TEORI-TEORI HUKUM ISLAM KONTEMPORER
Oleh
Nur Moklis
I.
PENDAHULUAN
Jika
diperhatikan dengan seksama, pembentukan hukum islam (fiqih) banyak di
pengaruhi miliue yang mengitarinya, misalkan wilayah yang sekaligus dianggap
sebagai madzhab yaitu kota kuffah, kota hijaz, dan mesir, disana sangat terasa
pengaruhnya social, budaya, politik terhadap para fuqaha (ahli hukum Islam)
dalam merumuskan hukum Islam (fiqih) dan istimbat al-ahkam (teori
yang digunakan untuk menemukan hukum). Para fuqaha seringkali merumuskan tafsir
ayat-ayat al-Qur’an dan Hadist Nabi SAW dalam kontek social, budaya, ekonomi
dan Politik.[1]
Teori
hukum islam (ushul Fiqih) mulai nampak tertata secara terstruktur ketika
imam al-Syafi’i (w.204/820) menawarakan metode qiyas dalam kitabnya al-risalah,
kemudian Al-Ghazali (w.505/1111) yang mengembangkan teori mashlahah, kemudian
dilanjutkan imam Asy-Syathibi (w. 90/1138), selanjutnya Muhammad Abduh (w.1903) sebagai salah satu
pembaharu (awal modern) yang telah merekonstruksi rasionalisme klasik.[2]
Kita
sering mendengar nama tokoh pembaharu hukum islam, antara lain Fazlur Rahman,
Abdullah Ahmed an-Na’im, Muhammad Arkoun, Hassan Hanafi, Nash Hamid Abu Zaid,
Asghar Ali Engineer, dan Muhammad Syahrur. Tokoh-tokoh tersebut telah berusaha
melakukan rekonstrukri dan atau dekonstruksi metodologi hukum islam (ushul
fiqih) dalam penafsiran al-Qur’an yang sesuai dengan tantangan dan tuntutan
zaman.
Gerakan
pembaharuan hukum Islam setidaknya dapat dikelompokkan menjadi dua kategori: Pertama,
adalah kelompok yang menganut paham legal theorists,[3]
kelompok ini berpendapat bahwa untuk membenahi ketertinggalan hukum Islam (fiqih)
dan untuk menyesuaikan dengan realita aktual harus membuka pintu ijtihad secara
bebas tanpa terikat dengan aturan-aturan di kalangan para mujtahid tradisional.
Untuk sampai kepada tujuan tersebut, mereka sering kali menciptakan berbagai
kaidah-kaidah baru, upaya penafsiran seperti ini sering dianggap “sesat”
meskipun telah memunculkan corak baru dalam pemikiran hukum Islam (fiqih), karena ternyata mampu memberikan tawaran yang
meyakinkan, baik dari segi sumber, metode dan implementasinya.[4]
Kelompok
Kedua adalah ahli hukum Islam yang menempatkan teks al-Qur’an dan Sunnah Nabi
SAW sebagai pijakan primer untuk menemukan segala hal dalam aktivitas kehidupan
ummat. Naskah teks al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW yang jelas dan rinci serta
kitab-kitab karya para fuqaha tradisional diterima tanpa dilakukan interpretasi
ulang. Alasan cara berpikir tekstual ini dan ukuran kebenaran yang diperoleh
hanya disesuikan dengan keinginan Tuhan (Will of God), kelompok tersebut
dikategorikan pemikir “tekstual-teosentris” atau “tekstual-tradisional”.
Sebagian pakar berpendapat cara berpikir diatas diyakini tidak akan mampu
menjawab realitas konkret dan memenuhi kekosongan hukum sekarang ini.[5]
Pada
makalah ini penulis akan menyajikan beberapa teori hukum islam yang di
kemukakan beberapa tokoh islam kontemporer dewasa ini.
II.
TEORI-TEORI HUKUM
ISLAM KONTEMPORER
A.
TEORI DOUBLE MOVEMENT
– FAZLUR RAHMAN
1.
Biografi
Fazlur Rahman dilahirkan pada hari
Minggu, 21 September 1919 M, di daerah yang bernama Hazara, barat laut Negara
Pakistan. Ayah Fazlur Rahman bernama Maulana Syahab al-Din dan nama keluarganya
adalah Malak. Fazlur Rahman dibesarkan dalam lingkungan keluarga Muslim taat,
yang mempraktekkan ajaran fundamental Islam seperti, shalat, puasa dan lainnya.
Fazlur Rahman pada waktu usia 10 tahun telah menguasai teks Al-Qur’an di luar
kepala. Orang yang sangat berjasa menanamkan dan atau membentuk karakternya
adalah ayah dan ibunya sendiri. Ayahnya seorang alim yang bermadzhab Hanafi
yang berlatang belakang pendidikan dari Deoband, sebuah madrasah tradisional
terkemuka di anak benua Indo-Pakistan waktu itu.[6]
Maulana Syahab al-Din tidak seperti
kebanyakan ulama di masanya yang menentang dan menganggap pendidikan modern
dapat meracuni keimanan dan moral, Maulana Syahab al-Din meyakini bahwa Islam
harus menghadapi realitas kehidupan modern, tidak hanya sebagai suatu tantangan
tapi juga suatu kesempatan. Keyakinan Maulana Syahab al-Din inilah yang kelak
di praktekkan pada diri Fazlur Rahman dan bahkan terus bertahan sampai akhir
hayatnya. Sementara ibunya berperan dalam menanamkan nilai-nilai kebenaran,
kasih sayang dan kejujuran, terutama nilai cinta pada Fazlur Rahman pada usia
dini.[7]
Disaat Fazlur Rahman telah berusia 14
tahun (1933 M), keluarganya pindah ke Lahore, di kota ini Fazlur Rahman
menerima pendidikan modern. Pada tahun 1940 M. Fazlur Rahman menyelesaikan
Sarjana Muda (B.A) pada jurusan Bahasa Arab di Universitas Punjab. Dua tahun selanjutnya
Fazlur Rahman memperoleh gelar Master of Art (M.A.) dalam jurusan Bahasa Arab
pada universitas yang sama. Pada tahun 1946 M, ia melanjutkan studi pada
program doctor (Ph.D Program) di Universitas Oxford, Inggris. Pada program ini
ia berkonsentrasi pada kajian Filsafat Islam. Ia menyelesaikan studi Doktornya
dalam waktu 3 tahun (1946-1949) dengan disertasi yang berjudul Avicenna’s
Psychology. Fazlur Rahman meninggal
dunia pada tanggal 26 Juli 1988.[8]
2.
