PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA



PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA
(KAJIAN TENTANG KORELASI SOCIAL POLICY, CRIMINAL POLICY DAN PENAL POLICY DALAM PENAGGULANGAN TINDAK  PIDANA)
OLEH
Nur Moklis

     I.          PENDAHULUAN
Hukum dan kebijakan public merupakan variable yang memiliki keterkaitan yang sangat erat, sehingga telaah tentang kebijakan pemerintah semakin dibutuhkan untuk dapat memahami peranan hokum saat ini[1]. Terkait dalam kebijakan social, kebijakan criminal dan kebijakan pidana baik pada dataran teori ataupun prakti sangat ketara dan dapat dirasakan oleh public tentang korelasinya yang sangat kuat.
Marc Ancel pernah menyatakan, bahwa “modern criminal science” terdiri dari tiga komponen yakni Criminology, Criminal law, dan Penal Policy. Dikemukakan olehnya, bahwa Penal Policy adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan prektis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan. Selanjutnya dinyatakan olehnya: “Di antara mengenai faktor-faktor kriminologis di satu pihak dan studi mengenai teknik perundang-undangan di lain pihak, ada tempat bagi suatu ilmu pengetahuan yang mengamati dan menyelidiki fenomena legislatif dan bagi suatu seni yang rasional, dimana para sarjana dan praktisi, para ahli kriminologi dan sarjana hukum dapat bekerja sama tidak sebagai pihak yang saling berlawanan atau saling berselisih, tetapi sebagai kawan sekerja yang terikat di dalam tugas bersama, yaitu terutama untuk menghasilkan suatu kebijakan pidana yang realistik, humanis dan berpikir maju (progresif) lagi sehat."
Akhirnya dikemukakan pula oleh Mars Ancel, bahwa sistem hukum pidana abad XX masih tetap harus diciptakan. Sistem demikian hanya dapat disusun dan disempurnakan oleh usaha bersama semua orang yang beriktikad baik dan juga oleh semua ahli di bidang ilmu-ilmu sosial.
Dengan demikian pada hakikatnya masalah kebijakan hukum pidana bukanlah semata-mata pekerjaan teknik perundang-undangan yang dapat dilakukan secara yuridis normatif dan sistematik-dogmatik. Di samping pendekatan yuridis normatif, kebijakan hukum pidana juga memerlukan pendekatan yuridis faktual yang dapat berupa pendekatan sosiologis, historis dan komparatif, bahkan memerlukan pula pendekatan komprehensif dari berbagai disiplin sosial lainnya dan pendekatan integral dengan kebijakan sosial dan pembangunan nasional pada umumnya.
Dengan penegasan di atas berarti, masalah kebijakan pidana termasuk salah satu bidang yang seyogyanya menjadi pusat perhatian kriminologi. Terlebih memang pidana sebagai salah satu bentuk reaksi atau respons terhadap kejahatan, merupakan salah satu obyek studi kriminologi.
Perhatian kriminologi terhadap masalah kebijakan penanggulangan kejahatan dengan sanksi pidana terlihat pula dalam kongres-kongres international mengenai kriminologi (International Congress on Criminolocy). Pada Kongres ke-7 Tahun 1973 di Belgrad (Yugoslavia) antara lain dibicarakan mengenai “the evaluation of criminal policies system”, pada Kongres ke-9 Tahun 1983 di Wina (Austria) antara lain dibicarakan topik mengenai “status and eole of criminology and its institutional relations with public policy and practics” dan topik “the public policies proper to criminal juctice system”, pada Kongres ke-10 Tahun 1988 di Hamburg (Jerman) antara lain dibicarakan topik mengenai “Crisis of penal sanctions: new perspectives”. Dijelaskan di dalam buku mengenai sejarah/riwayat international mengenai kriminologi, bahwa “perspektif baru” yang diterima oleh para kriminolog ialah memandang “the penal system as a basic item of the criminological research”.
Dalam buku sejarah atau catatan tahunan mengenai kegiatan dan perkembangan kriminologi secara internasional (the international Annals of Criminology) yang diterbitkan tahun 1988 dikemukakan, bahwa sejak tahun 1952-1987 telah diselenggarakan 39 kali kursus/penataran kriminologi. Dijelaskan dalam buku itu, bahwa kursus-kursus yang diselenggarakan selama ini dapat dibedakan dalam empat periode, yaitu:
1.      Periode 1952-1961, kursus-kursus yang diselenggarakan terutama menekankan pada Kriminologi Klinik (Clinical Criminology).
2.      Periode 1962-1969, masih ada kecendrungan pada kriminologi klinik tetapi ada perkembangan terhadap kriminologi perbandingan (Comparative Criminology).
3.      Periode 1970-1975 (yang semuanya diselenggarakan di luar Eropa), didasarkan pada pemikiran mengenai masalah-masalah mutakhir tentang “delinquency” (contemporary problem of delinquency).
4.      Periode sepuluh tahun terakhir, berkaitan dengan masalah-masalah politik kriminal (criminal policy) dan kriminologi terapan (applied criminology).
Mengamati perkembangan di atas, maka wajar dalam penataran Kriminologi ini disajikan bahan-bahan mengenai kebijakan (hukum) pidana atau penal policy yang pada dasarnya merupakan bagian dan politik kriminal.

  II.          KORELASI SOCIAL POLICY, CRIMINAL POLICY DAN PENAL POLICY.
A.    Kebijakan Sosial (Social Policy)
Ada berbagai definisi mengenai yang kebijakan sosial yang dikemukan oleh beberapa ahli seperti Marshall, Rein, Hutman, Magil, Spicker dan Hill juga yang mengartikan kebijakan sosial dalam kaitannya dengan kebijakan kesejahteraan sosial, yaitu: a) Kebijakan sosial adalah kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan tindakan yang memiliki dampak langsung terhadap kesejahteraan warga negara melalui penyediaan pelayanan sosial atau bantuan keuangan (Marshal, 1965). b) Kebijakan sosial adalah perencanaan untuk mengatasi biaya-biaya sosial, peningkatan pemerataan, pendistribusian pelayanan dan bantuan sosial (Rein, 1970). c) Kebijakan sosial adalah strategi-strategi, tindakan-tindakan atau rencana-rencana untuk mengatasi masalah sosial dan memenuhi kebutuhan sosial (Huttman, 1981). d) Kebijakan sosial merupakan bagian dari kebijakan publik. Kebijakan publik meliputi semua kebijakan yang berasal dari pemerintah, seperti kebijakan ekonomi, transportasi, komunikasi, pertahanan keamanan (militer), serta fasilitas-fasilitas umum lainnya (air bersih, listrik). Kebijakan sosial merupakan satu tipe kebijakan publik yang diarahkan untuk tujuan sosial (Magil, 1986). e) Kebijakan sosial adalah kebijakan yang berkaitan dengan kesejahteraan (welfare), baik dalam arti luas yang menyangkut kualitas hidup manusia maupun dalam arti sempit yang menunjuk pada beberapa jenis pemberian pelayanan kolektif tertentu guna melidungi kesejahteraan rakyat (Spicker, 1995). f) Kebijakan sosial adalah studi mengenai peranan negara dalam kaitannya dengan kesejahteraan warganya (Hill,1996). g) Kebijakan sosial menunjuk pada apa yang dilakukan oleh pemerintah sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas hidup manusia melalui pemberian beragam tunjangan pendapatan, pelayanan kemasyarakatan dan program-program tunjangan sosial lainnya (Bessant, Watts, Dalton dan Smith 2006).
Dari berbagai definisi yang dikemukan oleh berbagai ahli dapat disimpulkan bahwa kebijakan sosial merupakan salah satu kebijakan publik. Kebijakan sosial merupakan ketetapan pemerintah yang dibuat untuk merespon isu-isu yang bersifat publik, yakni mengatasi masalah sosial atau memenuhi kebutuhan masyarakat banyak. Sebagai sebuah kebijakan publik, kebijakan sosial memiliki fungsi preventif (pencegahan), kuratif (penyembuhan), dan pengembangan (developmental). Sebagai wujud kewajiban negara (state obligation) dalam memenuhi hak-hak sosial warganya. Secara garis besar kebijakan sosial diwujudkan dalam tiga kategori, yakni perundang-undangan, program pelayanan sosial dan sistem perpajakan. Berdasarkan kategori ini maka dapat dinyatakan bahwa setiap perundang-undangan, hukum atau peraturan yang menyangkut masalah dan kehidupan sosial adalah wujud dari kebijakan sosial. Namun tidak semua kebijakan sosial berbentuk perundang-undangan.
