HUKUM PERKAWINAN ADAT JAWA


 HUKUM PERKAWINAN ADAT  JAWA
(KAJIAN EKSTERNAL LEGAL CULTURE DAN REALITA PERKAWINAN PERSPEKTIF MASYARAKAT  JAWA)
 Oleh
Nur Moklis

I.                   PENDAHULUAN
Hukum orang atau pribadi adalah hukum untuk manusia yang sudah dewasa dan dapat dikatakan sebagai hukum yang membicarakan masalah kedewasaan. Jika dikaitkan dengan hukum, maka seseorang hanya dapat diminta pertanggungjawaban jika sudah dewasa. Ukuran kedewasaan diatur lebih detail dalam BW[1], KUHP,[2] UU Ketenagakerjaan[3], UU Pemasyarakatan,[4] UU sistim peradilan anak,[5] UU HAM,[6] UU Pornografi,[7] UU Kewarganegaraan RI,[8] UU Pemberantasan Tindak Perdagangan Orang,[9] KHI[10] dan UU Perkawinan,[11] serta SK Mendagri 1977[12] yang mana batas usianya berbeda.
Berdasarkan beberapa ketentuan dalam peraturan perundang-undangan tersebut di atas memang masih tidak ditemui keseragaman mengenai usia dewasa seseorang, sebagian memberi batasan 21 (dua puluh satu) tahun, sebagian lagi 18 (delapan belas) tahun, bahkan ada yang 17 (tujuh belas) tahun.[13]
Adapun ukuran kedewasaan berdasarkan hukum adat dengan umur seseorang, melainkan seseorang dianggap dewasa jika seseorang tersebut sudah menikah. Karena dengan menikah, dapat melaksanakan hak dan kewajiban. Dan seseorang dapat menikah jika hanya sudah akil baligh. Dengan demikian, menurut hukum adat, kedewasaan seseorang itu jika sudah terjadi akil baligh dan tidak didasarkan pada batas usia. Dewasanya seseorang dalam hukum adat, juga tergantung dari sikap tindak seseorang tersebut di dalam masyarakat. Contohnya: (1) anak 10 tahun yang menandatangani perjanjian bisa dianggap dewasa, karena ternyata dia sudah bertindak dewasa, karena menjadi tulang punggung bagi keluarganya.[14]
Disisi lain perkawinan adat sangat dipengaruhi/ditentukan oleh sistem keluarga, yaitu Patrlineal, Matrilineal dan Bilateral[15], dimana setiap sistem keluarga tersebut mempunyai sistem perkawinan yang berbeda. Dengan kata lain, sistem keluarga yang berbeda, akan melahirkan sistem perkawinan yang berbeda. Contohnya Perkawinan Batak sangat dipengaruhi sistem Patrilinial, Minang sistem Matrilinial, dan Jawa sistem Bilateral. Pengertian Perkawinan Adat adalah berbeda dengan pengertian Perkawinan menurut UU, dimana menurut Hukum Adat, dalam perkawinan tidak ada suatu ikatan lahir bathin. Perkawinan adalah suatu persoalan yang menyangkut masalah keluarga dan masalah masyarakat. Dengan demikian menurut Hukum Adat, perkawinan adalah bukan ikatan seorang laki-laki dan perempuan, tetapi ikatan antara dua keluarga (Masyarakat). Jadi prinsipnya menurut Hukum Adat walaupun terjadi perkawinan, suami istri tetap terikat dengan hukum keluarga masing-masing. Contohnya adalah dalam hukum warisnya, dimana seorang istri/suami ketika pasangannya meninggal, bukanlah menjadi ahli waris, karena diantara mereka tidak ada ikatan keluarga.

