HUKUM DAN SISTIM POLITIK
ANALISIS
UNDANG UNDANG NOMOR
2 TAHUN 2011
TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK
OLEH
NUR
MOKLIS
A. PENDAHULUAN
Semangat
membentuk partai politik baru untuk turut berkompetisi dalam pemilihan umum
ternyata belum sirna kendati persyaratan undang-undang semakin ketat. Masih
adakah peluang parpol baru merebut simpati di tengah kekecewaan publik terhadap
kinerja parpol yang berkuasa dewasa ini?. Secara teoritis peluang itu jelas
masih ada kendati tidak besar. Hasil Pemilu 2009 menggambarkan, sekitar 70
persen anggota DPR dan DPRD adalah wajah baru meskipun sebagian besar parpol
yang berhasil masuk parlemen adalah parpol lama. Di tingkat nasional, hanya
Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura)
yang bisa menembus persyaratan ambang batas parlemen sebesar 2,5 persen.
Beberapa parpol lama dan sekitar 20 parpol baru atau parpol lama yang
diperbaharui, tersingkir dari panggung politik bergengsi di Senayan, namun
sebagian di antaranya bisa merebut kursi DPRD propinsi dan kabupaten/kota yang
belum memberlakukan persyaratan ambang batas parlemen.
Peluang
lain bagi parpol baru adalah realitas politik terkait akumulasi kekecewaan
publik terhadap kinerja parpol yang ada saat ini. Sulit dibantah, hampir belum
ada kebijakan spektakuler yang digulirkan parpol, baik melalui lembaga
legislatif maupun eksekutif. Yang justru terekam dalam memori publik adalah
semakin banyaknya politisi parpol yang ditangkap, menjadi tersangka dan bahkan
dipenjara karena diduga terlibat tindak pidana korupsi yang dilakukannya.
Banyak
Faktor keberhasilan parpol baru merebut dukungan dalam pemilu jelas ditentukan
oleh banyak faktor. Secara tradisional, orientasi agama dianggap merupakan
faktor penting yang mempengaruhi perilaku pemilih dalam pemilu. Studi klasik
Clifford Geertz tentang kecenderungan pilihan parpol kaum santri dan abangan di
Jawa, biasanya dirujuk terkait asumsi ini. Namun kegagalan partai-partai
berbasis Islam pada Pemilu 1999, 2004, dan 2009 mengkonfirmasi terjadinya
perubahan orientasi pemilih di Indonesia. Partai-partai sekuler seperti Golkar,
PDI Perjuangan, dan belakangan Partai Demokrat, pernah memperoleh dukungan
signifikan di daerah-daerah santri dengan pemeluk Islam yang taat beribadah
pada tahun 2009 yang lalu.
Faktor
kelas sosial sering dirujuk sebagai variabel yang turut mempengaruhi pilihan
konstituen dalam pemilu. Namun karena pada umumnya parpol di Indonesia bersifat
“merangkum semua” (catch all) serta hampir tidak ada isu spesifik tertentu
untuk kelas sosial tertentu, maka pilihan atas parpol cenderung bersifat
lintas-kelas sosial. Pemilih PDI Perjuangan yang mengklaim sebagai partai wong
cilik misalnya, menjangkau pula sebagian kaum “Soekarnois” terdidik perkotaan,
kendati proporsinya cenderung merosot dari pemilu ke pemilu.
Orientasi
isu suatu parpol juga bisa menjadi daya tarik untuk memobilisasi dukungan dalam
pemilu. Pendekatan ini antara lain diusung oleh Partai Keadilan Sejahtera dalam
Pemilu 2004 dan 2009 yang mengklaim diri sebagai partai “bersih dan peduli”,
sehingga mampu mendulang dukungan signifikan ketika pada saat sama parpol
berbasis Islam lainnya mengalami musim “paceklik” suara.
Ada
dua variabel lain yang seringkali dirujuk karena dianggap mempengaruhi perilaku
pemilih, yaitu identifikasi partai dan orientasi atas figur atau tokoh yang
merepresentasikan parpol. Identifikasi partai adalah tingkat pengenalan pemilih
terhadap partai, sehingga tidak menjadi soal siapa tokohnya ataupun bagaimana
kinerjanya. Daya tahan Golkar antara lain terletak di sini. Di sisi lain,
keberhasilan Partai Demokrat pada tauh 2009 lalu bisa dijelaskan dari begitu
sentralnya ketokohan Susilo Bambang Yudhoyono ketika kinerja figur lama seperti
Abdurrahman Wahid, Megawati, dan Amien Rais mulai menuai kekecewaan publik.
Studi R. William Liddle dan Saiful Mujani (2006) mengkonfirmasi signifikansi
faktor identifikasi partai dan ketokohan ini dalam mempengaruhi perilaku
pemilih.
Terlepas
dari hingar bingar politik yang telah dilalui seperti masa pileg 9 april 2014,
dan menjelang prilpres ditahun 2014 ini, penulis akan menkaji dan menganalisis
salah satu instrument demokrasi yang dimiliki NKRI yaitu Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2011 tentang perubahan Undang Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai
Politik. Penulis akan mengkaji dan menganalisa serta berusaha menjawab dua
pertanyaan mendasar dibawah ini:
1.
Apa sisi kelemahannya Undang
Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang perubahan Undang Undang Nomor 2 Tahun 2008
Tentang Partai Politik?
2.
Apa dampak positifnya Undang
Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang perubahan Undang Undang Nomor 2 Tahun 2008
Tentang Partai Politik terhadap pengembangan NKRI sebagai Negara demokrasi
terbesar ke-4 dinunia?.
Penulis selanjutnya
akan memulai kajian ini dari muatan Undang Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang
perubahan Undang Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik.
B. MUATAN POKOK UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN
ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK
Penulis akan menguraikan muatan utama dari UU No.2
Tahun 2011 yang merupakan perubahan penting dari UU No. 2 tahun 2008. Pasal 3 UU nomor 2 tahun 2008,
Kepengurusan paling sedikit 60% (enam puluh perseratus) dari jumlah provinsi,
50% (lima puluh perseratus) dari jumlah kabupaten/kota pada setiap provinsi
yang bersangkutan, dan 25% (dua puluh lima perseratus) dari jumlah kecamatan
pada setiap kabupaten/kota pada daerah yang bersangkutan.
Nasional 60% dari jumlah provinsi di Indonesia. Provinsi 50%
dari jumlah kabupaten/kota. Kabupaten/kota 25% dari jumlah kecamatan. Pasal 3
Undang-undang nomor 2 tahun 2011, Kepengurusan pada setiap provinsi dan paling
sedikit 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah kabupaten/kota pada
provinsi yang bersangkutan dan paling sedikit 50% (lima puluh perseratus) dari
jumlah kecamatan pada kabupaten/kota yang bersangkutan. Nasional 100% dari
jumlah provinsi di Indonesia. Provinsi 75% dari jumlah kabupaten/kota.
Kabupaten/kota 50% dari jumlah kecamatan. Kantor tetap pada
tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir
pemilihan umum 2014.[1]
Pasal 19
Undang-undang nomor 2 tahun 2011, (1) Kepengurusan Partai Politik tingkat
pusat berkedudukan di ibu kota negara. (2) Kepengurusan Partai Politik
tingkat provinsi berkedudukan di ibu kota provinsi. (3) Kepengurusan Partai
Politik tingkat kabupaten/kota berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota.
(3a) Kepengurusan Partai Politik tingkat kecamatan berkedudukan di ibu
kota kecamatan. (4) Dalam hal kepengurusan Partai Politik dibentuk
sampai tingkat kelurahan/desa atau sebutan lain,
kedudukan kepengurusannya disesuaikan dengan wilayah
yang bersangkutan. Pasal 51 Undang-undang nomor 2 tahun 2011, (1) Partai
Politik yang telah disahkan sebagai badan hukum berdasarkan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik tetap diakui keberadaannya
dengan kewajiban melakukan penyesuaian menurut Undang-Undang ini
dengan mengikuti verifikasi. (1a) Verifikasi Partai Politik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan Partai Politik yang dibentuk
setelah Undang-Undang ini diundangkan, selesai paling lambat 2 ½ (dua
setengah) tahun sebelum hari pemungutan suara pemilihan umum. (1b) Dalam
hal Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memenuhi
syarat verifikasi, keberadaan Partai Politik tersebut tetap diakui sampai
dilantiknya anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota hasil
Pemilihan Umum 2014. (1c) Anggota DPR, DPRD provinsi, dan
DPRD kabupaten/kota dari Partai Politik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1b) tetap diakui keberadaannya sebagai anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota sampai akhir periode keanggotaannya.[2]
C. BEBERAPA TEORI SISTEM POLITIK
Penulis akan mengawali kajian
teoritik ini dari pengertian sistem politik menurut David Easton, menurutnya
negara masih memegang posisi kunci dalam studi politik. Pengertian struktural
fungsional dari Gabriel Almond mempertajam konsep David Easton tersebut. Sistem
adalah kesatuan seperangkat struktur yang memiliki fungsi masing-masing yang
bekerja untuk mencapai tujuan tertentu. Sistem politik adalah kesatuan (kolektivitas)
seperangkat struktur politik yang memiliki fungsi masing-masing yang bekerja
untuk mencapai tujuan suatu negara. Pendekatan sistem politik ditujukan untuk
memberi penjelasan yang bersifat ilmiah terhadap fenomena politik. Pendekatan
sistem politik dimaksudkan juga untuk menggantikan pendekatan klasik ilmu
politik yang hanya mengandalkan analisis pada negara dan kekuasaan. Pendekatan
sistem politik diinspirasikan oleh sistem yang berjalan pada makhluk hidup
(dari disiplin biologi).
