STUDI KRITIS TERHADAP TEKS (CRITICAL TEXTUAL STUDIES): NORMAN CALDER
PENDEKATAN
KLASIKAL/ ORIENTALIS: STUDI KRITIS TERHADAP TEKS (CRITICAL TEXTUAL STUDIES):
NORMAN CALDER
Nur Moklis
I.
PENDAHULUAN
Studi tentang hadis di dunia Barat
telah berkembang menjadi empat fase.[1] Pertama, fase skeptisisme Barat awal yang berusaha meragukan
autentisitas hadis dengan argumentasi bahwa telah terjadi pemalsuan
besar-besaran dalam sejarah pe-riwayatannya. Kedua, fase reaksi terhadap skeptisisme Barat yang menjawab
berbagai kritik dan tuduhan para revisionis Barat terhadap hadis Nabi Muhammad
SAW. Ketiga, fase upaya mencari jalan
tengah yang, di satu sisi, ada persamaan dengan para pemikir revisionis Barat,
tetapi, di sisi lain, hasil temuan-nya berdiri di jalan tengah antara dua
paradigma di atas: paradigma revisionis dan paradigma tradisional. Adapun yang keempat adalah fase neo-skeptisisme
Barat yang berupaya untuk meragukan hadis Nabi dengan mengembangkan metode para
revisionis Barat atau menggunakan metodenya sendiri. Tokoh-tokoh yang termasuk
ke dalam fase keempat ini adalah Michael A. Cook dan Norman Calder.[2] Dua
tokoh dalam fase ini lebih skeptis daripada Goldziher dan Schacht. Secara umum,
perhatian Cook dan Calder tertuju pada autentitas, kronologi dan kepengarangan
hadis. Jika Cook berangkat dari hadis-hadis teologi, maka Calder berangkat dari
hadis-hadis hukum. Persamaannya terletak pada pendapat keduanya bahwa teori
common link[3]
tidak dapat digunakan untuk menelusuri asal mula hadis. Menurut Cook, munculnya
fenomena common link adalah akibat dari proses penyebaran isnad dalam skala
besar. Fenomena common link tidak menunjukkan bahwa sebuah hadis benar-benar
bersumber dari seorang periwayat kunci. Calder juga mengingkari validitas
metode common link. Baginya, fenomena common link sangat terkait dengan
kompetisi antar berbagai madzhab fikih di masyarakat Islam pada paroh kedua
abad ketiga hijrah.[4]
Dalam karyanya berjudul Studies in Early Muslim Jurisprudence Norman Calder mengingkari bahwa metode common link itu dapat dipakai untuk
mengetahui penanggalan hadis. Baginya, fenomena common link sebagai satu ciri yang terdapat dalam literatur hadis
sangat terkait dengan kompetisi antar berbagai kelompok di kalangan para ahli
hukum dan yang lainnya pada paroh kedua abad ketiga hijriah yang masing-masing
terlibat dalam proses kritik isnād satu
sama lain.[5] Hal senada juga di
kemukakan oleh Michael A. Cook yang mengatakan dalam Early Muslim Dogma, munculnya feno-mena common link adalah akibat dari proses penyebaran isnād dalam skala besar. Fenomena common link tidak menunjukkan bahwa
sebuah hadis benar-benar bersumber dari seorang periwayat kunci.[6] Oleh karena itu, metode common link yang dikembangkan oleh
Juynboll[7] tidak dapat dipakai untuk
menelusuri asal-usul, sumber, dan kepengarangan hadis pada masa awal Islam.
II.
BIOGRAFI NORMAN CALDER
Norman Calder dilahirkan pada tahun 1950 di Buckie, Skotlandia.
Norman Calder melanjutkan kuliahnya ke Sekolah Tinggi Wadham, Oxford, pada
tahun 1969. Ia mendapatkan penghargaan (Award) pertama kali dalam bahasa
Arab dan bahasa Persia pada tahun 1972. Kemudian ia menghabiskan waktu empat
tahun di Timur Tengah untuk mengajar bahasa Inggris. Sekembalinya dari Timur
Tengah, ia mendaftarkan diri sebagai mahasiswa program Doktor, di bawah bimbingan
John Wansbrough di School of Oriental and African Studies (SOAS).
Disertasinya yang berjudul, "The Structure of Authority in Imami Shi'i
Jurisprudence", adalah sebuah karya yang mengagumkan.[8]
Karya ini terus dijadikan
rujukan oleh para sarjana Syi'ah kira-kira dua puluh tahun setelah ia
menyelesaikan program Doktornya. Disertasi ini dan beberapa artikel yang
diambil darinya, lebih jauh menegaskan wilayah hukum Syi'ah yang diabaikan di
dunia akademik Barat. Ketertarikannya terutama adalah hubungan antara
epistemologi dan autoritas. Ia menguji bagaimana para ahli hukum Syi'ah
mengembangkan sebuah teori hukum yang melindungi peran mereka sebagai sarjana (ulama'
fiqh) dan hak prerogatif mereka sebagai penafsir. Tema-tema ini
dikembangkan dan diperluas dalam artikel-artikel belakangan, yang
menitikberatkan kepada semacam tokoh yang bermacam-macam seperti al-Syafi'i, Sabzawari
dan Khomaini.[9]
Norman Calder adalah seorang dosen senior di bidang bahasa Arab dan
Studi-Studi Keislaman di Jurusan Middle Eastern Studies di Universitas
Manchester. Ketika meninggal pada 13 Pebruari 1998 di usia 47, ia merupakan
salah seorang sarjana terkemuka di bidang studi yurisprudensi Islam dan
hermeneutika. Pada saat ia meninggal dunia, Norman Calder telah menjadi seorang
sarjana terkemuka yang didiskusikan paling luas di bidang hukum Islam. Hal ini
disebabkan karena karya ilmiahnya yang berjudul, Studies in Early Muslim
Jurisprudence (Oxford, 1993), yang dengan berani telah menantang berbagai
teori para ahli hukum Islam tentang asal mula hukum Islam.[10]
Meskipun ia menderita sakit menjelang ajalnya, ia menerima watak
sakitnya. Ia tidak pernah menyerah kepada sakit yang dideritanya. Ia tetap
melaksanakan berbagai kegiatan ilmiah seperti membaca, meneliti dan menulis
hingga hari-hari kematiannya. Pikirannya yang tajam tidak berkurang oleh
kelemahan badan dan fisiknya yang kian bertambah. Ia menaruh pekerjaan-pekerjaannya
agar dapat mempersiapkan karya-karya akademiknya yang masih tersisa untuk dapat
dipublikasikan di kemudian hari.[11]
III.
