STUDI KRITIS TERHADAP TEKS (CRITICAL TEXTUAL STUDIES): NORMAN CALDER


PENDEKATAN KLASIKAL/ ORIENTALIS: STUDI KRITIS TERHADAP TEKS (CRITICAL TEXTUAL STUDIES): NORMAN CALDER
 oleh
Nur Moklis

I.         PENDAHULUAN
Studi tentang hadis di dunia Barat telah berkembang menjadi empat fase.[1] Pertama, fase skeptisisme Barat awal yang berusaha meragukan autentisitas hadis dengan argumentasi bahwa telah terjadi pemalsuan besar-besaran dalam sejarah pe-riwayatannya. Kedua, fase reaksi terhadap skeptisisme Barat yang menjawab berbagai kritik dan tuduhan para revisionis Barat terhadap hadis Nabi Muhammad SAW. Ketiga, fase upaya mencari jalan tengah yang, di satu sisi, ada persamaan dengan para pemikir revisionis Barat, tetapi, di sisi lain, hasil temuan-nya berdiri di jalan tengah antara dua paradigma di atas: paradigma revisionis dan paradigma tradisional. Adapun yang keempat adalah fase neo-skeptisisme Barat yang berupaya untuk meragukan hadis Nabi dengan mengembangkan metode para revisionis Barat atau menggunakan metodenya sendiri. Tokoh-tokoh yang termasuk ke dalam fase keempat ini adalah Michael A. Cook dan Norman Calder.[2] Dua tokoh dalam fase ini lebih skeptis daripada Goldziher dan Schacht. Secara umum, perhatian Cook dan Calder tertuju pada autentitas, kronologi dan kepengarangan hadis. Jika Cook berangkat dari hadis-hadis teologi, maka Calder berangkat dari hadis-hadis hukum. Persamaannya terletak pada pendapat keduanya bahwa teori common link[3] tidak dapat digunakan untuk menelusuri asal mula hadis. Menurut Cook, munculnya fenomena common link adalah akibat dari proses penyebaran isnad dalam skala besar. Fenomena common link tidak menunjukkan bahwa sebuah hadis benar-benar bersumber dari seorang periwayat kunci. Calder juga mengingkari validitas metode common link. Baginya, fenomena common link sangat terkait dengan kompetisi antar berbagai madzhab fikih di masyarakat Islam pada paroh kedua abad ketiga hijrah.[4]
Dalam karyanya berjudul Studies in Early Muslim Jurisprudence Norman Calder mengingkari bahwa metode common link itu dapat dipakai untuk mengetahui penanggalan hadis. Baginya, fenomena common link sebagai satu ciri yang terdapat dalam literatur hadis sangat terkait dengan kompetisi antar berbagai kelompok di kalangan para ahli hukum dan yang lainnya pada paroh kedua abad ketiga hijriah yang masing-masing terlibat dalam proses kritik isnād satu sama lain.[5] Hal senada juga di kemukakan oleh Michael A. Cook yang mengatakan dalam Early Muslim Dogma, munculnya feno-mena common link adalah akibat dari proses penyebaran isnād dalam skala besar. Fenomena common link tidak menunjukkan bahwa sebuah hadis benar-benar bersumber dari seorang periwayat kunci.[6] Oleh karena itu, metode common link yang dikembangkan oleh Juynboll[7] tidak dapat dipakai untuk menelusuri asal-usul, sumber, dan kepengarangan hadis pada masa awal Islam.

II.      BIOGRAFI NORMAN CALDER
Norman Calder dilahirkan pada tahun 1950 di Buckie, Skotlandia. Norman Calder melanjutkan kuliahnya ke Sekolah Tinggi Wadham, Oxford, pada tahun 1969. Ia mendapatkan penghargaan (Award) pertama kali dalam bahasa Arab dan bahasa Persia pada tahun 1972. Kemudian ia menghabiskan waktu empat tahun di Timur Tengah untuk mengajar bahasa Inggris. Sekembalinya dari Timur Tengah, ia mendaftarkan diri sebagai mahasiswa program Doktor, di bawah bimbingan John Wansbrough di School of Oriental and African Studies (SOAS). Disertasinya yang berjudul, "The Structure of Authority in Imami Shi'i Jurisprudence", adalah sebuah karya yang mengagumkan.[8]
 Karya ini terus dijadikan rujukan oleh para sarjana Syi'ah kira-kira dua puluh tahun setelah ia menyelesaikan program Doktornya. Disertasi ini dan beberapa artikel yang diambil darinya, lebih jauh menegaskan wilayah hukum Syi'ah yang diabaikan di dunia akademik Barat. Ketertarikannya terutama adalah hubungan antara epistemologi dan autoritas. Ia menguji bagaimana para ahli hukum Syi'ah mengembangkan sebuah teori hukum yang melindungi peran mereka sebagai sarjana (ulama' fiqh) dan hak prerogatif mereka sebagai penafsir. Tema-tema ini dikembangkan dan diperluas dalam artikel-artikel belakangan, yang menitikberatkan kepada semacam tokoh yang bermacam-macam seperti al-Syafi'i, Sabzawari dan Khomaini.[9]
Norman Calder adalah seorang dosen senior di bidang bahasa Arab dan Studi-Studi Keislaman di Jurusan Middle Eastern Studies di Universitas Manchester. Ketika meninggal pada 13 Pebruari 1998 di usia 47, ia merupakan salah seorang sarjana terkemuka di bidang studi yurisprudensi Islam dan hermeneutika. Pada saat ia meninggal dunia, Norman Calder telah menjadi seorang sarjana terkemuka yang didiskusikan paling luas di bidang hukum Islam. Hal ini disebabkan karena karya ilmiahnya yang berjudul, Studies in Early Muslim Jurisprudence (Oxford, 1993), yang dengan berani telah menantang berbagai teori para ahli hukum Islam tentang asal mula hukum Islam.[10]
Meskipun ia menderita sakit menjelang ajalnya, ia menerima watak sakitnya. Ia tidak pernah menyerah kepada sakit yang dideritanya. Ia tetap melaksanakan berbagai kegiatan ilmiah seperti membaca, meneliti dan menulis hingga hari-hari kematiannya. Pikirannya yang tajam tidak berkurang oleh kelemahan badan dan fisiknya yang kian bertambah. Ia menaruh pekerjaan-pekerjaannya agar dapat mempersiapkan karya-karya akademiknya yang masih tersisa untuk dapat dipublikasikan di kemudian hari.[11]

