PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA: PERKEMBANGAN DAN ASPEK HUKUMNYA
PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA: PERKEMBANGAN DAN ASPEK HUKUMNYA
Oleh:
Nur Moklis
I.
PENDAHULUAN
Pada saat ini perkembangan ekonomi syariah begitu pesat
di dunia, tak terkecuali di Indonesia. Bahkan di berbagai
benua, seperti Amerika, Eropa, Afrika, Australia dan
Asia mulai berbondong-bondong mengkaji ekonomi syariah. Beberapa negara ingin
mendeklarasikan dirinya sebagai pusat ekonomi syariah di masing-masing regional
bahkan tingkat dunia[1].
Hal itu
merupakan dampak sistem
kapitalisme yang dibanggakan dapat menjadi antibodi dari berbagai krisis
ternyata justru menadi virus dari krisis itu sendiri. Sudah berbagai krisis
menimpa dunia, pada tahun 1998, 2008, dan pada tahun 2012 pun masih terjadi
krisis, seperti krisis di Asia, Amerika dan Eropa yang belum lama ini terjadi.
Ternyata
ekonomi syariah mampu menahan krisis ekonomi, hal ini sudah teruji dan bisa
dirasakan masyarakat. Contohnya ketika krisis pada tahun 1998 di Indonesia,
banyak bank-bank konvensional mengalami likuidasi, justru Bank Muamalat yang
memiliki prinsip ekonomi syariah bisa tetap bertahan pada zamannya.
Pada tahun 2008 ketika terjadi krisis di
Amerika, ternyata Indonesia yang sedang mengembangkan ekonomi syariah tidak
terkena dampak yang signifikan dari krisis tersebut. Pada tahun 2012 beberapa
Negara di eropa seperti Yunani, Irlandia, Spanyol, Portugal dan Italia terkena
badai krisis. Tapi ternyata ada satu Negara di Eropa yang masih bertahan yaitu
Inggris. Ternyata Inggris merupakan Negara yang sedang mengembangkan ekonomi
syariah dan Inggris menyatakan sebagai pusat ekonomi syariah di eropa.
Adapun di Indonesia, perkembangan ekonomi syariah saat
ini begitu pesat, ini terlihat dari berbagai kemunculan industri keuangan
syariah seperti asuransi syariah, perbankan syariah, pasar modal syariah[2],
koperasi syariah, dan lain sebagainya. Hingga banyak bermunculan pendidikan tinggi
maupun menengah yang membuka jurusan ekonomi syariah serta banyaknya organisasi
dan asosiasi ekonomi syariah.
II.
LATAR BELAKANG MASALAH
Jika dilihat uraian diatas keberadaan
perbankan syari’ah adalah sangat urgen bagi masyarakat, bangsa dan negara
Indonesia. Disisi lain masyarakat Indoneia sangat merindukan lembaga keuangan
yang bebas riba, bebas gharar, adanya transparansi, adanya kesetaraan, saling
menguntungkan dan yang tidak kalah penting adalah sebab yang halal, tidak
bertentangan dengan hukum, tidak dilarang hukum dan tidak haram[3].
Masyarakat mempunyai ekpektasi yang sangat tinggi terhadap keberadaan bank
syari’ah karena selain bebas riba yang merupakan larangan dalam beragama juga
mampu memberikan rasa aman secara spiritual dan juga financial, namun karena
terbatasnya informasi yang dapat diakses oleh masyarakat luas, serta sedikitnya
referensi yang tersedia, apalagi diperkeruh sebagian pakar ekonomi yang
pesimistik dan tidak memahai aspek pernbankan syariah, sehingga sebagian
masyarakat berprinsip lebih baik melihat dan menunggu dulu tentang kredibilitas
dan aspek hukum lembaga perbankan syari’ah ini.
Berdasarkan fenomena tersebut penulis
berusaha mendiskripsikan secara ringkas namun gamblang terkait perbankan
syariah baik dari aspek perkembangannya dari tahun berdirinya sampai pada
sekarang ini serta aspek hukum[4]
yang melingkupi jika terjadi sengketa.
III.
PERMASALAHAN
Berdasarkan uraian diatas, maka penelaahan perbankan syariah di Indonesia
akan mengulas perkembangan serta aspek hukum yang melingkupinya sehingga
masyarakat mendapatkan informasi yang memadai terkait hal tersebut. Untuk
mempertajam telaah makalah ini, perlu dititikberatkan untuk menjawab dua
pertanyaan sebagai berikut ini:
a. Bagaimana Perkembangan Perbankan Syaria’ah sampai saat
ini?
b. Bagaimana aspek hukumnya jika terjadi sengketa?
IV.
POTRET PERBANKAN SYARI’AH DI
INDONESIA
A. Sekilas Perbankan Syari’ah di Indonesia
Penulis akan me-riview sedikit tentang
perkembangan perbankan syari’ah di Indonesia secara ringkas dari awal
berdirinya pada tahun 1991 sampai tahun 2013. Dengan demikian akan bisa mendeskripsikan secara jelas perkembangan perbankan syari’ah
dari tahun-ketahunnya. Hal ini sangat
penting guna dikaitkan pada landasan teori yang kedua terkait aspek hukum penyelesaian
sengketa di peradilan agama.
Pada tanggal 01
Mei 1992 Bank Muamalat Indonesia mulai beroperasi dengan modal awal Rp.
106.126.382.000. hingga tahun 1999 Bank Muamalat Indonesia telah memiliki
outlet 45 lebih, yang tersebar di Jakarta, Bandung, Semarang, Balikpapan dan
Makasar[5].
Pada tahun 1998, dengan diundangkannya Undang-Undang
No.10 Tahun 1998 tentang perubahan atas undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang
perbankan, telah diatur secara terperinci terkait jenis-jenis usaha
yang dapat diimplementasikan oleh perbangkan syari’ah, cara membuka cabang
syari’ah bahkan mengkonversi dari bank konvensioal ke dalam bank syari’ah[6].
Pada tahun 1999, Bank Syari’ah Mandiri (BSM) adalah bank
pertama milik pemerintah yang dikonversi dari bank konvensional menjadi Bank
Umum Syari’ah. Di akhir tahun 1999 BSM memiliki total aset berkisar 2-3 Trilyun dengan lebih
dari 20 cabang.
Pada Akhir tahun 2000, setidaknya ada 9 Bank
Umum Konvensional yang membuka cabang Syari’ah, yaitu: Bank IFI, Bank Niaga,
Bank BNI ’46, Bank BTN, Bank Mega, Bank BRI, Bank Bukopin, BPB Jabar dan BPD
Aceh.
Perbankan Syariah di Indonesia
mengalami pertumbuhan 30 sampai 40 persen per tahun. Perkembangan perbankan syariah selama dua dekade hingga
kini, telah memiliki aset senilai Rp 200 triliun yang dikelola oleh 11 bank
umum, 24 unit usaha syariah dan 160 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS),
dengan pangsa pasar mencapai 4,67 persen[7].
Pengembangan sistem perbankan syariah di
Indonesia dilakukan dalam kerangka dual-banking system atau sistem perbankan
ganda dalam kerangka Arsitektur Perbankan Indonesia (API), untuk menghadirkan
alternatif jasa perbankan yang semakin lengkap kepada masyarakat Indonesia[8].
Secara bersama-sama, sistem perbankan syariah dan perbankan konvensional secara
sinergis mendukung mobilisasi dana masyarakat secara lebih luas untuk
meningkatkan kemampuan pembiayaan bagi sektor-sektor perekonomian nasional.
Karakteristik sistem perbankan syariah
yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil memberikan alternatif
sistem perbankan yang saling menguntungkan bagi masyarakat dan bank, serta
menonjolkan aspek keadilan dalam bertransaksi, investasi yang beretika,
mengedepankan nilai-nilai kebersamaan dan persaudaraan dalam berproduksi, dan
menghindari kegiatan spekulatif dalam bertransaksi keuangan. Dengan menyediakan
beragam produk serta layanan jasa perbankan yang beragam dengan skema keuangan
yang lebih bervariatif, perbankan syariah menjadi alternatif sistem perbankan
yang kredibel dan dapat dinimati oleh seluruh golongan masyarakat Indonesia
tanpa terkecuali.
