EKONOMI SYARIAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL DAN DAERAH
PERAN EKONOMI SYARIAH DALAM PEMBANGUNAN
NASIONAL DAN DAERAH
OLEH
Nur Moklis
I.
PENDAHULUAN
Peran lembaga keuangan adalah sangat penting untuk
menggerakkan berbagai bidang dalam sektor riil, baik dalam skala nasional,
regional maupun internasional. Pada saat ini perkembangan ekonomi
syariah begitu pesat di dunia, tak terkecuali di Indonesia. Bahkan di berbagai benua, seperti Amerika, Eropa, Afrika,
Australia dan Asia mulai berbondong-bondong mengkaji ekonomi syariah. Beberapa
negara ingin mendeklarasikan dirinya sebagai pusat ekonomi syariah di
masing-masing kawasan regional
bahkan tingkat Internasional[1].
Hal itu merupakan dampak sistem kapitalisme yang dibanggakan
dapat menjadi antibodi dari berbagai krisis ternyata justru menadi virus dari
krisis itu sendiri. Sudah berbagai krisis menimpa dunia, pada tahun 1998, 2008,
dan pada tahun 2012 pun masih terjadi krisis, seperti krisis di Asia, Amerika
dan Eropa yang belum lama ini terjadi.
Ternyata ekonomi syariah mampu menahan
krisis ekonomi, hal ini sudah teruji dan bisa dirasakan masyarakat. Contohnya
ketika krisis pada tahun 1998 di Indonesia, banyak bank-bank konvensional
mengalami likuidasi, justru Bank Muamalat yang memiliki prinsip ekonomi syariah
bisa tetap bertahan pada zamannya.
Pada tahun 2008 ketika terjadi krisis
di Amerika, ternyata Indonesia yang sedang mengembangkan ekonomi syariah tidak
terkena dampak yang signifikan dari krisis tersebut. Pada tahun 2012 beberapa
Negara di eropa seperti Yunani, Irlandia, Spanyol, Portugal dan Italia terkena
badai krisis. Tapi ternyata ada satu Negara di Eropa yang masih bertahan yaitu
Inggris. Ternyata Inggris merupakan Negara yang sedang mengembangkan ekonomi
syariah dan Inggris menyatakan sebagai pusat ekonomi syariah di eropa.
Adapun di Indonesia, perkembangan ekonomi syariah saat ini begitu pesat,
ini terlihat dari berbagai kemunculan industri keuangan syariah seperti
asuransi syariah, perbankan syariah, pasar modal syariah[2],
koperasi syariah, dan lain sebagainya. Hingga banyak bermunculan pendidikan tinggi maupun menengah
yang membuka jurusan ekonomi syariah serta banyaknya organisasi dan asosiasi
ekonomi syariah.
II.
LATAR BELAKANG
Jika dilihat uraian diatas keberadaan perbankan syari’ah
adalah sangat urgen bagi masyarakat, bangsa dan negara Indonesia. Disisi lain
masyarakat Indoneia sangat merindukan lembaga keuangan yang bebas riba, bebas
gharar, adanya transparansi, adanya kesetaraan, saling menguntungkan dan yang
tidak kalah penting adalah sebab yang halal, tidak bertentangan dengan hukum,
tidak dilarang hukum dan tidak haram[3]. Masyarakat mempunyai
ekpektasi yang sangat tinggi terhadap keberadaan bank syari’ah dan
lembaga-lembaga keuangan syari’ah serta bisnis yang berasas syari’ah lainnya karena
selain bebas riba yang merupakan larangan dalam beragama juga mampu memberikan
rasa aman secara spiritual dan juga financial, namun karena terbatasnya
informasi yang dapat diakses oleh masyarakat luas, serta sedikitnya referensi
yang tersedia, apalagi diperkeruh sebagian pakar ekonomi yang pesimistik dan
tidak memahai aspek ekonomi syariah dalam dunia bisnis, sehingga sebagian
masyarakat berprinsip lebih baik melihat dan menunggu dulu tentang kredibilitas
dan aspek hukum lembaga-lembaga ekonomi syari’ah ini.
Berdasarkan fenomena tersebut penulis berusaha
mendiskripsikan secara ringkas namun gamblang terkait ekonomi syariah dan aspek
hukum[4] yang melingkupinya jika
terjadi sengketa serta peran ekonomi syariah dalam pembangunan Nasional.
III.
PERMASALAHAN
Berdasarkan
uraian diatas, maka penelaahan ekonomi syariah di Indonesia akan mengulas
perkembangan, aspek hukum yang melingkupinya dan peranannya dalam pembangunan
nasional sehingga masyarakat mendapatkan informasi yang memadai terkait hal
tersebut. Untuk mempertajam telaah makalah ini, perlu dititikberatkan untuk
menjawab tiga pertanyaan sebagai berikut ini:
a.
Bagaimana Perkembangan Ekonomi Syaria’ah
di Indonesia sampai saat ini?
b.
Bagaimana aspek hukumnya jika terjadi
sengketa?
c.
Bagaimana peranan ekonomi syariah dalam
pembangunan nasional dan daerah?
IV.
MENGENAL EKONOMI SYARI’AH
Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah (KHES) yang diberlakukan sebagai hukum materiil Pengdilan Agama berdasarkan
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2008 ekonomi syariah adalah usaha atau
kegiatan yang dilakukan oleh orang perorang, kelompok orang, badan usaha yang
berbadan hukum atau tidak berbadan hukum dalam rangka memenuhi kebutuhan yang
bersifat komersal dan tidak komersial menurut prinsip syari’ah[5].
Adapun dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006, ekonomi syari'ah
adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari'ah[6], yang dimaksud dengan ekonomi syariah antara lain
meliputi:[7]
1. Bank Syari’ah;
2. Lembaga Keuangan
Mikro Syari’ah;
3. Asuransi Syari’ah;
4. Reasuransi
Syari’ah;
5. Reksa Dana Syari’ah;
6.
Obligasi Syari’ah Dan Surat Berharga
Berjangka Menengah Syari’ah;
7.
Sekuritas
Syari’ah;
8.
Pembiayaan
Syari’ah;
9. Pegadaian
Syari’ah;
10.
Dana Pensiun
Lembaga Keuangan Syari’ah; Dan
11.
Bisnis Syari’ah.
V.
PERKEMBANGAN EKONOMI SYARIA’AH DI
INDONESIA
Perkembangan ekonomi
syari’ah yang sangat menonjol diantara bisnis syari’ah yang lainnya adalah
perbankan syariah, sehingga penulis berpendapat akan pentingnya me-riview
sedikit tentang perkembangan perbankan syari’ah di Indonesia secara ringkas
dari awal berdirinya pada tahun 1991 sampai akhir tahun 2013. Dengan demikian
akan bisa mendeskripsikan secara jelas
perkembangan perbankan syari’ah dari tahun-ketahunnya. Hal ini sangat penting guna dikaitkan pada rumusan
masalah yang kedua terkait aspek hukum penyelesaian sengketa di peradilan agama[8],
yang tentunya meliputi perbankan syari’ah yang sekarang ini sangat disorot
publik Indonesia dan Internasional.