III.   KARYA-KARYA NORMAN CALDER
Sebagai seorang sarjana di bidang hukum Islam, ia meninggalkan beberapa karya yang nilai ilmiahnya sangat tinggi. Karya-karya Calder yang telah di-publikasikan di penerbit bertaraf internasional itu adalah:
1.         Norman Calder, Studies in Early Muslim Jurisprudence, Oxford University Press, 1993. Buku ini menawarkan sebuah teori yang koheren mengenai asal mula dan perkembangan awal Hukum Islam. Penulis buku ini mendasarkan argumentasi-nya dalam serangkaian paragraf yang representatif dari karya-karya di bidang hukum Islam di masa awal, sebagiannya diterjemahkan di sini untuk pertama kalinya. Bab-bab yang berturut-turut dalam buku ini menunjukkan kreativitas peradaban orang Muslim awal dalam bentuk sastra, norma-norma hukum, dan teknik penafsiran. Mengambil dari tradisi kesarjanaan Islam yang diwakili oleh tokoh-tokoh seperti Ignaz Goldziher,[12] Joseph Schacht,[13] and John Wansborough, Calder tampaknya sensitif juga terhadap perkembangan metodologi dan teknik berbagai bidang studi yang paralel antara studi Bible dan kependetaan. Dengan mendasarkan semua generalisasi utamanya dalam rincian tektual yang tepat, ia membangkitkan berbagai perhatian sosial, politik, dan intelektual terhadap peradaban Muslim pada periode pembentukannya. Calder menunjuk-kan, beberapa konotasi yang biasa tidak pantas untuk memahami yurisprudensi orang Muslim pada masa awal. Teks-teks yang sampai ke tangan kita (survive) mengangkat dan merekam hidup-hidup tentang bagaimana masyarakat Muslim awal menciptakan simbol-simbol utama identitas mereka sendiri.[14]
2.         Norman Calder, Studies in Islamic and Middle Eastern Tekss and Traditions in Memory of Norman Calder, By. Norman Calder, Alexander Samely, Jawid Ahmad Mojaddedi, Oxford University Press, 2000. Buku ini merefleksikan ketertarikan dan sumbangan akhir Norman Calder sendiri. Ia mencakup berbagai artikel yang ditulis oleh para sarjana yang terkenal, seperti Calder, karena pendekatan mereka yang berpengalaman, njelimet, dan menantang teks-teks Arab dan Islam. Makalah-makalah itu mengkaji ber-bagai topik yang menarik masyarakat di bidang kebudayaan Timur Tengah, dan pada dasarnya sama dengan berbagai koleksi, karya-karya hasil konferensi, dan Festschriften. Yang direpresentasikan adalah murid-muridnya terlebih dahulu, para koleganya yang bekerja di bidang studi kependetaan, yang telah meng-informasikan karyanya sendiri. Topik-topik itu meliputi transformasi tradisi Yahudi pada masa Islam awal: kasus Enoch/Idris, narasi dan doktrin dalam kisah pertama Masnavi Jalaludin Rumi, fikih untuk para pemula: Teks Anatolia tentang jihad, riset tentang kelompok Minoritas Muslim: beberapa refleksi tentang bidang kerja di Inggris, peraikahan rusak dalam fikih Hanafi klasik, dan apakah hak-hak asasi dapat hidup berdampingan dengan agama.[15]
3.         Norman Calder, Classical Islam: A Sourcebook of Religious Literature. Routledge, 19 September 2003. Buku sumber yang menentukan ini menghadirkan lima puluh terjemahan baru teks-teks Islam kunci yang autoritatif. Diedit dan diterjemahkan oleh tiga spesialis terkemuka dan dikontekstualisasikan dengan jelas untuk para maha-siswa tingkat pengenalan, ia mengilustrasikan pertumbuhan pemikiran Islam dari asal pada abad ke-7 melalui periode abad pertengahan. Delapan bagian yang terorganisisr secara tematis mencakup berbagai topik seperti al-Qur’an dan penafsirannya, sejarah hidup Muhammad, hadis, hukum, ritus-ritus, tasawuf dan sejarah Islam. Di antara berbagai seleksi adalah semacam mutiara seperti uraian Ibnu 'Abbas tentang perjalananan yang menyenangkan, al-Taftazani tentang tidak diciptakannya al-Qur’an sebagai kalam Allah, al-Farabi tentang kemampuan jiwa, dan menggali dari Matsnavi Rumi. Dilengkapi dengan daftar glosarium yang cukup membantu, daftar pustaka yang luas dan kata pengantar yang menjelaskan masing-masing bagian, buku ini menfokuskan pada gaya atau aliran sastra kesarjanaan Muslim, yang di dalam berbagai variasi kreatifnya, doktrin Islam mengambil bentuk dan menjadi matang. Dengan beberapa kutip-an yang diterjemahkan di sini pertama kali ke dalam bahasa Inggris, Perancis dari sumber-sumber berbahasa Arab dan Persia, Islam klasik adalah sumber pokok bagi sebuah penghargaan tentang Islam awal, Islam abad pertengahan dan warisannya.[16]
4.         Norman Calder. Interpretation and Jurisprudence in Medieval Islam, (eds.) Jawid Mojaddedi and Andrew Rippin. Ashgate Variorum, 2006. Buku yang terdiri dari dua puluh satu artikel ini merepresentasikan ke-kayaan dan keragaman dari oeuvre Calder, dari riset doktornya yang pertama tentang Islam Syi'ah hingga tulisan-tulisannya yang lebih filosofis belakangan ini tentang hermenetika Sunni, selain sejumlah studi tentang sejarah dan yurisprudensi Islam awal. Penelitian pionir Calder yang didasarkan pada pem-bacaan yang sensitif atas teks-teks abad pertengahan yang diinformasikan secara penuh oleh teori kritis kontemporer, seringkali menantang berbagai asumsi yang mapan saat itu. Ia dikenal khususnya karena telah mendesak taksir-an dari berbagai prasangka yang dipegangi secara luas yang menaksir terlalu rendah tingkat kreativitas kesarjanaan Islam abad pertengahan. Beberapa artikel dalam buku ini telah menjadi klasik untuk bidang-bidang studi yuris-prudensi Muslim dan hermeneutika.[17]
5.         Norman Calder, Islamic Jurisprudence in the Classical Era, Cambridge: Cambridge University Press, 2010. Sepuluh tahun setelah kematiannya di usia yang terlalu muda, Norman Calder masih dianggap sebagai seorang bintang di bidang hukum Islam. Pada saat itu, ia adalah orang di antara sedikit sarjana Barat yang mulai tertarik dengan mata kuliah itu. Pada beberapa tahun yang menyelangi, banyak yang berubah, dan hukum Islam sekarang dipahami sebagai dasar bagi ketertarikan apapun dengan studi Islam, sejarahnya, masyarakatnya, karya Dr. Calder ini adalah integral dengan ketertarikan itu. Dalam buku ini, Colin Imber telah me-letakkan bersama-sama dan mengedit empat essai Calder yang tidak pernah di-publikasikan sebelumnya. Secara tajam, mereka mengkategorikan dan meng-analisa genre yang berbeda mengenai literatur hukum Islam yang diproduksi antara abad sepuluh dan empatbelas, dengan menunjukkan fungsi apa yang mereka berikan, baik dalam menjaga hukum Islam, tradisi keagamaan maupun dalam kehidupan keseharian masyarakat mereka. Esai-esai itu juga menguji status dan peranan para ahli hukum sendiri dan secara khusus disambut baik karena telah memberi jawaban yang jelas atas berbagai persoalan kontroversial tentang sejauh mana hukum Islam dan pemikiran hukum telah berubah selama beberapa abad, dan sejauh mana ia mampu beradaptasi dengan lingkungan baru. Dalam pendahuluan buku itu, Robert Gleave menilai kedudukan dan pentingnya karya Calder di bidang studi hukum Islam. Ini adalah buku peng-galian pertama salah seorang sarjana paling penting dari generasinya.[18]