Teori Double Movement
oleh Fazlur Rahman
Menurut Fazlur Rahman Al-Qur’an tidak
bisa dipahami secara parsial, melainkan harus dipahami secara utuh yang
terjalin satu ayat dengan yang lain sehingga menghasilkan pemahaman
komprehensih yang akurat. Pemahaman utuh tersebut tidak didapatkan pada
penafsiran kitab-kitab klasik, para mufassir terlalu asyik bermain dengan
terma-terma yang menyebabkan mereka terjebak dalam penafsiran literal-tekstual.
Bagi seorang Fazlur Rahman fenomena ini terjadi disebabkan ketidaktepatan dan
ketidak sempurnaan instrumen yang dipicu kegersangan metode penafsiran terhadap
ayat-ayat al-Qur’an.[9]
Fazlur Rahman menawarkan metode yang
logis, kritis dan komprehensif, yakni hermeneutika double movement (gerak
ganda interpretasi). Metode tersebut mencoba memberi pemahaman yang sistematis
dan juga kontekstualis, sehingga diharapkan mampu menghasilkan suatu penafsiran
yang tidak parsial, tidak atomistik, tidak literalis dan tidak tekstualis,
melainkan penafsiran yang memiliki kemampuan menjawab persoalan-persoalan
terupdate, dan juga persoalan-persoalan kekinian. Adapun maksud gerakan ganda
dalam teori Fazlur Rahman yaitu dimulai dari situasi sekarang ke masa Al-Qur’an
diturunkan dan kembali lagi ke masa kini.[10]
Persoalan tentang mengapa harus mengetahui masa/periode Al-Qur’an diturunkan? Sedangkan
masa/periode dahulu dengan masa sekarang tidak mempunyai kesamaan. Untuk
menjawab hal tersebut, FazlurrahmanRahman mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah
respon Allah melalui ingatan dan pikiran Nabi SAW, kepada situasi moral-sosial
masyarakat Arab pada masa Nabi SAW. Artinya, signifikansi pemahaman setting-social
Bangsa Arab pada periode Al-Qur’an diturunkan disebabkan adanya proses
dialektika antara Al-Qur’an dengan realitas yang melingkupinya, baik itu dalam
bentuk tahmil yaitu menerima dan melanjutkan, tahrim yaitu
melarang keberadannya, dan taghyyur yaitu menerima dan merekontruksi
tradisi.[11]
Gerakan pertama, bertitik tolak dari
situasi kontemporer menuju ke masa Al-Qur’an diwahyukan/ diturunkan, yaitu
perlu dipahami arti dan makna dari suatu pernyataan dengan cara mengkaji
situasi atau permasalahan historis di mana pernyataan Al-Qur’an tersebut hadir
sebagai jawabannya. Disini Al-Qur’an dipahami sebagai suatu totalitas di
samping sebagai ajaran-ajaran khusus yang merupakan respon terhadap situasi kondisi
tertentu. kemudian, respon-respon khusus tersebut digeneralisir dan dinyatakan
sebagai pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral bersifat umum
yang dapat “disaring” dari ayat-ayat khusus yang berkaitan dengan latar
belakang sosio historis dan rasio legis yang sering diungkapkan. Selama proses
ini, perhatian harus diberikan pada ajaran Al-Qur’an sebagai suatu totalitas
sehingga setiap arti atau makna tertentu yang dipahami, setiap hukum yang
dinyatakan, dan setiap tujuan dan atau sasaran yang diformulasikan akan
berkaitan satu dengan lainnya. Secara ringkas, dalam gerakan pertama tersebut,
kajian diawali dari hal-hal spesifik dalam Mushaf Al-Qur’an, kemudian upaya
menggali dan mensistimatisasikan prinsip-prinsip umum, nilai-nilai dan tujuan
jangka panjangnya.[12]
Gerakan kedua, bertolak dari masa
Al-Qur’an diturunkan (setelah menemukan prinsip-prinsip umum) kembali lagi ke
masa saat ini. Dalam artian, ajaran-ajaran pokok (prinsip) yang bersifat umum
ini harus ditumbuhkan dalam konteks sosio historis yang kongkret/ yang dihadapi
di masa sekarang. Untuk itu perlu dikaji secara teliti situasi sekarang dan
dianalisa unsur-unsurnya sehingga situasinya dapat dinilai dan diubah sejauh
yang dibutuhkan serta ditetapkan prioritas-prioritas baru demi mengimplementasikan
nilai-nilai Al-Qur’an secara baru pula.[13]
Gerakan kedua tersebut juga akan berfungsi sebagai pengoreksi dari hasil-hasil
pemahaman dan penafsiran yang dilakukan oleh gerakan pertama. Karena jika
hasil-hasil pemahaman tersebut tidak bisa diterapkan dalam masa sekarang, itu
artinya telah terjadi kegagalan dalam menilai situasi sekarang dengan tepat
atau ketihakberhasilan dalam memahami Al-Qur’an sebagai firman Allah SWT.
Karena, suatu hal mustahil bahwa sedalam tatanan secara khusus (masyarakat
Arab) di masa lampau tersebut tidak bisa direalisasikan dalam konteks
masyarakat sekarang. Ini dilakukan dengan jalan mempertimbangkan perbedaan
“dalam hal-hal yang khusus yang ada pada situasi sekarang” yang mencakup baik
pengubahan aturan-aturan di masa lampau sehingga selaras dengan tuntutan
situasi sekarang (sejauh tidak melanggar prinsip-prinsip umum di masa lampau)
maupun mengubah situasi sekarang sepanjang diperlukan hingga sesuai dengan
prinsip-prinsip umum tersebut.[14]
Fazlur Rahman selanjutnya meyakinkan
apabila kedua moment gerakan ganda tersebut berhasil diwujudkan, niscaya
perintah-perintah Al-Qur’an akan menjadi hidup dan kembali efektif lagi. Oleh
sebab itu, kelancaran tugas pertama ini sangat bergantung dan atau berhutang
budi pada kerja para sejarawan. Adapun tugas kedua, sangat memerlukan bantuan
atau instrumentalitas para saintis social (sosiolog dan atau antropolog), demi
menentukan “orientasi efektif” dan “rekayasa etis”, maka kerja para penganjur
moral (tokoh-tokoh agama) lah yang diandalkan.[15]
B.
