HUKUM KELUARGA DI INDONESIA
SEJARAH DAN REGULASI HUKUM KELUARGA DI INDONESIA
(PERIODE
KERAJAAN HINDU BUDHA SAMPAI DENGAN ERA REFORMASI )
Nur Moklis
I.
PENDAHULUAN
Keluarga diartikan ibu dan bapak
beserta anak-anaknya, orang seisi rumah yang menjadi tanggungan, satuan
kekerabatan yang sangat mendasar dalam masyarakat.[1]
Keluarga merupakan lembaga sosial bersifat universal, terdapat di semua
lapisan dan kelompok masyarakat di dunia. Keluarga adalah miniatur masyarakat,
bangsa dan negara. Keluarga terbentuk melalui perkawinan, ikatan antara kedua
orang berlainan jenis dengan tujuan membentuk keluarga. Ikatan suami istri yang
didasari niat ibadah diharapkan tumbuh berkembang menjadi keluarga (rumah
tangga) bahagia kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan dapat menjadi
masyarakat yang beriman, bertakwa, berilmu pengetahuan, teknologi dan
berwawasan nusantara.[2]
Abdul wahab kholaf mendefinikan hukum keluarga dengan sebutan
al-ahwal al-Syakhsiyah yaitu hukum yang berhubungan dengan unit keluarga,
mulai dari permulaan berdirinya. Maksudnya adalah mengatur hubungan suami
isteri dan sanak kerabat antara satu dengan lainnya.[3]
Menurut Soerjono Soekanto ruang lingkup hukum keluarga meliputi perkawinan,
keturunan, kekuasaan orangtua, perwalian, pendewasaan, curatele dan orang
hilang.[4]
Pada makalah ini akan di uraikan tentang sejarah dan regulasi hukum keluarga sejak masa pra
kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia samapai dengan sekarang.
II.
HUKUM KELUARGA ERA KERAJAAN HINDU BUDHA DI INDONESIA
Tidak banyak laporan sejarah yang mengungkap tentang sejarah hukum
keluarga pada masa kerajaan Hindu Budha. Berikut antara lain kerajaan yang
pernah memerintah di wilayah Indonesia pada saat itu Salakanagara (130-362),
Kutai (abad ke-4), Tarumanagara (358-669),
Kendan (536–612), Galuh (612-1528),
Kalingga (abad
ke-6 sampai ke-7), Sriwijaya (abad
ke-7 sampai ke-13), Sailendra (abad ke-8
sampai ke-9), Kanjuruhan (abad ke-8), Kerajaan Medang (752–1006),
Kerajaan Kahuripan (1006–1045), Kerajaan Sunda (932–1579),
Kediri (1045–1221), Dharmasraya (abad
ke-12 sampai ke-14), Singosari (1222–1292), Majapahit (1293–1500),
Malayapura (abad
ke-14 sampai ke-15).[5]
Diantara kerajaan-kerajaan diatas, sebagian telah mempunyai
pengaruh yang luas di pulau Jawa, Sumatera dan Bali, sedangkan di daerah lain
mendapat pengaruh dari zaman “Malaio polynesia”, yaitu suatu zaman dimana nenek
moyang kita masih memegang adat istiadat asli yang dipengaruhi oleh alam yang
serba kesaktian.[6]
Pada zaman Hindu ini tumbuh beberapa kerajaan yang dipengaruhi oleh hukum agama
Hindu serta hukum agama Budha yang dibawa oleh para pedagang (khususnya dari
Cina).[7] Kerajaan
Sriwijaya (pusat pemerintahan di Palembang), kerajaan Singosari dengan pusat
pemerintahannya di Kutaraja (Tumapel) dan Kerajaan Majapahit adalah 3 kerajaan
yang sangat berpengaruh di masanya. Pada zaman Majapahit hukum adat mendapat perhatian
berkat usaha Mahapatih Gajah Mada, diantara usaha yang dilakukan patih Gajah
Mada yaitu: membagi bidang-bidang tugas pemerintahan dan keamanan negara. Misal:
soal perkawinan, peralihan kekuasaan, ketentaraan Negara. Keputusan pengadilan
pada masa itu disebut: Jayasong (Jayapatra), Gajahmada mengeluarkan suatu kitab
UU, yaitu : “Kitab Hukum Gajah Mada”.[8]
III.
HUKUM KELUARGA ERA KERAJAAN ISLAM DI INDONESIA
Setelah kerajaan-kerajan bercorak hindu dan budha runtuh, kemudian
di Nusantara berdiri kerajaan-kerajaan bercorak Islam. Agama Islam masuk ke
bumi Nusantara ini secara damai pada abad ke-7 masehi atau bertepatan dengan
abad ke- 1 hijriah, ada juga yang berpendapat pada tahun ke-30 hijriah atau
bertepatan dengan tahun 650 masehi. Ketika wilayah Nusantara dikusai oleh para
sultan, hukum Islam diberlakukan di dalam wilayah kekuasaanya dan sultan
sendiri sebagai penanggung jawabnya. Sultan berperan aktif sebagai piñata agama
Islam dengan cara mengangkat penghulu sebagai kadi syariah dan pemberi fatwa-fatwa
agama. Manifestasi dari ketentuan ini dapat dilihat dari bentuk pemerintahan
pada waktu itu, yaitu adanya alun-alun yang dikelilingi oleh pendopo kabupaten,
Masjid Agung dan Lembaga Pemasyarakatan.[9] Hukum
Islam sebagai hukum yang bersifat mandiri telah menjadi satu kenyataan yang
hidup dalam masyarakat Indonesia. Bahwa kerajaan-kerajaan Islam yang berdiri di
Indonesia telah melaksanakan Hukum Islam dalam kekuasaannya masing-masing.
Pada
abad ke 13 M, Kerajaan Samudra Pasai di Aceh Utara menganut hukum Islam Mazhab
Syafi’i.[10]
Kemudian pada abad ke 15 dan 16 M di pantai utara Jawa, terdapat Kerajaan
Islam, seperti Kerajaan Demak, Jepara, Tuban, Gresik dan Ngampel.[11]
Fungsi memelihara agama ditugaskan kepada penghulu dengan para pegawainya yang
bertugas melayani kebutuhan masyarakat dalam bidang peribadatan dan segala
urusan yang termasuk dalam hukum keluarga/perkawinan.[12]
Sementara itu, di bagian Timur Indonesia berdiri pula kerajaan-kerajaan Islam
seperti Gowa, Ternate, Bima dan lain-lain. Masyarakat Islam di wilayah tersebut
diperkirakan juga menganut hukum Islam Mazhab Syafi’i.[13]
IV.
HUKUM KELUARGA ERA KOLONIAL
Ketika Belanda masuk ke
Indonesia pada tahun 1596 melalui Verenigde
Oost Indische Compagnie (VOC), kebijakan yang telah dilaksanakan
oleh para sultan tetap dipertahankan pada daerah-derah kekuasaanya sehingga
kedudukan hukum (keluarga) Islam telah ada di masyarakat sehingga pada saat itu
diakui sepenuhnya oleh penguasa VOC. Bahkan dalam banyak hal VOC memberikan
kemudahan dan fasilitas agar hukum Islam dapat terus berkembang sebagaimana
mestinya. Bentuk-bentuk kemudahan yang diberikan oleh VOC adalah menerbitkan
buku-buku hukum Islam untuk menjadi pegangan para Hakim Peradilan Agama dalam
memutus perkara. Adapun kitab-kitab yang diterbitkan adalah “al-Muharrar”
di Semarang, “Shirathal Mustaqim” yang ditulis oleh Nuruddin ar-
Raniry di Kota Raja Aceh dan kitab ini diberi syarah oleh Syekh Arsyad
al-Banjary dengan judul “Sabilul al-Muhtadin” yang diperuntukkan untuk para
Hakim di Kerapatan Kadi di Banjar Masin,
kemudian kitab “Sajirat al- Hukmu”
yang digunakan oleh Mahkamah Syar’iyah di Kesultanan Demak, Jepara, Gresik dan
Mataram.[14]
Terakhir
VOC menghimpun hukum Islam yang disebut dengan Compendium Freijer, mengikuti nama
penghimpunnya.[15]
Kemudian membuat kumpulan hukum perkawinan dan kewarisan Islam untuk daerah
Cirebon, Semarang, dan Makasar (Bone dan Gowa).[16] Pada
awalnya Belanda melalui VOC masuk ke Indonesia
dengan membawa serta hukum negaranya utuk menyelesaikan masalah diantara mereka
sendiri. Untuk lebih memantapkan posisinya, mereka berupaya pula untuk
menundukkan masyarakat jajahannya pada hukum dan badan peradilan yang mereka
bentuk. Namun pada kenyataannya badan peradilan bentukan Belanda ini tidak
dapat berjalan, maka akhirnya Belanda membiarkan lembaga-lembaga asli yang ada
dalam masyarakat terus ber jalan, sehingga selama hampir 2 abad masa VOC hukum
perkawinan dan hukum kewarisan Islam dalam masyarakat muslim berjalan
sebagaimana mestinya. [17]
Masa VOC
berakhir dengan masuknya Inggris pada tahun1800- 1811. Setelah Inggris
menyerahkan kembali kekuasaannya kepada pemerintahan Belanda, pemerintah
kolonial Belanda kembali berupaya mengubah dan mengganti hukum di Indonesia
dengan hukum Belanda. Namun melihat kenyataan yang berkembang pada masyarakat
Indonesia, muncul pendapat dikalangan orang Belanda yang dipelopori oleh L.W.C.