II.                PERKAWINAN SEBAGAI SISTIM HUKUM
Menurut UU No.1 Tahun 1974 Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa.[16] Dalam hukum adat, arti perkawinan sangatlah penting dalam penghidupan masyarakat kita sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut wanita dan pria bakal mempelai saja, namun juga orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya, bahkan keluarga-keluarga mereka masing-masing. Bahkan dalam hukum adat perkawinan itu bukan hanya merupakan peristiwa penting bagi mereka yang masih hidup saja, tetapi perkawinan merupakan peristiwa yang penting bagi leluhur mereka yang telah tiada. Para leluhur yang telah tiada ini diharap dapat memberikan restu kepada calon mempelai wanita dan laki-laki agar dapat hidup rukun sampai kakek nenek.[17] Dalam hukum perkawinan adat, sebuah perkawinan tidak hanya menjadi urusan kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan, melainkan juga menjadi urusan masyarakat sekitarnya dan sukunya, Tujuan dari perkawinan adat ini adalah untuk melahirkan generasi baru dengan latar belakang budaya yang sama, sehingga suku dan budaya tersebut masih terasa eksistensinya seiring dengan perkembangan zaman yang semakin modern ini.
Sistem perkawinan adat di Indonesia diantaranya adalah sistim endogamy, sistim exogami dan sisitem Eleutherogami[18], untuk memahami maknanya lebih lanjut akan di kaji satu demi satu,  pertama: Sistem Endogami. Dalam sistem ini, orang hanya boleh kawin dengan orang dari suku keluarganya sendiri. Sistem perkawinan ini sekarang jarang terjadi di Indonesia. Menurut Van Vollenhoven hanya ada satu daerah saja yang secara praktis mengenal sistem endogamy ini, yaitu daerah Toraja. Tetapi sekarang, di daerah ini pun sistem ini kan lenyap dengan sendirinya kalau hubungan daerah itu dengan daerah lainnya akan menjadi lebih mudah, erat dan meluas. Sebab sistem tersebut di daerah ini hanya terdapat secara praktis saja; lagi pula endogamy sebetulnya tidak sesuai dengan sifat susunan kekeluargaan yang ada di daerah itu, yaitu parental. Kedua: Sistem Exogami, dalam sistem ini, orang diharuskan menikah dengan orang diluar marganya. Menikah dengan marganya sendiri merupakan larangan. Namun demikian, seiring berjalannya waktu, dan berputarnya zaman lambat laun mengalami proses perlunakan sedemikian rupa, sehingga larangan perkawinan itu diperlakukan hanya pada lingkungan kekeluargaan yang sangat kecil saja. Sistem ini dapat dijumpai di daerah Gayo, Alas, Tapanuli, Minangkabau, Sumatera Selatan, Buru dan Seram. Ketiga: Sistem Eleutherogami, Sistem ini tidak mengenal larangan-larangan atau keharusan seperti pada sistem endogami dan exogami. Larangan yang ada dalam sistem ini hanya yang berhubungan dengan ikatan kekeluargaan yakni seperti Nasab atau turunan yang dekat seperti kawin dengan ibu, nenek, anak kandung, cucu (keturunan garis lurus ketas dan kebawah), serta dengan saudara kandung, saudara bapak atau ibu. Ada juga yang disebut Musyaharah (periparan) seperti kawin dengan ibu tiri, menantu, mertua, dan anak tiri. Sistem ini dapat dijumpai hampir di seluruh masyarakat Indonesia, termasuk Jawa.
Disisi lain antara perkawinan dan sifat susunan kekeluargaan terdapat hubungan yang erat sekali. Bahkan dapat dikatakan bahwa suatu peraturan hukum perkawinan sukar dipaham tanpa peninjauan hukum kekeluargaan yang bersangkutan. Seperti yang telah diketahui, di Indonesia terdapat 3 macam sifat kekeluargaan , yaitu patrilineal, matrilineal, dan parental.[19] Hal ini juga mempengaruhi corak perkawinan dalam masing-masing sifat kekeluargaan, berikut penjelasannya. Kekerabatan Patrilineal, adalah bentuk perkawinan yang umum pada sifat kekerabatan ini adalah perkawinan jujur. Dimana pihak laki-laki meberikan jujur kepada pihak perempuan. Dan setelah perkawinan sang istri akan masuk ke dalam garis keturunan suaminya begitu pula dengan anak-anaknya nanti. Suku yang menganut sistem kekerabatan Patrilineal di Indonesia adalah adalah suku Batak, suku Rejang dan suku Gayo. Kekerabatan Matrilineal, dalam sifat kekerabatan ini, tidak ada pemberian jujur. Pada saat perkawinan, suami dijemput dari rumahnya kemudian dibawa ke rumah istrinya. Suami disini tidak masuk kedalam keluarga si istri, melainkan tetap pada keluarganya sendiri. Namun anak-anaknya masuk kedalam keluarga si istri, dan si suami pada hakikatnya tidak memiliki kekuasaan terhadap anak-anaknya. Daerah yang menganut sistem kekerabatan matrilineal adalah Sumatera Barat (Suku Minangkabau). Ketiga: Kekerabatan Parental, yaitu setelah kawin keduanya menjadi satu keluarga, baik keluarga suami maupun keluarga isteri. Dengan demikian dalam susunan keluarga parental suami dan isteri masing-masing mempunyai dua keluarga yaitu keluarga suami dan keluarga isteri. Dalam susunan kekerabata Parental terdapat juga kebiasaan pemberian-pemberian oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Namun pemberian disini tidak mempunyai arti seperti Jujur tetapi lebih mempunyai arti hadiah perkawinan. Suku yang menganut sistem kekerabatan Parental adalah suku Dayak Kanayat.