Pada tanggal 01 Mei 1992 Bank
Muamalat Indonesia mulai beroperasi dengan modal awal Rp. 106.126.382.000.
hingga tahun 1999 Bank Muamalat Indonesia telah memiliki outlet 45 lebih, yang
tersebar di Jakarta, Bandung, Semarang, Balikpapan dan Makasar[9].
Pada tahun 1998, dengan diundangkannya Undang-Undang No.10 Tahun 1998
tentang perubahan atas
undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang
perbankan, telah diatur
secara terperinci terkait jenis-jenis usaha yang dapat diimplementasikan oleh
perbangkan syari’ah, cara membuka cabang syari’ah bahkan mengkonversi dari bank
konvensioal ke dalam bank syari’ah[10].
Pada tahun 1999, Bank Syari’ah Mandiri (BSM) adalah bank pertama milik
pemerintah yang dikonversi dari bank konvensional menjadi Bank Umum Syari’ah.
Di akhir tahun 1999 BSM memiliki
total aset berkisar 2-3 Trilyun dengan lebih dari 20 cabang. Pada Akhir tahun
2000, setidaknya ada 9 Bank Umum Konvensional yang membuka cabang Syari’ah,
yaitu: Bank IFI, Bank Niaga, Bank BNI ’46, Bank BTN, Bank Mega, Bank BRI, Bank
Bukopin, BPB Jabar dan BPD Aceh.
Perbankan Syariah di
Indonesia mengalami pertumbuhan 30 sampai 40 persen per tahun. Perkembangan
perbankan syariah selama dua dekade hingga kini, telah memiliki aset senilai Rp
200 triliun yang dikelola oleh 11 bank umum, 24 unit usaha syariah dan 160 Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS), dengan pangsa pasar mencapai 4,67 persen[11].
Pengembangan sistem perbankan
syariah di Indonesia dilakukan dalam kerangka dual-banking system atau sistem
perbankan ganda dalam kerangka Arsitektur Perbankan Indonesia (API), untuk
menghadirkan alternatif jasa perbankan yang semakin lengkap kepada masyarakat Indonesia[12].
Secara bersama-sama, sistem perbankan syariah dan perbankan konvensional secara
sinergis mendukung mobilisasi dana masyarakat secara lebih luas untuk
meningkatkan kemampuan pembiayaan bagi sektor-sektor perekonomian nasional.
Karakteristik sistem perbankan
syariah yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil memberikan
alternatif sistem perbankan yang saling menguntungkan bagi masyarakat dan bank,
serta menonjolkan aspek keadilan dalam bertransaksi, investasi yang beretika,
mengedepankan nilai-nilai kebersamaan dan persaudaraan dalam berproduksi, dan
menghindari kegiatan spekulatif dalam bertransaksi keuangan. Dengan menyediakan
beragam produk serta layanan jasa perbankan yang beragam dengan skema keuangan
yang lebih bervariatif, perbankan syariah menjadi alternatif sistem perbankan
yang kredibel dan dapat dinimati oleh seluruh golongan masyarakat Indonesia
tanpa terkecuali.
Dalam konteks pengelolaan perekonomian makro, meluasnya
penggunaan berbagai produk dan instrumen keuangan syariah akan dapat merekatkan
hubungan antara sektor keuangan dengan sektor riil serta menciptakan
harmonisasi di antara kedua sektor tersebut. Semakin meluasnya penggunaan produk dan instrumen syariah
disamping akan mendukung kegiatan keuangan dan bisnis masyarakat juga akan
mengurangi transaksi-transaksi yang bersifat spekulatif, sehingga mendukung
stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan, yang pada gilirannya akan
memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pencapaian kestabilan harga
jangka menengah-panjang.
Sekarang, jumlah Bank Umum Syariah
(BUS) telah mencapai 11 unit dan Unit Usaha Syariah (UUS) mencapai 24 unit.
Memang, jumlah ini tidak mengalami perubahan sejak tahun 2011. Namun, jumlah
jaringan kantor semakin meningkat. Jika pada Bulan April 2012 jumlah kantor
mencapai 1.457 unit, pada bulan yang sama di tahun 2013 jumlah ini bertambah
menjadi 1.858 unit. Perluasan jaringan kantor tersebut juga telah mampu
meningkatkan pengguna bank syariah. Hal tersebut dapat dilihat dari peningkatan
jumlah total rekening pembiayaan sebesar 3,31 juta rekening. Jumlah rekening di
tahun sebelumnya tercatat 10,83 juta rekening dan tahun ini meningkat menjadi
14,14 juta rekening[13].
Dari data statistik perbankan
syariah BI, per April 2013 total aset perbankan syariah telah menembus angka
Rp. 207,800 triliun. Dibandingkan periode satu tahun seblumnya, aset perbankan
syariah telah mengalami pertumbuhan sebesar 44%. Angka pembiayaan telah
mencapai Rp.163,407 triliun. Penghimpunan dana pihak ketiga telah mencapai
Rp.158,519 triliun. Fungsi intermediasi perbankan syariah pun semakin
meningkat. FDR per April 2013 mencapai 103,08%. Angka ini meningkat dari tahun
sebelumnya yang mencapai 95,39%. Secara total, pangsa pasar perbankan syariah
telah mencapai 4.86%.[14]
Dengan telah diberlakukannya
Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang terbit tanggal 16
Juli 2008, maka pengembangan industri perbankan syariah nasional semakin
memiliki landasan hukum yang memadai dan akan mendorong pertumbuhannya secara
lebih cepat lagi. Dengan progres perkembangannya yang impresif, yang mencapai
rata-rata pertumbuhan aset lebih dari 65% pertahun dalam lima tahun terakhir,
maka diharapkan peran industri perbankan syariah dalam mendukung perekonomian
nasional akan semakin signifikan. Apalagi setelah dikabulkannya yudisial review oleh Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012
pasal 55 ayat (2) Undang-undang No.21 tahun 2008 tentang Perbankan
syari’ah, yang menghilangkan dualisme litigasi dalam sengketa perbankan
syari’ah, sehingga peradilan agama menjadi satu-satunye lembaga litigasi tempat
penyelesaian sengketanya[15].
VI.
ASPEK HUKUM EKONOMI SYARI’AH
1). Tatacara Penyelesaian Sengketa Ekonomi
Syari’ah Pada Pengadilan Agama.
Apabila perkara ekonomi
syari’ah diajukan ke Pengadilan Agama, maka Pengadilan Agama wajib memeriksa,
memutus dan menyelesaikannya secara profesional, yakni pertama:
dengan proses yang sederhana, cepat, dan
biaya ringan; kedua: dengan pelayanan yang prima, yaitu pelayanan secara
resmi, adil, ramah, rapi, akomodatif, manusiawi, dan tertib; dan ketiga:
dengan hasil (keputusan) yang tuntas, final, dan memuaskan.
