TRADISI PENETAPAN HUKUM ISLAM


TRADISI PENETAPAN HUKUM ISLAM
(STUDI PENETAPAN HUKUM ISLAM PERIODE NABI MUHAMMAD SAW SAMPAI PERIODE KONTEMPORER)
Oleh
Nur Moklis

A.    Pendahuluan
Pada makalah ini akan mengkaji tentang tradisi penetapan hukum Islam dari awal lahirnya Islam sampai saat ini. Menurut Ali Jum’ah mayoritas penulis tarikh tasyri’ membagi Sejarah Hukum Islam dalam enam periodesasi, pertama pada masa kenabian dan masa turunya wahyu, kedua masa khulafaur rasyidin, ketiga masa akhir khulafaur Rasyidin sampai abad kedua hijriyah, keempat dari tahun 101 H sampai tahun 310H, kelima dari pertengahan abad ke lima hijriyah sampai jatuhnya bagdad tahun 656 Hijriyah, dan keenam dari runtuhnya bagdad sampai sekarang.[1] Namun demikian dalam kajian tentang tradisi penetapan hukum Islam, Pemakalah akan menulis dari sudut yang berbeda, yaitu dipetakan dalam periodesasi pemerintahan Islam. Hal ini akan memudahkan, karena sistem politik akan berpengaruh pada sistim hukum serta penetapan sebuah hukum. Menurut Moh Mafmud MD bahwa konfigurasi politik yang demokratis akan menghasilkan produk hukum yang responsif/populistik dan konfigurasi politik yang otoriter akan melahirkan produk hukum dengan karakter konservatif/ortodoks/elitis.[2]
Tradisi adalah adat kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat. Juga diartikan penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan yang paling baik dan benar.[3] Penetapan artinya proses, cara, perbuatan menetapkan, penentuan. Penetapan hukum adalah  tindakan sepihak menentukan kaidah hukum konkret yang berlaku khusus.[4] Adapun Hukum Islam adalah peraturan dan ketentuan yang berkenaan dengan kehidupan berdasarkan Al-quran dan Hadis Nabi SAW atau hukum syara’.[5] adapun Hukum Syara’ menurut ulama Ushul fiqih  adalah dokma syari’ yang meregulasi perbuatan oranag-orang mukallaf  baik secara perintah atau diperintah memilih atau berupa ketetapan (taqrir).[6] Oleh karenya tradisi penetapan hukum Islam dapat diartikan kebiasaan penentuan hukum berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist Nabi SAW atau berdasarkan metode ijtihad[7] yang tidak menyimpang dari dua sumber utama dimaksud.
Pada makalah ini akan berusaha menjawab bagaimana tradisi Penetapan Hukum Islam dari masa Nabi SAW, periode khulafaur al-Rasyidin, pemerintahan Dinasti Umayyah, Pemerintahan Dinasti Abbasyah, Pemerintahan Turky ottoman, dan pemerintahan pasca runtuhnya Turki Ottoman dengan mengambil sample pemerintahan kerjaan Arab suadi (sample pemerintahan berazaskan Islam) dan Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (sample pemerintah mayoritas penduduk muslim dengan dasar Negara Pancasila).

B.      Tradisi Penetapan Hukum Islam Pada Masa Nabi Muhammad SAW (622-632M)
1.       Sistem Pemerintahan
Nabi SAW memerintah Negara Madinah pada tahun 622-632 M. Menurut M. Basir Syam sistem pemerintahan periode ini adalah sistem republik. Dalam penelitiannya disebutkan:
“Bahwa negara yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW bukan monarki absolut sebagaimana yang berkembang di dunia sepanjang sejarah manusia, melainkan negara republik. Hal ini terbukti bahwa selain memimpin warga negara yang heterogen agama dan etnis, beliau menjalankan pemerintahan yang bersifat demokratis dengan indikator musyawarah atau konsultasi yang terbuka, persamaan kedudukan warga negara, keadilan sosial yang merata tanpa diskriminasi, penghargaan terhadap kemerdekaan (HAM) dalam beragama, hidup, berpikir, hak milik dan jaminan sosial. Yang sangat menarik bahwa kekuasaan atau kepemimpinan harus dipertanggung jawabkan secara publik selain kepada Allah SWT”.[8]
2.      Sumber Hukum
Sumber hukum pada masa itu, menurut Musthafa Said al-Khin adalah al-Qur’an, hadis Nabi SAW dan Ijtihad Nabi SAW.[9] Lalu apakah pada masa Nabi SAW yang menjadi sumber Hukum Islam?, menurut al-Khindi Ijma’ bukan Sumber Hukum Islam pada waktu itu karena setiap peristiwa hukum membutuhkan penetapan hukum langsung merujuk pada sumber utama yaitu al-Qur’an dan atau bertanya langsung pada nabi Muhammad SAW.[10]
Menurut al-Khindi pada masa Nabi SAW, beliau melakukan ijtihad dan juga mengijinkan para sahabatnya untuk berijtihat. Alkhindi merujuk pada surat Ali Imron ayat 159 yang menyatakan “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu”. Al-Khindi berpendapat bahwa terma musyawarah itu hanya berlaku pada sesuatu yang didalamnya diputuskan melalui ijtihad, bukan sesuatu yang diputuskan dengan wahyu.[11]
Pendapat al-khindi bisa dibenarkan jika kita melihat peristiwa sahabat Mu’adz sebelum di utus oleh Nabi ke Yaman. Ketika itu Nabi SAW bertanya pada Mu’adz tentang sumber hukum yang akan dijadikan rujukan untuk menyelesaikan masalah di Negara Yaman. Mu’adz menjawab bahwa dia akan mengambil rujukan dari Al-Qur’an, jika tidak ada dalam al-Qur’an maka akan merujuk Hadis Nabi SAW dan jika dalam Al-Qur’an dan dalam Hadist Nabi tidak ada maka dia akan berijtihad menggunakan akal pikirannya. Nabi merasa cukup puas dengan jawaban Mu’adz.[12]
3.      Pemegang kekuasaan Kehakiman
Pada masa ini pemegang kekuasaan kehakiman di pegang langsung oleh Nabi Muhammad SAW, sebagai mana dalam al-Qur’an surat surah An-Nisa'  [4] ayat 61, 65, dan 105, surah As-Syura' [42] ayat 1, dan surah An-Nur ayat [24] 51. Berikut ini penulis kutibkan sebagian dari ayat dimaksud:

#sŒÎ)ur Ÿ@ŠÏ% öNçlm; (#öqs9$yès? 4n<Î) !$tB tAtRr& ª!$# n<Î)ur ÉAqߧ9$# |M÷ƒr&u tûüÉ)Ïÿ»uZßJø9$# tbrÝÁtƒ šZtã #YŠrßß¹ ÇÏÊÈ  
Artinya: apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul", niscaya kamu Lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu.

Ÿxsù y7În/uur Ÿw šcqãYÏB÷sム4Ó®Lym x8qßJÅj3ysム$yJŠÏù tyfx© óOßgoY÷t/ §NèO Ÿw (#rßÅgs þÎû öNÎhÅ¡àÿRr& %[`tym $£JÏiB |MøŠŸÒs% (#qßJÏk=|¡çur $VJŠÎ=ó¡n@ ÇÏÎÈ  
Artinya:Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.