Dalam konteks pengelolaan
perekonomian makro, meluasnya penggunaan berbagai produk dan instrumen keuangan
syariah akan dapat merekatkan hubungan antara sektor keuangan dengan sektor
riil serta menciptakan harmonisasi di antara kedua sektor tersebut. Semakin meluasnya penggunaan
produk dan instrumen syariah disamping akan mendukung kegiatan keuangan dan
bisnis masyarakat juga akan mengurangi transaksi-transaksi yang bersifat
spekulatif, sehingga mendukung stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan,
yang pada gilirannya akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap
pencapaian kestabilan harga jangka menengah-panjang.
Sekarang,
jumlah Bank Umum Syariah (BUS) telah mencapai 11 unit dan Unit Usaha Syariah
(UUS) mencapai 24 unit. Memang, jumlah ini tidak mengalami perubahan sejak
tahun 2011. Namun, jumlah jaringan kantor semakin meningkat. Jika pada Bulan
April 2012 jumlah kantor mencapai 1.457 unit, pada bulan yang sama di tahun
2013 jumlah ini bertambah menjadi 1.858 unit. Perluasan jaringan kantor
tersebut juga telah mampu meningkatkan pengguna bank syariah. Hal tersebut
dapat dilihat dari peningkatan jumlah total rekening pembiayaan sebesar 3,31
juta rekening. Jumlah rekening di tahun sebelumnya tercatat 10,83 juta rekening
dan tahun ini meningkat menjadi 14,14 juta rekening[9].
Dari data statistik
perbankan syariah BI, per April 2013 total aset perbankan syariah telah
menembus angka Rp. 207,800 triliun. Dibandingkan periode satu tahun seblumnya,
aset perbankan syariah telah mengalami pertumbuhan sebesar 44%. Angka
pembiayaan telah mencapai Rp.163,407 triliun. Penghimpunan dana pihak ketiga
telah mencapai Rp.158,519 triliun. Fungsi intermediasi perbankan syariah pun
semakin meningkat. FDR per April 2013 mencapai 103,08%. Angka ini meningkat
dari tahun sebelumnya yang mencapai 95,39%. Secara total, pangsa pasar
perbankan syariah telah mencapai 4.86%.[10]
Dengan telah diberlakukannya Undang-Undang
No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang terbit tanggal 16 Juli 2008,
maka pengembangan industri perbankan syariah nasional semakin memiliki landasan
hukum yang memadai dan akan mendorong pertumbuhannya secara lebih cepat lagi.
Dengan progres perkembangannya yang impresif, yang mencapai rata-rata
pertumbuhan aset lebih dari 65% pertahun dalam lima tahun terakhir, maka
diharapkan peran industri perbankan syariah dalam mendukung perekonomian
nasional akan semakin signifikan. Apalagi setelah dikabulkannya yudisial
review oleh Mahkamah Konstitusi Nomor
93/PUU-X/2012 pasal 55 ayat (2) Undang-undang No.21 tahun 2008 tentang
Perbankan syari’ah, yang menghilangkan dualisme litigasi dalam sengketa
perbankan syari’ah, sehingga peradilan agama menjadi satu-satunye lembaga
litigasi tempat penyelesaian sengketanya[11].
B. Prinsip-Prinsip Syari’ah Dalam Kegiatan Ekonomi
Pada tahap ini
penulis akan mengkaji tentang hal-hal yang membedakan kegiatan ekonomi syariah
dengan sistem ekonomi pada umumnya, bahwa sistem ekonomi model baru ini
menggunakan prinsip syari’ah. Syari’ah adalah aturan yang telah ditetapkan
Allah SWT atau yang ditetapkan dasar-dasarnya saja untuk menjadi pedoman bagi
umat manusia dalam berhubungan dengan Tuhannya, dengan saudaranya sesama
muslim, dengan sesama manusia, dengan lingkungan dan alam semesta, dan dengan
dirinya sendiri.
Prinsip
syari’ah adalah prinsip yang didasarkan atas wahyu Allah yang di dalamnya
terkandung nilai-nilai abadi dan universal, nilai ibadah, nilai keadilan, nilai
kesetaraan (equality), nilai manfaat, nilai kejujuran dan sebagainya.
Prinsip-prinsip tersebut dijabarkan menjadi asas-asas dalam sistem ekonomi
Islam yang berupa: 1. asas kebebasan berkontrak, 2. asas persamaan
dan kesetaraan, 3. asas keadilan, 4. asas kejujuran dan kebenaran,
5. asas tidak mengandung unsur riba
dengan segala bentuknya, 6. asas tidak ada unsur gharar atau tipu daya,
7. asas tidak ada unsur maisir atau spekulasi, 8. asas tidak ada
unsur dhulm atau ketidak adilan, 9. asas tertulis, dan lain sebagainya
sesuai dengan obyek (jenis) kegiatan ekonomi syari’ah tertentu[12]. Asas-asas
tersebut harus tertuang dalam akad perjanjian antara pihak-pihak yang terlibat
dalam kegiatan ekonomi syari’ah, seperti antara Badan Hukum Ekonomi Syari’ah
dengan pihak nasabah. Hal ini misalnya, perjanjian berdasarkan hukum Islam
antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan
usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syari’ah antara lain
pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan
berdasarkan penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang
dengan keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan
sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan
kepemilikan atas barang yag disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah
wa iqtina).
Semua
prinsip-prinsip kegiatan ekonomi tersebut diatas, adalah bagian dari
menjalankan perintah agama, yang apabila ditinggalkan tentu akan dimintai
pertanggungjawabannya dihadapan sang Kholig.
C. Kebijakan
Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia
Kita telah mengetahui
bahwa untuk memberikan pedoman bagi
stakeholders perbankan syariah dan meletakkan posisi serta cara pandang Bank
Indonesia dalam mengembangkan perbankan syariah di Indonesia, selanjutnya Bank
Indonesia pada tahun 2002 telah menerbitkan “Cetak Biru Pengembangan Perbankan
Syariah di Indonesia”. Dalam penyusunannya, berbagai aspek telah
dipertimbangkan secara komprehensif, antara lain kondisi aktual industri
perbankan syariah nasional beserta perangkat-perangkat terkait, trend
perkembangan industri perbankan syariah di dunia internasional dan perkembangan
sistem keuangan syariah nasional yang mulai mewujud, serta tak terlepas dari
kerangka sistem keuangan yang bersifat lebih makro seperti Arsitektur Perbankan
Indonesia (API) dan Arsitektur Sistem Keuangan Indonesia (ASKI) maupun
international best practices yang dirumuskan lembaga-lembaga keuangan syariah
internasional, seperti IFSB (Islamic Financial Services Board), AAOIFI
dan IIFM[13].
Pengembangan perbankan syariah diarahkan untuk
memberikan kemaslahatan terbesar bagi masyarakat dan berkontribusi secara
optimal bagi perekonomian nasional. Oleh karena itu, maka arah pengembangan
perbankan syariah nasional selalu mengacu kepada rencana-rencana strategis
lainnya, seperti Arsitektur Perbankan Indonesia (API), Arsitektur Sistem
Keuangan Indonesia (ASKI), serta Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). Dengan
demikian upaya pengembangan perbankan syariah merupakan bagian dan kegiatan yang
mendukung pencapaian rencana strategis dalam skala yang lebih besar pada
tingkat nasional.
“Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah di
Indonesia” memuat visi, misi dan sasaran pengembangan perbankan syariah serta
sekumpulan inisiatif strategis dengan prioritas yang jelas untuk menjawab
tantangan utama dan mencapai sasaran dalam kurun waktu 10 tahun ke depan,
yaitu pencapaian pangsa pasar perbankan syariah yang signifikan melalui
pendalaman peran perbankan syariah dalam aktivitas keuangan nasional, regional
dan internasional, dalam kondisi mulai terbentuknya integrasi dgn sektor
keuangan syariah lainnya.
Dalam jangka pendek, perbankan syariah
nasional lebih diarahkan pada pelayanan pasar domestik yang potensinya masih
sangat besar. Dengan kata lain, perbankan Syariah nasional harus sanggup untuk
menjadi pemain domestik akan tetapi memiliki kualitas layanan dan kinerja yang
bertaraf internasional.
Pada akhirnya, sistem perbankan syariah yang
ingin diwujudkan oleh Bank Indonesia adalah perbankan syariah yang modern, yang
bersifat universal, terbuka bagi seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali.
Sebuah sistem perbankan yang menghadirkan bentuk-bentuk aplikatif dari konsep
ekonomi syariah yang dirumuskan secara bijaksana, dalam konteks kekinian permasalahan
yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia, dan dengan tetap memperhatikan
kondisi sosio-kultural di dalam mana bangsa ini menuliskan perjalanan
sejarahnya. Hanya dengan cara demikian, maka upaya pengembangan sistem
perbankan syariah akan senantiasa dilihat dan diterima oleh segenap masyarakat
Indonesia sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan negeri.
