TEORI-TEORI HUKUM ISLAM KONTEMPORER

Oleh
Nur Moklis

I.      PENDAHULUAN
Jika diperhatikan dengan seksama, pembentukan hukum islam (fiqih) banyak di pengaruhi miliue yang mengitarinya, misalkan wilayah yang sekaligus dianggap sebagai madzhab yaitu kota kuffah, kota hijaz, dan mesir, disana sangat terasa pengaruhnya social, budaya, politik terhadap para fuqaha (ahli hukum Islam) dalam merumuskan hukum Islam (fiqih) dan istimbat al-ahkam (teori yang digunakan untuk menemukan hukum). Para fuqaha seringkali merumuskan tafsir ayat-ayat al-Qur’an dan Hadist Nabi SAW dalam kontek social, budaya, ekonomi dan Politik.[1]
Teori hukum islam (ushul Fiqih) mulai nampak tertata secara terstruktur ketika imam al-Syafi’i (w.204/820) menawarakan metode qiyas dalam kitabnya al-risalah, kemudian Al-Ghazali (w.505/1111) yang mengembangkan teori mashlahah, kemudian dilanjutkan imam Asy-Syathibi (w. 90/1138), selanjutnya  Muhammad Abduh (w.1903) sebagai salah satu pembaharu (awal modern) yang telah merekonstruksi rasionalisme klasik.[2]
Kita sering mendengar nama tokoh pembaharu hukum islam, antara lain Fazlur Rahman, Abdullah Ahmed an-Na’im, Muhammad Arkoun, Hassan Hanafi, Nash Hamid Abu Zaid, Asghar Ali Engineer, dan Muhammad Syahrur. Tokoh-tokoh tersebut telah berusaha melakukan rekonstrukri dan atau dekonstruksi metodologi hukum islam (ushul fiqih) dalam penafsiran al-Qur’an yang sesuai dengan tantangan dan tuntutan zaman.
Gerakan pembaharuan hukum Islam setidaknya dapat dikelompokkan menjadi dua kategori: Pertama, adalah kelompok yang menganut paham legal theorists,[3] kelompok ini berpendapat bahwa untuk membenahi ketertinggalan hukum Islam (fiqih) dan untuk menyesuaikan dengan realita aktual harus membuka pintu ijtihad secara bebas tanpa terikat dengan aturan-aturan di kalangan para mujtahid tradisional. Untuk sampai kepada tujuan tersebut, mereka sering kali menciptakan berbagai kaidah-kaidah baru, upaya penafsiran seperti ini sering dianggap “sesat” meskipun telah memunculkan corak baru dalam pemikiran hukum Islam (fiqih),  karena ternyata mampu memberikan tawaran yang meyakinkan, baik dari segi sumber, metode dan implementasinya.[4]
Kelompok Kedua adalah ahli hukum Islam yang menempatkan teks al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW sebagai pijakan primer untuk menemukan segala hal dalam aktivitas kehidupan ummat. Naskah teks al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW yang jelas dan rinci serta kitab-kitab karya para fuqaha tradisional diterima tanpa dilakukan interpretasi ulang. Alasan cara berpikir tekstual ini dan ukuran kebenaran yang diperoleh hanya disesuikan dengan keinginan Tuhan (Will of God), kelompok tersebut dikategorikan pemikir “tekstual-teosentris” atau “tekstual-tradisional”. Sebagian pakar berpendapat cara berpikir diatas diyakini tidak akan mampu menjawab realitas konkret dan memenuhi kekosongan hukum sekarang ini.[5]
Pada makalah ini penulis akan menyajikan beberapa teori hukum islam yang di kemukakan beberapa tokoh islam kontemporer dewasa ini.

II.     TEORI-TEORI HUKUM ISLAM KONTEMPORER
A.   TEORI DOUBLE MOVEMENT – FAZLUR RAHMAN
1.    Biografi
Fazlur Rahman dilahirkan pada hari Minggu, 21 September 1919 M, di daerah yang bernama Hazara, barat laut Negara Pakistan. Ayah Fazlur Rahman bernama Maulana Syahab al-Din dan nama keluarganya adalah Malak. Fazlur Rahman dibesarkan dalam lingkungan keluarga Muslim taat, yang mempraktekkan ajaran fundamental Islam seperti, shalat, puasa dan lainnya. Fazlur Rahman pada waktu usia 10 tahun telah menguasai teks Al-Qur’an di luar kepala. Orang yang sangat berjasa menanamkan dan atau membentuk karakternya adalah ayah dan ibunya sendiri. Ayahnya seorang alim yang bermadzhab Hanafi yang berlatang belakang pendidikan dari Deoband, sebuah madrasah tradisional terkemuka di anak benua Indo-Pakistan waktu itu.[6]
Maulana Syahab al-Din tidak seperti kebanyakan ulama di masanya yang menentang dan menganggap pendidikan modern dapat meracuni keimanan dan moral, Maulana Syahab al-Din meyakini bahwa Islam harus menghadapi realitas kehidupan modern, tidak hanya sebagai suatu tantangan tapi juga suatu kesempatan. Keyakinan Maulana Syahab al-Din inilah yang kelak di praktekkan pada diri Fazlur Rahman dan bahkan terus bertahan sampai akhir hayatnya. Sementara ibunya berperan dalam menanamkan nilai-nilai kebenaran, kasih sayang dan kejujuran, terutama nilai cinta pada Fazlur Rahman pada usia dini.[7]
Disaat Fazlur Rahman telah berusia 14 tahun (1933 M), keluarganya pindah ke Lahore, di kota ini Fazlur Rahman menerima pendidikan modern. Pada tahun 1940 M. Fazlur Rahman menyelesaikan Sarjana Muda (B.A) pada jurusan Bahasa Arab di Universitas Punjab. Dua tahun selanjutnya Fazlur Rahman memperoleh gelar Master of Art (M.A.) dalam jurusan Bahasa Arab pada universitas yang sama. Pada tahun 1946 M, ia melanjutkan studi pada program doctor (Ph.D Program) di Universitas Oxford, Inggris. Pada program ini ia berkonsentrasi pada kajian Filsafat Islam. Ia menyelesaikan studi Doktornya dalam waktu 3 tahun (1946-1949) dengan disertasi yang berjudul Avicenna’s Psychology.  Fazlur Rahman meninggal dunia pada tanggal 26 Juli 1988.[8]