Selain Nabi SAW, yang menjadi Hakim pada masa itu adalah sahabat yang dipercaya nabi seperti sahabat mu’adz ketika beliau di utus Nabi SAW Ke Yaman. Jadi pemegang kekuasaan kehakiman pada periode ini adalah Nabi SAW dan Sahabat yang telah di tunjuk oleh Nabi SAW.
4.      Perangkat Hukum
Perangkat hukum adalah hal yang wajib ada dalam sebuah penegakkan hukum. Hukum tidak akan bisa berjalan efektif jika tidak ada instrument-instrument yang mendukungnya. Menurut Friedmen setidaknya ada tiga hal pokok yang menjadikan hukum berjalan efektif, yaitu struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum.[13]  Dalam laporan sejaran pada waktu itu belum terdapat struktur hukum yang memadai namun subtansi hukum telah ada, yaitu al-qur’an dan hadist Nabi SAW. Disini peran budaya hukum yang sangat kuat dalam pendukung terlaksananya efektifiats hukum. Friedmen membedakan budaya hukum dalam dua bagian yaitu budaya internal (internal legal culture) dan  budaya ekternal (ekternal legal culture).[14] Dari budaya internal pada masa itu belum ada struktur aparat penegak hukum seperti polisi, kejaksaan dan lembaga peradilan, namun dalan sisi kehidupan masa Nabi SAW sangat masyhur dengan sabahat-shabat beliau yang tsiqoh (terpercaya). Budaya hukum eksternal inilah yang menjadilan hukum berjalan efektif di masyarakat. Apabila ada pelanggaran hukum baik dalam hukum privat maupun hukum publik, masyarakat memiliki control sosial yang baik.
Jadi pada periode ini perangkat yang mampu menjalankan hukum secara efektif adalah pertama, keberadaan Nabi SAW sebagai tokoh yang sangat dihormati sebagai hakim adil, sahabat-sahabat Nabi SAW yang ditunjuk beliau memiliki tingkat kepercayaan tinggi atau legitimasi yang kuat dari masyarakat. Kedua substansi hukum yang memiliki kebenaran tidak perlu diuji lagi (al-Qur’an dan hadist). Ketiga adalah budaya hukum ekternal masyarakat kota madinah.

C.    Tradisi Penetapan Hukum Islam Pada Masa Khulafaurrasyidin (632-661M)
Pemerintahan khulafaur Rasyidin adalah pemerintahan pada periode Abu Bakar al-Shidiq selama 2 tahun (11-13 H/632-634 M), kemudian dilanjutkan periode Umar Bin Kattab selama 10 tahun (13-23 H/634-644 M) selanjutnya pemerintahan Utsman bin Affan selama 12 tahun (23-35 H/644-656 M) dan pemerintahan Ali bin Abi Tholib selama 5 tahun (656-661 M). Jadi masa pemerintahan khulafaur Rasyidin berjalan dari tahun 632-661 M atau selama 29 tahun.
1.      Sistem Pemerintahan
Menurut Taqiyuddin Ibnu Taimiyah dalam karyanya yang berjudul “As-Syiyasah As-Syar'iyah fi Islah Ar-Ra'iyah”, sistem pemerintahan Islam yang pada masa Khulafaur Rasyidin bersifat demokrasi.[15] Sebagai fakta sejarah bahwa setiap kebijakan yang diambil oleh para khalifah selalu dimusyawarahkan pada shahabat-shabat nabi yang lain dalam lingkar kekuasaannya. Sebagi contoh yang sangat poluler adalah ketika Umar Bin Khattab tidak memberikan Zakat pada Muallaf ketika Negara yang dipimpinnya telah menjelma menjadi kekuatan hebat di timur Tengah.
Disisi lain sistim demokrasi adalah sitim politik yang didasarkan oleh kekuatan rakyat. Disini dapat diartikan kekuasaan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat,[16] Negara demokrasi setidaknya memiliki beberapa kreteria yang antara lain adalah adanya keterlibatan warga negara (rakyat) dalam pengambilan keputusan politik, baik langsung maupun tidak langsung (perwakilan), adanya pengakuan, penghargaan, dan perlindungan terhadap hak-hak asasi rakyat (warga negara), adanya persamaan hak bagi seluruh warga negara dalam segala bidang, adanya lembaga peradilan dan kekuasaan kehakiman yang independen sebagai alat penegakan hukum, Adanya kebebasan dan kemerdekaan bagi seluruh warga Negara, adanya pers (media massa) yang bebas untuk menyampaikan informasi dan mengontrol perilaku dan kebijakan pemerintah, adanya pengakuan terhadap perbedaan keragamaan (suku, agama, golongan, dan sebagainya). Oleh karenanya cukup layak jika sitem pemerintahan pada masa itu disebut pemerintahan yang menganut sistim demokrasi.
2.      Sumber Hukum
Sumber hukum pada masa khulafaurr Rasyidin adalah Al-Qur’an, Hadis, ijma’, ijtihad dan ra’yu yang kemudian menghasilkan Qiyas.[17] Ijma’ adalah salah satu  hasil Ijtihad. Pada waktu ijtu ijma’ sangat mudah terjadi karena shabat masih berkumpul di Madinah belum berpencar ke berbagai tempat.[18] Contoh Ijtihad Shahabat adalah tentang instruksi, Umar bin Khaththab r.a. kepada Abu Musa al- Asy’ari untuk berijtihad dengan menggunakan qiyas. Beliau berkata: “Gunakanlah pemahaman secara mendalam menyangkut masalah yang tidak terdapat nasnya dalam al-Qur’an dan hadits Nabi SAW. Cari dan upayakanlah mengenal kemiripan dan keserupaannya, lalu analogikan (qiyaskan) semua perkara yang semacam itu.[19]
Menurut Tri Ermayani bahwa Umar ibn al-Khaththab, lebih condong kepada maslahat di samping juga mempergunakan qiyas. Sedangkan Ali ibn Abi Thalib dan Abdullah ibn Mas’ud lebih banyak mempergunakan qiyas walaupun kadang-kadang sering juga memakai maslahat ammah.[20] Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa ijtihad yang digunakan para shahabat Nabi Pada masa itu adalah menggunakan metode Ijma’ metode qiyas dan metode maslahah Mursalah.
3.      Pemegang kekuasaan Kehakiman
Dalam sistem pemerintahan khalifah Abu Bakar al-shidik beliau menunjuk Umar bin Khatab untuk menyelesaikan masalah masyarakat madinah, namun selama 2 tahun pemerintahannya tidak ada perkara yang masuk.[21]  Lembaga al-Qadla’ pada masa ini belum dipisahkan dengan lembaga pemerintahan (eksekutif). Pada tingkat pusat langsung dipegang oleh khalifah sendiri, sedangkan pada tingkat daerah dipegang oleh gubernur (kepala daerah), belum diadakan pejabat yang khusus untuk mengurus urusan peradilan secara tersendiri. Jadi kepala Negara pada masa Abu Bakar bertidak sebagai orang yang memutus suatu perkara (Qadli) dan sebagai orang yang melaksanakan putusan (munafidz) atau melaksanakan eksekusi.[22]
Pada masa khalifah Umar bin Khatab, kekuasaan pemerintahan Islam sudah bertambah luas sehingga pekerjaan yang harus dilaksanakan oleh beliau bertambah banyak dan sulit bagi khalifah Umar untuk menyelesaikan sendiri tugas-tugas tersebut. kemudian khalifah Umar memisahkan tugas-tugas tersebut ke dalam berbagai bidang, termasuk dalam bidang peradilan. Tidak saja di kota Madinah sebagai pusat pemerintahan, bahkan di kota-kota tempat kediaman para gubernur, khalifah mengangkat pejabat peradilan (Hakim/ Qhodi) untuk menyelesaikan perkara-perkara yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Di antara hakim (qadli) yang diangkat khalifah Umar adalah Abu Darda’ di Madinah, Syuraih di Bashrah, dan Abu Musa Al-Asy’ary di Kufah dan Iraq.[23]
Khalifah Umar bin Khatab ketika mengangkat pejabat-pejabat qadli, beliau membatasi mereka dalam penyelesaian sengket perdata, tetapi perkara jinayah (pidana) yang menyangkut hukum qishas atau had-had maka tetap menjadi wewenang khalifah dan penguasa daerah.[24]
Pada masa Usman bin Affan, system peradilan Islam yang telah dibangun oleh khalifah Umar bin Khatab terus disempurnakan. Di antara usaha-usaha yang dilaksanakan oleh Usman dalam bidang peradilan antara lain: a. Membangun gedung peradilan baik di kota Madinah maupun di provinsi, yang sebelumnya pelaksanaan persidangan dilaksanakan di masjid. b.  Menyempurnakan administrasi peradilan dan mengangkat pejabat-pejabat yang mengurusi administrasi peradilan. c.   Member gaji kepada qadli dan stafnya yang diambilkan dari Baitul Mal. d. Mengangkat Naib Qadli, yaitu semacam panitera yang membantu tugas-tugas Qadhi.[25]
Pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib tidak banyak perubahan yang dilakukan dalam bidang peradilan, mungkin ini disebabkan karena situasi Negara pada waktu itu tidak stabil karena ada pihak-pihak yang tidak mengakui kekhalifahannya.
4.      Perangkat Hukum
Pada periode ini perangkat hukum telah ada meskipun belum sepenuhnya terpisah dari lembaga eksekutif. Lembaga peradilan telah berdiri sendiri, yang didalamnya terdapat hakim dan panitera dan staf administrasi lainnya. Disini terlihat struktur hukum telah mulai tersusun. Adapun substansi hukum merujuk pada al-Qur’an, Hadist dan Ijtihad para Qadhi. Selain itu pada pemerintahana Umar Bin Khattab telah melembagakan Wilayatul Hisbah sebagai lembaga Resmi Negara dengan tugas amar ma’ruf nahi mungkar.[26]