Peranan pemerintah atau negara di bidang kesejahteraan sosial melalui kebijakan sosial, sebetulnya dimaksudkan untuk mengusahakan adanya kesetaraan diantara warga masyarakat dalam mewujudkan kesejahteraannya. Perbedaan latar belakang antar warga masyarakat seringkali mengakibatkan posisi dan kesempatan mereka tidak sama. Hal ini dapat mengakibatkan warga masyarakat yang posisinya tidak menguntungkan akan termarginalisasi dan mengalami masalah dalam mewujudkan kesejahteraannya, bahkan untuk sekadar memenuhi kebutuhan dasarnya. Oleh sebab itu dibutuhkan peranan pemerintah untuk membantu kelompok marginal.
Ada  berbagai dimensi dasar dari kebijakan sosial yaitu 1). redistribusi kekayaan; pengaturan pemerintah dalam pemerataan pendapatan ada berbagai mekanisme yang dilakukan antara lain pajak progressive, land reform, transmigrasi, dan lain-lain, 2) Kebebasan yaitu kebebasan masyarakat dari ketakutan, terror, ekploitasi, dll 3) perlindungan resiko; harus cepat tanggap terhadap resiko, bencana alam, resiko sosial politik, resiko bekerja, pemanasan global dan lain-lain.4) keselamatan publik yaitu penyediaan sarana umum yang aman dan berkualitas, 5) pelayanan sosial adalah seperangkat program yang ditujukan untuk membantu individu atau kelompok yang mengalami hambatan dalam memenuhui kebutuhan hidupnya.

B.     Kebijakan Kriminal (Kriminal Policy)
Prof Sudarto pernah mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan criminal, Yaitu: a. Dalam arti sempit ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana.b. Dalam arti luas ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum termasuk didalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisic. Dalam arti paling luas ialah keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.
Dalam kesempatan lain beliau mengemukakan definisi singkat mengenai politik kriminal merupakan “ suatu usaha yang rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kejahatan” definisi ini beliau ambil dari definisi marc ancel yang merumuskan sebagai “ The rational organization of the control of crime by society”. G Peter Hoefnagel mengemukakan bahwa “ Criminal policy is the rational organization of the social reaction to crime”berbagai definisi lainnya yang dikemukakannya adalah :a. criminal policy is the science of responses b. Criminal Policy is the science of crime prevention c. Criminal Policy is a policy of designating human behavior as crimed. Criminal policy is a rational total of the responses to crime.
Hubungan Politik Kriminal dengan Politik Sosial. Kebijakan atau upaya penaggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat ( social defence ) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat ( social walfare ). Oleh karena itu dapat dikatakan , bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik kriminal ialah “ perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Kriminologi adalah ilmu pengetahuan tentang kejahatan dan penjahat Menurut Sutherland Kriminolog Amerika, Ruang lingkup kriminologi terbagi atas tiga bagian: 1. Sociology of Law (sosiologi hukum) mencari secara analisa ilmiah kondisi-kondisi terjadinya atau terbentuknya hukum.
2. Etiologi kriminil, mencari secara analisa ilmiah sebab-sebab daripada kejahatan 3. Penologi: ilmu pengetahuan tentang terjadinya atau berkembangnya hukuman, artinya dan manfaatnya berhubungan dengan "control of crime"
. Alih bahasa "Community Policing" dengan adanya buku Kapolri adalah "Perpolisian Masyarakat", disingkat "Polmas". Saya menerima alih bahasa ini untuk menunjukkan pada bentuknya sebagai suatu "lembaga" atau "pranata" (kata benda), namun dalam hal yang dimaksud adalah "gaya" atau "aktivitas"-nya (kata kerja), saya cenderung memakai alih bahasa "Pemolisian Masyarakat" atau "Pemolisian Komuniti".(2) Sebagai landasan akan dipergunakan pengertian (definisi) "Community Policing" yang dipergunakan Kapolri Sutanto (hal. 32-39). Dengan merajuk pada Dr.C. Robert C. Trojanowicz (1994) dideskripsikan Community Policing sebagai "a philosophy of full service personalized policing". Dan sehubungan dengan Sistem Peradilan Pidana (SPP/CJS) saya menggambarkannya sebagai suatu sistem dengan kepolisian, kejaksaan dan pengadilan serta lembaga pemasyarakatan sebagai subsistemnya. Pelanggar hukum berasal dari masyarakat dan akan kembali pula ke masyarakat. Diperlukan keterpaduan kerja dalam SPP ini. (3) Makalah ini akan mencoba membahas implementasi strategi Polmas dari aspek penegakan hukum. Pembahasan juga dilakukan dengan pendekatan "pencegahan/penangkalan kejahatan" (crime prevention) melalui SPP Terpadu (integrated criminal justice system).
Kebijakan kriminal adalah salah satu  bentuk kebijakan publik untuk mengatasi  masalah kejahatan. Selama ini kebijakan kriminal masuk ke dalam  ranah Sistem Peradilan Pidana (SPP) sebagai  representasi dari negara. Kebijakan kriminal juga  dipahami sebagai upaya penegakan hukum . Dengan semakin meningkat, rumit dan bervariasinya  kejahatan, SPP bukan lagi  satu-satunya pemangku kepentingan yang melaksanakan kebijakan kriminal. Berbagai lembaga penegak hukum kini juga memfokuskan diri pada pencegahan kejahatan. Lembaga-lembaga negara tersebut melakukan pencegahan kejahatan  secara berkolaborasi dengan civil society dan warga masyarakat lain. Kebijakan kriminal bisa terdiri dari dua tahap. Pertama adalah kebijakan pencegahan sebelum terjadinya kejahatan. Kedua adalah kebijakan penegakan hukum  setelah kejahatan terjadi. Kebijakan kriminal kedua  menjadi kewenangan penuh Sistem Peradilan Pidana, yang didasari pada awalnya hakim sebagai terompet undang-undang (asas legalistik) namun kini di kunci dengan berdasarkan keyakinan hakim (asas legalistik plus). Yang kemudian sering menjadi ruang  memperdagangkan  hukum (money politics).
SPP  dapat melakukan penyelidikan, penyidikan, dan memberikan pidana kepada pelaku kejahatan, berdasarkan undang-undang dan keyakinan hakim. Selain adanya aturan hukum formal yang mendasari kewenangan penuh tersebut, keikutsertaan masyarakat dalam reaksi formal sangat berpotensi memunculkan anarki, hal ini yang patut diserap para hakim sebagai rasa keadilan masyarakat yang sewajarnya inilah yang harusnya dibungkus dalam keyakinan hakim. Dalam kebijakan kriminal pencegahan, aparat penegak hukum dapat  tidak  lagi mendominasi. Pemangku kepentingan  di masyarakat justru merupakan sumber daya yang menentukan efektivitas kebijakan terutama bila diperhadapkan dengan rasa keadilan masyarakat Karena masyarakatlah yang lebih mengetahui realitas kejahatan karena masalah tersebut merupakan bagian dari kehidupan mereka.
Bentuk dan sifat kejahatan dapat  menjadi dasar reorganisasi atau reformasi kelembagaan dalam kebijakan kriminal pencegahan kejahatan. Kebijakan atau policy berkait erat dengan kewenangan dan muncul karena adanya kewenangan dan jabatan yang melekat pada seseorang.Tanpa kewenangan tak ada kebijakan. Kebijakan adalah ketetapan yang dibuat oleh pihak yang punya kewenangan atas suatu bidang permasalahan. Contoh dari kebijakan adalah instruksi menteri mengenai sesuatu hal. Intruksi adalah kebijakan karena hanya berisi instruksi atau perintah tanpa larangan dan sanksi karenanya bukan hukum. Dan dilakukan tidak melalui proses legislasi melainkan hanya berdasarkan kewenangan yang ada pada menteri.
Kebijaksanaan adalah bentuk pengenyampingan terhadap aturan hukum. Setelah ada suatu aturan hukum, terjadi pengenyampingan yang membolehkan melakukan sesuatu yang sebelumnya sudah ada larangannya. Contoh dari kebijaksanaan adalah seperti yang dilakukan oleh polisi dengan membiarkan misalnya mobil pemadam kebakaran atau iring-iringan jenazah atau orang sakit menerabas lampu merah, untuk memberikan mereka kesempatan sampai secepatnya ke tujuan mereka. Menerobos lampu merah jelas pelanggaran uu lalu lintas, namun dengan kebijaksanaannya polisi dapat mengatur supaya lalu lintas biasa dapat  memprioritaskan mereka. Contoh lainnya karyawan dilarang tidak masuk kerja lima hari berturut-turut dengan konsekwensi dapat di PHK, namun dengan memberikan alasan yang kuat dan jelas, karyawan dapat diberikan kebijaksanaan, sehingga aturan diatas tidak diberlakukan. Kebijaksanaan membolehkan peraturan tidak dipatuhi hanya efektif dan mencapai sasarannya jika aparat penegak peraturannya berlaku tegas dan correct, dan tidak menjadikannya ruang untuk money politics yang penuh tawar menawar. Pembuatan kebijakan kriminal menjadi bagian dari upaya memerangi penyakit masyarakat berupa perilaku kejahatan. Tujuan akhirnya adalah mencapai keseimbangan dan  keserasian antara berbagai kepentingan sub kelompok masyarakat, menciptakan kedamaian diantara warga masyarakat. Dan apabila ada perilaku warga masyarakat yang menyimpang dan dikategorikan tindak pidana maka pada tahap inilah kebijakan kriminal memainkan peranannya.