Dalam pendekatan sistem
politik, masyarakat adalah konsep induk oleh sebab sistem politik hanya
merupakan salah satu dari struktur yang membangun masyarakat seperti sistem
ekonomi, sistem sosial dan budaya, sistem kepercayaan dan lain sebagainya.
Sistem politik sendiri merupakan abstraksi (realitas yang diangkat ke alam
konsep) seputar pendistribusian nilai di tengah masyarakat. Seperti telah
dijelaskan, masyarakat tidak hanya terdiri atas satu struktur (misalnya sistem
politik saja), melainkan terdiri atas multi struktur. Sistem yang biasanya
dipelajari kinerjanya adalah sistem politik, sistem ekonomi, sistem agama,
sistem sosial, atau sistem budaya-psikologi. Dari aneka jenis sistem yang
berbeda tersebut, ada persamaan maupun perbedaan. Perbedaan berlingkup pada
dimensi ontologis (hal yang dikaji) sementara persamaan berlingkup pada
variabel-variabel (konsep yang diukur) yang biasanya sama antara satu sistem
dengan lainnya.
Untuk memahami sistem politik
Indonesia, layaknya kita memahami sistem-sistem lain, maka harus kita ketahui
beberapa variabel kunci. Variabel-variabel kunci dalam
memahami sebuah sistem adalah struktur, fungsi, aktor,
nilai, norma, tujuan, input,
output, respon, dan umpan balik.
Struktur adalah
lembaga politik yang memiliki keabsahan dalam menjalankan suatu fungsi sistem
politik. Dalam konteks negara (sistem politik) misal dari struktur ini
struktur input,proses, dan output. Struktur
input bertindak selaku pemasok komoditas ke dalam sistem politik, struktur
proses bertugas mengolah masukan dari struktur input, sementara struktur output
bertindak selaku mekanisme pengeluarannya. Hal ini mirip dengan organisme yang
membutuhkan makanan, pencernaan, dan metabolisme untuk tetap bertahan hidup.
Struktur
input, proses dan output umumnya dijalankan oleh aktor-aktor yang
dapat dikategorikan menjadi legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Ketiga aktor
ini menjalankan tugas kolektif yang disebut sebagai pemerintah (government). Namun,
setiap aktor yang mewakili struktur harus memiliki fungsi yang berbeda-beda:
Tidak boleh suatu fungsi dijalankan oleh struktur yang berbeda karena akan
menimbulkan konflik kepentingan. Ini pun merupakan dasar dari
disusunnya konsep Trias Politika (pemisahan kekuasaan) seperti
digagas para pionirnya di masalah abad pencerahan seperti John
Locke dan Montesquieu.
Nilai adalah komoditas utama yang berusaha
didistribusikan oleh struktur-struktur di setiap sistem politik yang wujudnya
adalah: (1) kekuasaan, (2) pendidikan atau penerangan; (3) kekayaan; (4)
kesehatan; (4) keterampilan; (5) kasih sayang; (6) kejujuran dan keadilan; (7)
keseganan, respek.[3] Nilai-nilai tersebut diasumsikan dalam kondisi
yang tidak merata persebarannya di masyarakat sehingga perlu campur tangan
struktur-struktur yang punya kewenangan (otoritas) untuk mendistribusikannya
pada elemen-elemen masyarakat yang seharusnya menikmati. Struktur yang
menyelenggarakan pengalokasian nilai ini, bagi Easton, tidak dapat diserahkan
kepada lembaga yang tidak memiliki otoritas: Haruslah negara dan pemerintah
sebagai aktornya.
Norma adalah
peraturan, tertulis maupun tidak, yang mengatur tata hubungan antaraktor di
dalam sistem politik. Norma ini terutama dikodifikasi di dalam konstitusi
(undang-undang dasar) suatu negara. Setiap konstitusi memiliki rincian
kekuasaan yang dimiliki struktur input, proses, dan output. Konstitusi juga
memuat mekanisme pengelolaan konflik antar aktor-aktor politik di saat
menjalankan fungsinya, dan menunjuk aktor (sekaligus) lembaga yang memiliki
otoritas dalan penyelesaikan konflik. Setiap negara memiliki norma yang
berlainan sehingga konsep norma ini dapat pula digunakan sebagai parameter
dalam melakukan perbandingan kerja sistem politik suatu negara dengan negara
lain.
Tujuan
sistem politik, seperti halnya norma, juga terdapat di
dalam konstitusi. Umumnya, tujuan suatu sistem politik terdapat di dalam mukadimah atau
pembukaan konstitusi suatu negara. Tujuan sistem politik Indonesia termaktub di
dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945,
sementara tujuan sistem politik Amerika Serikat termaktub di dalam Declaration
of Independence.
Input
dan output adalah dua fungsi dalam sistem politik yang
berhubungan erat. Apapun output suatu sistem politik, akan dikembalikan kepada
struktur input. Struktur input akan bereaksi terhadap apapun output yang
dikeluarkan, yang jika positif akan memunculkandukungan atas
sistem, sementara jika negatif akan mendampak muncul tuntutan atas
sistem. Umpan balik (feedback) adalah situasi di mana sistem
politik berhasil memproduksi suatu keputusan ataupun tindakan yang direspon
oleh struktur output.
Analisis
mengenai kinerja sistem politik sering merujuk pada teorisasi yang disusun oleh
David Easton. Uraian Easton mengenai sistem politik kendati abstrak dan luas tetapi
unggul dalam pencakupannya. Artinya, teori Easton ini mampu menggambarkan
kinerja sistem politik hampir secara holistik dan sebab itu
sering disebut sebagai grand theory.Uraian Easton juga bersifat
siklis, dalam arti sebagai sebuah sistem, sistem politik dipandang sebagai
sebuah organisme hidup yang mencukupi kebutuhan-kebutuhan hidupnya
sendiri, mengalami input, proses, output, dan dikembalikan sebagai feedbackkepada
struktur input. Struktur input kemudian merespon dan kembali menjadi input ke
dalam sistem politik. Demikian proses tersebut berjalan berputar selama
sistem politik masih eksis.
Pemikiran
sistem politik Easton juga tidak terlepas dari pandangan umum ilmu sosial yang
berkembang saat ia menyusun teorinya pada kurun 1953 hingga 1965. Era tersebut
diwarnai paradigma ilmu sosial mainstream yang bercorak
fungsionalisme. Dalam fungsionalisme suatu sistem dianggap memiliki
kecenderungan menciptakan ekuilibrium, adaptasi, dan integrasi dalam kerja
struktur-strukturnya. Layaknya tubuh manusia – di mana organ tangan, kaki,
kepala, perut, dan lainnya – sistem politik pun memiliki aneka struktur yang
fungsi-fungsinya satu sama lain berbeda, saling bergantung, dan bekerja secara
harmonis dalam mencapai tujuan dari sistem tersebut.
Namun,
pendekatan Easton ini kurang sempurna untuk diaplikasikan sebagai alat analisis
sistem politik di dalam skala mikro, yang meliputi perilaku politik individu
dan lembaga-lembaga yang tidak secara formal merepresentasikan suatu fungsi di
dalam sistem politik. Kekurangan ini lalu dimodifikasi oleh koleganya, Gabriel
Abraham Almond. Almond (bersama James Coleman) ini terutama mengisi abstraknya
penjelasan Easton mengenai struktur, fungsi, kapabilitas pemerintah, fungsi
pemeliharaan dan adaptasi, serta dimensi perilaku warganegara dalam
kehidupan mikro politik sehari-hari sistem politik. Almond
tetap bekerja menggunakan skema besar sistem politik Easton,
tetapi melakukan pendalaman analisis atas level individual di dalam negara.
Analisis
sistem politik Indonesia di dalam buku ini menggunakan bangunan teori Easton
sebagai kerangka makro dan Almond sebagai kerangka mikro. Keduanya akan
digunakan secara komplementatif. Komplementasi konsep Easton oleh Almond ini
diantaranya telah ditulis secara baik dan sistematis oleh Ronald H. Chilcote.[4]
Pendekatan Sistem Politik Easton. Ronald H. Chilcote menyatakan bahwa pemikiran
Easton dapat di rujuk pada tiga tulisannya yaitu The Political System,
A Framework for Political Analysis, dan A System Analysis of
Political Life. Di dalam buku pertama yang terbit tahun 1953 (The
Political System) Easton mengajukan argumentasi seputar perlunya membangun
satu teori umum yang mampu menjelaskan sistem politik secara lengkap. Teori
tersebut harus mampu mensistematisasikan fakta-fakta kegiatan politik
yang tercerai-berai ke dalam suatu penjelasan yang runtut dan
tertata rapi.