KARYA-KARYA NORMAN CALDER
Sebagai seorang sarjana di bidang hukum Islam, ia meninggalkan
beberapa karya yang nilai ilmiahnya sangat tinggi. Karya-karya Calder yang
telah di-publikasikan di penerbit bertaraf internasional itu adalah:
1.
Norman Calder, Studies in Early Muslim Jurisprudence, Oxford University Press,
1993. Buku ini menawarkan sebuah teori yang koheren mengenai asal mula dan
perkembangan awal Hukum Islam. Penulis buku ini mendasarkan argumentasi-nya
dalam serangkaian paragraf yang representatif dari karya-karya di bidang hukum
Islam di masa awal, sebagiannya diterjemahkan di sini untuk pertama kalinya.
Bab-bab yang berturut-turut dalam buku ini menunjukkan kreativitas peradaban
orang Muslim awal dalam bentuk sastra, norma-norma hukum, dan teknik
penafsiran. Mengambil dari tradisi kesarjanaan Islam yang diwakili oleh
tokoh-tokoh seperti Ignaz Goldziher,[12] Joseph Schacht,[13] and John Wansborough,
Calder tampaknya sensitif juga terhadap perkembangan metodologi dan teknik berbagai
bidang studi yang paralel antara studi Bible dan kependetaan. Dengan mendasarkan
semua generalisasi utamanya dalam rincian tektual yang tepat, ia membangkitkan
berbagai perhatian sosial, politik, dan intelektual terhadap peradaban Muslim
pada periode pembentukannya. Calder menunjuk-kan, beberapa konotasi yang biasa
tidak pantas untuk memahami yurisprudensi orang Muslim pada masa awal.
Teks-teks yang sampai ke tangan kita (survive)
mengangkat dan merekam hidup-hidup tentang bagaimana masyarakat Muslim awal
menciptakan simbol-simbol utama identitas mereka sendiri.[14]
2.
Norman Calder, Studies in Islamic and Middle Eastern Tekss and Traditions in Memory of Norman Calder, By. Norman
Calder, Alexander Samely, Jawid Ahmad
Mojaddedi, Oxford University Press, 2000. Buku ini merefleksikan ketertarikan
dan sumbangan akhir Norman Calder sendiri. Ia mencakup berbagai artikel yang
ditulis oleh para sarjana yang terkenal, seperti Calder, karena pendekatan
mereka yang berpengalaman, njelimet, dan menantang teks-teks Arab dan Islam.
Makalah-makalah itu mengkaji ber-bagai topik yang menarik masyarakat di bidang
kebudayaan Timur Tengah, dan pada dasarnya sama dengan berbagai koleksi,
karya-karya hasil konferensi, dan Festschriften.
Yang direpresentasikan adalah murid-muridnya terlebih dahulu, para koleganya yang bekerja di bidang
studi kependetaan, yang telah meng-informasikan karyanya sendiri. Topik-topik
itu meliputi transformasi tradisi Yahudi pada masa Islam awal: kasus
Enoch/Idris, narasi dan doktrin dalam kisah pertama Masnavi Jalaludin Rumi,
fikih untuk para pemula: Teks Anatolia tentang jihad, riset tentang kelompok
Minoritas Muslim: beberapa refleksi tentang bidang kerja di Inggris, peraikahan
rusak dalam fikih Hanafi klasik, dan apakah hak-hak asasi dapat hidup
berdampingan dengan agama.[15]
3.
Norman Calder, Classical Islam: A Sourcebook of Religious Literature. Routledge,
19 September 2003. Buku sumber yang menentukan ini menghadirkan lima puluh
terjemahan baru teks-teks Islam kunci yang autoritatif. Diedit dan
diterjemahkan oleh tiga spesialis terkemuka dan dikontekstualisasikan dengan
jelas untuk para maha-siswa tingkat pengenalan, ia mengilustrasikan pertumbuhan
pemikiran Islam dari asal pada abad ke-7 melalui periode abad pertengahan.
Delapan bagian yang terorganisisr secara tematis mencakup berbagai topik
seperti al-Qur’an dan penafsirannya, sejarah hidup Muhammad, hadis, hukum,
ritus-ritus, tasawuf dan sejarah Islam. Di antara berbagai seleksi adalah
semacam mutiara seperti uraian Ibnu 'Abbas tentang perjalananan yang
menyenangkan, al-Taftazani tentang tidak diciptakannya al-Qur’an sebagai kalam
Allah, al-Farabi tentang kemampuan jiwa, dan menggali dari Matsnavi Rumi.
Dilengkapi dengan daftar glosarium yang cukup membantu, daftar pustaka yang
luas dan kata pengantar yang menjelaskan masing-masing bagian, buku ini
menfokuskan pada gaya atau aliran sastra kesarjanaan Muslim, yang di dalam
berbagai variasi kreatifnya, doktrin Islam mengambil bentuk dan menjadi matang.