Kebijakan kriminal yang baik tentu saja menyerap ragam aspirasi dari beragam kepentingan kelompok masyarakat yang berbeda berdasarkan perbedaan geografis, perbedaan local wisdom, perbedaan adat istiadat, dll. Dengan tetap menjamin pencapaian kepastian hukum dan keadilan masyarakat

C.     Kebijakan Pidana (Penal Policy)
Istilah “kebijakan” diambil dari istilah “policy” (Inggris) atau “politiek” (Belanda). Menurut Marc Ancel, pengertian kebijakan hukum pidana (penal policy) adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan[2].
Selanjutnya Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa pada hakikatnya masalah kebijakan hukum pidana bukanlah semata-mata pekerjaan teknik perundang-undangan yang dapat dilakukan secara yuridis normative dan sistematik dogmatik. Disamping pendekatan yuridis faktual juga dapat berupa pendekatan komprehensif dari berbagai disiplin ilmu sosial lainnya dan pendekatan integral dengan kebijakan social dan pembangunan nasional pada umumnya[3].
Istilah “kebijakan” dalam tulisan ini diambil dari istilah “policy” (inggris) atau “politiek” (Belanda). Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah “kebijakan hukum pidana” dapat pula disebut dengan istilah “politik hukum pidana”. Dalam kepustakaan asing istilah “politik hukum pidana” ini sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain “penal policy”, criminal law policy, atau strafrechtspolitiek. Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun dari politik kriminal. Menurut Prof. Sudarto, Politik Hukum, adalah: (1) Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat. (2) Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam mesyarakat dan untuk menvapai apa yang dicita-citakan.
Bertolak dari penegrtian demikian Prof. Sudarto selanjutnya menyatakan, bahwa melaksanakan “politik hukum pidana” berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan dayaguna. Dalam kesemptan lain beliau menyatakan, bahwa melaksanakan “politik hukum pidana” berarti, usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.
Dengan demikian, dilihat sebagai bagian dari politik hukum, maka politik hukum pidana mengandung arti, bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik. Pengertian demikian terlihat pula dalam definisi “penal policy”, Mars Ancel yang telah dikemukakan pada uraian yang secara singkat dapat dinyatakan sebagai “suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik”. Dengan demikian yang dimaksud dengan “peraturan hukum positif” (the positive rules) dalam definisi Mars Ancel itu jelas adalah peraturan perundang-undangan hukum pidana. Dengan demikian istilah “penal policy” menurut Mars Ancel adalah sama dengan istilah “kebijakan atau politik hukum pidana”.
Menurut A. Mulder, “Strafrechtspolitiek” ialah garis kebijakan untuk menentukan: (1) seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbaruhi, (2) apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana, (3) cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.
Definisi Mulder di atas bertolak dari pengertian “sistem hukum pidana” menurut Mars Ancel yang menyatakan, bahwa tiap masyarakat yang teroganisir memiliki sistem hukum pidana yang terdiri dari: (1) peraturan-peraturan hukum pidana dan sanksinya, (2) suatu prosedur hukum pidana, dan (3) suatu mekanisme pelaksanaan (pidana).
Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian adri politik kriminal. Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian “kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana”.
Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum pidana). Oleh karena itu sering pula dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy).
Di samping itu usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatn undang-undang (hukum) pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat (socisl welfare). Oleh karena itu wajar pulalah apabila kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial (social policy). Kebijakan sosial (social policy) dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan dan sekali gus mencakup perlindunagn masyarakat. Jadi di dalam pengertian “social policy” sekaligus tercakup di dalamnya “social welfare policy” dan “social defence policy”.

III.          UPAYA NONPENAL UNTUK MENANGGULANGI KEJAHATAN
Usaha yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi tindak pidana, antara lain tindak pidana korupsi adalah tidak hanya dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana), tetapi dapat juga denga menggunakan sarana-sarana yang non-penal.
Sarana non-penal mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan.  Upaya preventif yang di maksud adalah upaya yang dilakukan sebelum terjadinya tindak pidana korupsi dengan cara menangani  faktor-faktor pendorong terjadinya korupsi, yang dapat di laksanakan dalam beberapa cara: antara lain dengan cara cara moralistik dan cara Abolisionik.[4] Cara moralistik dapat dilakukan secara umum melalui pembinaan mental dan moral manusia, khotbah-khotbah, ceramah dan penyuluhan di bidang keagamaan, etika dan hokum dan Cara ini muncul dari asumsi bahwa korupsi adalah suatu kejahatan yang harus di berantas dengan terlebih dahulu menggali sebab-sebabnya dan kemudian diserahkan kepada usaha-usaha untuk menghilangkan sebab-sebab tersebut.
Dalam sistem peradilan pidana pemidaan itu bukanlah merupakan tujuan akhir dan bukan pula merupakan satu - satunya cara untuk mencapai tujuan pidana atau tujuan sistem peradilan pidana. Banyak cara dapat ditempuh, dapat menggunakan hukum pidana maupun dengan cara diluar hukum pidana atau diluar pengadilan. Dilihat dari segi ekonomisnya sistem peradilan pidana disamping tidak efisien, juga pidana penjara yang tidak benar - benar diperlukan semestinya tidak usah diterapkan.
Penegakan hukum dengan sarana penal merupakan salah satu aspek saja dari usaha masyarakat menanggulangi kejahatan. Disamping itu masih dikenal usaha masyarakat menanggulangi kejahatan melalui sarana non penal. Usaha non penal dalam menanggulangi kejahatan sangat berkaitan erat dengan usaha penal. Upaya non penal ini dengan sendirinya akan sangat menunjang penyelenggaraan peradilan pidana dalam mencapai tujuannya. Pencegahan atau atau menanggulangi kejahatan harus dilakukan pendekatan integral yaitu antara sarana penal dan non penal.    
Menurut M. Hamdan, upaya penaggulangan yang merupakan bagian dari kebijakan sosial pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) yang dapat ditempuh dengan 2 jalur, yaitu: 1.  Jalur penal, yaitu dengan menerapkan hukum pidana (criminal law application). 2.  Jalur nonpenal, yaitu dengan cara : a.     Pencegahan tanpa pidana (prevention without punisment), termasuk di dalamnya penerapan sanksi administrative dan sanksi perdata. b. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pembinaan lewat media massa (influencing views of society on crime and punishment).
Secara sederhana dapatlah dibedakan, bahwa upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “penal” lebih menitik beratkan pada sifat “repressive” (penindasan/pemberantasan/penumpasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur “non penal” lebih menitik beratkan pada sifat “preventif” (pencegahan/penangkalan/pengendalian) sebelum kejahatan terjadi. Beberapa dekade terakhir berkembang ide-ide perbuatan tanpa pidana, artinya tidak semua tindak pidana menurut undang-undang pidana dijatuhkan pidana, serentetan pendapat dan beberapa hasil penelitian menemukan bahwa pemidanaan tidak memiliki kemanfaatan ataupun tujuan, pemidaan tidak menjadikan lebih baik. Karena itulah perlunya sarana nonpenal diintensifkan dan diefektifkan, disamping beberapa alasan tersebut, juga masih diragukannya atau dipermasalahkannya efektifitas sarana penal dalam mencapai tujuan politik criminal.
Mengingat upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “non penal” lebih bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif itu antara lain, berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan. Dengan demikian, dilihat dari sudut politik kriminal secara makro dan global, maka upaya-upaya nonpenal menduduki posisi kunci dan strategis dari keseluruhan upaya politik kriminal. Di berbagai Kongres PBB mengenai “The Prevention of Crime and Treatment of Offenders” ditegaskan upaya-upaya strategis mengenai penanggulangan sebab-sebab timbulnya kejahatan.
Beberapa masalah dan kondisi sosial yang dapat merupakan faktor kondusif penyebab timbulnya kejahatan, jelas merupakan masalah yang tidak dapat diatasi semata – mata dengan “penal”. Di sinilah keterbatasan jalur “penal” dan oleh karena itu, harus ditunjang oleh jalur “nonpenal”. Salah satu jalur “nonpenal” untuk mengatasi masalah – masalah sosial seperti dikemukakan diatas adalah lewat jalur “kebijakan sosial” (social policy). Yang dalam skema G.P. Hoefnagels di atas juga dimasukkan dalam jalur “prevention without punishment”. Kebijakan sosial pada dasarnya adalah kebijakan atau upaya - upaya rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Jadi identik dengan kebijakan atau perencanaan pembangunan nasional yang meliputi berbagai aspek yang cukup luas dari pembangunan.
