IJMA’ PERSPEKTIF SOSIO HISTORIS
IJMA’ PERSPEKTIF SOSIO
HISTORIS
(Studi Kritis Tentang
Ijma’ Sebagai Teori Penemuan Hukum Islam Dan Ijma’ Sebagai Realitas Sosial)
Nur Moklis
I.
PENDAHULUAN
Ijma’
adalah salah satu sumber instimbath hukum Islam yang mayoritas ulama
mazdhab telah sepakat, kecuali ulama dhohiri.[1]
Ketika cakupan wilayah ummat islam yang sedemikian luas dan tersekat-sekat
dalam Negara bangsa saat ini kemudian timbul perbedaan pendapat tentang
probabilitas menggali hukum Islam dengan metode ijma’.
Penulis
akan menyajikan makalah secara singkat tentang tema ijma’ perspektif sosio
historis dalam realita penetapan hukum Islam dari masa-kemasa dan menyajikan
kajian Ijma’ sebagai teori istimbath hukum Islam. Dua isu hukum inilah yang
menjadi topic utama kajian. Namun
demikian diawal pembahasan ini akan di sajikan beberapa pendapat pakar tentang
pengertian ijma’ dan dasar hukum para ulama menggunakan ijma’ guna menjadi
pemahaman awal sebelum memulai lebih lanjut kajian ini.
II. PENGERTIAN IJMA
Kata
ijma’ secara bahasa berarti “kebulatan tekad terhadap suatu persoalan’ atau
kesepakatan tentang suatu masalah’. Menurut istilah ushul Fiqh, seperti yang
dikemukan Abdul Karim Zaidan, adalah “kesepakatan para mujtahid dari kalangan
umat Islam tentang hukum syara’ pada suatu masa setelah Rasulullah wafat.[2] Menurut
Abdul Wahab Kholaf Ijma’ adalah kesepakatan semua mujtahidin diantara ummat
Islam pada suatu masa setelah wafatnya Rosullullah SAW atas hukum syara’
mengenai suatu peristiwa hukum yang terjadi.[3]
Menurut
Mazhab Maliki, kesepakatan sudah dianggap
ijma; meskipun hanya merupakan kesepakatan penduduk Madinah yang dikenal
dengan ijma’ ahl al madinah. Menurut ulama Syi’ah, ijma’ adalah
kesepakatan para Imam di kalangan mereka, sedangkan menurut Jumhur ulama,
ijma’, sudah dianggap sah dengan adanya kesepakatan dari mayoritas ulama
mujtahid, dan menurut Abdul Karim Zaidan, ijma’ baru dianggap terjadi bilamana
kesepakatan seluruh ulama mujtahid.[4] Sedangkan
menurut al-Kamal bin al-Hummam bahwa ijma’ adalah “Kesepakatan semua mujtahid
pada suatu masa dari kalangan umat Muhammad terhadap perkara syara.[5]
Menurut
Asmawi yang dimaksud dengan istilah mujtahid dan semacamnya adalah orang
muslim yang dewasa yang berakal sehat dan mempunyai kapabilitas dan kompetensi
untuk menghasilkan hukum dari sumbersumbernya. Penggunaan istilah mujtahid dan
semacamnya dalam definisi ijma’ diatas untuk menegaskan orang awam atau orang
yang tidak mempunyai kapabilitas ijtihad.[6]
Dengan demikian, setuju atau tidak setuju orang awam tidak mempunyai arti sama
sekali bagi tercapainya ijma. Sedang Ash-Shiddieqy berpendapat bahwa ijma’ sama
dengan mengumpulkan para ahli permusyawaratan untuk bemusyawarah sebagai wakil
rakyat atas perintah/ undangan kepala Negara itulah yang mungkin terjadi
sepanjang masa. Inilah ijma’ yang terjadi di masa Abu bakar dan Umar[7]
III. DASAR HUKUM IJMA’
Dasar
hukum penggunaan teori ijma’ adalah terdapat dalam al-Qur’an dan juga hadis Nabi SAW. Dalam
al-Qur’an antara lain dalam Surat Yunus/10:71, surat ali imron/3:103, surat
al-Nisa/3:103, sebagai berikut ini:
…
(#þqãèÏHødr'sù öNä.{øBr& öNä.uä!%x.uà°ur … ÇÐÊÈ
Artinya: “…karena
itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk
membinasakanku)…”
(#qßJÅÁtGôã$#ur È@ö7pt¿2 «!$# $YèÏJy_ wur (#qè%§xÿs? 4 …. ÇÊÉÌÈ
Artinya: “dan
berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu
bercerai berai,…”
`tBur È,Ï%$t±ç tAqߧ9$# .`ÏB Ï÷èt/ $tB tû¨üt6s? ã&s! 3yßgø9$# ôìÎ6Ftur uöxî È@Î6y tûüÏZÏB÷sßJø9$# ¾Ï&Îk!uqçR $tB 4¯<uqs? ¾Ï&Î#óÁçRur zN¨Yygy_ ( ôNuä!$yur #·ÅÁtB ÇÊÊÎÈ
Artinya: “dan
Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti
jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap
kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam,
dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”.