Van Den Berg bahwa hukum yang berlaku bagi orang Indonesia asli adalah
undang-undang agama mereka, yaitu Islam. Teori ini kemudian terkenal dengan
nama teori “Recepcio in Complexu”
yang sejak tahun 1855 didukung oleh peraturan perundang-undangan Hindia Belanda
melalui pasal 75, 78 dan 109 RR 1854 (Stbl. 1855 No.2).[18]
Dalam
perjalanannya ternyata Cristian Snouck Hurgronje tidak sependapat dengan teori
ini, menurutnya hukum yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Indonesia
bukan hukum Islam, melainkan hukum adat. Teori Hurgronje ini terkenal dengan
nama teori “Receptie”.[19] Dampak dari teori ini, Pemerintah Kolonial
Belanda tidak lagi mengakui hukum Islam yang berlaku untuk masyarakat
Indonesia, melainkan hukum adatlah yang diakui. Dalam Indesche Staatsregeling
pasal 131 ayat 6 ditulis : “sebelum hukum untuk bangsa Indonesia ditulis di
dalam undang-undang, bagi mereka itu akan tetap berlaku yang sekarang berlaku
bagi mereka, yaitu hukum adat”[20]
Pada
saat itu walaupun wewenang Penghoeluegerecht
(Pengadilan Agama) dalam bidang munakahat
(perkawinan) tidak turut dihapus, namun dengan lahirnya peraturan ini jelas
sangat merugikan umat Islam Indonesia. Seandainya ajaran Islam telah menjadi
adat kebiasaan di suatu daerah, maka tentu tidak terlalu banyak menjadi
persoalan. Seorang Muslim juga masih bisa melangsungkan pernikahan melalui Penghoeluegerecht. Namun bagimana dengan
seorang muslim atau muslimah yang tinggal di lingkungan yang tidak agamis atau
tinggal di daerah yang mayoritas penduduknya non muslim, maka apakah juga harus
melangsungkan pernikahan menurut adat daerah tersebut yang mungkin bertentangan
dengan hukum Islam?
Dalam Indesche Staatsregeling (IS) pasal 131
ayat 2 ditulis; ”Untuk golongan bangsa Indonesia asli dan Timur Asing, jika
ternyata kebutuhan kemasyarakatan mereka menghendakinya, dapatlah
peraturan-peraturan untuk bangsa Eropa (Burgerlijk
Wetboek/ BW/ Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) dinyatakan berlaku bagi
mereka, baik seutuhnya maupun dengan perubahan-perubahan...”. Kemudian dalam
ayat 4 disebutkan; ”Orang Indonesia asli dan orang Timur Asing, sepanjang
mereka belum ditundukkan dibawah suatu peraturan bersama dengan bangsa Eropah,
diperbolehkan menundukkan diri pada hukum yang berlaku untuk bangsa Eropa...”[21]
Menurut
peraturan ini siapapun bisa menundukkan diri terhadap undang-undang Eropa, baik
karena kehendak mereka sendiri maupun secara bersama. Ini artinya seorang
muslim atau muslimah boleh menikah dengan menggunakan BW sebagai landasan
hukumnya, sementara BW/ KUH-Perdata sendiri tidak mengatur
tentang
hukum nikah beda agama. Maka dapat disimpulkan bahwa undang-undang yang ada
ketika itu tidak protektif terhadap umat Islam, karena membuka peluang bagi
terjadinya nikah beda agama dan pemurtadan melalui pernikahan, baik untuk
muslim maupun muslimah.Jika di amati secara
seksama sebenarnya dari dua pasal di atas nampak jelas bagaimana upaya kolonoal
Belanda berupaya menundukkan masyarakat dengan hukum mereka, tidak bisa secara
paksa karena dikhawatirkan pemberontakan yang besar maka diupayakan jalan
halus.
Walaupun
wewenang Penghoeluegerecht
(Pengadilan Agama) dalam bidang munakahat
(perkawinan) tidak turut dihapus, namun tidak ada peraturan yang bersifat
megikat dan memaksa bahwa umat Islam harus mengurus masalah pernikahannya
melalui penghoeluegerecht. Yang ada
malah kelonggaran untuk menundukan diri pada hukum Belanda/BW/ KUH Perdata
sendiri adalah kitab undang-undang yang secara asal dibuat untuk golongan warga
negara bukan asli (Indonesia), yaitu untuk golongan warga yang berasal dari
Tionghoa dan Eropa yang mana perundang-undangannya disesuaikan dengan
undang-undang yang berlaku di Negeri Belanda. Dalam Indesche Staatsregeling
pasal 131 diantaranya berbunyi; ”Untuk golongan bangsa Eropah dianut (dicontoh)
perundang-undangan yang berlaku di Negeri Belanda (asas konkordansi)”. Sementara Belanda sendiri mayoritas penduduknya
beragama Kristen, sehingga baik secara langsung maupun tidak langsung,
kebijakan hukumnya pasti terpengaruh/ mendukung dengan ajaran Kristen. Sebagai
contoh kita bisa lihat dalam Bab IV (Tentang Perkawinan) dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata, Bagian Kedua (tentang acara yang harus mendahului
perkawinan), pasal 53 berbunyi; ”...Pengumuman tidak boleh dilangsungkan pada
hari Minggu; dengan hari Minggu dalam hal ini dipersamakan: hari Tahun Baru,
hari Paskah dan Pantekosta kedua, kedua-duanya hari Natal dan hari Mikhrad
Nabi”. Contoh lain adalah pada pasal 27 dalam bab yang sama pada bagian pertama
(tentang syarat-syarat perkawinan) yang intinya sama sekali melarang poligami.
Pada Kongres
Perempuan Indonesia I pada tanggal 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta
mengusulkan kepada Pemerintah Belanda agar segera disusun undang-undang
perkawinan, namun mengalami hambatan dan mengganggu kekompakan dalam mengusir
penjajah.[22]
Pada permulaan tahun 1937 Pemerintahan Hindia Belanda menyusun rencana
pendahuluan Ordonansi Perkawinan tercatat (onwerpordonnantie op de ingeschrevern
huwelijken) dengan pokok-pokok isinya sebagai berikut: Perkawinan
berdasarkan asas monogami dan perkawinan bubar karena salah satu pihak
meninggal atau menghilang selama dua tahun serta perceraian yang diputuskan
oleh hakim.[23]
Menurut rencana rancangan ordonansi tersebut hanya diperuntukkan bagi golongan
orang Indonesia yang beragama Islam dan yang beragama Hindu, Budha, Animis.
