SEJARAH PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA


SEJARAH PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA
Oleh:
Nur Moklis
 Di dalam sejarah perekonomian umat Islam, pembiayaan yang dilakukan dengan akad sesuai syari’ah telah menjadi bagian dari tradisi umat Islam sejak zaman Rasullulah SAW. Praktik-praktik seperti menerima titipan harta, meminjamkan uang untuk keperluan konsumsi dan untuk keperluan bisnis, serta melakukan pengiriman uang, telah lazim dilakukan pada zaman Rasullullah SAW. Menurut Sami Hamoun, dalam Islamic Banking yang dikutip Adiwarman A. Karim, Rasullullah SAW, yang dikenal al-amin (orang yang terpercaya) oleh masyarakat Makkah, menerima simpanan harta, sehingga pada saat terakhir sebelum hijarah ke Madinah, beliau meminta Ali bin Abi Tholib r.a. untuk mengembalikan semua titipan itu kepada pemiliknya.[1] Dalam konsep ini pihak yang dititipi tidak dapat memanfaatkan harta.
Sudin Saron dalam tulisannya prinsip dan operasi perbankan Islam yang dikutip Adiwarman A. Karim menyatakan bahwa salah seorang sahabat Rasullullah SAW, Zubair  bin Awwam, r.a. memilih tidak menerima titipan harta. Ia lebih suka menerimanya dalam bentuk pinjaman. Tindakan Zubair bin Awwam, r.a. ini menimbulkan implikasi yang berbeda, yakni pertama, dengan mengambil uang itu sebagai pinjaman, dia mempunyai hak untuk memanfaatkannya. Kedua, karena bentuknya pinjaman, ia berkewajiban untuk mengembalikannya secara utuh. Dalam riwayat lainnya bahwa Ibnu Abbas r.a. melakukan pengiriman uang ke Kufah dan Abdullah bin Zubair r.a. melakukan pengiriman uang dari Makkah ke adiknya Mis’ab bin Zubair r.a. yang tinggal di irak. [2]
Pada pemerintahan Khalifah Umar Bin Khattab r.a. penggunaan cek dalam dunia bisnis dan untuk membayar tunjangan kepada mereka yang berhak, sudah dikenal secara luas. Cek digunakan dalam bisnis antara Negara Syam dan Yaman, yang paling tidak berlangsung dua kali dalam setahun. Masyarakat yang berhak biasanya dengan menggunakan cek mereka guna mengambil gandum dari baitul mal yang diimport dari Mesir. Praktik-praktik ini juga mengalami perkembangan pesat selama pemerintahan Bani Umayyah dan pemerintahan Bani Abbasiyah, aktifitas pertukaran mata uang, penyimpanan harta, peminjaman uang untuk konsumsi dan untuk bisnis serta pemberian jasa lainnya pada masa itu dilakukan oleh orang yang memiliki keahliah khusus, dikenal dengan sebutan naqid, sarraf dan jihbiz (mirip lembaga perbankan saat ini)[3].
Jika diperhatikan, industri keuangan berbasis syariah pada dasarnya merupakan proses yang sangat panjang, lahirnya agama Islam sekitar 15 (limabelas) abad yang lalu meletakkan dasar penerapan prinsip syari’ah dalam industri keuangan, karena di dalam Islam dikenal kaidah muamalah yang merupakan kaidah hukum atas hubungan antara manusia, yang di dalamnya termasuk hubungan perdagangan dalam arti luas. Meskipun demikian, perkembangan penerapan prinsip syariah mengalami pasang surut dalam kurun waktu yang relatif lama pada masa imperium negara-negara Eropa. Pada masa itu hampir semua negara-negara Islam mejadi wilayah jajahan negara-negara Eropa.[4]
Menurut H Abdul Manan[5] sistem ekonomi berbasis syariah mulai bangkit semenjak tahun 1930 dan mengalami puncaknya pada tahun 1960. Pada mulanya Pakistan mendirikan bank lokal dengan prinsip tanpa bunga, kemudian dilanjutkan Mesir dengan mendirikan Mit Ghamr Local Saving di delta sungai nil pada dasawarsa tahun 1960an. Adapun pendiri bank tersebut adalah Ahmad al-Najar yang permodalannya dibantu oleh raja Faisal pada tahun 1963 hingga 1967.[6] Keberhasilan sistem tanpa bunga (berbasis syariah) ini mengilhami  para petinggi negara-negara organisasi konverensi Islam (OKI) untuk mendirikan Islamic development bank (IDB).
IDB didirikan pada bulan oktober 1975 yang beranggotakan 22 negara Islam pendiri. Islamic development bank (IDB) menyediakan bantuan finansial untuk pembangunan negara-negara anggotanya. Produk bantuan antara lain berupa membantu mendirikan bank Islam di Negara anggota masing-masing, dan memainkan peran penting dalam penelitian ilmu ekonomi, perbankan dan keuangan Islam. Kantor pusat IDB di Jeddah Arab Saudi. Pada saat sekarang Islamic development bank (IDB) memiliki 43 kantor cabang dinegara-negara anggotanya.[7]