Dengan beberapa kutip-an yang diterjemahkan di sini pertama kali ke dalam
bahasa Inggris, Perancis dari sumber-sumber berbahasa Arab dan Persia, Islam
klasik adalah sumber pokok bagi sebuah penghargaan tentang Islam awal, Islam
abad pertengahan dan warisannya.[16]
4.
Norman Calder. Interpretation and Jurisprudence in Medieval Islam, (eds.) Jawid
Mojaddedi and Andrew Rippin. Ashgate Variorum, 2006. Buku yang terdiri dari dua
puluh satu artikel ini merepresentasikan ke-kayaan dan keragaman dari oeuvre Calder, dari riset doktornya yang
pertama tentang Islam Syi'ah hingga tulisan-tulisannya yang lebih filosofis
belakangan ini tentang hermenetika Sunni, selain sejumlah studi tentang sejarah
dan yurisprudensi Islam awal. Penelitian pionir Calder yang didasarkan pada
pem-bacaan yang sensitif atas teks-teks abad pertengahan yang diinformasikan
secara penuh oleh teori kritis kontemporer, seringkali menantang berbagai
asumsi yang mapan saat itu. Ia dikenal khususnya karena telah mendesak
taksir-an dari berbagai prasangka yang dipegangi secara luas yang menaksir
terlalu rendah tingkat kreativitas kesarjanaan Islam abad pertengahan. Beberapa
artikel dalam buku ini telah menjadi klasik untuk bidang-bidang studi
yuris-prudensi Muslim dan hermeneutika.[17]
5.
Norman Calder, Islamic Jurisprudence in the Classical Era, Cambridge: Cambridge
University Press, 2010. Sepuluh tahun setelah kematiannya di usia yang terlalu
muda, Norman Calder masih dianggap sebagai seorang bintang di bidang hukum
Islam. Pada saat itu, ia adalah orang di antara sedikit sarjana Barat yang
mulai tertarik dengan mata kuliah itu. Pada beberapa tahun yang menyelangi,
banyak yang berubah, dan hukum Islam sekarang dipahami sebagai dasar bagi
ketertarikan apapun dengan studi Islam, sejarahnya, masyarakatnya, karya Dr.
Calder ini adalah integral dengan ketertarikan itu. Dalam buku ini, Colin Imber
telah me-letakkan bersama-sama dan mengedit empat essai Calder yang tidak
pernah di-publikasikan sebelumnya. Secara tajam, mereka mengkategorikan dan
meng-analisa genre yang berbeda
mengenai literatur hukum Islam yang diproduksi antara abad sepuluh dan
empatbelas, dengan menunjukkan fungsi apa yang mereka berikan, baik dalam
menjaga hukum Islam, tradisi keagamaan maupun dalam kehidupan keseharian
masyarakat mereka. Esai-esai itu juga menguji status dan peranan para ahli
hukum sendiri dan secara khusus disambut baik karena telah memberi jawaban yang
jelas atas berbagai persoalan kontroversial tentang sejauh mana hukum Islam dan
pemikiran hukum telah berubah selama beberapa abad, dan sejauh mana ia mampu
beradaptasi dengan lingkungan baru. Dalam pendahuluan buku itu, Robert Gleave
menilai kedudukan dan pentingnya karya Calder di bidang studi hukum Islam. Ini
adalah buku peng-galian pertama salah seorang sarjana paling penting dari
generasinya.[18]
IV.
METODE YANG DIGUNAKAN DALAM MENELITI HUKUM ISLAM
Sejalan dengan Michael Cook, Norman Calder juga meragukan validitas
metode common link[19]
dan informasi sejarah yang didapatkan melaluinya. Akan tetapi, untuk memahami
maksud dari kritiknya terhadap teori tersebut dengan lebih baik, sebelumnya
penulis akan terlebih dahulu membicarakan pandangan-nya mengenai proses yang
memproduksi teks-teks dan bahan-bahan tertulis, termasuk di dalamnya adalah
teks-teks hadis.
Calder dalam bukunya Studies
in Early Muslim jurisprudence, dia mengkaji enam teks hukum dari tiga
aliran hukum Islam.[20] Teks-teks itu adalah: Mudawwanah karya Sa-nun, kitab Muwaṭṭa’ karya imam Malik, beberapa teks
imam Hanafi, Kitāb al-Umm karya imam al-Syafi'i,
kitab Mukhtaṣar karya Muzani, dan Kitāb al-Kharaj karya Abu Yusuf. Kajian
Calder dalam buku ini, terutama berpijak pada analisa sastra atas teks-teks
fiqh yang paling pokok dan dilanjutkan dengan diskusi umum mengenai
yurisprudensi Islam pada abad-abad awal tahun hijriah. Ketika menilai bentuk
sastra dari karya-karya itu pada saat kemunculannya, Calder menyatakan bahwa
dikotomi tradisional antara periwayat lisan (oral) dan tertulis (written)
seharusnya tidak digambarkan sedemikian tajamnya.
Teks-teks yuristik, dalam bahasa yang dipakai untuk mengungkapkan
periwayatan hadis, seperti ḥaddatha, qala, dan akhbara, membuktikan adanya aktivitas lisan yang signifikan, yakni
kreativitas dan periwayatan. Selain itu, Calder menekankan pentingnya mengakui
bahwa teks-teks tertulis seperti yang ada sekarang ini tidak hanya
merepresentasikan sebuah bagian dari korpus tertulis pada saat itu, tetapi juga
sebuah bagian yang lebih kecil dari aktivitas lisan. Lingkungan Arab Islam
hingga awal dekade abad ketiga hijriah adalah lingkungan yang sangat produktif,
baik bagi literatur lisan maupun tertulis. Literatur lisan, setidaknya dalam
konteks yuristik, sering merupakan produk dari sebuah proses diskursif.
