TRADISI PENETAPAN HUKUM ISLAM
TRADISI PENETAPAN HUKUM ISLAM
(STUDI PENETAPAN HUKUM ISLAM PERIODE NABI MUHAMMAD SAW SAMPAI
PERIODE KONTEMPORER)
Oleh
Nur Moklis
A.
Pendahuluan
Pada
makalah ini akan mengkaji tentang tradisi penetapan hukum Islam dari awal
lahirnya Islam sampai saat ini. Menurut Ali Jum’ah mayoritas penulis tarikh
tasyri’ membagi Sejarah Hukum Islam dalam enam periodesasi, pertama pada
masa kenabian dan masa turunya wahyu, kedua masa khulafaur rasyidin, ketiga
masa akhir khulafaur Rasyidin sampai abad kedua hijriyah, keempat dari
tahun 101 H sampai tahun 310H, kelima dari pertengahan abad ke lima
hijriyah sampai jatuhnya bagdad tahun 656 Hijriyah, dan keenam dari
runtuhnya bagdad sampai sekarang.[1] Namun
demikian dalam kajian tentang tradisi penetapan hukum Islam, Pemakalah akan
menulis dari sudut yang berbeda, yaitu dipetakan dalam periodesasi pemerintahan
Islam. Hal ini akan memudahkan, karena sistem politik akan berpengaruh pada
sistim hukum serta penetapan sebuah hukum. Menurut Moh Mafmud MD bahwa
konfigurasi politik yang demokratis akan menghasilkan produk hukum yang
responsif/populistik dan konfigurasi politik yang otoriter akan melahirkan
produk hukum dengan karakter konservatif/ortodoks/elitis.[2]
Tradisi
adalah adat kebiasaan turun-temurun (dari nenek
moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat. Juga diartikan penilaian atau
anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan yang paling baik dan benar.[3]
Penetapan artinya proses, cara, perbuatan
menetapkan, penentuan. Penetapan hukum adalah tindakan
sepihak menentukan kaidah hukum konkret yang berlaku khusus.[4]
Adapun Hukum Islam adalah peraturan dan ketentuan yang berkenaan dengan
kehidupan berdasarkan Al-quran dan Hadis Nabi SAW atau hukum syara’.[5] adapun Hukum Syara’ menurut ulama Ushul fiqih adalah dokma syari’ yang meregulasi perbuatan
oranag-orang mukallaf baik secara
perintah atau diperintah memilih atau berupa ketetapan (taqrir).[6] Oleh karenya tradisi penetapan hukum Islam dapat diartikan kebiasaan penentuan
hukum berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist Nabi SAW atau berdasarkan metode ijtihad[7]
yang tidak menyimpang dari dua sumber utama dimaksud.
Pada
makalah ini akan berusaha menjawab bagaimana tradisi Penetapan Hukum Islam dari
masa Nabi SAW, periode khulafaur al-Rasyidin, pemerintahan Dinasti Umayyah,
Pemerintahan Dinasti Abbasyah, Pemerintahan Turky ottoman, dan pemerintahan
pasca runtuhnya Turki Ottoman dengan mengambil sample pemerintahan kerjaan Arab
suadi (sample pemerintahan berazaskan Islam) dan Pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (sample pemerintah mayoritas penduduk muslim dengan dasar
Negara Pancasila).
B.
Tradisi Penetapan Hukum Islam Pada Masa Nabi Muhammad SAW
(622-632M)
1.
Sistem Pemerintahan
Nabi
SAW memerintah Negara Madinah pada tahun 622-632 M. Menurut M. Basir Syam sistem
pemerintahan periode ini adalah sistem republik. Dalam penelitiannya
disebutkan:
“Bahwa
negara yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW bukan monarki absolut sebagaimana
yang berkembang di dunia sepanjang sejarah manusia, melainkan negara republik.
Hal ini terbukti bahwa selain memimpin warga negara yang heterogen agama dan
etnis, beliau menjalankan pemerintahan yang bersifat demokratis dengan
indikator musyawarah atau konsultasi yang terbuka, persamaan kedudukan warga
negara, keadilan sosial yang merata tanpa diskriminasi, penghargaan terhadap
kemerdekaan (HAM) dalam beragama, hidup, berpikir, hak milik dan jaminan
sosial. Yang sangat menarik bahwa kekuasaan atau kepemimpinan harus
dipertanggung jawabkan secara publik selain kepada Allah SWT”.[8]
2.
Sumber Hukum
Sumber
hukum pada masa itu, menurut Musthafa Said al-Khin adalah al-Qur’an, hadis Nabi
SAW dan Ijtihad Nabi SAW.[9]
Lalu apakah pada masa Nabi SAW yang menjadi sumber Hukum Islam?, menurut
al-Khindi Ijma’ bukan Sumber Hukum Islam pada waktu itu karena setiap peristiwa
hukum membutuhkan penetapan hukum langsung merujuk pada sumber utama yaitu
al-Qur’an dan atau bertanya langsung pada nabi Muhammad SAW.[10]
Menurut
al-Khindi pada masa Nabi SAW, beliau melakukan ijtihad dan juga mengijinkan
para sahabatnya untuk berijtihat. Alkhindi merujuk pada surat Ali Imron ayat 159
yang menyatakan “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu”.
Al-Khindi berpendapat bahwa terma musyawarah itu hanya berlaku pada sesuatu
yang didalamnya diputuskan melalui ijtihad, bukan sesuatu yang diputuskan
dengan wahyu.[11]
Pendapat
al-khindi bisa dibenarkan jika kita melihat peristiwa sahabat Mu’adz sebelum di
utus oleh Nabi ke Yaman. Ketika itu Nabi SAW bertanya pada Mu’adz tentang
sumber hukum yang akan dijadikan rujukan untuk menyelesaikan masalah di Negara
Yaman. Mu’adz menjawab bahwa dia akan mengambil rujukan dari Al-Qur’an, jika
tidak ada dalam al-Qur’an maka akan merujuk Hadis Nabi SAW dan jika dalam
Al-Qur’an dan dalam Hadist Nabi tidak ada maka dia akan berijtihad menggunakan
akal pikirannya. Nabi merasa cukup puas dengan jawaban Mu’adz.[12]
3.
Pemegang kekuasaan Kehakiman
Pada
masa ini pemegang kekuasaan kehakiman di pegang langsung oleh Nabi Muhammad
SAW, sebagai mana dalam al-Qur’an surat surah
An-Nisa' [4] ayat 61, 65, dan 105, surah As-Syura' [42] ayat 1, dan surah
An-Nur ayat [24] 51. Berikut ini penulis kutibkan sebagian dari ayat dimaksud:
#sÎ)ur
@Ï%
öNçlm;
(#öqs9$yès?
4n<Î)
!$tB
tAtRr&
ª!$#
n<Î)ur
ÉAqߧ9$#
|M÷r&u
tûüÉ)Ïÿ»uZßJø9$#
tbrÝÁt
Ztã
#Yrßß¹
ÇÏÊÈ
Artinya: apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah kamu
(tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul",
niscaya kamu Lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan
sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu.
xsù
y7În/uur
w
cqãYÏB÷sã
4Ó®Lym
x8qßJÅj3ysã
$yJÏù
tyfx©
óOßgoY÷t/
§NèO
w
(#rßÅgs
þÎû
öNÎhÅ¡àÿRr&
%[`tym
$£JÏiB
|MøÒs%
(#qßJÏk=|¡çur
$VJÎ=ó¡n@
ÇÏÎÈ
Artinya:Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak
beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan
terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.
Selain Nabi SAW, yang menjadi Hakim pada masa itu adalah
sahabat yang dipercaya nabi seperti sahabat mu’adz ketika beliau di utus Nabi SAW
Ke Yaman. Jadi pemegang kekuasaan kehakiman pada periode ini adalah Nabi SAW
dan Sahabat yang telah di tunjuk oleh Nabi SAW.
4.
Perangkat Hukum
Perangkat
hukum adalah hal yang wajib ada dalam sebuah penegakkan hukum. Hukum tidak akan
bisa berjalan efektif jika tidak ada instrument-instrument yang mendukungnya.