Dari 'Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu berkata bahwa
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
Artinya: “Tetaplah bersama jamaah dan waspadalah terhadap
perpecahan. Sesungguhnya setan bersama satu orang, namun dengan dua orang lebih
jauh. Dan barang siapa yang menginginkan surga paling tengah maka hendaklah
bersama jamaah”.[8]
Imam Nawawi rahimahullah berkata bahwa Hadits ini menjadi dasar
paling kuat bahwa Ijma' adalah hujjah, sehingga hadits ini menjadi landasan
Ijma' paling shahîh.[9]
Imam asy-Syafi’i berkata bahwa Jika jamaah mereka berpencar di
setiap negara dan tidak ada yang mampu menyatukan badan mereka, mereka tetap
bisa membuahkan Ijma'. Namun sebaliknya, walaupun badan mereka berkumpul dalam
satu tempat, akan tetapi bercampur dengan berbagai kalangan, baik dari kaum
muslimin, kaum kuffar, orang-orang yang bertakwa maupun para penjahat, maka
tidak mempunyai arti apa-apa dan tidak mungkin membuahkan Ijma'. Oleh karena
itu, menjadi suatu keharusan mengikuti jamaah mereka dalam menetapkan perkara
halal dan haram serta ketaatan. Barang siapa yang berpendapat sama dengan
pendapat jamaah kaum muslimin maka ia telah berada di atas jamaah mereka. Dan
barang siapa yang menyelisihi pendapat jamaah mereka maka ia telah menyelisihi
jamaah kaum muslimin.[10]
IV. IJMA’ SEBAGAI TEORI PENEMUAN HUKUM ISLAM DALAM PERDEBATAN PEMIKIRAN
Menurut Wahbah
az-Zuhaili, syarat ijma’ adalah (1) yang melakukan ijma’ tersebut adalah
orang-orang yang memenuhi persyaratan ijtihad, (2) kesepakatan itu muncul dari
mujtahid yang bersifat adil (berpendirian kuat terhadap agamanya), (3) Mujtahid
yang terlibat adalah yang berusaha menghindarkan diri dari ucapan atau dari
perbuatan bid’ah. Keiga syarat ini disepakati oleh seluruh ulama.[11]
Menurut ulama ushul fiqh rukun jma’ itu ada lima: (a). Yang terlibat dalam
pembahasan hukum syara’ melalui ijma’adalah seluruh mujtahid, (b) mujtahid yang
terlibat dalam pembahasan hukum adalah seluruh mujtahid yang ada pada masa
tersebut dari berbagai belahan dunia Islam, (c) kesepakatan itu diawali dari
masing-masing mujtahid setelah mereka mengemukan pandangannya, (d), hukum yang
disepakati itu adalah hukum syara’yang bersifat aktual dan tidak ada hukumnya
dalam al-qur’an ataupun dalam hadits Rasulullah SAW.[12]
Menurut Abdul
Wahab Khallaf, ijma’ bila dilihat dari cara mendapatkan hukum melalui ijma’,
maka ijma’ itu ada dua macam: yaitu Ijma’ Sharih (The real ijma’) dan
Ijma’ Sukuti (The silent ijma’). Ijma’ Sharih ialah, setiap
mujtahid menyatakan bahwa mereka menerima semua yang disepakati. Menurut ulama
jumhur
ijma’
sharih ini yang dapat dijadikan hujjah (dalil
hukum). Sedangkan imam syafi’i juga sepakat bahwa ijma’
sharih yang dapat dijadikan hujjah (dalil hukum), sehingga Imam Syafi’I
mengatakan sebagai berikut: jika engkau atau salah seorang ulama
mengatakan,”hukum ini telah disepakati”, maka niscaya setiap ulama yang engkau
temui juga megatakan seperti apa yang engkau katakana.[13]Ijma’
Sukuti ialah,Sebagian mujtahid pada saat menampilkan pendapatnya secara
jelas mengenai suatu pristiwa dengan sistem fatwa atau dalam majlis, sedangkan
mujtahid yang lain tidak memberikan respon atau kementar terhadap pendapat
tersebut, baik mengenai kecocokan pendapat atau perbedaannya.[14]
Pertama;
Menurut
ulama jumhur berpendapat ijma’ sukuti tidak dapat dipakai sebagai hujjah atau
dalil, karena menganggap tidak hanya sebagai pendapat ulama mujtahid saja. Kedua;
menurut ulama Hanafiyah Ijma’ Sukuti dapat dijadikan sebagai hujjah
ketika telah ada ketetapan, bahwa seorang mujtahid yang diam ketika dihadapkan
kepadanya suatu kejadian, dan diutarakan pendapatnya mengenai peristiwa
tersebut, dan tidak ada kecurigaan bahwa diamnya mujtahid tersebut karena
takut, karena posisi diamnya seorang mujthid bearti dia sedang memberi fatwa.[15]
Ketiga
menurut Abu Ali al-Jubba’i (tokoh Muktazilah w.303 H) bahwa ijma’ sukuti dapat
dikatakan ijma’, apabila generasi mujtahid yang menyepakati hukum tersebut
sudah habis. Karena sikap diam mujtahid lain bersikap diam saja terhadap hukum
yang disepakati sebagian mujtahid itu sampai mereka wafat, maka kemungkinan
adanya mujtahid yang membantah hukum tersebut tidak ada lagi. Imam al’Amidi (ahli
ushul fiqh dari mazhab Syafi’y), Ibnu Hajib (ahli ushul fiqh dari mazhab
Maliki), dan Imam Abu bakar Muhammad bin Husein al-Karkhi (ahli ushul
fiqh dari mazhab Hanafi), berpendapat, bahwa kesepakatan seperti ini tidak
dikatakan ijma’, tetapi dapat dijadikan hujjah, dan sifat kehujjahannya juga
bersifat zanni.[16]
Ijma’