Salah satu aspek kebijakan sosial yang kiranya patut mendapat perhatian ialah penggarapan masalah kesehatan jiwa masyarakat (social hygiene), baik secara individual sebagai anggota masyarakat maupun kesehatan/ kesejahteraan keluarga (termasuk masalah kesejahteraan anak dan remaja), serta masyarakat luas pada umumnya. Penggarapan masalah “mental health”, “national mental health” dan “child welfare” ini pun dikemukakan dalam skema Hoefnagels di atas sebagai salah satu jalur “prevention (of crime ) without punishment” (jalur “nonpenal”). Prof. Sudarto pernah juga mengemukakan, bahwa “kegiatan karang taruna, kegiatan Pramuka dan penggarapan kesehatan jiwa masyarakat dengan pendidikan agama” merupakan upaya – upaya nonpenal dalam mencegah dan menanggulangi kejahatan.
Pembinaan dan penggarapan kesehatan jiwa masyarakat memang tidak berarti semata – mata kesehatan rohani/mental, tetapi juga kesehatan budaya dan nilai – nilau pandangan hidup masyarakat. Ini berarti penggarapan kesehatan masyarakat atau lingkungan sosial yang sehat (sebagai salah satu upaya nonpenal dalam strategi politik kriminal), tidak hanya harus berorientasi pada pendekatan religius tetapi juga berorientasi pada pendekatan identitas budaya nasional. Dilihat dari sisi upaya nonpenal ini berarti, perlu digali, dikembangkan dan dimanfaatkan seluruh potensi dukungan dan dan partisipasi masyarakat dalam upaya untuk mengektifkan dan mengembangkan “extra legal system” atau “informal and traditional system” yang ada di masyarakat.
Upaya nonpenal yang paling strategis adalah segala upaya untuk menjadikan masyarakat sebagai lingkungan sosial dan lingkungan hidup yang sehat  (secara materiil dan immateriil) dari faktor – faktor kriminogen. Ini berarti, masyarakat dengan seluruh potensinya harus dijadikan sebagai faktor penangkal kejahatan atau faktor “antikriminogen” yang merupakan bagian integral dari keseluruhan politik kriminal. Disamping upaya – upaya nonpenal dapat ditempuh dengan menyehatkan masyarakat lewat kebijakan sosial dan dengan mengali berbagai potensi yang ada di dalam masyarakat itu sendiri, dapat pula upaya nonpenal itu digali dari berbagai sumber lainnya yang juga mempunyai potensi efek-preventif. Sumber lain itu misalnya, media pers/media massa, pemanfaatan kemajuan teknologi (dikenal dengan istilah “techno-prevention”) dan pemanfaatan potensi efek-preventif dari aparat penegak hukum. Mengenai yang terakhir ini, Prof. Sudarto pernah mengemukakan, bahwa kegiatan patroli dari polisi yang dilakukan secara kontinu termasuk upaya nonpenal yang mempunyai pengaruh preventif bagi penjahat (pelanggar hukum) potensial. Sehubungan dengan hal ini, kegiatan razia/operasi yang dilakukan kepolisian di beberapa tempat tertentu dan kegiatan yang berorientasi pada pelayanan masyarakat atau kegiatan komunikatif edukatif dengan masyarakat, dapat pula dilihat sebagai upaya nonpenal yang perlu diefektifkan.
Tindakan hukum dikatakan “efektif” ketika perilaku bergerak kearah yang dikehendaki, ketika subyek patuh atau menurut, banyak tindakan hukum tidak “efektif” dalam pengertian ini. Orang-orang mengabaikan atau melanggar ketentuan.Lazimnya sanksi dibagi menjadi dua bagian, imbalan dan hukuman, yakni sanksi positf dan negatif. Gagasannya adalah bahwa orang-orang yang menjadi subyek hukum akan memilih satu dan menghindari yang lainnya. Para pembuat hukum berasumsi bahwa sanksi yang berlabel “hukuman” adalah bersifat menyakitkan dan “imbalan” adalah yang bersifat menyenangkan, sehingga konsekuensi perilaku yang dikehendaki akan mengikuti secara otomatis. Bentuk-bentuk hukuman yang lazim dalam hukum pidana adalah denda dan kurungan. Hukuman fisik atau hukuman jasmaniah lainnya, pada masa lalu, sering digunakan dalam hukum.
Di indonesia fungsi hukum di dalam pembangunan adalah sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa adanya ketertiban dalam pembangunan, merupakan sesuatu yang dipandang penting dan sangat diperlukan.Upaya nonpenal merupakan kerangka pembangunan hukum nasional yang akan datang (ius constituendum). Pencegahan kejahatan harus mampu memandang realitas sosial masyarakat, hukum sebagai panglima harus mampu menciptakan suatu tatanan sosial melalui kebijakan social.
Pembinaan bidang hukum harus mampu mengarahkan dan menampung kebutuhan – kebutuhan hukum sesuai dengan kesadaran hukum rakyat yang berkembang ke arah modernisasi menurut tingkat kemajuan pembangunan  di segala bidang sehingga tercapai ketertiban dan kepastian hukum sebagai prasarana yang harus ditujukan ke arah peningkatan pembinaan kesatuan bangsa, sekaligus berfungsi sebagai sarana menunjang perkembangan modernisasi dan pembangunan yang menyeluruhpembangunan hukum pada hakikatnya mencakup pembinaan hukum serta pembaharuan hukum. Pembinaan hukum pada hakikatnya berarti usaha – usaha untuk lebih menyempurnakan hukum yang sudah ada, sehingga sesuai dengan perkembangan masyarakat.
Hukum sesungguhnya merupakan fasilitasi interaksi antara manusia yang bertujuan untuk mencapai keteraturan kehidupan sosial sehingga kaidah-kaidah hukum yang akan diterapkan haruslah memiliki kerangka falsafah, nilai kebudayaan dan basis sosial yang hidup di masyarakat. Satjipto Rahardjo mengatakan, hukum itu tertanam ke dalam dan berakar dalam masyarakatnya. Setiap kali hukum dan cara berhukum dilepaskan dari konteks masyarakatnya maka kita akan dihadapkan pada cara berhukum yang tidak substansil. Hukum itu merupakan pantulan dari masyarakatnya, maka tidak mudah memaksa rakyat untuk berhukum menurut cara yang tidak berakar pada nilai-nilai dan kebiasaan yang ada dalam masyarakat itu. Selalu ada tarik menarik antara hukum yang berlaku dan diberlakukan dengan masyarakatnya. Hukum bukan institutif yang steril dar satu skema yang selesai. Hukum tidak ada di dunia abstrak melainkan juga berada dalam kenyataan masyarakat.
Optimalisasi jalur non penal sejalan dengan cita-cita bangsa dan tujuan negara, seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang memuat Pancasila. Segala bentuk pembangunan harus berangkat dari nilai-nilai Pancasila, karena pada hakikatnya pancasila merupakan tonggak konvergensi berbagai gagasan dan pemikiran mengenai dasar falsafah kenegaraan yang didiskusikan secara mendalam oleh para pendiri negara. Pancasila menjadi kesepakatan luhur (modus vivendi) yang kemudian ditetapkan sebagai dasar ideologi negara. Dalam hal ini, upaya non penal dalam pencegahan tindak pidana merupakan salah satu aspek cita-cita Pancasila, Pancasila menjadi dasar rasional mengenai asumsi tentang hukum yang akan dibangun sekaligus sebagai orientasi yang menunjukan kemana bangsa dan negara harus dibangun.

IV.          UPAYA PENAL UNTUK MENANGGULANGI KEJAHATAN
Secara umum upaya penanggulangan kejahatan dapat dilakukan melalui sarana “penal” dan “non penal”, Upaya penanggulangan hukum pidana melalui sarana (penal) dalam mengatur masyarakat lewat perundang-undangan pada hakikatnya merupakan wujud suatu langkah kebijakan (policy).
Upaya penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana (sarana penal) lebih menitik beratkan pada sifat “Represive” (Penindasan/pemberantasan/penumpasan), setelah kejahatan atau tindak pidana terjadi. Selain itu pada hakikatnya sarana penal merupakan bagian dari usaha penegakan hukum oleh karena itu kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penegak hukum (Law Enforcement). Dengan kata lain penanggulangan korupsi dapat dilakukan dengan cara menyerahkan kasus tindak pidana korupsi yang terjadi kepada pihak penegak hukum dalam hal ini, polisi, jaksa, dan KPK untuk diproses sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Dimana hukuman atau sanksi pidana yang dijatuhkan kepada pelaku diharapkan dapat memberikan efek jerah kepada pelaku sesuai dengan tujuan pemidanaan.