Menurut Friedmen setidaknya ada tiga hal pokok yang menjadikan hukum berjalan
efektif, yaitu struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum.[13] Dalam laporan sejaran pada waktu itu belum
terdapat struktur hukum yang memadai namun subtansi hukum telah ada, yaitu
al-qur’an dan hadist Nabi SAW. Disini peran budaya hukum yang sangat kuat dalam
pendukung terlaksananya efektifiats hukum. Friedmen membedakan budaya hukum
dalam dua bagian yaitu budaya internal (internal legal culture) dan budaya ekternal (ekternal legal culture).[14]
Dari budaya internal pada masa itu belum ada struktur aparat penegak hukum
seperti polisi, kejaksaan dan lembaga peradilan, namun dalan sisi kehidupan
masa Nabi SAW sangat masyhur dengan sabahat-shabat beliau yang tsiqoh
(terpercaya). Budaya hukum eksternal inilah yang menjadilan hukum berjalan
efektif di masyarakat. Apabila ada pelanggaran hukum baik dalam hukum privat
maupun hukum publik, masyarakat memiliki control sosial yang baik.
Jadi
pada periode ini perangkat yang mampu menjalankan hukum secara efektif adalah
pertama, keberadaan Nabi SAW sebagai tokoh yang sangat dihormati sebagai hakim
adil, sahabat-sahabat Nabi SAW yang ditunjuk beliau memiliki tingkat
kepercayaan tinggi atau legitimasi yang kuat dari masyarakat. Kedua substansi
hukum yang memiliki kebenaran tidak perlu diuji lagi (al-Qur’an dan hadist).
Ketiga adalah budaya hukum ekternal masyarakat kota madinah.
C.
Tradisi Penetapan Hukum Islam Pada Masa Khulafaurrasyidin
(632-661M)
Pemerintahan
khulafaur Rasyidin adalah pemerintahan pada periode Abu Bakar al-Shidiq selama
2 tahun (11-13 H/632-634 M), kemudian
dilanjutkan periode Umar Bin Kattab selama 10 tahun (13-23 H/634-644 M)
selanjutnya pemerintahan Utsman bin Affan selama 12 tahun (23-35 H/644-656 M)
dan pemerintahan Ali bin Abi Tholib selama 5 tahun (656-661 M). Jadi masa
pemerintahan khulafaur Rasyidin berjalan dari tahun 632-661 M atau selama 29
tahun.
1.
Sistem Pemerintahan
Menurut
Taqiyuddin Ibnu Taimiyah dalam karyanya yang berjudul “As-Syiyasah As-Syar'iyah
fi Islah Ar-Ra'iyah”, sistem pemerintahan Islam yang pada masa Khulafaur
Rasyidin bersifat demokrasi.[15]
Sebagai fakta sejarah bahwa setiap kebijakan yang diambil oleh para khalifah
selalu dimusyawarahkan pada shahabat-shabat nabi yang lain dalam lingkar
kekuasaannya. Sebagi contoh yang sangat poluler adalah ketika Umar Bin Khattab
tidak memberikan Zakat pada Muallaf ketika Negara yang dipimpinnya telah
menjelma menjadi kekuatan hebat di timur Tengah.
Disisi
lain sistim demokrasi adalah sitim politik yang didasarkan oleh kekuatan
rakyat. Disini dapat diartikan kekuasaan dari rakyat oleh rakyat dan untuk
rakyat,[16]
Negara demokrasi setidaknya memiliki beberapa kreteria yang antara lain adalah
adanya
keterlibatan warga negara (rakyat) dalam pengambilan keputusan politik, baik langsung
maupun tidak langsung (perwakilan), adanya pengakuan, penghargaan, dan
perlindungan terhadap hak-hak asasi rakyat (warga negara), adanya persamaan hak bagi seluruh warga negara dalam segala
bidang, adanya lembaga peradilan dan kekuasaan kehakiman yang independen
sebagai alat penegakan hukum, Adanya kebebasan dan kemerdekaan bagi
seluruh warga Negara, adanya pers (media massa) yang bebas untuk menyampaikan
informasi dan mengontrol perilaku dan kebijakan pemerintah, adanya pengakuan
terhadap perbedaan keragamaan (suku, agama, golongan, dan sebagainya). Oleh
karenanya cukup layak jika sitem pemerintahan pada masa itu disebut
pemerintahan yang menganut sistim demokrasi.
2.
Sumber Hukum
Sumber hukum pada masa khulafaurr Rasyidin adalah Al-Qur’an, Hadis,
ijma’, ijtihad dan ra’yu yang kemudian menghasilkan Qiyas.[17]
Ijma’ adalah salah satu hasil Ijtihad.
Pada waktu ijtu ijma’ sangat mudah terjadi karena shabat masih berkumpul di
Madinah belum berpencar ke berbagai tempat.[18] Contoh
Ijtihad Shahabat adalah tentang instruksi, Umar bin Khaththab r.a. kepada Abu
Musa al- Asy’ari untuk berijtihad dengan menggunakan qiyas. Beliau berkata:
“Gunakanlah pemahaman secara mendalam menyangkut masalah yang tidak terdapat
nasnya dalam al-Qur’an dan hadits Nabi SAW. Cari dan upayakanlah mengenal
kemiripan dan keserupaannya, lalu analogikan (qiyaskan) semua perkara yang
semacam itu.[19]
Menurut Tri Ermayani bahwa Umar ibn al-Khaththab, lebih condong
kepada maslahat di samping juga mempergunakan qiyas. Sedangkan Ali ibn Abi
Thalib dan Abdullah ibn Mas’ud lebih banyak mempergunakan qiyas walaupun
kadang-kadang sering juga memakai maslahat ammah.[20]
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa ijtihad yang digunakan para shahabat
Nabi Pada masa itu adalah menggunakan metode Ijma’ metode qiyas dan metode
maslahah Mursalah.
3.
Pemegang kekuasaan Kehakiman
Dalam sistem pemerintahan khalifah Abu Bakar al-shidik beliau
menunjuk Umar bin Khatab untuk menyelesaikan masalah masyarakat madinah, namun
selama 2 tahun pemerintahannya tidak ada perkara yang masuk.[21] Lembaga al-Qadla’ pada
masa ini belum dipisahkan dengan lembaga pemerintahan (eksekutif). Pada tingkat
pusat langsung dipegang oleh khalifah sendiri, sedangkan pada tingkat daerah
dipegang oleh gubernur (kepala daerah), belum diadakan pejabat yang khusus
untuk mengurus urusan peradilan secara tersendiri. Jadi kepala Negara pada masa
Abu Bakar bertidak sebagai orang yang memutus suatu perkara (Qadli) dan
sebagai orang yang melaksanakan putusan (munafidz) atau
melaksanakan eksekusi.[22]
Pada masa khalifah Umar bin Khatab, kekuasaan
pemerintahan Islam sudah bertambah luas sehingga pekerjaan yang harus
dilaksanakan oleh beliau bertambah banyak dan sulit bagi khalifah Umar untuk
menyelesaikan sendiri tugas-tugas tersebut. kemudian khalifah Umar memisahkan
tugas-tugas tersebut ke dalam berbagai bidang, termasuk dalam bidang peradilan.
Tidak saja di kota Madinah sebagai pusat pemerintahan, bahkan di kota-kota
tempat kediaman para gubernur, khalifah mengangkat pejabat peradilan (Hakim/ Qhodi)
untuk menyelesaikan perkara-perkara yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Di
antara hakim (qadli) yang diangkat khalifah Umar adalah Abu Darda’ di
Madinah, Syuraih di Bashrah, dan Abu Musa Al-Asy’ary di Kufah dan Iraq.[23]
Khalifah Umar bin Khatab ketika mengangkat
pejabat-pejabat qadli, beliau membatasi mereka dalam penyelesaian sengket
perdata, tetapi perkara jinayah (pidana) yang menyangkut hukum qishas
atau had-had maka tetap menjadi wewenang khalifah dan penguasa daerah.[24]
Pada masa Usman
bin Affan, system peradilan Islam yang telah dibangun oleh khalifah Umar bin
Khatab terus disempurnakan. Di antara usaha-usaha yang dilaksanakan oleh Usman
dalam bidang peradilan antara lain: a. Membangun gedung peradilan baik di
kota Madinah maupun di provinsi, yang sebelumnya pelaksanaan persidangan
dilaksanakan di masjid. b. Menyempurnakan administrasi peradilan dan
mengangkat pejabat-pejabat yang mengurusi administrasi peradilan.
c. Member gaji kepada qadli dan stafnya yang diambilkan dari
Baitul Mal. d. Mengangkat Naib Qadli, yaitu semacam panitera yang membantu
tugas-tugas Qadhi.[25]
Pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib tidak banyak
perubahan yang dilakukan dalam bidang peradilan, mungkin ini disebabkan karena
situasi Negara pada waktu itu tidak stabil karena ada pihak-pihak yang tidak
mengakui kekhalifahannya.