D.    Tradisi Penetapan Hukum Islam Pada Masa Dinasty Umayyah (661-750M) dengan Ibukota Damaskus
1.      Sistem Pemerintahan
Sistim pemerintahan dinasti Umayyah adalah monarki atau kerajaan. Disini tidak ada suksesi kepemimpinan untuk menjadi pemimpin Negara (khalifah). Kerajaan yang didirikan oleh Muawiyah bin Abu Sofyan ini dipimpin berdasarkan garis keturunan. Dinasti ini memimpin peradaban islam kurang dari satu abad namun perluasan wilayah yang dicapai sanagat luas.[27]
2.      Sumber Hukum
Sumber Hukum pada masa ini adalah al-Qur’an, Hadis Nabi SAW dan Ijtihad para Qadhi. Setiap Qadhi yang diangkat oleh kholifah adalah Mujtahid, mereka berijtihad untuk memutuskan perkara yang sedang di hadapi, pada periode ini Qadhi memiliki independensi, setelah para Qadhi mengambil keputusan maka  yang menjadi eksekutor dalam pelaksanaan putusan adalah dibawah perintah Kholifah.[28]
3.      Pemegang kekuasaan Kehakiman
Pada Masa ini pemegang kekuasan kehakiman adalah para Qadhi yang diangkat dan diberhentikan oleh Raja. Pada masa ini ada tiga jenis peradilan yang pertama adalah peradilan al-Qadha, peradilan ini memiliki konpetensi apsolute di bidang perdata termasuk juga ahwal al-syakhsiyah dan bidang pidana (jinayat). Peradilan al-Hisbah, kompetensi apsolutnya meliputi hukum perdagangan. Peradilan al-Madzalim, kompetensi apsolut peradilan ini adalah bidang tindak pidana korupsi.[29]
4.      Perangkat Hukum
Pada masa ini, perangkat hukum yang tersedia sudah cukup memadai, sisitim politik yang tersetruktur turut memodernisasi lembaga peradilan pada masa ini. Struktur hukum sudah mulai tertata, ada Qadhi, panitera, dan staf administrasi pendukung. Adapun substansi hukum merujuk pada al-Qur’an, Hadis dan Ijtihad para Qadhi.
Peradilan pada masa dinasti Umayah mempunyai dua ciri khas yaitu; pertama: Hakim memutuskan perkara berdasarkan hasil ijtihadnya sendiri, hakim pada umumnya adalah seorang mujtahid. Sehingga tidak ada qodhi’ yang memegangi suatu pendapat tertentu, tetapi ia memutus perkara yang tidak ada ketentuan nashnya dari Al Qur’an atau sunah Nabi SAW. atau ijma’ dengan pendapat dan ijtihadnya sendiri, dan apabila ia menemukan kesulitan dalam menetukan hukumnya, maka ia meminta bantuan ahli-ahli fiqh yng berada di kota itu. Dan banyak di antara mereka berkonsultasi dengan pemerintah atau penguasa dalam mencari suatu ketentuan pendapat. Kedua; Lembaga peradilan pada masa itu tidak dipengaruhi oleh penguasa. Hakim-hakim pada masa itu mempunyi hak otonom yang sempurna. Oleh karena itu qodhi’-qodhi’ pada masa itu keputusan-keputusan hukumnya tidak dipengaruhi oleh kecenderungan-kecenderungan pribadi, sehingga keputusan mereka itu benar-benar berwibawa, meskipun terhadap para penguasa itu sendiri. Putusan mereka tidak saja berlaku atas rakyat biasa, bahkan juga berlaku atas penguasa sendiri. Dari sudut lain, khalifah sendiri selalu mengawasi keputusan yang mereka keluarkan, di samping adanya pemecatan bagi siapa yang berani melakukan penyelewengan.[30]

E.     Tradisi Penetapan Hukum Islam Pada Masa Dinasty Abbasiyah (750-1258 M)
Pada masa dinasti Abbasiyah, peradaban telah semakin meluas, dan  berbagai kasus telah terjadi akibat dari semakin berkembangnya ilmu pengetahuan, perekonomian dan kemasyarakatan, maka membawa akibat pula saling berselisih dan berbeda pendapat antara ahli-ahli fiqh, dan timbullah mazhab-mazhab sehingga timbul pula taqlid, yang hal ini mempengaruhi juga terhadap keputusan-keputusan qodhi’ di antara perubahan-perubahan yang terjadi pada masa ini adalah
1.      Sistem Pemerintahan
Sistim pemerintahan pada saat ini telah tertata dengan baik, pemerintahan ini menganut sistim monarki yang dipimpin seorang bergelar Kholifah. Kholifah sebagai pemegang kekuasaan eksekutif dan Qadhi Qudhot sebagai pemegang kekuasaan Yudikatif dipusat kerajaan. Untuk urusan keamanan dalam negeri menjadi tanggungjawab kepolisian kerajaan.
2.      Sumber Hukum
Sumber hukum pada pmasa ini adalah al-Qur’an, Hadist, dan Ijtihad. Pada masa ini Hakim tidak memiliki kebebasan untuk berijtihad dalam memutus perkara yang dihadapkan padanya. Para hakim memutus perkara berdasarkan ijtihad dalam koridor mazhab yang dianut oleh pemerintah. Pada masa ini lahir ilmuan-ilmuan terkenal antara lain Imam al-Syafi’,[31] Imam Abu Hanifah,[32] Imam Malik,[33] Imam Ahmad Bin Hambal.[34] Pada  masa ini telah lahir karya-karya besar dalam ilmu ushul fiqih dengan metode mutakkallimin, antara lain al-Burhan karya Imam Haramain Abdul malik Bin Abdullah al-Juwaini (w.478),[35] al-Mustashfa karya imam al-Ghazali[36] dan al-Mu’tamad karya Abu Husain al-Basri (w.436H).[37]
Pada periode pemerintahan ini juga lahir ilmuan hukum islam dengan metode fuqoha antara lain al-Jashash dengan karyannya al-Ushul (w.370),[38] Abu Zaid bin Umar ad-Dabusi dengan karyannya Taqwim al-Adillah (w.340H),[39] Al-Sarkhasi (w. 423 H) dari mazhab Hanafi menulis kitab dengan judu al-Ushul.[40]
Pada masa ini juga lahir karya-karya teori hukum islam (ushul fiqih) dengan metode penggabungan, antara lainl; kitab Badi’ an-Nizam al-Jami’baina Kitab al-Bazdawi wa al-Ihkam karya Muzhafaruddin Ahmad bin Ali as-Sa’ati al-Hanafi (w.649H), Syarah at-Taudhih karya sa’duddin at-Taftazani(792H).[41]
3.      Pemegang kekuasaan Kehakiman
Menurut TM Hasbi Ash Shiddieqy terdapat tiga ciri utama penegakkan hukum dan keadilan yang terjadi pada dinasti Abbasyiah, pertama: Lemahnya ruh ijtihad hakim dalam menetapkan hukum, lantaran telah berkembang mazhab empat. Karenanya, hakim diminta memutuskan perkara sesuai dengan mazhab yang dianut oleh penguasa, atau oleh masyarakat setempat. Di Iraq hakim memutuskan perkara dengan mazhab Abu Hanifah, di Syam dan Mghribi hakim memutusakan perkara dengan mazhab Malik, dan di Mesir dengan mazhab Syafi’i. Dan apabila dua yang berperkara yang bukan dari pengikut mazhab yang termasyhur di negeri itu, maka ditunjuklah seorang qodhi’ yang akan memutus perkara itu sesuai dengan mazhab yang diikuti kedua belah pihak yang berperkara. Kedua: Para hakim memutuskan perkara di bawah pengaruh kekuasaan pemerintah. Dalam masa ini ada sebagian khalifah Abbasiyah yang ikut campur dalam penanganan perkara oleh qodhi’, sehingga hal ini menyebabkan menjauhnya fuqoha’ dari jabatan ini (hakim). Ketiga: Lahirnya istilah atau kedudukan Qodhi’ Al Qudhot, lembaga tersebut berhak mengangkat dan melakukan pengawasan terhadap tugas-tugas hakim, kekuasaan peradilan semakin meluas  meliputi kekuasaan kepolisian, kepegawaian, baitul maal, dan mata uang. Qodhi’ qudhot ini berkedudukan di ibukota negara. Dialah yang mengangkat hakim-hakim di daerah. Qodhi’ qudhot yang pertama ialah Al Qodhi’ Abu Yusuf Ya’qub Ibn Ibrahim, penyusun kitab Al Kharaj. Hal ini terjadi di masa Harun Al Rasyid, yang memang sangat memuliakan Abu Yusuf dan memperhatikan keadaan hakim-hakim.[42]
4.      Perangkat Hukum
Struktur Hukum Hukum telah tertata secara rapi, di pemerintah Pusat terdapat lembaga Yudikatif bernama Qodhi Qudhot yang berwenang menangadili dalam tingkat kasasi, sedangkan di daerah-daerah terdapat Qadhi yang memiliki yuridiksi relative sesuai tempatnya masing-masing. Untuk menjamin keamanan sosial dan komunal telah ada lembaga kepolisian. Adapun dalam ranah substansi hukum, kerajaan dinasti Abbasiyah menganut madzhab, sehingga penyelesaian perkara pada koridor madzhab kerajaan.