D. Grand
Strategy Pengembangan Pasar Perbankan Syariah
Sebagaimana telah kita
ketahui bahwa sebagai langkah konkrit upaya pengembangan perbankan syariah di
Indonesia, Bank Indonesia telah merumuskan sebuah Grand Strategi Pengembangan
Pasar Perbankan Syariah, sebagai strategi komprehensif pengembangan pasar yg
meliputi aspek-aspek strategis, yaitu: Penetapan visi 2010 sebagai industri
perbankan syariah terkemuka di ASEAN, pembentukan citra baru perbankan syariah
nasional yang bersifat inklusif dan universal, pemetaan pasar secara lebih
akurat, pengembangan produk yang lebih beragam, peningkatan layanan, serta
strategi komunikasi baru yang memposisikan perbankan syariah lebih dari sekedar
bank[14].
Selanjutnya berbagai program konkrit telah dan
akan dilakukan sebagai tahap implementasi dari grand strategy pengembangan
pasar keuangan perbankan syariah, antara lain adalah sebagai berikut:
Pertama, menerapkan visi baru pengembangan perbankan
syariah pada fase I tahun 2008 membangun pemahaman perbankan syariah sebagai Beyond
Banking, dengan pencapaian target asset sebesar Rp.50 triliun dan
pertumbuhan industri sebesar 40%, fase II tahun 2009 menjadikan perbankan
syariah Indonesia sebagai perbankan syariah paling atraktif di ASEAN, dengan
pencapaian target asset sebesar Rp.87 triliun dan pertumbuhan industri sebesar
75%. Fase III tahun 2010 menjadikan perbankan syariah Indonesia sebagai
perbankan syariah terkemuka di ASEAN, dengan pencapaian target asset sebesar
Rp.124 triliun dan pertumbuhan industri sebesar 81%.
Kedua, program pencitraan baru perbankan syariah
yang meliputi aspek positioning, differentiation, dan branding. Positioning
baru bank syariah sebagai perbankan yang saling menguntungkan kedua belah
pihak, aspek diferensiasi dengan keunggulan kompetitif dengan produk dan skema
yang beragam, transparans, kompeten dalam keuangan dan beretika, teknologi
informasi yang selalu up-date dan user friendly, serta adanya ahli investasi
keuangan syariah yang memadai. Sedangkan pada aspek branding adalah “bank
syariah lebih dari sekedar bank atau beyond banking”.
Ketiga, program pemetaan baru secara lebih akurat
terhadap potensi pasar perbankan syariah yang secara umum mengarahkan pelayanan
jasa bank syariah sebagai layanan universal atau bank bagi semua lapisan
masyarakat dan semua segmen sesuai dengan strategi masing-masing bank syariah.
Keempat, program pengembangan produk yang diarahkan
kepada variasi produk yang beragam yang didukung oleh keunikan value yang
ditawarkan (saling menguntungkan) dan dukungan jaringan kantor yang luas
dan penggunaan standar nama produk yang mudah dipahami.
Kelima, program
peningkatan kualitas layanan yang didukung oleh SDM yang kompeten dan
penyediaan teknologi informasi yang mampu memenuhi kebutuhan dan kepuasan
nasabah serta mampu mengkomunikasikan produk dan jasa bank syariah kepada
nasabah secara benar dan jelas, dengan tetap memenuhi prinsip syariah; dan
Keenam, program
sosialisasi dan edukasi masyarakat secara lebih luas dan efisien melalui
berbagai sarana komunikasi langsung, maupun tidak langsung (media cetak,
elektronik, online/web-site), yang bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang
kemanfaatan produk serta jasa perbankan syariah yang dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat.
Demikianlah potret
perbankan syariah di Indonesia, dari tahun-ketahunnya, kemudian penulis akan
melanjutkan kajian ini pada aspek hukum jika terjadi sengketa terkait perbankan
syari’ah tersebut. Korelasi ini sangat penting karena sebagian masyarakat masih
belum bisa membedakan kompetensi absolute peradilan dibawah Mahkamah Agung
Republik Inndonesia (MA-RI), Khususnya Peradilan Umum dan Peradilan Agama
terkait sengketa kegitan perekonomian konvensional dan ekonomi syari’ah.
V.
PERADILAN AGAMA SEBAGAI WADAH
PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARI’AH
A. Asas-Asas Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah
Penelesaian
sengketa ekonomi syari’ah harus berpijak pada asas-asas yang diajarkan dalam
syari’ah Islam, yakni asas personalitas keislaman[15].
Hal ini meliputi asas pilihan hukum, asas kelembagaan, dan asas prosedur
penyelesaian. Berdasarkan asas personalitas keislaman, maka dalam penyelesaian
perkara ekonomi syari’ah tidak ada pilihan hukum karena secara imperatif hal
ini tunduk pada hukum Islam. Oleh sebab itu, penyelesaian perkara ekonomi
syari’ah harus diselesaikan menurut hukum Islam, tanpa ada pilihan hukum
lainnya. Dari aspek pilihan kelembagaan, maka berdasarkan asas personalitas
keislaman itu pula tidak ada pilihan kelembagaan selain lembaga Islam yang
bertugas dan berwenang menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan hukum Islam,
atau kepada orang Islam dalam hal memilih alternatif penyelesaian sengketa
ekonomi syari’ah.
Oleh sebab itu,
dalam hal para pihak memilih jalan mediasi maka harus dipilih mediator yang
beragama Islam. Demikian pula dalam hal para pihak memilih lembaga arbitrase
yang akan diserahi untuk menyelesaikan sengketa mereka, maka harus dipilih
lembaga arbitrase syari’ah yang berkompeten untuk itu dengan menjalankan
prinsip syari’ah, yaitu Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS). Kemudian
dalam hal para pihak memilih penyelesaian secara litigasi maka harus dipilh
lembaga peradilan yang berkompeten dengan hukum dan keadilan berdasarkan hukum
(syari’ah) Islam, yaitu Pengadilan Agama.
Dalam rangka
memberikan pelayanan yang terbaik kepada para pihak, maka proses penyelesaian
sengketa ekonomi syari’ah harus berpijak kepada prinsip-prinsip syari’ah Islam
yang pada umumnya juga telah menjadi asas-asas yang bersifat universal.
Asas-asas tersebut adalah pertama: asas sederhana, cepat, dan biaya
ringan; kedua: asas resmi, adil, ramah, rapi, akomodatif, komunikatif,
manusiawi, dan tertib (RARRAKoMTib); dan ketiga: asas tuntas, final, dan
memuaskan. Asas-asas tersebut harus ditaati dalam setiap praktik penyelesaian
sengketa.
Penyelesaian
sengketa ekonomi syari’ah dapat dilakukan melalui alternatif penyelesaian
sengketa, arbitrase, atau litigasi. Alternatif penyelesaian
sengketa (ADR) adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui
prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan
dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli
(Pasal 1angkat 10 UU No.30 Tahun 1999).
Arbitrase adalah
cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum (agama-pen)
yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para
pihak yang bersengketa (Pasal 1 angka 1 UU NO.30 Tahun 1999). Pemanfaatan model
penyelesaian tersebut bersifat alternatif atau pilihan (chois). Penyelesaian
secara litigasi dapat saja menjadi pilihan terakhir manakala model-model
lainnya, setelah dipertimbangkan, ternyata tidak tepat. Pemilihan model dan
tatacara penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah di Indonesia tunduk pada UU
No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam
hal para pihak memilih model arbitrase maka harus dilakukan melalui Badan
Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS) sebagai badan arbitrase yang berkompeten
menegakkan hukum Islam. Demikian pula apabila memilih proses litigasi, maka
harus dipilih Pengadilan Agama sebagai lembaga kekuasaan kehakiman yang
memiliki kekuasaan absolut untuk itu. Hal ini sesuai dengan asas personalitas
keislaman dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pemilihan model
penyelesaian sengketa melalui arbitrase harus memenuhi 2 (dua) syarat, yaitu: pertama,
secara material bahwa yang akan diselesaikan lewat badan arbitrase hanyalah
sengketa yang berkenaan dengan bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut
hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang
bersengketa, dan bukan mengenai sengketa yang tidak dapat diadakan perdamaian; kedua,
secara formal bahwa klausula tersebut harus dinyatakan secara tertulis dalam
akad pada saat kedua belah pihak akan melakukan transaksi ekonomi syari’ah,
atau dibuat setelah timbul sengketa antara kedua pihak. Hal inilah yang disebut
dengan ‘perjanjian arbitrase’, yakni suatu kesepakatan berupa klausula
arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak
sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat
para pihak setelah timbul sengketa (Pasal 1 angka 3 UU No.30 Tahun 1999).