Dalam menyelesaikan perkara
ekonomi syari’ah, maka Pengadilan Agama harus menjalankan fungsi holistik
pengadilan, yaitu sebagai pelayan hukum dan keadilan kepada para pencari
keadilan, sebagai penegak hukum dan keadilan terhadap perkara yang dihadapi,
dan sebagai pemulih kedamaian antara pihak-pihak yang bersengketa.
Tugas pokok hakim adalah
menegakkan hukum dan keadilan serta memulihkan hubungan sosial antara
pihak-pihak yang bersengketa melalui proses peradilan[16].
Sebagai penegak hukum, hakim berkewajiban untuk memeriksa (mengkonstatir)
apakah akad (perjanjian) antara para pihak telah dilakukan sesuai dengan
ketentuan syari’ah Islam, yakni memenuhi syarat dan rukun sahnya suatu
perjanjian yang berupa: 1. asas
kebebasan berkontrak, 2. asas persamaan dan kesetaraan, 3. asas
keadilan, 4. asas kejujuran dan kebenaran, 5. asas tidak mengandung unsur riba dengan segala
bentuknya, 6. asas tidak ada unsur gharar atau tipu daya, 7. asas
tidak ada unsur maisir atau spekulasi, 8. asas tidak ada unsur dhulm
atau ketidak adilan, 9. asas tertulis, dan lain sebagainya sesuai
dengan obyek (jenis) kegiatan ekonomi syari’ah tertentu. Apabila perjanjian
(akad) tersebut telah memenuhi syarat dan rukunnya maka perjanjian (akad)
tersebut adalah sah dan mempunyai kekuatan hukum. Namun jika ternyata tidak
memenuhi syarat dan rukunnya, maka akad tersebut tidak sah dan karenannya tidak
mempunyai kekuatan hukum sehingga tidak mengikat kedua belah pihak. Dalam hal
ini, maka hakim karena jabatannya berwenang untuk mengesampingkan bagian-bagian
yang tidak sesuai (menyimpang) dari syarat rukunnya tersebut untuk kemudian
mengambil langkah-langkah yang sejalan dengan ketentuan syari’ah Islam dan
mengembalikan kepada asas-asas tersebut. Asas-asas yang bersifat dwangen
recht ditegakkan secara imperatif, sedangan asas-asas yang bersifat anvullen
recht ditegakkan secara fakultatif.
Sebagai penegak keadilan, hakim
wajib memeriksa pokok gugatan dengan membuktikan (mengkonstatir) dalil-dalil
gugatan yang dijadikan dasar tuntutan (petitum). Hakim harus membuktikan
kebenaran fakta-fakta yang dijadikan dasar gugatan, menetapkan siapa-siapa yang
terbukti melakukan wanprestasi untuk kemudian menghukum yang bersangkutan untuk
memenuhi prestasi yang seharusnya ia lakukan agar pihak lain tidak dirugikan
dan terciptalah rasa keadilan antara kedua belah pihak.
Sebagai pemulih hubungan sosial
(kedamaian), maka hakim wajib menemukan apa yang menjadi penyebab timbulnya
sengketa antara kedua belah pihak. Suatu sengketa dapat saja timbul karena:
(1). kesalahpahaman, (2). perbedaan penafsiran, (3). ketidakjelasan perjanjian
(akad), (4). kecurangan, ketidakjujuran atau ketidakpatutan, (5).
ketersinggungan, (6). kesewenang-wenangan atau ketidakadilan, (7).
ketidakpuasan, (8). kejadian tak terduga, (9). prestasi tidak sesuai dengan
penawaran, (10). presatasi tidak sesuai dengan spesifikasinya, (11). prestasi
tidak sesuai dengan waktunya, (12). prestasi tidak sesuai dengan aturan main yang
diperjanjikan, (13). prestasi tidak sesuai dengan layanan atau birokrasi yang
tidak masuk dalam akad, (14). lambatnya proses kerja, (15). atau wanprestasi
sepenuhnya, dan lain sebagainya. Dengan mengetahui apa penyebab timbulnya
sengketa maka hakim akan dapat memilih dan menemukan cara yang tepat untuk
menyelesaikan sengketa antara kedua belah pihak.
Tugas Pengadilan Agama bukan
sekedar memutus perkara melainkan menyelesaikan sengketa sehingga terwujud
pulihnya kedamaian antara pihak-pihak yang bersengketa, tercipta adanya rasa
keadilan pada masing-masing pihak yang berperkara, dan terwujud pula tegaknya
hukum dan kebenaran pada perkara yang diperiksa dan diputus tersebut.
Dengan berpegang pada asas-asas
proses penyelesaian perkara yang baik (A2 P3 B), hakim menyelesaikan perkara
dengan berpedoman pada hukum acara perdata yang ada dengan sedikit penyesuaian
dengan karakteristik sengketa ekonomi syari’ah. Proses peradilannya dilakukan
sesuai tatacara dalam hukum acara perdata yang berlaku pada Pengadilan Agama.
Proses penyelesaian perkara
ekonomi syari’ah dilakukan hakim dengan tata urutan sebagai berikut:
1.
Hakim memeriksa apakah syarat administrasi perkara telah
tercukupi atau belum. Administrasi perkara ini meliputi berkas perkara yang di
dalamnya telah ada panjar biaya perkara, nomor perkara, penetapan majelis
hakim, dan penunjukan panitera sidang. Apabila syarat tersebut belum lengkap
maka berkas dikembalikan ke kepaniteraan untuk dilengkapi, apabila sudah
lengkap maka hakim menetapkan hari sidang dan memerintahkan kepada juru sita
agar para pihak dipanggil untuk hadir dalam sidang yang waktunya telah
ditetapkan oleh hakim dalam surat Penetapan Hari Sidang (PHS);
2.
Hakim memeriksa syarat formil perkara yang meliputi
kompetensi dan kecakapan penggugat, kompetensi (kewenangan) Pengadilan Agama
baik secara absolut maupun relatif, ketepatan penggugat menentukan tergugat
(tidak salah menentukan tergugat), surat gugatan tidak obscuur, perkara yang
akan diperiksa belum pernah diputus oleh pengadilan dengan putusan yang sudah
berkekuatan hukum tetap (tidak ne bis in idem), tidak terlalu dini,
tidak terlambat, dan tidak dilarang oleh undang-undang untuk diperiksa dan
diadili oleh Pengadilan.
3.
Apabila ternyata para pihak telah terikat dengan
perjanjian arbitrase, maka Pengadilan Agama tidak berwenang memeriksa dan
mengadilinya (Pasal 3 UU No.30 Tahun 1999).
4.