F.     Tradisi Penetapan Hukum Islam Pada Masa Kesultanan Utsmaniyah (1299-1923M)
1.      Sistem Pemerintahan
Pemerintahan Turki Ustmani berbentuk kerajaan (monarki) dengan dipimpin seorang sultan atau juga disebut kholifah. Sultan di bantu dua jawatan yaitu syaikhul islam yang mengurusi permasalahan keagamaan dan syaikhul adam yang mengatur muamalah lainnya. Pemerintah menjamin independensi lembaga yudikatif secara penuh. Negara memberikan kebebasan bagi setiap warga Negara untuk memperoleh keadilan berdasarkan aturan hukum islam, atau aturan hukum yang dia anut bagi non-muslim.
2.      Sumber Hukum
Sumber hukum pada masa pemerintahan Turqi ustmani selain al-Qur’an Hadist, ijtihad, juga mengadopsi sumber hukum yang lain, seperti hukum adat, hukum berdasarkan kepercayaan golongan agama tertentu dan hukum negara asing.[43]
Pada Masa kesultanan Ustmaniyah telah dibentuk tim untuk melakukan kodifikasi hukum-hukum muamalah yang di pimpin oleh menteri kehakiman dan dianggotai sejumlah ulama dalam madzhab Hanafi, namun demikian pengambilan hukum tidak hanya merujuk madzhab hanafi saja tetapi juga merujuk pada beberapa madzhab lainnya. Tim ini bekerja pada tahun 1285H/1869M dan selesai pada tahun 1239H/1876M.[44] Kompilasi Hukum ini dinamai Majallah al-Ahkam al-Adillah terdiri 1.851 Pasal yang diberlakukan sebagai hukum positif kesultanan Utsmaniyah pada tanggal 26 Syakban 1239H.[45]
3.      Pemegang kekuasaan Kehakiman
Pada masa pemerintahan Usmaniyah, terjadi keterbukaan di bidang hukum dan hal ini membawa juga kepada hal pengangkatan hakim-hakim dan kekuasaan peradilan, di samping membiarkan kekuasaan praktis lainnya berada pada wewenang raja-raja. Makna tasamuh (toleransi) pun berkembang lebih jauh di bidang agama terhadap golongan zimmi yang melampaui apa yang digariskan fuqoha’, sejauh mereka tunduk kepada kekuasaan peradilan di dalam daulat Islamiyah, maka daulat Usmaniyah telah memperkenankan berdirinya peradilan untuk golongan-golongan agama di luar Islam. Di masa Mesir diperintah oleh Khadwi Taufiq, Mesir telah mencapai kesempurnaannya di bidang kekuasaan peradilan dan wewenangnya, dan undang-undang yang wajib diterapkan bukannya fiqh Islam secara keseluruhan sehingga di Mesir ada lima peradilan yang hukum-hukumnya diambil dari berbagai sumber yang berbeda-beda. Peradilan-peradilan itu adalah sebagai berikut: pertama; Peradilan syar’i, inilah peradilan yang tertua dan sumber hukumnya adalah fiqh Islami. Kedua; Peradilan campuran, yang didirikn pada tahun 1875 dan sumber hukumnya adalah undang-undang asing. Ketiga; Peradilan Ahli (adat), didirikan pada tahun 1883, dan sumber hukumnya adalah undang-undang Prancis. Keempat; Peradilan Milly (peradilan agama-agama di luar Islam), sumber hukumnya adalah agama-agama golongan di luar Islam. Kelima; Peradilan Qunshuliy (peradilan negara-negara asing), di mana pengadilan pengadilan dari peradilan Qunshuliy ini mengadili berdasarkan undang-undang negara masing-masing.[46] Atau lebih singkatnya dpat diklasifikasi kedalam 3 tiga sistem pengadilan: satu untuk Muslim, satu untuk non-Muslim yang melibatkan pejabat Yahudi dan Kristen yang menguasai komunitas agamanya masing-masing, dan "pengadilan dagang”.
4.      Perangkat Hukum
Adapun pada masa ini struktur hukum, substansi hukum telah ada secara baik. Aparat peradilan dan kepolisian sudah terstruktur. Aturan hukum Islam dan aturan hukum lainnya sudah tersusun dengan baik. Sistem hukum Dinasti Utsmaniyah mengakui hukum keagamaan atas rakyatnya. Pada saat yang sama, Qanun, sistem hukum sekuler, diterapkan bersamaan dengan hukum keagamaan atau Syariah. Dinasti Utsmaniyah selalu disusun dengan sistem yurisprudensi lokal. Urusan hukum di Kesultanan Utsmaniyah adalah bagian dari skema yang lebih besar untuk menyeimbangkan kewenangan pusat dan daerah.
Semenjak runtuhkanya kekhalifahan Turki Ustmani, tradisi penetapan hukum Islam menjadi otoritas masing-masing Negara Bangsa, dengan tertumpu pada masing-masing sistim pemerintahan.