Namun rancangan ordonansi tersebut di tolak oleh organisasi Islam karena isi
ordonansi mengandung hal-hal yang bertentangan dengan hukum Islam. Suara
perkumpulan-perkumpulan kaum Ibu yang setuju ternyata tidak cukup kuat hingga
rencana ordonansi tersebut tidak jadi dibicarakan dalam Volksraad (Dewan Rakyat).[24]
Sampai
berakhirnya masa penjajahan, Pemerintah Hindia Belanda tidak berhasil membuat
undag-undang yang berisi hukum material tentang perkawinan yang berlaku bagi
seluruh bangsa Indonesia. Perturan hukum materiil tentang perkawinan yang
dibuat dan ditinggalkan oleh Pemerintah Kolonial, hanyalah berupa perturan
hukum perkawinan yang berlaku untuk golongan-golongan tertentu yaitu : Ordonansi
Perkawinan Kristen (HOCI) yang berlaku bagi orang-orang Indonesia asli yang
beragama Kristen, Kitab undang-undang Hukum Perdata (BW) yang berlaku bagi
warga keturunan Eropa dan Cina, kemudian peraturan perkawinan Campuran
(Staatsblad 1898 No. 158) atau GHR.[25]
Sedangkan peraturan hukum perkawinan bagi ummat Islam yang sempat ditinggalkan
oleh Pemerintah Kolonial hanyalah berupa peraturan hukum formal yang mengatur
tata cara perkawinan sebagai mana terdapat dalam kitab-kitab fikih yang karang
oleh ulama-ulama di kalangan ummat Islam.
V.
HUKUM KELUARGA PADA ORDE LAMA
Pemerintahan
dimasa pasca kemerdekaan adalah pemerintahan dalam kepemimpinan orde lama
(1945-1965), di era orde lama ini keinginan memiliki undang-undang perkawinan
yang berlaku bagi seluruh bangsa Indonesia, ternyata belum juga terwujud.
Beberapa peraturan hukum perkawinan peninggalan pemerintah Kolonial Belanda
masih tetap diberlakukan bagi bangsa Indonesia menurut golongannya
masing-masing. Hukum perkawinan yang berlaku adalah sebagai berikut :
a.
Bagi
orang-orang Indonesia asli berlaku hukum Adat.
b.
Bagi orang-orang
Indonesia asli beragama Islam berlaku hukum perkawinan Islam.
c.
Bagi
orang-orang Indonesia asli beragama Kristen berlaku Ordonansi Perkawinan
Kristen (HOCI).
d.
Bagi
warga Negara keturunan Eropa dan Cina berlaku
Kitab undang-undang Hukum Perdata (BW).
e.
Bagi
perkawinan campuran berlaku peraturan perkawinan Campuran (Staatsblad 1898 No.
158) atau GHR.
Karena
golongan Kristen dan warga Negara keturunan (Eropa dan Cina) telah memiliki
kodifikasi hukum perkawinan, maka dalam peraktik, jarang dijumpai permasalahan-permaslahan
yang sulit dalam perkawinan mereka. Ini berbeda dengan golongan Islam yang
belum memiliki kodofikasi hukum perkawinan. Hukum perkawinan yang dipedomani
oleh ummat Islam masih tersebar dalam beberapa kitab fikih munakahat karya mujtahid
dari Timur Tengah seperti imam Syafi’i misalnya.[26]
Pemahaman ummat Islam Indonesia terhadap kitab-kitab fikih munakahat tersebut sering tidak seragam, sehingga muncul
kasus-kasus perkawinan seperti misalnya, perkawinan anak-anak, kawin paksa,
serta penyalah gunaan hak talak dan poligami.
Keadaan
demikian rupanya mendapat perhatian dari pemerintah Republik Indonesia,
sehingga pada tahun 1946 atau tepatnya satu tahun setelah kemerdekaan
Indonesia, Pemerintah Republik Indonesia menetapkan Undang-undang No. 22 Tahun
1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk yang berlaku untuk daerah Jawa
dan Madura, kemudian oleh Pemerintah Darurat RI di Sumatera dinyatakan berlaku
juga untuk Sumatera.[27]
Dalam pelaksanaan Undang-Undang tersebut diterbitkan Instruksi Menteri Agama
No: 4 tahun 1947 yang ditujukan untuk Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Instruksi
tersebut selain berisi tentang pelaksanaan UU No. 22 Tahun 1946 juga berisi
tentang keharusan PPN berusaha mencegah perkawinan anak yang belum cukup umur,
menerangkan kewajiban-kewajiban suami yang berpoligami, mengusahakan perdamaian
bagi pasangan yang bermasalah, menjelaskan bekas suami terhadap bekas istri dan
anak-anaknya apabila terpaksa bercerai, selama masa idah agar PPN mengusahakan
pasangan yang bercerai untuk rujuk kembali.[28] Kemudian
pada tahun 1954 melalui undaang-undang No. 32 tahun 1954, UU No. 22 tahun 1946
tersebut dinyatakan berlaku untuk seluruh Indonesia.[29]
Pada
bulan Agustus 1950, Front Wanita dalam Parlemen, mendesak agar Pemerintah
meninjau kembali peraturan perkawinan dan menyusun rencana undang-undang
perkawinan. Oleh karena desakan tersebut akhirnya pemerintah RI, pada akhir
tahun 1950 dengan Surat Perintah Menteri Agama No. B/2/4299 tertanggal 1
Oktober 1950 dibentuklah Panitia Penyelidik Peraturan dan Hukum Perkawinan,
Talak dan Rujuk bagi umat Islam.[30] Panitia
ini menyusun suatu Rancangan Undang-Undang Perkawinan yang dapat menampung
semua kenyataan hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat pada waktu
itu. Karena keanggotaannya terdiri dari atas orang-orang yang dianggap ahli
mengenai hukum umum, hukum Islam dan Kristen dari berbagai aliran yang diketuai
oleh Tengku Hasan.[31]
Tahun
1952 akhir, panitia telah membuat suatu Rancangan Undang- Undang Perkawinan
yang terdiri atas peraturan umum, yang berlaku untuk semua golongan dan agama
dan peraturan-perraturan khusus yang mengatur hal-hal yang mengenai golongan
agama masing-masing. Selanjutnya pada tanggal 1 Desember 1952 panitia
menyampaikan Rancangan Undang-Undang Perkawinan Umum kepada semua organisasi
pusat dan lokal dengan permintaan supaya masing-masing memberikan pendapat atau
pandangannya tentang soal-soal tersebut paling akhir pada tanggal 1 Februari
1953.[32]
Rancangan yang dimajukan itu selain berusaha kearah kodifikasi dan unifikasi,
juga telah mencoba memperbaiki keadaan masyarakat dengan menetapkan antara lain
:
a.
Perkawinan
harus didasarkan kemauan bulat dari kedua belah pihak, untuk mencegah kawin
paksaan ditetapkan batas-batas umur 18 bagi laki-laki dan 15 bagi perempuan
b.
Suami
isteri mempunyai hak dan kedudukan yang seimbang dalam kehidupan rumah tangga
dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
c.
Poligami
diizinkan bila diperbolehkan oleh hukum agama yang berlaku bagi orang yang
bersangkutan dan diatur sedemikian hingga dapat memenuhi syarat keadilan;
d.
Harta
bawaan dan harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi milik bersama;
e.
Perceraian
diatur dengan keputusan Pengadilan Negeri, berdasarkan alasan-alasan yang
tertentu, mengenai talak dan rujuk diatur dalam peraturan Hukum Islam;
f.
Kedudukan
anak sah atau tidak, pengakuan anak, mengangkat dan mengesahkan anak, hak dan
kewajiban orang tua terhadap anak, pencabutan kekuasaan orang tua dan perwalian.[33]
Tanggal 24 April 1953 diadakan
hearing oleh Panitia
Nikah, Talak dan
Rujuk dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan, yang dalam
rapatnya bulan Mei 1953 Panitia memutuskan untuk
menyusun
Undang-Undang
Perkawinan menurut sistem yang berlaku :
1.
Undang-Undang
Pokok yg berisi semua peraturan yang berlaku bagi umum bersama-sama (uniform), dengan tidak menyinggung agama.
2.
Undang-Undang
Organik,
yang
mengatur
soal
perkawinan
menurut
agama masing-masing, yaitu bagi golongan Islam, Kristen
Katolik, dan golongan Kristen
Protestan;
3.
