LEX SPESIALIS DEROGAT LEGI GENERALY
KETENTUAN
LEX SPESIALIS DEROGAT LEGI GENERALY DALAM UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2009 TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARASI KUHP DAN UU
TIPIKOR)
OLEH
NUR MOKLIS
A.
PENDAHULUAN
Pada dasar
pokok dalam menjatuhi pidana pada orang yang telah melakuakan perbuatan pidana
adalah norma yang tidak tertulis yakni tidak dipidana jika ada kesalahan. Dasar
ini mengenai dipertanggung jawabankannnya seseorang atas perbuatan yang telah
dilakukannya (Criminal Responbility/ Criminal liability). Namun sebelum
itu, mengenai dilarang dan diancamnya suatu perbuatan yaitu mengenai perbuatan
pidana itu sendiri, mengenai criminal act juga ada dasar yang pokok yaitu asas
legalitas yaitu asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang
dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam
perundang-undangan. Biasanya asas ini dikenal dengan nullum delictum nulla
poena sine praevia lege (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan
lebih dahulu).
Asas legalitas pertama, mengandung makna bahwa
ketentuan dapat dipidananya suatu perbuatan harus terjadi melalui undang-undang
dalam arti formal atau berdasarkan kekuatan undang-undang dalam arti formal,
yang berarti undang-undang dalam arti materiil yang dibuat oleh pembentuk
undang-undang yang lebih rendah yang dikuasakan dalam arti formal untuk berbuat
demikian, sedangkan aspek asas legalitas kedua mengandung makna bahwa
pembentuk undang-undang yang lebih rendah dapat membuat peraturan pidana
selama mendapatkan legitimasi dari undang-undang dalam arti formal, tetapi
tidak boleh menciptakan sanksi pidana selain yang ditentukan oleh undang-undang
dalam arti formal (Undang-Undang dalam arti formal disini adalah Undang-Undana
yang dibentuk berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan pasal 20 Undang-Undang
Dasar 1945.[1]
Menurut wujudnya atau sifatnya, perbuatan-perbuatan pidana
adalah perbuatan-perbuatan yang melawan hukum khususnya korupsi merupakan
perbuatan yang merugikan ekonomi dan keuangan negara, menguntungkan diri
sendiri, orang lain atau corporation dalam arti merupakan perbuatan
buruk dan menyimpang bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya
tata dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil.[2]
Dengan wujud dan sifat perbuatan tindak pidana korupsi yang
spesifik, yaitu korelasi antara aspek hukum dan moral yang sangat kompleks
sehingga secara teorestik asas hukum dalam sistem hukum pidana akan sangat
menentukan ratiologis dari suatu produk peraturan perundang-undangan tentang
pemberantasan korupsi. Dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi di
Indonesia, sesuai dengan asas hukum lex specialis derogat legi generalis maka
diterapkan peraturan khusus tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yaitu
UU No. 3 Tahun 1971, UU No. 31 Tahun 1999 dan UU No. 20 Tahun 2001, akan tetapi
peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk kejahatan seperti kejahatan
perpajakan, money laundering, kehutanan, perikanan, pertambangan dan
sebagainya yang deliknya dapat memenuhi unsur-unsur perbuatan korupsi, berlaku
peraturan perundang-undangan masing-masing. Problem muncul ketika dalam proses
penanggulangannya dilakukan seperti proses penegakan hukum dengan peraturan
umum dalam hal ini korupsi sebagai peraturan khusus atau tindak pidana khusus
(tipidsus) menimbulkan sistem hukum dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi
karena tidak dapat diterapkan sistem hukum hanya dengan asas legalitas formal
tetapi juga mencakup asas legalitas materiil atau nonformil yang memengaruhi
hubungan antara hukum dan moral serta perkembangan budaya yang sangat cepat.[3]
Oleh karena, berbagai instansi membuat peraturan
perundang-undangan tersendiri dengan memuat saksi pidana sendiri serta
membentuk PPNS tersendiri, padahal dalam setiap kegiatan operasional semua
instansi terdapat potensi Korupsi, akan tetapi dengan pengaturan khusus dalam
undang-undang tersendiri sering kali menjadi tameng untuk melepaskan diri dari
jeratan korupsi. Dengan demikian, dalam upaya penanggulangan kejahatan yang
potensial korupsi tersebut didasarkan pada aturan formil acara pidana biasa,
bukan dengan aturan formil korupsi yang extra ordinary crime.