Easton mendefinisikan politik
sebagai proses alokasi nilai dalam masyarakat secara otoritatif.
Kata secara otoritatif membuat konsep sistem politik
Easton langsung terhubungan dengan negara.[5] Atas
definisi Easton ini Michael Saward menyatakan adanya konsekuensi-konsekuensi
logis berikut: Bagi Easton hanya ada satu otoritas yaitu otoritas negara.[6]
Peran dalam mekanisme output
(keputusan dan tindakan) bersifat eksklusif yaitu hanya di
tangan lembaga yang memiliki otoritas. Easton menekankan pada keputusan
yang mengikat dari pemerintah, dan sebab itu: (a) keputusan
selalu dibuat oleh pemerintah yang legitimasinya bersumber dari konstitusi dan
(b) Legitimasi keputusan oleh konstitusi dimaksudkan untuk
menghindari chaos politik; dan Bagi Easton sangat penting bagi
negara untuk selalu beroperasi secaralegitimate. Menurut Chilcote, dalam
tulisannya di The Political System, Easton mengembangkan empat
asumsi (anggapan dasar) mengenai perlunya suatu teori umum (grand theory)sebagai
cara menjelaskan kinerja sistem politik, dan Chilcote menyebutkan terdiri atas.[7]
Ilmu pengetahuan memerlukan
suatu konstruksi untuk mensistematisasikan fakta-fakta yang ditemukan. Para
pengkaji kehidupan politik harus memandang sistem politik sebagai keseluruhan,
bukan parsial. Riset
sistem politik terdiri atas dua jenis data: data psikologis dan data
situasional. Data psikologis terdiri atas karakteristik
personal serta motivasi para partisipan politik. Data situasional terdiri
atas semua aktivitas yang muncul akibat pengaruh lingkungan. Pengaruh
lingkungan ini muncul dari lingkungan fisik (topografi, geografis), lingkungan
organis nonmanusia (flora, fauna), dan lingkungan sosial (rakyat, aksi dan
reaksinya). Sistem politik harus dianggap berada dalam
suatu disequilibrium(ketidakseimbangan).
Fakta
cenderung tumpang-tindih dan semrawut tanpa adanya
identifikasi. Dari kondisichaos ini, ilmu pengetahuan muncul
sebagai obor yang menerangi kegelapan lalu
peneliti dapat melakukan klasifikasi secara lebih jelas. Ilmu pengetahuan
melakukan pemetaan dengan cara menjelaskan hubungan antar fakta secara
sistematis. Politik adalah suatu ilmu pengetahuan dan sebagai ilmu pengetahuan
politik memiliki dimensi ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Easton
memaksudkan teori yang dibangunnya mampu mewakili ketiga unsur ilmiah tersebut.
Dalam
konteks bangunan keilmuan, Easton menghendaki adanya suatu teori umum yang
mampu mengakomodasi bervariasinya lembaga, fungsi, dan karakteristik sistem
politik untuk kemudian merangkum keseluruhannya dalam satu penjelasan umum.
Proses kerja sistem politik dari awal, proses, akhir, dan
kembali lagi ke awal harus mampu dijelaskan oleh satu kamera yang
mampu merekam seluruh proses tersebut. Layaknya pandangan fungsionalis atas
sistem, Easton menghendaki analisis yang dilakukan atas suatu struktur tidak
dilepaskan dari fungsi yang dijalankan struktur lain. Easton menghendaki kajian
sistem politik bersifat menyeluruh, bukan parsial. Misalnya, pengamatan atas
meningkatnya tuntutan di struktur input tidak dilakukan
secara per se melainkan harus pula melihat keputusan dan tindakan yang
dilakukan dalam struktur output.
Easton
juga memandang sistem politik tidak dapat lepas dari konteksnya. Sebab itu
pengamatan atas suatu sistem politik harus mempertimbangkan pengaruh
lingkungan. Pengaruh lingkungan ini disistematisasi ke dalam dua jenis
data, psikologis dan situasional.Kendati masih
abstrak, Easton sudah mengantisipasi pentingnya data di level individu. Namun,
level ini lebih dimaksudkan pada tingkatan unit-unit sosial dalam masyarakat
ketimbang perilaku warganegara (seperti umum dalam pendekatan behavioralisme).
Easton menekankan pada motif politik saat suatu entitas masyarakat melakukan
kegiatan di dalam sistem politik. Menarik pula dari Easton ini yaitu
antisipasinya atas pengaruh lingkungananorganik seperti lokasi
geografis ataupun topografi wilayah yang ia anggap punya pengaruh tersendiri
atas sistem politik, selain tentunya lingkungan sistem sosial (masyarakat) yang
terdapat di dalam ataupun di luar sistem politik. Easton juga menghendaki
dilihatnya penempatan nilai dalam kondisi disequilibriun (tidak
seimbang). Ketidakseimbangan inilah yang merupakan bahan bakar sehingga
sistem politik dapat selalu bekerja.
Dengan
keempat asumsi di atas, Easton paling tidak ingin membangun suatu penjelasan
atas sistem politik yang jelas tahapan-tahapannya. Konsep-konsep apa saja yang
harus dikaji dalam upaya menjelaskan fenomena sistem politik, lembaga-lembaga
apa saja yang memang memiliki kewenangan untuk pengalokasian nilai di tengah
masyarakat, merupakan pertanyaan-pertanyaan dasar dari kerangka pikir ini.
Lebih
lanjut, Chilcote menjelaskan bahwa setelah mengajukan empat asumsi seputar
perlunya membangun suatu teori politik yang menyeluruh (dalam hal ini teori
sistem politik), Easton mengidentifikasi empat atribut yang perlu diperhatikan
dalam setiap kajian sistem politik, yang terdiri atas.[8]
Pertama, Unit-unit
dan batasan-batasan suatu sistem politik. Serupa dengan paradigma
fungsionalisme, dalam kerangka kerja sistem politik pun terdapat unit-unit yang
satu sama lain saling berkaitan dan saling bekerja sama untuk mengerakkan roda
kerja sistem politik. Unit-unit ini adalah lembaga-lembaga yang sifatnya
otoritatif untuk menjalankan sistem politik seperti legislatif, eksekutif,
yudikatif, partai politik, lembaga masyarakat sipil, dan sejenisnya. Unit-unit
ini bekerja di dalam batasan sistem politik, misalnya dalam cakupan wilayah
negara atau hukum, wilayah tugas, dan sejenisnya.
Kedua Input-output.
Input merupakan masukan dari masyarakat ke dalam sistem politik.
Input yang masuk dari masyarakat ke dalam sistem politik dapat berupa tuntutan dan dukungan.Tuntutan secara
sederhana dapat disebut seperangkat kepentingan yang alokasinya belum merata
atas ejumlah unit masyarakat dalam sistem politik. Dukungan secara
sederhana adalah upaya masyarakat untuk mendukung keberadaan sistem politik
agar terus berjalan. Output adalah hasil kerja sistem politik
yang berasal baik dari tuntutan maupun dukungan masyarakat. Output terbagi dua
yaitu keputusan dan tindakanyang biasanya
dilakukan oleh pemerintah. Keputusan adalah pemilihan satu
atau beberapa pilihan tindakan sesuai tuntutan atau dukungan yang masuk.
Sementara itu,tindakan adalah implementasi konkrit pemerintah atas
keputusan yang dibuat.
Ketiga,
Diferensiasi dalam system. Sistem yang baik harus memiliki diferensiasi
(pembedaan dan pemisahan) kerja. Di masyarakat modern yang rumit tidak mungkin
satu lembaga dapat menyelesaikan seluruh masalah. Misalkan saja dalam proses
penyusunan Undang-undang Pemilu, tidak bisa hanya mengandalkan DPR sebagai
penyusun utama, melainkan pula harus melibatkan Komisi Pemilihan Umum,
lembaga-lembaga pemantau kegiatan pemilu, kepresidenan, ataupun
kepentingan-kepentingan partai politik, serta lembaga-lembaga swadaya
masyarakat. Sehingga dalam konteks undang-undang pemilu ini, terdapat sejumlah
struktur (aktor) yang masing-masing memiliki fungsi sendiri-sendiri.
Keempat,
Integrasi dalam system. Integrasi adalah keterpaduan kerja antar unit yang
berbeda untuk mencapai tujuan bersama. Undang-undang Pemilihan Umum tidak akan
diputuskan serta ditindaklanjuti jika tidak ada kerja yang terintegrasi antara
DPR, Kepresidenan, KPU, Bawaslu, Partai Politik, dan media massa.
Hasil
pemikiran tahap pertama Easton adalah sebagai berikut:[8]
Skema
Kerja Sistem Politik Easton.
Dalam gambar diatas, Easton
memisahkan sistem politik dengan masyarakat secara keseluruhan oleh sebab bagi
Easton sistem politik adalah suatu sistem yang berupaya mengalokasikan
nilai-nilai di tengah masyarakat secara otoritatifAlokasi nilai hanya dilakukan
oleh lembaga-lembaga yang memiliki kewenangan yang legitimate (otoritatif)
di mata warganegara dan konstitusi. Suatu sistem politik bekerja untuk
menghasilkan suatu keputusan (decision) dan tindakan (action)
yang disebut kebijakan (policy) guna mengalokasikan nilai.