2.    Teori Double Movement oleh Fazlur Rahman
Menurut Fazlur Rahman Al-Qur’an tidak bisa dipahami secara parsial, melainkan harus dipahami secara utuh yang terjalin satu ayat dengan yang lain sehingga menghasilkan pemahaman komprehensih yang akurat. Pemahaman utuh tersebut tidak didapatkan pada penafsiran kitab-kitab klasik, para mufassir terlalu asyik bermain dengan terma-terma yang menyebabkan mereka terjebak dalam penafsiran literal-tekstual. Bagi seorang Fazlur Rahman fenomena ini terjadi disebabkan ketidaktepatan dan ketidak sempurnaan instrumen yang dipicu kegersangan metode penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an.[9]
Fazlur Rahman menawarkan metode yang logis, kritis dan komprehensif, yakni hermeneutika double movement (gerak ganda interpretasi). Metode tersebut mencoba memberi pemahaman yang sistematis dan juga kontekstualis, sehingga diharapkan mampu menghasilkan suatu penafsiran yang tidak parsial, tidak atomistik, tidak literalis dan tidak tekstualis, melainkan penafsiran yang memiliki kemampuan menjawab persoalan-persoalan terupdate, dan juga persoalan-persoalan kekinian. Adapun maksud gerakan ganda dalam teori Fazlur Rahman yaitu dimulai dari situasi sekarang ke masa Al-Qur’an diturunkan dan kembali lagi ke masa kini.[10] Persoalan tentang mengapa harus mengetahui masa/periode Al-Qur’an diturunkan? Sedangkan masa/periode dahulu dengan masa sekarang tidak mempunyai kesamaan. Untuk menjawab hal tersebut, FazlurrahmanRahman mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah respon Allah melalui ingatan dan pikiran Nabi SAW, kepada situasi moral-sosial masyarakat Arab pada masa Nabi SAW. Artinya, signifikansi pemahaman setting-social Bangsa Arab pada periode Al-Qur’an diturunkan disebabkan adanya proses dialektika antara Al-Qur’an dengan realitas yang melingkupinya, baik itu dalam bentuk tahmil yaitu menerima dan melanjutkan, tahrim yaitu melarang keberadannya, dan taghyyur yaitu menerima dan merekontruksi tradisi.[11]
Gerakan pertama, bertitik tolak dari situasi kontemporer menuju ke masa Al-Qur’an diwahyukan/ diturunkan, yaitu perlu dipahami arti dan makna dari suatu pernyataan dengan cara mengkaji situasi atau permasalahan historis di mana pernyataan Al-Qur’an tersebut hadir sebagai jawabannya. Disini Al-Qur’an dipahami sebagai suatu totalitas di samping sebagai ajaran-ajaran khusus yang merupakan respon terhadap situasi kondisi tertentu. kemudian, respon-respon khusus tersebut digeneralisir dan dinyatakan sebagai pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral bersifat umum yang dapat “disaring” dari ayat-ayat khusus yang berkaitan dengan latar belakang sosio historis dan rasio legis yang sering diungkapkan. Selama proses ini, perhatian harus diberikan pada ajaran Al-Qur’an sebagai suatu totalitas sehingga setiap arti atau makna tertentu yang dipahami, setiap hukum yang dinyatakan, dan setiap tujuan dan atau sasaran yang diformulasikan akan berkaitan satu dengan lainnya. Secara ringkas, dalam gerakan pertama tersebut, kajian diawali dari hal-hal spesifik dalam Mushaf Al-Qur’an, kemudian upaya menggali dan mensistimatisasikan prinsip-prinsip umum, nilai-nilai dan tujuan jangka panjangnya.[12]
Gerakan kedua, bertolak dari masa Al-Qur’an diturunkan (setelah menemukan prinsip-prinsip umum) kembali lagi ke masa saat ini. Dalam artian, ajaran-ajaran pokok (prinsip) yang bersifat umum ini harus ditumbuhkan dalam konteks sosio historis yang kongkret/ yang dihadapi di masa sekarang. Untuk itu perlu dikaji secara teliti situasi sekarang dan dianalisa unsur-unsurnya sehingga situasinya dapat dinilai dan diubah sejauh yang dibutuhkan serta ditetapkan prioritas-prioritas baru demi mengimplementasikan nilai-nilai Al-Qur’an secara baru pula.[13] Gerakan kedua tersebut juga akan berfungsi sebagai pengoreksi dari hasil-hasil pemahaman dan penafsiran yang dilakukan oleh gerakan pertama. Karena jika hasil-hasil pemahaman tersebut tidak bisa diterapkan dalam masa sekarang, itu artinya telah terjadi kegagalan dalam menilai situasi sekarang dengan tepat atau ketihakberhasilan dalam memahami Al-Qur’an sebagai firman Allah SWT. Karena, suatu hal mustahil bahwa sedalam tatanan secara khusus (masyarakat Arab) di masa lampau tersebut tidak bisa direalisasikan dalam konteks masyarakat sekarang. Ini dilakukan dengan jalan mempertimbangkan perbedaan “dalam hal-hal yang khusus yang ada pada situasi sekarang” yang mencakup baik pengubahan aturan-aturan di masa lampau sehingga selaras dengan tuntutan situasi sekarang (sejauh tidak melanggar prinsip-prinsip umum di masa lampau) maupun mengubah situasi sekarang sepanjang diperlukan hingga sesuai dengan prinsip-prinsip umum tersebut.[14]
Fazlur Rahman selanjutnya meyakinkan apabila kedua moment gerakan ganda tersebut berhasil diwujudkan, niscaya perintah-perintah Al-Qur’an akan menjadi hidup dan kembali efektif lagi. Oleh sebab itu, kelancaran tugas pertama ini sangat bergantung dan atau berhutang budi pada kerja para sejarawan. Adapun tugas kedua, sangat memerlukan bantuan atau instrumentalitas para saintis social (sosiolog dan atau antropolog), demi menentukan “orientasi efektif” dan “rekayasa etis”, maka kerja para penganjur moral (tokoh-tokoh agama) lah yang diandalkan.[15]