III.             MENGENAL TRADISI PERKAWINAN MASYARAKAT JAWA
A.    Prosesi Pra Nikah Masyarakat Jawa
Ada beberapa kegiatan adat yang harus di lalui bagai calon mempelai dan keluarga mereka sebelum melaksanakan akad nikah, diantara kegiatan adat tersebuta adalah pertama; Pasang Tarub, Bleketepe, dan Tuwuhan. Upacara yang mengawali pernikahan adat Jawa adalah pemasangan tarub, bleketepe  dan  tuwuhan. Menurut tradisi, tarub diartikan sebagai atap sementara atau peneduh di halaman rumah, yang dihiasi janur melengkung. Dewasa ini, hal tersebut lebih sebagai ritual simbolis, dikarenakan fungsi peneduh telah digantikan oleh tenda. Biasanya pemasangan tarub diikuti dengan pemasangan bleketepe berupa anyaman daun kelapa tua oleh orang tua mempelai wanita, serta pasang tuwuhan. Tuwuhan yang dipasang di kiri dan kanan gerbang adalah tumbuh-tumbuhan seperti pisang raja yang berbuah, kelapa muda, batang padi, janur, yang semuanya bermakna harapan agar calon pengantin memperoleh keturunan yang sehat, berbudi baik, berkecukupan, dan selalu bahagia.[20]
Kedua; Sungkeman Orangtua. Ditujukan untuk meminta doa dan restu orang tua untuk melaksanakan pernikahan, mengucapkan rasa terima kasih telah merawat dengan kasih sayang, dan memohon maaf atas segala kesalahan. Ketiga. Siraman. Diambil dari kata siram yang berarti mandi, ritual siraman dimaknai sebagai penyucian diri agar ketika memasuki hari pernikahan calon mempelai dalam keadaan suci lahir dan batin. Siraman dilakukan oleh ayah dan ibu mempelai, dilanjutkan kerabat dekat atau yang sudah menikah untuk dimintai berkahnya. Penyiram ditentukan dalam jumlah ganjil, umumnya tujuh atau sembilan orang. Keempat; Meratus Rambut dan Ngerik. Rambut yang basah sehabis disiram dikeringkan oleh perias dengan diratus. Tidak hanya kering, rambut pun akan senantiasa harum hingga hari pernikahan. Setelah itu, perias akan mulai ngerik untuk menghilangkan rambut halus yang ada di dahi, yang bertujuan membuang sial atau hal buruk yang pernah menimpa calon mempelai. Lalu, perias akan mulai membuat pola cengkorong paes.[21]
Kelima, Midodareni. Berasal dari kata widadari yang berarti bidadari, midodareni[22] dijalankan calon mempelai wanita di dalam kamar sejak pukul 18.00 hingga 24.00. Calon pengantin wanita dengan riasan tipis dan sederhana, hanya duduk tenang di kamar ditemani ibu dan kerabat dekat yang semuanya wanita. Ditemani juga oleh pinisepuh yang memberi nasihat untuk hidup berumah tangga. Pada malam ini juga dilangsungkan tantingan, dimana ayah calon pengantin wanita menanyakan kemantapan hati putrinya untuk berumah tangga dengan pria pilihannya. Dilakukan juga prosesi nyantri, dimana calon pengantin pria ditemani sanak saudara datang ke kediaman calon pengantin putri, sebagai tanda ia sehat dan siap melangsungkan pernikahan esok hari. Keenam; Srah-Srahan. Srah-srahan merupakan penyerahan barang-barang dari mempelai pria kepada mempelai wanita. Karena dilakukan pada malam midodareni, maka penerimaannya diwakili orang tua mempelai wanita.[23]

B.     Acara Akad Nikah Adat Jawa
Ada beberapa adat kebiasaan yang dijalankan dalam prosesi ini. Pertama, Prosesi Pascanikah atau Upacara Panggih. Upacara panggih ialah puncak bertemunya kedua mempelai setelah resmi menjadi suami istri. Tarian edan-edanan menjadi pembuka dimulainya upacara panggih. Kedua, Penyerahan Sanggan. Sanggan diserahkan kepada orang tua mempelai wanita sebagai penebus putri mereka. Sanggan terdiri dari satu tangkep atau dua sisir pisang raja matang di pohon, sirih ayu, kembang telon (mawar, melati, dan kenanga), serta benang lawe. Ketiga; Balangan Gantal. Gantal ialah daun sirih yang diisi bunga pinang, kapur sirih, gambir, dan tembakau hitam yang diikat dengan benang lawe. Dari arah berlawanan, berjarak sekitar dua meter, mempelai pria melemparkan gantal ke dahi, dada dan lutut mempelai wanita, dibalas oleh mempelai wanita yang melempar gantal ke dada dan lutut mempelai pria. Ritual ini melambangkan kedua mempelai saling melempar kasih.[24]
Keempat: Wijikan, Ritual wijikan dikenal pula dengan sebutan ranupada. Ranu bermakna air, dan pada berarti kaki. Ritual ini dikerjakan mempelai wanita yang membasuhkan air pada kaki mempelai pria sebanyak tiga kali. Pembasuhan kaki mencerminkan wujud bakti istri kepada suami, dan menghilangkan halangan menuju rumah tangga bahagia. Kelima, Kanten Asto. Perbedaan antara kawula (masyarakat biasa) dan bangsawan, seperti putri sultan, terletak pada prosesi pondong yang khusus dilakukan pada pernikahan putri sultan. Sedangkan pada kawula, prosesi tersebut digantikan dengan kanten asto. Kedua mempelai berdiri berdampingan, sambil mengaitkan jari kelingking, berjalan bersama menuju pelaminan. Keenam, Tanem Jero, Sampai di pelaminan, kedua mempelai masih dalam posisi berdiri menghadap tamu undangan dan membelakangi kursi pelaminan. Disaksikan ibu mempelai wanita, ayah dari mempelai wanita memegang dan menepuk bahu kedua mempelai untuk mendudukkan keduanya di pelaminan. Ketujuh, Tampa Kaya. Adalah prosesi menuangkan kaya yaitu biji-bijian seperti kacang kedelai, kacang tanah, gabah, padi, beras kuning, jagung; sejumlah bumbu dapur; bunga sritaman; dan uang logam. Kaya dikucurkan ke atas tikar pandan yang dipangku mempelai wanita. Prosesi yang disebut juga kacar-kucur ini mempunyai makna bahwa nafkah yang diberikan suami agar diatur dengan baik oleh istri. Kedelapan, Dhahar Kalimah. Pada prosesi dhahar kalimah, mempelai pria membuat tiga kepalan nasi kuning dan diletakkan di atas piring yang dipegang mempelai wanita. Disaksikan mempelai pria, mempelai wanita memakan satu per satu kepalan nasi, lalu mempelai pria memberikan segelas air putih kepada mempelai wanita. Menggambarkan kerukunan suami istri akan mendatangkan kebahagiaan dalam keluarga.[25]
Kesembilan, Ngunjuk Rujak Degan. Rujak degan ialah minuman yang terbuat dari serutan kelapa muda dicampur gula merah. Dimulai dengan ayah mempelai wanita mencicipi rujak degan yang disuapi oleh ibu mempelai wanita. Kemudian sang ayah menyuapi mempelai pria, sementara mempelai wanita disuapi oleh sang ibu. Ritual ini mempunyai pesan bahwa segala sesuatu yang manis wajib dirasakan bersama. Kesepuluh, Mapag Besan. Mapag besan atau menjemput besan dilakukan karena orang tua mempelai pria tidak diperkenankan hadir selama prosei panggih sampai upacara ngunjuk rejak degan. Kesebelas, Sungkeman. Untuk meminta doa dan memohon maaf atas kesalahan yang pernah dilakukan, kedua mempelai sembah sungkem kepada kedua pasang orang tua. Apabila kakek dan nenek turut hadir, urutan sembah sungkem diawali dari nenek dan kakek, barulah kedua orang tua.[26]