ahli
Madinah menurut pandangan Imam Malik dapat dijadikan dalil atau argumentasi
dalam berhujjah. Sedang sebagian mazhab Maliki telah sepakat bahwa ijma’
penduduk Madinah yang dapat dijadikan hujjah ialah ijma’ mereka terhadap
masalah-masalah yang telah ditetapkan oleh Rasulullah, seperti dalam hadits
yang diriwayatkan oleh Syu’bah ibn Mughirah tentang kesepakatan mereka dalam
memberikan harta pusaka kepada nenek atau hadits Nabi tentang interpretasi
terhadap saudara seayah termasuk juga dalam kategori saudara dalam pengertian umum.[17]
Pembentuk ijma’
adalah para mujtahid yang menguasai masalah-masalah fiqih berserta
dalil-dalilnya (Qur’an dan sunnah) dan memahami metode penggalian hukum
Islam. Menurut Jumhur ulama yang ahli bid’ah tidak termasuk kategori sebagai
mujtahid, maka mereka tidak termasuk dalam kelompok ulama mujtahid. Pendapat
Imam asy-Syaukani yang dikutip oleh Abu Zahrah dalam kitab Irsyadul Fuhul,
Ijma’ yang diakui dalam hukum Islam adalah pendapat semua fuqaha, jika ada
salah satu dari mereka menentang pendapat tersebut, bearti pendapat para fuqaha
itu belum diakui sebagai ijma’.[18]
Ulama ushul fiqh
klasik, diantaranya ulama jumhur klasik menyatakan tidaklah sulit untuk
melakukan ijma’, bahkan secara aktual ijma’ telah ada, mereka memberikan contoh
hukum-hukum yang telah disepakati seperti tentang pembagian waris nenek sebesar
seperenam dari harta warisan. Akan tetapi ulama klasik lainnya seperti Imam
Ahmad bin Hanbal berpendapat, bahwa siapa yang mengatakan adanya ijma’ terhadap
hukum suatu masalah, maka ia telah berdusta, karena kemungkinan saja ada
mujtahid yang tidak setuju, Oleh karena itu, menurutnya untuk mengetahui ijma’
tersebut sangatlah sulit dilakukan.[19]
Disamping Imam
asy-Syafi’i, Ibnu Taimiyah dan ibnu Qayyim al-Jauziah kduanya adalah ahli Fiqh
dari Mazhab Hanbali, tidak menerima ijma’ kecuali ijma’ yang dlakukan oleh para
sahabat.[20]
Sedangkan
dalam pandangan ulama ushul fiqh modern, seperti Imam Muhammad Abu Zahrah,
Muhammad Khudri Bek, Abdul Wahaf Khallaf (ketiganya guru besar fiqh dan ushul
fiqh di Universitas al-Azhar Mesir), dan Fathi ad-Duraini (guru besar Fiqh dan
Ushul fiqh di Universitas Damascus, Suriah), dan Wahbah az-Zuhaili, ijma’ yang
mungkin terjadi hanyalah di zaman sahabat, karena para sahabat masih berada
pada satu daerah. Pada masa sesudahnya, melakukan ijma’ tidaklah mungkin,
karena luasnya daerah Islam dan tidak mungkin mengumpulkan ulama seluruhnya
pada satu tempat.[21]
Sementara itu disisi lain bagi madzhab al-Zhahiriyah
tentang tema ijma’ ini mereka hanya mengakui ijma’-nya para sahabat dan dimasa sahabat saja, yang agak berbeda
dengan ijma’ versi fuqaha’ lain. Ibnu Hazm atau tepatnya salah satu tokoh utama
madzhab al-Zhahiriyah hanya menerima ijma’ kolektif sahabat, adapun pendapat pribadi sahabat sama
sekali tertolak. Karena itu, al-Zhahiriyah hanya bersepakat pada ijma’-ijma’ yang sudah pasti seperti
wajibnya shalat, puasa, zakat, dll. Namun jika berkaitan hal-hal yang terdapat
didalamnya perdebatan tentang ijma’ tidaknya para sahabat, al-Zhahiriyah akan selektif yang
pada akhirnya akan menolak pendapat pribadi atau kontroversial sahabat.[22]
Adapun alaasan Penolakan terhadap ijtihad dan qiyas dikalangan
al- Zhahiriyah karena beberapa alas an sebagai berikut:[23]
1.
Firman Allah S.w.t. surat Al An’am ayat 38; Artinya: “Tiadalah
kami alpakan sesuatu pun di dalam al Kitab…”, dan firman Allah
S.w.t. surat Al Anfal ayat 20; Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada
Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berpaling dari pada-Nya, sedang kamu
mendengar (perintah-perintah-Nya)”. Kedua ayat ini membatasi
bahwa mashadir syari’at
adalah Al-Qur’an, as Sunnah dan ijma’ saja, bukan yang lain.
2.
Hadits Nabi SAW yang melarang menggunakan akal dalam mencari
hukum, a.l.;
لا ينزع العلم من صدور الرجال, ولكن ينزع العلم بموت العلماء, فإذا
لم يبق عالم اتخذ الناس رؤساء جهالا, فأفتوا بالرأي فضلوا وأضلوا
Artinya:
ilmu tidak diambil dari dada seseorang, tapi ilmu diambil dengan sebab kematian
para ilmuwan. Jika tidak ada ilmuan yang tersisa, maka orang akan mengambil pengetahuan dari orang
yang tidak kompeten, ….”
3.
Perkataan sahabat, seperti perkataan Umar: “ittahamu
ra’yakum fi dinikum”, dan “Innama kana al ra’yu min rasulillah SAW
mushiban li annallah ‘azza wa jalla kana yarihi, wa innama huwa minna az zhann
wa al takalluf”.
Al-Zhahiriyah menegaskan, ijtihad (ar-ra’yu) yang digemakan fuqaha’
sejatinya adalah qiyas atau maslahah,
sementara keduanya tetap berpulang dan bermuara pada Alquran dan ss Sunnah.