TEORI NASAKH – MAHMUD
MUHAMMAD THAHA
1.
Biografi Mahmud
Muhammad Thaha
Mahmud Muhammad Thaha
dilahirkan pada tahun 1909 atau 1911 di kota kecil bernama Ruf’ah di
daerah tepian timur Sungai Nil. di usianya yang masih kecil dia sudah ditinggal
oleh kedua orang tuanya, ibunya meninggal pada tahun 1915 dan ayahnya meninggal
pada tahun 1920. Mahmud Muhammad Thaha dibesarkan di lingkungan keluarga
besarnya sampai dewasa.[16]
Mahmud Muhammad Thaha
menyelesaikan studinya dibidang tehnik di Gordon Memorial College, sekarang
menjadi University of Khartoum pada tahun 1936. Partisipasinya dalam pergerakan
politik dimulai pada akhir tahun 1930 karena ketidak-puasannya terhadap pola
pendidikan pada saat itu. Tahun 1945 Mahmud Muhammad Thaha dan
sahabt-sahabatnya mendirikan Al-Hizb al-Jumhuri (Partai Republik) yang
dijadikan sarana memperjuangkan ideologinya untuk kemajuan masyarakat.
Mahmud Muhammad Thaha
dalam berpendapat sering mengeluarkan pemikiran-pemikiran keagamaan yang
bercampur dengan pendapat pribadinya yang tidak pernah difatwakan oleh para
ulama yang lain sebelumnya. Menurut Mahmud Muhammad Thaha, pendapat yang
disampaikan tentang visi Islam di masa depan merupakan pemberian hidayah dari
Allah (namun bukan wahyu) bukan hasil pemikiran rasional.[17]
Aktivitas Mahmud
Muhammad Thaha dalam Al-Hizb al-Jumhuri digunakan untuk
mensosialisasikan pemikirannya tentang The Second Message of Islam atau
Risalah Kedua dalam Islam, dalam pergerakan politiknya, Mahmud Muhammad
Thaha mengerakkan masyarakat khususnya yang non-muslim untuk menentang
pemberlakuan syariat Islam di Sudan.
Sebagai pendiri Al-Hizb
al-Jumhuri pemikiran Mahmud Muhammad Thaha sangat mempengaruhi
doktrin-doktrin pergerakan partai. Adapun tujuan yang ingin dicapai melalui
partai tersebut adalah: pertama, membentuk pribadi-pribadi bebas yang
berfikir sekehendaknya, berkata sekehendak fikirannya dan bekerja sesuai dengan
yang dikatakannya. Kedua, membentuk masyarakat shalih, yaitu bahwa
masyarakat yang tegakkan di atas prinsip-prinsip persamaan ekonomi, persamaan
politik dan persamaan sosial. Persamaan ekonomi dimulai dari sosialisme dan
terus berkembang menuju komunisme. Persamaan politik dimulai dari demokrasi
perwakilan langsung dan akan berakhir pada kebebasan pribadi secara mutlak, di
mana setiap pribadi memiliki aturan sendiri-sendiri. Sedangkan persamaan sosial
berorientasi untuk mewujud penghapusan diskriminasi kasta, ras, keturunan, dan
warna kulit serta kepercayaan. Ketiga,
memerangi rasa takut. Menurutnya rasa takut yang menjadi biang keladi setiap kerusakan
moral dan kejelekan perilaku ialah takut kepada Tuhan. Ia berpendapat bahwa
jiwa kesatria seseorang tidak akan sempurna selama ia masih dijangkiti rasa
takut. Demikian juga jiwa kewanitaan seorang wanita tidak akan sempurna selama
ia masih dijangkiti rasa takut, apapun bentuk dan tingkatannya. Oleh karenya
kesempurnaan hanya dapat dicapai dengan terlepasnya seseorang dari rasa takut.[18]
Keberadaan Mahmud
Muhammad Thaha dalam perpolitikan adalah bentuk oposisi terhadap pemerintahan Rezim
Numairi yang telah mengumumkan Revolusi Islam dengan kembali
menerapkan hukum tradisional Islam yang berada di bawah kendali Ja’far
Numeiri tanpa berkonsultasi pada Jaksa Agung dan Mahkamah Agung sehingga
rezim pemerintah dapat melakukan tindakan represif terhadap semua kejahatan dan
tindakan-tindakan yang dianggap melanggar hukum meskipun hal tersebut melanggar
Hak Asasi Manusia. Dampak yang terjadi adalah timbulnya ketegangan-ketegangan
antara warganegara muslim dengan non-muslim. Melihat kondisi tersebut Mahmud Muhammad
Thaha melakukan tekanan terhadap pemerintahan rezim Numeiri melalui
pengembangan pemikiran baru tentang syari’ah Islam dan HAM dalam negara modern,
namun oleh pemerintah rezim Numeiri pemikirannya dianggap murtad. Setelah
melalui perjalanan panjang dalam karir perpolitikan Mahmud Muhammad Thaha dan
empat orang pendukungnya dijatuhi hukuman mati dengan tuduhan zindiq dan juga
menentang syari'at Islam. Sebelum waktu eksekusi tiba ia diberi kesempatan 3
hari untuk bertaubat, tetapi ia tidak mau. Jum'at pagi, 27 Rabi'ul al-Tsani
1405 H/18 Januari 1985 ia dihukum gantung di depan 4 orang pengikutnya, yaitu
Tajuddin Abd al-Razaq, umur 35 tahun, seorang buruh di salah satu pabrik tenun.
Khalid Bakir Hamzah umur 22 tahun), mahasiswa Universitas Kairo cabang Khartum.
Muhammad Shalih Basyir, umur 36 tahun pegawai pada perusahan al-Jazirah. Abd
al-Lathif Umar, umur 51 tahun, wartawan pada surat kabar al-Shihafah. Empat
orang tersebut menyatakan taubat 2 (dua) hari setelah pelaksanaan hukuman
terhadap Mahmud Muhammad Thaha. Oleh karena itu mereka berempat selamat dari
kematian di tiang gantungan.[19]
2.