IV.             PERKAWINAN PERSEKTIF MASYARAKAT JAWA
Dalam khasanah budaya Jawa perkawinan dua sejoli merupakan bagian `hakekat hidup'. Artinya, bahwa perkawinan itu hakekatnya adalah ujud `sabda dhawuh' nya Tuhan (kodrat Tuhan) kepada manusia untuk berkembang biak. Maka dalam pandangan Kejawen, perkawinan itu sakral dan berhubungan dengan`penciptaan' manusia baru (anak) oleh Tuhan. Pria sejati dalam filosofi Jawa, adalah : memiliki rumah, pusoko, istri, kukilo, turonggo. Rumah artinya, seorang pria harus bersikap melindungi, mengayomi. Pusoko (keris) artinya seorang pria harus memiliki ketajaman berpikir, cerdas. Istri artinya seorang pria harus berlaku lemah lembut. Kukilo artinya seorang pria harus memberi dan menjadi kesenangan bagi siapa. Turonggo artinya seorang pria harus menjadi kendaraan yang mampu menghantar dan mempertemukan siapa pada jalan keselamatan. Demikian syarat bagi seseorang untuk bisa disebut pria sejati.[27]
Dalam Kejawen, perkawinan bukan sekedar urusan `hukum kawin mawin' yang pijakannya sekedar memberi payung hukum masalah kebirahian (hubungan seks), tetapi mendalam kepada tingkat pemahaman keber-Tuhan-an. Yaitu kesadaran tentang bagaimana manusia itu diciptakan, bagaimana hubungan penciptaan itu dengan alam semesta, dan bagaimana manusia yang menyatakan beradab menyikapi `penciptaan' itu. Tatacara perkawinan Jawa merupakan wujud nyata penjelasan pandangan Jawa terhadap `hakekat perkawinan' yang fokus utamanya kepada kodrat Tuhan untuk penciptaan atau perkembang biakan manusia. Pokok ajaran (filosofi) Jawa tentang perkawinan ditujukan kepada `titising wiji'. Maka tatacara adat perkawinan Jawa lebih tertuju kepada penjelasan `titising wiji' tersebut. Penjelasannya menggunakan simbul-simbul yang bermakna dalam.[28]
Dimulai dengan acara lamaran yang mengekspresikan bahwa kedua keluarga calon penganten mendapatkan kesadaran tentang terpilihnya dua keluarga tersebut oleh Tuhan dalam rangka akan menciptakan `manusia-manusia baru' (anak). Kedua keluarga tersebut akan `besanan' yang artinya bahwa kedua keluarga tersebut bersedia `dipilih Tuhan' untuk penciptaan (perkembang biakan) manusia yang akan menjadi anak-keturunan kedua keluarga tersebut. Karena landasannya berupa `penerimaan' sabda dhawuhing Gusti untuk penciptaan manusia, maka fokus perhatian adat istiadat Jawa tertuju kepada `penciptaan' tersebut. Oleh karena itu dalam upacara perkawinan ditentukan persyaratan-persyaratan (berupa simbul-simbul) yang intinya: kesucian, keindahan, kesemestaan, dan doa untuk segera terjadi `titising wiji'. `Titising wiji' merupakan wujud nyata `penciptaan', maka menjadi pokok perhatian adat Jawa dalam hal perkawinan. Wujud perhatian tersebut diawali berupa doa harapan yang diekspresikan dalam upara robyongan atau temon dan pesan-pesan serta larangan-larangan yang harus dijalani penganten setelah menikah. Kemudian dilanjutkan dengan adanya upacara dan persyaratan-persyaratan yang harus dijalani kedua mempelai ketika yang perempuan sudah mulai mengandung. Diantaranya berupa ritual tiga bulanan dan tujuh bulanan serta larangan macam-macam bagi si calon ibu dan calon bapak (diantaranya larangan membunuh mahluk bernyawa). Upacaranya mengacu kepada `syukur' atas `kebenaran' sabda dhawuhing Gusti, sedang larangan yang harus dijalani si calon ibu dan calon ayah. Apakah dalam budaya dan peadaban lain (termasuk yang bertolak dari ajaran agama) mengenal ritual untuk terciptanya manusia di kandungan Ibu sebagaimana yang ada di budaya dan peradaban Jawa.[29]