B.   TEORI NASAKH – MAHMUD MUHAMMAD THAHA
1.    Biografi Mahmud Muhammad Thaha
Mahmud Muhammad Thaha dilahirkan pada tahun 1909 atau 1911 di kota kecil bernama Ruf’ah di daerah tepian timur Sungai Nil. di usianya yang masih kecil dia sudah ditinggal oleh kedua orang tuanya, ibunya meninggal pada tahun 1915 dan ayahnya meninggal pada tahun 1920. Mahmud Muhammad Thaha dibesarkan di lingkungan keluarga besarnya sampai dewasa.[16]
Mahmud Muhammad Thaha menyelesaikan studinya dibidang tehnik di Gordon Memorial College, sekarang menjadi University of Khartoum pada tahun 1936. Partisipasinya dalam pergerakan politik dimulai pada akhir tahun 1930 karena ketidak-puasannya terhadap pola pendidikan pada saat itu. Tahun 1945 Mahmud Muhammad Thaha dan sahabt-sahabatnya mendirikan Al-Hizb al-Jumhuri (Partai Republik) yang dijadikan sarana memperjuangkan ideologinya untuk kemajuan masyarakat.
Mahmud Muhammad Thaha dalam berpendapat sering mengeluarkan pemikiran-pemikiran keagamaan yang bercampur dengan pendapat pribadinya yang tidak pernah difatwakan oleh para ulama yang lain sebelumnya. Menurut Mahmud Muhammad Thaha, pendapat yang disampaikan tentang visi Islam di masa depan merupakan pemberian hidayah dari Allah (namun bukan wahyu) bukan hasil pemikiran rasional.[17]
Aktivitas Mahmud Muhammad Thaha dalam Al-Hizb al-Jumhuri digunakan untuk mensosialisasikan pemikirannya tentang The Second Message of Islam atau Risalah Kedua dalam Islam, dalam pergerakan politiknya, Mahmud Muhammad Thaha mengerakkan masyarakat khususnya yang non-muslim untuk menentang pemberlakuan syariat Islam di Sudan.
Sebagai pendiri Al-Hizb al-Jumhuri pemikiran Mahmud Muhammad Thaha sangat mempengaruhi doktrin-doktrin pergerakan partai. Adapun tujuan yang ingin dicapai melalui partai tersebut adalah: pertama, membentuk pribadi-pribadi bebas yang berfikir sekehendaknya, berkata sekehendak fikirannya dan bekerja sesuai dengan yang dikatakannya. Kedua, membentuk masyarakat shalih, yaitu bahwa masyarakat yang tegakkan di atas prinsip-prinsip persamaan ekonomi, persamaan politik dan persamaan sosial. Persamaan ekonomi dimulai dari sosialisme dan terus berkembang menuju komunisme. Persamaan politik dimulai dari demokrasi perwakilan langsung dan akan berakhir pada kebebasan pribadi secara mutlak, di mana setiap pribadi memiliki aturan sendiri-sendiri. Sedangkan persamaan sosial berorientasi untuk mewujud penghapusan diskriminasi kasta, ras, keturunan, dan warna kulit serta kepercayaan.  Ketiga, memerangi rasa takut. Menurutnya rasa takut yang menjadi biang keladi setiap kerusakan moral dan kejelekan perilaku ialah takut kepada Tuhan. Ia berpendapat bahwa jiwa kesatria seseorang tidak akan sempurna selama ia masih dijangkiti rasa takut. Demikian juga jiwa kewanitaan seorang wanita tidak akan sempurna selama ia masih dijangkiti rasa takut, apapun bentuk dan tingkatannya. Oleh karenya kesempurnaan hanya dapat dicapai dengan terlepasnya seseorang dari rasa takut.[18]
Keberadaan Mahmud Muhammad Thaha dalam perpolitikan adalah bentuk oposisi terhadap pemerintahan Rezim Numairi yang telah mengumumkan Revolusi Islam dengan kembali menerapkan hukum tradisional Islam yang berada di bawah kendali Ja’far Numeiri tanpa berkonsultasi pada Jaksa Agung dan Mahkamah Agung sehingga rezim pemerintah dapat melakukan tindakan represif terhadap semua kejahatan dan tindakan-tindakan yang dianggap melanggar hukum meskipun hal tersebut melanggar Hak Asasi Manusia. Dampak yang terjadi adalah timbulnya ketegangan-ketegangan antara warganegara muslim dengan non-muslim. Melihat kondisi tersebut Mahmud Muhammad Thaha melakukan tekanan terhadap pemerintahan rezim Numeiri melalui pengembangan pemikiran baru tentang syari’ah Islam dan HAM dalam negara modern, namun oleh pemerintah rezim Numeiri pemikirannya dianggap murtad. Setelah melalui perjalanan panjang dalam karir perpolitikan Mahmud Muhammad Thaha dan empat orang pendukungnya dijatuhi hukuman mati dengan tuduhan zindiq dan juga menentang syari'at Islam. Sebelum waktu eksekusi tiba ia diberi kesempatan 3 hari untuk bertaubat, tetapi ia tidak mau. Jum'at pagi, 27 Rabi'ul al-Tsani 1405 H/18 Januari 1985 ia dihukum gantung di depan 4 orang pengikutnya, yaitu Tajuddin Abd al-Razaq, umur 35 tahun, seorang buruh di salah satu pabrik tenun. Khalid Bakir Hamzah umur 22 tahun), mahasiswa Universitas Kairo cabang Khartum. Muhammad Shalih Basyir, umur 36 tahun pegawai pada perusahan al-Jazirah. Abd al-Lathif Umar, umur 51 tahun, wartawan pada surat kabar al-Shihafah. Empat orang tersebut menyatakan taubat 2 (dua) hari setelah pelaksanaan hukuman terhadap Mahmud Muhammad Thaha. Oleh karena itu mereka berempat selamat dari kematian di tiang gantungan.[19]