Teori Nasakh oleh
Mahmud Muhammad Thaha
Wartono
berpendapat bahwa setidaknya ada tiga karakteristik yang terdapat dalam teori naskh
Mahmoud Muhamed Taha, yang selalu digunakannya dalam memproses suatu
permasalahan, yang hasilnya berimplikasi pada hukum permasalahan itu. Tiga
karakteristik dari metode tersebut adalah: Pertama, peralihan dari satu
teks ke teks lain, di mana antara satu teks dengan teks lainnya tidak dalam satu
ayat, atau bahkan berbeda surat. Misalnya, dalam permasalahan diskriminasi
gender, menurut Thaha, ayat dasar yang merupakan ajaran Islam mengenai relasi
gender adalah QS. Al-An‟am (6): 164 dan juga QS. Al-Mu‟minun (23): 1762. Di
mana dalam kedua surat tersebut disebutkan bahwa tanggungjawab antara laki-laki
dan perempuan sama di depan Allah, jadi mengapa mereka harus dibedakan dalam
hal mendapatkan bagian harta waris QS. An-Nisaa (4): 1163, misalnnya, dan
lain-lain. Karakteristik dari metode ini adalah yang paling sering dan paling
banyak dilakukan oleh Thaha.[20]
Kedua, peralihan dari satu
teks ke teks lainnya, tapi masih dalam satu ayat. Thaha pernah menjelaskan,
bahwa penyebutan atau pembagian makkiyah dan Madaniyah hanya
menunjukkan keumumannya saja, sebab ada pula ayat-ayat Madaniyah yang
memiliki kandungan semangat atau sifat Makkiyah dan begitu juga
sebaliknya. Contoh dari peralihan teks semaca ini terdapat dalam ayat yang
berbicara mengenai poligami (QS. An-Nisa (4): 3) dalam ayat ini pertama-tama diberikan
kelonggaran bagi seorang laki-laki untuk menikah dengan dua, tiga atau empat
perempuan. Tapi masih dalam ayat yang sama, Allah juga memberikan syarat bagi
kebolehan tersebut, yaitu berlaku adil di antara istri-istrinya. Padahal, dalam
ayat lain, masih dalam surat yang sama, Allah telah menyatakan dengan jelas
bahwa laki-laki itu sekali-kali tidak akan pernah bisa berlaku adil terhadap
istri-istrinya, sebab hati hanya akan lebih condong kepada salah satu dari
istri-istrinya tersebut (QS. An-Nisaa (4): 129). Maka, pada kalimat
selanjuntnya, masih dalam ayat yang sama (QS. An-Nisa: 3), Allah berkata dengan
tegas “dan jika kamu tidak dapat berlaku adil, maka nikahilah satu orang saja”.
Inilah yang kami maksud dengan peralihan dari satu teks ke teks lainnya, tapi
masih dalam satu redaksi ayat.[21]
Ketiga, Thaha terkadang
dengan kedalaman ilmu tasawufnya, memiliki pandangan sendiri mengenai suatu
pemasalahan yang di dalam Al-Qur‟an tidak dinyatakan secara tegas mengenai
hukum dari persoalan tersebut. Sebab memang Thaha biasanya menggunakan
pandangannya ini dalam persoalan-persoalan yang bersifat “keduniaan”, misalnya
pendapat dan pandangannya mengenai masalah keadilan ekonomi, politik dan
lain-lain. Meskipun, tetap saja ia melandasakan pandangannya tersebut pada
ayat-ayat Al-Qur‟an. Mari kita ambil contoh saja mengenai keadilan ekonomi.
Menurut Thaha, ekonomi yang berkeadilan dalam Islam adalah system ekonomi
sosialisme, atau persamaan ekonomi secara merata bagi seluruh masyarakat.
Meskipun demikian, system sosialisme ini tidak sama system komunisme, menurut
Thaha, Islam tetap mengakui hak kepemilikan pribadi, namun hanya sebatas hak
kepemilikan akan kebutuhan pokok untuk hidup. Sedangkan lebih dari itu, maka
itu merupakan hak kepemilikan bersama seluruh masyarakat. Thaha mendasarkan
pendapatnya ini pada QS. Al-Baqarah (2): 219, di mana menurutnya, itulah puncak
dan tujuan dari syari‟at Islam mengenai keadilan ekonomi. Sedangkan pada masa
sebelumnya, umat Islam masa nabi mengaplikasikan terlebih dahulu ajaran dasar
tersebut, dengan melakukan pemungutan zakat, sebagaimana tertulis dalam
Al-Qur‟an, QS. At-Taubah (9): 103. Menurut Thaha, bila umat Islam sudah mampu
mengaplikasikan kandungan ayat dasar (QS. Al-Baqarah (2): 219)64 tadi, maka
kewajiban zakat tidak akan berlaku lagi, sebab tanpa diperintahkan untuk
mengeluarkan zakat pun, manusia sudah mampu memahami bahwa harta yang ia punya
bukan hanya miliknya, tapi melainkan milik Allah, maka ia wajib membantu
saudara-saudaranya yang juga hamba Allah yang tidak mampu. Sehingga dengan
begitu kemakmuran akan dirasakan tidak hanya oleh segelintir orang, tapi
dirasakan oleh seluruh masyarakat.[22]
C.
TEORI HUDUD –
MUHAMMAD SYAHRUR
1.
Biografi Muhammad
Syahrur
Nama lengkap dari pemikir Islam
liberal ini adalah Muhammad Syahrur Ibnu Dayb. Ia dilahirkan di Perempatan
Salihiyah, Damaskus, Syria pada tanggal 11 April 1938. Syria merupakan salah
satu negara yang pernah mengalami problem modernitas khususnya benturan
keagamaan dengan gerakan modernisasi barat. Problema ini muncul karena
disamping Syria pernah diinvasi oleh Prancis dampak dari gerakan modernisasi
turki, di Syria pernah menjadi region dari dinasti Usmaniyah (di Turki).