Apabila syarat formil telah terpenuhi berarti hakim dapat
melanjutkan untuk memeriksa pokok perkara. Dalam persidangan ini, tugas pertama
dan utama hakim adalah berusaha mendamaikan kedua belah pihak sesuai dengan
PERMA Nomor 2 Tahun 2003 dan PERMA Nomor 1 Tahun 2002.
Apabila tercapai perdamaian, maka hakim membuat akta
perdamaian. Apabila tidak dapat dicapai perdamaian maka pemeriksaan dilanjutkan
ke tahap berikutnya.
5.
Hakim melakukan konstatiring terhadap dalil-dalil gugat
dan bantahannya melalui tahap-tahap pembacaan surat gugatan, jawaban tergugat,
replik, duplik, dan pembuktian.
6.
Hakim melakukan kualifisiring melalui kesimpulan para
pihak dan musyawarah hakim.
7.
Hakim melakukan konstituiring yang dituangkan dalam surat
putusan.
2). Kendala-Kendala Dalam Penyelesaian Sengketa
Ekonomi Syari’ah Melalui Pengadilan Agama
Dalam rangka memberikan pelayan
yang terbaik kepada masyarakat dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah
terdapat beberapa kendala yang harus diatasi. Oleh sebab itu, perlu ada
peneyesuaian-penyesuaian praktik peradilan dalam menyelesaikan sengketa ekonomi
syari’ah. Kendala-kenadala tersebut, antara lain, adalah:
1.
Belum adanya perangkat hukum yang memadai sebagai acuan
dalam menyelesaikan sengketa ekonmi syari’ah pada Pengadilan Agama, Kususnya
Hukum acara Ekonomi Syari’ah, yang kemungkinan baru akan dikeluarkan Mahkamah
Agung RI dan akan disosialisaikan oleh badan peradilan agama (badilag) awal
tahun 2014.
2.
Penerapan asas sidang terbuka untuk umum dalam
penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah.
3.
Penerapan hukum materiil dan hukum acara yang terlalu
formal dan kaku.
4.
Tidak adanya komunikasi timbal balik yang harmonis dan
fleksibel antara hakim dengan para pihak dan antara pihak-pihak itu sendiri
sehingga tidak dimungkinkan adanya sistem negosiasi dan konsisliasi adalam
porses penyelesaian sengketa.
5.
Sikap, pandangan, dan pendapat para advokat yang
mendampingi kliennya yang belum tentu sejalan dengan sikap, pandangan, dan
pendapat Pengadilan dalam pembaharuan paradigma peradilan yang modern, mandiri,
dan profesional.
Ad.1. Belum adanya perangkat hukum yang memadai
Seperti telah dikemukakan bahwa
pelimpahan kekuasaan baru kepada Pengadilan Agama di bidang ekonomi syari’ah
tidak disertai pula perangkat hukumnya, khususnya hukum formil sampai tahun
ini. Hal ini merupakan kendala tersendiri karena belum ada acuan hukum yang
baku, baik bagi hakim ataupun para pelaku ekonomi syari’ah. Sambil menunggu
regulasi hukum formil di bidang ekonomi syari’ah yang insyaallah akan
dikeluarkan awal tahun 2014 ini, maka Hakim dapat memanfaatkan berbagai
literatur penyelesaian sengketa melalui litigasi yang telah dikarang para pakar
hukum acara peradilan agama[17].
Adapun untuk hukum materiil, selain perundang-undangan diatas hakim dalam
rangka memperkaya lingkup hukum materiilnya juga dapat menempuh langkah-langkah
sebagai berikut;
1.
Mengambil hukum tidak tertulis sebagai hukum terapan
seperti hukum-hukum fiqh Islam, fatwa-fatwa Dewan Syari’ah Nasionanl, dan
Peraturan Bank Indonesia.
2.
Mengadopsi peraturan perundang-undangan yang sejenis
melalui penafsiran argumenntum per analogian (analogi) dan pemanfaatan
asas lex posterior derogat legi
apriori.
3.
Berijtihad sendiri untuk menemukan hukum yang diperlukan
dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah
Ad.2. Penerapan asas sidang terbuka untuk umum
Dalam rangka memberikan
pelayanan yang terbaik kepada masyarakat pencari keadilan dalam perkara
sengketa ekonomi syari’ah, ada beberapa hal yang perlu mendapat pertimbangan
dari Pengadilan Agama dalam penerapan asas sidang pemeriksaan Pengadilan
terbuka untuk umum. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan tersebut adalah:
1.
Salah satu hal yang pada umumnya kurang disukai oleh
pencari keadilan atau pihak-pihak yang berperkara adalah bahwa sidang
pemeriksaan perkara di Pengadilan bersifat terbuka untuk umum sehingga hal ini
akan membuat mereka merasa malu jika permasalahannya diketahui publik.
2.
Hal ini juga akan berpengaruh secara psikologis dalam
proses penyelesaian perkara dan biasanya akan semakin mempertajam persengketaan
karena masing-masing tentu akan menjaga image, menjaga nama baik diri dan
perusahaannya. Masing-masing pihak tentu akan berusaha menjaga kredibelitas
(nama baik) diri dan perusahaannya.
3.
Akan lebih runyam lagi jika persengketaan itu
dipublikasikan media masa. Hal ini akan berakibat masing-masing tidak berani
secara jujur mengakui kesalahan-kesalahannya atau kekurangan-kekurangannya.
Keadaan ini akan berpengaruh terhadap proses penyelesaian sengketa yang semakin
sulit dan rumit.
Untuk itu, perlu
dipertimbangkan tentang penerapan asas sidang terbuka untuk umum dalam perkara
ekonomi syari’ah ini. Berdasarkan ketentuan Pasal 59 ayat (1) UU No.7 Tahun
1989 Tentang Peradilan Agama dinyatakan bahwa: “Sidang pemeriksaan Pengadilan
terbuka untuk umum, kecuali apabila Undang-Undang menentukan lain atau jika
Hakim dengan alasan-alasan penting yang dicatat dalam berita acara sidang,
memerintahkan bahwa secara keseluruhan atau sebagian akan dilakukan dengan sidang
tertutup”. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka dimungkinkan untuk sidang
pemeriksaan sengketa ekonomi syari’ah dilakukan secara tertutup demi
kemaslahatan pihak-pihak yang berperkara. Hal-hal tersebut di atas merupakan
alasan penting dalam rangka penyelesaian sengketa.
Ada dua alasan yang kuat untuk
pelaksanaan sidang secara tertutup dalam pemeriksaan sengketa ekonomi syari’ah
ini, yaitu:
1.
Proses penyelesaian sengketa akan lebih mudah manakala
sidang dilakukan secara tertutup dengan pertimbangan-pertimbangan seperti
tersebut di atas.
2.
Penerapan asas sederhana, cepat, dan biaya ringan; asas
resmi, adil, ramah, rapi, akomodatif, komunikatif, manusiawi, dan tertib
(RARRAKoMTib); dan asas tuntas, final,
dan memuaskan akan lebih mudah dipraktikkan manakala sidang pemeriksaan
Pengadilan dilakukan secara tertutup untuk umum.