Walaupun penggunaan sarana hukum pidana “penal” dalam suatu kebijakan kriminal bukan merupakan posisi strategis dalam penanggulangan tindak pidana korupsi, namun bukan pula suatu langkah kebijakan yang bisa di sederhanakan dengan mengambil sikap ekstrim untuk menghapuskan sarana hukum pidana “penal”. Karena permasalahannya tidak terletak pada eksistensinya akan tetapi pada masalah kebijakan penggunaannya.



  V.          PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA (STUDI KOMPARATIF KUHP DAN RUU KUHP)
A.    BAB I : Tentang ruang lingkup berlakunya ketentuan peraturan perundang-undangan pidana
1.             Menurut waktu[5]
Pasal 1 s/d pasal 2 RKUHP mengatur tentang asas legalitas dibandingkan dengan KUHP sekarang, dimana KUHP menganut asas legalitas formil sedangkan RKUHP mengatur dengan adanya keseimbangan antara legalitas materiel yang tercentum dalam pasal 2 dan legalitas formil pasal 1 ayat (1) sedangkan dalam KUHP hanya mengatur tentang legalitas formil pada pasal 1 ayat (1). Didalam pasal 2 ayat 1 dan 2 RKUHP terdapat ketentuan : Ketentuan  sebagaimana  dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang‑undangan dan Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila, hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa. Ketentuan ini tidak dijelaskan/tidak terdapat didalam KUHP. Dalam pasal 1 ayat (2) terdapat ketentuan yang menyatakan bahwa dilarangnya menggunakan suatu analogi dalam menetapkan adanya suatu tindak pidana. Mengenai retroaktif dalam RKUHP mengatur lebih luas, yaitu dalam perubahan undang-undang setelah adanya putusan hakim undang-undang baru dapat berlaku apabila UU baru tersebut menganggap perbuatan tersebut bukan suatu perbuatan yang melanggar atau bukan merupakan tindak pidana lagi dan apabila ancaman pidananya lebih ringan maka digunakan UU yang baru. Sementara dalam KUHP masih hanya mengatur dalam hal perubahan UU pada saat belum adanya putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap dapat berlaku.

2.             Menurut tempat
Pada RKUHP disebutkan dan dijelaskan secara terbuka (jelas) mengenai Tempat pada bagian kedua yang meliputi Asas Wilayah atau Teritorial, Asas Nasional Pasif, Asas Universal dan Asas Nasional Pasif. Terdapat pada pasal 4-8 RKUHP. Asas wilayah RKUHP menambahkan tindak pidana di bidang teknologi informasi atau tindak pidana lainnya yang akibatnya dirasakan atau terjadi di wilayah Indonesia atau dalam kapal atau pesawat udara Indonesia. Dalam konsep Di dalam RKUHP dijelaskan mengenai Waktu Tindak Pidana dan Tempat Tindak Pidana sedangkan hal ini tidak dijelaskan di dalam KUHP. Asas nasional pasif pada RKUHP menambahkan tindak pidana korupsi, pencucian uang, perekonomian, perdagangan, kartu kredit, keamanan peralatan komunikasi elektronik.

B.     BAB II: Tentang tindak pidana dan Pertanggungjawaban Pidana
1.             Tindak Pidana
Pada pasal 11 RKUHP dijelaskan secara rinci mengenai apa itu tindak pidana atau pengertiannya dan kriteria mengenai suaatu perbuatan itu dapat dikatakan sebagai tindak pidana yaitu perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat, tidak ada alasan pembenar. Serta di dalam pasal 12 RKUHP juga dijelaskan bahwa hakim dalam mengadili suatu perkara harus mempertimbangkan dan mengutamakan keadilan baik ketika adanya pertentangan yang tidak dapat dipertemukan dan hal ini tidak terdapat dalam KUHP, dan hanya merupakan doktrin yang diakui dalam pelaksanaanya.
Mengenai Permufakatan Jahat di dalam KUHP sendiri sebenarnya sudah tercantum pada pasal 88 yang berbunyi “dikatakan ada permufakatan jahat apabila ada dua orang atau lebih telah sepakat akan melakukan suatu kejahatan” namun itu hanya sebatas pengertian. Sedangkan di dalam pasal 13 RKUHP mengatur tentang permufakatan jahat melakukan tindak pidana dipidana, jika ditentukan secara tegas dalam Undang‑Undang. Pidananya adalah 1/3 (satu per tiga) dari ancaman pidana pokok untuk tindak pidana yang bersangkutan, apabila diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup, dipidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun. Sedangkan Pidana tambahan untuk permufakatan jahat melakukan tindak pidana sama dengan tindak pidana yang bersangkutan. dalam pasal 14 RKUHP diatur pengecualian yaitu apabila pelaku menarik diri dari kesepakatan itu; atau mengambil langkah-langkah yang patut untuk mencegah terjadinya tindak pidana.
Di dalam pasal 15 RKUHP mengatur mengenai Persiapan pada Buku I, akan tetapi sebenarnya memepersiapkan suatu tindak pidana telah diatur dalam KUHP pada Buku II pasal 110 ayat (2) sampai (4). Ini merupakan hal baru pada buku I RKUHP. Persiapan melakukan tindak pidana terjadi jika pembuat berusaha untuk mendapatkan atau menyiapkan sarana, mengumpulkan informasi atau menyusun perencanaan tindakan atau melakukan tindakan-tindakan serupa yang dimaksudkan menciptakan kondisi untuk dilakukannya suatu perbuatan yang secara langsung ditujukan bagi penyelesaian tindak pidana, termasuk jika pembuat dengan sengaja mendapatkan, membuat, menghasilkan, mengimpor, mengangkut, mengekspor, atau mempunyai dalam persediaan atau penyimpanan barang, uang atau alat pembayaran lainnya, alat penghantar informasi, tempat persembunyian atau transportasi yang dimaksudkan untuk melakukan tindak pidana. Pidana untuk persiapan melakukan tindak pidana adalah 1/3 (satu pertiga) dari ancaman pidana pokok yang diancamkan untuk tindak pidana yang bersangkutan apabila diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup, dipidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun. Pidana tambahan sama dengan tindak pidana yang bersangkutan. Pengecualian terhadap delik Persiapan terdapat pada pasal 16 RKUHP yang mengatakan bahwa Persiapan melakukan tindak pidana tidak dipidana, jika yang bersangkutan menghentikan, meninggalkan, atau mencegah kemungkinan digunakan sarana tersebut.
Percobaan/pogging di dalam KUHP sebenarnya sudah diatur di dalam KUHP pasal 53-54 mengenai syarat percobaan ( pasal 53 ) dan percobaan terhadap pelanggaran tidak dipidana ( pasal 54 ) namun di dalam RKUHP terdapat hal-hal baru yang mengatur mengenai Percobaan yang terdapat dalam pasal 18-20 RKUHP. Dalam Pasal 18 tidak dipidana jika setelah melakukan permulaan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) yaitu:  a.       pembuat tidak menyelesaikan perbuatannya karena kehendaknya sendiri secara sukarela; b.      pembuat dengan kehendaknya sendiri mencegah tercapainya tujuan atau akibat perbuatannya. Kecuali dalam hal perbuatan telah menimbulkan kerugian atau menurut peraturan perundang‑undangan telah merupakan tindak pidana tersendiri, maka pembuat dapat dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana tersebut.
Pasal 20 RKUHP mengatur dalam hal tidak selesai atau tidak mungkin terjadinya tindak pidana disebabkan ketidakmampuan alat yang digunakan atau ketidakmampuan objek yang dituju, maka pembuat tetap dianggap telah melakukan percobaan tindak pidana dengan ancaman pidana tidak lebih dari 1/2 (satu perdua) maksimum pidana yang diancamkan untuk tindak pidana yang  dituju. Pidana pembantuan tidak dipidana apabila ancaman pidana hanya berupa pidana denda kategori I ( Rp 6.000.000,00 ), seperti yang tercantum di dalam pasal 22 ayat (3) RKUHP.
Pengecualian terhadap delik penyertaan diatur di dalam pasal 23 RKUHP yang berbunnyi sebagai berikut : Keadaan pribadi seseorang yang menghapuskan, mengurangi, atau membe­ratkan pidana hanya diberlakukan terhadap pembuat atau pembantu tindak pidana yang bersangkutan.
Pengulangan diatur didalam Buku I RKUHP pasal 24 yang berbunyi: Pengulangan tindak pidana terjadi, apabila orang yang sama melakukan tindak pidana lagi dalam waktu 5 (lima) tahun sejak:
a.       menjalani seluruh atau sebagian pidana pokok yang dijatuhkan;
b.      pidana pokok yang dijatuhkan telah dihapuskan; atau
c.       kewajiban menjalani pidana pokok yang dijatuhkan belum daluwarsa.