Penggunaan sanksi pidana melalui pencantuman bab tentang
"ketentuan pidana" dalam suatu produk peraturan perundang-undangan
pada hakikatnya dimaksudkan untuk menjamin agar produk peraturan
perundang-undangan tersebut dapat ditaati dan dilaksanakan sebagaimana
mestinya. Eksistensi sanksi pidana tersebut dimaksudkan untuk memperkokoh
berlakunya peraturan perundangundangan. Terhadap kebijakan rumusan tindak pidana
korupsi pada suatu peraturan perundang-undangan tidak selalu konsisten, artinya
kebijakan mencantumkan substansi pasal tindak pidana korupsi bukan merupakan
suatu keharusan atau tidak bersifat absolute/imperatif. Dengan kata lain,
meskipun suatu peraturan perundang-undangan potensial dengan korupsi bukan
suatu inkonsistensi jika digunakan atau tidak delik korupsi dalam setiap produk
peraturan pertmdang-undangan. Kebijakan penggunaan tersebut merupakan
problematik hukum inkonsistensi dari sistem hukum yang mengatur perbuatan
tindak pidana korupsi dan yang ada hanya tindak pidana umum/biasa. Penggunaan
sanksi pidana dalam produk peraturan perundang-undangan tersebut dengan sanksi
tindak pidana biasa (ordinary crime).
Fenomena sosial yang menonjol dalam sistem hukum
pidana dalam rangka penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, di mana
transisi dan perubahan praktik sistem hukum pidana berjalan dari cara
tradisional, konvensional, nasional menuju sistem hukum yang global atau
transnasional.[4]
Masyarakat semakin dihadapkan dengan berbagai persoalan yang sangat kompleks
dengan diikuti munculnya berbagai aturan baru dalam masyarakat yang secara
dogmatik hukum dengan berbagai peraturan perundang-undangan pemberantasan
tindak pidana korupsi yang dalam praktik sistem hukum pidana akan menentukan
atas perbuatan, sanksi dan pertanggungjawaban korupsi. Pada pelaksanaan sistem
peradilan pidana meliputi subsistem hukum, struktur hukum dan budaya hukum
bahkan produk politik hukum dan kebijakan hukum secara yuridis formal
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945[5]
hukum belum mencerminkan rasa keadilan yang diharapkan masyarakat. Problematik
hukum dalam praktik sistem hukum pidana pada sistem peradilan pidana korupsi
diperlukan penelitian beberapa instrumen hukum atau peraturan
perundang-undangan yang potensial korupsi dan yang belum mengatur delik korupsi
sebagai extra ordinary crime, tetapi hanya sebagai delik tindak pidana
biasa. Hal ini mencerminkan terjadinya kesenjangan dan implimentasi konsistensi
sistem hukum pidana di Indonesia atau belum ada legal spirit yang menunjukkan
adanya sense of crisis terhadap korupsi.
B.
RUMUSAN MASALAH
Pada
makalah ini, penulis akan menitik
beratkan kajian pada ketentuan lex spesialis derogate legi generalis
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2009 Tentang
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Terhadap KUHP. Kemudian penulis akan menkaji
tentang bagaimanakah
keberadaan tindak pidana korupsi itu dalam konsep hukum acara dan konsep hukum
materiil di Indonesia?
C.
GAMBARAN UMUM LEX
SPESIALIS DEROGAT LEGI GENERALY DALAM HUKUM FORMIL (KUHAP DAN UU NO. 20 TAHUN
2001 TENTANG PERUBAHAN UU NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA
KORUPSI)
Undang-undang dalam arti formil, ialah keputusan
pemerintah yang memperoleh nama undang-undang karena bentuknya, dalam mana ia
timbul.[6]
Artinya bahwa hukum formil adalah hukum yang ditetapkan untuk mempertahankan
atau melaksanakan hukum materiil. Hukum dalam arti formal ini disebut juga
hukum acara. Mengingat bahwa tindak pidana korupsi sudah merupakan extra
ordinary crime sehingga penanggulangannya pun diperlukan cara-cara yang
luar biasa, sehingga dengan hanya mengandalkan hukum acara pidana (KUHAP) maka
penegakan hukum terhadap kejahatan korupsi tidak akan efektif. Oleh karena itu,
dalam perundang-undangan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, juga
diatur tentang beberapa ketentuan acara yang diperlukan untuk lebih efektifnya
penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi.