2.    Teori Nasakh oleh Mahmud Muhammad Thaha
Wartono berpendapat bahwa setidaknya ada tiga karakteristik yang terdapat dalam teori naskh Mahmoud Muhamed Taha, yang selalu digunakannya dalam memproses suatu permasalahan, yang hasilnya berimplikasi pada hukum permasalahan itu. Tiga karakteristik dari metode tersebut adalah: Pertama, peralihan dari satu teks ke teks lain, di mana antara satu teks dengan teks lainnya tidak dalam satu ayat, atau bahkan berbeda surat. Misalnya, dalam permasalahan diskriminasi gender, menurut Thaha, ayat dasar yang merupakan ajaran Islam mengenai relasi gender adalah QS. Al-An‟am (6): 164 dan juga QS. Al-Mu‟minun (23): 1762. Di mana dalam kedua surat tersebut disebutkan bahwa tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan sama di depan Allah, jadi mengapa mereka harus dibedakan dalam hal mendapatkan bagian harta waris QS. An-Nisaa (4): 1163, misalnnya, dan lain-lain. Karakteristik dari metode ini adalah yang paling sering dan paling banyak dilakukan oleh Thaha.[20] 
Kedua, peralihan dari satu teks ke teks lainnya, tapi masih dalam satu ayat. Thaha pernah menjelaskan, bahwa penyebutan atau pembagian makkiyah dan Madaniyah hanya menunjukkan keumumannya saja, sebab ada pula ayat-ayat Madaniyah yang memiliki kandungan semangat atau sifat Makkiyah dan begitu juga sebaliknya. Contoh dari peralihan teks semaca ini terdapat dalam ayat yang berbicara mengenai poligami (QS. An-Nisa (4): 3) dalam ayat ini pertama-tama diberikan kelonggaran bagi seorang laki-laki untuk menikah dengan dua, tiga atau empat perempuan. Tapi masih dalam ayat yang sama, Allah juga memberikan syarat bagi kebolehan tersebut, yaitu berlaku adil di antara istri-istrinya. Padahal, dalam ayat lain, masih dalam surat yang sama, Allah telah menyatakan dengan jelas bahwa laki-laki itu sekali-kali tidak akan pernah bisa berlaku adil terhadap istri-istrinya, sebab hati hanya akan lebih condong kepada salah satu dari istri-istrinya tersebut (QS. An-Nisaa (4): 129). Maka, pada kalimat selanjuntnya, masih dalam ayat yang sama (QS. An-Nisa: 3), Allah berkata dengan tegas “dan jika kamu tidak dapat berlaku adil, maka nikahilah satu orang saja”. Inilah yang kami maksud dengan peralihan dari satu teks ke teks lainnya, tapi masih dalam satu redaksi ayat.[21]
Ketiga, Thaha terkadang dengan kedalaman ilmu tasawufnya, memiliki pandangan sendiri mengenai suatu pemasalahan yang di dalam Al-Qur‟an tidak dinyatakan secara tegas mengenai hukum dari persoalan tersebut. Sebab memang Thaha biasanya menggunakan pandangannya ini dalam persoalan-persoalan yang bersifat “keduniaan”, misalnya pendapat dan pandangannya mengenai masalah keadilan ekonomi, politik dan lain-lain. Meskipun, tetap saja ia melandasakan pandangannya tersebut pada ayat-ayat Al-Qur‟an. Mari kita ambil contoh saja mengenai keadilan ekonomi. Menurut Thaha, ekonomi yang berkeadilan dalam Islam adalah system ekonomi sosialisme, atau persamaan ekonomi secara merata bagi seluruh masyarakat. Meskipun demikian, system sosialisme ini tidak sama system komunisme, menurut Thaha, Islam tetap mengakui hak kepemilikan pribadi, namun hanya sebatas hak kepemilikan akan kebutuhan pokok untuk hidup. Sedangkan lebih dari itu, maka itu merupakan hak kepemilikan bersama seluruh masyarakat. Thaha mendasarkan pendapatnya ini pada QS. Al-Baqarah (2): 219, di mana menurutnya, itulah puncak dan tujuan dari syari‟at Islam mengenai keadilan ekonomi. Sedangkan pada masa sebelumnya, umat Islam masa nabi mengaplikasikan terlebih dahulu ajaran dasar tersebut, dengan melakukan pemungutan zakat, sebagaimana tertulis dalam Al-Qur‟an, QS. At-Taubah (9): 103. Menurut Thaha, bila umat Islam sudah mampu mengaplikasikan kandungan ayat dasar (QS. Al-Baqarah (2): 219)64 tadi, maka kewajiban zakat tidak akan berlaku lagi, sebab tanpa diperintahkan untuk mengeluarkan zakat pun, manusia sudah mampu memahami bahwa harta yang ia punya bukan hanya miliknya, tapi melainkan milik Allah, maka ia wajib membantu saudara-saudaranya yang juga hamba Allah yang tidak mampu. Sehingga dengan begitu kemakmuran akan dirasakan tidak hanya oleh segelintir orang, tapi dirasakan oleh seluruh masyarakat.[22]

C.   TEORI HUDUD – MUHAMMAD SYAHRUR
1.    Biografi Muhammad Syahrur
Nama lengkap dari pemikir Islam liberal ini adalah Muhammad Syahrur Ibnu Dayb. Ia dilahirkan di Perempatan Salihiyah, Damaskus, Syria pada tanggal 11 April 1938. Syria merupakan salah satu negara yang pernah mengalami problem modernitas khususnya benturan keagamaan dengan gerakan modernisasi barat. Problema ini muncul karena disamping Syria pernah diinvasi oleh Prancis dampak dari gerakan modernisasi turki, di Syria pernah menjadi region dari dinasti Usmaniyah (di Turki). Problema ini memunculkan tokoh-tokoh misalnya Jamal al-Din, al-Qasimy (1866-1914). Muhammad Syahrur adalah anak kelima dari seorang tukang celup yang bernama Dayb Ibnu Dayb dan Siddiqah binti Salih Filyun. Syahrur dikaruniai lima orang anak yaitu Tariq, Al Lais, Basul, Masum dan Rima dengan seorang istri bernama Azizah.[23]
Pendidikan dasar dan menengahnya ditempuh di Syria sampai memperoleh ijazah sekolah menengah pada tahun 1957 dari lembaga pendidikan Abdur Rahman Al Kawakibi, Damaskus.[24] Pada tahun 1958 dia memperoleh beasiswa dari pemerintah dan berangkat ke Saratow di Moskow, Uni Soviet untuk mempelajari teknik sipil dan pada tahun 1964, berhasil menyelesaikan program diploma teknik sipil. Pada tahun 1965, Muhammad Syahrur kembali ke Syria dengan gelar Sarjana Teknik Sipil dan mengajar di Fakultas Teknik Sipil Universitas Damaskus. Selanjutnya pada tahun 1968, oleh universitas dia dikirim ke Ireland National University, Irlandia yang kemudian mengantarkannya memperoleh gelar Magister (1969) dan Doktor (1972) dalam spesialisasi Mekanika Pertanahan dan Fondasi. Kemudian ia diangkat sebagai Profesor Jurusan Teknik Sipil di Universitas Damaskus (1972-1999) dan pada tahun 1982-1983 Syahrur dikirim oleh Universitas Damaskus untuk menjadi tenaga ahli pada Al Sand Consult di Arab Saudi. Selain itu bersama rekan- rekannya, dia membuka Biro Konsultan Teknik Dar al Istisyarah al Handasiyah di Damaskus.[25]