4.
Perangkat Hukum
Pada periode ini perangkat hukum telah ada meskipun belum
sepenuhnya terpisah dari lembaga eksekutif. Lembaga peradilan telah berdiri
sendiri, yang didalamnya terdapat hakim dan panitera dan staf administrasi
lainnya. Disini terlihat struktur hukum telah mulai tersusun. Adapun substansi
hukum merujuk pada al-Qur’an, Hadist dan Ijtihad para Qadhi. Selain itu pada
pemerintahana Umar Bin Khattab telah melembagakan Wilayatul Hisbah sebagai
lembaga Resmi Negara dengan tugas amar ma’ruf nahi mungkar.[26]
D.
Tradisi Penetapan Hukum Islam Pada Masa Dinasty Umayyah (661-750M)
dengan Ibukota Damaskus
1.
Sistem Pemerintahan
Sistim
pemerintahan dinasti Umayyah adalah monarki atau kerajaan. Disini tidak ada
suksesi kepemimpinan untuk menjadi pemimpin Negara (khalifah). Kerajaan yang
didirikan oleh Muawiyah bin Abu Sofyan ini dipimpin berdasarkan garis
keturunan. Dinasti ini memimpin peradaban islam kurang dari satu abad namun
perluasan wilayah yang dicapai sanagat luas.[27]
2.
Sumber Hukum
Sumber
Hukum pada masa ini adalah al-Qur’an, Hadis Nabi SAW dan Ijtihad para Qadhi.
Setiap Qadhi yang diangkat oleh kholifah adalah Mujtahid, mereka berijtihad
untuk memutuskan perkara yang sedang di hadapi, pada periode ini Qadhi memiliki
independensi, setelah para Qadhi mengambil keputusan maka yang menjadi eksekutor dalam pelaksanaan
putusan adalah dibawah perintah Kholifah.[28]
3.
Pemegang kekuasaan Kehakiman
Pada
Masa ini pemegang kekuasan kehakiman adalah para Qadhi yang diangkat dan
diberhentikan oleh Raja. Pada masa ini ada tiga jenis peradilan yang pertama
adalah peradilan al-Qadha, peradilan ini memiliki konpetensi apsolute di bidang
perdata termasuk juga ahwal al-syakhsiyah dan bidang pidana (jinayat).
Peradilan al-Hisbah, kompetensi apsolutnya meliputi hukum perdagangan.
Peradilan al-Madzalim, kompetensi apsolut peradilan ini adalah bidang tindak
pidana korupsi.[29]
4.
Perangkat Hukum
Pada
masa ini, perangkat hukum yang tersedia sudah cukup memadai, sisitim politik
yang tersetruktur turut memodernisasi lembaga peradilan pada masa ini. Struktur
hukum sudah mulai tertata, ada Qadhi, panitera, dan staf administrasi
pendukung. Adapun substansi hukum merujuk pada al-Qur’an, Hadis dan Ijtihad
para Qadhi.
Peradilan
pada masa dinasti Umayah mempunyai dua ciri khas yaitu; pertama: Hakim
memutuskan perkara berdasarkan hasil ijtihadnya sendiri, hakim pada umumnya
adalah seorang mujtahid. Sehingga tidak ada qodhi’ yang memegangi suatu
pendapat tertentu, tetapi ia memutus perkara yang tidak ada ketentuan nashnya
dari Al Qur’an atau sunah Nabi SAW. atau ijma’ dengan pendapat dan ijtihadnya
sendiri, dan apabila ia menemukan kesulitan dalam menetukan hukumnya, maka ia
meminta bantuan ahli-ahli fiqh yng berada di kota itu. Dan banyak di antara
mereka berkonsultasi dengan pemerintah atau penguasa dalam mencari suatu
ketentuan pendapat. Kedua; Lembaga peradilan pada masa itu tidak dipengaruhi
oleh penguasa. Hakim-hakim pada masa itu mempunyi hak otonom yang sempurna.
Oleh karena itu qodhi’-qodhi’ pada masa itu keputusan-keputusan hukumnya tidak
dipengaruhi oleh kecenderungan-kecenderungan pribadi, sehingga keputusan mereka
itu benar-benar berwibawa, meskipun terhadap para penguasa itu sendiri. Putusan
mereka tidak saja berlaku atas rakyat biasa, bahkan juga berlaku atas penguasa
sendiri. Dari sudut lain, khalifah sendiri selalu mengawasi keputusan yang
mereka keluarkan, di samping adanya pemecatan bagi siapa yang berani melakukan
penyelewengan.[30]
E.
Tradisi Penetapan Hukum Islam Pada Masa Dinasty Abbasiyah (750-1258
M)
Pada masa dinasti Abbasiyah, peradaban telah semakin meluas,
dan berbagai kasus telah terjadi akibat
dari semakin berkembangnya ilmu pengetahuan, perekonomian dan kemasyarakatan,
maka membawa akibat pula saling berselisih dan berbeda pendapat antara
ahli-ahli fiqh, dan timbullah mazhab-mazhab sehingga timbul pula taqlid, yang
hal ini mempengaruhi juga terhadap keputusan-keputusan qodhi’ di antara perubahan-perubahan
yang terjadi pada masa ini adalah
1.
Sistem Pemerintahan
Sistim
pemerintahan pada saat ini telah tertata dengan baik, pemerintahan ini menganut
sistim monarki yang dipimpin seorang bergelar Kholifah. Kholifah sebagai
pemegang kekuasaan eksekutif dan Qadhi Qudhot sebagai pemegang kekuasaan
Yudikatif dipusat kerajaan. Untuk urusan keamanan dalam negeri menjadi
tanggungjawab kepolisian kerajaan.
2.
Sumber Hukum
Sumber
hukum pada pmasa ini adalah al-Qur’an, Hadist, dan Ijtihad. Pada masa ini Hakim
tidak memiliki kebebasan untuk berijtihad dalam memutus perkara yang dihadapkan
padanya. Para hakim memutus perkara berdasarkan ijtihad dalam koridor mazhab
yang dianut oleh pemerintah. Pada masa ini lahir ilmuan-ilmuan terkenal antara
lain Imam al-Syafi’,[31] Imam
Abu Hanifah,[32]
Imam Malik,[33]
Imam Ahmad Bin Hambal.[34] Pada masa ini telah lahir karya-karya besar dalam
ilmu ushul fiqih dengan metode mutakkallimin, antara lain al-Burhan
karya Imam Haramain Abdul malik Bin Abdullah al-Juwaini (w.478),[35] al-Mustashfa
karya imam al-Ghazali[36]
dan al-Mu’tamad karya Abu Husain al-Basri (w.436H).[37]
Pada
periode pemerintahan ini juga lahir ilmuan hukum islam dengan metode fuqoha
antara lain al-Jashash dengan karyannya al-Ushul (w.370),[38]
Abu Zaid bin Umar ad-Dabusi dengan karyannya Taqwim al-Adillah (w.340H),[39] Al-Sarkhasi (w. 423 H) dari mazhab
Hanafi menulis kitab dengan judu al-Ushul.[40]
Pada masa ini juga lahir karya-karya teori
hukum islam (ushul fiqih) dengan metode penggabungan, antara lainl; kitab Badi’
an-Nizam al-Jami’baina Kitab al-Bazdawi wa al-Ihkam karya Muzhafaruddin
Ahmad bin Ali as-Sa’ati al-Hanafi (w.649H), Syarah at-Taudhih karya sa’duddin
at-Taftazani(792H).[41]
3.
Pemegang kekuasaan Kehakiman
Menurut TM Hasbi Ash Shiddieqy terdapat tiga ciri utama penegakkan
hukum dan keadilan yang terjadi pada dinasti Abbasyiah, pertama: Lemahnya ruh
ijtihad hakim dalam menetapkan hukum, lantaran telah berkembang mazhab empat.
Karenanya, hakim diminta memutuskan perkara sesuai dengan mazhab yang dianut
oleh penguasa, atau oleh masyarakat setempat. Di Iraq hakim memutuskan perkara
dengan mazhab Abu Hanifah, di Syam dan Mghribi hakim memutusakan perkara dengan
mazhab Malik, dan di Mesir dengan mazhab Syafi’i. Dan apabila dua yang
berperkara yang bukan dari pengikut mazhab yang termasyhur di negeri itu, maka
ditunjuklah seorang qodhi’ yang akan memutus perkara itu sesuai dengan mazhab
yang diikuti kedua belah pihak yang berperkara. Kedua: Para hakim memutuskan
perkara di bawah pengaruh kekuasaan pemerintah. Dalam masa ini ada sebagian
khalifah Abbasiyah yang ikut campur dalam penanganan perkara oleh qodhi’,
sehingga hal ini menyebabkan menjauhnya fuqoha’ dari jabatan ini (hakim).