Sedangkan literatur tertulis memperlihatkan adanya aktivitas lisan ini dan
tampaknya mereka juga berupaya menciptakannya kembali. Buku-buku merupakan
literatur kedua setelah periwayatan lisan dan pada awalnya ada dalam bentuk
buku-buku catatan pribadi.[21]
Pemilik sebuah buku catatan, lanjut Calder, mengontrol isinya.
Berbagai kelompok yang tertarik menulis sama'
(pendengaran) mereka dari si fulan dan si fulan. Tidak ada alasan untuk
menganggap bahwa sebuah sama'
seseorang sama dengan sama' orang
lain meskipun dari guru yang sama. Dan, sangat mungkin bahwa dua pendengar pada
majlis yang sama akan membuat catatan
berbeda. Mereka merekam ucapan guru mereka dan menuliskannya dengan kata-kata
mereka sendiri. Bahkan mungkin mereka membaca kembali catatan-catatan yang
berbeda itu di hadapan guru mereka dan kemudian mendapat persetujuannya.
Akhirnya, mereka menyimpan dan meriwayatkan bahan-bahan mereka sendiri, bukan
buku dari guru mereka. Otoritas atau keterampilan para periwayat semacam inilah
yang akhirnya menimbulkan sebuah teks tertentu yang kemudian disandarkan kepada
seorang guru yang disebutkan namanya. Antara buku catatan yang pertama dan teks
tertentu ada beberapa tahap yang dialami. Oleh karena itu, menurut Cader, yang
memproduksi buku-buku catatan ini adalah para murid, bukan para guru. Buku-buku
catatan itu mungkin disebarkan atau dihancurkan, namun kandungannya disalin ke
buku-buku catatan yang lain walaupun bukan tidak mungkin bahwa bentuk dan
kandungannya mengalami berbagai perubahan dalam proses penyalinannya. Pada
akhirnya, sebuah sistem kontrol dikembang-kan di mana seorang guru mengarang
dan menerbitkan buku-bukunya dengan cara mempekerjakan para sekretarisnya atau
dengan cara meminta para murid-nya untuk membandingkan catatancatatan mereka
dengan bukunya.[22]
Dengan demikian, kata Calder, pada abad ketiga Hijriah terdapat
suatu pergeseran dari lingkungan lisan yang dominan ke lingkungan tertulis
melalui mediasi buku-buku catatan ini, seperti dikatakan Calder berikut ini:
“The scholar's notebook and the institutional
redaction are then the two basic types of early juristic literature. Of the
former there may be no extant examples. Their existence, however, is securely
inferred from the forms and sometimes from then express words of institutional
redactions, and it is confirmed by numerous references in biographical and
other literature.”[23]
Untuk selanjutnya semakin jauh, Calder berkeyakinan bahwa tidak
hanya enam buku yang dikajinya, tetapi juga seluruh literatur Arab-Islam yang
diklaim berasal dari abad pertama, kedua, dan awal abad ketiga hijriah telah
mengalami pertumbuhan organis dan proses redaksional multi-level. Teori
pertumbuhan organik bagi literatur yuristik lisan dan tertulis ini digunakan
oleh Calder sebagai latar belakang bagi upayanya untuk menunjuk-kan bahwa matan hadis yang sama, yang memiliki
seorang common link bukan karena
hadis itu disebarluaskan oleh periwayat yang berperan sebagai common link (atau beberapa muridnya), melainkan sebagai akibat dari sebuah
skenario yang sangat berbeda. Oleh
karena itu, Calder mengingkari bahwa metode common
link itu dapat dipakai untuk mengetahui penanggalan hadis. Baginya, fenomena common link sebagai satu ciri yang terdapat dalam literatur hadis
sangat terkait dengan metode kritik isnād
yang berlaku di kalangan para ahli hukum dan yang lainnya pada paro kedua abad
ketiga Hijriah.[24]
Hal yang dimaksud Calder dengan skenario yang sangat berbeda adalah
sebagai berikut: jika ada sebuah teks (matan)
hadis yang diterima oleh beberapa kelompok yang berbeda dalam Islam,
masing-masing kelompok cenderung merebut (capture)
matan hadis yang orisinal dan
memberinya isnād yang merefleksikan
kelompok mereka. Akan tetapi, karena hampir semua kelompok mengakui dan
mengenal para pahlawan yang umum pada masa nabi maka (biasanya) pada level
tabi’in, isnād cenderung mulai
bertemu.[25]
Secara lebih khusus, kata Calder, skenario semacam ini dapat dilihat
ketika ada kompetisi antara berbagai kelompok yang masing-masing terlibat dalam
proses kritik isnād satu sama lain.
Lagi-lagi, karena mereka sama-sama memiliki rasa hormat pada generasi sahabat
dan tabiin, mereka cenderung "menggeser" sebuah hadis dengan cara
menghancurkan salah satu dari dua periwayat: pe-riwayat ketiga atau keempat,
yang berfungsi sebagai periwayat dari common
link. Misalnya, aliran X menjelaskan bahwa hukum tentang satu masalah
adalah begini atau begitu berdasarkan sebuah hadis dengan isnād berikut ini: Nabi -A-B-C-D-E. Sementara itu, aliran Y sebagai
lawan dari aliran X mengetahui bahwa hukum tentang masalah yang dibicarakan
tidak begini atau begitu, sebagaimana yang dijelaskan oleh aliran X. Akibatnya,
aliran Y terpaksa mengkritik isnād
hadis ini. Akan tetapi, ia tidak dapat mengkritik nabi, sahabat atau tabiin
dengan alasan yang telah disebutkan di depan. Yang dapat dikritik olehnya
adalah C, periwayat ketiga, dengan menyatakannya sebagai periwayat yang
memiliki hafalan yang buruk.[26]
Dengan alasan mengetahui lemahnya hubungan periwayatan W-C,
kelompok A yang setuju dengan hadis tersebut memperkuat posisi mereka dengan
menemukan isnād baru yang menunjukkan
adanya hubungan periwayatan B-J di mana J dikenal sebagai periwayat yang
memiliki daya hafalan yang luar biasa kuat. Sementara kelompok B yang menolak
hadis ini berusaha menggantinya dengan isnād
lain yang lemah: B-K, di mana K adalah pembuat bid'ah yang terkenal. Atau lebih buruk lagi, mereka
mengemukakan isnād B-K-J, di mana J
yang dapat dipercaya sebenarnya dikelabui oleh K, pembuat bid'ah itu. Aliran A
senantiasa memperbaiki periwayat yang lemah dan mencoba mengemukakan isnād yang berbeda sampai kelompok B
menyerah.