Unit-unit dalam sistem politik
menurut Easton adalah tindakan politik (political actions) yaitu kondisi
seperti pembuatan UU, pengawasan DPR terhadap Presiden, tuntutan elemen
masyarakat terhadap pemerintah, dan sejenisnya. Dalam awal kerjanya,
sistem politik memperoleh masukan dari unit input.
Input adalah pemberi
makan sistem politik. Input terdiri atas dua
jenis: tuntutan dandukungan. Tuntutan dapat muncul baik
dalam sistem politik maupun dari lingkunganintrasocietal maupun extrasocietal.
Tuntutan ini dapat berkenaan dengan barang dan pelayanan (misalnya upah, hukum
ketenagakerjaan, jalan, sembako), berkenaan dengan regulasi (misalnya keamanan
umum, hubungan industrial), ataupun berkenaan dengan partisipasi dalam sistem
politik (misalnya mendirikan partai politik, kebebasan berorganisasi).
Tuntutan
yang sudah terstimulasi kemudian menjadi garapan aktor-aktor
di dalam sistem politik yang bersiap untuk menentukan masalah yang penting
untuk didiskusikan melalui saluran-saluran yang ada di dalam sistem politik. Di
sisi lain, dukungan (support) merupakan tindakan atau orientasi untuk
melestarikan ataupun menolak sistem politik. Jadi, secara sederhana dapat
disebutkan bahwa dukungan memiliki dua corak yaitu positif(forwarding)
dan negatif (rejecting) kinerja sebuah sistem politik.
Setelah
tuntutan dan dukungan diproses di dalam sistem politik, keluarannya disebut
sebagai output, yang menurut Easton berkisar pada dua entitas yaitu keputusan (decision)
dan tindakan (action). Output ini pada kondisi lebih lanjut
akan memunculkanfeedback (umpan balik) baik dari kalangan dalam
sistem politik maupun lingkungan. Reaksi ini akan diterjemahkan kembali ke
dalam format tuntutan dan dukungan, dan secara lebih lanjut meneruskan kinerja
sistem politik. Demikian proses kerja ini berlangsung dalam pola siklis.
Di dalam karyanya
yang lain - A Framework for Political Analysis (1965)
dan A System Analysis of Political Life (1965) Chilcote
menyebutkan bahwa Easton mulai mengembangkan serta merinci konsep-konsep yang
mendukung karya sebelumnya – penjelasan-penjelasannya yang abstrak – dengan
coba mengaplikasikannya pada kegiatan politik konkrit dengan menegaskan hal-hal
sebagai berikut.[9]
Masyarakat
terdiri atas seluruh sistem yang terdapat di dalamnya serta bersifat terbuka. Sistem
politik adalah seperangkat interaksi yang diabstraksikan dari totalitas perilaku
sosial, dengan mana nilai-nilai dialokasikan ke dalam masyarakat secara
otoritatif. Kalimat ini sekaligus merupakan definisi politik dari Easton; dan Lingkungan
terdiri atas intrasocietal dan extrasocietal. Lingkungan intrasocietal terdiri
atas lingkungan fisik serta sosial yang terletak di luarbatasan
sistem politik tetapi masih di dalam masyarakat yang sama. Lingkunganintrasocietal terdiri
atas.[10]
Lingkungan
ekologis (fisik, nonmanusia). Misal dari lingkungan ini
adalah kondisi geografis wilayah yagng didominasi misalnya oleh pegunungan,
maritim, padang pasir, iklim tropis ataupun dingin. Lingkungan biologis (berhubungan dengan keturunan ras). Misal dari
lingkungan ini adalah semitic, teutonic, arianic, mongoloid, skandinavia,
anglo-saxon, melayu, austronesia, caucassoid dan sejenisnya.
Lingkungan
psikologis. Misal dari lingkungan ini adalah postcolonial,
bekas penjajah, maju, berkembang, terbelakang,
ataupun superpower; dan Lingkungan sosial. Misal dari
lingkungan ini adalah budaya, struktur sosial, kondisi ekonomi, dan demografis.
Lingkungan extrasocietal adalah bagian dari lingkungan fisik
serta sosial yang terletak di luar batasan sistem politik dan
masyarakat tempat sistem politik berada. Lingkunganextrasocietal terdiri
atas:
Sistem
Sosial Internasional. Misal dari sistem sosial internasional
adalah kondisi pergaulan masyarakat dunia, sistem ekonomi dunia, gerakan
feminisme, gerakan revivalisme Islam, dan sejenisnya, atau mudahnya apa yang
kini dikenal dalam terminologi International Regime (rezim
internasional) yang sangat banyak variannya.
Sistem
ekologi internasional. Misal dari sistem ekologi
internasional adalah keterpisahan negara berdasar benua (amerika, eropa, asia,
australia, afrika), kelangkaan sumber daya alam, geografi wilayah berdasar
lautan (asia pasifik, atlantik), isu lingkungan seperti global warming atau
berkurangnya hutan atauparu-paru dunia.
Sistem
politik internasional. Misal dari sistem politik
internasional adalah PBB, NATO, ASEAN, ANZUS, Europa Union,
kelompok negara-negara Asia Afrika, blok-blok perdaganan dan poros-poros
politik khas dan menjadi fenomena di aneka belahan dunia. Termasuk ke dalam
sistem politik internasional adalah pola-pola hubungan politik antar negara
seperti hegemoni, polarisasi kekuatan, dan tata hubungan dalam lembaga-lembaga
internasional.
Seluruh pikiran Easton mengenai
pengaruh lingkungan ini dapat dilihat di dalam bagan model arus sistem politik
berikut:
Model Arus Sistem Politik Easton
Model arus sistem politik di
atas hendak menunjukkan bagaimana lingkungan, baikintrasocietal maupun extrasocietal,
mampu mempengaruhi tuntutan dan dukungan yang masuk ke dalam sistem politik.
Terlihat dengan jelas bahwa skema ini merupakan kembangan lebih rumit dan rinci
dari skema yang dibuat Easton dalam karyanya tahun 1953. Keunggulan dari model
arus sistem politik ini adalah Easton lebih merinci pada sistem politik pada
hakikatnya bersifat terbutka. Dua jenis lingkungan, intrasocietal dan
extrasocietal mampu mempengaruhi mekanisme input (tuntutan
dan dukungan) sehingga struktur proses dan output harus lincah dalam
mengadaptasinya.
Tuntutan dan dukungan dikonversi di dalam
sistem politik yang bermuara pada output yang dikeluarkan oleh Otoritas.
Otoritas di sini berarti lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengeluarkan
keputusan maupun tindakan dalam bentuk policy (kebijakan),
bukan sembarang lembaga, melainkan menurut Easton diposisikan oleh negara (state).
Output ini kemudian kembali dipersepsi oleh lingkungan dan proses siklis
kembali berlangsung.
Gabriel Abraham Almond dan
Struktural Fungsional. Gabriel Abraham Almond adalah salah satu pengguna teori
sistem politik Easton. Namun, Almond kurang sreg dengan
pendekatan Easton yang terlampau abstrak. Almond juga menyayangkan kurangnya
perhatian Easton pada kajian-kajian politik dalam skala mikro.
Menurut Chilcote, pada tahun
1956 – jadi sekitar tiga tahun setelah David Easton meluncurkan karyanya
The Political System tahun 1953, Gabriel Abraham Almond
menerapkan teori sistem tersebut atas sistem politik suatu bangsa sebagai
bentuk metodetrial and error layaknya sebuah teori. Namun,
Almond melakukan sejumlah modifikasi atas teori Easton. Jika Easton membangun
suatu grand theory, maka Almond membangun suatu middle-range
theory. Secara umum, teori sistem yang dibangun Almond terdiri atas tiga
tahap. Pentahapan pemikiran Easton ini mengikuti pendapat Ronald H.
Chilcote yang mengacu pada karya-karya penelitian Almond.[11]
Di
dalam tulisannya Comparative Polititical System tahun 1956
Almond mengajukan tiga asumsi yang harus dipertimbangkan dalam kajian sistem
politik yang terdiri atas: Sistem menandai totalitas interaksi di antara
unit-unitnya dan keseimbangan di dalam sistem selalu berubah. Hal penting dalam sistem politik bukan semata-mata
lembaga formal, melainkan juga struktur informal serta peran yang
dijalankannya; dan Budaya politik adalah kecenderungan utama dalam sistem
politik, di mana budaya inilah yang membedakan satu sistem politik dengan
sistem politik lain.
Bagi
Almond, sistem politik adalah totalitas interaksi antar unit-unit yang ada di
dalamnya. Interaksi tersebut tidak hanya sebatas pada lembaga-lembaga
(aktor-aktor) politik formal melainkan pula informal. Dapat dibayangkan
pengaruh politik struktur-struktur non formal yang dipimpin oleh Kardinal Sin
sewaktu perubahan politik Filipina, Uskup Bello saat Timor Timur masih berada
di wilayah Indonesia, M. Amien Rais dan K. H. Abdurrachman Wahid yang mewakili Muhammadiyah
dan Nahdlatul Ulama dalam pentas politik Indonesia, ataupun
pengaruh Pakubuwana secara spiritual bagi politik di tanah Jawa. Easton
menghindari kajian atas struktur-struktur seperti ini sementara Almond justru
mengapresiasi signifikansinya.