Ketiga: Lahirnya istilah atau kedudukan Qodhi’ Al Qudhot, lembaga tersebut
berhak mengangkat dan melakukan pengawasan terhadap tugas-tugas hakim,
kekuasaan peradilan semakin meluas
meliputi kekuasaan kepolisian, kepegawaian, baitul maal, dan mata uang.
Qodhi’ qudhot ini berkedudukan di ibukota negara. Dialah yang mengangkat
hakim-hakim di daerah. Qodhi’ qudhot yang pertama ialah Al Qodhi’ Abu Yusuf
Ya’qub Ibn Ibrahim, penyusun kitab Al Kharaj. Hal ini terjadi di masa Harun Al
Rasyid, yang memang sangat memuliakan Abu Yusuf dan memperhatikan keadaan
hakim-hakim.[42]
4.
Perangkat Hukum
Struktur
Hukum Hukum telah tertata secara rapi, di pemerintah Pusat terdapat lembaga
Yudikatif bernama Qodhi Qudhot yang berwenang menangadili dalam tingkat kasasi,
sedangkan di daerah-daerah terdapat Qadhi yang memiliki yuridiksi relative sesuai
tempatnya masing-masing. Untuk menjamin keamanan sosial dan komunal telah ada
lembaga kepolisian. Adapun dalam ranah substansi hukum, kerajaan dinasti
Abbasiyah menganut madzhab, sehingga penyelesaian perkara pada koridor madzhab
kerajaan.
F.
Tradisi Penetapan Hukum Islam Pada Masa Kesultanan Utsmaniyah
(1299-1923M)
1.
Sistem Pemerintahan
Pemerintahan
Turki Ustmani berbentuk kerajaan (monarki) dengan dipimpin seorang sultan atau
juga disebut kholifah. Sultan di bantu dua jawatan yaitu syaikhul islam yang mengurusi
permasalahan keagamaan dan syaikhul adam yang mengatur muamalah lainnya.
Pemerintah menjamin independensi lembaga yudikatif secara penuh. Negara
memberikan kebebasan bagi setiap warga Negara untuk memperoleh keadilan
berdasarkan aturan hukum islam, atau aturan hukum yang dia anut bagi
non-muslim.
2.
Sumber Hukum
Sumber
hukum pada masa pemerintahan Turqi ustmani selain al-Qur’an Hadist, ijtihad,
juga mengadopsi sumber hukum yang lain, seperti hukum adat, hukum berdasarkan
kepercayaan golongan agama tertentu dan hukum negara asing.[43]
Pada
Masa kesultanan Ustmaniyah telah dibentuk tim untuk melakukan kodifikasi
hukum-hukum muamalah yang di pimpin oleh menteri kehakiman dan dianggotai
sejumlah ulama dalam madzhab Hanafi, namun demikian pengambilan hukum tidak
hanya merujuk madzhab hanafi saja tetapi juga merujuk pada beberapa madzhab
lainnya. Tim ini bekerja pada tahun 1285H/1869M dan selesai pada tahun
1239H/1876M.[44]
Kompilasi Hukum ini dinamai Majallah al-Ahkam al-Adillah terdiri 1.851
Pasal yang diberlakukan sebagai hukum positif kesultanan Utsmaniyah pada
tanggal 26 Syakban 1239H.[45]
3.
Pemegang kekuasaan Kehakiman
Pada masa pemerintahan Usmaniyah, terjadi keterbukaan di bidang
hukum dan hal ini membawa juga kepada hal pengangkatan hakim-hakim dan
kekuasaan peradilan, di samping membiarkan kekuasaan praktis lainnya berada
pada wewenang raja-raja. Makna tasamuh (toleransi) pun berkembang lebih jauh di
bidang agama terhadap golongan zimmi yang melampaui apa yang digariskan
fuqoha’, sejauh mereka tunduk kepada kekuasaan peradilan di dalam daulat
Islamiyah, maka daulat Usmaniyah telah memperkenankan berdirinya peradilan
untuk golongan-golongan agama di luar Islam. Di masa Mesir diperintah oleh
Khadwi Taufiq, Mesir telah mencapai kesempurnaannya di bidang kekuasaan
peradilan dan wewenangnya, dan undang-undang yang wajib diterapkan bukannya
fiqh Islam secara keseluruhan sehingga di Mesir ada lima peradilan yang
hukum-hukumnya diambil dari berbagai sumber yang berbeda-beda.
Peradilan-peradilan itu adalah sebagai berikut: pertama; Peradilan syar’i,
inilah peradilan yang tertua dan sumber hukumnya adalah fiqh Islami. Kedua; Peradilan
campuran, yang didirikn pada tahun 1875 dan sumber hukumnya adalah
undang-undang asing. Ketiga; Peradilan Ahli (adat), didirikan pada tahun 1883,
dan sumber hukumnya adalah undang-undang Prancis. Keempat; Peradilan Milly
(peradilan agama-agama di luar Islam), sumber hukumnya adalah agama-agama
golongan di luar Islam. Kelima; Peradilan Qunshuliy (peradilan negara-negara
asing), di mana pengadilan pengadilan dari peradilan Qunshuliy ini mengadili
berdasarkan undang-undang negara masing-masing.[46]
Atau lebih singkatnya dpat diklasifikasi kedalam 3 tiga sistem
pengadilan: satu untuk Muslim, satu untuk non-Muslim yang melibatkan pejabat
Yahudi dan Kristen yang menguasai komunitas agamanya masing-masing, dan
"pengadilan dagang”.
4.
Perangkat Hukum
Adapun
pada masa ini struktur hukum, substansi hukum telah ada secara baik. Aparat
peradilan dan kepolisian sudah terstruktur. Aturan hukum Islam dan aturan hukum
lainnya sudah tersusun dengan baik. Sistem hukum Dinasti Utsmaniyah mengakui hukum keagamaan atas rakyatnya. Pada saat yang
sama, Qanun, sistem hukum sekuler, diterapkan bersamaan
dengan hukum keagamaan atau Syariah. Dinasti
Utsmaniyah selalu disusun dengan sistem yurisprudensi lokal.
Urusan hukum di Kesultanan Utsmaniyah adalah bagian dari skema yang lebih besar
untuk menyeimbangkan kewenangan pusat dan daerah.
Semenjak runtuhkanya kekhalifahan Turki
Ustmani, tradisi penetapan hukum Islam menjadi otoritas masing-masing Negara
Bangsa, dengan tertumpu pada masing-masing sistim pemerintahan.
G.
Tradisi Penetapan Hukum Islam Pasca Pembubaran Kesultanan
Ustmaniyah (3 Maret 1924 M sampai
sekarang)
Pasca
runtuhnya kesultanan Turki, wilayahnya yang luas terbagi dalam sejumlah Negara
dengan konstitusi masing-masing dan sistim peradilannya sendiri-sendiri,
seperti Iran, Irak, Kwait, Yordania, Libia, Mesir, Suriah, Oman, Tunisia dan
lain-lainnya. Untuk selanjutnya Penulis mengambil 2 contoh tradisi penetapan
hukum Islam pada Negara Islam/ Negara berpenduduk mayoritas Islam yang memiliki
pengaruh penting dan peran strategis dalam percaturan politik international. Contoh
pertama adalah Kerajaan Arab Saudi yang mewakili sample Negara berdasarkan
hukum Islam dan Negara kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila
sebagai contoh Negara mayoritas Penduduk Muslim yang tidak berdasarkan Hukum
Islam.
1.