Oleh karena itu, kelompok yang ingin menerima hadis tersebut
bereaksi dengan cara memproduksi isnād-isnād baru di mana para periwayat yang
diserang oleh kelompok lain diganti dengan periwayat lain yang lebih dapat
dipercaya. Jika isnād-isnād ini ditolak lagi, maka diciptakanlah
isnād-isnād baru untuk memperbaikinya. Sebaliknya, kelompok yang menolak
hadis tersebut juga memalsukan hadis dengan memakai periwayat-periwayat lemah
di mana setelah itu mereka mengkritiknya.[27] Akibatnya, pro dan kontra
kritik isnād diarahkan kepada para
periwayat lemah yang berada pada generasi ketiga atau keempat yang terdapat
dalam isnād hadis. Hal ini, menurut
Calder, menyebabkan terjadinya fenomena common
link yang sebenarnya tidak menunjukkan asal-usul matan sebuah hadis, tetapi lebih merefleksikan proses kritik isnād dan kompetisi antar berbagai
kelompok Islam pada paroh kedua abad ketiga atau sesudahnya. Ia mengatakan:
“This leads to the common link phenomenon, which reflects nothing whatsoever about the
origins of the matn of a hadith: it reflects isnad criticism and competition in or after the second half of the
third century”.[28]
Bagi Calder, common link
dalam faktanya bukan orang yang memalsukan atau menyebarkan hadis, melainkan
seorang tokoh terdahulu sebelum tokoh yang menjadi fokus pertikaian dalam
kritik isnād satu sama lain. Meskipun
demikian, Calder tidak beranggapan bahwa metode common link tidak memiliki nilai kebenaran sama sekali karena dalam
beberapa kasus metode ini dapat digunakan. Ia berkata:
"The Common-Link Theory is not quite an
aberration of scholarship, for it has some uses."[29]
Namun demikian, ketika Calder menggunakan metode common link pada Bab II bagian empat
dalam bukunya, jelas bahwa ia tidak memahami fungsi fenomena common link sebagaimana dipahami para
sarjana Barat. Pada halaman 37-38, misalnya,
Calder berbicara mengenai beberapa periwayat yang menduduki posisi common link, padahal sebenarnya yang ada
hanyalah seorang common link, yakni Ibnu Wadhdhah. Sedangkan isnād campuran yang mengungkapkan hubungan periwayatan Ibnu Wadhdhah-
Yahya-Malik dan hubungan pe-riwayatan melalui Ubaidillah bin Yahya– Yahya-Malik,
dalam isnād itu yang menjadi common link adalah Yahya. Akan tetapi,
Calder masih mempertentang-kan bahwa Yahya kemungkinan adalah pengarang al-Muwaṭṭa'. Setidaknya, demikianlah
yang dikatakan Motzki.[30]
Apabila model penafsiran Calder atas fenomena common link itu tepat dan kemudian ia diterapkan pada bundel isnād hadis tentang kucing yang dikaji
oleh Calder,[31]
di mana Malik tampak sebagai periwayatnya maka muncul beberapa persoalan: pertama, apakah Malik adalah tokoh yang
dianggap oleh semua kelompok ulama fiqh sebagai tokoh yang kebal dari kritik?
Asumsi ini ternyata tidak terbukti karena memang tidaklah demikian
kenyataannya. Kedua, kelompok mana
yang menolak hadis ini? Tampaknya tidak ada satu aliran pun yang menolak hadis
tersebut. Sebab, aliran Maliki, Syafi'i, dan Hanbali sama-sama menerimanya
karena telah terbukti bahwa hadis itu terdapat dalam kitab Muwaṭṭa’ Yahya dan al-Syaibani, juga dalam kitab al-Umm dan Musnad Ibnu Hanbal. Bahkan, aliran Hanafi pun tidak menolaknya,
walaupun mereka mungkin tidak begitu menyukainya, sebagaimana terbukti dalam Muwaṭṭa’ al-Syaibani. Ketiga, siapa yang dituduh sebagai para
periwayat yang lemah dalam bundel isnād
hadis tersebut? Berdasarkan karya-karya biografis, tak seorang pun dari enam
belas periwayat hadis itu yang meriwayatkannya dari Malik dan tak seorang pun
dari orang-orang yang muncul dalam isnād
setelah meraka tergolong periwayat lemah. Mereka semua dinyatakan "dapat
dipercaya" atau "sangat dapat dipercaya" (ṣaduq atau thiqah), baik
secara umum maupun secara khusus, yakni hubungan periwayatan mereka dari Malik.[32]
Dengan bukti-bukti di atas, menurut Motzki, interpretasi dan
skenario Calder tidak dapat dipertahankan. Skenario tersebut tidak mampu menjelaskan
fenomena common link. Kritik tajam
Motzki atas Calder itu tergambar dalam kata-katanya berikut ini: “It thus seems that Calder's
"scenario" does not work. It can not explain the common-link
phenomenon. It is, therefore, reasonable to ignore his ideas and to proceed on
the basis of the assumption that a common
link is a central figure in the propagation of a hadith. In the case of the
hadith about the cat, Malik plays this role.”[33] (Dengan
demikian, tampak bahwa skenario Calder tidak bekerja. Ia tidak menjelaskan
fenomena common link. Oleh karena
itu, adalah masuk akal untuk mengabaikan ide-idenya dan meneruskan berdasarkan
asumsi bahwa seorang common link
adalah tokoh sentral dalam perkembangan sebuah hadis. Dalam kasus hadis tentang
kucing, Malik memainkan peranan ini).