IV.        METODE YANG DIGUNAKAN DALAM MENELITI HUKUM ISLAM
Sejalan dengan Michael Cook, Norman Calder juga meragukan validitas metode common link[19] dan informasi sejarah yang didapatkan melaluinya. Akan tetapi, untuk memahami maksud dari kritiknya terhadap teori tersebut dengan lebih baik, sebelumnya penulis akan terlebih dahulu membicarakan pandangan-nya mengenai proses yang memproduksi teks-teks dan bahan-bahan tertulis, termasuk di dalamnya adalah teks-teks hadis.
Calder dalam bukunya Studies in Early Muslim jurisprudence, dia mengkaji enam teks hukum dari tiga aliran hukum Islam.[20] Teks-teks itu adalah: Mudawwanah karya Sa-nun, kitab Muwaṭṭa’ karya imam Malik, beberapa teks imam Hanafi, Kitāb al-Umm karya imam al-Syafi'i, kitab Mukhtaṣar karya Muzani, dan Kitāb al-Kharaj karya Abu Yusuf. Kajian Calder dalam buku ini, terutama berpijak pada analisa sastra atas teks-teks fiqh yang paling pokok dan dilanjutkan dengan diskusi umum mengenai yurisprudensi Islam pada abad-abad awal tahun hijriah. Ketika menilai bentuk sastra dari karya-karya itu pada saat kemunculannya, Calder menyatakan bahwa dikotomi tradisional antara periwayat lisan (oral) dan tertulis (written) seharusnya tidak digambarkan sedemikian tajamnya.
Teks-teks yuristik, dalam bahasa yang dipakai untuk mengungkapkan periwayatan hadis, seperti ḥaddatha, qala, dan akhbara, membuktikan adanya aktivitas lisan yang signifikan, yakni kreativitas dan periwayatan. Selain itu, Calder menekankan pentingnya mengakui bahwa teks-teks tertulis seperti yang ada sekarang ini tidak hanya merepresentasikan sebuah bagian dari korpus tertulis pada saat itu, tetapi juga sebuah bagian yang lebih kecil dari aktivitas lisan. Lingkungan Arab Islam hingga awal dekade abad ketiga hijriah adalah lingkungan yang sangat produktif, baik bagi literatur lisan maupun tertulis. Literatur lisan, setidaknya dalam konteks yuristik, sering merupakan produk dari sebuah proses diskursif. Sedangkan literatur tertulis memperlihatkan adanya aktivitas lisan ini dan tampaknya mereka juga berupaya menciptakannya kembali. Buku-buku merupakan literatur kedua setelah periwayatan lisan dan pada awalnya ada dalam bentuk buku-buku catatan pribadi.[21]
Pemilik sebuah buku catatan, lanjut Calder, mengontrol isinya. Berbagai kelompok yang tertarik menulis sama' (pendengaran) mereka dari si fulan dan si fulan. Tidak ada alasan untuk menganggap bahwa sebuah sama' seseorang sama dengan sama' orang lain meskipun dari guru yang sama. Dan, sangat mungkin bahwa dua pendengar pada majlis yang sama akan membuat catatan berbeda. Mereka merekam ucapan guru mereka dan menuliskannya dengan kata-kata mereka sendiri. Bahkan mungkin mereka membaca kembali catatan-catatan yang berbeda itu di hadapan guru mereka dan kemudian mendapat persetujuannya. Akhirnya, mereka menyimpan dan meriwayatkan bahan-bahan mereka sendiri, bukan buku dari guru mereka. Otoritas atau keterampilan para periwayat semacam inilah yang akhirnya menimbulkan sebuah teks tertentu yang kemudian disandarkan kepada seorang guru yang disebutkan namanya. Antara buku catatan yang pertama dan teks tertentu ada beberapa tahap yang dialami. Oleh karena itu, menurut Cader, yang memproduksi buku-buku catatan ini adalah para murid, bukan para guru. Buku-buku catatan itu mungkin disebarkan atau dihancurkan, namun kandungannya disalin ke buku-buku catatan yang lain walaupun bukan tidak mungkin bahwa bentuk dan kandungannya mengalami berbagai perubahan dalam proses penyalinannya. Pada akhirnya, sebuah sistem kontrol dikembang-kan di mana seorang guru mengarang dan menerbitkan buku-bukunya dengan cara mempekerjakan para sekretarisnya atau dengan cara meminta para murid-nya untuk membandingkan catatancatatan mereka dengan bukunya.[22]
Dengan demikian, kata Calder, pada abad ketiga Hijriah terdapat suatu pergeseran dari lingkungan lisan yang dominan ke lingkungan tertulis melalui mediasi buku-buku catatan ini, seperti dikatakan Calder berikut ini:

“The scholar's notebook and the institutional redaction are then the two basic types of early juristic literature. Of the former there may be no extant examples. Their existence, however, is securely inferred from the forms and sometimes from then express words of institutional redactions, and it is confirmed by numerous references in biographical and other literature.”[23]

Untuk selanjutnya semakin jauh, Calder berkeyakinan bahwa tidak hanya enam buku yang dikajinya, tetapi juga seluruh literatur Arab-Islam yang diklaim berasal dari abad pertama, kedua, dan awal abad ketiga hijriah telah mengalami pertumbuhan organis dan proses redaksional multi-level. Teori pertumbuhan organik bagi literatur yuristik lisan dan tertulis ini digunakan oleh Calder sebagai latar belakang bagi upayanya untuk menunjuk-kan bahwa matan hadis yang sama, yang memiliki seorang common link bukan karena hadis itu disebarluaskan oleh periwayat yang berperan sebagai common link (atau beberapa muridnya), melainkan sebagai akibat dari sebuah skenario yang sangat berbeda. Oleh karena itu, Calder mengingkari bahwa metode common link itu dapat dipakai untuk mengetahui penanggalan hadis. Baginya, fenomena common link sebagai satu ciri yang terdapat dalam literatur hadis sangat terkait dengan metode kritik isnād yang berlaku di kalangan para ahli hukum dan yang lainnya pada paro kedua abad ketiga Hijriah.[24]
Hal yang dimaksud Calder dengan skenario yang sangat berbeda adalah sebagai berikut: jika ada sebuah teks (matan) hadis yang diterima oleh beberapa kelompok yang berbeda dalam Islam, masing-masing kelompok cenderung merebut (capture) matan hadis yang orisinal dan memberinya isnād yang merefleksikan kelompok mereka. Akan tetapi, karena hampir semua kelompok mengakui dan mengenal para pahlawan yang umum pada masa nabi maka (biasanya) pada level tabi’in, isnād cenderung mulai bertemu.[25] Secara lebih khusus, kata Calder, skenario semacam ini dapat dilihat ketika ada kompetisi antara berbagai kelompok yang masing-masing terlibat dalam proses kritik isnād satu sama lain. Lagi-lagi, karena mereka sama-sama memiliki rasa hormat pada generasi sahabat dan tabiin, mereka cenderung "menggeser" sebuah hadis dengan cara menghancurkan salah satu dari dua periwayat: pe-riwayat ketiga atau keempat, yang berfungsi sebagai periwayat dari common link. Misalnya, aliran X menjelaskan bahwa hukum tentang satu masalah adalah begini atau begitu berdasarkan sebuah hadis dengan isnād berikut ini: Nabi -A-B-C-D-E. Sementara itu, aliran Y sebagai lawan dari aliran X mengetahui bahwa hukum tentang masalah yang dibicarakan tidak begini atau begitu, sebagaimana yang dijelaskan oleh aliran X. Akibatnya, aliran Y terpaksa mengkritik isnād hadis ini. Akan tetapi, ia tidak dapat mengkritik nabi, sahabat atau tabiin dengan alasan yang telah disebutkan di depan. Yang dapat dikritik olehnya adalah C, periwayat ketiga, dengan menyatakannya sebagai periwayat yang memiliki hafalan yang buruk.[26]
Dengan alasan mengetahui lemahnya hubungan periwayatan W-C, kelompok A yang setuju dengan hadis tersebut memperkuat posisi mereka dengan menemukan isnād baru yang menunjukkan adanya hubungan periwayatan B-J di mana J dikenal sebagai periwayat yang memiliki daya hafalan yang luar biasa kuat. Sementara kelompok B yang menolak hadis ini berusaha menggantinya dengan isnād lain yang lemah: B-K, di mana K adalah pembuat bid'ah yang terkenal. Atau lebih buruk lagi, mereka mengemukakan isnād B-K-J, di mana J yang dapat dipercaya sebenarnya dikelabui oleh K, pembuat bid'ah itu. Aliran A senantiasa memperbaiki periwayat yang lemah dan mencoba mengemukakan isnād yang berbeda sampai kelompok B menyerah.
Oleh karena itu, kelompok yang ingin menerima hadis tersebut bereaksi dengan cara memproduksi isnād-isnād baru di mana para periwayat yang diserang oleh kelompok lain diganti dengan periwayat lain yang lebih dapat dipercaya. Jika isnād-isnād ini ditolak lagi, maka diciptakanlah isnād-isnād baru untuk memperbaikinya. Sebaliknya, kelompok yang menolak hadis tersebut juga memalsukan hadis dengan memakai periwayat-periwayat lemah di mana setelah itu mereka mengkritiknya.[27] Akibatnya, pro dan kontra kritik isnād diarahkan kepada para periwayat lemah yang berada pada generasi ketiga atau keempat yang terdapat dalam isnād hadis. Hal ini, menurut Calder, menyebabkan terjadinya fenomena common link yang sebenarnya tidak menunjukkan asal-usul matan sebuah hadis, tetapi lebih merefleksikan proses kritik isnād dan kompetisi antar berbagai kelompok Islam pada paroh kedua abad ketiga atau sesudahnya. Ia mengatakan:

“This leads to the common link phenomenon, which reflects nothing whatsoever about the origins of the matn of a hadith: it reflects isnad criticism and competition in or after the second half of the third century”.[28]

Bagi Calder, common link dalam faktanya bukan orang yang memalsukan atau menyebarkan hadis, melainkan seorang tokoh terdahulu sebelum tokoh yang menjadi fokus pertikaian dalam kritik isnād satu sama lain. Meskipun demikian, Calder tidak beranggapan bahwa metode common link tidak memiliki nilai kebenaran sama sekali karena dalam beberapa kasus metode ini dapat digunakan. Ia berkata:

"The Common-Link Theory is not quite an aberration of scholarship, for it has some uses."[29]

Namun demikian, ketika Calder menggunakan metode common link pada Bab II bagian empat dalam bukunya, jelas bahwa ia tidak memahami fungsi fenomena common link sebagaimana dipahami para sarjana Barat. Pada halaman 37-38, misalnya, Calder berbicara mengenai beberapa periwayat yang menduduki posisi common link, padahal sebenarnya yang ada hanyalah seorang common link, yakni Ibnu Wadhdhah. Sedangkan isnād campuran yang mengungkapkan hubungan periwayatan Ibnu Wadhdhah- Yahya-Malik dan hubungan pe-riwayatan melalui Ubaidillah bin Yahya– Yahya-Malik, dalam isnād itu yang menjadi common link adalah Yahya. Akan tetapi, Calder masih mempertentang-kan bahwa Yahya kemungkinan adalah pengarang al-Muwaṭṭa'. Setidaknya, demikianlah yang dikatakan Motzki.[30]
Apabila model penafsiran Calder atas fenomena common link itu tepat dan kemudian ia diterapkan pada bundel isnād hadis tentang kucing yang dikaji oleh Calder,[31] di mana Malik tampak sebagai periwayatnya maka muncul beberapa persoalan: pertama, apakah Malik adalah tokoh yang dianggap oleh semua kelompok ulama fiqh sebagai tokoh yang kebal dari kritik? Asumsi ini ternyata tidak terbukti karena memang tidaklah demikian kenyataannya. Kedua, kelompok mana yang menolak hadis ini? Tampaknya tidak ada satu aliran pun yang menolak hadis tersebut. Sebab, aliran Maliki, Syafi'i, dan Hanbali sama-sama menerimanya karena telah terbukti bahwa hadis itu terdapat dalam kitab Muwaṭṭa’ Yahya dan al-Syaibani, juga dalam kitab al-Umm dan Musnad Ibnu Hanbal. Bahkan, aliran Hanafi pun tidak menolaknya, walaupun mereka mungkin tidak begitu menyukainya, sebagaimana terbukti dalam Muwaṭṭa’ al-Syaibani. Ketiga, siapa yang dituduh sebagai para periwayat yang lemah dalam bundel isnād hadis tersebut? Berdasarkan karya-karya biografis, tak seorang pun dari enam belas periwayat hadis itu yang meriwayatkannya dari Malik dan tak seorang pun dari orang-orang yang muncul dalam isnād setelah meraka tergolong periwayat lemah. Mereka semua dinyatakan "dapat dipercaya" atau "sangat dapat dipercaya" (ṣaduq atau thiqah), baik secara umum maupun secara khusus, yakni hubungan periwayatan mereka dari Malik.[32]
Dengan bukti-bukti di atas, menurut Motzki, interpretasi dan skenario Calder tidak dapat dipertahankan. Skenario tersebut tidak mampu menjelaskan fenomena common link. Kritik tajam Motzki atas Calder itu tergambar dalam kata-katanya berikut ini: “It thus seems that Calder's "scenario" does not work. It can not explain the common-link phenomenon. It is, therefore, reasonable to ignore his ideas and to proceed on the basis of the assumption that a common link is a central figure in the propagation of a hadith. In the case of the hadith about the cat, Malik plays this role.”[33] (Dengan demikian, tampak bahwa skenario Calder tidak bekerja. Ia tidak menjelaskan fenomena common link. Oleh karena itu, adalah masuk akal untuk mengabaikan ide-idenya dan meneruskan berdasarkan asumsi bahwa seorang common link adalah tokoh sentral dalam perkembangan sebuah hadis. Dalam kasus hadis tentang kucing, Malik memainkan peranan ini).