Dalam UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU No. 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi beberapa ketentuan tentang
acara pidana terhadap tindak pidana korupsi yaitu antara lain: pertama,
Pembuktian terbalik dalam proses peradilan tindak pidana korupsi. Tindak pidana
korupsi yang selama ini terjadi secara sistematik dan meluas, pemberantasannya
harus dilakukan dengan cara yang khusus, antara lain dengan cara penerapan
"sistem pembuktian terbalik" yakni pembuktian yang dibebankan kepada
terdakwa. Artinya terdakwa sudah dianggap telah melakukan tindak pidana korupsi
kecuali yang bersangkutan mampu membuktikan sebaliknya.[7]
Dalam hal setiap PNS, pegawai BUMN/D atau penyelenggara
negara yang berdasarkan bukti permulaan mempunyai kekayaan yang tidak seimbang
dengan penghasilan atau sumber pendapatannya, wajib membuktikan sahnya kekayaan
yang diperolehnya. Hal ini diatur dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 Pasal
37 A dan 38 B. Namun demikian sebagai konsekuensi dari sistem pembuktian
terbalik tersebut, kepada terdakwa juga diberikan hak untuk membuktikan bahwa
ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, sehingga dengan demikian tercipta
suatu keseimbangan atas pelanggaran asas praduga tak bersalah dan menyalahkan
diri sendiri dengan perlindungan hukum yang wajib diberikan kepada tiap orang.
Peraturan dan perundang-undangan yang terkait dengan KKN dan
bisnis meskipun instrumen hukum telah cukup lengkap, namun dalam penerapan
hukum secara struktural dan praktikal tetap menjadi peluang dan kendala
terjadinya bentuk kejahatan dimensi baru. Kasus-kasus KKN dalam praktik bisnis,
yang terjadi selama ini hampir tidak dapat terdeteksi dan diselesaikan secara
yuridis. Peran politik hukum pidana dalam pembetukan peraturan
perundang-undangan baru yang memenuhi kebutuhan perkembangan KKN sangat
menentukan. Pasal-pasal hukum dalam KKN dan hukum bisnis masih terjadi
kamuflase yang dikemas sedemikian rupa sehingga dalam penerapannya terjadi
kelemahan bahkan KKN dalam praktik bisnis semakin meningkat dan kronis
endemis.
Kedua, Perluasan alat bukti. Perluasan alat bukti ini dimaksudkan
untuk mendukung sistem pembuktian terbalik. Dalam UU No. 20 Tahun 2001
menetapkan perluasan mengenai perolehan alat bukti yang berupa petunjuk.
Menurut paragraf empat penjelasan umum UU No. 20 Tahun 2001 bahwa perluasan
mengenai sumber perolehan alat bukti berupa petunjuk selain yang diperoleh dari
keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa (sebagaimana diatur dalam
Pasal 188 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP), juga menurut Pasal 26 A
UU No. 20 Tahun 2001 diperoleh dari alat bukti lain yang berupa: (1). Alat
bukti yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan
secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu, (2).
Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca
dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu
sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas,
maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar,
peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
D.
GAMBARAN UMUM LEX SPESIALIS DEROGAT LEGI GENERALY
DALAM HUKUM MATERIIL (KUHP
DAN
UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 46 TAHUN 2009 TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI)
Undang-undang dalam arti materiil menurut Van Apeldorn yang
diterjemahkan oleh Sadino adalah bahwa: "Undang-undang dalam arti materiil ialah sesuatu
keputusan pemerintah, yang mengingat isinya disebut undang-undang, yaitu
tiap-tiap keputusan pemerintah, yang menetapkan peraturan-peraturan yang
mengikat secara umum (dengan perkataan lain, peraturan-peraturan
objektif)"[8].