Pengembangan sistem perbankan syariah di Indonesia dilakukan dalam kerangka dual-banking system atau sistem perbankan ganda dalam kerangka Arsitektur Perbankan Indonesia (API), untuk menghadirkan alternatif jasa perbankan yang semakin lengkap kepada masyarakat Indonesia. Secara bersama-sama, sistem perbankan syariah dan perbankan konvensional secara sinergis mendukung mobilisasi dana masyarakat secara lebih luas untuk meningkatkan kemampuan pembiayaan bagi sektor-sektor perekonomian nasional. Karakteristik sistem perbankan syariah yang  beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil memberikan alternatif sistem perbankan yang saling menguntungkan bagi masyarakat dan bank, serta menonjolkan aspek keadilan dalam bertransaksi, investasi yang beretika, mengedepankan nilai-nilai kebersamaan dan persaudaraan dalam berproduksi, dan menghindari kegiatan spekulatif dalam bertransaksi keuangan. Dengan menyediakan beragam produk serta layanan jasa perbankan yang beragam dengan skema keuangan yang lebih bervariatif, perbankan syariah menjadi alternatif sistem perbankan yang kredibel dan dapat dinikmati oleh seluruh golongan masyarakat Indonesia tanpa terkecuali. [8]
Menurut annual report Bank Muamalat yang dikutip Muhammad Safi’i Antonio bahwa secara faktual perbankan syari’ah di Indonesia dimulai pada tanggal 01 Mei 1992 yaitu dengan mulai beroperasinya Bank Muamalat Indonesia dengan modal awal Rp. 106.126.382.000. Hingga tahun 1999 Bank Muamalat Indonesia telah memiliki outlet 45 lebih, yang tersebar di Jakarta, Bandung, Semarang, Balikpapan dan Makasar.[9]
Pada tahun 1998, dengan diundangkannya Undang-Undang No.10 Tahun 1998 tentang  Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, telah diatur secara terperinci terkait jenis-jenis usaha yang dapat diimplementasikan oleh perbankan syari’ah, cara membuka cabang syari’ah bahkan mengkonversi dari bank konvensioal ke dalam bank syari’ah.[10]
Pada tahun 1999, Bank Syari’ah Mandiri (BSM) adalah bank pertama milik pemerintah yang dikonversi dari bank konvensional menjadi Bank Umum Syari’ah. Di akhir tahun 1999 Bank Syari’ah Mandiri BSM memiliki total aset berkisar 2-3 Trilyun dengan lebih dari 20 cabang. Pada Akhir tahun 2000, setidaknya ada 9 Bank Umum Konvensional yang membuka cabang Syari’ah, yaitu: Bank IFI, Bank Niaga, Bank BNI ’46, Bank BTN, Bank Mega, Bank BRI, Bank Bukopin, BPD Jabar dan BPD Aceh. Perbankan Syariah di Indonesia mengalami pertumbuhan 30 sampai 40 persen per tahun. Perkembangan perbankan syariah selama dua dekade hingga kini, telah memiliki aset senilai Rp 200 triliun yang dikelola oleh 11 Bank Umum Syariah, 24 unit usaha syariah dan 160 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS), dengan pangsa pasar mencapai 4,67 persen.[11]
Sekarang, jumlah Bank Umum Syariah (BUS) telah mencapai 11 unit dan Unit Usaha Syariah (UUS) mencapai 24 unit.[12] Memang, jumlah ini tidak mengalami perubahan sejak tahun 2011. Namun, jumlah jaringan kantor semakin meningkat. Jika pada Bulan April 2012 jumlah kantor mencapai 1.457 unit, pada bulan yang sama di tahun 2013 jumlah ini bertambah menjadi 1.858 unit. Perluasan jaringan kantor tersebut juga telah mampu meningkatkan pengguna bank syariah. Hal tersebut dapat dilihat dari peningkatan jumlah total rekening pembiayaan sebesar 3,31 juta rekening. Jumlah rekening di tahun sebelumnya tercatat 10,83 juta rekening dan tahun ini meningkat menjadi 14,14 juta rekening. Dari data statistik perbankan syariah bank Indnonesia (BI), per April 2013 total aset perbankan syariah telah menembus angka Rp. 207,800 triliun. Dibandingkan periode satu tahun sebelumnya, aset perbankan syariah telah mengalami pertumbuhan sebesar 44%. Angka pembiayaan telah mencapai Rp.163,407 triliun. Penghimpunan dana pihak ketiga telah mencapai Rp.158,519 triliun. Fungsi intermediasi perbankan syariah pun semakin meningkat. Financing Deposit Rasio (FDR) per April 2013 mencapai 103,08%. Angka ini meningkat dari tahun sebelumnya yang mencapai 95,39%. Secara total, pangsa pasar perbankan syariah telah mencapai 4.86%.[13]
Dengan telah diberlakukannya Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang terbit tanggal 16 Juli 2008, maka pengembangan industri perbankan syariah nasional semakin memiliki landasan hukum yang memadai dan akan mendorong pertumbuhannya secara lebih cepat lagi. Dengan progres perkembangannya yang impresif, yang mencapai rata-rata pertumbuhan aset lebih dari 65% pertahun dalam lima tahun terakhir, maka diharapkan peran industri perbankan syariah dalam mendukung perekonomian nasional akan semakin signifikan. Apalagi setelah dikabulkannya yudisial review  oleh Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 Pasal 55 ayat (2)  Undang-undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah, yang menghilangkan dualisme litigasi dalam sengketa perbankan syari’ah, sehingga peradilan agama menjadi satu-satunya lembaga litigasi tempat penyelesaian sengketanya,[14] maka menjadi semakin mengokohkan kepastian hukum dalam menjalankan transaksi keuangan berbasis syariah ini.