Keseimbangan
di dalam sistem politik menurut Almond selalu berubah sehingga sistem politik
lebih bersifat dinamis ketimbang statis. Perubahan keseimbangan ini tentu saja
tidak lepas dari pengaruh lingkungan intrasocietal dan extrasocietal. Pengaruh
tersebut membuat perimbangan kekuatan antar struktur formal berubah dan contoh
paling mudah adalah dominannya kekuatan lembaga kepresidenan atas legislatif
dan yudikatif di masa pra transisi politik 1998 berganti dengan persamaan dan
penyetaraan kekuatan di antara ketiga lembaga tersebut pasca transisi.
Kecenderungan
orientasi politik individu atas sistem politik – atau biasa disebut budaya
politik – juga berbeda baik antar negara atau bahkan di dalam negara itu
sendiri. Almond bersama Sidney Verba secara khusus menyelidiki budaya
politik ini yang tersusun di dalam buku The Civic Culture:
Political Attitudes and Democracy in Five Nations yang terbit tahun
1963. Pada perkembangannya, konsep budaya politik ini semakin
populer dan luas digunakan para peneliti di dunia termasuk Indonesia. Khusus
mengenai budaya politik, Almond menyatakan bahwa yang ia maksud
dengannya adalah:[12]
Seperangkat
orientasi politik yang bersifat subyektif dan berlaku di suatu bangsa, atau
sub-sub masyarakat yang ada di dalam bangsa tersebut. Budaya politik terdiri
atas komponen-komponen kognitif (pengetahuan dan kepercayaan tentang realitas
politik), afektif (rasa penghargaan atas politik), dan evaluatif (komitmen atas
nilai-nilai politik). Budaya politik adalah hasil sosialisasi politik di masa
kanak-kanak, pendidikan, terpaan media, dan akibat sentuhan pengalaman di masa
dewasa sehubungan kinerja sosial dan ekonomi yang ditunjukkan pemerintah; dan Budaya
politik berdampak atas struktur dan kinerja pemerintah, di mana dampak ini
sifatnya lebih cenderung memaksa ketimbang otomatis menentukan struktur
dan kinerja pemerintah.
Budaya
politik di masing-masing individu sifatnya subyektif. Subyektivitas ini
mendorong terdapatnya lebih dari satu macam budaya politik di dalam masyarakat
suatu bangsa. Layaknya budaya yang bersifat sosial (budaya daerah atau lokal),
budaya politik masyarakat dalam satu negara sangat mungkin berbeda. Sebagian
warganegara Indonesia di propinsi Papua tidak seluruhnya memiliki afeksi atas
Negara Kesatuan Republik Indonesia, melainkan hanya pada sistem politik lokal yaitu
suku-suku atau klan di mana mereka menjadi anggota (komunitas politik lokal),
pendukung Organisasi Papua Merdekaataupun
pro-integrasi.
Kembali
pada masalah perkembangan pemikiran Gabriel Abraham Almond, bahwa dalam tahap
selanjutnya, Almond – kini bersama James Coleman di dalam bukunya The
Political of the Developing Areas yang terbit tahun 1963 – berusaha
menghindari terjebaknya analisa sistem politik hanya pada kajian kontitusi
ataupun lembaga politik formal. Almond (dan Coleman) kemudian mengarahkannya
pada struktur serta fungsi yang dijalankan masing-masing unit politik dalam
sistem politik. Dengan demikian, Almond memperkenalkan konsep fungsi guna
menggantikan konsep power, sementara konsep strukturdigunakannya
untuk mengganti konsep lembaga politik formal. Almond menegaskan
bahwa sistem politik memiliki empat karakteristik yang bersifat universal.
Keempat karakteristik ini berlaku di negara manapun dan
terdiri atas premis-premis.[13]
Setiap
sistem politik memiliki struktur-struktur politik. Fungsi-fungsi (dari setiap
struktur) yang sama dapat ditemui di setiap sistem politik. Setiap struktur
politik bersifat multifungsi; dan Setiap sistem politik telah bercampur dengan
budaya politik (yang dianut warganegara masing-masing). Setelah mengajukan
keempat premis tersebut, Almond memodifikasi struktur input sertaoutput David
Easton dan hasilnya adalah Almond berhasil memperjelas abstraknya Easton dalam
menjelaskan masalah fungsi input dan output sistem
politik sebagai berikut:[14]
Fungsi
Input terdiri atas: Sosialisasi dan rekrutmen politik. Fungsi
sosialisasi dan rekrutmen politik selanjutnya ditempatkan Almond sebagai fungsi
pemeliharaan sistem politik. Artikulasi kepentingan. Struktur yang
menjalankan fungsi artikulasi kepentingan adalah kelompok-kelompok kepentingan
yang terorganisir yang meliputi tipe: (a)Institutional; (b) Non-Associational;
(c) Anomic; dan (d) Associational.
Agregasi
(pengelompokan) kepentingan. Jalannya fungsi ini dipengaruhi oleh
dua hal yaitu sistem kepartaian yang berlaku di suatu negara dan penampilan
fungsi-fungsi agregatif. Sistem kepartaian (menurut Almond) misalnya Authoritarian,
Dominant-Authoritarian, Competitif, dan Competitive
Multi-party. Penampilan fungsi-fungsi agregatif misalnya tawar-menawar
yang sifatnya pragmatis atau sekular, cenderung berorientasi nilai
absolut, danbersifat tradisi ataupun partikularistik.
Komunikasi
politik. Guna membanding pola komunitasi politik antar
sistem politik, Almond mengajukan empat parameter yaitu: (1) Homogenitas
informasi politik yang tersedia; (2) Mobilitas informasi (vertikal atau
horisontal; (3) Nilai informasi; dan (4) Arah dari arus informasi yang
berkembang (komunikator atau komunikan).
Fungsi
output terdiri atas : Pembuatan peraturan. Berdasarkan tuntutan dan
dukungan serta aneka pengaruh lingkungan intrasocietal dan extrasocietal, input
berusaha diterjemahkan menjadi kebijaksanaan umum (policy). Penerapan
peraturan. Ketika policy sudah terbentuk, hal yang harus dilakukan adalah
melakukan tindak administrasi guna mengimplementasikannya pada ranah publik. Pengawasan
peraturan. Ada lembaga khusus yang melakukan pengawasan dan menyelesaikan
persengketaan dalam hal pembuatan dan pelaksanaan peraturan.
Menurut
Chilcote, setelah merevisi teori sistem politik dari David Easton, Almond
meringkas pola pikir sistem politiknya ke dalam skema berikut:[15]
Gambar 3 Diagram
Sistem Politik Almond dan Level-level Fungsi
Di level fungsi
input, sosialisasi dan rekrutmen politik meliputi rekrutmen individu dari
aneka kelas masyarakat, etnik, kelompok, dan sejenisnya untuk masuk ke dalam
partai politik, birokrasi, lembaga yudisial, dan sebagainya. Dalam perkembangan
pemikirannya kemudian, Almond memasukkan sosialisasi dan rekrutmen politik ke
dalam fungsi konversi. Artikulasi kepentingan merupakan
ekspresi kepentingan dan tuntutan politik untuk melakukan tindakan.
Melalui
skema di atas – masih menurut Chilcote – Almond membagi sistem politik ke dalam
tiga level. Level pertama terdiri atas enam fungsi
konversi yaitu: (1) artikulasi kepentingan (penyampaian
tuntutan dan dukungan); (2) agregasi kepentingan(pengelompokan
ataupun pengkombinasian aneka kepentingan ke dalam wujud rancangan
undang-undang); (3) komunikasi politik; (4) pembuatan
peraturan (pengkonversian rancangan undang-undang menjadi
undang-undang atau peraturan lain yang sifatnya mengikat); (5) pelaksanaan
peraturan (penerapan aturan umum undang-undang dan peraturan lain ke
tingkat warganegara), dan; (6) pengawasan peraturan (pengawasan
jalannya penerapan undang-undang di kalangan warganegara).
Fungsi
nomor satu hingga tiga berhubungan dengan tuntutan dan dukungan yang
masuk melalui mekanisme input sementara fungsi nomor emapt
hingga enam berada di sisi keluaran berupa keputusan serta tindakan. Mengenai
penjelasan atas tuntutan (demands) dan dukungan (support) yang
dimaksud Almond, Jagdish Chandra Johari memetakannya ke dalam tiga aras
penjelasan yaitu input, konversi, dan output.[16]
Tuntutan
dan Dukungan. Tuntutan adalah raw material atau bahan mentah
yang kemudian diolah sistem politik menjadi keputusan. Tuntutan diciptakan oleh
individu maupun kelompok yang memainkan peran tertentu di dalam sistem politik
(baca: struktur input). Tuntutan sifatnya beragam dan setiap tuntutan punya
dampak yang berbeda atas sistem politik. Tuntutan berasal dari lingkungan intrasocietal maupun extrasocietal, yang
variannya sebagai:[17]
Tuntutan
atas komoditas dan pelayanan, misalnya jaminan sosial, kelancaran
bertransportasi, kesempatan menikmati pendidikan, peningkatan pelayanan
kesehatan, pembangunan saluran irigasi, ataupun pelayanan birokrasi negara yang
tidak berbelit. Konversi atas tuntutan ini berupa artikulasi
kepentingan (atau tuntutan). Output berlingkup pada kemampuan
ekstraktif semisal pengenaan pajak untuk membiayai jaminan sosial,
peningkatan retribusi kendaraan untuk membangun jalan-jalan layang, penaikan
pajak perusahaan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan, pengundangan investor
asing untuk membangun saluran irigasi, dan peningkatan hutang negara untuk
menaikkan gaji Pegawai Negeri Sipil.
