembelajaran Modern, Konsep Dasar, Inovasi, dan Teori Pembelajaran, Penerbit Garudhawaca, Joqjakarta, 2017, hal. 89-105
[5] Nur Moklis, Nikah Sirri Berlatar Budaya di Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan, http://hukum-i.blogspot.co.id/2016/09/nikah-sirri-berlatar-budaya-di.html, akses tanggal 09 Nopember 2017
[6] Ibid.
[7] Dr. Muhammad Faturrahman, Op.Cit.,
[9] Penetapan adalah produk dari perkara volentair, adapun produk hukum lainnya yang dikeluarkan oleh pengadilan agama adalah putusan untuk jenis perkara contentius dan akta perdamaian untuk penyelesaian perkara secara damai dalam litigasi. Lihat Mahkamah Agung RI Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama, Buku II Pedoman Penyelesaian Tugas Dan Administrasi Peradilan Agama Edisi Revisi, Tahun 2013.
[11] Surat Edaran Biro Peradilan Agama No.B/1/735 tanggal 18 Februari 1958 sebagai pelaksana PP No. 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Peradilan Agama/ Mahkamah Syariah di Luar Jawa dan Madura. 13 kitab klasik tersebut merupakan rujukan utama dalam pembuatan Kompilasi Hukum Islam, selain kitab-kitab fiqih lainnya.
[12] disarikan dari wawancara beberapa Hakim di Peradilan Agama. Dalam beberapa pembinaan Pimpinan Mahkamah Agung RI, sering mengingatkan pentingnya menggali hukum yang hidup dalam masyarakat dan khusus untuk hakim peradilan agama juga sangat dianjurkan dalam pertimbangan hukum putusannya memahami dan menggali hukum dari para fuqaha terdahulu dalam kitab-kitab fiqih dan kaidah-kaidah fiqhiyah.
[13] Banyaknya kebutuhan masyarakat tentang pelayanan administrasi kependudukan seperti akta kelahiran anak para pemohon dan lainya yang menyebabkan para hakim mengabulkan permohonan para pemohon istbat nikah tidak hanya pernikahan yang dilalukan sebelum di sahkannya undang-undang nomor 1 tahun 1974, namun juga dengan mempertimbangakan kemanfaatan, dan social justice, yang pada akhirnya permohonan para pemohon dikabulkan. Lihat: 0083/Pdt.P/2015/PA.Mtp., 0062/Pdt.P/2015/PA.Mtp., 0223/Pdt.P/2015/PA.Mtp dan lainya sebagaimana dalam table diatas.
[14] Abdul Wahab Kholaf, Ilmu Ushul Fiqih, Darul Qalam, 1978, Hal. 197
[15] Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqih, Darul Fikr Al-Arabi, TT, Hal. 164
[16] Lihat  penetapan nomor 0223/Pdt.P/2015/PA Mtp. Berlatar belakan pernikahan menggunakan wali ayah angkat. Dalam perspektif KHI, hal tersebut tidaklah dibenarkan. Disini selain merujuk  peraturan perundang-undangan dalam pertimbangan hukum juga memperhatikan social justice.  Dalam hal penetapan nomor 0223/Pdt.P/2015/PA Mtp. diatas, Majelis Hakim merujuk pada Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 5 ayat (1) yang menyatakan: “Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”  jo. Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dalam semangat di depan hukum” sehingga hal ini secara tidak langsung menuntut jiwa seorang hakim untuk memberikan rasa keadilan yang berlandaskan asas manfaat dan asas kepastian hukum, dan mengenai kedudukan seorang wali terhadap pernikahan yang dilakukan seorang wanita yang berstatus janda, Majelis Hakim memiliki pandangan dan pendapat yang merujuk pada mazhab Hanafi yang menyatakan bahwa pernikahan tanpa wali itu sah, hal ini sesuai firman Allah dalam surah al Baqarah ayat 230, 232 dan 234
[17]Lihat dalam perkara isbat nikah dalam Penetapan nomor 0223/Pdt.P/2015/PA.Mtp. https://putusan.mahkamahagung.go.id/pengadilan/pa-martapura, akses 03 Nopember 2017
[18]Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2006, hlm. 270
[19] Ibid, hlm. 272
[20] Kedailan substantive dalam konsep hukum progresif nampaknya telah dijalankan oleh hakim-hakim Pengadilan Agama selama ini, jika secara procedural perkara istbat nikah hanya boleh secara limitative sebagaimana dalam pasal 7 ayat 3 Kompilasi Hukum Islam, yang hanya terbatas pada Adanya perkawinan dalam  rangka penyelesaian perceraian, Hilangnya akta nikah, Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan, Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, namun secara factual sebagian penetapan menyimpangi ketentuan pasal diatas untuk mewujudkan social justice. Lihat dalam table penetapan diatas di: https://putusan.mahkamahagung.go.id/pengadilan/pa-martapura, akses 03 Nopember 2017.