Pelaksanaan sidang tertutup ini
dilakukan atas permintaan dan kesepakatan para pihak dan harus dicatat dalam
berita acara sidang. Oleh karena itu, tidak ada salahnya jika hakim dalam pemeriksaannya
menawarkan kepada para pihak tentang kemungkinan pelaksaan sidang secara
tertutup. Hal ini dapat dianalogkan dengan sidang perkara perceraian, yaitu
untuk menjaga nama baik dan memperlancar proses penyesaian sengketa.
Pelaksanaan sidang yang tertutup untuk umum juga tidak akan merugikan pihak
lain ataupun publik pada umumnya.
Namun demikian, sidang
pembacaan putusan haruslah diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Ketentuan
ini tidak bisa ditawar-tawar lagi (Pasal 60 UU No.7 Tahun 1989).
Ad.3. Penerapan hukum acara yang terlalu formal dan kaku
Penerapan hukum materiil dan
hukum acara yang terlalu formal dan kaku akan menjadi kendala dalam penyelsaian
sengketa ekonomi syari’ah karena akan berakibat tidak fleksibelnya penyelesaian
sengketa dan banyak hal yang justru sebenarnya bisa diselesaikan tetapi menjadi
terhambat akibat penerapan hukum materiil dan hukum acara yang terlalu formal
dan kaku. Untuk itu, hakim harus menerapkan hukum secara luwes dan lentur
dengan berpegang pada asas, fungsi, dan tujuan hukum itu sendiri bukan pada
teks hukum yang formal dan kaku. Secara filosofis, penegakan hukum pada
hakikatnya adalah menegakkan asas, fungsi dan tujuan hukum, bukan menegakkan
teks hukum. Bahkan demi menegakkan asas, fungsi, dan tujuan hukum, hakim
berwenang untuk menyimpang dari teks hukum yang ada. Kesemuanya itu harus
dijelaskan dalam putusan hakim. Kecuali apabila teks hukum itu berfungsi
melindungi hal-hal yang bersifat prinsipiil karena untuk melindungi nilai-nilai
kebenaran, agama (aqidah), ideologi, hak asasi manusia, lingkungan hidup,
kepastian hukum untuk kepentingan publik,
dan sebagainya, maka hukum harus diterapkan secara imperatif. Hal ini
karena asas, fungsi, dan tujuan hukum hanya bisa terlindungi dengan menegakkan
teks hukum yang bersangkutan.
Ad.4. Tidak adanya komunikasi timbal balik yang harmonis
dan fleksibel
Salah satu kelemahan proses
peradilan adalah tidak adanya komunikasi yang harmonis dan fleksibel antara
hakim dengan pencari keadilan dan antara para pihak itu sendiri. Hal ini
diakibatkan oleh budaya persidangan yang dilakukan secara tertulis dengan
meninggalkan asas oral debat. Padahal sebenarnya proses persidangan
tertulis pun tidak dilarang, namun tetap diperlukan adanya dialog langsung
antara pihak-pihak dan hakim untuk menyempurnakan proses sidang secara tertulis
tersebut. Untuk mengatasi hal ini, maka harus diterapkan secara tepat dan
proporsional asas resmi, adil, ramah, rapi, akomodatif, komunikatif, manusiawi,
dan tertib (RARRAKoMTib).
Ad.5. Sikap, pandangan, dan pendapat para advokat
Sikap, pandangan, dan pendapat
para advokat yang belum tentu sejalan dengan sikap, pandangan, dan pendapat
para hakim dalam melakukan pembaharuan dalam praktik peradilan. Hal ini akan
menjadi kendala dalam praktik akibat dari perbedaan kepentingan pada
masing-masing pihak. Oleh sebab itu sudah seharusnya dijalin komunikasi
pemikiran baru antara hakim dan para advokat sehingga mereka memiliki visi dan
misi yang sama, yaitu bagaimana menyelesaikan sengketa secara tuntas, final,
dan memuaskan, jadi, bukan untuk memenangkan perkara. Hakim dan advokat harus
memiliki visi dan misi yang sama meskipun dalam posisi yang berbeda.
Demikian tadi telaah materi
terkait penyelesaian sengketa perbankan syariah di Pengadilan Agama pada
khususnya dan pada umumnya melingkupi semua aspek ekonomi syari’ah seperti
dalam penjelasan pasal 49 huruf i Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006.
VII.
PERAN EKONOMI SYARIAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL DAN
DAERAH
A. Sumbangan Bagi Perkembangan Ekonomi Nasional
Setidaknya ada tiga (3) hal yang menjadi sumbangan ekonomi syariah
bagi ekonomi nasional. Pertama, ekonomi syariah memberikan
andil bagi perkembangan sektor riil. Pengharaman terhadap bunga bank dan
spekulasi mengharuskan dana yang dikelola oleh lembaga-lembaga keuangan syariah
disalurkan ke sektor riil.
Kedua, ekonomi syariah lewat
industri keuangan syariah turut andil dalam menarik investasi luar negeri ke
Indonesia, terutama dari negara-negara Timur-tengah. Adanya berbagai peluang
investasi syariah di Indonesia, telah menarik minat investor dari negara-negara
petro-dollar ini untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Minat mereka terus
berkembang dan justru negara kita yang terkesan tidak siap menerima kehadiran
mereka karena berbagai ’penyakit akut’ yang tidak investor friendly,
seperti rumitnya birokrasi, faktor keamanan, korupsi, dan sebagainya.
Ketiga, gerakan ekonomi
syariah mendorong timbulnya perilaku ekonomi yang etis di masyarakat Indonesia.
Ekonomi syariah adalah ekonomi yang berpihak kepada kebenaran dan keadilan dan
menolak segala bentuk perilaku ekonomi yang tidak baik seperti sistem
riba, spekulasi, dan ketidakpastian (gharar).
B.
Industri Perbankan dan Pembangunan Ekonomi Daerah
Persoalan
yang seringkali dikeluhkan oleh UMKM adalah sulitnya mendapat kredit atau
pembiayaan dari Bank. Ada banyak alasan mengapa bank “agak pelit” menyalurkan
kredit seperti prinsip kehati-hatian (prudential) yang harus dipegang oleh bank
sehingga para pebisnis dibagi menjadi dua, bankable dan non-bankable.
Celakanya, sebagian besar UMKM masuk kategori yang kedua ini.