2.    Teori Hudud oleh Muhammad Syahrur
Dalam kajian Islam, jika menyebut seorang Syahrur, maka sekan-akan tidak nyaman apabila belum meraba teori hudud atau teori limit-nya. Apa yang dimaksud teori limit atau hudud adalah sebuah metode memahami ayat-ayat hukum (muhkamat) sesuai dengan konteks sosio-historis masyarakat kontemporer agar ajaran al-Qur’an tetap relevan dan kontekstual sepanjang masih berada dalam wilayah batas hukum Allah. Buah dari penelitian yang diakuinya tersebut, lahirlah sebuah teori yang aplikatif, yakni nazhariyyah al-hudud (limit theory/teori batas). Teori batasnya terdiri dari batas bawah (al-hadd aladna/ minimal) dan batas atas (al-hadd al-a’la/maksimal).
Kontribusi dari teori ini sebagaimana dikutip dari buku Epistemologi Tafsir Kontemporer; pertama, dengan teori limit, ayat-ayat hukum yang selama ini dianggap final dan pasti tanpa ada alternatif pemahaman lain ternyata memiliki kemungkinan untuk diinterpretasikan secara baru dan Syahrur mampu menjelaskannya secara metodologis dan mengaplikasikannya dalam penafsirannya melalui pendekatan matematis. Kedua, dengan teori limit, seorang mufassir akan mampu menjaga sakralitas teks tanpa harus kehilangan kreatifitasnya dalam melakukan ijtihad untuk membuka kemungkinan interpretasi sepanjang masih berada dalam batas-batas hukum Allah.[26]
Syahrur mendasarkan konsepnya dalam menyusun teori batas pada Alquran surat an-Nisa’ ayat 13-14. Syahrur mencermati penggalan ayat ”tilka hudud Allaah” yang menegaskan bahwa pihak yang memiliki otoritas untuk menetapkan batasan-batasan hukum (haqq at-tasyri’) hanyalah Allah semata. Sedangkan Muhammad Saw, meskipun beridentitas sebagai Nabi dan Rasul, pada hakekatnya otoritas yang dimiliki Muhammad tidak penuh dan ia sebagai pelopor ijtihad dalam Islam.[27] Hukum yang ditetapkan Nabi lebih bersifat temporal-kondisional sesuai dengan derajat pemahaman, nalar zaman, dan peradaban masarakat pada waktu itu, artinya ketetapan hukum tersebut tidak bersifat mengikat hingga akhir zaman. Maka, di sinilah kita mempunyai ruang untuk melihat Alqur’an dan berijtihad dengan situasi dan kondisi yang dilatar belakangi ilmu pengetahuan pada masa sekarang.
Syahrur berargumen dengan dalil fisikanya bahwa tidak ada benda yang gerakkannya dalam bentuk garis lurus. Seluruh benda sejak dari elektron yang paling kecil hingga galaksi yang terbesar bergerak secara hanifiyyah (tidak lurus). Oleh karena itu ketika manusia dapat mengusung sifat seperti ini maka ia akan dapat hidup harmonis dengan alam semesta. Demikian halnya kandungan hanifiyyah dalam hukum Islam yang cenderung selalu mengikuti kebutuhan sebagian anggota masyarakat dengan penyesuaian dengan tradisi masyarakat. Untuk mengontrol perubahan-perubahan ini maka adanya sebuah garis lurus istiqamah menjadi keharusan untuk mempertahankan aturan-aturan hukum yang dalam konteks inilah teori batas diformulasikan. Garis lurus bukanlah sifat alam ia lebih merupakan karunia tuhan agar ada bersama-sama dengan hanifiyyah untuk mengatur masyarakat.[28]
Dalam bentuk matematisnya, Syahrur menggambarkan hubungan antara alhanafiyyah dan al-istiqamah dengan sebuah kurva dan garis lurus yang bergerak pada sebuah matriks. Y Kurva (al-hanifiyyah = ruang ijtihad) X Sumbu X menggambarkan zaman atau konteks waktu sejarah, sedangkan sumbu Y sebagai undang-undang yang ditetapkan oleh Allah Swt. Kurva ini menggambarkan dinamika ijtihad manusia bergerak sejalan dengan sumbu X yang dibatasi dengan hukum yang telah ditentukan oleh Allah pada sumbu Y. Berdasarkan kajiannya terhadap ayat-ayat hukum, Syahrur menyimpulkan adanya enam bentuk dalam teori batas yang dapat digambarkan dalam bentuk matematis dengan perincian sebagai berikut:[29]
Pertama. Halah al-had al-a’la (posisi batas maksimal). Daerah hasil (range) dari persamaan fungsi y (Y)=f (x) berbentuk kurva tertutup yang hanya memiliki satu titik batas maksimum. Titik ini terletak berhimpit dengan garis lurus yang sejajar dengan sumbu x. Untuk kasus ini dapat kita lihat pada QS. Al-Maidah: 38 mengenai pencuri. Baik laki-laki maupun perempuan maka potonglah tangan mereka. Potong tangan disini adalah hukuman maksimum. Karena itu hukuman untuk pencuri tidak mesti potong tangan tetapi tergantung pada kualitas barang yang dicuri dan kondisi saat itu.[30]
Kedua, Halah al-hadd al-adna (posisi batas minimal). Daerah hasilnya berbentuk kurva tebuka yang memiliki satu titik batas minimum. Titik ini terletak berhimpit dengan garis lurus ang sejajar dengan sumbu x. Dalam batas minimum ini Syahrur mencontohkan pada pelarangan dalam al-Qur’an untuk mengawini para perempuan yang disebutkan pada surat an-Nisa`: 22: ”…dalam kondisi apapun tidak boleh melanggar batasan ini meskipun telah melakukan proses ijtihad”. Contoh batasan ini terdapat dalam surat an-Nisak: 23: Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudarasaudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua);… Dalam kondisi apapun tidak seorang pun yang diperbolehkan menikahi mereka yang dilarang dalam ayat ini, meskipun didasarkan pada ijtihad.[31]