Menggunakan ijtihad/qiyas atau maslahah sejatinya
hanyalah pengingkaran pada nash Alquran dan as Sunnah. Padahal telah jelas,
jika kamu berselisih maka merujuklah pada keduanya (Alquran dan As Sunnah).
Menurut Abdul
Wahab Khallaf, Ijma’ akan mungkin terjadi apabila masalahnya diserahkan kepada
pemerintah, karena pemerintah sebagai ulil Amri dapat mengetahui
mujtahid-mujtahidnya, dan setiap pemerintah dapat mengetahui dan menentukan
mujtahid suatu bangsa dan disepakati juga oleh mujtahid seluruh dunia Islam”.[24]
Sedangkan Hasbi Ash-Shiddieqy berpendapat, bahwa ijma’ sama dengan mengumpulkan
para ahli permusyawaratan untuk bemusyawarah sebagai wakil rakyat atas
perintah/ undangan kepala Negara itulah yang mungkin terjadi sepanjang masa.
Inilah ijma’ yang terjadi di masa Abu bakar dan Umar”.[25]
V. IJMA’ DALAM REALITA EMPIRIS PENETAPAN HUKUM ISLAM
A. Ijma’ Sebagai Sumber Penetapan Hukum Masa Khulafaur
Rasyidin
Metode
ijtihad menggunakan ijma’ di mulai pada masa pemerintahan khulafaurrasyidin.[26]
Hal ini mendukung argumentasi Taqiyuddin Ibnu Taimiyah dalam karyanya yang
berjudul “As-Syiyasah As-Syar'iyah fi Islah Ar-Ra'iyah”, yang menyatakan
bahwa sistem pemerintahan Islam yang pada masa Khulafaur Rasyidin bersifat
demokrasi.[27]
Karena Ijma adalah sinonim dengan kesepakatan atau konsensus[28]
tentang penetapan hukum oleh ilmuan-ilmuan hukum Islam.
Sumber hukum pada masa Khulafaurr Rasyidin adalah Al-Qur’an, Hadis,
ijma’, ijtihad dan ra’yu yang kemudian menghasilkan Qiyas.[29]
Ijma’ adalah salah satu hasil Ijtihad.
Pada waktu ijtu ijma’ sangat mudah terjadi karena shabat masih berkumpul di
Madinah belum berpencar ke berbagai tempat.[30] Sebagai fakta sejarah
bahwa setiap kebijakan yang diambil oleh para khalifah selalu dimusyawarahkan
pada shahabat-shabat Nabi yang lain dalam lingkar kekuasaannya. Sebagai contoh
yang sangat poluler adalah ketika Umar Bin Khattab tidak memberikan Zakat pada
Muallaf ketika Negara yang dipimpinnya telah menjelma menjadi kekuatan hebat di
timur Tengah.
B. Ijma’ Sebagai Sumber Penetapan Hukum Masa Dinasty
Umayyah
Masa pemerintahan Dinasty Umayyah (661-750M) dengan Ibukota
Damaskus. Sumber Hukum pada masa ini adalah al-Qur’an, Hadis Nabi SAW dan
Ijtihad para Qadhi. Setiap Qadhi yang diangkat oleh kholifah adalah Mujtahid,
mereka berijtihad untuk memutuskan perkara yang sedang di hadapi, pada periode
ini Qadhi memiliki independensi, setelah para Qadhi mengambil keputusan
maka yang menjadi eksekutor dalam
pelaksanaan putusan adalah dibawah perintah Kholifah.[31]
Peradilan pada masa dinasti Umayah mempunyai dua ciri khas yaitu; pertama:
Hakim memutuskan perkara berdasarkan hasil ijtihadnya sendiri, hakim pada
umumnya adalah seorang mujtahid. Sehingga tidak ada qodhi’ yang memegangi suatu
pendapat tertentu, tetapi ia memutus perkara yang tidak ada ketentuan nashnya
dari Al Qur’an atau sunah Nabi SAW. atau ijma’ dengan pendapat dan ijtihadnya
sendiri, dan apabila ia menemukan kesulitan dalam menetukan hukumnya, maka ia
meminta bantuan ahli-ahli fiqh yng berada di kota itu. Dan banyak di antara
mereka berkonsultasi dengan pemerintah atau penguasa dalam mencari suatu
ketentuan pendapat. Kedua; Lembaga peradilan pada masa itu tidak
dipengaruhi oleh penguasa. Hakim-hakim pada masa itu mempunyi hak otonom yang
sempurna. Oleh karena itu qodhi’-qodhi’ pada masa itu keputusan-keputusan
hukumnya tidak dipengaruhi oleh kecenderungan-kecenderungan pribadi, sehingga
keputusan mereka itu benar-benar berwibawa, meskipun terhadap para penguasa itu
sendiri. Putusan mereka tidak saja berlaku atas rakyat biasa, bahkan juga
berlaku atas penguasa sendiri. Dari sudut lain, khalifah sendiri selalu
mengawasi keputusan yang mereka keluarkan, di samping adanya pemecatan bagi
siapa yang berani melakukan penyelewengan.[32]
Dari paparan diatas dapat di ketahui bahwa ijma’ pada masa
pemerintahan khurafaur Rasyidin juga menjadi sumber hukum pada pamerintahan
Dinasty Umayyah, namun demikian penulis belum menemukan pendapat pakar atau
laporan sejarah yang menyatkan bahwa pada pemerintahan dinasti umayyah telah
terjadi ijtihad hukum dengan metode Ijma’.