Di samping persoalan itu, Bank
Indonesia sudah sejak lama mengeluarkan SBI (Sertifikat Bank Indonesia) yang
menjanjikan bunga menarik kepada dunia perbankan untuk menyimpan
dana-dana yang dihimpunnya dari daerah-daerah di seluruh Indonesia. Penetapan
tingkat bunga yang menarik selalu dijadikan alasan mudah bagi
dunia perbankan untuk tidak menyalurkan dananya sebagai kredit kepada dunia
usaha. Bunga SBI ini pernah mencapai 17,5% pertahun yang tentu saja menjadi
alasan sangat kuat bagi setiap bank untuk mengirimkan dana-dana pihak ke-3 yang
dihimpun di bank-bank di daerah-daerah di seluruh Indonesia untuk dikirim ke
Jakarta. Inilah faktor penyebab rendahnya nilai LDR (Loan Deposit Ratio)
di setiap daerah, sehingga ketika banyak daerah-daerah miskin/tertinggal
berteriak mengharapkan kredit yang murah dan mudah, tokh dana-dana
perbankan yang terhimpun di daerah-daerah seperti itu justru dikirim ke kantor
pusat bank yang bersangkutan. Bank-bank yang lebih banyak mengirim dana-dana
dari daerah-daerah ke kantor pusat selalu mudah menerangkan perilaku keliru ini
karena “kesulitan menemukenali” proyek-proyek ekonomi dan bisnis yang bankable
yang dapat didanai, padahal yang benar bank-bank ini memang merasa lebih aman
menggunakan dana-dana yang dihimpun dengan dibelikan SBI. Hingga tidak heran,
dana-dana pembangunan daerah yang seharusnya digunakan untuk pengembangan
ekonomi daerah ikut ditanam di SBI karena ketidakkreatifan pemerintah daerah
dan para bankernya mencari dan merangsang potensi-potensi ekonomi di
daerahnya. menurut suatu sumber, dana desentralisasi yang ditanam di SBI
jumlahnya tidak tanggung-tanggung, yakni sekitar Rp43 triliun atau mencapai
19,5 persen dari total dana yang dibagikan ke daerah dalam bentuk dana desentralisasi
senilai total Rp220,07 triliun.
Jelas kiranya dari analisis ini
bahwa perbankan di Indonesia tidak lain daripada lembaga pencari/pengejar
untung, dan sama sekali bukan agent of development. Jika bank-bank kita
lebih banyak merupakan perusahaan yang menomorsatukan pendapatan bunga, agar
dapat membayar jasa bunga deposito yang menarik kepada deposan, bahkan
termasuk tambahan hadiah-hadiah menarik seperti mobil dan rumah-rumah mewah,
maka amat sulit menjadikan bank sebagai penggerak kegiatan ekonomi rakyat.
Akibatnya bank juga tidak mungkin berperan sebagai lembaga yang mendukung
upaya-upaya besar pemberantasan kemiskinan.
C. Perbankan Syariah sebagai Alternatif
Sebagaimana jamak diketahui, keuangan syariah adalah yang tidak
mengenal rezim bunga. Sebagai gantinya, ekonomi Islam menawarkan kerjasama yang
saling menguntungkan antara pemilik modal (shahibul mal) dengan
pengusaha (mudharib) melalui skema mudharabah atau musyarakah.
Di samping itu, kelahiran ekonomi syariah antara lain ditujukan untuk
menggerakkan ekonomi umat yang sebagian besar berada di kalangan menengah ke
bawah. Oleh karena itu, perbankan syariah sebagai bentuk implementasi konsep
ekonomi syariah juga mempunyai spirit yang sama yaitu keberpihakan kepada
sektor riil terutama usaha menengah ke bawah.
Mengingat bank syariah adalah bank tanpa bunga, maka ia tidak
dapat mengharapkan bunga SBI sebagaimana bank-bank konvensional lainnya.
Demikian juga, dana nganggur (idle money) di bank-bank syariah tidak
dapat diinvestasikan pada instrumen-insturmen keuangan berbasis bunga lainnya.
Oleh karena itu, bank syariah harus berpikir keras untuk menyalurkan dana yang
dipegangnya ke sektor non-bunga yang berbasis bagi hasil, margin, atau fee.
Kinerja perbankan syariah selama ini menunjukkan tersalurnya dana
yang dihimpun dari masyarakat ke usaha yang membutuhkan dana. Data yang dirilis
Bank Indonesia selalu menunjukkan bahwa rasio pembiayaan yang disalurkan
perbankan syariah terhadap dana pihak ketiga (DPK) atau Financing
Deposit Rasio (FDR) selalu berkisar di angka 100
persen bahkan lebih. Hal ini berarti, fungsi intermediasi yang dijalankan
perbankan syariah berjalan dengan baik. Persoalannya, dana yang dihimpun oleh
industri keuangan syariah masih sangat sedikit dibanding dengan total asset
perbankan nasional. Hingga saat ini rasio asset perbankan syariah terhadap
perbankan total asset perbankan nasioal belum berhasil menembus angka 2
persen. Artinya, meskipun FDRnya tinggi namun karena angkanya masih
sangat kecil, maka pengaruhnya terhadap ekonomi nasional belum begitu terasa,
meski banyak bukti di lapangan yang membuat kita sedikit bernafas lega.
Semangat kelahiran industri keuangan syariah di samping
untuk memenuhi dahaga masyarakat terhadap produk keuangan syariah, juga untuk
ikut mengurangi tingkat kemiskinan di masyarakat dengan mengangkat taraf
ekonomi rakyat ke arah yang lebih baik. Oleh karena itu lah, di dalam
keuangan syariah di kenal lembaga keuangan mikro syariah (BMT) yang merupakan
ujung tombak yang bersentuhan langsung dengan pebisnis dan wirausaha kecil.
Bank-bank syariah yang tidak dapat menyentuh level bisnis terendah ini karena
berbagai peraturan yang harus ditaati dapat bermitra dengan BMT-BMT dan BPRS
yang telah ada dalam penyaluran pembiayaan dan penghimpunan dana
masyarakat.
Pengembangan Bank Syariah di Indonesia jelas
bertujuan menerapkan perbankan etik yaitu tidak sekedar menjual jasa atau
produk perbankan dengan mengenakan bunga, tetapi ”bekerjasama dengan klien”
untuk memperbaiki kesejahteraan atau meningkatkan kehidupan ekonomi klien. Di
Indonesia Bank-bank desa seperti BKK di Jawa Tengah atau Lumbung Piteh Nagari
di Sumatera Barat, yang dibentuk dari bawah bersama klien, adalah Bank-bank
etik yang dimaksud. Namun sayangnya sejak liberalisasi perbankan 1983, 1988,
dan 1992, Bank-bank yang demikian telah ”dimatikan” atau “dikerdilkan”.
Pengalaman krisis perbankan 1997/1998 yang sampai kini belum teratasi telah
memberikan pelajaran pahit, mudah-mudahan berharga, bagi dunia perbankan
Indonesia. Pelajaran berharga itu adalah tidak lagi mengembangkan sistem
perbankan kapitalistik yang mendahulukan kepentingan bisnis pemilik Bank, bukan
kepetingan klien dan masyarakat luas
D. Implikasi Ekonomi Syariah terhadap Pembangunan Ekonomi
Daerah
Industri keuangan syariah di tanah air mendekati usia 20 tahun.