G.    Tradisi Penetapan Hukum Islam Pasca Pembubaran Kesultanan Ustmaniyah (3 Maret 1924 M sampai sekarang)
Pasca runtuhnya kesultanan Turki, wilayahnya yang luas terbagi dalam sejumlah Negara dengan konstitusi masing-masing dan sistim peradilannya sendiri-sendiri, seperti Iran, Irak, Kwait, Yordania, Libia, Mesir, Suriah, Oman, Tunisia dan lain-lainnya. Untuk selanjutnya Penulis mengambil 2 contoh tradisi penetapan hukum Islam pada Negara Islam/ Negara berpenduduk mayoritas Islam yang memiliki pengaruh penting dan peran strategis dalam percaturan politik international. Contoh pertama adalah Kerajaan Arab Saudi yang mewakili sample Negara berdasarkan hukum Islam dan Negara kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila sebagai contoh Negara mayoritas Penduduk Muslim yang tidak berdasarkan Hukum Islam.
1.      Kerajaan Saudi Arabia
Kerajaan Arab Saudi adalah pemerintahan dengan sisitim monarki, yang dipimpin oleh seorang Raja, sebagai kepala Negara dan kepala pemerintahan. Raja dipilih oleh dan dari keluarga besar Saudi.[47]
Sumber hukum di pemerintahan Kerajaan Arab Saudi adalah Al-Qu’an, Hadist dan Aturan Perundang-Undangan yang bersumber dari dua sumber utama tersebut. Adapun Peradilan Arab Saudi memiliki 3 tingkatan, peradilan tingkat pertama Mahakim umur al-Musta’jalah, peradilan tingkat banding disebut al-Mahakim al-Kubra, dan peradilan tingkat kasasi disebut Hay’ah al-Muraqabah al-Qadhoiyah.[48] Adapun peradilan tingkat pertama (Mahkamah Darajat al-Ula) berdasarkan kompetensi absolute terbagi dalam 5 peradilan yaitu al-Mahkamah al-Aamah (peradilan umum), al-Mahakim al-Jazaiyah (peradilan pidana), al-Mahakim al-Ahwal al-Syakhsiyah (peradilan Hukum keluarga), Al-Mahakim al-Tijariyah (peradilan niaga) dan al-Mahakim al-Ummaliyah (peradilan perburuhan).[49]
Selain sistim peradilan diatas juga terdapat peradilan yang disebut Diwan al-Mazhalim (seperti Pengadilan Tata Usaha Negara di Indonesia), peradilan ini memiliki tiga tingkatan, Pertama: al-Mahkamah al-Idariyah (Tingkat Kasasi), kedua: al-Mahkamah al-Isti’naf al-Idaariyah (Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara) dan ketiga: Diwan al-Mazhalim (Pengadilan Tata Usaha Negara).[50]
Adapun yang menjalankan putusan peradilan adalah lembaga yang disebut al-Mahkamah al-Tanfidiyah (lembaga pelaksana putusan). Lembaga ini berada dibawah al-Mahkamah al-Aamah. Adapun kewenangannya dimuat secara rinci dalam surat keputusan Raja nomor: M/53 Tanggal 13/8/1433 H Bab: I tentang kewenangan lembaga Tanfidz.[51] Selain itu juga ada lembaga Tahkim (Alternative Despute Resolution), lembaga Tahkim adalah Non-litigasi yang di atur dalam Keputusan Raja Nomor M/34 Tanggal 24/5/1433 H.
Dalam hal kewenangan (kompetensi) mengadili terdiri dari 4 kewenangan yang meliputi: Pertama: al-Ikhtishas al-Mahally (terkait wilayah territorial), kedua: al-ikhtishas al-Naw’iy (terkait kewenangan jenis perkara), ketiga: al-Ikhtishas al-Zamany (kompetensi terkait dengan waktu), keempat: al-Ikhtishas al-Duwaly (kewenangan bersifat international).[52]
2.      Negara Kesatuan Republik Indonesia
Sistim pemerintahan Indonesia adalah Negara Kesatuan berbentuk republik dan Pancasila Dasar Negara. Ada pemisahan dan bembagian kekuasaan antara eksekutif yang di pimpin presiden, Yudikatif yang dijalankan Mahkamah Agung[53] dan peradilan dibawahnya dan Mahkamah Konstitusi, serta Legislatif dalam hal ini kekuasannya ada pada Dewan Perwakilan Rakyat.
Tradisi penetapan Hukum Islam di Indonesia dilaksanakan oleh Peradilan Agama.[54] Peradilan Agama berada di bawah Mahkamah agung Republik Indonesia. Selain peradilan Agama lembaga peradilan lain yang ada di bawah Mahkamah Agung RI adalah Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Militer. Selain yang sudah disebutkan diatas di Indonesia juga Terdapat Pengadilan Pajak.
Sumber Hukum Peradilan Agama dibagi dalam dua kategori, pertama sumber hukum materiil dan sumber hukum formil. Sumber hukum Materiil adalah Al-Qur’an, Hadits, Kitab-kitab Fikih,[55] aturan Perundang-undangan seperti UU Perkawinan,[56] Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975,[57] Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah,[58] Kompilasi Hukum Islam,[59] UU Zakat,[60] UU Wakaf,[61] UU Perbangkan Syariah,[62] UU Perlindungan Anak,[63] UU Penghapusan KDRT,[64] UU Tentang Surat Berharga Syariah Negara (Sukuk),[65] Fatwa DSN MUI dan lainnya.[66] Adapun sumber hukum formilnya adalah sama dengan Peradilan Umum kecuali yang telah diatur khusus dalam UU Peradilan Agama.[67]

H.    Peradilan Agama atau Mahkamah Syariah satu-satunya Simbol Penegakkan Tradisi Hukum Islam di Indonesia.
Mungkin pembaca bertanya mengapa demikian? Atau ungkapan tersebut terkesan agak lebay. Jawabnya sederhana saja, karena tidak ada lembaga lain di NKRI yang menjalan tradisi hukum Islam kecuali Peradilan Agama. Pengadilan Agama memiliki kompetensi absolute sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah di ubah dengan Undang-Undang-Undang Nomor.3 tahun 2006 dan diubah dengan Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama. Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:. Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf,  Zakat, Infaq,  Shadaqah; dan Ekonomi Syari'ah.[68]
Pada penjelasan pasal 49 Undang-Undang nomor 3 tahun 2006 diatas yang dimaksud dengan "perkawinan" adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut syari'ah, antara lain:
1.             Izin beristri lebih dari seorang;
2.             Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun, dalam hal orang tua wali, atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat;
3.             Dispensasi kawin;
4.             Pencegahan perkawinan;
5.             Penolakan perkawinan oleh pegawai pencatat nikah;
6.             Pembatalan perkawinan;
7.             Gugatan kelalaian atas kewajiban suami dan istri;
8.             Perceraian karena talak;
9.             Gugatan perceraian;
10.         Penyelesaian harta bersama;
11.         Penguasaan anak-anak;
12.         Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak mematuhinya;
13.         Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri;
14.         Putusan tentang sah tidaknya seorang anak;
15.         Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
16.         Pencabutan kekuasaan wali;
17.         Penunjukan orang lain sebagai wall oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wall dicabut;
18.         Penunjukan seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya;
19.         Pembebanan kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya;
20.         Penetapan asal-usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum islam;
21.         Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran;
22.         Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.

Yang dimaksud dengan "waris" adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalap tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris.[69] Adapun yang dimaksud dengan "wasiat" adalah perbuatan seseorang memberikan suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga/badan hukum, yang berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal dunia.[70] "Hibah" adalah pembegan suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk dimiliki.[71] "Wakaf' adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harts benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari'ah.[72]
"Zakat" adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan hukum yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan syari'ah untuk  diberikan kepada yang berhak menerimanya.[73] Adapun "infaq" adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa makanan, minuman, mendermakan, memberikan rezeki (karunia), atau menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas, dan karena Allah Subhanahu Wata'ala.[74] "Shadagah" adalah perbuatar; seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain atau lembaga/badan hukum secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu dengan mengharap ridho Allah Subhanahu Wata'ala dan pahala semata.[75]
Yang dimaksud dengan "ekonomi syari'ah" adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari'ah, antara lain meliputi:
a.         Bank syari'ah;
b.         Lembaga keuangan mikro syari'ah.
c.         Asuransi syari'ah;
d.        Reasuransi syari'ah;
e.         Reksa dana syari'ah;
f.          Obligasi syari'ah dan surat berharga berjangka menengah syari'ah;
g.         Sekuritas syari'ah;
h.         Pembiayaan syari'ah;
i.           Pegadaian syari'ah;
j.           Dana pensiun lembaga keuangan syari'ah; dan
k.         Bisnis syari'ah.
Menurut Dr Mukti Arto,SH.,MH.[76] Ruang Lingkup Perkara Ekonomi Syariah, dalam hal ini, kompetensi absolut pengadilan agama meliputi beberapa aspek perbankan syariah dan kegiatannya dalam menjalankan ekonomi syariah yang, antara lain, meliputi:
1.      Kelembagaan (perorangan dan/atau badan hukum) dalam perbankan syariah;
2.      Akad (perjanjian) yang dibuat dalam perbankan syariah;
3.      Kegiatan (operasionalisasi) perbankan syariah;
4.      Sengketa tentang status hukum kelembagaan perbankan syariah;
5.      Sengketa tentang akad (perjanjian) dalam perbankan syariah;
6.      Sengketa tentang prestasi dan wanprestasi;
7.      Sengketa tentang arbitrase syariah;
8.      Sengketa tentang kepailitan syariah;
9.      Sengketa tentang perlindungan nasabah dalam perbankan syariah;
10.  Sengketa tentang pengingkaran terhadap arbiter pada arbitrase syariah;
11.  Penunjukan arbiter ketiga pada arbitrase syariah;
12.  Penilaian secara formal terhadap putusan arbitrase syariah;
13.  Penetapan penolakan/perintah eksekusi putusan arbitrase syariah;
14.  Tindak lanjut penyelesaian sengketa ekonomi syariah pada badan arbitrase syariah (UU No.30 Th 1999);
15.  Menyelesaikan sengketa kepailitan (UU No.37 Tahun 2004);
16.  Menyelesaikan sengketa ekonomi syariah pada umumnya;
17.  Melaksanakan putusan sengketa ekonomi syariah (putusan PA, basyarnas, dan gross akte);
18.  Menunjuk arbiter pada basyar yang disengketakan;
19.  Menyelesaikan sengketa tentang putusan basyarnas;
20.  Mendaftar (mendeponir) putusan basyarnas;
21.  Mengeksekusi putusan basyarnas;
22.  Menetapkan kepailitan debitur;
23.  Menetapkan pengampu (curator);
24.  Menetapkan hakim pengawas;
25.  Menyelesaikan sengketa kepailitan dalam kegiatan ekonomi syariah