C. Ijma’ Sebagai Sumber Penetapan Hukum Masa Dinasty
Abbasiyah
Telah ditemukan fakta sejarah bahwa sumber hukum pada masa ini
adalah al-Qur’an, Hadist, dan Ijtihad. Pada masa ini Hakim tidak memiliki
kebebasan untuk berijtihad dalam memutus perkara yang dihadapkan padanya. Para
hakim memutus perkara berdasarkan ijtihad dalam koridor mazhab yang dianut oleh
pemerintah. Pada masa ini lahir ilmuan-ilmuan terkenal antara lain Imam
al-Syafi’,[33]
Imam Abu Hanifah,[34]
Imam Malik,[35]
Imam Ahmad Bin Hambal.[36] Juga
telah lahir karya-karya besar dalam ilmu ushul fiqih dengan metode
mutakkallimin, antara lain al-Burhan karya Imam Haramain Abdul malik Bin
Abdullah al-Juwaini (w.478),[37] al-Mustashfa
karya imam al-Ghazali[38]
dan al-Mu’tamad karya Abu Husain al-Basri (w.436H).[39]
Pada periode pemerintahan ini juga lahir ilmuan hukum islam dengan
metode fuqoha antara lain al-Jashash dengan karyannya al-Ushul (w.370),[40]
Abu Zaid bin Umar ad-Dabusi dengan karyannya Taqwim al-Adillah (w.340H),[41] Al-Sarkhasi (w. 423 H) dari mazhab Hanafi menulis
kitab dengan judu al-Ushul.[42]
Pada masa ini juga lahir karya-karya teori hukum Islam (ushul fiqih)
dengan metode penggabungan, antara lainl; kitab Badi’ an-Nizam al-Jami’baina
Kitab al-Bazdawi wa al-Ihkam karya Muzhafaruddin Ahmad bin Ali as-Sa’ati
al-Hanafi (w.649H), Syarah at-Taudhih karya sa’duddin
at-Taftazani(792H).[43]
Dari uraian diatas dapat ditemukan bahwa selain menggunakan sumber
hukum Al-Qur’an,dan Hadist, para Qadhi juga berijtihad guna memutuskan perkara
yang diajukan kepadanya yang tidak ada dalam al-Qu’an dan hadist. Ijtihad pada
masa ini adalah dalam koridor madzhab. Penulis belum menemukan apakah pernah
terjadi ijma’ lintas madzhab atau Ijma’ internal madzhab pada periode ini. Jika
di lihat dari tulisan TM Hasbi Ash Shiddieqy yang menyatakan tentang lemahnya
penegakkan hukum dan keadilan pada dinasti Abbasyiah, disebabkan lemahnya ruh
ijtihad hakim dalam menetapkan hukum, lantaran telah berkembang mazhab empat.
Karenanya, hakim diminta memutuskan perkara sesuai dengan mazhab yang dianut
oleh penguasa, atau oleh masyarakat setempat. Di Iraq hakim memutuskan perkara
dengan mazhab Abu Hanifah, di Syam dan Maghribi hakim memutusakan perkara
dengan mazhab Malik, dan di Mesir dengan mazhab Syafi’i. Dan apabila dua yang
berperkara yang bukan dari pengikut mazhab yang termasyhur di negeri itu, maka
ditunjuklah seorang qodhi’ yang akan memutus perkara itu sesuai dengan mazhab
yang diikuti kedua belah pihak yang berperkara,[44] Penulis
berpendapat sangat tipis kemungkinan terjadi Ijma’ lintas madzhab dan hanya
mungkin terjadi ijma’ internal mazhab.
D. Ijma’ Sebagai Sumber Penetapan Hukum Masa Kesultanan
Turki Ustmani
Apabila
pendapat Hasbi Ash-Shiddieqy digunakan,
bahwa ijma’ sama dengan mengumpulkan para ahli permusyawaratan untuk bermusyawarah
sebagai wakil rakyat atas perintah/ undangan kepala Negara, dan itulah yang mungkin
terjadi sepanjang masa, seperti ijma’ yang terjadi di masa Abu bakar dan Umar”,[45]
maka pada masa kesultanan
Ustmaniyah ada peristiwa hukum (ijma) yang sangat fenomenal, ketika kesultanan Ustmaniyah telah membentuk tim untuk melakukan
kodifikasi hukum-hukum muamalah yang di pimpin oleh menteri kehakiman dan
dianggotai sejumlah ulama dalam madzhab Hanafi, namun demikian pengambilan
hukum tidak hanya merujuk madzhab hanafi saja tetapi juga merujuk pada beberapa
madzhab lainnya. Tim ini bekerja pada tahun 1285H/1869M dan selesai pada tahun
1239H/1876M.[46]
Kompilasi Hukum ini dinamai Majallah al-Ahkam al-Adillah terdiri 1.851
Pasal yang diberlakukan sebagai hukum positif kesultanan Utsmaniyah pada
tanggal 26 Syakban 1239H.[47]
E. Ijma’ Sebagai Sumber Penetapan Hukum Pasca
Pembubaran Kesultanan Turki Ustmani
Pasca
pembubaran kesultanan Turki (3 Maret 1924 M
sampai sekarang), wilayahnya yang luas terbagi dalam sejumlah Negara
dengan konstitusi masing-masing dan sistim peradilannya sendiri-sendiri,
seperti Iran, Irak, Kwait, Yordania, Libia, Mesir, Suriah, Oman, Tunisia dan
lain-lainnya, maka yang paling rasional adalah pendapat Hasbi
Ash-Shiddieqy yang menyatakan bahwa
ijma’ sama dengan mengumpulkan para ahli permusyawaratan untuk bemusyawarah
sebagai wakil rakyat atas perintah/ undangan kepala Negara itulah yang mungkin
terjadi sepanjang masa. Inilah ijma’ yang terjadi di masa Abu bakar dan Umar”.[48]
Apabila pemahaman ini dipakai maka ambil
contoh Negara Kesatuan Republik Indonesia juga banyak menghasilkan
produk-produk ijma’ dalam koridor negara bangsa seperti Kompilasi Hukum Islam,[49]
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah,[50]
UU Perbankan Syariah,[51]
UU SBSN,[52]
UU Perkawinan,[53]
UU Wakaf,[54]
UU Penghapusan KDRT,[55] UU Perlindungan Anak,[56] dan
lainnya.