Sudah banyak hal yang dilakukan oleh masyarakat ekonomi syariah Indonesia untuk
mengembangkan sistem ekonomi alternatif ini yang diyakini lebih adil dan
mensejahterakan. Lembaga-lembaga pendukung pun semakin berkembang termasuk
lembaga-lembaga pendidikan ekonomi syariah yang sudah ada hampir di semua
provinsi. Lembaga-lembaga keuangan syariah pun juga sudah hampir merata di
seluruh nusantara. Sekarang mengembangkan industri keuangan syariah dan
lembaga-lembaga pendukungnya berikut peraturan perundang-undangan yang
memberikan rambu-rambu bagi pelaku ekonomi syariah pun mulai tertata[18].
Jika demikian halnya, bagaimana pengaruh ekonomi syariah terhadap
pembangunan ekonomi daerah? Untuk menjawab pertanyaan ini diperlukan suatu
penelitian yang lebih mendalam. Yang dapat kita kemukakan di sini adalah
beberapa indikator yang dapat menunjukkan adanya peranan ekonomi syariah
terhadap pembangunan daerah.
Indikator pertama yaitu semakin banyaknya bank-bank syariah
nasional yang membuka cabang di daerah-daerah. Pembukaan kantor-kantor cabang
ini tentu membawa implikasi bagi pembangunan ekonomi setempat karena adanya
aktivitas intermediasi yang dilakukan perbankan syariah yaitu menyalurkan dana
dari pihak yang surplus ke pada pihak yang shortage.
Di samping bank-bank syariah nasional, baik bank umum
syariah (BUS) maupun unit usaha syariah (UUS), bank-bank pembangunan daerah
juga ramai-ramai membuka unit usaha syariahnya. Saat ini sudah ada 11 Bank
Pembangunan Daerah (BPD) yang membuka UUS dan akan disusul oleh BPD-BPD
lainnya. Perkembangan ini diharapkan akan meningkatkan geliat pembangunan
ekonomi daerah melalui sistem keuangan syariah.
Hal selanjutnya yang tidak kalah pentingnya
adalah peranan yang dimainkan oleh lembaga-lembaga keuangan mikro dan kecil syariah
seperti BMT, Koperasi Syariah, dan BPRS yang juga hampir merata sebarannya di
seluruh tanah air. Tentu sudah banyak perananan yang
dimainkan oleh lembaga-lembaga keuangan syariah ini dan sudah banyak pula
pengaruhnya bagi perbaikan ekonomi daerah.
Lembaga-lembaga ini rajin melakukan sosialisasi ekonomi
syariah kepada masyarakat. Ekonomi syariah adalah suatu konsep ekonomi yang
mengajarkan kewirausahaan dan investasi yang etis kepada masyarakat. Dengan
demikian, masyarakat dididik untuk menjadi entreprenur-entreprenur sejati yang
berjuang mengangkat taraf hidupnya dan masyarakat lainnya ke arah yang lebih
baik.
Yang kurang sekarang adalah dukungan dari pemerintah terhadap
ekonomi syariah itu sendiri. Ekonomi syariah masih dipandang sebelah mata dan tidak
dijadkan sebagai hal yang utama. Padahal sudah banyak bukti yang menunjukkan
peranan ekonomi syariah dalam mengangkat ekonomi rakyat. Untuk itu, kita
membutuhkan dukungan yang lebih besar lagi dari pemerintah bagi pengembangan
ekonomi syariah di tanah air.
Mungkin kita perlu belajar banyak dari pemerintah Malaysia yang
memberikan dukungan yang besar bagi ekonomi syariah di sana. Sehingga tidak
heran, kita masih jauh tertinggal dari negeri jiran itu dalam bidang keuangan
syariah yang telah
terbukti menghantarkan negara jiran menjadi negara adidaya dan sangat
diperhitungkandi segi perbankan International.
VIII.
KESIMPULAN
1.
Perkembangan ekonomis syari’ah di Indonesia saat ini
sudah sangat pesat, namun jika dibanding dengan ekonomi secara nasional
persentasenya masih kalah jauh.
2.
Sengketa ekonomi syari’ah dapat diselesaikan dengan cara
litigasi ataupun nonlitigasi. Dalam hal litigasi Pengadilan Agama telah
memiliki sumberdaya yang yang sangat handal, salah satu indikatornya adalah
setiap satuan kerja memiliki minimal satu majelis hakim khusus ekonomi
syari’ah.
3.
Peranan ekonomi syari’ah dalam pembangunan nasional dan
daerah telah dapat dirasakan oleh bangsa Indonesia, salah satu indikatornya
adalah bangsa indonesia mampu terhindar dari krisis ekonomi global pada tahun
2008 dan tahun 2012.
IX.
SARAN-SARAN
1.
Bank Indonesia Cq. lembaga perbankan
syari’ah: Sangat diperlukan dalam
rekrutmen praktisi ekonomis
syari’ah adalah tenaga ahli di bidang
perbankan syari’ah tentu dengan indikator formalnya adalah alumni program studi
ekonomi syari’ah baik dari universitas islam ataupun dari universitas umum
untuk menigkatkan SDM pada Bank Umum Syari’ah (BUS) atau Unit Usaha Syari’ah
(UUS) serta lembaga Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) juga lembaga-lembaga
ekonomi syari’ah lainnya.
2.
Kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia
Cq. Balitbang Diklat Kumdil MA-RI: Peningkatan sumberdaya manusia aparat
Pengadilan Agama harus selalu
ditingkatkan secara berkesinambungan di bidang hukum perbankan syari’ah
khususnya dan ekonomi syariah pada umumnya, meskipun telah banyak praktisi
(hakim-hakim Peradilan Agama) yang telah mempunyai sertifikat penyelesaian
sengketa ekonomi syari’ah dari Badan Diklat dan Penelitian Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung Republik
Indonesia (Balitbang Diklat kumdil MA-RI), serta lulusan Hukum Bisnis dan atau
Ekonomi syari’ah untuk S1, S2 atau Bahkan S3.
3.
Kepada Pemerintah RI dan Dewan
Perwakilan Rakyat RI: Segera diundangkannya hukum formil ekonomi syari’ah,
sebagai pedoman para hakim, advokad, akademisi serta masyarakat pencari pada
umumnya, terkait penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah.
DAFTAR PUSTAKA
Adriani Sutedi,Sh.,Mh., Pasar Modal
Syari’ah, Sarana Investasi Keuangan Berdasarkan Prinsip Syari’ah, Sinar
Grafika, Cet.I. 2012.