Di Indonesia
pada saat ini telah memiliki 4 Kantor Badan Arbitrase Syari’ah Nasional, yaitu
di Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan Medan. Apabila para pihak hendak memilih
penyelesaian secara litigasi melalui Pengadilan Agama maka pada saat ini (tahun
2013) telah terdapat 359 Pengadilan Agama[16]
di seluruh Indonesia yang berada di setiap kota dan ibu kota kabupaten atau di
tempat terpencil di Indonesia yang kesemuanya telah siap melayani para pencari
keadilan.
B. Kewenangan Pengadilan Agama Dalam Menyelesaikan Sengketa Ekonomi Syari’ah
Kewenangan
Pengadilan Agama untuk menyelesaikan perkara ekonomi syari’ah didasarkan atas
ketentuan Pasal 49 UU No.3 Tahun 2006 yang menyatakan bahwa: “Pengadilan
agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di
tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a.
Perkawinan; dst i. Ekonomi syari’ah”. Berdasarkan ketentuan Pasal 49
tersebut, Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara perkawinan, waris, wasiat, hibah, waqaf, zakat, infaq,
shadaqah, dan ekonomi syari’ah (kawawahi wazis eksyar). Oleh sebab itu,
terhitung mulai tanggal 20 Maret 2006 penyelesaian perkara ekonomi syari’ah
menjadi kewenangan absolut Pengadilan Agama. Sebelum diundangkannya UU No.3
Tahun 2006 tersebut memang belum pernah ada peraturan perundang-undangan yang
secara khusus melimpahkan kewenangan kepada pengadilan tertentu untuk memeriksa
dan mengadili perkara ekonomi syari’ah.
Namun demikian,
meskipun Pengadilan Agama telah diberi kewenangan untuk memeriksa, mengadili,
dan menyelesaikan perkara ekonomi syari’ah, semenjak tahun 2006 melalui
undang-undang nomor 03 tahun 2006 ternyata hal tersebut pada waktu itu tidak
dibarengi pula dengan perangkat hukum yang mengaturnya lebih lanjut, maka pada
tanggal 10 September tahun 2008 dikodifikasi hukum materiil ekonomi syari’ah
melalui peraturan Mahkamah Agung RI Nomor. 02 tahun 2008 tentang Kompilasi
Hukum Ekonomi Syar’iah namun demikian hukum formil ekonomi syari’ah baru akan
dikeluarkan pada awal tahun 2014 ini. Oleh sebab itu dalam rangka pelayanan
kepada masyarakat dan supaya Pengadilan Agama dapat segera melakukan
tugas-tugasnya, maka harus dilakukan terobosan hukum guna memenuhi perkembangan
kebutuhan hukum masyarakat.
Terobosan
tersebut adalah pertama: dengan melakukan penafsiran argumentum per
analogian (analogi), yakni dengan memperluas berlakunya peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang kegiatan ekonomi pada umumnya terhadap
kegiatan ekonomi syari’ah karena adanya persamaan-persamaan antara keduanya; kedua:
dengan menerapkan asas lex posterior derogat legi apriori, yakni bahwa
hukum yang baru mengalahkan hukum yang lama. Dengan demikian, maka
ketentuan-ketentuan hukum lama yang dahulu tidak berlaku pada Pengadilan Agama
menjadi berlaku karena adanya kesamaan-kesamaan antara keduanya dan
aturan-aturan yang berkaitan dengan ekonomi syari’ah yang dahulu bukan menjadi
kewenangan Pengadilan Agama maka sekarang menjadi kewenangan Pengadilan Agama
dengan adanya UU No.3 Tahun 2006, sepanjang berkenaan dengan ekonomi syari’ah.
Diantara
peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan ekonomi adalah UU No.30
Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR) dan UU
No.4 Tahun 1998 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan
Menjadi Undang-Undang. Melalui penafsiran argumentum per analogian
(analogi), maka ketentuan UU No.30 Tahun 1999 dan UU No.4 Tahun 1998 tersebut
diberlakukan pada Pengadilan Agama. Kata-kata ‘Pengadilan Negeri’ atau
‘peradilan umum’ dalam Undang-Undang tersebut dapat diberlakukan pada
‘Pengadilan Agama’ atau ‘peradilan agama’ sepanjang menyangkut ekonomi
syari’ah. Berbagai ketentuan tentang badan arbitrase dalam Undang-Undang
tersebut secara mutatis mutandis diterapkan pada Badan Arbitrase Syari’ah
Nasional (BASYARNAS) sebagai satu-satunya badan arbitrase dalam ekonomi
syari’ah yang ada di Indonesia. Demikian juga halnya tentang kepailitan. Dengan
mengadopsi dua Undang-Undang tersebut maka dapat dipakai sebagai pedoman dalam
menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan alternatif penyelesaian sengketa,
arbitrase, dan kepailitan di bidang ekonomi syari’ah pada Pengadilan Agama.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 49 UU No.3 Tahun 2006 jis UU No.30 Tahun 1999 dan UU No.4 Tahun
1998, maka kewenangan Pengadilan Agama dalam menangani perkara ekonomi syari’ah
ini meliputi:
1. Menunjuk arbiter dalam hal para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan
mengenai pemilihan arbiter atau tidak ada ketentuan yang dibuat mengenai
pengangkatan arbiter (Pasal 13-15 UU No.30 Tahun 1999);
2. Memutus hak ingkar yang diajukan
oleh para pihak atau salah satu dari mereka terhadap arbiter yang diangkat oleh
Ketua Pengadilan Agama (Pasal 22-25 UU No.30 Tahun 1999);
3. Membatalkan keputusan Basyarnas manakala dalam putusan Basyarnas terdapat
hal-hal menjadikan keputusan itu tidak valid lagi karena: (1). adanya surat
(dokumen) palsu yang menjadi dasar keputusan, (2). ada dokumen yang ternyata
disembunyikan oleh pihak lawan sehingga merugikan pihak lain, atau (3) karena
keputusan didasarkan atas tipu muslihat dari pihak lawan sehingga merugikan
pihak lainnya (Pasal 70 UU NO.30 Tahun 1999);
4. Mendaftar keputusan Basyarnas yang harus didaftaraka dalam tempo 30 hari
sejak putusan diucapkan (Pasal 59 UU No.30 Tahun 1999);
5. Melaksanakan keputusan badan alternatif penyelesaian sengketa (ADR) dan
keputusan Basyarnas melalui eksekusi paksa manakala diperlukan (Pasal 59-63 UU
No.30 Tahun 1999). Keputusan tersebut dapat dieksekusi oleh Pengadilan Agama
manakala telah terdaftar sebelumnya di Kepaniteraan Pengadilan Agama
selambat-lambatnya 30 hari setelah penandatanganan keputusan tersebut (Pasal 6
ayat (7) UU No.30 Tahun 1999). Apabila ketentuan ini tidak diindahkan maka
keputusan tersebut tidak dapat dieksekusi (Pasal 59 ayat (4) UU No.30 Tahun
1999);
6. Menyatakan pailit debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak
membeyar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih (Pasal
1 ayat (1) UU No.4 Tahun 1998);
7. Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah (Pasal 49
UU No.3 Tahun 2006).
VI.
PEMBAHASAN
A. Perkembangan Ekonomi Syari’ah Di Indonesia
Jika
diperhatikan dari aspek perkembangan perbankan syari’ah dari tahun ke tahun telah
pada tahap yang cukup berdaya. Hal ini di tandai dari aspek kuantitas dan juga
kwalitas perbakan syariah itu sendiri. Meskipun seacara nasional dibandingkan
dengan perbankan konvensional masih dapat dikategorikan belum sebanding.
Jumlah Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS) sampai
dengan Oktober 2011 tidak mengalami perubahan, namun demikian jumlah jaringan kantor meningkat.
Dengan demikian
meskipun jumlah BUS maupun UUS cenderung tetap, namun pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat akan perbankan syariah semakin meluas yang
tercermin dari bertambahnya Kantor Cabang Pembantu (KCP) dan Kantor Kas (KK). KCP
bertambah 219 kantor (30,50%) dari 718 menjadi 937, sedangkan KK bertambah 23
kantor (9,50%) yaitu dari 242 menjadi 265. Secara keseluruhan jumlah kantor perbankan syariah
meningkat dari 1.388 kantor (Okt’2010) menjadi 1.688 kantor, sedangkan jumlah layanan
syariah (office channeling) tetap yaitu
sebesar 1.277 kantor[17].