Undang-Undang
untuk
golongan
netral,
yaitu
yang
tidak
termasuk
suatu golongan agama agama.[34]
Tahun 1954 akhirnya panitia
telah berhasil membuat
Rancangan Undang- Undang tentang Perkawinan
Umat
Islam
yang
kemudian
disampaikan
oleh
Menteri Agama
kepada Kabinet akhir bulan September
1957 dengan penjelasan masih akan ada amandemen-amandemen yang
menyusul. Tetapi
sampai
permulaan tahun
1958 belum ada tindakan-tindakan apapun
dari
pemerintah mengenai soal undang-undang perkawinan itu.[35]
Pemerintah juga selama
bertahun-tahun tidak memberikan tanggapan sampai pada tahun 1958 beberapa
anggota wanita parlemen
di bawah pimpinan Soemari, mengajukan rancangan
inisiatif terpenting diantaranya, setidak-tidaknya bagi dunia Islam Indonesia
sebuah masalah yang menggemparkan bahwa didalam
usul inisiatif itu telah ditetapkan suatu
keharusan untuk menjalankan monogami. Pemerintah pada waktu
itu sudah memberikan reaksi dengan
mengemukakan suatu
rancangan yang hanya mengatur perkawinan Islam. Justru dari pihak Islam tradisional terdapat keraguan apakah bagi
orang-orang Islam diperlukan hukum perkawinan. Bukankah
peraturan-peraturan yang sekali telah diberikan
Tuhan, sebagaimana yang telah diwahyukan secara cermat dalam syariat diperuntukkan untuk segala
zaman
dan
negara.
Bahan-bahan
baru
untuk
didiskusikan
yakni rencana-rencana tersebut tidak pernah dibahas selanjutnya.[36]
Satu setengah tahun setelah pengajuan pengusulan, dalam bulan Oktober
1959, Rancangan Undang-Undang Soemari tersebut
ditarik
kembali
oleh
para pengajunya, kendati memperoleh perhatian yang
besar
dari
sejumlah
anggota
DPR, Rancangan tersebut
sepertinya
tidak
bepeluang
untuk
dibicarakan.
Para
anggota Partai Islam mengadakan
perlawanan, terutama terhadap asas monogami
yang dikandung dalam Rancangan
tersebut. Sudah barang tentu sebagai organisasi kaum perempuan memprotes
argumentasi yang dipergunakan
untuk membenarkan poligami.[37]
Hal tersebutlah sebagai faktor internal yang menyebabkan gagalnya RUU tersebut
untuk diundangkan. Selain faktor tersebut, ada pula faktor ekternal yang kemudian muncul, yaitu terjadinya
perubahan system ketatanegaraan RI akibat Dekrit Presiden 5 Juli 1959.[38]
Sampai pemerintahan orde lama berakhir,
undang-undang perkawinan yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia belum juga
terbentuk, kendatipun tuntutan untuk segera dibentuk undang-undang perkawainan
terus bermunculan, baik yang dating dari pihak pemerintah sendiri maupun yang
datang dari organisasi kemasyarakatan seperti misalnya dari Kongres Wanita
Indonesia, Musyawarah Nasional Untuk Pekerja Sosial (1960), Musyawarah
Kesejahteraan Keluarga (1960), dan Konferensi BP4 Pusat (1962).[39]
VI.
HUKUM KELUARGA PADA ORDE BARU
Pada
periode orde baru, dalam masa sidang 1967-1971 Parlemen (DPR-GR) membahas
kembali RUU perkawinan, yaitu:[40]
pertama; RUU Perkawinan Umat Islam berasal dari Departemen Agama, yang diajukan
kepada DPR-GR bulan Mei 1967. kedua: RUU ketentuan-ketentuan Pokok Perkawinan
dari Departemen Kehakiman, yang diajukan kepada DPR-GR bulan September 1968.
Pembahasan kedua RUU inipun pada akhirnya
mengalami kemacetan, karena Fraksi Katolik menolak membicarakan suatu RUU yang
menyangkut hukum agama.[41]
Menurut fraksi Katolik dalam “pokok-pokok pikirannya mengenai RUU Perkawinan”
itu yang dimuat dalam harian Operasi edisi (14 s/d 18 April
1969).[42]
“…..tjara pengaturan
perkawinan sebagaimana ditentukan oleh kedua Rantjangan undang-undang adalah
tidak sesuai dengan hakekat Negara Pantjasila, hal jang demikian berarti bahwa
ada perubahan dasar Negara. Negara tidak lagi berdasar pantjasila tetapi
berdasarkan agama ; hal mana tjotjok dengan perinsip jang terkandung dalam
Piagam Djakarta”.
Pendirian Fraksi katolik tersebut mendapatkan tanggapan dari umat
Islam, antaranya dari Hasbullah Bakry (waktu itu bertugas sebagai Kepala PUSROH
Islam POLRI) di harian Pedoman (1-8-1969) sebagai berikut:
“Dan
apabila Undang-undang ini tidak djadi, maka partai Katolik tidaklah mentjapai
tudjuan politiknya djuga. Undang-undang jang mengatur perkawinan dengan
predikat agama jang dianut warganja itu memang sudah ada sejak sebelum
pantjasila diresmikan dan telah diperkuat oleh Negara Pantjasila. Dan ini tidak
perlu diartikan Republik Indonesia lalu telah berobah menjadi Negara Agama.
Sebaliknja dengan penolakan partai Katholik itu, warga Indonesia jang berakal
sehat, dapat menganggap sikap itu akan mengchianati kepentingan social bangsa
Indonesia, menentang perbaikan nasib kaum Ibu jang kebetulan beragama Islam”. [43]
Pada bulan Juli 1973, pemerintah melalui Departemen Kehakiman yang
telah merumuskan RUU Perkawinan, mengajukan kembali RUU tersebut kepada DPR
hasil pemilu tahun 1971, yang terdiri dari 15
bab dan 73 pasal. Kemudian Prisiden Soeharto dengan Amanatnya menarik
kembali kedua RUU perkawinan yang
disampaikan kepada DPR-GR dalam tahun 1967 tersebut di atas.[44]
RUU perkawinan 1973 itu ternyata
mendapat perlawanan dari kalangan Islam. Segenap organisasi dan tokoh Islam
yang lama berkecimpung dalam soal-soal yang menyangkut bidang agama,
berpendapat bahwa RUU Perkawinan itu bertentangan dengan agama dan karenanya
bertentangan pula dengan Pansasila dan UUD 1945. Meskipun pada waktu itu
pemerintah dan DPR belum melakukan pembahasan internal, baik membentuk pansus
maupun panja. Menurut Amak FZ, kalau dinilai dari segi komposisi kekuatan
fraksi-fraksi di DPR, dimana fraksi PPP yang merupakan satu-satunya fraksi yang
menentang RUU karena bertentangan dengan ajaran Islam. [45]
Gelombang penolakan dan reaksi
terhadap RUU Perkawinan berdatangan dari pelbagai komunitas, baik masyarakat,
ulama dan pemerintah sendiri. Reaksi yang menjadi sorotan datang dari ketua
fraksi PPP KH. Yusuf Hasyim[46] yang telah mencatat pelbagai kekeliruan dalam
RUU Perkawinan dan bertentangan dengan Hukum Perkawinan, yaitu dalam negara
yang berdasarkan pancasila yang berketuhanan yang maha esa, maka perkawinan
mempunyai hubungan yang sangat erat dengan unsur-unsur keagamaan dan
kerohanian.[47]
Apa yang disampaikan KH. Yusuf
Hasyim tersebut bukan tanpa alasan, justru penolakan tersebut bersumber dari
amanat Presiden RI Nomor R.02/P.U/VII/1973 perihal penarikan draf RUU
Perkawinan dari DPR yang tujuannya lebih memperhatikan kemaslahatan umat.
Sejalan dengan pendapat KH. Yusuf Hasyim, Buya HAMKA juga menolak tegas draf
RUU Perkawinan tersebut yang dinilai bertentangan dengan ajaran Islam. HAMKA
menilai, pokok ajaran tasyriul Islamy bahwa yang dipelihara dalam
syariat itu lima perkara, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan
harta.