Ketiga, Halah al-haddayn al-a’la wa al-adna ma’an (posisi batas maksimal bersamaan dengan batas minimal). Daerah hasilnya berupa kurva tertutup dan terbuka yang masing-masing mamiliki titik balik maksimum dan minimum. Kedua titik balik trsebut terletak berhimpit dengan garis lurus yang sejajar dengan sumbu x. Diantara kedua kurva ini terdapat titik singgung (nuqtah al-ini’taf) yang tepat berada diantara keduanya. Posisi ini juga disebut dengan halah al-mustaqim atau halah at-tasyri’ al-ayni (posisi penetapan hukum secara mutlak). Batasan ini berlaku pada pemabagian harta warisan.[32] Dalam al-Qur’an dapat diperhatikan dalam QS. an-Nisa’ ayat 11. Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak.
Keempat, Halah al-mustaqim (posisi lurus tanpa alternatif). Daerah hasilnya berupa garis lurus sejajar dengan sumbu x. Karena berbentuk garis lurus, posisi ini meletakkan titik alik maksimum berimpit dengan titik balik minimum. Ketentuan ini hanya terdapat satu kasus dalam al-Qur’an pada surat an-Nur mengenai kasus penzinaan. Bagi penzina laki-laki maupun perempuan maka deralah mereka 100 x tidak boleh kurang dan tidak bleh lebih.[33]
Kelima. Halah al-hadd al-a’la li hadd al-muqarib duna al-mamas bi al-hadd abadan (posisi batas maksimal cenderung mendekat tanpa bersentuhan). Daerah hasilnya berupa kurva terbuka yang terbentuk dari titik pangkal yang hampir berhimpit dengan sumbu x dan titik final yang hampir berhimpit dengan sumbu y. Secara matematis, titik final hanya benar-benar berhimpit dengan sumbu y pada daerah tak terhingga (’ala la nibayah). posisi ini diterapkan dalam batasan hubungan fisik antara laki-laki dan perempuan. Hubungan fisik terjadi antara manusia berlawanan jenis ini bermula dari batasan terendah, berupa hubungan tanpa persentuhan sama sekali antara keduanya dan berakhir pada batasan paling tinggi, berupa tindakan yang menjurus pada hubungan kelamin yang disebut zina. Ketika seseorang masih berada pada tahap melakukan tindakan yang menjurus ke zina tetapi belum sampai pada zina itu maka ia belum terjerumus pada batasan maksimum hubungan fisik yang ditetapkan Allah. Sebelum mereka melakukan zina maka hukuman had Tuhan itu tidak dapat dilaksanakan kecuali hukuman khalwat.[34]
Keenam, Halah al-hadd al-a’la mujaban wa al-hadd al-adna saliban (posisi batas maksimal positif dan batas minimal negatif). Daerah hasilnya berupa kurva gelombang dengan titik bali maksimum yang berada di daerah positif (kedua variabel x dan y, bernilai positif) dan titik balik minimum berada di daerah negatif (variabel y bernilai negatif). Kedua titik ini terletak berhimpit dengan garis lurus yang sejajar dengan sumbu x. Teori batas keenam inilah yang kita pakai dalam menganalisis transaksi keuangan. Batas tertingi dalam peminjaman uang dinamakan dengan pajak bunga dan batas terendah dalam pemberian adalah zakat. Garis tengah yang berada antara wilayah positif (+) dan negatif (-) adalah titik nol (batas netral). Pemberian pada wilayah nol ini adalah peminjaman bebas bunga (qardh hasan). Wilayah ijitihad manusia, menurut Syahrur berada di antara batas minimum dan maksimum itu tadi. Elastisitas dan fleksibilitas hukum Allah tadi dapat digambarkan seperti posisi pemain bola yang bebas bermain bola, asalkan tetap berada pada garis-garis lapangan yang telah ada. Pendek kata, selagi seorang muslim masih berada dalam wilayah hudud-u-Allah (ketentuan Allah antara batas minimum dan maksimum tadi), maka dia tidak dapat dianggap keluar dari hukum Allah. Melalui teori limit, Syahrur ingin melakukan pembacaan ayat-ayat muhkamat secara produktif dan prospektif (qira’ah muntijah), bukan pembacaan repetitif dan restrospektif (qira’ah mutakarrirah). Dan dengan teori limit juga, Syahrur ingin membuktikan bahwa ajaran Islam benar-benar merupakan ajaran yang relevan untuk tiap ruang dan waktu. Syahrur berasumsi, kelebihan risalah Islam adalah bahwa di dalamnya terkandung dua aspek gerak, yaitu gerak konstan (istiqamah) serta gerak dinamis dan lentur (hanifiyyah). Sifat kelenturan Islam ini berada dalam bingkai teori limit yang oleh Syahrur dipahami sebagai the bounds or restrictions that God has placed on mans freedom of action (batasan yang telah ditempatkan Tuhan pada wilayah kebebasan manusia). Kerangka analisis teori limit yang berbasis dua karakter utama ajaran Islam ini (aspek yang konstan dan yang lentur) akan membuat Islam tetap survive sepanjang zaman. Dua hal yang beroposisi secara biner itu kemudian melahirkan gerak dialektik (al-harakah aljadaliyah) dalam pengetahuan dan ilmu-ilmu sosial. Dari situlah diharapkan lahir paradigma baru dalam pembuatan legislasi hukum Islam (tasyri’), sehingga memungkinkan terciptanya dialektika dan perkembangan sistem hukum Islam secara terus-menerus.[35]