Sekarang,
jumlah Bank Umum Syariah (BUS) masih tetap seperti tahun
2011 talu, yaitu 11 unit dan Unit Usaha Syariah (UUS) 24 unit.
Memang, jumlah ini tidak mengalami perubahan sejak tahun 2011. Namun, jumlah
jaringan kantor semakin meningkat. Jika pada Bulan April 2012 jumlah kantor
mencapai 1.457 unit, pada bulan yang sama di tahun 2013 jumlah ini bertambah
menjadi 1.858 unit. Perluasan jaringan kantor tersebut juga telah mampu
meningkatkan pengguna bank syariah. Hal tersebut dapat dilihat dari peningkatan
jumlah total rekening pembiayaan sebesar 3,31 juta rekening. Jumlah rekening di
tahun sebelumnya tercatat 10,83 juta rekening dan tahun ini meningkat menjadi
14,14 juta rekening[18].
Dari data
statistik perbankan syariah BI, per April 2013 total aset perbankan syariah
telah menembus angka Rp. 207,800 triliun. Dibandingkan periode satu tahun
seblumnya, aset perbankan syariah telah mengalami pertumbuhan sebesar 44%.
Angka pembiayaan telah mencapai Rp.163,407 triliun. Penghimpunan dana pihak
ketiga telah mencapai Rp.158,519 triliun. Fungsi intermediasi perbankan syariah
pun semakin meningkat. FDR per April 2013 mencapai 103,08%. Angka ini meningkat
dari tahun sebelumnya yang mencapai 95,39%. Secara total, pangsa pasar
perbankan syariah telah mencapai 4.86%.[19]
Pada umumnya permodalan perbankan syariah dapat dijaga dalam
kisaran yang memadai untuk dapat menyerap potensi kerugian. Rasio kecukupan modal BUS
dan UUS pada posisi Oktober 2011 tercatat sebesar 15,30%. Berbagai upaya telah
dilakukan bersama antara regulator dengan industri
perbankan syariah melalui berbagai kegiatan expo, penayangan iklan dan liputan
kegiatan oleh media massa telah mampu mendorong perbankan syariah secara
signifikan untuk meningkatkan penyaluran dana perbankan syariah meningkat
tinggi sebesar 46,43% dari Rp 83,81 triliun menjadi Rp122,73 triliun.
Peningkatan pembiayaan ini dengan tetap memperhatikan prinsip
kehati-hatian sehingga kisaran Non Performing Financing (NPF) dapat dijaga dalam
kisaran yang stabil. Secara rerata NPF gross menurun
dari 3,95% (Sept’2010) menjadi 3,11%. Hal tersebut telah mendorong perolehan
laba yang cukup baik dan efisiensi biaya, sehingga rentabilitas dapat terjaga.
Pada gilirannya
hal ini dapat meningkatkan akumulasi laba yang dapat memperkuat permodalan.
Tingkat rentabilitas perbankan syariah terhadap penggunaan asetnya
cukup baik yang tercermin dari rasio ROA dan ROE yang masing-masing sebesar 1,75%
dan 17,43%. Jumlah pembiayaan yang meningkat diiringi dengan membaiknya kinerja telah
mampu menurunkan rasio
BOPO menjadi 78,03% yang pada tahun sebelumnya masih sebesar 79,10% (Sept’2010).
Dari fakta-fakta
tersebut diatas penulis berkeyakinan bahwa perbankan syari’ah telah mengalami
perkembangan yang signifikan dari tahun pertama dilaunching, sampai sekarang
ini. Sehingga bank syari’ah merupan salah satu alternatif lembaga keuangan yang
pantas diperhitungkan untunk membangun lembaga perbangkan masa depan Indonesia
dan juga dunia.
B. Aspek Hukum Dalam Perbankan Syari’ah Jika Terjadi Sengketa
1). Tatacara
Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah Pada Pengadilan Agama.
Apabila perkara
ekonomi syari’ah diajukan ke Pengadilan Agama, maka Pengadilan Agama wajib
memeriksa, memutus dan menyelesaikannya secara profesional, yakni pertama:
dengan proses yang sederhana, cepat, dan
biaya ringan; kedua: dengan pelayanan yang prima, yaitu pelayanan secara
resmi, adil, ramah, rapi, akomodatif, manusiawi, dan tertib; dan ketiga:
dengan hasil (keputusan) yang tuntas, final, dan memuaskan.
Dalam
menyelesaikan perkara ekonomi syari’ah, maka Pengadilan Agama harus menjalankan
fungsi holistik pengadilan, yaitu sebagai pelayan hukum dan keadilan kepada
para pencari keadilan, sebagai penegak hukum dan keadilan terhadap perkara yang
dihadapi, dan sebagai pemulih kedamaian antara pihak-pihak yang bersengketa.
Tugas pokok
hakim adalah menegakkan hukum dan keadilan serta memulihkan hubungan sosial
antara pihak-pihak yang bersengketa melalui proses peradilan[20].
Sebagai penegak hukum, hakim berkewajiban untuk memeriksa (mengkonstatir)
apakah akad (perjanjian) antara para pihak telah dilakukan sesuai dengan
ketentuan syari’ah Islam, yakni memenuhi syarat dan rukun sahnya suatu
perjanjian yang berupa: 1. asas
kebebasan berkontrak, 2. asas persamaan dan kesetaraan, 3. asas
keadilan, 4. asas kejujuran dan kebenaran, 5. asas tidak mengandung unsur riba dengan segala
bentuknya, 6. asas tidak ada unsur gharar atau tipu daya, 7. asas
tidak ada unsur maisir atau spekulasi, 8. asas tidak ada unsur dhulm
atau ketidak adilan, 9. asas tertulis, dan lain sebagainya sesuai
dengan obyek (jenis) kegiatan ekonomi syari’ah tertentu. Apabila perjanjian
(akad) tersebut telah memenuhi syarat dan rukunnya maka perjanjian (akad)
tersebut adalah sah dan mempunyai kekuatan hukum. Namun jika ternyata tidak
memenuhi syarat dan rukunnya, maka akad tersebut tidak sah dan karenannya tidak
mempunyai kekuatan hukum sehingga tidak mengikat kedua belah pihak. Dalam hal
ini, maka hakim karena jabatannya berwenang untuk mengesampingkan bagian-bagian
yang tidak sesuai (menyimpang) dari syarat rukunnya tersebut untuk kemudian
mengambil langkah-langkah yang sejalan dengan ketentuan syari’ah Islam dan
mengembalikan kepada asas-asas tersebut. Asas-asas yang bersifat dwangen
recht ditegakkan secara imperatif, sedangan asas-asas yang bersifat anvullen
recht ditegakkan secara fakultatif.
Sebagai penegak
keadilan, hakim wajib memeriksa pokok gugatan dengan membuktikan
(mengkonstatir) dalil-dalil gugatan yang dijadikan dasar tuntutan (petitum).
Hakim harus membuktikan kebenaran fakta-fakta yang dijadikan dasar gugatan, menetapkan
siapa-siapa yang terbukti melakukan wanprestasi untuk kemudian menghukum yang
bersangkutan untuk memenuhi prestasi yang seharusnya ia lakukan agar pihak lain
tidak dirugikan dan terciptalah rasa keadilan antara kedua belah pihak.
Sebagai pemulih
hubungan sosial (kedamaian), maka hakim wajib menemukan apa yang menjadi
penyebab timbulnya sengketa antara kedua belah pihak. Suatu sengketa dapat saja
timbul karena: (1). kesalahpahaman, (2). perbedaan penafsiran, (3).
ketidakjelasan perjanjian (akad), (4). kecurangan, ketidakjujuran atau
ketidakpatutan, (5). ketersinggungan, (6). kesewenang-wenangan atau
ketidakadilan, (7). ketidakpuasan, (8). kejadian tak terduga, (9). prestasi
tidak sesuai dengan penawaran, (10). presatasi tidak sesuai dengan spesifikasinya,
(11). prestasi tidak sesuai dengan waktunya, (12). prestasi tidak sesuai dengan
aturan main yang diperjanjikan, (13). prestasi tidak sesuai dengan layanan atau
birokrasi yang tidak masuk dalam akad, (14). lambatnya proses kerja, (15). atau
wanprestasi sepenuhnya, dan lain sebagainya. Dengan mengetahui apa penyebab
timbulnya sengketa maka hakim akan dapat memilih dan menemukan cara yang tepat
untuk menyelesaikan sengketa antara kedua belah pihak.