Sementara untuk Mahkamah Syar’iyah aceh mendapatkan perluasan kompetensi absolute berdasarkan Undang-undang nomor 11 tahun 2006 pasal 128 ayat 3-4 yang berbunyi: (3) Mahkamah Syar’iyah berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum pidana) yang didasarkan atas syari’at Islam. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum pidana) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Qanun Aceh[77].
Jika dalam hukum keluarga Mahkamah syar’iyah memiliki kompetensi absolute yang sama dengan peradilan Agama, maka dalam bidang muamalah berdasarkan Qanun Nomor 10 tahun 2002 tentang Peradilan syari’at islam mahkamah syar’iayah Aceh berwenang mengadili perkara-perkara yang meliputi setidaknya 21 jenis perkara[78]:
1.      Jual beli
2.      Hutang piutang
3.      Qiradh (Permodalan)
4.      Musaqah, muzara`ah, mukharabah (bagi hasil pertanian)
5.      Wakilah (Perwakilan)
6.      Syirkah (Perkongsian)
7.      `Ariyah (Pinjam-meminjam)
8.      Hajru (Penyitaan harta)
9.      Syuf`ah (Hak langgeh)
10.  Rahnun (Gadai)
11.  Ihya`ul mawat (Pembukaan lahan)
12.  Ma`din (Tambang)
13.  Luqathah (Barang temuan)
14.  Perbankan
15.  Ijarah (Sewa me-nyewa)
16.  Takaful
17.  Perburuhan
18.  Wakaf
19.  Hibah
20.  Shadaqah
21.  Hadiah
Dalam bidang Jinayah mahkamah syar’iyah berwenang mengadili perkara-perkara yang meliputi: hudud, Qishas/ diyat dan ta’zir, secara rinci sebagai berikut[79]:
Perkara Hudud, yang meliputi :
1)      Zina
2)      Qadzaf (Menu-duh berzina)
3)      Mencuri
4)      Merampok
5)      Minuman ke-ras dan Nafza
6)      Murtad
7)      Pemberontakan
Perkara Qishash/Diyat, meliputi :
1) Pembunuhan
2) Penganiayaan
Perkara Ta’zir, yaitu hukuman yang dijatuhkan kepada orang yang melakukan pelanggaran syariat selain hudud dan qishash, meliputi :
1) Judi
2) Penipuan
3) Pemalsuan
4) Khalwat
5) Meninggalkan shalat fardhu
6) Meninggalkan puasa Ramadhan.
Namun demikian sampai pada saat ini, baru sebagian delik yang di atur dalam Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat, yang meliputi jarimah (delik):
a. Khamar;
b. Maisir;
c. khalwat;
d. Ikhtilath;
e. Zina;
f. Pelecehan seksual;
g. Pemerkosaan;
h. Qadzaf;
i. Liwath; dan
j. Musahaqah.[80]

I.       KESIMPULAN.
Tradisi Penetapan Hukum Islam secara ri’il dan konstitusional di mulai sejak pada pemerintahan Nabi SAW di Madinah. Pada periode ini sumber utama penetapan hukum adalah al-Qu’an, Hadist dan Ijtihad Nabi SAW. Adapun struktur hukum masih secara tradisional yaitu Nabi SAW selain sebagai pimpinan Negara juga menjadi Qadhi, adapun tentang budaya hukum disini secara internal sosok Nabi SAW adalah orang yang terpercaya, integritas beliau diakui baik muslim dan non-muslim di kota madinah dan sekitarnya dan tentang budaya ekternal hukum yaitu masyarakat madinah, khususnya shahabat Nabi adalah orang-orang yang Tsiqoh. Jadi pada masa ini substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum telah mampu memenuhi kebutuhan dan menjawab permasalahan pada masanya sehingga penegakkan hukum dapat berjalan dengan baik.
Pada masa Khulafaurrasydin sampai pada masa pemerintahan dinasty Umayyah, yang menjadi sumber hukum adalah al-Qur’an, Hadist Nabi SAW, Ijtihad berupa Ijma’ Qiyas dan Maslahah Mursyalah. Qhadi memegang peranan penting dalam melaksanakan ijtihad. Struktur hukum mulai tertata, pembagian kekuasaan mulai Nampak, eksekutif di pimpin kholifa dan Qhadi memegang urusan yudikatif secara terbatas. pada masa aparat penegak hukum mulai tertata secara tersetruktur. Adapun budaya hukum pada masa ini secara internal Qhadi memiliki legitimasi yang kuat, independensi yang tinggi, sehingga tumbuh kepercayaan dari masyarakat. Adapun budaya secara ekternal pada masa ini relative baik, sehingga penegakkan hukum dapat berjalan secara baik.
Pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah, sumber hukum adalah al-Qur’an, Hadis Nabi SAW dan Ijtihad, yang antara lain Ijmak, Qiyas, Maslahah Mursalah, Urf, istikhsan dan lainnya, metode ijtihad pada masa ini ilmuan hukum Islam banyak menelurkan teori-teori penggalian hukum Islam. Struktur hukum pada masa ini telah tertata secara baik. Adapun karena wilayah kekuasaan dinasty Abbasiyah yang sangat luas maka budaya hukumnya baik internal legal culture dan external legal culture juag tidal sama antara provinsi satu dengan yang lain. Pada tataran ini nampaknya para Qadhi juga dalam penetapan hukum sangat memperhatikan hukum yang hidup di masyarakat, sehingga penegakkan hukum pada pemerintahan ini dapat berjalan dengan baik.
Masa pemerintahan Turki ottoman sampai dengan sekarang ini Tradisi Penegakkan Hukum Islam secara substansi Hukum bersumber pada al-Qur’an, Hadist, Ijtihad dan aturan perundang-undangan. Struktur hukum hukum sangat memadai untuk melaksankan penegakkan hukum. Adapun budaya hukum internal maupun ekternal tentunya tergantung kompleksitas Negara masing-masing.
Peradilan Agama/Mahkamah Syariah adalah satu-satunya lembaga resmi Negara yang berwenang berdasarkan konstitusi untuk menjalankan tradisi penegakkan hukum Islam di Indonesia dengan kompleksitas yang dihadapi.