V.                EKSTERNAL LEGAL CULTURE MASYARAKAT  JAWA
Menurut Soepomo hukum adat adalah merupakan sebuah sistim, yang bersendi atas dasar-dasar alam pikiran bangsa Indonesia yang berbeda dengan alam pikiran yang menguasai sistem hukum dunia barat.[30] Perangkat hukum adalah hal yang wajib ada dalam sebuah penegakkan hukum, termasuk juga dalam hukum adat. Hukum tidak akan bisa berjalan efektif jika tidak ada instrument-instrument yang mendukungnya. Menurut Friedmen setidaknya ada tiga hal pokok yang menjadikan hukum berjalan efektif, yaitu struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum.[31]  Dalam hal sistim hukum perkawinan masyarakat jawa sangat menjunjung tinggi norma-norma yang di wariskan secara turun temurun. Disini peran budaya hukum yang sangat kuat dalam pendukung terlaksananya efektifiats hukum. Friedmen membedakan budaya hukum dalam dua bagian yaitu budaya internal (internal legal culture) dan  budaya ekternal (ekternal legal culture).[32] Dalam hukum adat perkawinan masyarakat jawa tidak ada perangkat hukum yang memaksa untuk terlaksananya suatu perkawinan, namun dengan menjalankan hukum adat yang ada, namun secara faktual hampir mayoritas masyarakat jawa menjalankan ritual hukum adat tersebut, oleh karena itu dapat dipastikan ekternal legal culture berjalan efektif dilingkungan masyarakat adat jawa tersebut.

VI.             REALITAS PERKAWINAN MASYARAKAT  DI JAWA
Untuk mengetahui potret masyarakat jawa setidaknya karya Cliford Geertz patut disajikan. Dia seorang peneliti dan antropolog asal Amerika Serikat, melakukan penilitian di kota Mojokuto, Jawa Timur tentang varian budaya yang ada di kota tersebut. Hasil penelitiannya, dia berkesimpulan masyarakat jawa terbagi dalama 3 kategori, yaitu priyayi, santri dan abangan.[33] Meskipun sebagian antropolog menolak kesimpulan Geertz dengan alasan varian priyayi adalah struktur sosial masyarakat dan varian abaangan, varian santri adalah simbul ketaan dalam beragama, pendapat ini di kemukakan oleh Harsja W. Bachtiar,[34] Zaini Muchtarom,[35] Parsudi Suparlan.[36]
Diluar perbedaan pendapat dari para antropolog diatas, secara faktual klasifikasi tersebut memang masih terlihat jelas di masyarakat jawa. Lalu bagaimana keterkaitannya dengan hukum perkawinan adat yang terjadi secara empiris di masyarakat. Dalam sistim hukum adat pernikahan atau perkawinan adalah suatu peristiwa adat yang sacral, namun ketika berada dalam dataran empiris sedikit-demi sedikit mengalami pergeseran mengarah keranah profane, hal tersebut tergantung pada kelompok sosial serta miliu yang melingkupinya, sebagai contoh dalam penelitiannya Koentjoro yang di lakukan di Mojokulon Jawa Tengah disana memiliki beberapa jenis perkawinan yang diantaranya adalah gendhak, nikah kyai, nikah ciasem, kumpul kebo dan nikah kampung.[37] Selanjutnya Koenjoro juga menjelaskan varian pernikahan berdasarkan penelitiannya di Mojokulon dan Mojotengah yang diantaranya adalah nikah kontrak, nikah adat, nikah gantung, nikah sirri, nikah mut’ah, nikah legal.[38] Menurut koentjoro dalam aturan tradisional komunitas masyarakat tersebut hanya nikah mut’ah, ghendak dan kumpul kebo, yang tidak diterima, adapun jenis perkawinan yang lain diterima oleh komunitas tersebut.[39]
Dari kenyataan faktual diatas, hukum perkawinan adat ternyata tidaklah setatis dari sisi variannya, namun mengalami evolusi dan perubahan karena bersinggungan dengan miliu yang melingkupinya.[40]

VII.          KESIMPULAN
Dari paparan secara secara teoritis tentang hukum adat perkawinan masyarakat jawa dan juga setelah menyajikan fakta empiris dalam komunitas sosial tertentu seperti dalam penelitian koentjoro pada masyarakat Mojokulon dan Mojotengah, ternyata, perkawinan adat dalam masyarakat jawa tidak statis namun mengalami perubahan dan juga evolusi dalam hal varian-varian pekawinannya, hal tersebut karena miliuw yang melingkupinya. Oleh karena itu meskipun secara normatif hukum adat perkawinan memiliki kesamaan namun secara empiris bisa mengalami perubahan-perubahan dalam masyarakat dengan berbagai faktor yang mempengaruhinya.