Tugas
Pengadilan Agama bukan sekedar memutus perkara melainkan menyelesaikan sengketa
sehingga terwujud pulihnya kedamaian antara pihak-pihak yang bersengketa,
tercipta adanya rasa keadilan pada masing-masing pihak yang berperkara, dan
terwujud pula tegaknya hukum dan kebenaran pada perkara yang diperiksa dan
diputus tersebut.
Dengan
berpegang pada asas-asas proses penyelesaian perkara yang baik (A2 P3 B), hakim
menyelesaikan perkara dengan berpedoman pada hukum acara perdata yang ada
dengan sedikit penyesuaian dengan karakteristik sengketa ekonomi syari’ah.
Proses peradilannya dilakukan sesuai tatacara dalam hukum acara perdata yang
berlaku pada Pengadilan Agama.
Proses
penyelesaian perkara ekonomi syari’ah dilakukan hakim dengan tata urutan
sebagai berikut:
1.
Hakim memeriksa apakah syarat administrasi
perkara telah tercukupi atau belum. Administrasi perkara ini meliputi berkas
perkara yang di dalamnya telah ada panjar biaya perkara, nomor perkara,
penetapan majelis hakim, dan penunjukan panitera sidang. Apabila syarat
tersebut belum lengkap maka berkas dikembalikan ke kepaniteraan untuk
dilengkapi, apabila sudah lengkap maka hakim menetapkan hari sidang dan
memerintahkan kepada juru sita agar para pihak dipanggil untuk hadir dalam
sidang yang waktunya telah ditetapkan oleh hakim dalam surat Penetapan Hari Sidang
(PHS);
2.
Hakim memeriksa syarat formil perkara yang
meliputi kompetensi dan kecakapan penggugat, kompetensi (kewenangan) Pengadilan
Agama baik secara absolut maupun relatif, ketepatan penggugat menentukan
tergugat (tidak salah menentukan tergugat), surat gugatan tidak obscuur,
perkara yang akan diperiksa belum pernah diputus oleh pengadilan dengan putusan
yang sudah berkekuatan hukum tetap (tidak ne bis in idem), tidak terlalu
dini, tidak terlambat, dan tidak dilarang oleh undang-undang untuk diperiksa
dan diadili oleh Pengadilan.
3.
Apabila ternyata para pihak telah terikat
dengan perjanjian arbitrase, maka Pengadilan Agama tidak berwenang memeriksa
dan mengadilinya (Pasal 3 UU No.30 Tahun 1999).
4. Apabila syarat formil telah terpenuhi berarti hakim dapat melanjutkan untuk
memeriksa pokok perkara. Dalam persidangan ini, tugas pertama dan utama hakim
adalah berusaha mendamaikan kedua belah pihak sesuai dengan PERMA Nomor 2 Tahun
2003 dan PERMA Nomor 1 Tahun 2002.
Apabila tercapai perdamaian, maka hakim
membuat akta perdamaian. Apabila tidak dapat dicapai perdamaian maka
pemeriksaan dilanjutkan ke tahap berikutnya.
5. Hakim melakukan konstatiring terhadap dalil-dalil gugat dan bantahannya
melalui tahap-tahap pembacaan surat gugatan, jawaban tergugat, replik, duplik,
dan pembuktian.
6. Hakim melakukan kualifisiring melalui kesimpulan para pihak dan musyawarah
hakim.
7. Hakim melakukan konstituiring yang dituangkan dalam surat putusan.
2). Kendala-Kendala Dalam Penyelesaian Sengketa
Ekonomi Syari’ah Melalui Pengadilan Agama
Dalam rangka
memberikan pelayan yang terbaik kepada masyarakat dalam menyelesaikan sengketa
ekonomi syari’ah terdapat beberapa kendala yang harus diatasi. Oleh sebab itu,
perlu ada peneyesuaian-penyesuaian praktik peradilan dalam menyelesaikan
sengketa ekonomi syari’ah. Kendala-kenadala tersebut, antara lain, adalah:
1. Belum adanya perangkat hukum yang memadai sebagai acuan dalam menyelesaikan
sengketa ekonmi syari’ah pada Pengadilan Agama, Kususnya Hukum acara Ekonomi
Syari’ah, yang kemungkinan baru akan dikeluarkan Mahkamah Agung RI dan akan disosialisaikan
oleh badan peradilan agama (badilag) awal tahun 2014.
2. Penerapan asas sidang terbuka untuk umum dalam penyelesaian sengketa
ekonomi syari’ah.
3. Penerapan hukum materiil dan hukum acara yang terlalu formal dan kaku.
4. Tidak adanya komunikasi timbal balik yang harmonis dan fleksibel antara
hakim dengan para pihak dan antara pihak-pihak itu sendiri sehingga tidak
dimungkinkan adanya sistem negosiasi dan konsisliasi adalam porses penyelesaian
sengketa.
5. Sikap, pandangan, dan pendapat para advokat yang mendampingi kliennya yang
belum tentu sejalan dengan sikap, pandangan, dan pendapat Pengadilan dalam
pembaharuan paradigma peradilan yang modern, mandiri, dan profesional.
Ad.1. Belum adanya perangkat hukum yang
memadai
Seperti telah
dikemukakan bahwa pelimpahan kekuasaan baru kepada Pengadilan Agama di bidang
ekonomi syari’ah tidak disertai pula perangkat hukumnya, khususnya hukum formil
sampai tahun ini. Hal ini merupakan kendala tersendiri karena belum ada acuan
hukum yang baku, baik bagi hakim ataupun para pelaku ekonomi syari’ah. Sambil
menunggu regulasi hukum formil di bidang ekonomi syari’ah yang insyaallah akan
dikeluarkan awal tahun 2014 ini, maka Hakim dapat memanfaatkan berbagai
literatur penyelesaian sengketa melalui litigasi yang telah dikarang para pakar
hukum acara peradilan agama[21].
Adapun untuk hukum materiil, selain perundang-undangan diatas hakim dalam
rangka memperkaya lingkup hukum materiilnya juga dapat menempuh langkah-langkah
sebagai berikut;
1. Mengambil hukum tidak tertulis sebagai hukum terapan seperti hukum-hukum
fiqh Islam, fatwa-fatwa Dewan Syari’ah Nasionanl, dan Peraturan Bank Indonesia.
2. Mengadopsi peraturan perundang-undangan yang sejenis melalui penafsiran argumenntum
per analogian (analogi) dan pemanfaatan asas lex posterior derogat legi apriori.
3. Berijtihad sendiri untuk menemukan hukum yang diperlukan dalam menyelesaikan
sengketa ekonomi syari’ah
Ad.2. Penerapan asas sidang terbuka untuk umum
Dalam rangka
memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat pencari keadilan dalam
perkara sengketa ekonomi syari’ah, ada beberapa hal yang perlu mendapat
pertimbangan dari Pengadilan Agama dalam penerapan asas sidang pemeriksaan
Pengadilan terbuka untuk umum. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan tersebut
adalah:
1. Salah satu hal yang pada umumnya kurang disukai oleh pencari keadilan atau
pihak-pihak yang berperkara adalah bahwa sidang pemeriksaan perkara di
Pengadilan bersifat terbuka untuk umum sehingga hal ini akan membuat mereka
merasa malu jika permasalahannya diketahui publik.
2. Hal ini juga akan berpengaruh secara psikologis dalam proses penyelesaian
perkara dan biasanya akan semakin mempertajam persengketaan karena
masing-masing tentu akan menjaga image, menjaga nama baik diri dan
perusahaannya. Masing-masing pihak tentu akan berusaha menjaga kredibelitas
(nama baik) diri dan perusahaannya.
3. Akan lebih runyam lagi jika persengketaan itu dipublikasikan media masa.
Hal ini akan berakibat masing-masing tidak berani secara jujur mengakui
kesalahan-kesalahannya atau kekurangan-kekurangannya. Keadaan ini akan
berpengaruh terhadap proses penyelesaian sengketa yang semakin sulit dan rumit.