Problema ini memunculkan tokoh-tokoh misalnya Jamal al-Din, al-Qasimy
(1866-1914). Muhammad Syahrur adalah anak kelima dari seorang tukang celup yang
bernama Dayb Ibnu Dayb dan Siddiqah binti Salih Filyun. Syahrur dikaruniai lima
orang anak yaitu Tariq, Al Lais, Basul, Masum dan Rima dengan seorang istri
bernama Azizah.[23]
Pendidikan dasar dan menengahnya
ditempuh di Syria sampai memperoleh ijazah sekolah menengah pada tahun 1957
dari lembaga pendidikan Abdur Rahman Al Kawakibi, Damaskus.[24]
Pada tahun 1958 dia memperoleh beasiswa dari pemerintah dan berangkat ke
Saratow di Moskow, Uni Soviet untuk mempelajari teknik sipil dan pada tahun
1964, berhasil menyelesaikan program diploma teknik sipil. Pada tahun 1965, Muhammad
Syahrur kembali ke Syria dengan gelar Sarjana Teknik Sipil dan mengajar di
Fakultas Teknik Sipil Universitas Damaskus. Selanjutnya pada tahun 1968, oleh
universitas dia dikirim ke Ireland National University, Irlandia yang kemudian
mengantarkannya memperoleh gelar Magister (1969) dan Doktor (1972) dalam
spesialisasi Mekanika Pertanahan dan Fondasi. Kemudian ia diangkat sebagai
Profesor Jurusan Teknik Sipil di Universitas Damaskus (1972-1999) dan pada
tahun 1982-1983 Syahrur dikirim oleh Universitas Damaskus untuk menjadi tenaga
ahli pada Al Sand Consult di Arab Saudi. Selain itu bersama rekan- rekannya,
dia membuka Biro Konsultan Teknik Dar al Istisyarah al Handasiyah di Damaskus.[25]
2.
Teori Hudud oleh
Muhammad Syahrur
Dalam kajian Islam, jika menyebut seorang
Syahrur, maka sekan-akan tidak nyaman apabila belum meraba teori hudud
atau teori limit-nya. Apa yang dimaksud teori limit atau hudud
adalah sebuah metode memahami ayat-ayat hukum (muhkamat) sesuai
dengan konteks sosio-historis masyarakat kontemporer agar ajaran al-Qur’an
tetap relevan dan kontekstual sepanjang masih berada dalam wilayah batas hukum
Allah. Buah dari penelitian yang diakuinya tersebut, lahirlah sebuah teori yang
aplikatif, yakni nazhariyyah al-hudud (limit theory/teori batas).
Teori batasnya terdiri dari batas bawah (al-hadd aladna/ minimal) dan
batas atas (al-hadd al-a’la/maksimal).
Kontribusi dari teori ini sebagaimana
dikutip dari buku Epistemologi Tafsir Kontemporer; pertama, dengan teori
limit, ayat-ayat hukum yang selama ini dianggap final dan pasti tanpa
ada alternatif pemahaman lain ternyata memiliki kemungkinan untuk
diinterpretasikan secara baru dan Syahrur mampu menjelaskannya secara
metodologis dan mengaplikasikannya dalam penafsirannya melalui pendekatan
matematis. Kedua, dengan teori limit, seorang mufassir akan mampu
menjaga sakralitas teks tanpa harus kehilangan kreatifitasnya dalam melakukan
ijtihad untuk membuka kemungkinan interpretasi sepanjang masih berada dalam
batas-batas hukum Allah.[26]
Syahrur mendasarkan konsepnya dalam
menyusun teori batas pada Alquran surat an-Nisa’ ayat 13-14. Syahrur mencermati
penggalan ayat ”tilka hudud Allaah” yang menegaskan bahwa pihak yang
memiliki otoritas untuk menetapkan batasan-batasan hukum (haqq at-tasyri’)
hanyalah Allah semata. Sedangkan Muhammad Saw, meskipun beridentitas sebagai
Nabi dan Rasul, pada hakekatnya otoritas yang dimiliki Muhammad tidak penuh dan
ia sebagai pelopor ijtihad dalam Islam.[27]
Hukum yang ditetapkan Nabi lebih bersifat temporal-kondisional sesuai dengan
derajat pemahaman, nalar zaman, dan peradaban masarakat pada waktu itu, artinya
ketetapan hukum tersebut tidak bersifat mengikat hingga akhir zaman. Maka, di
sinilah kita mempunyai ruang untuk melihat Alqur’an dan berijtihad dengan
situasi dan kondisi yang dilatar belakangi ilmu pengetahuan pada masa sekarang.
Syahrur berargumen dengan dalil
fisikanya bahwa tidak ada benda yang gerakkannya dalam bentuk garis lurus.
Seluruh benda sejak dari elektron yang paling kecil hingga galaksi yang
terbesar bergerak secara hanifiyyah (tidak lurus). Oleh karena itu
ketika manusia dapat mengusung sifat seperti ini maka ia akan dapat hidup
harmonis dengan alam semesta. Demikian halnya kandungan hanifiyyah dalam
hukum Islam yang cenderung selalu mengikuti kebutuhan sebagian anggota
masyarakat dengan penyesuaian dengan tradisi masyarakat. Untuk mengontrol
perubahan-perubahan ini maka adanya sebuah garis lurus istiqamah menjadi
keharusan untuk mempertahankan aturan-aturan hukum yang dalam konteks inilah
teori batas diformulasikan. Garis lurus bukanlah sifat alam ia lebih merupakan
karunia tuhan agar ada bersama-sama dengan hanifiyyah untuk mengatur
masyarakat.[28]
Dalam bentuk matematisnya, Syahrur
menggambarkan hubungan antara alhanafiyyah dan al-istiqamah dengan sebuah kurva
dan garis lurus yang bergerak pada sebuah matriks. Y Kurva (al-hanifiyyah
= ruang ijtihad) X Sumbu X menggambarkan zaman atau konteks waktu sejarah,
sedangkan sumbu Y sebagai undang-undang yang ditetapkan oleh Allah Swt. Kurva
ini menggambarkan dinamika ijtihad manusia bergerak sejalan dengan sumbu X yang
dibatasi dengan hukum yang telah ditentukan oleh Allah pada sumbu Y.