Kerajaan Saudi Arabia
Kerajaan
Arab Saudi adalah pemerintahan dengan sisitim monarki, yang dipimpin oleh
seorang Raja, sebagai kepala Negara dan kepala pemerintahan. Raja dipilih oleh
dan dari keluarga besar Saudi.[47]
Sumber
hukum di pemerintahan Kerajaan Arab Saudi adalah Al-Qu’an, Hadist dan Aturan
Perundang-Undangan yang bersumber dari dua sumber utama tersebut. Adapun Peradilan
Arab Saudi memiliki 3 tingkatan, peradilan tingkat pertama Mahakim umur
al-Musta’jalah, peradilan tingkat banding disebut al-Mahakim al-Kubra,
dan peradilan tingkat kasasi disebut Hay’ah al-Muraqabah al-Qadhoiyah.[48]
Adapun peradilan tingkat pertama (Mahkamah Darajat al-Ula) berdasarkan
kompetensi absolute terbagi dalam 5 peradilan yaitu al-Mahkamah al-Aamah
(peradilan umum), al-Mahakim al-Jazaiyah (peradilan pidana), al-Mahakim
al-Ahwal al-Syakhsiyah (peradilan Hukum keluarga), Al-Mahakim al-Tijariyah
(peradilan niaga) dan al-Mahakim al-Ummaliyah (peradilan perburuhan).[49]
Selain
sistim peradilan diatas juga terdapat peradilan yang disebut Diwan al-Mazhalim
(seperti Pengadilan Tata Usaha Negara di Indonesia), peradilan ini memiliki
tiga tingkatan, Pertama: al-Mahkamah al-Idariyah (Tingkat Kasasi),
kedua: al-Mahkamah al-Isti’naf al-Idaariyah (Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara) dan ketiga: Diwan al-Mazhalim (Pengadilan Tata Usaha
Negara).[50]
Adapun
yang menjalankan putusan peradilan adalah lembaga yang disebut al-Mahkamah
al-Tanfidiyah (lembaga pelaksana putusan). Lembaga ini berada dibawah al-Mahkamah
al-Aamah. Adapun kewenangannya dimuat secara rinci dalam surat keputusan
Raja nomor: M/53 Tanggal 13/8/1433 H Bab: I tentang kewenangan lembaga Tanfidz.[51]
Selain itu juga ada lembaga Tahkim (Alternative Despute Resolution),
lembaga Tahkim adalah Non-litigasi yang di atur dalam Keputusan Raja
Nomor M/34 Tanggal 24/5/1433 H.
Dalam
hal kewenangan (kompetensi) mengadili terdiri dari 4 kewenangan yang meliputi:
Pertama: al-Ikhtishas al-Mahally (terkait wilayah territorial), kedua: al-ikhtishas
al-Naw’iy (terkait kewenangan jenis perkara), ketiga: al-Ikhtishas
al-Zamany (kompetensi terkait dengan waktu), keempat: al-Ikhtishas
al-Duwaly (kewenangan bersifat international).[52]
2.
Negara Kesatuan Republik Indonesia
Sistim
pemerintahan Indonesia adalah Negara Kesatuan berbentuk republik dan Pancasila
Dasar Negara. Ada pemisahan dan bembagian kekuasaan antara eksekutif yang di
pimpin presiden, Yudikatif yang dijalankan Mahkamah Agung[53]
dan peradilan dibawahnya dan Mahkamah Konstitusi, serta Legislatif dalam hal
ini kekuasannya ada pada Dewan Perwakilan Rakyat.
Tradisi
penetapan Hukum Islam di Indonesia dilaksanakan oleh Peradilan Agama.[54] Peradilan
Agama berada di bawah Mahkamah agung Republik Indonesia. Selain peradilan Agama
lembaga peradilan lain yang ada di bawah Mahkamah Agung RI adalah Peradilan
Umum, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Militer. Selain yang sudah
disebutkan diatas di Indonesia juga Terdapat Pengadilan Pajak.
Sumber
Hukum Peradilan Agama dibagi dalam dua kategori, pertama sumber hukum materiil
dan sumber hukum formil. Sumber hukum Materiil adalah Al-Qur’an, Hadits,
Kitab-kitab Fikih,[55]
aturan Perundang-undangan seperti UU Perkawinan,[56]
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975,[57]
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah,[58]
Kompilasi Hukum Islam,[59]
UU Zakat,[60]
UU Wakaf,[61]
UU Perbangkan Syariah,[62]
UU Perlindungan Anak,[63] UU
Penghapusan KDRT,[64] UU
Tentang Surat Berharga Syariah Negara (Sukuk),[65]
Fatwa DSN MUI dan lainnya.[66]
Adapun sumber hukum formilnya adalah sama dengan Peradilan Umum kecuali yang
telah diatur khusus dalam UU Peradilan Agama.[67]
H.
Peradilan Agama atau Mahkamah Syariah satu-satunya Simbol
Penegakkan Tradisi Hukum Islam di Indonesia.
Mungkin
pembaca bertanya mengapa demikian? Atau ungkapan tersebut terkesan agak lebay.
Jawabnya sederhana saja, karena tidak ada lembaga lain di NKRI yang menjalan
tradisi hukum Islam kecuali Peradilan Agama. Pengadilan Agama memiliki
kompetensi absolute sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama yang telah di ubah dengan Undang-Undang-Undang Nomor.3 tahun
2006 dan diubah dengan Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009 tentang Peradilan
Agama. Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam
di bidang:. Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf, Zakat, Infaq,
Shadaqah; dan Ekonomi Syari'ah.[68]
Pada
penjelasan pasal 49 Undang-Undang nomor 3 tahun 2006
diatas yang dimaksud dengan "perkawinan" adalah hal-hal yang diatur
dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang
dilakukan menurut syari'ah, antara lain:
1.
Izin
beristri lebih dari seorang;
2.
Izin
melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua puluh
satu) tahun, dalam hal orang tua wali, atau keluarga dalam garis lurus ada
perbedaan pendapat;
3.
Dispensasi
kawin;
4.
Pencegahan
perkawinan;
5.
Penolakan
perkawinan oleh pegawai pencatat nikah;
6.
Pembatalan
perkawinan;
7.
Gugatan
kelalaian atas kewajiban suami dan istri;
8.
Perceraian
karena talak;
9.
Gugatan
perceraian;
10.
Penyelesaian
harta bersama;
11.
Penguasaan
anak-anak;
12.
Ibu
dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang
seharusnya bertanggung jawab tidak mematuhinya;
13.
Penentuan
kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri atau
penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri;
14.
Putusan
tentang sah tidaknya seorang anak;
15.
Putusan
tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
16.
Pencabutan
kekuasaan wali;
17.
Penunjukan
orang lain sebagai wall oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wall
dicabut;
18.
Penunjukan
seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan belas)
tahun yang ditinggal kedua orang tuanya;
19.
Pembebanan
kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya;
20.
Penetapan
asal-usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum islam;
21.
Putusan
tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran;
22.
Pernyataan
tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum undang-undang nomor 1 tahun 1974
tentang perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.
Yang dimaksud dengan "waris" adalah penentuan siapa yang
menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian
masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalap
tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang
penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli
waris.[69] Adapun
yang dimaksud dengan "wasiat" adalah perbuatan seseorang memberikan
suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga/badan hukum, yang
berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal dunia.[70] "Hibah"
adalah pembegan suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang
atau badan hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk dimiliki.[71]
"Wakaf' adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang (wakif) untuk
memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harts benda miliknya untuk
dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan
kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut
syari'ah.[72]
"Zakat" adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang
muslim atau badan hukum yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan
syari'ah untuk diberikan kepada yang
berhak menerimanya.[73]
Adapun "infaq" adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada
orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa makanan, minuman, mendermakan,
memberikan rezeki (karunia), atau menafkahkan sesuatu kepada orang lain
berdasarkan rasa ikhlas, dan karena Allah Subhanahu Wata'ala.[74]
"Shadagah" adalah perbuatar; seseorang memberikan sesuatu kepada
orang lain atau lembaga/badan hukum secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi
oleh waktu dan jumlah tertentu dengan mengharap ridho Allah Subhanahu Wata'ala
dan pahala semata.[75]
Yang dimaksud dengan "ekonomi syari'ah" adalah perbuatan
atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari'ah, antara lain
meliputi:
a.
Bank
syari'ah;
b.
Lembaga
keuangan mikro syari'ah.
c.
Asuransi
syari'ah;
d.
Reasuransi
syari'ah;
e.
Reksa
dana syari'ah;
f.
Obligasi
syari'ah dan surat berharga berjangka menengah syari'ah;
g.
Sekuritas
syari'ah;
h.
Pembiayaan
syari'ah;
i.
Pegadaian
syari'ah;
j.
Dana
pensiun lembaga keuangan syari'ah; dan
k.
Bisnis
syari'ah.
Menurut Dr
Mukti Arto,SH.,MH.[76]
Ruang Lingkup Perkara Ekonomi Syariah, dalam hal ini, kompetensi absolut pengadilan
agama meliputi
beberapa aspek perbankan syariah dan kegiatannya dalam menjalankan ekonomi
syariah yang, antara lain, meliputi:
1.