Untuk itu,
perlu dipertimbangkan tentang penerapan asas sidang terbuka untuk umum dalam
perkara ekonomi syari’ah ini. Berdasarkan ketentuan Pasal 59 ayat (1) UU No.7
Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dinyatakan bahwa: “Sidang pemeriksaan
Pengadilan terbuka untuk umum, kecuali apabila Undang-Undang menentukan lain
atau jika Hakim dengan alasan-alasan penting yang dicatat dalam berita acara
sidang, memerintahkan bahwa secara keseluruhan atau sebagian akan dilakukan
dengan sidang tertutup”. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka dimungkinkan
untuk sidang pemeriksaan sengketa ekonomi syari’ah dilakukan secara tertutup
demi kemaslahatan pihak-pihak yang berperkara. Hal-hal tersebut di atas
merupakan alasan penting dalam rangka penyelesaian sengketa.
Ada dua alasan
yang kuat untuk pelaksanaan sidang secara tertutup dalam pemeriksaan sengketa
ekonomi syari’ah ini, yaitu:
1. Proses penyelesaian sengketa akan lebih mudah manakala sidang dilakukan
secara tertutup dengan pertimbangan-pertimbangan seperti tersebut di atas.
2. Penerapan asas sederhana, cepat, dan biaya ringan; asas resmi, adil, ramah,
rapi, akomodatif, komunikatif, manusiawi, dan tertib (RARRAKoMTib); dan asas tuntas, final, dan memuaskan akan lebih
mudah dipraktikkan manakala sidang pemeriksaan Pengadilan dilakukan secara
tertutup untuk umum.
Pelaksanaan
sidang tertutup ini dilakukan atas permintaan dan kesepakatan para pihak dan
harus dicatat dalam berita acara sidang. Oleh karena itu, tidak ada salahnya
jika hakim dalam pemeriksaannya menawarkan kepada para pihak tentang
kemungkinan pelaksaan sidang secara tertutup. Hal ini dapat dianalogkan dengan
sidang perkara perceraian, yaitu untuk menjaga nama baik dan memperlancar
proses penyesaian sengketa. Pelaksanaan sidang yang tertutup untuk umum juga
tidak akan merugikan pihak lain ataupun publik pada umumnya.
Namun demikian,
sidang pembacaan putusan haruslah diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
Ketentuan ini tidak bisa ditawar-tawar lagi (Pasal 60 UU No.7 Tahun 1989).
Ad.3. Penerapan hukum acara yang terlalu
formal dan kaku
Penerapan hukum
materiil dan hukum acara yang terlalu formal dan kaku akan menjadi kendala
dalam penyelsaian sengketa ekonomi syari’ah karena akan berakibat tidak
fleksibelnya penyelesaian sengketa dan banyak hal yang justru sebenarnya bisa
diselesaikan tetapi menjadi terhambat akibat penerapan hukum materiil dan hukum
acara yang terlalu formal dan kaku. Untuk itu, hakim harus menerapkan hukum
secara luwes dan lentur dengan berpegang pada asas, fungsi, dan tujuan hukum
itu sendiri bukan pada teks hukum yang formal dan kaku. Secara filosofis,
penegakan hukum pada hakikatnya adalah menegakkan asas, fungsi dan tujuan hukum,
bukan menegakkan teks hukum. Bahkan demi menegakkan asas, fungsi, dan tujuan
hukum, hakim berwenang untuk menyimpang dari teks hukum yang ada. Kesemuanya
itu harus dijelaskan dalam putusan hakim. Kecuali apabila teks hukum itu
berfungsi melindungi hal-hal yang bersifat prinsipiil karena untuk melindungi
nilai-nilai kebenaran, agama (aqidah), ideologi, hak asasi manusia, lingkungan
hidup, kepastian hukum untuk kepentingan publik, dan sebagainya, maka hukum harus diterapkan
secara imperatif. Hal ini karena asas, fungsi, dan tujuan hukum hanya bisa
terlindungi dengan menegakkan teks hukum yang bersangkutan.
Ad.4. Tidak adanya komunikasi timbal balik
yang harmonis dan fleksibel
Salah satu
kelemahan proses peradilan adalah tidak adanya komunikasi yang harmonis dan
fleksibel antara hakim dengan pencari keadilan dan antara para pihak itu
sendiri. Hal ini diakibatkan oleh budaya persidangan yang dilakukan secara
tertulis dengan meninggalkan asas oral debat. Padahal sebenarnya proses
persidangan tertulis pun tidak dilarang, namun tetap diperlukan adanya dialog
langsung antara pihak-pihak dan hakim untuk menyempurnakan proses sidang secara
tertulis tersebut. Untuk mengatasi hal ini, maka harus diterapkan secara tepat
dan proporsional asas resmi, adil, ramah, rapi, akomodatif, komunikatif,
manusiawi, dan tertib (RARRAKoMTib).
Ad.5. Sikap, pandangan, dan pendapat para
advokat
Sikap,
pandangan, dan pendapat para advokat yang belum tentu sejalan dengan sikap,
pandangan, dan pendapat para hakim dalam melakukan pembaharuan dalam praktik
peradilan. Hal ini akan menjadi kendala dalam praktik akibat dari perbedaan
kepentingan pada masing-masing pihak. Oleh sebab itu sudah seharusnya dijalin
komunikasi pemikiran baru antara hakim dan para advokat sehingga mereka
memiliki visi dan misi yang sama, yaitu bagaimana menyelesaikan sengketa secara
tuntas, final, dan memuaskan, jadi, bukan untuk memenangkan perkara. Hakim dan
advokat harus memiliki visi dan misi yang sama meskipun dalam posisi yang
berbeda.
Demikian tadi
telaah materi terkait penyelesaian sengketa perbankan syariah di Pengadilan
Agama pada khususnya dan pada umumnya melingkupi semua aspek ekonomi syari’ah
seperti dalam penjelasan pasal 49 huruf i Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006.
VII. KESIMPULAN
1. Sejak di lounching tahun 1991 sampai sekarang perbankan
syariah telah tumbuh dan berkembang
dengan pesat, serta sebagai salah satu
alternatif perbankan yang telah teruji mampu bertahan dalam badai krisis
ekonomi global dan turut andil dalam pembangunan ekonomi secara nasional.
2. Aspek hukum yang melingkupi Perbankan syari’ah di
Indonesia telah pada tahap yang cukup baik dengan tidak adanya pilihan hukum
dengan dikabulkannya yudisial review oleh
Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 pasal 55 ayat (2) Undang-undang No.21 tahun 2008 tentang Perbankan syari’ah,
dengan perangkat peraturan perundang-undangan
yang cukup memadai serta aspek penyelesaian sengketa, baik melaluai lembaga non
litigasi/ ADR ataupun Lembaga Peradilan/ Litigasi (Peradilan Agama).
VIII. SARAN-SARAN
1. Bank Indonesia Cq. lembaga perbankan syari’ah: Sangat
diperlukan dalam rekrutmen praktisi ekonomis syari’ah adalah tenaga ahli di bidang perbankan
syari’ah tentu dengan indikator formalnya adalah alumni program studi ekonomi
syari’ah baik dari universitas islam ataupun dari universitas umum untuk
menigkatkan SDM pada Bank Umum Syari’ah (BUS) atau Unit Usaha Syari’ah (UUS)
serta lembaga Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) juga lembaga-lembaga
ekonomi syari’ah lainnya.
2. Kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia Cq. Balitbang
Diklat Kumdil MA-RI: Peningkatan sumberdaya manusia aparat Pengadilan Agama harus selalu ditingkatkan secara
berkesinambungan di bidang hukum perbankan syari’ah khususnya dan ekonomi
syariah pada umumnya, meskipun telah banyak praktisi (hakim-hakim Peradilan
Agama) yang telah mempunyai sertifikat penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah
dari Badan Diklat dan Penelitian Hukum
dan Peradilan Mahkamah Agung Republik Indonesia (Balitbang Diklat kumdil
MA-RI), serta lulusan Hukum Bisnis dan atau Ekonomi syari’ah untuk S1, S2 atau
Bahkan S3.
3. Kepada Pemerintah RI dan Dewan Perwakilan Rakyat RI:
Segera diundangkannya hukum formil ekonomi syari’ah, sebagai pedoman para
hakim, advokad, akademisi serta masyarakat pencari pada umumnya, terkait
penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah
DAFTAR PUSTAKA
A Mukti Arto, Garis
Batas Kekuasaan Pengadilan Agama Dan Pengadilan Negeri Penerapan Asas
Personalitas Keislaman Sebagai Dasar Penentuan Kekuasaan Pengadilan Agama,
Varia Peradilan Majalah Hukum Tahun Ke XXI No. 253 Desember 2006
A Mukti Arto,
Praktek Perkara Perdata Di Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar, Cet .I.,1996.