DAFTAR PUSTAKA









































[1] BW (Burgelijk Wet Book: Staatsblad 1847 No. 23) Yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak kawin sebelumnya.  Hal ini  diatur dalam Pasal  330 "Kitab Undang-Undang Hukum Perdata "  (Indonesia).
[2] Lihat dalam Pasal 45 KUHP, Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, XXI ed. (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2001).
[3] Pasal 1 angka 26, anak adalah setiap orang yang belum berumur 18 Tahun. Lihat: "Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan,"  (Indonesia: 2003).
[4] Pasal 1 angka 8 Anak didik pemasyarakatan adalah: a. Anak pidana, yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di LAPAS anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun. b. Anak negara, yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada negara untuk dididik dan ditempatkan di LAPAS anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun. c.  Anak sipil, yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di LAPAS anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun. Lihat dalam "Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan,"  (Indonesia: 1995).
[5] Pasal 1 angka 3, angka 4, dan angka 5. Anak yang Berkonflik dengan Hukum adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana. Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahunyang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.  "Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak,"  (Indonesia: 2012).
[6] Pasal 1 angka 5. Anak adalah setiap manusia yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya. "Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia,"  (Indonesia: 1999).
[7] Pasal 1 angka 4. Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun.  "Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi,"  (Indonesia: 2008).
[8] Pasal 4 huruf h. Warga Negara Indonesia adalah anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin.  "Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia,"  (Indonesia: 2006).
[9] Pasal 1 angka 5. Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.  "Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang,"  (Indonesi: 2007).
[10] Pasal 98 ayat 1 KHI Batas umur anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Lihat dalam "Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Pemberlakuan Kompilasi Hukum Islam,"  (Indonesia: 1991).
[11] Pasal 47  "Undang-Undang Republik Indonesia  Nomor 1 Tahun 1974 Tentang  Perkawinan,"  (Indonesia: 1974). Kemudian UU tersebut dilaksanakan dengan " Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,"  (Indonesia: 1975).
[12] "Sk Mendagri Dirjen Agraria Direktorat Pendaftaran Tanah (Kadaster) No. Dpt.7/539/7-77, Tertanggal 13-7-1977,"  (Indonesia: 1977). Mengenai soal dewasa dapat diadakan pembedaan dalam: a. dewasa politik, misalnya adalah batas umur17 tahun untuk dapat ikut Pemilu; b. dewasa seksuil, misalnya adalah batas umur18 tahun untuk dapat melangsungkan pernikahan menurut Undang-Undang Perkawinan yang baru; c. dewasa hukum. Dewasa hukum dimaksudkan adalah batas umur tertentumenurut hukum yang dapat dianggap cakap bertindak dalam hukum. SK Mendagri 1977 ini dipergunakan sebagai rujukan pertimbangan hakim dalam "Penetapan Pengadilan Negeri Kepanjen Nomor: 891/Pdt.P/2013/Pn Kpj,"  (Indonesia: 2013).
[13] Ketidakseragaman ini juga kita temui dalam berbagai putusan hakim yang contohnya kami kutip dari buku Penjelasan Hukum Tentang Batasan Umur (Kecakapan dan Kewenangan Bertindak Berdasar Batasan Umur) terbitan NLRP berikut ini: "Putusan Pengadilan Negeri Palembang No. 96/1973/Pn.Plg Tanggal 24 Juli 1974,"  (Indonesia: 1974). Dan "Putusan Pengadilan Tinggi Sumatera Selatan Di Palembang No. 41/1975/Pt.Perdata Tanggal 14 Agustus 1975 "  (Indonesia: 1975). (hal. 143), dalam amarnya majelis hakim memutuskan bahwa ayah berkewajiban untuk memberi nafkah kepada anak hasil perkawinan yang putus tersebut sampai anaknya berumur 21 tahun. Dalam hal ini, majelis hakim berpendapat bahwa seseorang yang belum berumur 21 tahun dianggap masih di bawah umur atau belum dewasa sehingga ayahnya berkewajiban untuk menafkahinya sampai anak tersebut berumur 21 tahun, suatu kondisi di mana anak tersebut telah dewasa, dan karenanya telah mampu bertanggung jawab penuh dan menjadi cakap untuk berbuat dalam hukum. Dalam kasasi di Mahkamah Agung, dengan "Putusan Ma Ri No.477/K/ Sip./1976 Tanggal 2 November 1976,"  (Indonesia: 1976). majelis hakim membatalkan putusan pengadilan tinggi dan mengadili sendiri, di mana dalam amarnya majelis hakim memutuskan bahwa ayah berkewajiban untuk memberian nafkah kepada anak hasil perkawinan yang putus tersebut sampai anaknya berumur 18 tahun. Majelis hakim berpendapat bahwa batasan umur anak yang berada di bawah kekuasaan orang tua atau perwalian ialah 18 tahun, bukan 21 Tahun. Dengan demikian, dalam umur 18 tahun, seseorang telah dianggap mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya, dan karenanya menjadi cakap untuk berbuat dalam hukum. Keputusan ini tepat, mengingat Pasal 47 dan 50 UU No. 1 Tahun 1974 mengatur bahwa seseorang yang berada di bawah kekuasaan orang tua atau perwalian adalah yang belum berumur 18 tahun.