III.   KESIMPULAN
Fazlur Rahman
Teori double movement Fazlur Rahman merupakan teori yang terdiri dari dua gerakan. Pertama, dari yang khusus (particular) kepada yang umum (general). Artinya, sebelum seorang penafsir mengambil kesimpulan hukum, ia harus mengetahui terlebih dahulu arti yang dikehendaki secara tekstual dalam suatu ayat dengan meneliti alasan-alasan hukumnya (ratiolegis-‘illat), baik yang disebutkan secara eksplisit maupun implisit. Gambaran setting masyarakat Arab baik yang berkenaan dengan adat kebiasaan, pranata sosial, maupun kehidupan keagamaan saat Al-Qur’an diturunkan, juga harus diperhatikan secara serius oleh seorang penafsir. Setelah itu, barulah dilakukan generalisasi terhadap pesan yang ingin disampaikan oleh Al-Qur’an.
Kedua, ajaran-ajaran (prinsip) yang bersifat umum tersebut harus ditubuhkan dalam konteks sosio historis yang kongkret di masa sekarang. Untuk
itu perlu dikaji secara cermat situasi sekarang dan dianalisa unsur-unsurnya sehingga situasi tersebut dapat dinilai dan diubah sejauh yang dibutuhkan serta ditetapkan prioritas-prioritas baru demi mengimplementasikan nilai-nilai Al-Qur’an secara baru pula. Gerakan kedua ini juga akan berfungsi sebagai pengoreksi dari hasil-hasil pemahaman dan penafsiran yang dilakukan pada gerakan pertama. Karena jika hasil-hasil pemahaman itu tidak bisa diterapkan dalam masa sekarang, itu artinya telah terjadi kegagalan dalam menilai situasi sekarang dengan tepat atau kegagalan dalam memahami Al-Qur’an.
Muhammad Thaha
Dewasa ini di kalangan kaum muslim terdapat dua spektrum pemikiran yang berbeda dalam memahami hukum Islam atau syari’at dan mengapli-kasikannya dalam kehidupan. Mereka sama-sama mengakui pentingnya prinsip-prinsip syari’at dalam setiap aspek kehidupan, namun keduanya mempunyai penafsiran yang berbeda atas ajaran-ajaran Islam dan kesesuaiannya dengan kehidupan Modern.
Pemikiran Mahmud Muhammad Thaha yang berbeda oleh sebagian orang dianggap telah menyimpang dari ajaran Islam pada dasarnya tidaklah demikian, karena dia mengkaji Islam tidak hanya melihat dari satu sisi saja yaitu penerapan hukum yang dilihat pada sumber-sumber hukum pada periode kedua saja, akan tetapi juga menelusuri hubungannya dengan ayat-ayat lain yang dianggap telah dinasakh.
Pembacaannya terhadap fenomena-fenomena yang terjadi dalam masya-rakat menjadi dasar pemikirannya dalam mengkaji fenomena hukum Islam yang berlaku dalam masyarakat. Ia menganggap hukum Islam yang diterima dan berjalan dalam masyarakat dewasa ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran pra-Islam yang oleh sebagian masyarakat dianggap sebagai bahagian dari hukum Islam.
Mengakui hukum Islam atau syari’at sebagai suatu sistem kehidupan yang menyeluruh dan memahaminya secara benar merupakan suatu hal yang penting. Bahkan dalam konteks bagaimana syari’at harus dipahami inilah terletak persoalan yang sebenarnya. Terdapat sejumlah faktor yang mempengaruhi dan membentuk hasil pemahaman kaum muslimin terhadap hukum Islam atau syariat. Situasi sosiologis, kultural, dan intelektual, atau apa yang oleh Arkoun disebut sebagai estetika penerimaan (Aesthetics Reception). Sangat berpengaruh dalam menentukan bentuk dan isi pemahaman30 untuk itu, walaupun setiap muslim sama-sama mengakui nilai-nilai universal yang terkandung dalam syariat, tetapi background mereka baik secara sosiologis, kultural ataupun intelektual berbeda, maka dapat melahirkan pemahaman yang berbeda pula.
Sahrur
Dari penjelasan-penjelasan di atas dapat dipahami bahwa apa yang ditawarkan Syahrur telah memberi kontribusi besar bagi perkembangan keilmuan, terutama di bidang kajian al-Qur’an. Dengan konsentrasi pada bidang bahasa (linguistik), seorang Syahrur yang notabene nya sebagai insinyur teknik mampu mendalami kajian al-Qur’an sampai pada menelorkan teori baru, yakni kajian tentang hermeneutika al-Qur’an dengan merekonstruksi pemahaman lama yang menghegemoni kehidupan. Syahrur telah keluar dari epistemologi Islam yang mengugat dan mendekonstruksi ushul fiqih dengan epistemologi berlandaskan worldview (pandangan dunia) Barat yang mengedepankan rasionalitas yang tunduk pada realitas dengan pendekatan hermeneutika. Karena menurutnya, dia berulang kali katakan, bahwa penerapan hukum pada alam realitas adalah aplikasi relatif-historis. Prinsip yang ia gunakan hanya akal pikiran dengan realitas objektif.