Berdasarkan kajiannya terhadap ayat-ayat hukum, Syahrur menyimpulkan adanya
enam bentuk dalam teori batas yang dapat digambarkan dalam bentuk matematis
dengan perincian sebagai berikut:[29]
Pertama. Halah al-had
al-a’la (posisi
batas maksimal). Daerah hasil (range) dari persamaan fungsi y (Y)=f (x)
berbentuk kurva tertutup yang hanya memiliki satu titik batas maksimum. Titik
ini terletak berhimpit dengan garis lurus yang sejajar dengan sumbu x. Untuk
kasus ini dapat kita lihat pada QS. Al-Maidah: 38 mengenai pencuri. Baik
laki-laki maupun perempuan maka potonglah tangan mereka. Potong tangan disini
adalah hukuman maksimum. Karena itu hukuman untuk pencuri tidak mesti potong
tangan tetapi tergantung pada kualitas barang yang dicuri dan kondisi saat itu.[30]
Kedua, Halah al-hadd
al-adna (posisi
batas minimal). Daerah hasilnya berbentuk kurva tebuka yang memiliki satu titik
batas minimum. Titik ini terletak berhimpit dengan garis lurus ang sejajar
dengan sumbu x. Dalam batas minimum ini Syahrur mencontohkan pada pelarangan
dalam al-Qur’an untuk mengawini para perempuan yang disebutkan pada surat
an-Nisa`: 22: ”…dalam kondisi apapun tidak boleh melanggar batasan ini
meskipun telah melakukan proses ijtihad”. Contoh batasan ini terdapat dalam
surat an-Nisak: 23: Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu
yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang
perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudarasaudaramu
yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan;
ibu-ibu isterimu (mertua);… Dalam kondisi apapun tidak seorang pun yang
diperbolehkan menikahi mereka yang dilarang dalam ayat ini, meskipun didasarkan
pada ijtihad.[31]
Ketiga, Halah
al-haddayn al-a’la wa al-adna ma’an (posisi batas maksimal bersamaan dengan batas
minimal). Daerah hasilnya berupa kurva tertutup dan terbuka yang masing-masing
mamiliki titik balik maksimum dan minimum. Kedua titik balik trsebut terletak
berhimpit dengan garis lurus yang sejajar dengan sumbu x. Diantara kedua kurva
ini terdapat titik singgung (nuqtah al-ini’taf) yang tepat berada
diantara keduanya. Posisi ini juga disebut dengan halah al-mustaqim atau
halah at-tasyri’ al-ayni (posisi penetapan hukum secara mutlak). Batasan
ini berlaku pada pemabagian harta warisan.[32]
Dalam al-Qur’an dapat diperhatikan dalam QS. an-Nisa’ ayat 11. Allah
mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu:
bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan
jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga
dari harta yang ditinggalkan; jika anak.
Keempat, Halah
al-mustaqim (posisi
lurus tanpa alternatif). Daerah hasilnya berupa garis lurus sejajar dengan
sumbu x. Karena berbentuk garis lurus, posisi ini meletakkan titik alik
maksimum berimpit dengan titik balik minimum. Ketentuan ini hanya terdapat satu
kasus dalam al-Qur’an pada surat an-Nur mengenai kasus penzinaan. Bagi penzina
laki-laki maupun perempuan maka deralah mereka 100 x tidak boleh kurang dan
tidak bleh lebih.[33]
Kelima. Halah al-hadd
al-a’la li hadd al-muqarib duna al-mamas bi al-hadd abadan (posisi batas
maksimal cenderung mendekat tanpa bersentuhan). Daerah hasilnya berupa kurva
terbuka yang terbentuk dari titik pangkal yang hampir berhimpit dengan sumbu x
dan titik final yang hampir berhimpit dengan sumbu y. Secara matematis, titik
final hanya benar-benar berhimpit dengan sumbu y pada daerah tak terhingga (’ala
la nibayah). posisi ini diterapkan dalam batasan hubungan fisik antara
laki-laki dan perempuan. Hubungan fisik terjadi antara manusia berlawanan jenis
ini bermula dari batasan terendah, berupa hubungan tanpa persentuhan sama
sekali antara keduanya dan berakhir pada batasan paling tinggi, berupa tindakan
yang menjurus pada hubungan kelamin yang disebut zina. Ketika seseorang masih
berada pada tahap melakukan tindakan yang menjurus ke zina tetapi belum sampai
pada zina itu maka ia belum terjerumus pada batasan maksimum hubungan fisik
yang ditetapkan Allah. Sebelum mereka melakukan zina maka hukuman had Tuhan itu
tidak dapat dilaksanakan kecuali hukuman khalwat.[34]
Keenam, Halah al-hadd
al-a’la mujaban wa al-hadd al-adna saliban (posisi batas maksimal positif dan
batas minimal negatif). Daerah hasilnya berupa kurva gelombang dengan titik
bali maksimum yang berada di daerah positif (kedua variabel x dan y, bernilai
positif) dan titik balik minimum berada di daerah negatif (variabel y bernilai
negatif). Kedua titik ini terletak berhimpit dengan garis lurus yang sejajar
dengan sumbu x. Teori batas keenam inilah yang kita pakai dalam menganalisis
transaksi keuangan. Batas tertingi dalam peminjaman uang dinamakan dengan pajak
bunga dan batas terendah dalam pemberian adalah zakat. Garis tengah yang berada
antara wilayah positif (+) dan negatif (-) adalah titik nol (batas netral).
Pemberian pada wilayah nol ini adalah peminjaman bebas bunga (qardh hasan).
Wilayah ijitihad manusia, menurut Syahrur berada di antara batas minimum dan
maksimum itu tadi. Elastisitas dan fleksibilitas hukum Allah tadi dapat
digambarkan seperti posisi pemain bola yang bebas bermain bola, asalkan tetap
berada pada garis-garis lapangan yang telah ada. Pendek kata, selagi seorang
muslim masih berada dalam wilayah hudud-u-Allah (ketentuan Allah antara
batas minimum dan maksimum tadi), maka dia tidak dapat dianggap keluar dari
hukum Allah. Melalui teori limit, Syahrur ingin melakukan pembacaan ayat-ayat muhkamat
secara produktif dan prospektif (qira’ah muntijah), bukan pembacaan
repetitif dan restrospektif (qira’ah mutakarrirah). Dan dengan teori
limit juga, Syahrur ingin membuktikan bahwa ajaran Islam benar-benar merupakan
ajaran yang relevan untuk tiap ruang dan waktu. Syahrur berasumsi, kelebihan
risalah Islam adalah bahwa di dalamnya terkandung dua aspek gerak, yaitu gerak
konstan (istiqamah) serta gerak dinamis dan lentur (hanifiyyah).
Sifat kelenturan Islam ini berada dalam bingkai teori limit yang oleh Syahrur
dipahami sebagai the bounds or restrictions that God has placed on mans
freedom of action (batasan yang telah ditempatkan Tuhan pada wilayah
kebebasan manusia). Kerangka analisis teori limit yang berbasis dua karakter
utama ajaran Islam ini (aspek yang konstan dan yang lentur) akan membuat Islam
tetap survive sepanjang zaman. Dua hal yang beroposisi secara biner itu
kemudian melahirkan gerak dialektik (al-harakah aljadaliyah) dalam
pengetahuan dan ilmu-ilmu sosial. Dari situlah diharapkan lahir paradigma baru
dalam pembuatan legislasi hukum Islam (tasyri’), sehingga memungkinkan
terciptanya dialektika dan perkembangan sistem hukum Islam secara
terus-menerus.[35]
III.