Di dalam KUHP sudah diatur mengenai pengulangan tindak pidana atau recidive namun diatur dalam buku II ( tentang kejahatan ) yaitu pada pasal 137(2), 144(2), 155(2), 161(2), 163(2), 208(2), 216(3), 321(2), 393(2) dan 303 bis (2).
Di dalam KUHP memang mengatur tentang mengajukan dan menarik kembali suatu pengaduan yang terdapat pada pasal 72-75, akan tetapi RKUHP menjelaskan lebih terbuka mengenai delik aduan yang terdapat pada pasal 25. Serta pasal 30 ayat (2) RKUHP yang mengatakan bahwa pengaduan yang ditarik kembali tidak dapat diajukan lagi.
Di dalam KUHP pada buku I pasal 44-52a tentang Alasan penghapus pidana, pengurangan dan pemberatan dijadikan dalam satu bab yang juga meliputi alasan pembenar dan pemaaf. Akan tetapi dalam RKUHP alasan pembenar dan alasan pemaaf ditempatkan pada sub bab yang berbeda, dimana alasan pembenar terdapat pada sub bab tindak pidana, sedangkan alasan pemaaf ada pada sub bab pertanggungjawaban pidana. Hal ini menegaskan bahwa alasan pembenar dan alasan pemaaf dijelaskan secara terpisah.
Bab tentang kesalahan sama sekali tidak terdapat/tercantum serta dijelaskan di dalam KUHP, namun di dalam RKUHP pasal 37 ayat (1) dan (2) mengatur tentang asas kesalahan itu sendiri dan unsur dari kesalahan (kessalahan dalam arti normatif/luas). Pasal 37 ayat (1) : tidak seorangpun yang melakukan tindak pidana dipidana tanpa kesalahan yaitu menekankan bahwa pada prinsipnya bahwa tiada pidana tanpa adanya kesalahan. Oleh karena itu apabila bentuk-bentuk kesalahan seperti dolus/culpa (kesengajaan/kealpaan) tidak ada, maka seseorang tidak dapat untuk dipertanggungjawabkan. Pasal 37 (2) : kesalahan terdiri dari kemampuan bertanggung jawab, kesengajaan, kealpaan, dan tidak ada alasan pemaaf. Dalam KUHP tidak mengatur serta menjelaskan/mendefinisikan mengenai Strict Liability dan Vicarious Liabilty. Strict Liability adalah dapat dipidananya seseorang tanpa harus dibuktikan unsur kesalahannya ( actus non facit reum men sit rea/mens rea), Vicarious Labilty yaitu suatu pertanggungjawaban pengganti, dimana seseorang ada hubungan khusus, yang akan mempertanggungjawabkan tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain. Dan dalam RKUHP kedua hal ini diatur di dalam pasal 38 ayat (1) dan (2).  
RKUHP pasal 39 ayat 1-3 mengatur tentang kesengajaan dan kealpaan sedangkan di dalam KUHP tidak dijelaskan secara rinci mengenai kesengajaan dan kealpaan.
Di dalam KUHP tidak dijelaskan mengenai adanya suatu alasan pemaaf namun di RKUHP mengatur tentang ketentuan tersebut yang tertuang dalam pasal 42 ayat (1) dan (2) RKUHP, yang mengatur bahwa tidak dipidana, jika seseorang tidak menge­tahui atau sesat mengenai keadaan yang merupakan unsur tindak pidana atau berkeyakinan bahwa perbuatannya tidak merupakan suatu tindak pidana, kecuali ketidaktahuan, kesesatan, atau keyakinannya itu patut dipersalahkan kepadanya. Namun apabila patut dipersalahkan atau dipidana maka maksimum pidananya dikurangi dan tidak melebihi 1/2 (satu perdua) dari maksimum pidana untuk  tindak pidana yang dilakukan.
KUHP sebenarnya sudah mengatur yang namanya Daya Paksa/Overmacht, akan tetapi tidak dijelaskan mengenai jenis-jenis dari overmacht (vis absoluta dan vis compusiva). Sedangkan di RKUHP jenis-jenis overmacht dijelaskan yang dituangkan di dalam pasal 43 RKUHP, sebagai berikut :
a.        dipaksa oleh kekuatan yang tidak dapat ditahan (Via Absoluta) ; atau              
b.        dipaksa oleh adanya ancaman, tekanan, atau kekuatan yang tidak dapat dihindari (Via Compulsiva/Daya Paksa Relatif)
RKUHP juga menjelaskan apa saja yang termasuk dari Alasan Pemaaf yang terdapat dalam pasal 46 RKUHP, sebgai berikut :
a.         tidak ada kesalahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1);
b.        pada waktu melakukan tindak pidana menderita gangguan jiwa, penyakit jiwa, atau retardasi mental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40; atau
c.         belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1).
KUHP tidak mengatur mengatur Korporasi sebagai Subjek Tindak Pidana namun RKUHP mengatur tentang itu yang mana tertuang di dalam pasal 47-53 RKUHP. Pasal 47 mengatur bahwa Korporasi merupakan subjek hukum pidana, Pasal 48 dan 49 mengatur siapa yang dapat dipertanggungjawabkan atau dipersalahakan atas tindak pidana korporasi, Pasal 50 mengatur ruang lingkup perbuatan yang dapat dipidana yang dilakukan oleh korporasi, Pasal 51 mengatur tentang pembatasan pertanggungjawaban pidana oleh pengurus korporasi. Pasal 52 mengatur tentang pengesampingan hukum pidana (ultimum remidium) apabila telah ada bagian hukum lain yang mampu memberikan perlindungan yang lebih berguna. Dan pertimbangan tersebut harus dinyatakan oleh putusan hakim. Pasal 53 mengatur mengenai tata cara mengajukan alasan pemaaf dan pembenar yang dapat diajukan oleh korporasi.

C.           Bab III Mengenai Pemidanaan, Pidana, Dan Tindakan
KUHP tidak menjelaskan mengenai adanya suatu Tujuan Pemidanaan, akan tetapi didalam RKUHP tujuan pemidanaan diuraikan secara jelas pada pasal 54 ayat (1) dan (2) yang mana ini merupakan implementasi dari Ide Keseimbangan. Pemidanaan bertujuan:
a.       mencegah dilakukannya  tindak  pidana  dengan menegak­kan norma hukum demi pengayoman masyarakat;
b.      memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;
c.       menyelesaikan konflik yang  ditimbulkan  oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan
d.      membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
e.       Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendah­kan martabat manusia.
RKUHP menyebutkan serta menjelaskan mengenai Pedoman Pemidanaan yang tidak terdapat di dalam KUHP. Pedoman Pemidanaan sejatinya akan sangat membantu hakim dalam mempertimbangkan takaran atau berat ringannya suatu hukumman atau pidana yang akan dijatuhkan. Hal ini terdapat dalam pasal 51 ayat (1) mengenai pertimbangan dalam pemidanaan, dan pasal 52 ayat (2) mengatur mengenai asas Rechterlijk Pardon (permaafan hakim) dengan mempertimbangkan keadilan dan kemanusiaan terhadap terdakwa. Dalam pemidanaan wajib dipertimbangkan sebagai berikut :
a.       kesalahan pembuat tindak pidana;
b.      motif dan tujuan melakukan tindak pidana;
c.       sikap batin pembuat tindak pidana;
d.      tindak pidana yang dilakukan apakah direncanakan atau tidak direncanakan;
e.       cara melakukan tindak pidana;
f.       sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana;
g.      riwayat hidup, keadaan sosial, dan keadaan ekonomi pembuat tindak pidana;
h.      pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana;
i.        pengaruh tindak pidana terhadap korban atau ­ke­luarga korban;
j.        pemaafan dari korban dan/atau keluarganya;  dan/atau
k.      pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang ­dilakukan.
l.        Ringannya  perbuatan, keadaan pribadi pembuat, atau kea­daan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian, dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.
Pada pasal 56 RKUHP mengatur tentang Culpa in Causa, yaitu dimana seseorang patut untuk dicela apabila dia dengan sengaja memasukkan diri ke dalam alasan penghapus pidana. Mengenai Culpa in Causa, hal ini tidak  56, sebagai berikut : seseorang yang melakukan tindak pidana tidak dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana berdasarkan alasan peniadaan pidana, jika orang tersebut telah dengan sengaja menyebabkan terjadinya keadaan yang dapat menjadi alasan peniadaan pidana. KUHP tidak mengatur secara terbuka mengenai perubahan dan penyesuaian pidana , namun RKUHP mengatur akan hal itu yang terdapat pada pasal 57 ayat (1)-(6) tentang perubahan dan penyesuaian pidana. Dengan memperhatikan sakah satu tujuan pemidanaan yang berorientasi kepada usaha untuk memperbaiki perilaku terpidana, yang mana dimungkinkan untuk adanya suatu remisi.