V.           ANALISA PEMIKIRAN NORMAN CALDER
Calder memperluas sikap skeptisisme atas isnād hadis melebihi skeptisisme Schacht dan Goldziher. Dalam faktanya, keraguan tokoh itu atas validitas teori common link merupakan implikasi logis dari sikap skeptisisme mereka atas autentisitas isnād. Jika seseorang meragukan autentisitas sistem isnād, maka tentunya Ia meragukan seluruh naskah atau teks hadis awal yang memakai isnād, sebagai alat untuk membuktikan autentisitasnya. Calder mempunyai kecenderungan untuk mendekonstruksi atau menghancurkan informasi sejarah mengenai dating tradition (menaksir umur hadis) berdasarkan metode common link.
Adapun dari sisi yang lain Berg menyebut pandangan Norman Calder sama saja dengan Michael A. Cook,[34] sebagai pandangan hiper-skeptisisme yang merupakan akibat dari upaya mempertahankan pen-dekatan neo-skeptisismenya atas teks-teks awal hadis. Hiper-skeptisisme cende-rung menolak bukti apapun yang bertentangan dengan pendekatan neo-skeptisnya.[35]
Calder menyatakan bahwa metode common link terkadang bisa digunakan untuk menelusuri asal mula hadis, tetapi terkadang metode itu tidak dapat digunakan. Kapan metode common link dapat digunakan dan kapan ia tidak dapat digunakan sebagai alat untuk menelusuri asal-usul dan sumber hadis, Calder tidak memberikan penjelasan yang cukup memadai.[36] Calder memulai penelitian berangkat dari kajian hukum Islam, seperti yang dilakukan oleh Joseph Schacht dan Yasin Dutton. Calder mengkaji beberapa literatur fikih paling berpengaruh dalam tiga aliran hukum fiqh, seperti aliran hukum Hanafi, Maliki, dan Syafi’i.[37]
Calder telah melakukan dating hadis ke masa yang lebih belakangan daripada dating hadis yang telah dilakukan oleh Schacht dan Juynboll sekalipun. Sebagai contoh, ia menyatakan bahwa kitab Muwaṭṭa’ yang ada sekarang ini bukan karya Imam Malik bin Anas, tetapi produk yang ditulis di Cordoba pada akhir abad 3 H. oleh muridnya, Yahya bin Yahya al-Layts (230 H). Namun hal ini telah dibantah oleh Yasin Dutton, dengan bukti-bukti sebagai berikut: pertama; Terdapat penggalan teks yang ditulis di atas daun lontar yang merujuk kepada pendapat di atas yang oleh Abbott diberi tahun penulisan menurut bukti tekstual, menurut kondisi masa Malik sendiri pada paruh kedua abad ke-2 H. kedua; Dutton memiliki penggalan riwayat dari Ali bin Ziyad berbentuk kertas kulit yang ditulis pada 288 H yang penggalan riwayat ini merujuk kepada pendapat di atas. ketiga Perbandingan terhadap riwayat Ibnu Ziyad dengan riwayat-riwayat lainnya baru-baru ini telah tersedia, baik sepenuhnya atau sebagian dalam bentuk catatan, khususnya riwayat-riwayat dari Yahya bin Yahya al-Layts, Asy-Syaybani, al-Qa’nabi, Suwaid dan Abu Mus’ab menunjukkan bahwa seluruh enam riwayat itu memiliki pokok isi yang sangat mirip dan karenanya dengan jelas merepresentasikan satu teks. Keempat; Dutton memiliki bukti sekunder berupa literatur biografis yang mengungkapkan sebagian dari sejumlah orang yang meriwayatkan al-Muwaṭṭa’ secara langsung dari Malik dan juga sebagian dari sejumlah komentar yang ditulis di dalamnya sebelum tahun yang diajukan oleh Calder bagi kemunculan kitab itu sekitar 270 H.[38]

VI.        KESIMPULAN
Norman Calder tampak lebih skeptis daripada Goldziher dan Schacht dalam memandang autentisitas hadis. Oleh karena itu, Norman Calder dapat dimasukkan pada fase keempat, yakni fase neo-skeptisisme. Secara umum, perhatian Calder tertuju pada autentisitas, kronologi dan kepengarangan hadis. Calder menolak validitas teori common link jika dijadikan metode untuk membuktikan dan menelusuri asal muasal dan sumber hadis. Bagi Calder mengingkari bahwa metode common link itu dapat dipakai untuk mengetahui penanggalan hadis. Baginya, fenomena common link sebagai satu ciri yang terdapat dalam literatur hadis sangat terkait dengan kompetisi antar berbagai kelompok di kalangan para ahli hukum dan yang lainnya pada paroh kedua abad ketiga hijrah yang masing-masing terlibat dalam proses kritik isnād satu sama lain.