KESIMPULAN
Fazlur
Rahman
Teori double movement Fazlur
Rahman merupakan teori yang terdiri dari dua gerakan. Pertama, dari yang
khusus (particular) kepada yang umum (general). Artinya, sebelum seorang
penafsir mengambil kesimpulan hukum, ia harus mengetahui terlebih dahulu arti
yang dikehendaki secara tekstual dalam suatu ayat dengan meneliti alasan-alasan
hukumnya (ratiolegis-‘illat), baik yang disebutkan secara eksplisit maupun
implisit. Gambaran setting masyarakat Arab baik yang berkenaan dengan adat
kebiasaan, pranata sosial, maupun kehidupan keagamaan saat Al-Qur’an
diturunkan, juga harus diperhatikan secara serius oleh seorang penafsir.
Setelah itu, barulah dilakukan generalisasi terhadap pesan yang ingin
disampaikan oleh Al-Qur’an.
Kedua, ajaran-ajaran
(prinsip) yang bersifat umum tersebut harus ditubuhkan dalam konteks sosio
historis yang kongkret di masa sekarang. Untuk
itu perlu dikaji secara cermat situasi
sekarang dan dianalisa unsur-unsurnya sehingga situasi tersebut dapat dinilai
dan diubah sejauh yang dibutuhkan serta ditetapkan prioritas-prioritas baru
demi mengimplementasikan nilai-nilai Al-Qur’an secara baru pula. Gerakan kedua
ini juga akan berfungsi sebagai pengoreksi dari hasil-hasil pemahaman dan
penafsiran yang dilakukan pada gerakan pertama. Karena jika hasil-hasil
pemahaman itu tidak bisa diterapkan dalam masa sekarang, itu artinya telah
terjadi kegagalan dalam menilai situasi sekarang dengan tepat atau kegagalan
dalam memahami Al-Qur’an.
Muhammad
Thaha
Dewasa ini di
kalangan kaum muslim terdapat dua spektrum pemikiran yang berbeda dalam
memahami hukum Islam atau syari’at dan mengapli-kasikannya dalam kehidupan.
Mereka sama-sama mengakui pentingnya prinsip-prinsip syari’at dalam setiap
aspek kehidupan, namun keduanya mempunyai penafsiran yang berbeda atas ajaran-ajaran
Islam dan kesesuaiannya dengan kehidupan Modern.
Pemikiran Mahmud
Muhammad Thaha yang berbeda oleh sebagian orang dianggap telah menyimpang dari
ajaran Islam pada dasarnya tidaklah demikian, karena dia mengkaji Islam tidak
hanya melihat dari satu sisi saja yaitu penerapan hukum yang dilihat pada
sumber-sumber hukum pada periode kedua saja, akan tetapi juga menelusuri
hubungannya dengan ayat-ayat lain yang dianggap telah dinasakh.
Pembacaannya terhadap
fenomena-fenomena yang terjadi dalam masya-rakat menjadi dasar pemikirannya
dalam mengkaji fenomena hukum Islam yang berlaku dalam masyarakat. Ia
menganggap hukum Islam yang diterima dan berjalan dalam masyarakat dewasa ini
banyak dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran pra-Islam yang oleh sebagian
masyarakat dianggap sebagai bahagian dari hukum Islam.
Mengakui
hukum Islam atau syari’at sebagai suatu sistem kehidupan yang menyeluruh dan
memahaminya secara benar merupakan suatu hal yang penting. Bahkan dalam konteks
bagaimana syari’at harus dipahami inilah terletak persoalan yang sebenarnya.
Terdapat sejumlah faktor yang mempengaruhi dan membentuk hasil pemahaman kaum
muslimin terhadap hukum Islam atau syariat. Situasi sosiologis, kultural, dan
intelektual, atau apa yang oleh Arkoun disebut sebagai estetika penerimaan
(Aesthetics Reception). Sangat berpengaruh dalam menentukan bentuk dan isi
pemahaman30 untuk itu, walaupun setiap muslim sama-sama mengakui nilai-nilai
universal yang terkandung dalam syariat, tetapi background mereka baik
secara sosiologis, kultural ataupun intelektual berbeda, maka dapat melahirkan
pemahaman yang berbeda pula.
Sahrur
Dari penjelasan-penjelasan di atas
dapat dipahami bahwa apa yang ditawarkan Syahrur telah memberi kontribusi besar
bagi perkembangan keilmuan, terutama di bidang kajian al-Qur’an. Dengan
konsentrasi pada bidang bahasa (linguistik), seorang Syahrur yang notabene nya
sebagai insinyur teknik mampu mendalami kajian al-Qur’an sampai pada menelorkan
teori baru, yakni kajian tentang hermeneutika al-Qur’an dengan merekonstruksi
pemahaman lama yang menghegemoni kehidupan. Syahrur telah keluar dari
epistemologi Islam yang mengugat dan mendekonstruksi ushul fiqih dengan
epistemologi berlandaskan worldview (pandangan dunia) Barat yang
mengedepankan rasionalitas yang tunduk pada realitas dengan pendekatan
hermeneutika. Karena menurutnya, dia berulang kali katakan, bahwa penerapan
hukum pada alam realitas adalah aplikasi relatif-historis. Prinsip yang ia
gunakan hanya akal pikiran dengan realitas objektif.
DAFTAR
PUSTAKA
A.
Qodri A. Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional: Kompetisi Antara Hukum Islam
dan Hukum Umum, Yogjakarta: Gema Media, 2002.
Abdul
Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, Yogyakarta: LKIS., Cet. II
, 2012.
Ahmad Syukri Sholeh, Metodologi
Tafsir Al-Qur’an Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman, Gaung Persada
Press, Jakarta, 2007.
Ahmad
Syukri Sholeh, Metodologi Tafsir Al-Qur’an Kontemporer dalam Pandangan
Fazlur Rahman, Gaung Persada Press, Jakarta, 2007.
Ali Sodiqin, Antropologi
Al-Qur’an: Model Dialektika Wahyu dan Realitas, ar-Ruzz Media, Yogyakarta,
2008.