Perbuatan korupsi sebagai konsep hukum materiil berarti perbuatan yang diatur
dalam perundang-undangan tentang korupsi itu sendiri atau perbuatan yang
dirumuskan dalam suatu undang-undang yang ditetapkan oleh pemerintah yang
isinya tetang perbuatan yang disebut dengan korupsi. ada suatu kepentingan yang
ingin dilindungi oleh pembuat undang-undang sehingga larangan terhadap
perbuatan korupsi dirumuskan dalam perundang-undangan tersebut. Barang siapa
yang menyalahi ketentuan dari makna yang dirumuskan dalam perundang-undangan
itu berarti telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Sifat melawan hukum materil menurut Schaffmeiter et, al, yang
diterjemahkan oleh Sahetapy adalah: Bahwa melanggar atau membahayakan
kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh pembentuk undang-undang dalam
rumusan delik tertentu. Artinya bahwa perbuatan tersebut dianggap tercela
karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial
dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. (Pasal 2 ayat (1)
Undang-undang 31 tahun 1999). Sifat melawan hukum formal berarti: "semua
bagian yang tertulis dari rumusan delik telah dipenuhi (jadi semua syarat
tertulis untuk dapat dipidana).[9]
Undang-undang Nomor 20 tahun 2002 tentang Perubahan Undang-undang Nomar 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ditinjau dari segi
materiil muatannya membawa perubahan yang cukup substansial, sehingga secara
filosofis, sosiologis, dan yuridis diharapkan mampu memberikan daya berlaku
yang kuat, dalam upaya mewujudkan penegakan supremasi hukum berdasarkan
keadilan, kebenaran dan kepastian hukum.
Pokok-pokok perubahan di antaranya adalah: penyebutan secara
langsung unsur-unsur yang terdapat dalam masing-masing Pasal KUHP yang diacu,
penghapusan ketentuan minimum denda dan pidana penjara, pengaturan mengenai
gratifikasi dan pengecualiannya, perluasan alat bukti, pembuktian terbalik, hak
negara melakukan gugatan perdata dan penegasan terhadap pemberlakuan
undang-undang korupsi sebelumnya.
Dalam perundang-undangan korupsi telah mengatur tentang upaya
perlindungan keadilan sosial ekonomi bagi masyarakat. Dalam Pasal 38 C UU No.
20 Tahun 2002 ditentukan bahwa negara diberi hak untuk melakukan gugatan
perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya, dalam hal terpidana sengaja
menyembunyikan atau menyamarkan kekayaan atau harta benda yang diduga atau
patut diduga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan
untuk negara, pada saat pengadilan memutuskan perkara yang memperoleh kekuatan
hukum tetap.
Dasar filosofi timbulnya hak negara tersebut adalah untuk
memenuhi rasa keadilan masyarakat terhadap pelaku korupsi yang menunjukkan
bahwa Undang-undang tersebut tidak hanya sebagai alat penegak keadilan hukum,
tetapi juga penegak keadilan sosial ekonomi. Mengingat bahwa perbuatan korupsi
adalah perbuatan yang bukan hanya merugikan keuangan dan perekonomian
negara tetapi lebih dari itu menimbulkan konflik dan kesenjangan sosial.
Artinya bukan semata memberi hukuman bagi yang terbukti bersalah dengan hukuman
yang sebesar-besarnya, melainkan juga agar kerugian negara yang diakibatkan
oleh perbuatan pelaku dapat kembali semua dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Upaya penanggulangan korupsi dilihat dari segi peraturannya,
dapat dikatakan bahwa politik hukum pidana dalam upaya penanggulangan korupsi
ini sudah cukup signifikan. Dapat dilihat berapa kali diperbarui
perundang-undangan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi tersebut.