DAFTAR PUSTAKA

A. Qodri A. Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional: Kompetisi Antara Hukum Islam dan Hukum Umum, Yogjakarta: Gema Media, 2002. 
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, Yogyakarta: LKIS., Cet. II , 2012.
Ahmad Syukri Sholeh, Metodologi Tafsir Al-Qur’an Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman, Gaung Persada Press, Jakarta, 2007.
Ahmad Syukri Sholeh, Metodologi Tafsir Al-Qur’an Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman, Gaung Persada Press, Jakarta, 2007.
Ali Sodiqin, Antropologi Al-Qur’an: Model Dialektika Wahyu dan Realitas, ar-Ruzz Media, Yogyakarta, 2008.
Burhanuddin, Artikulasi Teori Batas (Nazariyyah al Hudud) Muhammad Syahrur dalam Pengembangan Epistimologi Hukum Islam di Indonesia dalam buku Sahiron Syamsuddin, dkk. Hermeneutika Alqur’an; Madzhab Yogya, Penerbit Islamika, Yogyakarta, 2003.
Farouq Abu Zaid, Hukum Islam Antara Tradisonalis dan Modernis, P3M, Jakarta, 1986. 
Leonard Binder, Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologies, The University of Chicago Press, London, 1988. 
M. Aunul Abied Shah, et al., Islam Garda Depan: Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah, Cet.I, Bandung Mizan, 2000..
Mahmud Muhammad Thaha, The Second Message of Islam, University Press, Syracuse 1987.
Mubarok, Ahmad Zaki,  Pendekatan Strukturalismelinguistic Dalam Tafsir Al Qur’an Ala M. Syahrur, Elsaq Press, Yogyakarta, 2007
Muhammad Syahrur, Islam wa Iman: Manzumah al-Qiyam Terj. M.Zaid Su’di, “Islam wa Iman”, Cet. I, Jendela, Yogyakarta, 2002,
Sahiron Syamsuddin, ed., Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis, eLSAQ Press, Yogyakarta, 2010.
Satria Effendi M, “Ijitihad Sepanjang Sejarah Hukum Islam: Memposisikan K.H. Ali Yafie”, dalam Jamal D. Rahmad, (ed), Wacana Baru Fiqih Sosial: 70 Tahun KH. Ali Yafie, Mizan, Bandung, 1997. 
Wartoyo,  Konsep Naskh Dalam Teori Hukum Mahmud Muhammad Thaha, Jurnal Kajian Hukum Islam, Vol. 1, No. 2, Desember 2016.




[1]A. Qodri A. Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional: Kompetisi Antara Hukum Islam dan Hukum Umum, Yogjakarta: Gema Media, 2002, Hal. 32-33. 
[2]Farouq Abu Zaid, Hukum Islam Antara Tradisonalis dan Modernis, P3M, Jakarta, 1986,  Hal. 1-10 
[3]Leonard Binder, Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologies, The University of Chicago Press, London, 1988, hal.24-25. Tradisi berpikir semacam ini dapat kita temukan dalam rekam sejarah, antara lain Umar bin Khatab, dan imam Abu Hanifah. 
[4] Satria Effendi M, “Ijitihad Sepanjang Sejarah Hukum Islam: Memposisikan K.H. Ali Yafie”, dalam Jamal D. Rahmad, (ed), Wacana Baru Fiqih Sosial: 70 Tahun KH. Ali Yafie, Mizan, Bandung, 1997, hal. 154. 
[5]Peletak teori ini adalah Imam al-Syafi’i dengan kitabnya al-risalah dengan metode qiyas,  bagunan teori penafsiran hukum dengan metode qiyas dilanjutkan oleh ulama-ulama selanjutnya dalam Madzhab Imam al-Syafi’i dan para fuqaha tersebut menggunakan teori nasikh dan mansukh, dan membedakan teks al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW yang qath’i dengan yang zahnni, juga antara yang ‘amm dengan yang khashsh.
[6] Ahmad Syukri Sholeh, Metodologi Tafsir Al-Qur’an Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman, Gaung Persada Press, Jakarta, 2007, hal., 19.
[7] Ibid.,
[8] Ibid.,
[9] Sahiron Syamsuddin, ed., Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis, eLSAQ Press, Yogyakarta, 2010,  hal. 69-70.
[10] Ibid.,
[11]Ali Sodiqin, Antropologi Al-Qur’an: Model Dialektika Wahyu dan Realitas, ar-Ruzz Media, Yogyakarta, 2008, hal. 116-117.
[12] Ibid.,
[13]Ahmad Syukri Sholeh, Metodologi Tafsir Al-Qur’an Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman, Gaung Persada Press, Jakarta, 2007, hal. 132
[14] Ibid.,
[15].Ibid., hal.133
[16] Mahmud Muhammad Thaha, The Second Message of Islam, University Press, Syracuse 1987, hal. 2. 
[17] Ibid., hal.4
[18] Ibid.,
[19] Ibid.,
[20]Wartoyo,  Konsep Naskh Dalam Teori Hukum Mahmud Muhammad Thaha, Jurnal Kajian Hukum Islam, Vol. 1, No. 2, Desember 2016, hal. 144-165
[21] Ibid.,
[22] Ibid.,
[24] Muhammad Syahrur, Islam wa Iman: Manzumah al-Qiyam Terj. M.Zaid Su’di, “Islam wa Iman”, Cet. I, Jendela, Yogyakarta, 2002, h. Pengantar. dan  Mubarok, Ahmad Zaki,  Pendekatan Strukturalismelinguistic Dalam Tafsir Al Qur’an Ala M. Syahrur, Elsaq Press, Yogyakarta, 2007, hal 137-139
[25] M. Aunul Abied Shah, et al., Islam Garda Depan: Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah, Cet.I, Bandung Mizan, 2000, hal. 237.
Bandung Mizan, 2000, h. 237.
[26] Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, Yogyakarta: LKIS., Cet. II , 2012, hal.93.
[27]Burhanuddin, Artikulasi Teori Batas (Nazariyyah al Hudud) Muhammad Syahrur dalam Pengembangan Epistimologi Hukum Islam di Indonesia dalam buku Sahiron Syamsuddin, dkk. Hermeneutika Alqur’an; Madzhab Yogya, Penerbit Islamika, Yogyakarta, 2003, hal. 152.
[28] Ibid., hal. 153-163
[29] Ibid.,
[30] Ibid.,
[31] Ibid.,
[32] Ibid.
[33] Ibid.,
[34] Ibid.,
[35] Ibid.,

Comments

Popular posts from this blog

HADITS-HADITS AHKAM TENTANG JUAL BELI (SALE AND PURCHASE)

SHUNDUQ HIFZI IDA’ (SAFE DEPOSIT BOX) BANK SYARI’AH

STUDI TENTANG PEMIKIRAN IMAM AL-SYAUKANI DALAM KITAB IRSYAD AL-FUHUL