Burhanuddin, Artikulasi
Teori Batas (Nazariyyah al Hudud) Muhammad Syahrur dalam Pengembangan
Epistimologi Hukum Islam di Indonesia dalam buku Sahiron Syamsuddin, dkk. Hermeneutika
Alqur’an; Madzhab Yogya, Penerbit Islamika, Yogyakarta, 2003.
Farouq
Abu Zaid, Hukum Islam Antara Tradisonalis dan Modernis, P3M, Jakarta,
1986.
http://www.suduthukum.com/2016/07/biografi-dan-karya-muhammad-syahrur.html.
akses, 26 Oktober 2017
Leonard
Binder, Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologies, The
University of Chicago Press, London, 1988.
M. Aunul Abied Shah,
et al., Islam Garda Depan: Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah, Cet.I,
Bandung Mizan, 2000..
Mahmud
Muhammad Thaha, The Second Message of Islam, University Press, Syracuse
1987.
Mubarok, Ahmad
Zaki, Pendekatan
Strukturalismelinguistic Dalam Tafsir Al Qur’an Ala M. Syahrur, Elsaq
Press, Yogyakarta, 2007
Muhammad Syahrur, Islam
wa Iman: Manzumah al-Qiyam Terj. M.Zaid Su’di, “Islam wa Iman”, Cet.
I, Jendela, Yogyakarta, 2002,
Sahiron Syamsuddin,
ed., Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis, eLSAQ Press, Yogyakarta, 2010.
Satria
Effendi M, “Ijitihad Sepanjang Sejarah Hukum Islam: Memposisikan K.H. Ali
Yafie”, dalam Jamal D. Rahmad, (ed), Wacana Baru Fiqih Sosial: 70 Tahun
KH. Ali Yafie, Mizan, Bandung, 1997.
Wartoyo, Konsep Naskh Dalam Teori Hukum Mahmud
Muhammad Thaha, Jurnal Kajian Hukum Islam, Vol. 1, No. 2, Desember 2016.
[1]A. Qodri A. Azizy, Eklektisisme
Hukum Nasional: Kompetisi Antara Hukum Islam dan Hukum Umum, Yogjakarta:
Gema Media, 2002, Hal. 32-33.
[2]Farouq Abu Zaid, Hukum Islam
Antara Tradisonalis dan Modernis, P3M, Jakarta, 1986, Hal. 1-10
[3]Leonard Binder, Islamic
Liberalism: A Critique of Development Ideologies, The University of Chicago
Press, London, 1988, hal.24-25. Tradisi berpikir semacam ini dapat kita temukan
dalam rekam sejarah, antara lain Umar bin Khatab, dan imam Abu Hanifah.
[4] Satria Effendi M, “Ijitihad
Sepanjang Sejarah Hukum Islam: Memposisikan K.H. Ali Yafie”, dalam Jamal D.
Rahmad, (ed), Wacana Baru Fiqih Sosial: 70 Tahun KH. Ali Yafie, Mizan,
Bandung, 1997, hal. 154.
[5]Peletak teori ini adalah Imam
al-Syafi’i dengan kitabnya al-risalah dengan metode qiyas, bagunan teori penafsiran hukum dengan metode
qiyas dilanjutkan oleh ulama-ulama selanjutnya dalam Madzhab Imam al-Syafi’i
dan para fuqaha tersebut menggunakan teori nasikh dan mansukh,
dan membedakan teks al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW yang qath’i dengan
yang zahnni, juga antara yang ‘amm dengan yang khashsh.
[6] Ahmad Syukri
Sholeh, Metodologi Tafsir Al-Qur’an Kontemporer dalam Pandangan Fazlur
Rahman, Gaung Persada Press, Jakarta, 2007, hal., 19.
[7] Ibid.,
[8] Ibid.,
[9] Sahiron
Syamsuddin, ed., Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis, eLSAQ Press,
Yogyakarta, 2010, hal. 69-70.
[10] Ibid.,
[11]Ali Sodiqin, Antropologi
Al-Qur’an: Model Dialektika Wahyu dan Realitas, ar-Ruzz Media, Yogyakarta,
2008, hal. 116-117.
[12] Ibid.,
[13]Ahmad Syukri Sholeh, Metodologi
Tafsir Al-Qur’an Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman, Gaung Persada
Press, Jakarta, 2007, hal. 132
[14] Ibid.,
[15].Ibid.,
hal.133
[16] Mahmud Muhammad Thaha, The
Second Message of Islam, University Press, Syracuse 1987, hal. 2.
[17] Ibid., hal.4
[18] Ibid.,
[19]
Ibid.,
[20]Wartoyo, Konsep
Naskh Dalam Teori Hukum Mahmud Muhammad Thaha, Jurnal Kajian Hukum Islam,
Vol. 1, No. 2, Desember 2016, hal. 144-165
[21] Ibid.,
[22] Ibid.,
[23] http://www.suduthukum.com/2016/07/biografi-dan-karya-muhammad-syahrur.html.
akses, 26 Oktober 2017
[24] Muhammad
Syahrur, Islam wa Iman: Manzumah al-Qiyam Terj. M.Zaid Su’di, “Islam
wa Iman”, Cet. I, Jendela, Yogyakarta, 2002, h. Pengantar. dan Mubarok, Ahmad Zaki, Pendekatan Strukturalismelinguistic Dalam
Tafsir Al Qur’an Ala M. Syahrur, Elsaq Press, Yogyakarta, 2007, hal 137-139
[25] M. Aunul Abied
Shah, et al., Islam Garda Depan: Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah,
Cet.I, Bandung Mizan, 2000, hal. 237.
Bandung Mizan,
2000, h. 237.
[26] Abdul Mustaqim, Epistemologi
Tafsir Kontemporer, Yogyakarta: LKIS., Cet. II , 2012, hal.93.
[27]Burhanuddin, Artikulasi
Teori Batas (Nazariyyah al Hudud) Muhammad Syahrur dalam Pengembangan
Epistimologi Hukum Islam di Indonesia dalam buku Sahiron Syamsuddin, dkk. Hermeneutika
Alqur’an; Madzhab Yogya, Penerbit Islamika, Yogyakarta, 2003, hal. 152.
[29] Ibid.,
[30]
Ibid.,
[31]
Ibid.,
[32]
Ibid.
[33]
Ibid.,
[34]
Ibid.,
[35]
Ibid.,
Comments
Post a Comment