DAFTAR PUSTAKA
































































[1] Ali Jum'ah, Tarikh Ushul Fiqih, trans., Adi Maftuhin, I ed. (Depok Jawa Barat Indonesia: Keira 2017). Hal.14
[2] Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, V ed. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012). Hal. 363
[3] Kamus Besar Bahasa Indonesia, https://kbbi.web.id. 14 Februari 2018
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqih ( Kuwait: Dar al-Qalam, 1978). Hal.100
[7] Metode ijtihad antara lain ijma’, qiyas, istihsan, maslahah mursalah, uruf, istishab, syar’u man qablana, dan madzhab sahabat. Lihat: Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Al-Fiqh, trans., Noer Iskandar al Barsani, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996).
[8] M. Basir Syam, "M. Basir Syam, Kebijakan Dan Prinsip Prinsip Kenegaraan Nabi Muhammad Saw Di Madinah (622-632 M) (Tinjauan Perspektif Pemikiran Politik Islam)," Jurnal Sosial Ilmu Politik Universitas Hasanuddin 1, (Juli 2015). Hal. 155
[9] Musthafa Sa'id Al-Khin, Ashbah Haula Ilm Ushul Al-Fiqih; Tarikhuhu Wa Tathawwuruhu, ed. Sejarah Ushul Fiqih, trans., Muhammad Misbah (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2014). Hal. 6-13. Lebih lanjut Ijtihad adalah pengerahan segenap kemampuan untuk memperoleh dugaan kuat sesuatu dari hukum syara’ dalam bentuk yang dirinya merasa tidak mampu melakukan melebihi hal itu. Lihat: Ali Bin Muhammad Al-Amidi, Al-Ihkam Fi Ushuli Al-Ahkam, vol. III (Maktabah Al-Mamlakah Al-Arabiyah Riyad: Dar Al-Shami'i, 2003). Hal.139
[10] Al-Khin.
[11] Ibid.
[12] Lihat dalam sunan abu dawun Nomor 3592 dan 3593.
[13] Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum; Perspektif Ilmu Sosial (the Legal System; a Social Science Perspective), (Bandung: Nusa Media, 2009). Hal. 33
[14] Ibid. kepercayaan masyarakat sangat penting dalam upaya penegakkan hukum karena kepercayaan adalah bagian dari budaya hukum lihat juga dalam Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) Dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interprestasi Undang-Undang (Legisprudence), vol. 1. Pemahaman Awal (Jakarta: Kencana, 2010). 228.
[15] Ibnu Thaimiyah, As-Syiasah as-Syar’iyah Fi Islah Al-Rai’ Wa Al-Rai’yyah (libanon-Bairut: Dar Fikr, 1992). Hal. 135
[16] Haedar Natsir, Prgmatisme Politik Kaum Elit (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 1999). Hal. 37. Lihat pula : Azumardi Azra, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Masyarakat Madani (Jakarta: Sinar Grafika, 1989). Hal. 21
[17] Al-Khin. Hal.35
[18] Ibid.
[19] Tri Ermayani, "Ijtihad Shahabat Di Tengan Transformasi Pemikiran Hukum," Humanika UNY, (Vol.6 No.1 Maret 2006). Hal. 39-51
[20] Ibid.
[21] Teungku Muhammad Hasby As-Siddiqy, Peradilan Dan Hukum Acara Islam (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997). Hal.14
[22] Abdul Manan, Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan (Jakarta: Prenada Media Group, 2007). Hal.81
[23] Abdur Rahman I, Syari’ah Kodifikasi Hukum Islam (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993). Hal.24
[24] Muhammad Salam Madkur, Muhammad Salam Madkur, Peradilan Dalam Islam (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1993). 42
[25] Manan.
[26] Athiyah Musrifah, Al- Qadha’ Fi Al- Islam, vol. II (t.t: 1966). Hal. 179. Wilayah al-hisbah adalah sebuah lembaga yang mempunyai tugas lebih besar dari kepolisian, yakni diadakan untuk mengawasi semua aktivitas manusia, khususnya umat Islam, baik yang berkaitan dengan aqidah, ibadah, rumah tangga dan etika termasuk di dalamnya perilaku ekonomi mereka di luar yang ditangani secara khusus oleh lembaga peradilan biasa (qadha`) atau maszalim. Lihat: Lomba Sultan, "Kekuasaan Kehakiman Dalam Islam Dan Aplikasinya Di Indonesia," al-Ulum (Jurnal Studi-Studi Islam) IAIN Gorontalo Volume 13, Nomor 2, ( Desember 2013). Hal. 439
[27]Imam Fu’adi, Sejarah Peradaban Islam (Yogyakarta  Teras, 2011). Hal.69
[28] Abu Su'ud, Islamologi, vol. I (Jakarta: Rineka Cipta, 2003). Hal.66
[29] Ibid. lihat pula Najib Ubaidillah dan Happy Nur Afni R, "Peradilan Islam Pada Masa Dinasti Bani Umayyah."
[30] TM Hasbi Ash Shiddieqy, Peradilan Dan Hukum Acara Islam (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra). Hal.20
[31] Imam al-Syafi’i dengan nama lengkap Abu Abdullah Muhammad Bin Idris Bin Abbas Bin Utsman Bin Syafi’i Bin Said Bin Ubaid Bin Hasyim Bin Abdul Muthallib Bin Abdu Manaf, beliau lahir pada tahun 150H di Ghaza dan meninggal pada tahun 204 di Mesir. Lihat: Jum'ah. Hal.227
[32] Imam Abu Hanifah adalah Abu Hanifah an-Nu’man bin Tsabit Bin Zutha budak Taimullah bin Tsa’labah. Lahir pada tahun 70 H dan meninggal pada tahun 150H di Baghdad pada Usia 70 tahun. Lihat: ibid. hal.266
[33] Imam Malik wafat pada bulan Shafar 179 H di Madinah. Lihat: ibid. hal.361-362.
[34] Imam Ahmad bin Hambal adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal bin Asad Bin Idris Bin Abdullah Bin Hayyan Bin Abdullah Bin Anas Bin Auf Bin Qashit Bin Mazin Bin Syaiban Bin Dzuhal Bin Tsa’labah bin Ukabah bin Sha’b bin Ali Bin Bakr bin Wail Bin Qasith bin Hinbin bin Afsha bin Da’ma bin Jadillah bin Asad bin Rabiah bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan al-Syaibani al-Marwadi al-Baghdadi. Beliau lahir pada bulan Rabiul Awwal tahun 164H meninggal tanggal 12 Rabiul Awwal 241 H. lihat: ibid. Hal.427
[35] Imam al-Haramain al-Juwaini adalah ulama pertama yang membahas teori Maqashid al-syari’ah. Bukti itu dapat kita temukan dalam karya al-Burhan fi Ushul al-Fiqh. Dalam bab qiyas, al-Juwaini menjelaskan illal (alasan-alasan) dan ushul (dasar-dasar) yang merupakan embrio dari teori maslahat. Barangkali karena itu al-Juwaini disebut peletak dasar teori Maqashid al-Syari’ah. Lihat: "Maqashid Menurut Imam Al-Juwaini (Wafat Th 478 H)", https://www.suduthukum.com/2016/09/maqashid-menurut-imam-al-juwaini-wafat.html  (16 Februari 2018).
[36] Imam Al-Ghazali wafat pada 19 Desember 1111 dan dikebumikan di desa Thabran, kota Thus, Abul Faraj ibn al-Juuzi dalam kitab Ats-Tsabât 'indal Mamât memaparkan cerita dari Imam Ahmad, saudara kandung Imam Al-Ghazali. Suatu hari, persisnya Senin 14 Jumadil Akhir 505 H, saat terbit fajar, Imam Al-Ghazali mengambil wudhu lalu menunaikan shalat shubuh. Usai sembahyang, Al-Ghazali berkata, "Saya harus memakai kain kafan.” Lalu ia mengambil, mencium, dan meletakkan kain kafan tersebut di kedua matanya. Selanjutnya, Imam Al-Ghazali berucap, “Saya siap kembali ke hadirat-Mu dengan penuh ketaatan dan kepatuhan (sam‘an wa thâ’atan lid dukhûli ‘alal mulk).” Ia pun meluruskan kedua kakinya, menghadap arah kiblat, lalu kembali kepada Sang Kekasih untuk selama-lamanya.  Lihat:"Detik-Detik Wafatnya Imam Al-Ghazali", http://www.nu.or.id/post/read/70392/detik-detik-wafatnya-imam-al-ghazali  (16 Februari 2018).
[37] Jum'ah. Hal.35. Imam Abu Husain al Basri hidup pada masa kekuasaan dinasti Bani Buwaih dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
[38] Al-Jashash nama lengkapnya adalah Abu Bakar Ahmad Ibn Ali Al-Razi, yang terkenal dengan sebutan Al-Jashash. Lihat: Muhammad Husain Al Zahabi, Al-Tafsir Wa Al-Mufassiruun (Mesir: Daar Al Maktabah Al Harisah, 1976). Hal.485. AL-Jashash adalah seorang ahli tafsir dan ahli ushul fikih ternama yang terkenal dengan panggilan Al-Jashash (penjual kapur rumah). Ia disebut demikian, karena dalam mencari nafkah hidup ia bekerja sebagai pembuat dan penjual kapur rumah. Lihat: Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992), s.v. "Ensiklopedi Islam Indonesia." Hal.485.
[39] Jum'ah. Hal.36
[40] Lihat dalam tulisannya Rais Syuriyah PCINU Australia-New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School, Australia: Nadirsyah Hosen, "Mengenal Sejarah Penulisan Kitab Ushul Fiqih", http://www.nu.or.id/post/read/72418/mengenal-sejarah-penulisan-kitab-ushul-fiqih  (16 Februari 2018).
[41] Jum'ah. Hal.37
[42] Shiddieqy. Hal. 22-23.
[43] Madkur. Hal.46.
[44] Jum'ah. Hal. 24.
[45] Ibid.
[46] Madkur. Hal.46
[47] Munawir Sjadali, Islam Dan Tata Negara (Ajaran Sejarah Dan Pemikiran) (Jakarta: UI Press, 1993).
[48] Faadi Muhammad Ahmad syaisyi, An-Nizhaam Al-Qadha'i Al-Jadiid Fi Al-Mamlakah Al-Arabiyah Al-Suudiyah Baina Ushuul Wa Qawaaid Al-Qadhaa' Al-Islamiyah Wamuhawalaat Al-Tahdits (Riyadh: Maktabah al-Rusyd, 1435 Hijriyah). Hal.205
[49] Muhammad Jalal abdurrahman, Raf'u Ad Da'awa Amama Al-Qadha Al-Su'udi, vol. Cet.I (Jeddah: Dar Alu Ghalib, 2016). Hal.101
[50] Sugiri Permana ed, Belajar Ekonomi Syariah Dari Negeri Makkah Sebuah Perbandingan Saunesia (Saudi Indonesia) (Tangerang Selatan: Pustakapedia, 2017). 41-48.
[51] Ibid. hal. 49. Hal ini berdeda dengan di Indonesia, jika di Indonesia eksekusi perkara pidana adalah lemabaga Kejaksaan dan eksekusi perkara perdata adalah Pengadilan itu sendiri, sedangkan di arab Saudi ada lembaga khusus pelaksanaan putusan yaitu al-Mahkamah al-Tanfidziyah.
[52] Lihat:  "Peraturan Kerajaan Arab Saudi Nomor 21 Tanggal 20 Jumadil Ula 1421 H, Yang Berdasar Keputusan Majelis Muzara (Dewan Menteri) Nomor 115 Tanggal 14 Jumadil Ula 1421 H,"  (Arab Saudi 1421 H). Sejumlah 242 Pasal.
[53] Lihat: "Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung,"  (Indonesia: 2009).
[54] Lihat: "Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama,"  (Indonesia: 1989). Dan "Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama,"  (Indonesia: 2006). Serta "Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama,"  (Indonesia: 2009).
[55]Lihat:  "Surat Edaran Biro Peradilan Agama No.B/1/735 Tanggal 18 Februari 1958 Sebagai Pelaksana Pp No. 45 Tahun 1957 Tentang Pembentukan Peradilan Agama/ Mahkamah Syariah Di Luar Jawa Dan Madura,"  (Indonesia: 1975). Dalam huruf b surat Edaran tersebut di Jelaskan bahwa: “Untuk mendapatkan kesatuan hukum dalam memeriksa dan memutuskan perkara maka para hakim Pengadilan Agama/ Mahkamah Syariah dianjurkan agar mempergunakan sebagai pedoman kitab-kitab sebagai berikut: Al-Bajuri, Fathulmui’in, Syarqowi alat’ tahrir, Qolyubi/Mahalli, Fathul Wahab dengan Syarahnya, Tuhfah, Targhibul Musytaq, Qowanin syar’iyah lis sayyid bin Yahya, Qowanin syar’iyah lis sayyid Sadaqah Dachlan, Syamsuri fil Fara’idl, Bughyatul Musytarsyidin, Alfiqu Alaa Mandzahibil Arba’ah, Mughnil Muhtaj.
[56] "Undang-Undang Republik Indonesia  Nomor 1 Tahun 1974 Tentang  Perkawinan,"  (Indonesia: 1974).
[57] " Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,"  (Indonesia: 1975).
[58] Mahkamah Agung Republik Indonesaia Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Republik Indonesia, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (2010). KHES ini penggunaannya berdasarkan "Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008,"  (Indonesia: 2008).
[59] "Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 Tanggal 10 Juni 1991,"  (Indonesia: 1991). Dan "Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia  Nomor 154 Tahun 1991 Tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tanggal 10 Juni 1991,"  (Indonesia: 1991).
[60] "Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat,"  (Indonesia: 2011). Dan "Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2014 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat,"  (Indonesia).
[61] "Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf,"  (Indonesia: 2004). Dan lihat pula "Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik,"  (Indonesia: 1977).
[62] "Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah,"  (Indonesia: 2008).
[63] "Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak,"  (Indonesia: 2002).
[64] "Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga,"  (Indonesia: 2004).
[65] "Undang-Undang Republik Indonesia Nomor.19 Tahun 2008 Tentang Surat Berharga Syariah Negara,"  (Indonesia: 2008).
[66] Selain perundang-undangan yang mendukung penyelesain perkara dalam ranah kewenangan absolute Peradilan Agama, hakim juga dituntut memberikan rasa keadilan berdasarkan hukum yang hidup di masyarakat. Lihat Pasal 5 "Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman,"  (Indonesia: 2009).
[67] Lihat pasal 54 "Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama." Yang berbunyi “Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang ini”.