Anita Priantina (Dosen Stei Tazkia) Perjalanan
Perbankan Syariah Di Indonesia, Http://Ramadan.Detik.Com/Read/2013/08/18/075234/2333137/1522/ Diakses Pada Hari Senin Tanggal 07 Oktober 2013
Jam.16.30
Bank Muamalat, Annual
Report (Jakarta: 1999) Dikutip Oleh Muhammad Syafi’i Antonio, Bank
Syari’ah Dari Teori Ke Praktik, Gema Insani, Jakarta, 2001,
Dr.Ahmad
Mujahidin,Mh. Prosedur Penyelesaiaan Ekonomi Syari’ah Di Indonesia,
Galia Indoneisa, Cet.I Tahun 2010
Http://Rri.Co.Id/Index.Php/Berita/71378/Perbankan-Syariah-Di-Indonesia-Tumbuh-40-Persen#.Ulj95djgs5g Diakses Senin, Pada Tanggal: 07/10/2013 16.30 WIB
Http://Www.Bi.Go.Id/Web/Id/Perbankan/Perbankan+Syariah/ Diakses Pada Hari Selasa Tanggal 08/10/2013 Jam 14.10
WIB
Http://Www.Bisosial.Com/2013/03/Perkembangan-Perbankan-Syariah-Dan.Html Diakses Senin,
Tanggal 07 Oktober 2013 Pukul 16;30 WIB.
Mahkamah Agung
Republik Indonesia Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama, Kompilasi Hukum
Ekonomi Syari’ah, Tahun 2011, Edisi Revisi,
Mukti Arto, Praktek
Perkara Perdata Di Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar, Cet .I., 1996.
Prof Dr. Abdul
Wahab Kholaf, Ilmu Ushulul Fiqhi,
Darul Qalam, Kuwait, Cet.XII, Tahun 1978.
Putusan Mahkamah
Konsitusi Nomor 93/PUU-X/2012, Yang Diucapka
Tanggal 29 Agustus 2013.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang
Perbankan.
Undang-Undang Nomor
50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama.
Undang-Undang Nomor
03 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama
Undang-Undang
Nomor.21 Tahun 2008 Perbankan Syari’ah
[1] Http://WWW.Bisosial.Com/2013/03/Perkembangan-Perbankan-Syariah-Dan.Html Diakses Senin, Tanggal 07 Oktober 2013 Pukul
16;30 Wib.
[2] Setelah Resmi Diluncurkan (Produk-Produk
Pasar Modal Syari’ah) Pada Tanggal 14 Maret 2003, Instrumen-Instrumen Pasar
Modal Berbasis Syari’ah Yang Telah Terbit
Sampai Dengan Saat Ini Adalah: Saham, Obligasi Syari’ah (Sukuk),
Dan Reksa Dana Syariah.Lihat: Adriani Sutedi,Sh.,Mh., Pasar Modal Syari’ah,
Sarana Investasi Keuangan Berdasarkan Prinsip Syari’ah, Sinar Grafika,
Cet.I. 2012.Hal.4-8.
[3] Untuk Mengetahui Lebih Lanjut, Dapat Dibaca
Dalam Asas-Asas Akad: Mahkamah Agung Republik Indonesia Direktorat Jendral
Badan Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah, Tahun 2011,
Edisi Revisi, Hal.15-16.
[4] Bagi Seorang Muslim Kegiatan Ekonomi Adalah
Bagian Dari Ibadah Mengingat Pentingnya Hal Tersebut, Al-Qur’an Telah Mengantur
Dalam 70 Ayat: Baik Hal Tersebut Terkait Muamalat Antara Perorangan, Masyarakat
Dan Persekutuan, Seperti Jual Beli, Sewa-Menyewa, Gadai, Pertanggungan Syirkah,
Utang-Piutang, Menenuhi Janji Secara Disiplin Dan Lainya. Lihat: Prof Dr. Abdul
Wahab Kholaf, Ilmu Ushulul Fiqhi,
Darul Qalam, Kuwait, Cet.Xii, Tahun 1978 Hal.83.
[5] Mahkamah Agung Republik Indonesia Direktorat
Jendral Badan Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES),
Edisi Revisi 2011, Hal.1
[6]
Penjelasan Pasal 49
Huruf (I) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Yang Telah Diubah Dengan
Undang-Undang No.50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama.
[7] Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 Yang Telah Diubah Dengan Undang-Undang No.50 Tahun 2009
Tentang Peradilan Agama.
[8] Kompetensi absolut Penyelesaian
sengkata ekonomi syariah di Pengadilan Agama diatur dalam Undang-Undang No.3 tahun 2006 Tentang Peradilan agama Pasal
49 huruf (i) dan Undang-Undang Nomor.21 tahun 2008 Perbankan syari’ah pasal 55
ayat 1 yang telah diperkuat dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012, yang diucapkan tanggal 29 Agustus
2013, yaitu terkait dikabulkannya
yudisial review yang menghilangkan dualisme litigasi (Pengadilan Agama dan
Pengadilan Negeri) dalam sengketa perbankan syari’ah, sehingga Pengadilan Agama
menjadi satu-satunya lembaga litigasi tempat penyelesaian sengketa ekonomi
syariah.
[9] Bank
Muamalat, Annual Report (Jakarta: 1999) Dikutip Oleh Muhammad Syafi’i
Antonio, Bank Syari’ah Dari Teori Ke Praktik, Gema Insani, Jakarta,
2001, Hal.25.
[10] Untuk mengetahui lebih detailnya dapat dilihat
dalam Undang-Undang
No.10 Tahun 1998 tentang perubahan atas undang-undang
nomor 7 tahun 1992 tentang
perbankan.
[11] Pertumbuhan ini termasuk sangat pesat,lihat:http://rri.co.id/index.php/berita/71378/Perbankan-Syariah-di-Indonesia-Tumbuh-40-Persen#.UlJ95dJGs5g diakses Senin, Pada Tanggal: 07/10/2013 16.30 WIB
[12] http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Perbankan+Syariah/
diakses pada hari selasa tanggal 08/10/2013 Jam 14.10 WIB
[13] Anita Priantina (Dosen STEI Tazkia) Perjalanan
Perbankan Syariah Di Indonesia, http://ramadan.detik.com/read/2013/08/18/075234/2333137/1522/ diakses pada hari senin tanggal 07 Oktober 2013
jam.16.30
[15] Untuk
mengetahui secara lengkap dapat dibaca putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 93/PUU-X/2012, yang diucapka tanggal 29 Agustus
2013.
[16] Lihat Mukti
Arto, Praktek Perkara Perdata Di Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar, Cet
.I., 1996, Hal.30-38
[17] Salah Satu
Contonya Buku Karya Dr.Ahmad Mujahidin,MH. Prosedur Penyelesaiaan Ekonomi
Syari’ah Di Indonesia, Galia Indoneisa, Cet.I Tahun 2010
[18] Telah
dilahirkanny a Undang-Undang No.3 Tahun
2006 Tentang Peradilan Agama, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang
Perbankan Syari’ah dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 yang meniadakan Choice of Court bagi sengketa
Ekonomi Syari’ah adalah bentuk keseriusan pemerintah dalam membeck-up sistem
sistem ekonomi tanpa bunga ini.
Comments
Post a Comment