[14] Apabila hendak membicarakan hukum dan segala aspeknya maka mau tidak mau harus juga menyinggung perihal masyarakat yang menjadi wadah dari hukum tersebut. Lihat: Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001). Hal.1, lihat pula dalam:Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008). Hal.8, Disini dia menjelaskan bahwa ada lima faktor utama yang dapat mempengaruhi penegakkan hukum yaitu faktor hukum atau perundang-undangan, faktor penegak hukum, Faktor sarana dan fasitilas pendukung, faktor masyarakat dan faktor budaya.
[15] Kedudukan suami istri pada perkawinan bilateral adalah sama. Karena meski sebenarnya antara suami dan istri itu tetap terpisah, akan tetapi pada masyarakat bilateral ada kehidupan bersama, karena tempat tinggalnya ditentukan bersama, sehingga bagi anak, hubungan dengan ayah dan ibunya adalah sama.kedudukan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat bilateral juga sama

[16] "Undang-Undang Republik Indonesia  Nomor 1 Tahun 1974 Tentang  Perkawinan." Undang-Undang ini dilaksanakan berdasarkan pada: " Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan." 
[17] Soerojo Wignjoediporo, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat (PT Toko Gunung Agung, 1984). Hal.122
[18]Lihat dalam tulisannya Muchlisin Riadi, "Sistem Dan Bentuk Perkawinan Adat", https://www.kajianpustaka.com/2013/11/sistem-dan-bentuk-perkawinan-adat.html  (05 April 2018).
[19] Ibid.
[20] Mery Desianti, "Ritual Pernikahan Adat Jawa"  (27 Maret 2018). Sebagai pembanding dapat dilihat dalam: Asep Setiawan, "Urutan Tata Cara Prosesi Pernikahan Adat Jawa Lengkap Yang Penuh Makna Dan Unik", https://cara.pro/pernikahan-adat-jawa/  (27 Maret 2018).
[21] Desianti.
[22] Midodareni memiliki arti bidadari, putri dari surga yang sangat cantik jelita. Menurut Sulistyo, filosofi di balik tradisi ini adalah bidadari dan putri dari surga yang sangat cantik, serta wanginya harum dipercaya turun dari surga di malam midodareni bidadari untuk menyempurnakan kecantikan dari mempelai wanita.Di malam tersebut, mempelai pria akan hadir ke kediaman mempelai wanita dengan membawa hantaran atau serah peningset. Keluarga Bobby membawa sekitar 29 paket hantaran, di antaranya berisi kosmetik, sepatu, tas, pakain dalam, produk perawatan tubuh, makanan, dan ulos tenun dari Tapanuli Selatan. Malam midodareni juga berkaitan dengan proses pingit oleh mempelai wanita. Biasanya, meliputi pemberian wejangan dan arahan mengenai bagaimana membina rumah tangga yang baik. Lihat dalam: TIM VIVA, "Makna Mendalam Pernikahan Adat Jawa Putri Jokowi", https://www.viva.co.id/indepth/fokus/976545-makna-mendalam-pernikahan-adat-jawa-putri-jokowi  (27 Maret 2018).
[23] Desianti.
[24] Ibid.
[25] Ibid.
[26] Ibid.
[27]Lihat dalam: "Hakikat Pernikahan Dalam Pandangan Hidup Orang Jawa", http://www.akarasa.com/2016/12/hakikat-pernikahan-dalam-pandangan.html  (06 April 2018).
[28] Ibid.
[29] Ibid.
[30] Soepomo, Bab Bab Tentang Hukum Adat (Jakarta: Pradya Paramita, 1977). Hal.25
[31] Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum; Perspektif Ilmu Sosial (the Legal System; a Social Science Perspective), (Bandung: Nusa Media, 2009). Hal. 33
[32] Ibid. kepercayaan masyarakat sangat penting dalam upaya penegakkan hukum karena kepercayaan adalah bagian dari budaya hukum lihat juga dalam Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) Dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interprestasi Undang-Undang (Legisprudence), vol. 1. Pemahaman Awal (Jakarta: Kencana, 2010). 228.
[33]Cliford Geertz telah menguraikan tiga varian tersebut sebagai berikut; Pertama; kaum priyayi, Dr.Geertz berasumsi bahwa kaum priyayi adalah  kaum yang menekankan aspek-aspek Hindu dan diasosiasikan dengan unsur birokrasi. Golongan Priyayi adalah kaum elite yang sah, memanifestasikan satu tradisi agama yang khas yang disebut sebagai varian agama priyayi dari sistem keagamaan pada umumnya di Jawa. Dalam kaitannya dengan kedudukan kaum priyayi dalam struktur sosial di Mojokuto, Dr.Geertz melukiskan mereka sebagai satu golongan pegawai birokrasi yang menurut tempat tinggal mereka merupakan penduduk kota. Di masa lampau, mereka dianggap merupakan bagian dari aristokrasi keraton. Istilah priyayi mengacu kepada orang-orang dari kelas sosial tertentu, yang menurut hukum  merupakan kaum elite tradisional. Ia mengacu kepada orang-orang yang menurut hukum dianggap berbeda dari rakyat biasa. Kaum priyayi dibedakan dari rakyat biasa karena memiliki gelar-gelar kehormatan yang terdiri dari pelbagai tingkat