Abdul Manan, Penyelesaian
Sengketa Ekonomi Syari’ah Sebuah Kewenangan Baru Peradilan Agama, Makalah
pada Diskusi Panel Fakultas Hukum Universitas Yarsi, Jakarta 14 Maret 2007,
tidak dipublikasikan.
Abdul Wahab
Kholaf, Ilmu Ushulul Fiqhi, Terjemah Noer Iskandar Al-Barsany, Kaidah-Kaidah
Hukum Islam , PT Raja Grafindo Persada, Cet.VI, Tahun 1996 Hal.41.
Achmad Jauhari,
Regulasi Di Bidang Arbitrase Dan Peradilan Ekonomi Syari’ah, Makalah
pada Ijtima’ Sanawi Dewan Syari’ah Nasional-MUI, di Cisarua Bogor tanggal 8
September 2006.
Adam dan Rahmat
Bastian, Ketentuan Dan Dokumentasi Hukum Di Pengadilan Niaga Dan Kurator
Serta Pengurus, Jembar Inti Karya, Jakarta, 1999
Adriani Sutedi,
Pasar Modal Syari’ah, Sarana Investasi Keuangan Berdasarkan Prinsip Syari’ah,
Sinar Grafika, Cet.I. 2012.
Ahmad Mujahidin,MH.
Prosedur Penyelesaiaan Ekonomi Syari’ah Di Indonesia, Galia Indoneisa,
Cet.I Tahun 2010
Anita Priantina
(Dosen STEI Tazkia) Perjalanan Perbankan Syariah Di Indonesia, http://ramadan.detik.com/read/2013/08/18/075234/2333137/1522/ diakses pada hari senin tanggal 07 Oktober
2013 jam.16.30
Cuhandi, Penyelesaian
Sengketa Bank Syari’ah Oleh Peradilan Agama, Makalah, tidak dipublikasikan.
Erman
Rajagukguk, Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan, Chandra Pratama,
Jakarta, 2000
Hanan Wihasto, Teknik
Dan Strategi: Pembuatan Kontrak Dalam Produk Jasa Perbankan, Makalah dalam
Pelatihan Nasional Pembuatan Kontrak Dalam Praktek Perbankan Syari’ah,
Yogyakarta 20-21 Mei 2006.
http://rri.co.id/index.php/berita/71378/Perbankan-Syariah-di-Indonesia-Tumbuh-40-Persen#.UlJ95dJGs5g diakses Senin, Pada Tanggal: 07/10/2013 16.30
WIB.
http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Perbankan+Syariah/ diakses pada hari selasa tanggal 08/10/2013
Jam 14.10 WIB.
http://www.bisosial.com/2013/03/perkembangan-perbankan-syariah-dan.html
diakses senin, Tanggal 07 Oktober 2013
Johnny Ibrahim,
Teori dan Metofdologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publising,
Malang, April 2005
Mahkamah Agung
Republik Indonesia Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama, Kompilasi Hukum
Ekonomi Syari’ah, Edisi Revisi Tahun 2011.
Mahkamah Agung
RI Direktorat Badan Peradilan Agama, Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan
Administrasi Peradilan Agama, Edisi Revisi 2010.
Mahkamah Agung,
Mediasi Dan Perdamaian, Mahkamah Agung R I. 2004.
Majalah
Peradilan Agama, Edisi I Mei 2013 Hal. 61.
Majelis Ulama
Indonesia, Himpunan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional, Diterbitkan atas
kerjsama Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia dan Bank Indonesia,
Edisi Kedua Jakarta Nopember 2003.
Muhammad
Syafi’i ntonio, Bank Syari’ah Dari Teori Ke Praktik, Gema Insani,
Jakarta, 2001,
Putusan
Mahkamah Konsitusi Nomor 93/PUU-X/2012, yang
diucapka tanggal 29 Agustus 2013.
Rifyal Ka’bah, Praktek
Hukum Ekonomi Syari’ah Di Indonesia, Makalah pada Diskusi Panel Fakultas
Hukum Universitas Yarsi, Jakarta 14 Maret 2007, tidak dipublikasikan.
Sudikno
Mertikusumo, Penemuan Hukum sebuah Pengantar, Penerbit Liberty,
Yogyakarta,1996.
Taufiq, Sumber
Hukum Ekonomi Syari’ah, Makalah yang disampaikan pada acara Semiloka
Syari’ah, Hotel Gren Alia Jakarta tanggal 20 November 2006.
Undang-Undang No.10 Tahun 1998 tentang perubahan
atas undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang
perbankan.
Undang-Undang
Nomor 7 tahun 1989 yang telah diubanh
dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006
dan yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009 tentang
Peradilan Agama.
Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Penetapan Perturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Tentang
Kepailitan Menjadi Undang-Undang.
Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
[1] http://www.bisosial.com/2013/03/perkembangan-perbankan-syariah-dan.html diakses senin, Tanggal 07 Oktober
2013 pukul 16;30 WIB.
[2] Setelah resmi diluncurkan
(produk-produk pasar modal syari’ah) pada tanggal 14 maret 2003,
instrumen-instrumen pasar modal berbasis syari’ah yang telah terbit sampai dengan saat ini adalah: saham,
obligasi syari’ah (sukuk), dan reksa dana syariah.lihat: Adriani
Sutedi,SH.,MH., Pasar Modal Syari’ah, Sarana Investasi Keuangan Berdasarkan
Prinsip Syari’ah, Sinar Grafika, Cet.I. 2012.hal.4-8.
[3] Untuk Mengetahui Lebih Lanjut,
Dapat Dibaca Dalam Asas-Asas Akad: Mahkamah Agung Republik Indonesia Direktorat
Jendral Badan Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah, Tahun
2011, Edisi Revisi, Hal.15-16.
[4] Bagi seorang muslim kegiatan
ekonomi adalah bagian dari ibadah mengingat pentingnya hal tersebut, al-Qur’an
telah mengantur dalam 70 ayat: baik hal tersebut terkait muamalat antara
perorangan, masyarakat dan persekutuan, seperti jual beli, sewa-menyewa, gadai,
pertanggungan syirkah, utang-piutang, menenuhi janji secra disiplin dan lainya.
Lihat: Prof Dr. Abdul Wahab Kholaf, Ilmu Ushulul Fiqhi, Terjemah Noer
Iskandar Al-Barsany, Kaidah-Kaidah Hukum Islam , PT Raja Grafindo
Persada, Cet.VI, Tahun 1996 Hal.41.
[5] Bank Muamalat, Annual Report (Jakarta: 1999) Dikutip Oleh Muhammad
Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah Dari Teori Ke Praktik, Gema Insani,
Jakarta, 2001, Hal.25.
[6] Untuk mengetahui lebih detailnya
dapat dilihat dalam Undang-Undang No.10 Tahun 1998 tentang
perubahan
atas undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan.
[7] Pertumbuhan ini termasuk sangat pesat,lihat:http://rri.co.id/index.php/berita/71378/Perbankan-Syariah-di-Indonesia-Tumbuh-40-Persen#.UlJ95dJGs5g diakses Senin, Pada Tanggal: 07/10/2013 16.30 WIB
[8] http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Perbankan+Syariah/ diakses pada hari selasa tanggal 08/10/2013 Jam 14.10 WIB
[9] Anita Priantina (Dosen STEI Tazkia) Perjalanan
Perbankan Syariah Di Indonesia, http://ramadan.detik.com/read/2013/08/18/075234/2333137/1522/ diakses pada hari senin tanggal 07 Oktober
2013 jam.16.30
[11] Untuk mengetahui secara lengkap dapat dibaca putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 93/PUU-X/2012, yang diucapka tanggal 29 Agustus
2013.
[12]
Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah. Op.Cit.
[15] Mahkamah Agung RI Direktorat Badan Peradilan Agama, Pedoman Pelaksanaan
Tugas Dan Administrasi Peradilan Agama, Edisi Revisi 2010. Hal 56. Lihat
pula Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989
yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
3 tahun 2006 dan yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 50 tahun
2009 tentang Peradilan Agama.
[18] Anita Priantina, Op.Cit.
[20] Lihat Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Di Pengadilan Agama,
Pustaka Pelajar, Cet .I., 1996, Hal.30-38
[21] Salah Satu Contonya Buku Karya Dr.Ahmad Mujahidin,MH. Prosedur
Penyelesaiaan Ekonomi Syari’ah Di Indonesia, Galia Indoneisa, Cet.I Tahun
2010
Comments
Post a Comment