Peraturan-peraturan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi telah silih
berganti diberlakukan, selalu yang belakangan memperbaiki dan menambah yang
dahulu.[10]
Sebagaimana dijelaskan dalam latar belakang bahwa dalam kurun waktu 5 (lima)
tahun sedikitnya sudah empat undang-undang tentang korupsi dibentuk oleh
pemerintah. Daniel Lev ahli politik dari Amerika Serikat berpendapat bahwa:
"Pemberantasan korupsi yang sudah mengakar sejak demokrasi terpimpin,
tidak akan bisa dilaksanakan tanpa adanya reformasi institusional lebih,
dahulu. Penggantian pemerintahan tidak akan banyak bermanfaat jika konstitusi
pemerintah yang ada masih seperti yang lama."[11]
Paling tidak ada 3 pilar dalam masyarakat yang harus
dilibatkan dalam gerakan anti korupsi yakni: civil society, kalangan
bisnis dan media massa. Gerakan anti korupsi tersebut tidak akan berhasil jika
tidak didukung masyarakat. Kalangan bisnis harus sadar bahwa korupsi dalam
jangka panjang akan merugikan perkembangan bisnis karena akan menimbulkan
bisnis biaya tinggi yang tidak kompetitif. Media massa sangat penting dalam
mengge-lembungkan gerakan antikorupsi".
Meskipun demikian, suatu pandangan mengatakan bahwa jika anda
memiliki pengemudi yang buruk, mengganti mobil tidak akan menyelesaikan
masalah. Hal ini menggambarkan inkonsistensi penegak hukum sangat mendukung
tercapainya legal spirit dari hukum itu sendiri. Menurut Lopa bahwa :
"Apabila ditelusuri lebih jauh, ternyata ketidakberdayaan pemerintah dan
aparat penegak hukum dalam upaya pemberantasan korupsi bukan disebabkan oleh
kurang baiknya undang-undang, tetapi yang menjadi faktor penyebab utama adalah
kelemahan sistem yang merupakan produk dari integritas moral. Oleh karena itu,
untuk memperbaiki sistem tersebut sangat tergantung pada integritas moral yang
dimiliki oleh seseorang sebab yang dapat berpikir perlunya diperbaiki sistem
ialah orang yang bermoral pula. Orang yang tidak bermoral meskipun tidak
berilmu, tidak mungkin terdorong untuk memperbaiki sistem, karena kelemahan
sistem itu sendiri diperlukan baginya untuk melakukan penyelewengan."[12]
Dalam tulisan yang sama, Lopa juga menekankan kelemahan
lainnya yaitu keteladanan, bahwa untuk memberantas korupsi harus dimulai dari
atas. Kalau kalangan atas melakukan korupsi maka akan berpengaruh ke bawah atau
mendorong jajarannya (kalangan pejabat menengah ke bawah) untuk melakukan
perbuatan yang sama dengan alasan tidak mungkin atasan melakukan tindakan atau
hukuman, karena pada dasarnya atasan itu sendiri telah memelopori perbuatan
tidak terpuji itu.[13]
Oleh karena itu tidak mengherankan apabila terlihat fenomena yang kurang
menggembirakan seperti tumbuh suburnya suap menyuap dan pemberian komisi
sebagai salah satu bentuk perbuatan korupsi dalam praktik bisnis yang umumnya
dilakukan oleh kalangan atas/menengah sehingga pengusutannya sering menghadapi
hambatan.
E.
PENUTUP
Pada
tahap ini penulis akan mengemukakan kesimpulan kesimpulan dan saran sebagai
berikut:
KESIMPULAN
a.
Pada dasarnya beberapa korupsi kasus yang
terjadi yang merupakan perkara yang menjadi yurisdiksi perundang-undangan
tertentu (tindak pidana tertentu), dapat diterapkan UU Tindak Pidana Korupsi,
akan tetapi pada umumnya diterapkan ketentuan pidana pada perundang-undangan
yang menjadi dasar hukum masing-masing. Jika didasarkan pada asas hukum lex
specialis maka tidak menutup kemungkinan banyak kasus yang berakhir dengan
vonis bebas. Bahkan, ada kecenderungan pelaku-pelaku justru menjadikan UU
tertentu itu sebagai tameng untuk lolos dari jeratan UU Korupsi.
b.