Dalam konteks pemeliharaan
keturunan, memelihara agar jenis manusia tetap berkembang dan berketurunan,
jangan sampai musnah karena kesia-siaan manusia. Oleh sebab itu, nikah adalah
sunah rasul dan zina adalah perbuatan yang sangat keji. Meskipun dalam syariat
Islam diharamkan kawin dengan saudara sesusuan, tetapi kalau di dalam draf RUU
Perkawinan disahkan, maka perkawinan semacam itu disahkan negara. Anak yang
dikandung di luar nikah gara-gara pertunangan dan pacaran sebelum nikah, dengan
draf RUU tersebut boleh menjadi anak yang sah, walaupun Islam memandang anak
itu adalah anak zina.[48]
Suara dari perguruan tinggi Islam
juga dominan dalam menyikapi draf RUU Perkawinan, IAIN Sunan Kalijaga
menyampaikan pendapat akademisnya terkait proses penggodokan RUU Perkawinan
inisiatif pemerintah. Dalam penelitian Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, terdapat 14 pasal RUU Perkawinan yang dinilai bertentangan dengan
Hukum Islam, antara lain tentang definisi perkawinan, peluang poligami dan poliandri,
tidak ada penegasan pembatasan poligami, pembatasan izin pengadilan kepada
suami yang akan beristri lebih dari seorang, jangka waktu istri pergi tanpa
kabar, soal wali, larangan perkawinan karena hubungan pengangkatan anak, soal
perbedaan agama dalam perkawinan, waktu tunggu (iddah), soal larangan kawin lagi bagi suami istri yang sudah
bercerai untuk kedua kalinya, soal pertunangan dan soal putusnya perkawinan. [49]
Dari 73 Pasal RUU Perkawinan,
terdapat sejumlah Pasal yang dinilai bertentangan dengan ajaran Islam menurut
sebagian Ulama pada masa itu, sebenarnya secara hukum negara tidak bertentangan
mutlak karena masih melihat kemaslahatan umat, antara lain penulis nukilkan
pasal 2 ayat (1) RUU Perkawinan yang sekarang menjadi polemik di tengah-tengah
masyarakat Indonesia, pasal 2 ayat (1) RUU Perkawinan berbunyi: "Perkawinan
adalah syah apabila dilakukan di hadapan pegawai pencatat perkawinan,
dicatatkan dalam daftar pencatat perkawinan oleh pegawai tersebut, dan
dilangsungkan menurut ketentuan Undang-Undang ini dan/atau ketentuan hukum
perkawinan pihak-pihak yang melakukan perkawinan, sepanjang tidak bertentangan
dengan UU ini.
Dalam pandangan para ulama, sahnya
perkawinan adalah pada saat akad nikah yang berupa ijab kabul oleh wali
mempelai wanita dengan mempelai laki-laki dan disaksikan oleh dua orang saksi,
Islam tidak menolak adanya pencatat pernikahan yang fungsinya tidak lebih dari
sekedar menuruti kebutuhan administratif pemerintahan dan tidak menentukan sah
atau tidaknya suatu perkawinan.
Kemudian, yang menarik untuk disimak
adalah ketentuan Pasal 49 ayat (1), (2), dan (3) RUU Perkawinan yang berbunyi
:"1) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya. 2) Anak yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini, dapat diakui
oleh ayahnya. 3) Anak yang dimaksud dalam ayat 2 pasal ini, dapat disyahkan
dengan perkawinan”.[50]
Menyikapi draf RUU Perkawinan inisiatif pemerintah tersebut, dalam musyawarah
para ulama tanggal 24 Rajab 1393 H/22 Agustus 1973 di Denanyar Jombang atas
prakarsa KH. M. Bisri Sjansuri, memutuskan usulan perubahan RUU Perkawinan.
Suatu RUU yang sudah nyata
bertentangan dengan hukum Islam apabila tetap dipaksakan juga menjadi
undang-undang, resikonya adalah undang-undang tersebut sulit untuk bisa berlaku
efektif dalam masyarakat yang mayoritas beragama Islam: sebab, bagi ummat Islam
menaati suatu undang-undang yang bertentangan dengan hukum Islam, sama artinya
dengan melakukan perbuatan haram.[51]
Selain itu bila dilihat dari segi hukum ketatanegaraan, suatu undang-undang
yang bertentangan dengan hukum (agama) Islam, merupakan pengingkaran atas
jaminan yang telah diberikan oleh UUD 1945
pada Pasal 29, yaitu jaminan bagi bangsa Indonesia untuk menjalankan
ajaran agamanya masing-masing. Atas dasar inilah umat Islam menolak RUU
Perkawinan tersebut.
Penolakan umat Islam atas RUU
tersebut, ternyata mendapat perhatian dari pemerintah. Presiden Soeharto
sendiri ketika menerima delegasi partai / Fraksi Persatuan Pembangunan (F-PP)
yang dipimpin oleh KH. Bisri Syamsuri (Ketua DPP-PPP) dan KH. Masykur (Ketua
F-PP), sebagaimana yang diberitakan dalam harian Abadi (26-11-1973), memberikan
perhatian terhadap pokok-pokok pikiran kelompok ini. Serangkaian
lobbying-lobying kemudian diselenggarakan oleh penguasa-penguasa tingkat tinggi
dengan Fraksi Persatuan Pembangunan bersama-sama Fraksi ABRI sebagai realisasi
dari pertemuan dari pertemuan antara delegari Fraksi PP tersebut dengan
Presiden Soeharto tersebut. Sehingga akhirnya dicapailah suatu konsensus antara
kedua Fraksi tersebut.[52]
Konsensus tersebut yang pada pokoknya memuat bahwa semua Hukum agama Islam
tentang yang telah termuat dalam RUU tersebut tidak akan dikurangi, kemudian
sebagai konsekuensinya maka semua peraturan pelaksananya juga tidak akan
diubah, tidak hanya itu saja semua hal-hal yang bertentangan dengan agama Islam
dan tidak mungkin disesuaikan dalam RUU tersebut dihilangkan. Dengan adanya
Konsensus tersebut maka draft RUU tersebut mau tidak mau harus diubah dengan
mengacu kepada hal-hal yang telah disepakati dalam Konsensus.
Adanya perubahan terhadap RUU
tersebut sebagai pelaksanaan dari hasil Konsensus di atas, ternyata kurang
disukai oleh kelompok Nasrani. Dalam pandangannya kelompok Nasrani berpendapat
bahwa antara hukum negara dan hukum agama harus dipisahkan. Atau dengan kata
lain kelompok ini tidak menyetujui pentransformasian norma hukum agama menjadi
norma perundang-undangan negara.[53]
Pandangan ini sesuai dengan doktrin Gereja, yang menganut faham pemisahan
antara urusan agama (gereja) dengan urusan Negara. Urusan negara diatur oleh
hukum Negara dan urusan agama (gereja) diatur oleh hukum agama (gereja).[54]
Sedemikian alotnya perdebatan
mengenai RUU perkawinan tersebut, dimana pada saat itu pembicaraan mengenai RUU
tersebut merupakan topik yang sangat hangat, dari semua kalangan baik itu dari
Islam, Kristen, Organisasi Masyarakat, Organisasi Kepemudaan, Organisasi
Kewanitaan dan tokoh – tokoh tingkat tinggi menaruh perhatian yang sangat besar
sebelum RUU tersebut disahkan menjadi Undang-undang.
Jika dilihat dari sejarahnya pada
waktu maka pembicaraan RUU perkawinan 1973 di DPR sesuai dengan tata tertib, dilakukan
melalui empat tingkat. Tingakat pertama, merupakan penjelasan pemerintah atas
RUU tersebut. Tingkat kedua, merupakan pemandangan umum masing-masing Fraksi
atas RUU tersebut dan tanggapan Pemerintah atas pandangan umum itu. Tingakat
tiga, berupa rapat Komisi (gabungan Komisi III dan Komisi IX) ntuk membahas RUU
tersebut, yang dalam hal ini diserahkan kepada suatu panitia yang diberi nama
panitia kerja RUU perkawinan. Tingkat empat, pengambilan keputusan (pengesahan
RUU perkawinan) dengan didahului pendapat terakhir (stemmotivering) dari masing-masing Fraksi.[55]
Setelah mengalami
perubahan-perubahan atas amandemen yang masuk dalam panitia kerja maka RUU
tentang perkawinan yang diajukan oleh pemerintah pada tanggal 22 Desember 1973
tersebut diteruskan dalam Sidang Paripurna DPR-RI, sebagaimana pembicaraan
tingkat empat di atas, untuk disahkan menjadi undang-undang. Dalam sidang
tersebut semua Fraksi mengemukakan pendapatnya, demikian juga pemerintah yang
diwakili menteri Kehakiman meberikan kata akhirnya. Pada hari itu juga RUU
tentang perkawinan itu disahkan oleh DPR-RI setelah memakan waktu pembahasan
tiga bulan lamanya. Pada tangga 2 Januari 1974 diundangkan sebagai
Undang-Undang Nomor : 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. LN Nomor 1 tahun 1974,
tambahan LN Nomor 3019/1974.