VI. KESIMPULAN
Para ilmuan hukum Islam sepakat bahwa ijma’ adalah
salah satu sumber hukum dalam Islam. Mereka ini adalah para ilmuan yang
tergabung dalam mazhabnya Imam Malik,
Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Hambali, Imam Ja’fari, Imam Zaidi, Imam
Ibadi dan Kelompok Muktazilah, namun demikian para ilmuan hukum Islam dari
mazhab al-Zhohiri menolak pengguna’an Ijma’ sebagai sumber hukum Islam.
Dalam realita penegakkan hukum Islam
ternyata para sahabat Nabi telah menggunakan ijma’ sebagai dasar hukum dalam
penetapan suatu peristiwa hukum. Namun demikian penulis belum menemukan contoh
konkret penetapan hukum dengan dasar ijma’ pada masa kekhalifaahan Umayyah
karena para Qhodi pada masa itu semuanya adalah mujtahid Mut’laq dalam
menetapkan sebuah hukum. Pada masa kekhalifahan dinasti Abbasiyah para qhodhi
di haruskan memutuskan perkara dengan sekat madzab masing-masing pencari
keadilan, apabila dimungkinkan terjadi ijma’ maka yang mendekati kemungkinan
adalah Ijma’ dalam lefel mazhab.
Pada masa pemerintahan dinasti
Ustmaniyah telah terjadi Ijma’ dengan melahirkan Kompilasi Hukum yang dinamai Majallah
al-Ahkam al-Adillah, hal ini seperti pendapat yang
dikemukakan oleh Hasbi Ash-Shiddieqy yang menyatakan bahwa ijma’ sama dengan mengumpulkan para
ahli permusyawaratan untuk bemusyawarah sebagai wakil rakyat atas perintah/
undangan kepala Negara itulah yang mungkin terjadi sepanjang masa, dan itu pula
yang terjadi pada masa Negara bangsa saat sekarang termasuk di Indonesia dalam
menyusun consencus aturan hukum dalam suatu negara.
DAFTAR PUSTAKA
"Mengenal Fiqih Mazhab Zhahiri", https://www.dakwatuna.com/2016/10/12/82913/mengenal-fiqih-mazhab-zhahiri/#ixzz59lRIlqd4 (15 Maret 2018).
"Detik-Detik
Wafatnya Imam Al-Ghazali", http://www.nu.or.id/post/read/70392/detik-detik-wafatnya-imam-al-ghazali (16 Februari 2018).
"Maqashid
Menurut Imam Al-Juwaini (Wafat Th 478 H)", https://www.suduthukum.com/2016/09/maqashid-menurut-imam-al-juwaini-wafat.html (16 Februari 2018).
Hosen,
Nadirsyah, "Mengenal Sejarah Penulisan Kitab Ushul Fiqih", http://www.nu.or.id/post/read/72418/mengenal-sejarah-penulisan-kitab-ushul-fiqih (16 Februari 2018).
[1] Imam Malik,
Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Hambali, Imam Ja’fari, Imam Zaidi, Imam
Ibadi dan Kelompok Muktazilah menggunakan ijma’ untuk menggali hukum Islam.
Lihat: Jasser Auda, Maqasid
Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach, trans., Rosidin
dan ali Abd el-Mun'in (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2015). Hal.116. adapun Mazhab Zhahiri (Arab: ظاهري; Literal) adalah salah satu mazhab fikih dan akidah dalam
lingkup ahlus
sunnah yang mencapai masa jayanya semenjak abad ke-3 hingga
ke-8 H. Pengikut mazhab ini mengimani secara harfiah ayat-ayat Al-Quran dan
Hadits sebagai satu-satunya sumber hukum Islam. Keyakinan mazhab ini menolak
adanya permisalan (Qiyas) dan pemikiran pribadi (Ra'y) sebagai bagian dari sumber hukum fikih. Selain
itu juga tidak menganggap fungsi konsesus Ijma'). Dalam bidang akidah, keyakinan mazhab ini hanya
menyifati Allah menurut dengan apa yang ada dan tertulis jelas dalam Al-Qur-an
saja dan menolak dengan keras praktik antropomorfisme (Penyerupaan/Tasbih).
Praktik pendekatan tradisi Islam ini diperkirakan dimulai di Irak pada abad
ke-9 M (ke-3 H) oleh Dawud
bin Khalaf (w. 883 M), meskipun karya-karya miliknya
tak dapat dijumpai lagi. Mazhab ini menyebar dari Iraq ke Persia, Afrika bagian
utara, juga ke Andalusia dimana seorang imam terkenal yang
bernama Ibnu Hazm menjadi ulama-besarnya disana, mayoritas
prinsip-prinsip mazhab Zhahiri dimasa awal berasal darinya. Meskipun mendapat
kritik keras oleh banyak ulama akidah dari mazhab-mazhab lainnya (atas
keyakinan literalisnya), mazhab Zhahiri murni tetap dapat bertahan selama lebih
dari 500 tahun dalam berbagai keadaanya dan diyakini pada masa-masa akhirnya
melebur kepada mazhab
Hanbali. Lihat dalam: "Ẓāhirīyah Islamic Law",
https://www.britannica.com/topic/Zahiriyah
(15 Maret 2018).