Terkait dengan hukum pidana formil korupsi
atau hukum acara pidana yang mengatur tentang penegakan hukum terhadap tindak
pidana korupsi, secara umum dibedakan dengan penanganan tindak pidana khusus
lainnya. Hal ini mengingat bahwa korupsi merupakan extra ordinary crime yang
harus didahulukan dibanding tindak pidana lainnya. Meskipun demikian, terhadap
beberapa kejahatan, yang secara yuridis terdapat unsur-unsur tindak pidana
korupsi dan berpotensi merugikan negara dan perekonomian negara dalam jumlah
yang sangat besar, akan tetapi diatur dalam undang-undang tersendiri di bidang
tersendiri, mengalami perlakuan yang tidak sama dengan tindak pidana korupsi
sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang pemberantasan tindak pidana
korupsi. Kondisi ini dapat memberikan kesimpulan bahwa sebesar apa pun upaya
pemberantasan korupsi di negara ini, perilaku korupsi akan tetap ada dan
berkembang dengan modus-modus lain dengan berbagai tameng terutama, legitimasi
oleh asas legalitas.
SARAN
Lemahnya
pengetahuan hukum tentang korupsi dapat berakibat pada penanggulangan korupsi
menjadi stagnan, mandeg atau banyak kasus-kasus korupsi yang tidak tuntas. Oleh
karena itu perlu dilakukan sosialisasi tipologi atau bentuk dan jenis korupsi
terutama menyangkut substansi hukum tentang korupsi dalam perundang-undangan
tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
DAFTAR
PUSTAKA
Apeldoorn, Van dalam O. Sadino, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan
Kedua Puluh Dua, Pradnya Paramita, Jakarta, 1985.
Arief, Barda Nawawi., Kapita Selekta Hukum Pidana, PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003.
Lopa, Baharuddin., Korupsi Tetap Merupakan Sumber
Kerawanan, Kompas, Jakarta, 1996.
Marpaung, L., Tindak Pidana Korupsi Pemberantasan dan
Pemecahannya„ Djambatan, Jakarta, 2001.
Prakoso, Dj. dan Suryati, A., Upetisme Ditinjau dari
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Bina Aksara, Jakarta,
1971.
Prodjohamidjojo, M., Penerapan Pembuktian Terbalik dalam
Delik Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999), Cetakan 1, Mandar Maju, Bandung,
2001.
Sahetapy, J.E.. Terjemahan dari Schaffmeter et a1, Hukum
Pidana, Liberty, Yogyakarta, 1995.
Saleh, Ruslan., Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban
Pidana Dan Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1988. Lex Crimen Vol.I/No.2/Apr-Jun/2012
[1] D.
Schaffmeister, sebagaimana dikutip I.G.M. Nurdjan, “Korupsi – Perspektif
Tegaknya Keadilan Melawan Mafia Hukum”, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010,
hlm. 68.
[2] Ruslan Saleh, “Perbuatan Pidana dan
Pertanggungjawaban Pidana Dan Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana”, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1988, hlm.139
[3] Barda Nawawi
Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
2003, hlm. 11.
[4] Suherman AM, “Aspek Hukum
Dalam Ekonomi Global”, Jambatan, Jakarta, 2001, hlm.31.
[5] Sri Edy Swasono, “Daulat
Rakyat Versus Daulat Pasar”, PT Pustop UGM, Yogyakarta, 2000, hlm. 21.
[6] Lihat Van Apeldoorn dalam O.
Sadino, “Pengantar Ilmu Hukum”, Cetakan Kedua Puluh Dua, Pradnya
Paramita, Jakarta, 1985, hlm. 92.
[7] M. Prodjohamidjojo, “Penerapan
Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999)”, Cetakan 1,
Mandar Maju, Bandung, 2001, hlm. 102.
[8] Van Apeldoron dalam O. Sadino, Op-Cit,
hlm. 92.
[9] J.E. Sahetapy,
Terjemahan dari Schaffmeter et a1, Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta,
1995, hlm. 39.
[10] Dj. Prakoso dan
A. Suryati, Upetisme Ditinjau dari Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, Bina Aksara, Jakarta, 1971, hlm. 406.
[11] L. Marpaung, Tindak
Pidana Korupsi Pemberantasan dan Pemecahannya„ Djambatan, Jakarta, 2001,
hlm 2.
[12] Baharuddin
Lopa, Korupsi Tetap Merupakan Sumber Kerawanan, Kompas, Jakarta, 1996,
hlm. 1.
[13] Ibid ., hlm.1
Comments
Post a Comment