Tuntutan
untuk mengatur sejumlah perilaku warganegara seperti penertiban ormas-ormas
parayudisial, pembersihan tindak korupsi pejabat negara, atau kompilasi hukum
Islam ke dalam hukum publik. Konversi atas tuntutan ini berupa
integrasi atau kombinasi kepentingan ke dalam rancangan undang-undang (agregasi). Output berupa kemampuan
regulatif yang mengatur perilaku individu, kelompok, ataupun
warganegara secara keseluruhan.
Tuntutan
untuk berpartisipasi dalam sistem politik seperti hak pilih, hak dipilih,
mendirikan organisasi politik, melakukan lobby, atau menjalin kontak dengan
pejabat-pejabat publik. Konversi atas tuntutan ini
adalah mengubah rancangan undang-undang menjadi peraturan yang lebih
otoritatif. Output konversi misalnya kemampuan regulatif
misalnya penetapan kuota caleg 30% perempuan dalam undang-undang pemilihan
umum.
Tuntutan
yang sifatnya simbolik meliputi penjelasan pejabat pemerintah atas suatu
kebijakan, keberhasilan sistem politik mengatasi masalah, upaya menghargai
simbol-simbol negara (lagu kebangsaan, lambang), ataupun upacara-upacara hari
besar nasional. Konversi atas tuntutan jenis ini misalnya
dibuatnya ketentuan umum yang mengatur implementasi setiap tuntutan yang
sifatnya simbolik. Output yang sifatnya simbolik termasuk
penegasan sistem politik atas simbol-simbol negara, penegasan nilai-nilai yang
dianut (di Indonesia adalah Pancasila), serta penjelasan rutin dari pejabat
negara atas isu-isu yang kontroversial dan menyita perhatian publik.
Jika
tuntutan adalah bahan mentah untuk memproduksi
keputusan-keputusan politik, maka dukungan berkisar pada
upaya mempertahankan atau menolak keberlakuan
sebuah sistem politik. Tanpa dukungan sistem politik
kehilangan legitimasi dan otoritasnya.
Dukungan
terdiri atas: Dukungan material warganegara bisa berupa kemauan membayar pajak
atau peran aktif mereka dalam program-program yang dicanangkan pemerintah
(misalnya program kebersihan lingkungan, penanaman sejuta pohon). Konversidukungan
ini adalah ajudikasi peraturan di tingkat individu yaitu upaya
penerapan sanksi bagi yang tidak menurut pada program pemerintah serta
kemampuan simbolik pemerintah untuk melakukan himbauan agar publik tertarik
memberi dukungan pada pemerintah. Dukungan
untuk taat pada hukum serta peraturan-peraturan yang dibuat oleh
pemerintah. Konversi dukungan ini berupa pentransmisian
informasi yang berkaitan dengan ketaatan warganegara pada hukum di sekujur
struktur sistem politik, antar sistem politik, serta lingkungan extrasocietal-nya.
Dukungan untuk berpartisipasi dalam pemilu, ikut serta dalam organisasi
politik, ataupun mengadakan diskusi tentang politik.Dukungan dalam bentuk
tindakan untuk mempertahankan otoritas publik, upacara, serta simbol-simbol
negara. Misalnya mengamalkan Pancasila, menyayangi sarana-sarana publik (alat
transportasi umum, telepon umum, gedung-gedung pemerintah), menentang
penggantian ideologi Pancasila dengan ideologi lain, mencuci bendera merah
putih yang terkotori debu dan hujan asam, mensosialisasikan peran vital
Pancasila dalam mengikat integrasi nasional Indonesia. [18]
Kapabilitas
Sistem Politik. Level kedua dari aktivitas sistem politik terletak
pada fungsi-fungsi kemampuan. Kemampuan suatu sistem politik
menurut Almond terdiri atas kemampuan regulatif, ekstraktif, distributif,
simbolis, dan responsif. Kemampuan ekstraktif adalah kemampuan
sistem politik dalam mendayagunakan sumber-sumber daya material ataupun manusia
baik yang berasal dari lingkungan domestik (dalam negeri) maupun internasional.[19] Dalam
hal kemampuan ekstraktif ini Indonsia lebih besar ketimbang Timor Leste, karena
faktor sumber daya manusia maupun hasil-hasil alam yang dimilikinya. Namun,
kemampuan Indonesia dalam konteks ini lebih kecil ketimbang Cina.
Kemampuan
regulatif adalah kemampuan sistem politik dalam
mengendalikan perilaku serta hubungan antar individu ataupun kelompok yang ada
di dalam sistem politik. Dalam konteks kemampuan ini sistem politik dilihat
dari sisi banyaknya regulasi (undang-undang dan peraturan) yang dibuat serta
intensitas penggunaannya karena undang-undang dan peraturan dibuat untuk
dilaksanakan bukan disimpan di dalam laci pejabat dan warganegara. Selain
itu, kemampuan regulatif berkaitan dengan kemampuan ekstraktif di
mana proses ekstraksi membutuhkan regulasi.
Kemampuan
distributif adalah kemampuan sistem politik dalam
mengalokasikan barang, jasa, penghargaan, status, serta nilai-nilai (misalnya seperti
nilai yang dimaksud Lasswell) ke seluruh warganegaranya. Kemampuan distributif ini
berkaitan dengan kemampuanregulatif karena untuk melakukan proses
distribusi diperlukan rincian, perlindungan, dan jaminan yang harus disediakan
sistem politik lewat kemampuan regulatif-nya.
Kemampuan simbolik adalah
kemampuan sistem politik untuk secara efektif memanfaatkan simbol-simbol yang
dimilikinya untuk dipenetrasi ke dalam masyarakat maupun lingkungan
internasional. Misalnya adalah lagu-lagu nasional, upacara-upacara, penegasan
nilai-nilai yang dimiliki, ataupun pernyataan-pernyataan khas sistem politik.
Simbol adalah representasi kenyataan dalam bahasa ataupun wujud sederhana dan
dapat dipahami oleh setiap warga negara. Simbol dapat menjadi basis kohesi sistem
politik karena mencirikan identitas bersama. Salah satu tokoh politik Indonesia
yang paling mahir dalam mengelola kemampuan simbolik ini adalah Sukarno dan
pemerintah Indonesia di masa Orde Baru.
Kemampuan
responsif adalah kemampuan sistem politik untuk
menyinkronisasi tuntutan yang masuk melalui input dengan keputusan dan tindakan
yang diambil otoritas politik di lini output. Sinkronisasi ini terjadi tatkala
pemerintahan SBY mampu melakukan sinkronisasi antara tuntutan pihak Gerakan
Aceh Merdeka dengan keputusan untuk melakukan perundingan dengan mereka serta
melaksanakan kesepakatan Helsinki hasil mediasi. Sinkronisasi ini membuat
tuntutan dari Aceh tidak lagi meninggi kalau bukan sama sekali lenyap.
Almond
menyebutkan bahwa pada negara-negara demokratis, output dari kemampuan
regulatif, ekstraktif, dan distributif lebih dipengaruhi oleh tuntutan dari
kelompok-kelompok kepentingan sehingga dapat dikatakan bahwa masyarakat
demokratis memiliki kemampuan responsif yang lebih tinggi ketimbang masyarakat non
demokratis. Sementara pada sistem totaliter, output yang dihasilkan kurang
responsif pada tuntuan, perilaku regulatif bercorak paksaan, serta lebih
menonjolkan kegiatan ekstraktif dan simbolik maksimal atas sumber daya
masyarakatnya.
Pemeliharaan
Sistem Politik. Level ketiga ditempati oleh fungsi maintenance (pemeliharaan)
dan adaptasi. Kedua fungsi ini ditempati oleh sosialisasi dan rekrutmen
politik. Teori sistem politik Gabriel A. Almond ini kiranya lebih memperjelas
maksud dari David Easton dalam menjelaskan kinerja suatu sistem politik.
Melalui Gabriel A. Almond, pendekatan struktural fungsional mulai mendapat
tempat di dalam analisis kehidupan politik suatu negara.