Di dalam KUHP tidak mengatur tentang Pedoman Penerapan Pidana Penjara dengan Perumusan Tunggal dan Alternatif, sedangkan RKUHP mengatur tentang hal itu yang terdapat dalam pasal 58 ayat (1) – (4). Pasal ini dicantumkan bertujuan untuk memberikan kemungkinan yang diberikan kepada hakim untuk menjatuhkan pidana denda sebagai pengganti pidana penjara terhadap terdakwa, yang mana untuk mengatasi sifat kaku dari perumusan pidana yang bersifat tunggal yang  seolah-olah mengharuskan hakim untuk hanya menjatuhkan pidana penjara. Masih terkait dengan Penjelasan pasal 59-60 RKUHP juga mengatur tentang Pedoman Penerapan Pidana Penjara dengan Perumusan Tunggal dan Alternatif.
Lain-lain ketentuan pemidaan tidak terdapat pada KUHP, akan tetapi diatur didalam pasal 61 dan 62 RKUHP yang mengatur tentang pelaksanaan putusan ( penintensier ).
RKUHP pada pasal 63 ayat (1) – (3) mengatur tentang ketentuan waktu permohonan pengajuan grasi, yang tidak dijelaskan di dalam KUHP.
Jenis-jenis pidana sebenarnya sudah dijelaskan di dalam KUHP pada BUKU I pasal 10 huruf a yang terdiri dari pidana mati, penjara, kurungan, denda. Hal ini berbeda dengan jenis-jenis pidana yang terdapat dalam pasal 65 ayat (1) RKUHP yang mengatur lain tentang pidana pokok, yaitu : pidana penjara; pidana tutupan; pidana pengawasan; pidana denda; dan pidana kerja sosial.
Dan pada pasal 65 ayat (2)  mengatur tentang hierarkhi pemidanaan menen­tukan berat ringannya pidana.
Pidana mati dicantumkan dalam pasal tersendiri untuk menunjukkan bahwa jenis pidana ini benar-benar bersifat khusus yang merupakan jenis pidana yang paling berat. Seperti yang tercantum di dalam pasal 66 RKUHP. Ketentuan ini tidak terdapat dalam KUHP, KUHP hanya memberikan penjalanan / pelaksanaan tentang pidana mati dan tidak menempatkannya pada pasal yang tersendiri.
Mengenai pidana tambahan sebenarnya sudah diatur di dalam KUHP pasal 10 huruf b, yang terdiri dari perampasan barang-barang tertentu, perampasan hak-hak tertentu dan pengumuman putusan hakim. Akan tetapi ada tambahan atau hal baru yang mana telah diatur di dalam pasal 67 ayat (1) RKUHP, yaitu : pembayaran ganti kerugian; dan pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat.
Pasal 67 ayat (2) – (5) RKUHP mengatur tentang sifat dan ketentuan pidana tambahan, yaitu ; dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok, sebagai pidana yang berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan bersama-sama  dengan pidana tambahan yang lain. Pidana  tambahan  berupa  pemenuhan  kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat atau pencabutan hak yang diperoleh korporasi dapat dijatuhkan walaupun tidak tercantum dalam perumusan tindak pidana. Pidana tambahan untuk  percobaan dan pembantuan adalah sama dengan pidana tambahan untuk tindak pidananya. Anggota Tentara Nasional Indonesia yang melakukan tindak pidana dapat dikenakan pidana tambahan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan bagi Tentara Nasional Indonesia.
KUHP tidak menjelaskan akan Pidana Tutupan akan tetapi RKUHP menjelaskannya lebih dalam yang tertuang di dalam pasal 76 ayat (1) – (3) yaitu: mengingat keadaan pribadi dan perbuatan­nya dapat dijatuhi pidana tutupan; terdakwa yang melakukan tindak pidana karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati.
Begitupun dengan pidana pengawasan yang tidak dijelaskan pada KUHP akan tetapi dijelaskan dalam RKUHP pada pasal 77-79, yaitu: tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun untuk waktu paling lama 3 (tiga) tahun; mengingat keadaan pribadi dan perbuatannya. Dengan syarat‑syarat: terpidana tidak akan melakukan tindak pidana; terpidana dalam waktu tertentu yang lebih pendek dari masa pidana pengawasan, harus mengganti seluruh atau sebagian kerugian yang timbul oleh tindak pidana yang dilakukan; dan/ atau; terpidana harus melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan tertentu, tanpa mengurangi kemerdekaan beragama dan kemerdekaan berpolitik.
Pengaturan mengenai pidana denda sebenarnya sudah diatur dalam di dalam KUHP pasal 30 akan tetapi adanya hal baru pada pasal 80 ayat 1-7 yang mana ada pembaharuan nominal denda dan adanya nominal minimum dan minimum khusus. Pidana denda  merupakan pidana berupa sejumlah uang yang  wajib  dibayar  oleh  terpidana berdasarkan putusan pengadilan. Jika tidak ditentukan minimum khusus maka pidana denda paling sedikit  Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah). Pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan  kategori, yaitu: a. kategori I   Rp 6.000.000,00 (enam juta rupiah); b. kategori II  Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah); c. kategori III Rp 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah); d. kategori IV Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah); e. kategori V Rp 1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah); dan f. kategori VI Rp 12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).
Masih terkait dengan pidana denda ( tidak terdapat pada KUHP ) pasal 81 RKUHP mengatur tentang kemampuan terdakwa dalam pidana denda, kemampuan terdakwa yang juga termasuk dengan keadaan pribadinya, serta menyatakan bahwa ayat (1) dan (2) tidak mengurangi minimum khusus pada tindak pidana tertentu. KUHP tidak mengatur tentang pidana pengganti denda untuk korporasi, namun hal ini dijelaskan secara terbuka pada pasal 85 RKUHP, pidana pengganti berupa pencabutan izin usaha atau pembubaran korporasi.
Mengenai Pidana kerja sosial tidak terdapat pada KUHP, sedangkan hal ini terdapat di dalam RKUHP pasal 86 ayat (1) – (7) , hal ini terkait dengan perumusan alternatif dimana pidana penjara menjadi obat yang paling terakhir dan sebisa mungkin dihindari, sebagai contoh diganti dengan kerja sosial seperti yang dijelaskan oleh pasal 86 ayat (1) – (7)  RKUHP.
Pidana mati yang penyusunannya secara alternatif hanya dijelaskan di dalam pasal 87 RKUHP, sedangkan pada KUHP tidak dijelaskan, Pidana mati secara alternatif dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat. Pelaksanaan pidana mati sebenarnya sudah diatur dan dijelaskan dalam KUHP pada pasal 11, akan tetapi hanya sebatas tata cara terpidana dihukum mati, sedangkan pada hal yang sama yang diatur dalam pasal 88 RKUHP ada hal-hal yanag baru yang dijelaskan terkait pelaksanaan pidana mati dengan menembak terpidana sampai mati oleh regu tembak, tidak dilaksanakan di muka umum, terhadap wanita hamil atau orang yang sakit jiwa ditunda sampai wanita tersebut melahirkan atau orang yang sakit jiwa tersebut sembuh. Pidana mati  baru  dapat  dilaksanakan setelah permohonan grasi bagi terpidana ditolak Presiden.
Pada pasal berikutnya, yaitu pasal 89 RKUHP mengatur mengenai penundaan pidana mati dan dalam KUHP hal ini tidak diatur, yaitu dapat ditunda dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun, jika reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar; terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki; kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana tidak terlalu penting; dan ada alasan yang meringankan. Jika terpidana selama masa percobaan menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dengan keputusan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia. Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang  terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki maka pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.
Pada pasal 91 RKUHP mengatur mengenai Pidana Tambahan yang terdiri dari 2 ayat. Dimana ayat 1 mengatur tentang Pencabutan Hak tertentu. Terkait dengan pasal 91 ayat 1 tersebut sebenarnya di KUHP sudah dijelaskan pada pasal 35 ayat 1 KUHP. Sedangkan untuk Pasal 91 ayat 2 RKUHP, ini merupakan hal baru yang tidak diatur di dalam KUHP yang mengatur mengenai pencabutan hak atas Korporasi.
Terkait dengan hal Perampasan, sebenarnya sudah diatur di dalam KUHP pasal 39-42 , akan tetapi tidak dijelaskan mengenai ketentuan penjatuhan pidana perampasan seperti yang diatur di dalam pasal 95 RKUHP yaitu dapat dijatuhkan tanpa pidana pokok jika ancaman pidana penjara terhadap tindak pidana yang bersangkutan tidak lebih dari 7 (tujuh) tahun, pidana perampasan barang tertentu dan/atau tagihan dapat juga dijatuhkan, jika terpidana hanya dikenakan tindakan. Pidana perampasan barang yang bukan milik terpidana tidak dapat dijatuhkan, jika hak pihak ketiga dengan itikad baik akan terganggu.