[3] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Al-Fiqh, trans., Noer Iskandar al Barsani, Kaidah-Kaidah
Hukum Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996). Hal.64. untuk membandingkan
definisi diatas lihat pula dalam Ali Bin Muhammad Al-Amidi, Al-Ihkam Fi Ushuli Al-Ahkam, vol. III (Maktabah Al-Mamlakah
Al-Arabiyah Riyad: Dar Al-Shami'i, 2003). Hal.261. lihat pula dalam al-Imam al-Muthallabi Muhammad Bin Idris al-Syafi’i, Ar-Risalah (Bairul Libanon: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, tt). Hal. 471-476.
Lihat pula sebagai bahan komparasi dalam Imam al-Haramain Abd al-Malik Ibn Yûsuf Abu al-Ma’ali al-Juwaini, Al-Burhân Fî Ushûl Al-Fiqh (Kairo: Dâr
al-Ansar: 1400). Hal. 670
[8] Lihat dalam
Shahîh, diriwayatkan Ibnu Abu 'Ashim dalam as-Sunnah (87), Imam Ahmad dalam
Musnad-nya (1/18), Imam at-Tirmidzi dalam Sunan-nya (2165), Imam al-Hakim dalam
Mustadrak-nya (387), dan Imam al-Ajuri dalam asy-Syariah (5).
[9] Lihat dalam
Al-Minhaj Syarah Shahîh Muslim, Imam Nawawi, 13/69.
[12] Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Huukm Islam, ed. Cet. I Jilid 2 (Jakarta: Ictiar Baru
Van Hove, 1996). Hal.666
[22]Diakui
bahwa al-Zhahiri tidak menggunakan ijtihad dan qiyas dalam
menggali hukum, maka apa dan bagaimana jika terdapat persoalan yang tidak
tertera secara letterer dalam
Alquran? Dalam hal ini al Zhahiriyah mengambil jalan ishtishab yaitu
suatu anggapan bolehnya segala sesuatu menurut asalnya. Maksudnya, tetapnya
suatu hukum yang terbina atas nash hingga ditemukan petunjuk nash dari petunjuk
nash lainnya. Al-Zhahiriyah memegang prinsip bahwa segala sesuatu pada dasarnya
adalah boleh kecuali terdapat indikasi yang melarangnya. Contoh kasus; Air akan
tetap suci alias tidak bernajis ketika bercampur kotoran najis, kecuali nyata
adanya najis secara materi dengan berubahnya warna dan cita rasa air, namun
jika tidak berubah, air tetap suci, terkecuali bila bercampur air kencing
manusia dalam air yang tenang (ar rakid) karena ada
petunjuk zhahir nash (hadits) terkait. Contoh lain: Berdasar zhahir nash hadits
di atas, kencing manusia (bawl al insan) di
air tenang adalah menajiskan, karena itu kencing selain manusia di air
tersebut, seperti Babi misalnya tidaklah najis, karena zhahir nash tidak
melarangnya. Syekh Muhammad Abu Zahrah menyebut hal ini sebagai sangat ganjil
dalam fiqih dan fikir, tanpa memberi ruang sedikitpun pada qiyas,
ijtihad (akal) dan sebab-hikmah hukum (ta’lil
ahkam) dan seolah-olah mematikan kreatifitas istinbath.
lihat dalam: "Mengenal Fiqih Mazhab Zhahiri",
https://www.dakwatuna.com/2016/10/12/82913/mengenal-fiqih-mazhab-zhahiri/#ixzz59lRIlqd4 (15 Maret 2018).
[26] Lihat: Nur Moklis, "Tradisi Penetapan Hukum Islam (Studi
Penetapan Hukum Islam Periode Nabi Muhammad Saw Sampai Periode
Kontemporer)," (disampaikan pada
Seminar Kelas Mahasiswa Program Doktor Ilmu Syariah UIN Antasari Banjarmasin 03
Maret 2018). Hal.4-5.
[27] Ibnu Thaimiyah, As-Syiasah
as-Syar’iyah Fi Islah Al-Rai’ Wa Al-Rai’yyah (libanon-Bairut: Dar Fikr,
1992). Hal. 135
[28] konsensus
sendiri adalah kata benda yang berarti kesepakatan
kata atau permufakatan bersama (mengenai pendapat, pendirian, dan sebagainya)
yang dicapai melalui kebulatan suara. Lihat dalam: Kamus Besar Bahasa Indonesia,
https://kbbi.kemdikbud.go.id. (14 Maret 2018)
[29] Musthafa Sa'id Al-Khin, Ashbah Haula Ilm Ushul Al-Fiqih; Tarikhuhu Wa Tathawwuruhu, ed.
Sejarah Ushul Fiqih, trans., Muhammad Misbah (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2014). Hal.35
[32] TM Hasbi Ash Shiddieqy, Peradilan Dan Hukum Acara Islam (Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra). Hal.20
[33] Imam
al-Syafi’i dengan nama lengkap Abu Abdullah Muhammad Bin Idris Bin Abbas Bin
Utsman Bin Syafi’i Bin Said Bin Ubaid Bin Hasyim Bin Abdul Muthallib Bin Abdu
Manaf, beliau lahir pada tahun 150H di Ghaza dan meninggal pada tahun 204 di
Mesir. Lihat: Ali Jum'ah, Tarikh
Ushul Fiqih, trans., Adi Maftuhin, I ed. (Depok Jawa Barat Indonesia: Keira
2017). Hal.227
[34] Imam Abu
Hanifah adalah Abu Hanifah an-Nu’man bin Tsabit Bin Zutha budak Taimullah bin
Tsa’labah. Lahir pada tahun 70 H dan meninggal pada tahun 150H di Baghdad pada
Usia 70 tahun. Lihat: ibid. hal.266
[36] Imam Ahmad bin
Hambal adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal bin Asad Bin
Idris Bin Abdullah Bin Hayyan Bin Abdullah Bin Anas Bin Auf Bin Qashit Bin
Mazin Bin Syaiban Bin Dzuhal Bin Tsa’labah bin Ukabah bin Sha’b bin Ali Bin
Bakr bin Wail Bin Qasith bin Hinbin bin Afsha bin Da’ma bin Jadillah bin Asad
bin Rabiah bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan al-Syaibani al-Marwadi al-Baghdadi.