[1] Adiwarman A. Karim, “Bank Islam Analisa Fiqih Dan Keuangan”, Edisi III, PT.  Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm.18.
[2] Ibid. hlm. 19.
[3] Ibid. hlm. 18-21.
[4]Adrian Sutedi, “Pasar Modal Syariah Sarana Investasi Keuangan Berdasarkan Prinsip Syariah”, Sinar Grafika, Jakarta, Cet.I, 2011, hlm.1.
[5]H. Abdul Manan, “Hukum Ekonomi Syariah Dalam Perspektif Kewenangan Peradilan Agama”, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, Cet.I, 2012, hlm. 1-2.
[6]Gamala Dewi, “Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan Syariah Di Indonesia”, Edisi Revisi, Cet III, 2006 hlm. 53.
[7]Adiwarman A. Karim, Op.,Cit. hlm. 23.
[9]Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah Dari Teori Ke Praktik, Gema Insani, Jakarta, 2001, hlm. 25-26.
[10]Untuk mengetahui lebih detailnya dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang  Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.
[12]Bank Umum Syariah (BUS) Ada 11 Bank yaitu PT.Bank Syariah Mandiri, PT.Bank Syariah Muamalat Indonesia, PT.Bank Syariah BNI, PT.Bank Syariah  BRI, PT.Bank Syariah Mega Indonesia, PT. Bank Jabar dan Banten, PT.Bank Panin Syariah, PT. Bank Syariah Bukopin, PT.Bank Victoria Syariah, PT.BCA Syariah, PT. Maybank Indonesia Syariah. Adapun Unit Usaha Syariah (UUS) Ada 24 Bank, PT.Bank Danamon, PT.Bank Permata, PT.Bank Internasional Indonesia (BII), PT.Cimb Niaga, HSBC, Ltd., PT.Bank DKI, BPD. DIY, BPD. Jawa Tengah  (Jateng), BPD. Jawa Timur  (Jatim), BPD. Banda Aceh, BPD. Sumatera Utara (Sumut), BPD. Sumatera Barat (Sumbar), BPD. Riau, BPD. Sumatera Selatan (Sumsel), BPD. Kalimantan Selatan (Kalsel), BPD. Kalimantan Barat (Kalbar), BPD. Kalimantan Timur (Kaltim), BPD. Sulawesi Selatan (Sulsel), BPD. Nusa Tenggara Barat (NTB), PT.BTN, PT.Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN), PT. OCBC NISP., PT.Bank Sinarmas, BPD. Jambi.
[13]Anita Priantina (Dosen STEI Tazkia),Perjalanan Perbankan Syariah Di Indonesia, http://ramadan.detik.com/read/2013/08/18/075234/2333137/1522/, 07 oktober 2013
[14]Untuk mengetahui secara lengkap dapat dibaca Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 93/PUU-X/2012, yang diucapkan tanggal 29 Agustus 2013.

Comments

Popular posts from this blog

HADITS-HADITS AHKAM TENTANG JUAL BELI (SALE AND PURCHASE)

SHUNDUQ HIFZI IDA’ (SAFE DEPOSIT BOX) BANK SYARI’AH

STUDI TENTANG PEMIKIRAN IMAM AL-SYAUKANI DALAM KITAB IRSYAD AL-FUHUL