Untuk terlaksananya UU tersebut maka
pemerintah mengeluarkan PP Nomor 9 Tahun 1975 sebagai peraturan pelaksana dari
UU perkawinan tersebut. Pada tahun-tahun berikutnya ternyata Pengadilan Agama[56]
sebagai lembaga yuridis yang menangani masalah perkawinan antara orang-orang
Islam ternyata dalam putusannya banyak yang disparitas dalam menerapkan hukum,
oleh karena ada hal-hal yang tidak tercover dalam UU perkawinan dan PP
peraturan pelaksananya,[57]
untuk menghendel hal tersebut maka melaui Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang pemberlakuan Kompilasi Hukum
Islam sebagai acuan baku bagi para Hakim Peradilan Agama dalam memutus perkara.[58]
VII.
HUKUM KELUARGA ERA REFORMASI
Pada tahun 1998 Rezim Orde Baru
berakhir, dengan mundurnya Presiden Soeharto sebagai Presiden, akibat desakan
dari mahasiswa. Dari sejak lengsernya pemerintahan orde lama tersebut maka
pemerintahan berikutnya mendapat istilah dengan “era reformasi” sampai dengan
sekarang ini.
Pada masa ini Undang-Undang Tentang
Peradilan Agama mengalami dua kali perubahan pada tahun 2006 dan tahun 2009.
Dalan penjelasan pasal 49 Undang-Undang nomor 3 tahun 2006
menyatakan bahwa ruang lingkup "perkawinan" adalah hal-hal yang
diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku
yang dilakukan menurut syari'ah, antara lain:[59]
1.
Izin
beristri lebih dari seorang (Pasal 3 ayat 2)
2.
Izin
melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua puluh
satu) tahun, dalam hal orang tua wali, atau keluarga dalam garis lurus ada
perbedaan pendapat (Pasal 6 ayat 5)
3.
Dispensasi
kawin (Pasal 7 ayat 2)
4.
Pencegahan
perkawinan (Pasal 17 ayat 1)
5.
Penolakan
perkawinan oleh pegawai pencatat nikah (Pasal 21 ayat 30)
6.
Pembatalan
perkawinan (Pasal 22)
7.
Gugatan
kelalaian atas kewajiban suami dan istri (Pasal 34 ayat 2)
8.
Perceraian
karena talak (Pasal 39)
9.
Gugatan
perceraian (Pasal 40 ayat 1)
10.
Penyelesaian
harta bersama (Pasal 37)
11.
Penguasaan
anak-anak (Pasal 47)
12.
Ibu
dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang
seharusnya bertanggung jawab tidak mematuhinya (Pasal 41 huruf b)
13.
Penentuan
kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri atau
penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri (Pasal 41 huruf c)
14.
Putusan
tentang sah tidaknya seorang anak (Pasal 44 ayat 2)
15.
Putusan
tentang pencabutan kekuasaan orang tua (Pasal 49 ayat 1)
16.
Pencabutan
kekuasaan wali (Pasal 53 ayat 2)
17.
Penunjukan
orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali
dicabut (Pasal 53 ayat 2)
18.
Penunjukan
seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan belas)
tahun yang ditinggal kedua orang tuanya
19.
Pembebanan
kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya
(Pasal 54)
20.
Penetapan
asal-usul seorang anak (Pasal 54 ayat 2) dan penetapan pengangkatan anak
berdasarkan hukum islam
21.
Putusan
tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran
(Pasal 60 ayat 3)
22.
Pernyataan
tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum undang-undang nomor 1 tahun 1974
tentang perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain (Pasal 64)
Selain sebagaimana di atur dalam UU
Perkawinan dan KHI, tentang hukum keluarga juga diatur dalam UU lainnya seperti
UU Perlindungan Anak,[60]
UU Penghapusan KDRT,[61]
Pada
era reformasi hukum perkawinan mendapat suatu perubahan yang sangat fenomenal
dengan diubahnya bunyi pasal 43 ayat (1) Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun
1974 oleh Mahkamah Konstitusi.
Tepatnya Jumat 17
Februari 2012 Masehi, bertepatan dengan tanggal 24 Rabiul Awal 1433 Hijriah,
Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan yang revolusioner sepanjang
sejarah MK di Republik ini. Sebagaimana dilangsir vivanews.com, Mahfud menilai
putusan MK ini sangat penting dan revolusioner. Sejak MK mengetok palu, semua
anak yang lahir di luar perkawinan resmi, mempunyai hubungan darah dan perdata
dengan ayah mereka. Di luar pernikahan resmi yang dimaksud Mahfud ini termasuk
kawin siri, perselingkuhan, dan hidup bersama tanpa ikatan pernikahan atau samen
leven. [62]
Sebelumnya, pihak Pemohon (Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti
H. Mochtar Ibrahim dan Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono) juga mengajukan
uji materil terhadap Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan yang dinilai bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2)
serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sehingga menimbulkan kerugian konstitusional
bagi Pemohon.[63]
Namun, MK hanya mengabulkan sebagian dari permohonan Pemohon tersebut.
Dalam pandangan Prof. Mahfud MD, Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sepanjang dimaknai menghilangkan
hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata
mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca,
“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat
dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain
menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan
keluarga ayahnya.
Putusan ini lantas mengundang
pro dan kontra dari berbagai pihak, baik dari kalangan praktisi hukum,
akademisi,
LSM,
MUI,
bahkan
masyarakat.
Putusan
MK mengenai
pengakuan anak di luar perkawinan begitu “mengejutkan”. Walaupun melegakan
sejumlah pihak, tapi
akan
ada
permasalahan baru
yang
timbul dari
putusan mahkamah konstitusi tersebut. Ditambah lagi pernyataan Mahfud MD di media
massa sebagai mana yang utarakan di atas.
Permaslahan
perkawinan yang fenomenal berikutnya adalah dengan menikahnya Bupati Garut
“Aceng Fikri” secara di bawah tangan atau nikah sirri dan menceraikan isterinya tersebut dengan SMS, yang berakibat
dipecatnya Aceng Fikri dari kursi Bupati. Permasalahan tersebut menurut
sebahagian ahli hukum bukan merupakan perbuatan pidana karena tidak unsur zina
didalamnya sebagaimana yang diatur KUHP, akan tetapi mengapa Aceng Fikri tetap
juga dipecat dari jabatan Bupati.
Dari
masalah-maslah yang muncul seperti di atas menurut para penulis, undang-undang perkawinan yang telah ada
sekarang ini sudah kurang sesuai dengan perkembangan zaman di Negara ini. Oleh
karenanya merumuskan kembali revisi Undang-Undang Perkawinan adalah sebuah
keniscayaan dalam konteks kekinian dimana hukum bersifat dinamis selalu
berubah-ubah dalam ruang dan waktu.
Tahun 2008 yang
lalu pemerintah sebagai penggagas telah mengusulkan RUU tentang Hukum Materiil
Peradilan Agama bidang Perkawinan dan baru dimasukkan dalam Program Legislasi
Nasional (Prolegnas) Tahun 2010. RUU tentang Hukum Materiil Peradilan Agama
(RUU HMPA) terdiri dari 25 BAB dan 156 pasal, yang pada pokoknya mengatur
tentang Perkawinan, dalam RUU ini akan terjadi perubahan yang cukup signifikan
karena ada beberapa hal yang tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 jo PP Nomor 9 tahun 1975 tetapi diatur dalam RUU tersebut.[64]
Perubahan yang dianggap sangat ketara dari aturan hokum sebelumnya
adalah dalam BAB XXI. Pasal 143 menyatakan bahwa setiap orang yang menikah
tidak dihadapan PPN di kenakan denda Rp.6.000.000 atau kurungan 6 bulan. Pasal
144 menyatakan bahwa barangsiapa menikah mut’ah dihukum penjara selama-lamanya
3 tahun dan pernikahannya batal demi hokum. Pasal 145 menyatakan bahwa poligami
tanpa ijin isteri terdahulu dikenakan denda Rp.6.000.000 atau kurungan 6 bulan.