Beliau lahir pada bulan Rabiul Awwal tahun 164H meninggal tanggal 12 Rabiul
Awwal 241 H. lihat: ibid. Hal.427
[37] Imam al-Haramain al-Juwaini adalah ulama pertama yang
membahas teori Maqashid al-syari’ah. Bukti itu
dapat kita temukan dalam karya al-Burhan fi Ushul al-Fiqh.
Dalam bab qiyas, al-Juwaini menjelaskan illal (alasan-alasan) dan ushul (dasar-dasar) yang merupakan embrio dari
teori maslahat. Barangkali karena itu al-Juwaini disebut
peletak dasar teori Maqashid al-Syari’ah.
Lihat: "Maqashid Menurut Imam Al-Juwaini (Wafat Th 478
H)",
https://www.suduthukum.com/2016/09/maqashid-menurut-imam-al-juwaini-wafat.html (16 Februari 2018).
[38] Imam Al-Ghazali wafat pada 19 Desember 1111 dan
dikebumikan di desa Thabran, kota Thus, Abul Faraj ibn al-Juuzi dalam
kitab Ats-Tsabât 'indal Mamât memaparkan cerita dari Imam
Ahmad, saudara kandung Imam Al-Ghazali. Suatu hari, persisnya Senin 14 Jumadil
Akhir 505 H, saat terbit fajar, Imam Al-Ghazali mengambil wudhu lalu menunaikan
shalat shubuh. Usai sembahyang, Al-Ghazali berkata, "Saya harus memakai
kain kafan.” Lalu ia mengambil, mencium, dan meletakkan kain kafan tersebut di
kedua matanya. Selanjutnya, Imam Al-Ghazali berucap, “Saya siap kembali ke
hadirat-Mu dengan penuh ketaatan dan kepatuhan (sam‘an wa thâ’atan lid
dukhûli ‘alal mulk).” Ia pun meluruskan kedua kakinya, menghadap arah
kiblat, lalu kembali kepada Sang Kekasih untuk selama-lamanya. Lihat:"Detik-Detik Wafatnya Imam Al-Ghazali",
http://www.nu.or.id/post/read/70392/detik-detik-wafatnya-imam-al-ghazali (16 Februari 2018).
[39] Jum'ah. Hal.35. Imam Abu Husain al Basri
hidup pada masa kekuasaan dinasti Bani Buwaih dalam
pemerintahan khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia
kedua.
[40] Al-Jashash
nama lengkapnya adalah Abu Bakar Ahmad Ibn Ali
Al-Razi, yang terkenal dengan sebutan Al-Jashash. Lihat: Muhammad Husain Al Zahabi, Al-Tafsir Wa Al-Mufassiruun (Mesir: Daar Al Maktabah Al Harisah,
1976).
Hal.485. AL-Jashash adalah seorang ahli tafsir dan ahli ushul fikih ternama
yang terkenal dengan panggilan Al-Jashash (penjual kapur rumah). Ia disebut
demikian, karena dalam mencari nafkah hidup ia bekerja sebagai pembuat dan
penjual kapur rumah. Lihat: Ensiklopedi
Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan,
1992), s.v. "Ensiklopedi Islam Indonesia." Hal.485.
[42]
Lihat dalam tulisannya Rais
Syuriyah PCINU Australia-New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School,
Australia: Nadirsyah Hosen, "Mengenal Sejarah Penulisan Kitab
Ushul Fiqih",
http://www.nu.or.id/post/read/72418/mengenal-sejarah-penulisan-kitab-ushul-fiqih (16 Februari 2018).
[47] Ibid. Menurut Joseph Schacht, Majallah
al-Ahkam al-Adillah bukan hukum Islam tetapi hukum sekuler, namun demikian
Schacht mengakui bahwa tata hukum Dinasty Ustmaniyah pada abad ke-16 jauh lebih
unggul dari pada undang-undang yang berlaku di Eropa kontemporer. Lihat: Joseph Schacht, An
Introduction to Islamic Law, trans., Joko Supomo (Bandung: Nuansa, 2010). Hal.141-142
[49] "Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 1991 Tentang Pemberlakuan Kompilasi Hukum Islam," (Indonesia: 1991).
[50] Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat Madani
(PPHIMM), Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group: 2009). Lihat pula: Mahkamah Agung Republik Indonesaia Direktorat Jenderal
Badan Peradilan Agama Republik Indonesia, Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah (2010).
[51] "Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun
2008 Tentang Perbankan Syariah,"
(Indonesia: 2008).
[52] "Undang-Undang Republik Indonesia Nomor.19 Tahun
2008 Tentang Surat Berharga Syariah Negara," (Indonesia: 2008).
[53] "Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan," (Indonesia: 1974). Dan lihat pula aturan pelaksanannya
" Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9
Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan," (Indonesia: 1975).
[54] "Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun
2004 Tentang Wakaf," (Indonesia:
2004). Dan lihat pula
aturan pelaksanaannya pada "Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 Tentang
Pelaksanaan Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf " (Indonesia: 2006). Dan juga lihat "Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28
Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik," (Indonesia: 1977).
[55] "Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga," (Indonesia: 2004).
[56] "Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak,"
(Indonesia: 2002).
Comments
Post a Comment