DAFTAR PUSTAKA






























[1] A. C. Muna, "Orientalis Dan Kajian Sanad: Analisis Terhadap Gha. Juynboll. Malaysia: Jabatan Al-Qur`an Dan Hadith Bahagian Pengajjian Ushuluddin Akademi Pengajian Islam Universiti Malaya Kuala Lumpur," (2008).Hal.63 Secara umum, orientalis mengkaji ilmu-ilmu keislaman dimulai sejak abad 17 M dan mencapai puncaknya pada pertengahan abad 19 M. lihat: S. Arif, Orientalis Dan Diabolisme Pemikiran (Jakarta: Gema Insani, 2008). Hal.28
[2] Ali Masrur, "Neo-Skeptisisme Michael Cook Dan Norman Calder Terhadap Hadis Nabi Muhammad," Jurnal Theologia Vo. 28 No.1, (Juni 2017). Hal.1-28. Lihat pula dalam: Herbert Berg, The Development of Exegesis in Early Islam: The Authenticity of Muslim Literature from the Formative Period (Surrey: Curzon Press, 2000). Hal. 8-64. Lihat pula: Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A Juynboll: Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi (Yogyakarta: LKiS, 2007). Hal.33-48. Norman Calder dalam bukunya Studies in Early Muslim Jurisprudence, ia mengembangkan lebih jauh skeptisisme Schacht terhadap teks-teks hukum Islam masa awal hingga ke abad ke-8 dan ke-9. Ia meneliti teks-teks klasik fiqh madzhab Maliki seperti al-Muwaththa’ karya Malik ibn Anas dan al-Mudawwanah al-Kubra karya Sahnun. Berlawanan dengan pandangan tradisional bahwa al-Muwaththa’ merupakan karangan Imam Malik dan bahwa Mudawwanah ditulis Sahnun setengah abad kemudian untuk menghimpun fatwa-fatwa dan pemikiran gurunya tentang hukum, Calder menyimpulkan bahwa urutan kedua buku tersebut mestinya terbalik. Muwaththa’ menurutnya ditulis satu abad lebih akhir daripada yang dikira orang dan bahwa buku ini bukan tulisan Malik sendiri, melainkan buku kompilasi yang ditulis oleh banyak penulis. Lihat dalam: Norman Calder, Studies in Early Muslim Jurisprudence (The Clarendon Press: Oxford, 1993). Hal.1-38. Lihat juga dalam: Yasin Dutton, "Amal V. Hadith in Islamic Law: The Case of Sadl Al-Yadayn (Holding One’s Hands by One’s Sides) When Doing the Prayer," Islamic Law and Society Vol.3 No.1, (1996). Hal. 13-40. Norman Calder juga melakukan Kritisisme yang sama atas otentisitas al-Risalah, karya Muhammad ibn Idris al-Syafi‘i. Calder berargumen bahwa al-Risalah memiliki gaya tulisan dan struktur yang membuatnya tidak mungkin ditulis oleh al-Syafi‘i sendiri. Lihat dalam: Calder. Hal.223-243. Lihat pula kritik dan juga respons dari: Joseph E. Lowry, "Legal Hermeneutics of Al-Shāfi‘Ī and Ibn Qutayba: A Reconsideration," Islamic Law and Society Vol.11 No.1, (2004). Hal. 1-41.
[3] Teori Common Link yakni sebuah teori yang beranggapan bahwa orang yang paling bertanggungjawab atas kemunculan sebuah hadits adalah periwayat poros (common link) yang terdapat di tengah bundel sanad-nya. Common link itulah yang menurut Juynboll merupakan pemalsu dari hadits yang dibawanya. Argumennya satu: Jika memang sebuah hadits itu telah ada semenjak Rasulullah saw, mengapa ia hanya diriwayatkan secara tunggal di era Shahabat atau Tabi’in, lalu baru menyebar setelah Common Link. Juynboll menganggap fenomena ini muncul karena common link itulah yang pertama kali memproduksi dan mempublikasikan hadits tersebut dengan menambahkan sebuah jalur sanad ke belakang sampai Nabi SAW. Kesimpulan dari teori common link adalah tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa hadits dapat ditelusuri kesejarahannya sampai kepada Nabi SAW.lihat dalam: K. Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadits (Jakarta: Himmah, 2009). Hal.155
[4] Michael A. Cook, Early Muslim Dogma: A Source Critical Study (Cambridge: Cambridge University Press, 1981). Hal.115
[5] Norman Calder, Studies in Early Muslim Jurisprudence (Oxford: Oxford University Press, 1993). Hal.240.
[6] Cook. Hal. 107-109.
[7] Juynboll  dalam bukunya, Muslim Tradition, yang membahas asal mula, perkembangan awal, dan otentisitas literatur Hadits, ia susun, klaimnya, sebagai sebuah usaha untuk menemukan jalan tengah dari studi Hadits Barat yang menurutnya terlalu kritis di satu sisi, dan pendirian kaum Muslim yang menerima begitu saja literatur Hadits tanpa kajian kritis. Lihat dalam: G.H.A. Juynboll, Muslim Tradition: Studies in Chronology, Provenance and Authorship of Early Hadīth (Cambridge: Cambridge University Press, 1983). Hal.3 selanjutnya Juynboll mengakui bahwa asal-usul Hadits bisa dilacak hingga ke masa Nabi. Namun ia menambahkan bahwa “hampir tak mungkin kita bisa menemukan metode yang lumayan berhasil untuk membuktikan historisitas penisbatan sebuah Hadits kepada Nabi kecuali hanya dalam contoh-contoh tententu.” “Terlalu banyak Sahabat,” tuturnya, “yang dilaporkan meriwayatkan Hadits dalam jumlah begitu kolosal sehingga mustahil bagi kita menemukan metode yang kokoh untuk menyaring bahan yang otentik dari yang palsu”. Ibid. hal.71.
[8] Harald Motzki, "The Prophet and the Cat: On Dating Malik Muwatta' and Legal Traditions," dalam JSA122, (1998). Hal.32
[9] Masrur, "Neo-Skeptisisme Michael Cook Dan Norman Calder Terhadap Hadis Nabi Muhammad." Hal. 13