V.
ANALISA PEMIKIRAN NORMAN CALDER
Calder memperluas sikap skeptisisme atas isnād hadis melebihi skeptisisme Schacht dan Goldziher. Dalam
faktanya, keraguan tokoh itu atas validitas teori common link merupakan implikasi logis dari sikap skeptisisme mereka
atas autentisitas isnād. Jika
seseorang meragukan autentisitas sistem
isnād, maka tentunya Ia meragukan
seluruh naskah atau teks hadis awal yang memakai isnād, sebagai alat untuk membuktikan autentisitasnya. Calder
mempunyai kecenderungan untuk mendekonstruksi atau menghancurkan informasi
sejarah mengenai dating tradition
(menaksir umur hadis) berdasarkan metode common
link.
Adapun dari sisi yang lain Berg menyebut pandangan Norman Calder
sama saja dengan Michael A. Cook,[34] sebagai pandangan
hiper-skeptisisme yang merupakan akibat dari upaya mempertahankan pen-dekatan
neo-skeptisismenya atas teks-teks awal hadis. Hiper-skeptisisme cende-rung
menolak bukti apapun yang bertentangan dengan pendekatan neo-skeptisnya.[35]
Calder menyatakan bahwa metode common
link terkadang bisa digunakan untuk menelusuri asal mula hadis, tetapi
terkadang metode itu tidak dapat digunakan. Kapan metode common link dapat digunakan dan kapan ia tidak dapat digunakan
sebagai alat untuk menelusuri asal-usul dan sumber hadis, Calder tidak
memberikan penjelasan yang cukup memadai.[36] Calder memulai penelitian
berangkat dari kajian hukum Islam, seperti yang dilakukan oleh Joseph Schacht
dan Yasin Dutton. Calder mengkaji beberapa literatur fikih paling berpengaruh
dalam tiga aliran hukum fiqh, seperti aliran hukum Hanafi, Maliki, dan Syafi’i.[37]
Calder telah melakukan dating
hadis ke masa yang lebih belakangan daripada dating hadis yang telah dilakukan oleh Schacht dan Juynboll
sekalipun. Sebagai contoh, ia menyatakan bahwa kitab Muwaṭṭa’ yang ada sekarang ini bukan karya Imam Malik bin Anas,
tetapi produk yang ditulis di Cordoba pada akhir abad 3 H. oleh muridnya, Yahya
bin Yahya al-Layts (230 H). Namun hal ini telah dibantah oleh Yasin Dutton,
dengan bukti-bukti sebagai berikut: pertama; Terdapat penggalan teks
yang ditulis di atas daun lontar yang merujuk kepada pendapat di atas yang oleh
Abbott diberi tahun penulisan menurut bukti tekstual, menurut kondisi masa
Malik sendiri pada paruh kedua abad ke-2 H. kedua; Dutton memiliki
penggalan riwayat dari Ali bin Ziyad berbentuk kertas kulit yang ditulis pada
288 H yang penggalan riwayat ini merujuk kepada pendapat di atas. ketiga
Perbandingan terhadap riwayat Ibnu Ziyad dengan riwayat-riwayat lainnya
baru-baru ini telah tersedia, baik sepenuhnya atau sebagian dalam bentuk
catatan, khususnya riwayat-riwayat dari Yahya bin Yahya al-Layts, Asy-Syaybani,
al-Qa’nabi, Suwaid dan Abu Mus’ab menunjukkan bahwa seluruh enam riwayat itu
memiliki pokok isi yang sangat mirip dan karenanya dengan jelas
merepresentasikan satu teks. Keempat; Dutton memiliki bukti sekunder
berupa literatur biografis yang mengungkapkan sebagian dari sejumlah orang yang
meriwayatkan al-Muwaṭṭa’ secara
langsung dari Malik dan juga sebagian dari sejumlah komentar yang ditulis di
dalamnya sebelum tahun yang diajukan oleh Calder bagi kemunculan kitab itu
sekitar 270 H.[38]
VI.
KESIMPULAN
Norman Calder tampak lebih skeptis
daripada Goldziher dan Schacht dalam memandang autentisitas hadis. Oleh karena
itu, Norman Calder dapat dimasukkan pada fase keempat, yakni fase
neo-skeptisisme. Secara umum, perhatian Calder tertuju pada autentisitas,
kronologi dan kepengarangan hadis. Calder menolak validitas teori common link jika dijadikan metode untuk
membuktikan dan menelusuri asal muasal dan sumber hadis. Bagi Calder
mengingkari bahwa metode common link
itu dapat dipakai untuk mengetahui penanggalan hadis. Baginya, fenomena common link sebagai satu ciri yang
terdapat dalam literatur hadis sangat terkait dengan kompetisi antar berbagai
kelompok di kalangan para ahli hukum dan yang lainnya pada paroh kedua abad
ketiga hijrah yang masing-masing terlibat dalam proses kritik isnād satu sama lain.