D. ANALILIS UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN
ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK
Pada tahap analisis ini penulis akan mengungkapkan berbagai
kelemahan dan juga kelebihan dari undang undang No.2 Tahun 2011 Tentang Partai
politik. Apabila diperhatikan dengan seksama banyak kelemahan dalam undang
undang ini, sebagaimana telah diungkapkan oleh wakil Ketua Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), Adnan Pandu Praja, menyatakan Undang-undang No 2 Tahun 2011 dan
Undang-undang No 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (Parpol) telah gagal
mencegah korupsi. Menurutnya, Parpol saat ini tidak mandiri melainkan
bergantung dan dikendalikan oleh elite parpol yang haus uang dan kekuasaan. Kajian
KPK menunjukkan adanya kelemahan UU Parpol, terkait batasan sumbangan, sanksi, mekanisme
pelaporan, dan batasan jumlah
pengeluaran dana parpol.[20]
Adnan mengatakan kelemahan undang-undang tersebut
dimanfaatkan dalam berbagai bentuk perilaku koruptif seperti melampaui batas
sumbangan dengan mengalirkannya melalui celah-celah yang belum diatur,
menggelapkan dana publik dengan memanfaatkan kelemahan sanksi dan
mempertahankan berlangsungnya praktik-praktik korupsi politik dengan
memanfaatkan kelemahan mekanisme transparansi dan akuntabilitas pendanaan
parpol. Sebagai contoh adalah perkara yang melibatkan saudara Rokhmin Dahuri,
mantan Menteri Kelautan dan Perikanan. Dalam perkara tersebut ditemukan fakta
bahwa sebagian dana nonbujeter dialirkan berulang kali ke beberapa partai
politik dari tahun 2002 sampai 2004 dengan nilai bervariasi. Adnan melanjutkan
bahwa tahun 2014 mendatang merupakan tahun politik. Dia menilai praktik korupsi
dan politik uang akan semakin rawan terjadi. "Mahalnya biaya politik yang
harus dikeluarkan para politisi dan partai politik menjadikan kekuasaan sebagai
ajang pungutan dan pengurasan," katanya.[21]
Untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan korupsi Parpol,
kata Adnan, KPK membutuhkan petugas-petugas yang handal, dan memiliki
kompetensi di berbagai bidang seperti kehutanan, sektor perpajakan, transaksi
keuangan. Berkembangnya modus dan cara korupsi, mengharuskan KPK memiliki
personel yang memahami dan memiliki keahlian di banyak bidang. "Upaya yang
perlu dilakukan adalah merekrut tenaga profesional, siap pakai dan independen
untuk mengisi unit-unit di KPK baik sebagai tenaga pengawas internal, auditor,
ahli hukum, perpajakan, pertambangan, penyidik yang bukan dari kepolisian yang
memiliki kompetensi khusus," ucap Adnan. Dosen Hukum Pidana Asep Iwan
Iriawan, menyarankan Komisi Pemberantasan Korupsi tidak serakah dalam menangani
perkara tindak pidana korupsi. Sebab menurut dia, jika hal itu tetap dilakukan
justru malah menghambat kinerja lembaga antikorupsi itu. "Kasus-kasus yang
besar boleh diambil KPK. Kalau semua diambil, KPK keleleran (kewalahan)
sendiri," kata Asep usai sebuah Diskusi Publik dan Evaluasi Pengadilan
Tipikor di daerah, di Jakarta, tadi malam. Menurut Asep yang juga mantan hakim
itu, KPK mesti selektif menangani perkara dan para pihak yang terlibat. Dia
menyarankan, dalam beberapa perkara korupsi skala besar, lembaga antikorupsi
itu lebih baik berkonsentrasi menangani para pelaku utama. Baik dari
penyelenggara negara maupun pihak-pihak lain yang berpengaruh. Asep
menambahkan, perilaku pemilahan perkara harus dilakukan KPK. Menurut dia,
jangan sampai nantinya KPK selalu mengeluh kekurangan penyidik atau penuntut,
lantaran terlalu banyak menangani perkara.[22]
Sisi lemah lainnya dalam UU
No.2/2011 Tentang Parpol adalah berpotensi diskriminatif dan berpotensi
membunuh kberlangsungan parpol non-parlemen Sebagai Badan Hukum. Instrumen
hukum formal yang mengatur tata cara politik di suatu negara harus dapat
mendukung gerakan demokrasi dengan mengakomodasi upaya-upaya penguatan
representasi publik dalam proses demokrasi yang sedang diupayakan dan
kepentingan-kepentingan demokrasi yang belum terwadahi, sehingga terbentuk keterwakilan
yang sesungguhnya (bukan keterwakilan yang semu).
Sudah seharusnya setiap lembaga demokrasi semestinya mampu
merepresentasikan tuntutan aspirasi dan kepentingan masyarakat. Dalam kaitan
ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Presiden dalam pembuatan dan/ atau
pembentukan Undang-Undang termasuk dalam pembuatan dan/ atau pembentukan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU Parpol) sudah
seharusnya mampu merepresentasikan dan memujudkan keterwakilan (politik) rakyat
(political representativeness). Keterwakilan (politik) rakyat (political
representativeness) dimaksud menurut Pitkin (1967), sebagaimana disitir
Arbi Sanit, adalah terwakilinya kepentingan rakyat oleh wakil-wakil rakyat
dalam lembaga dan proses politik.[23]
Menurut Hans Kelsen dengan stufen-teori-nya
menyatakan bahwa peraturan-peraturan hukum positif disusun secara pyramidal(bertingkat-tingkat)
dari atas, yaitu dari grundnorm secara bertingkat-tingkat ke
bawah ke sesuatu yang melaksanakan norma-norma hukum tersebut secara konkrit[24].
Lebih lanjut, Hans Kelsen menyatakan, bahwa kaidah hukum mempunyai kekuatan
berlaku, apabila penetapannya didasarkan atas kaidah yang lebih tinggi
tingkatannya[25]
Dalam gagasan yang sama seperti halnya Hans Kelsen, Lon
Fuller dalam bukunya, The Morality of the Law (Moralitas
Hukum) menyatakan bahwa cita-cita kekuasaan hukum menuntut agar aturan-aturan
bersifat adil. Adapun prinsip-prinsip sebagai pedoman dalam pembuatan hukum,
agar supaya sifat adil daripada aturan-aturan hukum dapat digalakkan, antara
lain: (1) Aturan-aturan tidak boleh bertentangan satu sama lain, (2) Dalam
hukum harus ada ketegasan. Hukum tidak boleh diubah-ubah setiap waktu, sehingga
orang tidak bisa lagi mengorientasikan kegiatannya kepadanya.[26]
Masih berkaitan dengan hal di atas, Prof. Dr. Sudikno
Mertokusumo, SH menyatakan bahwa dalam menegakkan atau melaksanakan hukum, ada
3 (tiga) unsur yang harus selalu diperhatikan, yaitu: kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan
atau kegunaan(zweeckmassigkeit), dan keadilan (gerechtigkeit).
Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap
tindakan sewenang-wenang, yang berarti seseorang akan dapat memperoleh sesuatu
yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Oleh karena sesungguhnya hukum itu
adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberi
manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Dan dalam pelaksanaan atau penegakkan
hukum juga harus diperhatikan keadilan. Dalam menegakkan hukum harus ada
kompromi antara ketiga unsur tersebut. Ketiga unsur itu harus mendapat
perhatian secara proporsional seimbang.[27]
Berdasarkan teori hukum maupun Pasal 5 jo. Pasal 6 jo. Pasal
7 UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, maka
Pasal 51 ayat (1) UU Parpol haruslah dinyatakan tidak berlaku, karena bertentangan
satu sama lain dengan Pasal 8 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 8 ayat (2) UU
No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, bahkan
lebih jauh lagi karena bertentangan dengan kaidah hukum di atasnya, dalam
hal ini UUD NRI 1945, Pasal 28D ayat (1) Perubahan Kedua UUD NRI
1945 menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan
hukum.”
Mahkamah sendiri telah menyadari betul bahwa pembuat atau
pembentuk Undang-Undang (DPR dan Presiden) tidak konsisten dalam pembuatan dan/
atau pembentukan hukum khususnya Undang-Undang, termasuk Undang-Undang tentang
Partai Politik.
(Lihat Putusan MK-RI No. 3/PUU-VII/2009, tanggal, 13
Februari 2009, alinea [3.20], hlm. 130-131) “[3.20] Menimbang bahwa
meskipun Mahkamah berpendapat kebijakan PT yang tercantum dalam Pasal 202 ayat
(1) UU 10/2008 sama konstitusionalnya dengan kebijakan ET yang tercantum dalam
UU 3/1999 dan UU 12/2003, namun Mahkamah menilai pembentuk Undang-Undang
tidak konsisten dengan kebijakan-kebijakannya yang terkait Pemilu dan
terkesan selalu bereksperimen dan belum mempunyai desain yang jelas tentang apa
yang dimaksud dengan sistem kepartaian sederhana yang hendak diciptakannya,
sehingga setiap menjelang Pemilu selalu diikuti dengan pembentukan
Undang-Undang baru di bidang politik, yaitu Undang-Undang mengenai Partai
Politik, Undang-Undang mengenai Pemilu, dan Undang-Undang mengenai Susunan dan
Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD.”