menurut hirarki hak dan kewajiban. Gelar-gelar tersebut seperti Raden, Raden Mas, Raden Panji, Raden Tumenggung, Raden Ngabehi, Raden Mas Panji, dan Raden Mas Aria. Gelar-gelar tersebut dicantumkan dalam bentuk singkatan di depan nama orang yang bergelar itu. Bukan hanya pria, kaum wanita juga berhak mempunyai gelar seperti Raden Roro, Raden Ajeng, dan Raden Ayu. Kedua: golongan santri. Menurut Geertz, santri dimanifestasikan dalam pelaksanaan yang cernat dan teratur, ritual-ritual pokok agama Islam, seperti kewajiban salat lima kali sehari, salat Jumat, di masjid, berpuasa selama bulan Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji. Artinya, dalam menjalankan peribadatan agama Islam, kalangan santri tidak mencampur adukkan unsur-unsur lain selain agama Islam seperti kalangan abangan. Ciri-ciri santri lebih dikenal sebagai tradisi Islam untuk mempermudah pandangan kita terhadap kaum santri.           Varian santri diasosiasikan dengan pasar, yang merupakan salah satu dari ketiga inti sosial-kultural. Kedua inti lainnya adalah desa dan pemerintahan birokrasi. Untuk profesi yang banyak dianut oleh kaum santri, di daerah perkotaan santri biasanya berprofesi sebagai pedagang atau tukang, terutama penjahit. Sedangkan di desa, santri berprofesi sebagai petani, jadi tidak semua petani di desa adalah orang abangan, di sana terdapat pula petani-petani yang santri. Ketiga; Abangan, bila mewakili sikap, menitikberatkan segi-segi animisme sinkretisme Jawa yang menyeluruh, dan secara luas berhubungan dengan unsur-unsur petani di antara penduduk. Istilah abangan oleh Clifford Geertz diterapkan pada kebudayaan orang desa, yaitu para petani yang kurang terpengaruh oleh pihak luar dibandingkan dengan golongan-golongan lain di antara penduduk. Abangan masih menerapkan pola tradisi jawa dalam kehidupan mereka. Salah satunya yaitu tradisi slametan. Tradisi slametan adalah tradisi yang dijalankan untuk memenuhi semua hajat orang sehubungan dengan suatu kejadian yang ingin diperingati, ditebus, atau dikuduskan. Kelahiran, perkawinan, sihir, kematian, pindah rumah, mimpi buruk, panen, ganti nama, membuka pabrik, sakit,  dan lain-lain semuanya itu memerlukan slametan. Yang memiliki hajat dalam slametan akan mengundang semua yang tinggal di sekitar seseorang yang punya hajat tersebut. Makna dari slametan adalah tak seorang pun merasa berbeda dari yang lain, tak ada seorang pun yang merasa rendah dari yang lain, dan tak ada seorang pun punya keinginan untuk memencilkan diri dari orang lain. lihat dalam: Cliford Geertz, The Religion of Java vol. ke-3 (Pustaka Jaya, 1983).
[34] Lihat dalam Harrsja W Bachtiar, "The Religion of Java: Commentary Review " Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Ke-5, I, (1973). Hal. 85-118
[35] Zaini Muchtarom, Santri Dan Abangan Di Jawa (Jakarta: INIS, 1988).
[36] Parsudi Suparlan, Kata Pengantar Dari Edisi Terjemahan the Riligion of Java Karangan Clifford Geertz, vol. Ke-3 (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983).
[37] Koentjoro, On the Spot; Tutur Dari Sarang Pelacur, Cet.II ed. (Yogjakarta: Tinta, 2004). Hal.141
[38] Ibid. Hal. 255
[39] Ibid.
[40] Untuk mengetahui evolusi tersebut dibutuhkan bantuan ilmu antropologi guna menjelaskan lebih lanjut, karena antropologi ilmu yang mempelajari manusia. Dalam melakukan kajian terhadap manusia, antropologi mengedepakan dua konsep penting yaitu: holistik dan komparatif. Karena itu kajian antropogi sangat memperhatikan aspek sejarah dan penjelasan menyeluruh untuk menggambarkan manusia melalui pengetahuan ilmu sosial ilmu hayati (alam), dan juga humaniora. Lihat dalam: "Antropologi", https://id.wikipedia.org/wiki/Antropologi  (05 April 2018). Untuk membandingkan beberapa pendapat tentang antroplogi dapat pula dilihat dalam: George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Sosiological Teory, trans., Nurhadi, Teori Sosiologi Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern (Bantul: Kreasi Wacana, 2017). Dan juga dapat dibandingakan dengan teori-teori evolusi kebudayaan dalam:Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antroplogi I (Jakarta: UII Press, 2014).hal.31-55 dan juga tentang konsepsi-konsepsi mengenahi perubahan kebudayaan dalam:Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi Ii (Jakarta: UII Press, 2015). Hal. 89-115

Comments

Popular posts from this blog

HADITS-HADITS AHKAM TENTANG JUAL BELI (SALE AND PURCHASE)

SHUNDUQ HIFZI IDA’ (SAFE DEPOSIT BOX) BANK SYARI’AH

STUDI TENTANG PEMIKIRAN IMAM AL-SYAUKANI DALAM KITAB IRSYAD AL-FUHUL