DAFTAR PUSTAKA
[1] A. C. Muna, "Orientalis Dan Kajian Sanad:
Analisis Terhadap Gha. Juynboll. Malaysia: Jabatan Al-Qur`an Dan Hadith
Bahagian Pengajjian Ushuluddin Akademi Pengajian Islam Universiti Malaya Kuala
Lumpur," (2008).Hal.63 Secara
umum, orientalis mengkaji ilmu-ilmu keislaman dimulai sejak abad 17 M dan
mencapai puncaknya pada pertengahan abad 19 M. lihat: S. Arif, Orientalis
Dan Diabolisme Pemikiran (Jakarta: Gema Insani, 2008). Hal.28
[2] Ali Masrur, "Neo-Skeptisisme Michael Cook Dan
Norman Calder Terhadap Hadis Nabi Muhammad," Jurnal Theologia Vo. 28 No.1, (Juni 2017). Hal.1-28. Lihat pula dalam: Herbert Berg, The
Development of Exegesis in Early Islam: The Authenticity of Muslim Literature
from the Formative Period (Surrey: Curzon Press, 2000). Hal. 8-64. Lihat pula: Ali Masrur, Teori
Common Link G.H.A Juynboll: Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi (Yogyakarta:
LKiS, 2007). Hal.33-48.
Norman Calder dalam bukunya Studies in Early Muslim Jurisprudence, ia
mengembangkan lebih jauh skeptisisme Schacht terhadap teks-teks hukum Islam
masa awal hingga ke abad ke-8 dan ke-9. Ia meneliti teks-teks klasik fiqh
madzhab Maliki seperti al-Muwaththa’ karya Malik ibn Anas dan al-Mudawwanah
al-Kubra karya Sahnun. Berlawanan dengan pandangan tradisional bahwa al-Muwaththa’
merupakan karangan Imam Malik dan bahwa Mudawwanah ditulis Sahnun
setengah abad kemudian untuk menghimpun fatwa-fatwa dan pemikiran gurunya
tentang hukum, Calder menyimpulkan bahwa urutan kedua buku tersebut mestinya
terbalik. Muwaththa’ menurutnya ditulis satu abad lebih akhir daripada
yang dikira orang dan bahwa buku ini bukan tulisan Malik sendiri, melainkan
buku kompilasi yang ditulis oleh banyak penulis. Lihat dalam: Norman Calder, Studies
in Early Muslim Jurisprudence (The Clarendon Press: Oxford, 1993). Hal.1-38. Lihat juga dalam: Yasin Dutton, "Amal V. Hadith in Islamic Law: The
Case of Sadl Al-Yadayn (Holding One’s Hands by One’s Sides) When Doing the
Prayer," Islamic Law and Society
Vol.3 No.1, (1996). Hal. 13-40.
Norman Calder juga melakukan Kritisisme yang sama atas otentisitas
al-Risalah, karya Muhammad ibn Idris al-Syafi‘i. Calder berargumen bahwa al-Risalah
memiliki gaya tulisan dan struktur yang membuatnya tidak mungkin ditulis oleh
al-Syafi‘i sendiri. Lihat dalam: Calder. Hal.223-243. Lihat pula kritik dan
juga respons dari: Joseph E. Lowry, "Legal Hermeneutics of
Al-Shāfi‘Ī and Ibn Qutayba: A Reconsideration," Islamic Law and Society Vol.11 No.1, (2004). Hal. 1-41.
[3] Teori Common Link yakni sebuah teori yang
beranggapan bahwa orang yang paling bertanggungjawab atas kemunculan sebuah
hadits adalah periwayat poros (common link) yang terdapat di tengah
bundel sanad-nya. Common link itulah yang menurut Juynboll merupakan
pemalsu dari hadits yang dibawanya. Argumennya satu: Jika memang sebuah hadits
itu telah ada semenjak Rasulullah saw, mengapa ia hanya diriwayatkan secara
tunggal di era Shahabat atau Tabi’in, lalu baru menyebar setelah Common Link.
Juynboll menganggap fenomena ini muncul karena common link itulah yang
pertama kali memproduksi dan mempublikasikan hadits tersebut dengan menambahkan
sebuah jalur sanad ke belakang sampai Nabi SAW. Kesimpulan dari teori common
link adalah tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa hadits dapat ditelusuri
kesejarahannya sampai kepada Nabi SAW.lihat dalam: K. Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadits (Jakarta: Himmah,
2009).
Hal.155
[4] Michael A. Cook,
Early Muslim Dogma: A Source Critical Study (Cambridge: Cambridge
University Press, 1981). Hal.115
[5] Norman Calder, Studies
in Early Muslim Jurisprudence (Oxford: Oxford University Press, 1993). Hal.240.
[7] Juynboll dalam bukunya, Muslim
Tradition, yang membahas asal mula, perkembangan awal, dan otentisitas
literatur Hadits, ia susun, klaimnya, sebagai sebuah usaha untuk menemukan
jalan tengah dari studi Hadits Barat yang menurutnya terlalu kritis di satu
sisi, dan pendirian kaum Muslim yang menerima begitu saja literatur Hadits
tanpa kajian kritis. Lihat dalam: G.H.A. Juynboll, Muslim
Tradition: Studies in Chronology, Provenance and Authorship of Early Hadīth
(Cambridge: Cambridge University Press, 1983). Hal.3 selanjutnya Juynboll mengakui
bahwa asal-usul Hadits bisa dilacak hingga ke masa Nabi. Namun ia menambahkan
bahwa “hampir tak mungkin kita bisa menemukan metode yang lumayan berhasil
untuk membuktikan historisitas penisbatan sebuah Hadits kepada Nabi kecuali
hanya dalam contoh-contoh tententu.” “Terlalu banyak Sahabat,” tuturnya, “yang
dilaporkan meriwayatkan Hadits dalam jumlah begitu kolosal sehingga mustahil
bagi kita menemukan metode yang kokoh untuk menyaring bahan yang otentik dari
yang palsu”. Ibid. hal.71.