Pasal 146 yang menyatakan bahwa setiap orang yang mencerikan isterinya tidak di
depan Pengadilan dikenakan denda Rp.6.000.000 atau kurungan 6 bulan. Pasal 147
yang menyatakan barang siapa menghamili wanita yang belum kawin namun menolak
untuk menikahinya di kenakan kurungan 3 bulan. Pasal 148 menyatakan bahwa PPN
yang melanggal kewajiban Pasal 4 di penjara 1 tahun atau denda paling banyak
Rp.12.000.000-,. Pasal 149 menyatakan barang siapa melakukan perbuatan
perkawinan yang seolah-olah PPN atau wali hakim dipidana 3 bulan. Pasal 150
menyatakan orang yang tidak berhak menjadi wali nikah, kemudian menjadi wali
nikah di penjara 3 tahun. Pasal 151 menyatakan menyatakan bahwa yang dimaksuda
dalam Pasal 143, 145, 146 dan 148 adalah tindak pidana Pelanggaran, sedangkan
yang dimaksud dalam Pasal 144, 147, 149 dan 150 adalah tindak pidana kejahatan.[65]
VIII. KESIMPULAN
Dari sejak zaman kerajaan di Nusantara ternyata maslah
perkawinan merupakan bahasan yang cukup penting, terbukti dari beberapa
kerajaan-kerajaan yang pernah ada di Indonesia, baik itu kerajaan yang bercorak
Hindu-Budha maupun yang bercorak Islam telah memberlakukan hukum menurut
versinya masing-masing. Seiring dengan masuknya penjajah ke Indonesia yang di
awali dengan VOC ternyata hukum perkawinan mengalami kemajuan, khususnya bagi umat
Islam pada masa itu, ditandai dengan VOC tetap meberlakukan hukum perkawinan
yang telah dibuat para penguasa kerajaan-kerajaan Islam bahkan VOC pada waktu
menerbitkan beberapa kitab-kitab karangan ulama Islam agar dijadikan pedoman
bagi para penghulu atau Hakim pada Mahkamah Syar’iyah atau Pengadilan Agama
dalam struktur masyarakat pada saat itu, hal ini berjalan selama 2 abad
pendudukan VOC di Nusantara.
Setelah masa VOC berakhir, maka pemerintahan Hindia Belanda
menggantikannya. Pada masa ini pemerintah colonial Belanda membuat beberapa
hukum perkawinan yaitu: Bagi orang-orang Indonesia asli berlaku hukum Adat,
bagi orang-orang Indonesia asli beragama Islam berlaku hukum perkawinan Islam,
bagi orang-orang Indonesia asli beragama Kristen berlaku Ordonansi Perkawinan
Kristen (HOCI), bagi warga Negara keturunan Eropa dan Cina berlaku Kitab undang-undang Hukum Perdata (BW), bagi
perkawinan campuran berlaku peraturan perkawinan Campuran (Staatsblad 1898 No.
158) atau GHR. Sampai berakhirnya masa penjajahan ternyata tidak satupun hukum
perkawinan yang dapat mengayomi cita hukum seluruh masyarakat di Indonesia
Setelah
berakhirnya masa penjajahan atau setelah kemerdekaan hukum perkawinan mendapat
perhatian dari pemerintah, terkhusus bagi umat Islam karena setahun setelah
kemerdekaan tepatnya pada tahun 1946 pemerintah membuat peraturan perkawinan
dengan menetapkan Undang-undang No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah,
Talak dan Rujuk yang berlaku untuk daerah Jawa dan Madura, yang pada akhirnya
berdasarkan undaang-undang No. 32 tahun 1954 dinyatakan berlaku untuk nasional.
Pada tahun 1950, tepatnya pemerintahan orde lama mulai menggagas RUU perkawinan
nasioanal, karena Front Wanita dalam Parlemen, mendesak agar Pemerintah
meninjau kembali peraturan perkawinan dan menyusun rencana undang-undang
perkawinan. RUU Gagasan pemerintah tersebut ternyata menuai banyak perdebatan
dari lapisan rakyat Indonesia yang akibatnya sampai tahun 1965 atau masa
berakhirnya rezim orde lama tersebut, hukum perkawinan nasional yang dicita-citakan
rakyat Indonesia tidak terwujud.
Pada
masa orde baru keinginan untuk mewujudkan UU perwakilan bangkit kembali, yang
berujung dengan diajukannya RUU perkawinan oleh Menteri Kehakiman sebagai
perwakilan dari pemerintah ke DPR pada tahun 1973 terlaksana. Meskipun demikian
ternyata draft RUU tersebut menuai banyak kecaman, terlebih dari kalangan umat
Islam yang menilai RUU tersebut banyak yang tidak sesuai dengan Hukum Islam.
Dengan perjalanan yang berliku dan perjuangan yang keras akhirnya pada tanggal
2 Januari 1974 RUU perkawinan di sahkan menjadi Undang-undang. Dalam
perjalanannya sampai ke era reformasi ternyata UU perkawinan, sifat mengaturnya
dinilai kurang oleh kalangan masyarakat terbukti dengan diubahnya bunyi pasal
43 ayat (2) oleh Mahkamah Konstitusi sebagai pengabulan atas permohonan Hj.
Aisyah Mochtar atau Macicha Mokhtar. Perubahan pasal tersebut ternyata tidak
juga kedamaian bagi sebagian masyarakat, karena setelah diubahnya pasal
tersebut ada sebahagian masyarakat yang tidak setuju karena dinilai tidak
sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dimasyarakat.
Dengan
munculnya perubahan pasal tersebut ternyata membuka pintu bahwa Undang-undang
perkawinan tersebut tidak menutup kemungkinan untuk direvisi, karena dinilai
kurang sesuai lagi dengan perkembangan zaman dan kurang mampu mengayomi
permaslahan hukum yang terjadi di masyarakat. Jika memang dirasa sulit untuk
merevisi undang-undang tersebut, setidaknya RUU tentang Hukum Materiil Peradilan
Agama bidang Perkawinan yang di ajukan pemerintah sejak 18 tahun yang lalu
segera dibahas oleh DPR dan disahkan menjadi Undang-undang, dengan tujuan agar
apa-apa yang belum di atur dalam undang-undang perkawinan tersebut dapat
tercover dan mampu menyelesaikan permaslahan hukum yang muncul di masyarakat.
Dalam
hal ini perlu pula ditegaskan bahwa Peradilan Agama yang menjadi pelaksana UU
HMPA juga diperluas kompetensi absolutnya di bidang hukum pidana perkawinan
guna mewujudkan peradilan yang sederha, cepat dan biaya ringan sebagaimana yang
menjaadi amanat UU.
DAFTAR PUSTAKA
[2] Soerjono Soekanto, Soerjono
Soekanto, Sosiologi Keluarga: Tentang Ikhwal Keluarga, Remaja Dan Anak
(Jakarta: Rineka Cipta, 1990). Hal. 22-23.
[4] Soerjono Soekanto, Hukum
Adat Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001). Hal. 216-217
[5] "Kerajaan Salakanagara", https://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Salakanagara (26 Pebruari 2018).
[6] Hilman Hadikusumo, Pengantar
Ilmu Hukum Adat Indonesia, Cet.I ed. (Bandung: Mandar Maju, 1992). Hal. 43-44. Ini terdapat pada
kelompok masyarakat Melayu Tua (Propto Malaio), kebanyakan masyarakat
dipengaruhi 5 jenis kesaktian yaitu paduan kesaktian, sari kesaktian, Sang
Hyang Kesaktian, Pengantara kesaktia dan lainnya.