Kelembagaan (perorangan dan/atau badan hukum)
dalam perbankan syariah;
2. Akad (perjanjian) yang dibuat dalam perbankan syariah;
3. Kegiatan (operasionalisasi) perbankan syariah;
4. Sengketa tentang status hukum kelembagaan perbankan syariah;
5. Sengketa tentang akad (perjanjian) dalam perbankan syariah;
6.
Sengketa
tentang prestasi dan wanprestasi;
7.
Sengketa
tentang arbitrase syariah;
8. Sengketa tentang kepailitan syariah;
9. Sengketa tentang perlindungan nasabah dalam perbankan syariah;
10. Sengketa tentang pengingkaran
terhadap arbiter pada arbitrase syariah;
11. Penunjukan arbiter ketiga pada arbitrase syariah;
12. Penilaian secara formal terhadap putusan arbitrase syariah;
13. Penetapan penolakan/perintah eksekusi putusan arbitrase syariah;
14. Tindak lanjut penyelesaian sengketa ekonomi syariah pada badan arbitrase
syariah (UU No.30 Th 1999);
15. Menyelesaikan sengketa kepailitan (UU No.37 Tahun 2004);
16. Menyelesaikan sengketa ekonomi syariah pada umumnya;
17. Melaksanakan putusan sengketa ekonomi syariah (putusan PA, basyarnas, dan
gross akte);
18. Menunjuk arbiter pada basyar yang disengketakan;
19. Menyelesaikan sengketa tentang putusan basyarnas;
20. Mendaftar (mendeponir) putusan basyarnas;
21. Mengeksekusi putusan basyarnas;
22. Menetapkan kepailitan debitur;
23. Menetapkan pengampu (curator);
24. Menetapkan hakim pengawas;
25.
Menyelesaikan sengketa kepailitan dalam
kegiatan ekonomi syariah
Sementara untuk Mahkamah Syar’iyah aceh
mendapatkan perluasan kompetensi absolute berdasarkan Undang-undang nomor 11
tahun 2006 pasal 128 ayat 3-4 yang berbunyi: (3) Mahkamah Syar’iyah berwenang
memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang
ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum pidana) yang didasarkan atas
syari’at Islam. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai bidang ahwal al-syakhsiyah
(hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum pidana)
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Qanun Aceh[77].
Jika dalam hukum keluarga Mahkamah syar’iyah
memiliki kompetensi absolute yang sama dengan peradilan Agama, maka dalam
bidang muamalah berdasarkan Qanun Nomor 10 tahun 2002 tentang Peradilan
syari’at islam mahkamah syar’iayah Aceh berwenang mengadili perkara-perkara
yang meliputi setidaknya 21 jenis perkara[78]:
1.
Jual
beli
2.
Hutang
piutang
3.
Qiradh
(Permodalan)
4.
Musaqah,
muzara`ah, mukharabah (bagi hasil pertanian)
5.
Wakilah
(Perwakilan)
6.
Syirkah
(Perkongsian)
7.
`Ariyah
(Pinjam-meminjam)
8.
Hajru
(Penyitaan harta)
9.
Syuf`ah
(Hak langgeh)
10. Rahnun (Gadai)
11. Ihya`ul mawat (Pembukaan lahan)
12. Ma`din (Tambang)
13. Luqathah (Barang temuan)
14. Perbankan
15. Ijarah (Sewa me-nyewa)
16. Takaful
17. Perburuhan
18. Wakaf
19. Hibah
20. Shadaqah
21. Hadiah
Dalam bidang Jinayah mahkamah syar’iyah berwenang mengadili perkara-perkara
yang meliputi: hudud, Qishas/ diyat dan ta’zir, secara rinci sebagai berikut[79]:
Perkara
Hudud, yang meliputi :
1)
Zina
2)
Qadzaf
(Menu-duh berzina)
3)
Mencuri
4)
Merampok
5)
Minuman
ke-ras dan Nafza
6)
Murtad
7)
Pemberontakan
Perkara
Qishash/Diyat, meliputi :
1) Pembunuhan
2) Penganiayaan
Perkara
Ta’zir, yaitu hukuman yang dijatuhkan
kepada orang yang melakukan pelanggaran syariat selain hudud dan qishash,
meliputi :
1)
Judi
2)
Penipuan
3)
Pemalsuan
4)
Khalwat
5)
Meninggalkan shalat fardhu
6)
Meninggalkan puasa Ramadhan.
Namun demikian sampai pada saat ini, baru sebagian delik yang di atur dalam
Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat, yang meliputi jarimah (delik):
a. Khamar;
b. Maisir;
c. khalwat;
d. Ikhtilath;
e. Zina;
f. Pelecehan
seksual;
g. Pemerkosaan;
h. Qadzaf;
i. Liwath; dan
j. Musahaqah.[80]
I.
KESIMPULAN.
Tradisi Penetapan Hukum Islam secara
ri’il dan konstitusional di mulai sejak pada pemerintahan Nabi SAW di Madinah.
Pada periode ini sumber utama penetapan hukum adalah al-Qu’an, Hadist dan
Ijtihad Nabi SAW. Adapun struktur hukum masih secara tradisional yaitu Nabi SAW
selain sebagai pimpinan Negara juga menjadi Qadhi, adapun tentang budaya hukum
disini secara internal sosok Nabi SAW adalah orang yang terpercaya, integritas
beliau diakui baik muslim dan non-muslim di kota madinah dan sekitarnya dan
tentang budaya ekternal hukum yaitu masyarakat madinah, khususnya shahabat Nabi
adalah orang-orang yang Tsiqoh. Jadi pada masa ini substansi hukum, struktur
hukum dan budaya hukum telah mampu memenuhi kebutuhan dan menjawab permasalahan
pada masanya sehingga penegakkan hukum dapat berjalan dengan baik.
Pada masa Khulafaurrasydin sampai
pada masa pemerintahan dinasty Umayyah, yang menjadi sumber hukum adalah
al-Qur’an, Hadist Nabi SAW, Ijtihad berupa Ijma’ Qiyas dan Maslahah Mursyalah.
Qhadi memegang peranan penting dalam melaksanakan ijtihad. Struktur hukum mulai
tertata, pembagian kekuasaan mulai Nampak, eksekutif di pimpin kholifa dan
Qhadi memegang urusan yudikatif secara terbatas. pada masa aparat penegak hukum
mulai tertata secara tersetruktur. Adapun budaya hukum pada masa ini secara
internal Qhadi memiliki legitimasi yang kuat, independensi yang tinggi,
sehingga tumbuh kepercayaan dari masyarakat. Adapun budaya secara ekternal pada
masa ini relative baik, sehingga penegakkan hukum dapat berjalan secara baik.
Pada masa pemerintahan dinasti
Abbasiyah, sumber hukum adalah al-Qur’an, Hadis Nabi SAW dan Ijtihad, yang
antara lain Ijmak, Qiyas, Maslahah Mursalah, Urf, istikhsan dan lainnya, metode
ijtihad pada masa ini ilmuan hukum Islam banyak menelurkan teori-teori penggalian
hukum Islam. Struktur hukum pada masa ini telah tertata secara baik. Adapun
karena wilayah kekuasaan dinasty Abbasiyah yang sangat luas maka budaya
hukumnya baik internal legal culture dan external legal culture juag tidal sama
antara provinsi satu dengan yang lain. Pada tataran ini nampaknya para Qadhi
juga dalam penetapan hukum sangat memperhatikan hukum yang hidup di masyarakat,
sehingga penegakkan hukum pada pemerintahan ini dapat berjalan dengan baik.
Masa pemerintahan Turki ottoman
sampai dengan sekarang ini Tradisi Penegakkan Hukum Islam secara substansi
Hukum bersumber pada al-Qur’an, Hadist, Ijtihad dan aturan perundang-undangan.
Struktur hukum hukum sangat memadai untuk melaksankan penegakkan hukum. Adapun
budaya hukum internal maupun ekternal tentunya tergantung kompleksitas Negara
masing-masing.
Peradilan Agama/Mahkamah Syariah
adalah satu-satunya lembaga resmi Negara yang berwenang berdasarkan konstitusi
untuk menjalankan tradisi penegakkan hukum Islam di Indonesia dengan
kompleksitas yang dihadapi.
DAFTAR PUSTAKA
"Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman." Indonesia, 2009.