Putusan MK-RI No. 3/PUU-VII/2009, tanggal, 13 Februari 2009
alinea [3.18], hlm. 129-130.“[3.18] Menimbang bahwa, menurut Mahkamah,
dalil-dalil para Pemohon tentang inkonstitusionalitas Pasal 202 ayat (1) UU
10/2008 tidaklah cukup beralasan dan mutatis mutandis juga tidak beralasan
untuk menyatakan tidak konstitusional pasal pasal yang terkait Pasal 202 ayat
(1), yakni Pasal 203, Pasal 205, Pasal 206, Pasal 207, Pasal 208, dan Pasal 209
UU 10/2008. Menurut Mahkamah, jika dibandingkan dengan kebijakan ET yang
tercantum dalam Undang-Undang Pemilu sebelumnya, yaitu UU 3/1999 dan UU
12/2003, yang mengancam eksistensi Parpol dan kesempatannya untuk mengikuti
Pemilu berikutnya, kebijakan PT yang tercantum dalam Pasal 202 ayat (1) UU
10/2008 justru lebih menjamin eksistensi Parpol Peserta Pemilu dan
keikutsertaannya dalam Pemilu berikutnya, sebagaimana tercantum dalam Pasal 8
ayat (2) UU 10/2008 yang berbunyi, “Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu
sebelumnya dapat menjadi Peserta Pemilu pada Pemilu berikutnya.” Penjelasan
Pasal 8 ayat (2) tersebut berbunyi, “Yang dimaksud dengan ‘Pemilu sebelumnya’
adalah mulai Pemilu tahun 2009 dan selanjutnya.”
Selain dari pada itu, Pasal 27 ayat (1) UUD NRI
1945 menyatakan, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di
dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya.”.
Pasal 28D ayat (3) Perubahan Kedua UUD NRI 1945 menyatakan, “Setiap
warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.” Dan Pasal
28I ayat (2) Perubahan Kedua UUD NRI 1945 menyatakan,“Setiap orang
berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan
berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif
itu.”.
Ketentuan Pasal 28D ayat (3) Perubahan Kedua UUD NRI 1945
jo. Pasal 28I ayat (2) Perubahan Kedua UUD NRI 1945 di atas telah memberikan
jaminan kesamaan kedudukan dan kesempatan dalam hukum dan pemerintahan serta
perlindungan terhadap perlakuan yang diskriminatif; Akan tetapi ketentuan Pasal
51 ayat (1) UU Parpol dan pasal-pasal terkait dengan ketentuan ini sangat
merugikan, karena berpotensi menyebabkan Parpol Non-Parlemen tidak
mendapatkan jaminan kesamaan kedudukan dan kesempatan dalam hukum dan
pemerintahan serta perlindungan terhadap perlakuan yang diskriminatif.
Pasal 28 UUD NRI 1945 menyatakan, “Kemerdekaan
berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan
sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.” Dan Pasal 28E ayat (3)
Perubahan Kedua UUD NRI 1945 menyebutkan, “Setiap orang berhak
atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”.
Ketentuan Pasal 28 UUD NRI 1945 dan Pasal 28E ayat (3)
Perubahan Kedua UUD NRI 1945, dengan tegas menjamin kebebasan untuk berserikat,
dalam kaitan ini kebebasan Parpol Non-Parlemen untuk tetap hidup sebagai badan
hukum; Akan tetapi ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU Parpol dan yang terkait
dengan ketentuan ini, menimbulkan kerugian, karena berpotensi menghambat
bahkan lebih jauh potensial membunuh keberlangsungan Parpol Non-Parlemen
sebagai badan hokum.
Dari berbagai kelemahan UU No.2/2011 ini tentu juga banyak
kelebihan yang dimilikinya antara lain dengan wasilah UU No.2/2011 ini
Indonesia menjadi Negara dengan system
demokrasi yang cukup mapan. Contohnya pemilu tanggal 09 April yang lalu yang
berlangsung dengan lancar.
E. KESIMPULAN
1.
Terdapat
beberapa kelemahan dalam Undang Undang No.2 tahun 2011 tentang Partai politik
antara lain tidak berdayanya UU ini membendung arus deras korupsi dan
terancamnya parpol non parlemen.
2.
Dari dampak
positif Undang Undang No.2 tahun 2011 tentang Partai politik antara lain Negara
Republik Indonesia berhasil melalaui Pemilu 2014 dengan lancar sebagai Negara
demokrasi terbesar nomor 4 di dunia.
DAFTAR
PUSTAKA
Arbi
Sanit, Perwakilan Politik di Indonesia, Jakarta, CV. Rajawali,
1985, hlm. 173 dalam M. Tohadi, Oase Kebangsaan, Jakarta:
Lembaga Wacana Indonesia, November 2000
Gabriel
A. Almond, The Study of Political Culture dalam Dirk
Berg-Schlosse and Ralf Rytlewski, eds., Political
Culture in Germany (New York: St. Martin’s Press, Inc., 1993).
Harold
D. Lasswell dikutip dalam Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu
Politik , Jakarta: Gramedia, 2003 .
Herbert
Victor Wiseman, Political Systems: Some Sociological Approaches (London:
Routledge, 1966)
Jagdish
Chandra Johari, Comparative Politics, 8th Edition,
New Delhi: Sterling Publishers Private Limited, 2008
Michael
Saward, The Wider Canvas: Representation and Democracy in State and
Society dalam Sonia Alonso, John Keane, and Wolfgang
Merkel, eds., The Future of Representative Democracy (New
York: Cambridge University Press, 2011) hlm.80.
Mr.
Soetiksno, Filsafat Hukum, Bagian I, Jakarta: PT Pradnya
Paramita, Cetakan Ketujuh, 1991.
Prof.
Dr. A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto, S.H. (Editor), Hukum dan
Perkembangan Sosial, Buku Teks Sosiologi Hukum, Buku III, Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1990.
Prof.
Dr. Sudikno Mertokusumo, SH, Mengenal Hukum (suatu pengantar), Yogyakarta:
Liberty, Edisi Ketiga, Cetakan I, 1991.
Prof.
Dr. Sudikno Mertokusumo, SH, Mengenal Hukum (suatu pengantar), Yogyakarta:
Liberty, Edisi Ketiga, Cetakan Pertama, 1991.
Ronald H. Chilcote, Theories of
Comparative Politics: The Search for a Paradigm, Colorado: Westview Press,
1981
Undang Undang No.2 Tahun 2011 yang merupakan perubahan
penting dari UU No.2 tahun 2008.
[1] Di sarikan dari Undang
Undang No.2 Tahun 2011 yang merupakan
perubahan penting dari UU No.2 tahun 2008.
[2] Ibid.
[3] Kedelapan nilai
ini diutarakan Harold D. Lasswell dikutip dalam Miriam Budiardjo, Dasar-dasar
Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 2003) hlm. 33. Lasswell menyebut ke-8
nilai ini berkembang di Amerika Serikat modern. Untuk kondisi Indoesia
seharusnya ditambah nilai-nilai kebudayaan lokal dan keagamaan.
[4] Ronald H. Chilcote, Theories
of Comparative Politics: The Search for a Paradigm, (Colorado: Westview
Press, 1981) hlm. 145-82. Gagasan dan penjelasan penulis di dalam makalah ini
mendasarkan diri pada Chilcote ini.
[5] Michael
Saward, The Wider Canvas: Representation and Democracy in State and
Society dalam Sonia Alonso, John Keane, and Wolfgang
Merkel, eds., The Future of Representative Democracy (New
York: Cambridge University Press, 2011) hlm.80.
[12] Gabriel A.
Almond, The Study of Political Culture dalam Dirk
Berg-Schlosse and Ralf Rytlewski, eds., Political
Culture in Germany (New York: St. Martin’s Press, Inc., 1993) hlm.15.
[14] Jagdish
Chandra Johari, Comparative Politics, 8th Edition
(New Delhi: Sterling Publishers Private Limited, 2008) p. 75-7.
[16] J.C.
Johari, Comparative ..., Op.Cit. hlm. 122-123. Penulis ini
memuatnya ke dalam tabel, dan di buku ini diparafrase menjadi paragraf dengan
tambahan seperlunya.
[19] Herbert
Victor Wiseman, Political Systems: Some Sociological Approaches (London:
Routledge, 1966) hlm.157-158. Uraian mengenai kelima kemampuan sistem politik
dalam makalah ini mengikuti sumber ini
[21]
Ibid.
[22]
Ibid.,
[23] Arbi
Sanit, Perwakilan Politik di Indonesia, Jakarta, CV. Rajawali,
1985, hlm. 173 dalam M. Tohadi, Oase Kebangsaan, Jakarta:
Lembaga Wacana Indonesia, November 2000, hlm. 71.
[24] Mr.
Soetiksno, Filsafat Hukum, Bagian I, Jakarta: PT Pradnya
Paramita, Cetakan Ketujuh, 1991, hlm. 63-64
[25] Prof. Dr.
Sudikno Mertokusumo, SH, Mengenal Hukum (suatu pengantar), Yogyakarta:
Liberty, Edisi Ketiga, Cetakan I, 1991, hlm. 73.
[26] Prof. Dr. A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto, S.H.
(Editor), Hukum dan Perkembangan Sosial, Buku Teks Sosiologi Hukum, Buku III,
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990, hlm. 61-62.
[27] Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, SH, Mengenal Hukum
(suatu pengantar), Yogyakarta: Liberty, Edisi Ketiga, Cetakan Pertama,
1991, hlm. 134-135.
Comments
Post a Comment