[69] Lihat penjelasan Pasal 49 "Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama."
[70] Ibid.
[71] Ibid.
[72] Ibid.
[73] Ibid.
[74] Ibid.
[75]Ibid.
[76] Lihat: A. Mukti Arto, "Kerangka Hukum Muamalah Bidang Ekonomi Syariah Studi Mengenai Prinsip-Prinsip Dasar Untuk Menyelesaikan Kasus-Kasus Di Pengadilan Agama, Bahan Diklat Ii Program Ppc Terpadu Angkatan Vii Peradilan Agama Seluruh Indonesia "  (Mega Mendung, Bogor Indonesia: Badan Litbang Diklat Kumdil MA-RI, 2012). Hal.17-18.
[77] pasal 128 ayat 3-4."Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh "  (Indonesia: 2006). Dan lihat pula: Mahkamah Agung RI Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama, Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Peradilan Agama, Buku Ii Edisi Revisi 2010, (2010).  hal.53-54.
[78] Pasal 49 huruf (b) Dan Penjelasannya dalam "Qanun Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syari’at Islam Mahkamah Syar’iayah Aceh "  (Aceh Indonesia: 2002).
[79] Pasal 49 huruf (c) Dan Penjelasannya dalam "Qanun Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syari’at Islam Di Mahkamah Syar’iayah Aceh "  (Aceh Indonesia: 2002).
[80] Lihat dalam Pasal 3 ayat 2 "Qanun Aceh No. 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat,"  (Aceh Indonesia: https://jdih.acehprov.go.id/qanun-aceh-no-6-tahun-2014-tentang-hukum-jinayat, 2014). Dan dalam tatacara pelaksanaan Hukum materiil ini diatur dalam hukum acara jinayat, lihat dalam: "Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2013 Tentang Hukum Acara "  (Aceh Indonesia: 2013).

Comments

Popular posts from this blog

HADITS-HADITS AHKAM TENTANG JUAL BELI (SALE AND PURCHASE)

SHUNDUQ HIFZI IDA’ (SAFE DEPOSIT BOX) BANK SYARI’AH

STUDI TENTANG PEMIKIRAN IMAM AL-SYAUKANI DALAM KITAB IRSYAD AL-FUHUL