"Detik-Detik Wafatnya Imam Al-Ghazali", http://www.nu.or.id/post/read/70392/detik-detik-wafatnya-imam-al-ghazali (16 Februari 2018).
"Maqashid Menurut Imam Al-Juwaini (Wafat Th 478 H)",
https://www.suduthukum.com/2016/09/maqashid-menurut-imam-al-juwaini-wafat.html (16 Februari 2018).
Hosen, Nadirsyah, "Mengenal Sejarah Penulisan Kitab Ushul
Fiqih", http://www.nu.or.id/post/read/72418/mengenal-sejarah-penulisan-kitab-ushul-fiqih (16 Februari 2018).
[1] Ali Jum'ah, Tarikh
Ushul Fiqih, trans., Adi Maftuhin, I ed. (Depok Jawa Barat Indonesia: Keira
2017). Hal.14
[2] Moh. Mahfud MD, Politik
Hukum Di Indonesia, V ed. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012). Hal. 363
[7] Metode ijtihad
antara lain ijma’, qiyas, istihsan, maslahah mursalah, uruf, istishab, syar’u
man qablana, dan madzhab sahabat. Lihat: Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Al-Fiqh, trans., Noer Iskandar al Barsani, Kaidah-Kaidah
Hukum Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996).
[8] M. Basir Syam, "M. Basir Syam, Kebijakan Dan
Prinsip Prinsip Kenegaraan Nabi Muhammad Saw Di Madinah (622-632 M) (Tinjauan
Perspektif Pemikiran Politik Islam)," Jurnal
Sosial Ilmu Politik Universitas Hasanuddin 1, (Juli 2015). Hal. 155
[9] Musthafa Sa'id Al-Khin, Ashbah Haula Ilm Ushul Al-Fiqih; Tarikhuhu Wa Tathawwuruhu, ed.
Sejarah Ushul Fiqih, trans., Muhammad Misbah (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2014). Hal. 6-13.
Lebih lanjut Ijtihad adalah pengerahan segenap kemampuan untuk memperoleh
dugaan kuat sesuatu dari hukum syara’ dalam bentuk yang dirinya merasa tidak
mampu melakukan melebihi hal itu. Lihat: Ali Bin Muhammad Al-Amidi, Al-Ihkam Fi Ushuli Al-Ahkam, vol. III (Maktabah Al-Mamlakah
Al-Arabiyah Riyad: Dar Al-Shami'i, 2003). Hal.139
[12] Lihat dalam
sunan abu dawun Nomor 3592 dan 3593.
[13] Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum; Perspektif Ilmu Sosial (the Legal System; a Social
Science Perspective), (Bandung: Nusa Media, 2009). Hal. 33
[14] Ibid. kepercayaan masyarakat sangat
penting dalam upaya penegakkan hukum karena kepercayaan adalah bagian dari
budaya hukum lihat juga dalam Achmad Ali, Menguak
Teori Hukum (Legal Theory) Dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interprestasi
Undang-Undang (Legisprudence), vol. 1. Pemahaman Awal (Jakarta: Kencana,
2010). 228.
[15] Ibnu Thaimiyah, As-Syiasah
as-Syar’iyah Fi Islah Al-Rai’ Wa Al-Rai’yyah (libanon-Bairut: Dar Fikr,
1992). Hal. 135
[16] Haedar Natsir, Prgmatisme
Politik Kaum Elit (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 1999). Hal. 37. Lihat pula : Azumardi Azra, Demokrasi,
Hak Asasi Manusia, Masyarakat Madani (Jakarta: Sinar Grafika, 1989). Hal. 21
[19] Tri Ermayani, "Ijtihad Shahabat Di Tengan
Transformasi Pemikiran Hukum," Humanika
UNY, (Vol.6 No.1 Maret 2006). Hal. 39-51
[21] Teungku Muhammad Hasby As-Siddiqy, Peradilan Dan Hukum Acara Islam
(Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997). Hal.14
[22] Abdul Manan, Etika
Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan (Jakarta: Prenada Media Group, 2007). Hal.81
[24] Muhammad Salam Madkur, Muhammad Salam Madkur, Peradilan Dalam Islam (Surabaya: PT Bina
Ilmu, 1993). 42
[26] Athiyah Musrifah,
Al- Qadha’ Fi Al- Islam, vol. II (t.t: 1966). Hal. 179. Wilayah
al-hisbah adalah sebuah lembaga yang mempunyai tugas lebih besar dari
kepolisian, yakni diadakan untuk mengawasi semua aktivitas manusia, khususnya
umat Islam, baik yang berkaitan dengan aqidah, ibadah, rumah tangga dan etika
termasuk di dalamnya perilaku ekonomi mereka di luar yang ditangani secara
khusus oleh lembaga peradilan biasa (qadha`) atau maszalim. Lihat:
Lomba Sultan, "Kekuasaan Kehakiman Dalam Islam
Dan Aplikasinya Di Indonesia," al-Ulum
(Jurnal Studi-Studi Islam) IAIN Gorontalo Volume 13, Nomor 2, ( Desember
2013). Hal. 439
[29] Ibid. lihat pula Najib Ubaidillah dan Happy Nur Afni R, "Peradilan
Islam Pada Masa Dinasti Bani Umayyah."
[30] TM Hasbi Ash Shiddieqy, Peradilan Dan Hukum Acara Islam (Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra). Hal.20
[31] Imam
al-Syafi’i dengan nama lengkap Abu Abdullah Muhammad Bin Idris Bin Abbas Bin
Utsman Bin Syafi’i Bin Said Bin Ubaid Bin Hasyim Bin Abdul Muthallib Bin Abdu
Manaf, beliau lahir pada tahun 150H di Ghaza dan meninggal pada tahun 204 di
Mesir. Lihat: Jum'ah. Hal.227
[32] Imam Abu
Hanifah adalah Abu Hanifah an-Nu’man bin Tsabit Bin Zutha budak Taimullah bin
Tsa’labah. Lahir pada tahun 70 H dan meninggal pada tahun 150H di Baghdad pada
Usia 70 tahun. Lihat: ibid. hal.266
[34] Imam Ahmad bin
Hambal adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal bin Asad Bin
Idris Bin Abdullah Bin Hayyan Bin Abdullah Bin Anas Bin Auf Bin Qashit Bin
Mazin Bin Syaiban Bin Dzuhal Bin Tsa’labah bin Ukabah bin Sha’b bin Ali Bin
Bakr bin Wail Bin Qasith bin Hinbin bin Afsha bin Da’ma bin Jadillah bin Asad
bin Rabiah bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan al-Syaibani al-Marwadi al-Baghdadi.
Beliau lahir pada bulan Rabiul Awwal tahun 164H meninggal tanggal 12 Rabiul
Awwal 241 H. lihat: ibid. Hal.427
[35] Imam al-Haramain al-Juwaini adalah ulama pertama yang
membahas teori Maqashid al-syari’ah. Bukti itu
dapat kita temukan dalam karya al-Burhan fi Ushul al-Fiqh.
Dalam bab qiyas, al-Juwaini menjelaskan illal (alasan-alasan) dan ushul (dasar-dasar) yang merupakan embrio dari
teori maslahat. Barangkali karena itu al-Juwaini disebut
peletak dasar teori Maqashid al-Syari’ah.
Lihat: "Maqashid Menurut Imam Al-Juwaini (Wafat Th 478
H)",
https://www.suduthukum.com/2016/09/maqashid-menurut-imam-al-juwaini-wafat.html (16 Februari 2018).
[36] Imam Al-Ghazali wafat pada 19 Desember 1111 dan
dikebumikan di desa Thabran, kota Thus, Abul Faraj ibn al-Juuzi dalam
kitab Ats-Tsabât 'indal Mamât memaparkan cerita dari Imam
Ahmad, saudara kandung Imam Al-Ghazali. Suatu hari, persisnya Senin 14 Jumadil
Akhir 505 H, saat terbit fajar, Imam Al-Ghazali mengambil wudhu lalu menunaikan
shalat shubuh. Usai sembahyang, Al-Ghazali berkata, "Saya harus memakai
kain kafan.” Lalu ia mengambil, mencium, dan meletakkan kain kafan tersebut di
kedua matanya. Selanjutnya, Imam Al-Ghazali berucap, “Saya siap kembali ke
hadirat-Mu dengan penuh ketaatan dan kepatuhan (sam‘an wa thâ’atan lid
dukhûli ‘alal mulk).” Ia pun meluruskan kedua kakinya, menghadap arah
kiblat, lalu kembali kepada Sang Kekasih untuk selama-lamanya. Lihat:"Detik-Detik Wafatnya Imam Al-Ghazali",
http://www.nu.or.id/post/read/70392/detik-detik-wafatnya-imam-al-ghazali (16 Februari 2018).