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Goldziher adalah seorang ‘Syaikh’ bagi generasi Islamforscher yang lebih muda, lihat: Suzanne L. Marchand, German Orientalism in the Age of Empire: Religion, Race, and Scholarship (Cambridge: Cambridge University Press, 2009). Hal.331. Maka tidak mengherankan bila pandangan-pandangannya tentang Hadits segera diamini oleh para Orientalis berikutnya. C. Snouck Hurgronje (w. 1936), kawan sezaman Goldziher, berpendapat bahwa literatur Hadits merupakan produk persaingan kelompok-kelompok sektarian yang mendominasi tiga abad pertama dalam Islam, dan dengan demikian mencerminkan pandangan-pandangan mereka. Lihat: C. Snouck Hurgronje, Mohammedanism: Lectures on Its Origins, Its Religious and Political Growth, and Its Present State (New York: G.P. Putnam’s Sons, 1916).
[13] Tokoh orientalis ini sangat berbengaruh dalam studi hadist.lihat karyanya yang sangat fenomenal tersebut dalam: Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford: Oxford University Press, 1979). Lihat pula bukunya yang lain:Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law, trans., Joko Supomo (Bandung: Nuansa, 2010).
[14] Calder, Studies in Early Muslim Jurisprudence. Lihat pula dalam: The Islamic Foundation and The International and Islamic Thought, "Studies in Early Muslim Jurisprudence by Norman Calder, Oxford  University Press, 1993," The Muslim World and Review Vol. 15 No. 1 Autumn, (1994).
[15] Norman Calder, Studies in Islamic and Middle Eastern Tekss and Traditions in Memory of Norman Calder, ed. Alexander Samely dan Jawid Ahmad Mojaddedi (Oxford: Oxford University Press, 2000).
[16] Norman Calder, Classical Islam: A Sourcebook of Religious Literature (Routledge, 2003).
[17] Norman Calder, Interpretation and Jurisprudence in Medieval Islam, ed. Jawid Mojaddedi and Andrew Rippin (Ashgate Variorum, 2006).
[18] Norman Calder, Islamic Jurispruden in the Classical Era, ed. Colin Imber (New York: Cambridge University Press, 2010).
[19] Norman Calder secara khusus mengkritik teori common link Joseph Schacht. Baginya, teori common link tidak relevan dengan penanggalan hadits. Sebuah hadits yang mempunyai common link dalam rangkaian sanad, tidak serta merta hasil pemalsuan yang dilakukan oleh common link. Calder memahami bahwa common link adalah hasil kompetisi yang muncul di antara kelompok fiqh pada abad III H. Kompetisi yang dimaksud Calder adalah ketika sebuah matan diterima oleh beberapa kelompok, maka masing-masing kelompok membuat-buat sanad untuk mengesankan tradisi ilmiah masing-masing. Dan karena semua kelompok mengenal tokoh yang sama (the Common Heroes) pada masa Tabi’in, maka mereka cenderung mengeluarkan hadits dengan cenderung menghilangkan ling yang ketiga dan keempat. Menurutnya, scenario seperti ini yang kemudian menyebabkan adanya Common link yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan asal muasal matan. Common link menurut Calder tidak lebih merupakan hasil persaingan kelompok pada abad ke III H. lihat dalam: Hasan Suadi, "Menyoal Kritik Sanad Joseph Schahct," Jurnal Studi Hadis Volume 2 Nomor 1, (2016). Hal.88-89.
[20] Calder, Studies in Early Muslim Jurisprudence. Dalam tulisannya ini Calder menyajikan data dan analisisnya tentang madzhab imam maliki, imam abu hanifah dan madzhab imam syafi’i.
[21] Ibid. Hal. 161-173
[22] Ibid. Hal. 173-180.
[23] Ibid. Hal.163
[24] Ibid. Hal.240
[25] Ibid. hal. 237
[26] Ibid.
[27] Motzki, "The Prophet and the Cat: On Dating Malik Muwatta' and Legal Traditions." Hal.37
[28] Ibid.
[29] Calder, Studies in Early Muslim Jurisprudence. Hal.240.
[30] Motzki, "The Prophet and the Cat: On Dating Malik Muwatta' and Legal Traditions." Hal. 36
[31] Dalam Muwaṭṭa', ada sebuah hadis Nabi SAW yang mengizinkan air dalam sebuah bejana yang telah diminum oleh seekor kucing untuk dipakai wudhu' karena kucing adalah hewan piaraan. Ibid. hal. 23
[32] Ibid. Hal.37
[33] Ibid. Hal. 37-38
[34] Cook. Lihat juga dalam: Masrur, "Neo-Skeptisisme Michael Cook Dan Norman Calder Terhadap Hadis Nabi Muhammad." dan juga dalam:Imam Sahal Ramdhani, "Teori the Spread of Isnad (Telaah Atas Pemikiran Michael Allan Cook)," Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Qur'an dan Hadis 16, no. 2 (2015).
[35] Berg. Hal.48 lihat pula dalam: Ramdhani, "Teori the Spread of Isnad (Telaah Atas Pemikiran Michael Allan Cook)."
[36] Hal ini berbeda dengan Cook, ia menolak sama sekali validitas metode common link karena metode itu tidak menggambarkan bahwa sebuah hadis bersumber dari seorang periwayat kunci tertentu, yang menduduki posisi common link dalam satu bundel isnādnya, tetapi karena tiga skenario penyebaan isnād dalam skala besar telah terjadi di zaman awal Islam. Sayangnya, tiga skenario pe-nyebaran isnād, yang menurut Cook merupakan penjelasan dari teori the spread of isnād, telah merusak teori common link dan membuatnya tidak dapat dioperasikan lagi.
[37] Hal ini berbeda dengan Cook, ia memulai penelitian berangkat dari kajian teologi Islam, yakni mengkaji persoalan asal mula dan perkembangan kontroversi aliran teologi, Jabariyah dan Qadariy-yah pada masa Islam awal, seperti yang telah dilakukan oleh Joseph van Ess
[38] Dutton, "Amal V. Hadith in Islamic Law: The Case of Sadl Al-Yadayn (Holding One’s Hands by One’s Sides) When Doing the Prayer." Dan lihat pula: Yasin Dutton, Awal Mula Hukum Islam: Alqur’an, Muwatta’ Dan Praktek Madinah (Yogjakarta: Islamika, 2003).

Comments

Popular posts from this blog

HADITS-HADITS AHKAM TENTANG JUAL BELI (SALE AND PURCHASE)

SHUNDUQ HIFZI IDA’ (SAFE DEPOSIT BOX) BANK SYARI’AH

STUDI TENTANG PEMIKIRAN IMAM AL-SYAUKANI DALAM KITAB IRSYAD AL-FUHUL