[12] Amrullah Ahmad SF dkk, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional (Jakarta: Gema
Insani Press, 1996). Hal. 70
[13] Mawarti Djoned Poesponegoro dkk, Sejarah Nasional Indonesia Jilid Iii, Jakarta: Balai Pustaka Departemen
Pendidikan Dam Kebudayaan (Jakarta: Balai Pustaka Departemen Pendidikan dam
Kebudayaan, 1984). Hal.197
[15] Arso Sosroatmodjo dan A. Wait Aulawi, Hukum Perkawinan Di Indonesia (Jakarta:
Bulan Bintang, 1975). Hal. 11.
[16] Muhammad Daud Ali, "Kedudukan Hukum Islam Dalam
Sistem Hukum Indonesia," Journal
Pembangunan Volume 2 Tahun Ke XII (Maret 1982). Hal. 101.
[22] Maria Ulfah Subadyo, Perjuangan Untuk Mencapai Undang-Undang Perkawinan (Jakarta:
Yayasan Idayu, 1981). Hal. 9-10.
[23] Nani Suwondo, Kedudukan
Wanita Indonesia Dalam Hukum Dan Masyarakat (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1992). Hal. 77.
[25] Taufiqurrahman Syahuri, Legislasi Hukum Perkawinan Di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2013). hal. 100.
[26]
Inilah yang mendorong lahirnya "Surat Edaran Biro Peradilan Agama No.B/1/735
Tanggal 18 Februari 1958 Sebagai Pelaksana Pp No. 45 Tahun 1957 Tentang
Pembentukan Peradilan Agama/ Mahkamah Syariah Di Luar Jawa Dan
Madura," (Indonesia: 1975). Dalam huruf b surat Edaran tersebut di Jelaskan bahwa:
“Untuk mendapatkan kesatuan hukum dalam memeriksa dan memutuskan perkara maka
para hakim Pengadilan Agama/ Mahkamah Syariah dianjurkan agar mempergunakan
sebagai pedoman kitab-kitab sebagai berikut: Al-Bajuri, Fathulmui’in,
Syarqowi alat’ tahrir, Qolyubi/Mahalli, Fathul Wahab dengan Syarahnya, Tuhfah,
Targhibul Musytaq, Qowanin syar’iyah lis sayyid bin Yahya, Qowanin syar’iyah
lis sayyid Sadaqah Dachlan, Syamsuri fil Fara’idl, Bughyatul Musytarsyidin,
Alfiqu Alaa Mandzahibil Arba’ah, Mughnil Muhtaj.
[27] Nani Soewondo, Kedudukan
Wanita Indonesia Dalam Hukum Dan Masyarakat (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1992). Hal. 96. Lihat
pula dalam "Undang-Undang No. 22 Tahun 1946, Tentang
Pentjatatan Nikah Nikah, Talak Dan Rudjuk," (Indonesia: 1946).
[29] Lihat dalam "Undang Undang Nomor 32 Tahun 1954 Tentang
Penetapan Berlakunya Undang Undang Republik Indonesia No.22 Tahun 1946 Tentang
Pencatatan Nikah, Talak Dan Rujuk Di Seluruh Daerah Luar Jawa Dan
Madura," (Indonesia: 1946).
[30] Asro Soisroatmodjo dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan Di Indonesia (Jakarta:
Bulan Bintang, 1978). Hal. 9.
[34] T. Jafizham, Persintuhan
Hukum Di Indonesia Dengan Hukum Perkawinan Islam ( Medan: Mestika, 1977).
Hal. 180.
[36] J. Prins, Hukum Perkawinan
Di Indonesia, Alih
Bahasa G.A. Ticoalu (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1982). Hal 19-20.
[37] Wila
Chandrawila Supriadi, Hukum Perkawinan
Indonesia Dan Belanda (Bandung: Mandar Maju, 2002). Hal 196-197.
[41] Deliar Noor, Administrasi Islam Di Indonesia (Jakarta: Rajawali, 1983). Hal. 98.
meskipun wakil golongan katolik sangat kecil jumlahnya
hanya 8
anggota dari 500 anggota, mereka menjadi sebab
kemacetan pembahasan kedua RUU tersebut. Sebab menurut tata tertib Parlemen ketika itu tiap keputusan harus
mufakat.
[42] H.M Rasjadi, Kasus
Ruu Perkawinan Dalam Hubungan Islam Dan Kristen (Jakarta: Bulan Bintang,
1974). Hal. 34.
[43] Hasbullah Bakry, Pengaturan
Undang-Undang Perkawinan Ummat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1970). Hal. 122.
[44] "Amanat Presiden No. R.02/P.U/Vii/1973 Tanggal 31
Juli 1973 Perihal Rancangan Undang-Undang Tentang Perkawinan.," (Indonesia: 1973).
[46] KH. Yusuf Hasyim adalah Pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang yang
juga menjadi anggota DPR fraksi PPP unsur NU.
[47] "Suara
Sugiarto Paralel Dengan Doktrin Komunis RUU Perkawinan Bertentangan Dengan UUD
1945," Surat Kabar Harian Abadi. Jakarta, 20 Agustus 1973.
[51] Hamka dalam tulisan di harian Kami sebagaimana dikutip oleh Amak FZ,
menyatakan bahwa kalau RUU Perkawinan 1973 tetap dipaksakan juga menjadi
undang-undang, maka para ulama akan mengeluarkan fatwa haram bagi umat Islam
yang melangsungkan perkawinannya menurut undang-undang itu dan hanya wajib
melangsungkan perkawinan secara Islam. FZ. Hal. 17.
[54] Mohammad Daud
Ali, “Perkawinan Campuaran” dalam
majalah Panji Masyarakat, No.709, 1-10 Februari 1992, hal. 20.
[55] Fraksi-fraksi
ini merupakan salah satu alat kelengkapan DPR, yang dipandang mencerminkan
konstelasi pengelompokan pemikiran dalam masyarakat. Ada empat Fraksi dalam DPR
yaitu : 1) fraksi Karya Pembangunan (FKP), 2). Fraksi ABRI, 3) fraksi Persatuan
Pembangunan (FPP), dan 4). Fraksi Demokrasi Pembanguan (FDP)
[56] Tentang
Peradilan Agama diatur dalam "Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun
1989 Tentang Peradilan Agama,"
(Indonesia: 1989). Dan selanjutnya di ubah dengan "Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun
2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989
Tentang Peradilan Agama,"
(Indonesia: 2006). Dan terakhir diubah dengan "Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 50 Tahun
2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7
Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama,"
(Indonesia: 2009).
[57] Lihat dalam " Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9
Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan," (Indonesia: 1975).
[58] Kompilasi Hukum Islam adalah salah satu hukum
Materiil di Pengadilan Agama, lihat "Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 1991 Tentang Pemberlakuan Kompilasi Hukum Islam," (Indonesia: 1991).
[59] "Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun
1989 Tentang Peradilan Agama." Dan Lihat pula dalam "Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan," (Indonesia: 1974). Lihat pula dalam H. Abdul Manan, Penerapan
Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama (Jakarta: Kencana, 2012). Hal. 13-14
[60] "Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak,"
(Indonesia: 2002).
[61] "Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga," (Indonesia: 2004).
[64] Lihat dalam "Rancangan Undang-Undang Hukum Materiil Peradilan
Agama Bidang Perkawinan,"
(Indonesia). Dalam BAB XXI
diatur tentang ketentuan pidana, hal ini yang semakin mempertajam polemik di
masyarakat karena banyaknya kepentingan yang berseberangan.
[65] Ibid. sebenarnya
ketentuan pidana ini telah diatur dalam Pasal 54 ayat 1 dan 2 " Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9
Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan." Hal ini tidak
menjadi heboh karena luput dari profokasi media sehingga masyarakat di begitu
memperharikannya. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa: Ayat (1)
Kecuali apabila ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku,
maka : a. Barang siapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 3, 10
ayat (3), 40 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman denda
setinggi-tingginya Rp. 7.500,-(tujuh ribu lima ratus rupiah); b. Pegawai
Pencatat yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 6, 7, 8, 9, 10 ayat
(1), 11, 13, 44 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman kurungan
selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 7.500,-(tujuh
ribu lima ratus rupiah). Ayat (2) Tindak pidana yang dimaksud dalam ayat
(1) diatas merupakan pelanggaran.
Comments
Post a Comment