[37] Jum'ah. Hal.35. Imam Abu Husain al Basri
hidup pada masa kekuasaan dinasti Bani Buwaih dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah.
Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
[38] Al-Jashash
nama lengkapnya adalah Abu Bakar Ahmad Ibn Ali
Al-Razi, yang terkenal dengan sebutan Al-Jashash.
Lihat: Muhammad Husain Al Zahabi, Al-Tafsir Wa Al-Mufassiruun (Mesir: Daar Al Maktabah Al Harisah,
1976).
Hal.485. AL-Jashash adalah seorang ahli tafsir dan ahli ushul fikih ternama
yang terkenal dengan panggilan Al-Jashash (penjual kapur rumah). Ia disebut
demikian, karena dalam mencari nafkah hidup ia bekerja sebagai pembuat dan
penjual kapur rumah. Lihat: Ensiklopedi
Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan,
1992), s.v. "Ensiklopedi Islam Indonesia." Hal.485.
[40]
Lihat dalam tulisannya Rais
Syuriyah PCINU Australia-New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School,
Australia: Nadirsyah Hosen, "Mengenal Sejarah Penulisan
Kitab Ushul Fiqih", http://www.nu.or.id/post/read/72418/mengenal-sejarah-penulisan-kitab-ushul-fiqih (16 Februari 2018).
[47] Munawir Sjadali, Islam
Dan Tata Negara (Ajaran Sejarah Dan Pemikiran) (Jakarta: UI Press, 1993).
[48] Faadi Muhammad Ahmad syaisyi, An-Nizhaam Al-Qadha'i Al-Jadiid Fi Al-Mamlakah Al-Arabiyah Al-Suudiyah
Baina Ushuul Wa Qawaaid Al-Qadhaa' Al-Islamiyah Wamuhawalaat Al-Tahdits (Riyadh:
Maktabah al-Rusyd, 1435 Hijriyah). Hal.205
[49] Muhammad Jalal abdurrahman, Raf'u Ad Da'awa Amama Al-Qadha Al-Su'udi, vol. Cet.I (Jeddah: Dar
Alu Ghalib, 2016). Hal.101
[50] Sugiri Permana ed, Belajar
Ekonomi Syariah Dari Negeri Makkah Sebuah Perbandingan Saunesia (Saudi
Indonesia) (Tangerang Selatan: Pustakapedia, 2017). 41-48.
[51] Ibid. hal. 49. Hal ini berdeda dengan di
Indonesia, jika di Indonesia eksekusi perkara pidana adalah lemabaga Kejaksaan
dan eksekusi perkara perdata adalah Pengadilan itu sendiri, sedangkan di arab
Saudi ada lembaga khusus pelaksanaan putusan yaitu al-Mahkamah
al-Tanfidziyah.
[52] Lihat: "Peraturan Kerajaan Arab Saudi Nomor 21 Tanggal
20 Jumadil Ula 1421 H, Yang Berdasar Keputusan Majelis Muzara (Dewan Menteri)
Nomor 115 Tanggal 14 Jumadil Ula 1421 H,"
(Arab Saudi 1421 H). Sejumlah 242 Pasal.
[53] Lihat: "Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun
2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor14 Tahun 1985 Tentang
Mahkamah Agung," (Indonesia: 2009).
[54] Lihat: "Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun
1989 Tentang Peradilan Agama,"
(Indonesia: 1989). Dan "Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun
2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989
Tentang Peradilan Agama,"
(Indonesia: 2006). Serta "Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 50 Tahun
2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7
Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama,"
(Indonesia: 2009).
[55]Lihat: "Surat Edaran Biro Peradilan Agama No.B/1/735
Tanggal 18 Februari 1958 Sebagai Pelaksana Pp No. 45 Tahun 1957 Tentang
Pembentukan Peradilan Agama/ Mahkamah Syariah Di Luar Jawa Dan
Madura," (Indonesia: 1975). Dalam huruf b surat Edaran tersebut di Jelaskan bahwa: “Untuk
mendapatkan kesatuan hukum dalam memeriksa dan memutuskan perkara maka para
hakim Pengadilan Agama/ Mahkamah Syariah dianjurkan agar mempergunakan sebagai
pedoman kitab-kitab sebagai berikut: Al-Bajuri, Fathulmui’in, Syarqowi alat’
tahrir, Qolyubi/Mahalli, Fathul Wahab dengan Syarahnya, Tuhfah, Targhibul
Musytaq, Qowanin syar’iyah lis sayyid bin Yahya, Qowanin syar’iyah lis sayyid
Sadaqah Dachlan, Syamsuri fil Fara’idl, Bughyatul Musytarsyidin, Alfiqu Alaa
Mandzahibil Arba’ah, Mughnil Muhtaj.
[57] " Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9
Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan," (Indonesia: 1975).
[58] Mahkamah Agung Republik Indonesaia Direktorat Jenderal
Badan Peradilan Agama Republik Indonesia, Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah (2010). KHES ini penggunaannya berdasarkan "Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 2 Tahun 2008," (Indonesia:
2008).
[59] "Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 1991 Tanggal 10 Juni 1991,"
(Indonesia: 1991). Dan "Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 154 Tahun 1991 Tentang Pelaksanaan
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tanggal 10 Juni 1991," (Indonesia: 1991).
[60] "Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
2011 Tentang Pengelolaan Zakat,"
(Indonesia: 2011). Dan "Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14
Tahun 2014 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 Tentang
Pengelolaan Zakat," (Indonesia).
[61] "Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun
2004 Tentang Wakaf," (Indonesia:
2004). Dan lihat pula
"Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28
Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik," (Indonesia: 1977).
[62] "Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun
2008 Tentang Perbankan Syariah,"
(Indonesia: 2008).
[63] "Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak,"
(Indonesia: 2002).
[64] "Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga," (Indonesia: 2004).
[65] "Undang-Undang Republik Indonesia Nomor.19 Tahun
2008 Tentang Surat Berharga Syariah Negara," (Indonesia: 2008).
[66] Selain
perundang-undangan yang mendukung penyelesain perkara dalam ranah kewenangan
absolute Peradilan Agama, hakim juga dituntut memberikan rasa keadilan
berdasarkan hukum yang hidup di masyarakat. Lihat Pasal 5 "Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun
2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman,"
(Indonesia: 2009).
[67]
Lihat pasal 54 "Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun
1989 Tentang Peradilan Agama." Yang berbunyi
“Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama
adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang
ini”.
[69] Lihat
penjelasan Pasal 49 "Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun
1989 Tentang Peradilan Agama."
[76]
Lihat: A. Mukti Arto, "Kerangka Hukum Muamalah Bidang
Ekonomi Syariah Studi Mengenai Prinsip-Prinsip Dasar Untuk Menyelesaikan
Kasus-Kasus Di Pengadilan Agama, Bahan Diklat Ii Program Ppc Terpadu Angkatan
Vii Peradilan Agama Seluruh Indonesia "
(Mega Mendung, Bogor Indonesia: Badan Litbang Diklat Kumdil MA-RI,
2012). Hal.17-18.
[77] pasal 128 ayat 3-4."Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang
Pemerintahan Aceh " (Indonesia:
2006). Dan lihat pula: Mahkamah Agung RI Direktorat Jendral Badan Peradilan
Agama, Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan
Administrasi Peradilan Agama, Buku Ii Edisi Revisi 2010, (2010). hal.53-54.
[78] Pasal 49 huruf (b) Dan Penjelasannya dalam "Qanun Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan
Syari’at Islam Mahkamah Syar’iayah Aceh "
(Aceh Indonesia: 2002).
[79] Pasal 49 huruf (c) Dan Penjelasannya dalam "Qanun Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan
Syari’at Islam Di Mahkamah Syar’iayah Aceh " (Aceh Indonesia: 2002).
[80] Lihat dalam
Pasal 3 ayat 2 "Qanun Aceh No. 6 Tahun 2014 Tentang Hukum
Jinayat," (Aceh Indonesia:
https://jdih.acehprov.go.id/qanun-aceh-no-6-tahun-2014-tentang-hukum-jinayat,
2014). Dan dalam
tatacara pelaksanaan Hukum materiil ini diatur dalam hukum acara jinayat, lihat
dalam: "Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2013 Tentang Hukum
Acara " (Aceh Indonesia: 2013).
Comments
Post a Comment