[8] Harald Motzki, "The Prophet and the Cat: On
Dating Malik Muwatta' and Legal Traditions," dalam JSA122, (1998). Hal.32
[12] Goldziher
adalah seorang ‘Syaikh’ bagi generasi Islamforscher yang lebih muda,
lihat: Suzanne L. Marchand, German Orientalism in the Age of Empire: Religion, Race, and
Scholarship (Cambridge: Cambridge University Press, 2009). Hal.331. Maka tidak mengherankan
bila pandangan-pandangannya tentang Hadits segera diamini oleh para Orientalis
berikutnya. C. Snouck Hurgronje (w. 1936), kawan sezaman Goldziher, berpendapat
bahwa literatur Hadits merupakan produk persaingan kelompok-kelompok sektarian yang
mendominasi tiga abad pertama dalam Islam, dan dengan demikian mencerminkan
pandangan-pandangan mereka. Lihat: C. Snouck Hurgronje, Mohammedanism: Lectures on Its Origins, Its Religious and Political
Growth, and Its Present State (New York: G.P. Putnam’s Sons, 1916).
[13] Tokoh
orientalis ini sangat berbengaruh dalam studi hadist.lihat karyanya yang sangat
fenomenal tersebut dalam: Joseph Schacht, The
Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford: Oxford University Press,
1979). Lihat pula bukunya
yang lain:Joseph Schacht, An
Introduction to Islamic Law, trans., Joko Supomo (Bandung: Nuansa, 2010).
[14] Calder, Studies
in Early Muslim Jurisprudence. Lihat pula dalam: The Islamic Foundation and The International and
Islamic Thought, "Studies in Early Muslim Jurisprudence by Norman Calder,
Oxford University Press, 1993," The Muslim World and Review Vol. 15 No.
1 Autumn, (1994).
[15] Norman Calder, Studies
in Islamic and Middle Eastern Tekss and Traditions in Memory of Norman Calder,
ed. Alexander Samely dan Jawid Ahmad Mojaddedi (Oxford: Oxford University
Press, 2000).
[17] Norman Calder, Interpretation
and Jurisprudence in Medieval Islam, ed. Jawid Mojaddedi and Andrew Rippin
(Ashgate Variorum, 2006).
[18] Norman Calder, Islamic
Jurispruden in the Classical Era, ed. Colin Imber (New York: Cambridge
University Press, 2010).
[19] Norman Calder secara khusus mengkritik teori common link
Joseph Schacht. Baginya, teori common link tidak relevan dengan
penanggalan hadits. Sebuah hadits yang mempunyai common link dalam
rangkaian sanad, tidak serta merta hasil pemalsuan yang dilakukan oleh common
link. Calder memahami bahwa common link adalah hasil kompetisi yang
muncul di antara kelompok fiqh pada abad III H. Kompetisi yang dimaksud Calder
adalah ketika sebuah matan diterima oleh beberapa kelompok, maka masing-masing
kelompok membuat-buat sanad untuk mengesankan tradisi ilmiah masing-masing. Dan
karena semua kelompok mengenal tokoh yang sama (the Common Heroes) pada
masa Tabi’in, maka mereka cenderung mengeluarkan hadits dengan cenderung
menghilangkan ling yang ketiga dan keempat. Menurutnya, scenario seperti ini
yang kemudian menyebabkan adanya Common link yang tidak ada kaitannya
sama sekali dengan asal muasal matan. Common link menurut Calder tidak
lebih merupakan hasil persaingan kelompok pada abad ke III H. lihat dalam: Hasan Suadi, "Menyoal Kritik
Sanad Joseph Schahct," Jurnal Studi
Hadis Volume 2 Nomor 1, (2016). Hal.88-89.
[20] Calder, Studies
in Early Muslim Jurisprudence. Dalam tulisannya ini Calder
menyajikan data dan analisisnya tentang madzhab imam maliki, imam abu hanifah
dan madzhab imam syafi’i.
[31] Dalam Muwaṭṭa', ada
sebuah hadis Nabi SAW yang mengizinkan air dalam sebuah bejana yang telah
diminum oleh seekor kucing untuk dipakai wudhu' karena kucing adalah hewan
piaraan. Ibid. hal. 23
[34] Cook. Lihat juga dalam: Masrur, "Neo-Skeptisisme Michael Cook Dan Norman
Calder Terhadap Hadis Nabi Muhammad." dan juga dalam:Imam Sahal Ramdhani, "Teori the Spread of Isnad
(Telaah Atas Pemikiran Michael Allan Cook)," Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Qur'an dan Hadis 16, no. 2 (2015).
[35] Berg. Hal.48 lihat pula dalam: Ramdhani, "Teori the Spread of Isnad (Telaah Atas
Pemikiran Michael Allan Cook)."
[36] Hal ini
berbeda dengan Cook, ia menolak sama sekali
validitas metode common link karena metode itu tidak
menggambarkan bahwa sebuah hadis bersumber
dari seorang periwayat kunci tertentu, yang menduduki posisi common link dalam satu bundel isnādnya, tetapi karena tiga skenario
penyebaan isnād dalam skala besar
telah terjadi di zaman awal Islam. Sayangnya, tiga skenario pe-nyebaran isnād, yang menurut Cook merupakan
penjelasan dari teori the spread of isnād, telah merusak teori common
link dan membuatnya tidak dapat dioperasikan
lagi.
[37] Hal ini
berbeda dengan Cook, ia memulai penelitian berangkat
dari kajian teologi Islam, yakni mengkaji persoalan asal mula dan perkembangan kontroversi aliran teologi, Jabariyah
dan Qadariy-yah pada masa Islam awal, seperti yang telah dilakukan oleh Joseph
van Ess
[38] Dutton, "Amal V. Hadith in Islamic Law: The Case
of Sadl Al-Yadayn (Holding One’s Hands by One’s Sides) When Doing the
Prayer." Dan lihat
pula: Yasin Dutton, Awal
Mula Hukum Islam: Alqur’an, Muwatta’ Dan Praktek Madinah (Yogjakarta:
Islamika, 2003).
Comments
Post a Comment