[21] Satjipto Rahardjo,Op.,Cit., hlm. 276
[22] T.M Hasbi Ash Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2001, hlm. 58.
[23] Hudari Bik, Tarikh al-Tasyri‟ al-Islami, diterjemahkan Mohammad Zuhri, Sejarah Pembinaan Hukum Islam, Darul Ihya, 1980, hlm. 31-39.
[24] Yusuf al-Qaradhawi, Dirasah fi Fiqh Maqashid Syari‟ah, diterjemahkan H. Arif Munandar Riswantom Fiqih Maqashid Syariah, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007, hlm. 158.
[25] Ibid.
[26] Salah satu contoh bahwa Rasulullah SAW mempraktekkan kemudahan ialah ketika beliau memperhatikan karakter orang-orang Ethiopia yang senang menari dan bermain. Oleh karena itu, beliau mengizinkan mereka untuk melakukan hal itu di masjid beliau yang mulia. Saat itu Umar melempari mereka dengan kerikil, Rasululah SAW bersabda kepadanya, “Biarkanlah mereka wahai Umar”. (Muttafaq alaih). Dalam riwayat lain, beliau bersabda, “Mereka adalah Bani Rafdah. Lihat juga Yusuf al-Qaradhawi, “Taisir al-Fiqh li al-Muslim al-Mua‟shir fi Dahu al-Qur‟an wa as-Sunnah”, diterjemahkan Abdul Hayyie al-Kattani, M. Yusuf Wijaya, dan Noor Cholis Hamzain, Fiqih Praktis bagi Kehidupan Modern, Jakarta: Gema Insani Press, 2002, hlm.
[27] Ibid, hlm. 21
[28] Ibid.
[29] Ishom Talimah, al-Qaradhawi Faqihan, diterjemahkan Samson Rahman, Manhaj Fiqih Yusuf al-Qaradhawi, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001, hlm. 94.
[30] Al-Qaradhawi berkata-Manhaj yang menjadi pilihan saya dan manhaj yang Allah tunjukkan kepada saya dan saya akan selalu komitmen dengannya dalam tulisan, fatwa dan pengajaran. Saya akan mengambil yang mudah dalam masalah furu‟ (cabang) dan tegas dalam masalah yang ushul (pokok). Jika dalam satu masalah terdapat dua pandangan yang berbeda dan dua pendapat yang sama berdekatan, satu diantaranya penuh kehati-hatian, sedangkan yang satunya lagi lebih mudah, maka selayaknya bagi kita untuk memilih fatwa yang lebih mudah bagi seluruh manusia dan jangan mengambil yang paling hati-hati. Alasan dan hujjahnya ialahperkataan Aisyah, Tidaklah Rasulullah diberi pilihan dua perkara kecuali dia memilih yang paling gampang di antara keduanya selama itu tidak mengandung dosa. Siapa pun yang belajar fiqih sahabat dan para ulama salafus shalih (ujar al-Qaradhawi), dia akan mendapatkan bahwa fiqih yang mereka ambil umumnya mengarah kepada fiqih yang lebih mudah, sedangkan fiqih setelah sahabat lebih cenderung kepada kehati-hatian. Ishom Talimah, Ibid, hlm. 95.
[31] Abdul Haq, Ahmad Mubarok, dan Agus Ro’uf, Formulasi Nalar Fiqh, Telaah Kaidah Fiqh Konseptual, Surabaya: Khalista, 2006, hlm. 177.
[32] Rachmat Djatnika, Jalan Mencari Hukum Islami Upaya ke Arah Pemahaman Metodologi Ijtihad, dalam kata pengantar, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Amrullah Ahmad, dkk (ed), et. al., Jakarta: Gema Insani Press, 1996, hlm. 107-108.
[33] Fatchurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm.69
[34] Ibid, hlm. 70.
[35] Chalil Moenawar, Kembali Kepada Al-Qur‟an dan As-Sunnah, Jakarta: PT Midas Surya, 1993, hlm. 230.
[36] Fathurrahman Djamil, op. cit., hlm. 71-75.
[37] Muhammad Baltaji, Manhaj Umar Ibn al-Khathab fi al-Tasyrii‟, diterjemahkan H. Masturi Irham, Metodologi Ijtihad Umar bin al-Khathab, Jakarta: Khalifa, 2005, hlm. 480.
[38] Ibid.
[39] T.M Hasbi Ash Shiddieqy, op. cit., hlm. 68-69.
[40] Muslim ibn Hajjaj al-Qusyairy al-Naysabury, Sahih Muslim, Jilid II, Libanon: Dar al- Kutub al-Ilmiyah, t.th.

Comments

Popular posts from this blog

HADITS-HADITS AHKAM TENTANG JUAL BELI (SALE AND PURCHASE)

SHUNDUQ HIFZI IDA’ (SAFE DEPOSIT BOX) BANK SYARI’AH

STUDI TENTANG PEMIKIRAN IMAM AL-SYAUKANI DALAM KITAB IRSYAD AL-FUHUL