Memang di dalam KUHP mengatur tentang perampasan dan pengumuman putusan hakim, akan tetapi tidak mengatur tentang Pencantuman pidana tambahan berupa pembayaran ganti kerugian kepada korban, seperti yang disebutkan dan dijelaskan pada pasal 99 ayat (1) dan (2) RKUHP.
Pada pasal 100 RKUHP yang mengatur pemenuhan pidana pengganti kepada masyarakat atau adat setempat. Yang mana hal ini tidak diatur di dalam KUHP.
KUHP tidak mengatur tentang Tindakan/Treatment karena tidak menganut sistem Double Track System, berbeda dengan RKUHP yang menganut sistem ini. Double Track System yaitu di samping pembuat tindak pidana tindak pidana dapat dijatuhi pidana,  dapat juga dikenakan berbagai tindakan. Yang tertuang pada pasal 101-112 RKUHP, yang menjelaskan secara terbuka mengenai tindakan dari jenis-jenis tindakan, ketentuan tindakan sampai dengan tata cara pelaksanaannya.
Pada pasal berikutnya yaitu pada pasal 114 ayat 1 dan 2 RKUHP mengatur bahwa  sedapat mungkin anak sebagai pembuat tindak pidana dihindarkan dari pemeriksaan di sidang pengadilan.
Pasal 115 RKUHP, yang mengatakan bahwa pemberatan pidana pada pengulangan tindak pidana yang dilakukan anak tidak perlu diterapkan.
Pasal 116  mengatakan bahwa Ketentuan dalam Pasal ini memuat jenis-jenis pidana bagi anak yang dapat dijatuhkan oleh hakim. Pidana pokok bagi anak terdiri atas:
a.       Pidana verbal (diatur lebih lanjut pada pasal 117) : pidana peringatan; atau pidana teguran keras;
b.      Pidana dengan syarat (diatur lebih lanjut dalam pasal 118) : pidana pembinaan di luar lembaga (diatur lebih lanjut dalam pasal 119); pidana kerja sosial (diatur lebih lanjut dalam pasal 120); atau pidana pengawasan (diatur lebih lanjut dalam pasal 121) ;
c.       Pidana denda (diatur lebih lanjut dalam pasal 122- pasal 123); atau
d.      Pidana pembatasan kebebasan (diatur lebih lanjut dalam pasal 124): pidana pembinaan di dalam lembaga (diatur lebih lanjut dalam pasal 125) ; pidana penjara (diatur lebih lanjut dalam pasal 126) dengan maksimal 10 tahun dan tidak dapat dijatuhi hukuman pidana penjara seumur hidup atau pidana mati; atau pidana tutupan (diatur lebih lanjut dalam pasal 127).
Pidana tambahan terdiri atas:
a.       perampasan barang‑barang tertentu dan/atau tagihan;
b.      pembayaran ganti kerugian; atau
c.       pemenuhan kewajiban adat.
Pada KUHP sebenarnya telah mengatur mengenai hal yang memperingan dan memberatkan pengenaan pidana, yaitu tak mampu bertanggungjawab, belum umur 16 tahun, daya paksa, pembelaan terpaksa, ketentuan undang-undang, perintah jabatan, pemberatan karena jabatan/bendera kebangsaan dan tentang percobaan. Akan tetapi ada hal-hal baru yang ada pada bab faktor yang memperingan dan memperberat pidana, seperti yang diatur pada pasal 132-136 RKUHP. Pasal 132-133 RKUHP mengatur tentang hal yang memperingan pidana dan hal-hal yang meringankan pidana dengan ditetapkannya maksimum pidana yang dapat dijatuhkan. Faktor yang memperingan pidana meliputi: a.  percobaan  melakukan tindak pidana; b.  pembantuan terjadinya tindak pidana; c. penyerahan diri secara sukarela kepada yang berwajib setelah melakukan  tindak pidana; d.  tindak pidana yang dilakukan oleh wanita hamil; e. pemberian ganti kerugian yang layak atau perbaikan kerusakan secara sukarela sebagai akibat tindak pidana yang dilakukan; f. tindak pidana yang dilakukan  karena  kegoncangan jiwa yang  sangat hebat; g. tindak pidana yang dilakukan oleh pembuat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39; atau h. faktor lain yang bersumber dari hukum yang hidup dalam masyarakat. Untuk tindak pidana yang diancam pidana mati dan penjara seumur hidup, maksimum pidananya penjara 15 (lima belas) tahun. Berdasarkan pertimbangan tertentu, peringanan pidana dapat berupa perubahan jenis pidana dari yang lebih berat ke jenis pidana yang lebih ringan.
Sedangkan pada pasal 134-135 mengatur tentang pemberatan pidana dan terdapat hal-hal yang memperberat pidana dengan ditetapkannya maksimum ancaman pidana ditambah 1/3 (satu per tiga). Sebagai berikut :
a.       pelanggaran suatu kewajiban jabatan yang khusus diancam dengan pidana atau tindak pidana yang dilakukan oleh pegawai negeri dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatan;
b.      penggunaan bendera kebangsaan, lagu kebangsaan, atau lambang negara Indonesia pada waktu melakukan tindak pidana;
c.       penyalahgunaan keahlian atau profesi untuk melakukan  tindak pidana;
d.      tindak pidana yang dilakukan orang dewasa bersama-sama dengan anak di bawah umur 18 (delapan belas) tahun;
e.       tindak  pidana  yang dilakukan secara bersekutu, bersama‑sama, dengan kekerasan, dengan cara yang kejam, atau dengan berencana;
f.       tindak pidana yang dilakukan pada waktu  terjadi huru hara atau bencana alam;
g.      tindak  pidana yang  dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya;
h.      pengulangan tindak pidana; atau
i.        faktor lain yang bersumber dari hukum yang hidup dalam masyarakat. .
Pasal 136 RKUHP yang terdiri dari 2 ayat, dimana ayat yang 1 mengatur tentang faktor yang memperingan dan memperberat pidana secara bersama-sama dan ayat yang ke 2 mengatur tentang pertimbangan hakim akan ketentuan pada ayat (1). Sebagai berikut :
(1)   Jika dalam suatu perkara terdapat faktor yang memperingan dan memperberat pidana secara bersama‑sama maka maksimum ancaman pidana diperberat lebih dahulu, kemudian hasil pemberatan tersebut dikurangi 1/3 (satu per tiga).
(2)   Berdasarkan pertimbangan tertentu, hakim dapat tidak menerapkan ketentuan mengenai peringanan dan pemberatan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Perihal perbarengan sebenarnya sudah diatur di KUHP yaitu pasal 63-71. Akan tetapi ada hal baru yang terdapat pada pasal 142 ayat (2) RKUHP, yang mengatur tentang, yaitu lamanya pidana penjara pengganti atau pidana pengawasan pengganti tidak boleh lebih dari 1 (satu) tahun.

D.  BAB IV:  Tentang Gugurnya Kewenangan Penuntutan dan Pelaksanaan Pidana
Mengenai gugurnya kewenangan penuntutan pidana sebenarnya sudah diatur di dalam KUHP pasal 76 ( mengatur tentang nebis in idem ), pasal 77 (matinya terdakwa), pasal 78 ( Daluwarsa ). Akan tetapi pada RKUHP terdapat hal baru mengenai gugurnya kewenangan penuntutan pidana yaitu pada pasal 145:
a.       telah ada putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap; ( sudah ada )
b.      terdakwa meninggal dunia; ( sudah ada )
c.       daluwarsa; ( sudah ada )
d.      penyelesaian di luar proses;
e.       maksimum pidana denda dibayar dengan sukarela bagi tindak pidana yang dilakukan hanya diancam dengan pidana denda  paling banyak  kategori II;
f.       maksimum pidana denda dibayar dengan sukarela bagi tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III;
g.      Presiden memberi amnesti atau abolisi;
h.      penuntutan dihentikan karena penuntutan diserahkan kepada negara lain berdasarkan perjanjian;
i.        tindak pidana aduan yang tidak ada pengaduan atau pengaduannya ditarik kembali; atau
j.        pengenaan asas oportunitas oleh Jaksa Agung.

Kewenangan penuntutan gugur karena daluwarsa sudah diatur pada KUHP pasal 78 tapi ada hal baru yang tecantum pada pasal 149 ayat (1) huruf b yaitu Kewenangan penuntutan gugur karena daluwarsa yaitu sesudah  lampau  waktu  2 (dua) tahun untuk tindak pidana  yang  hanya  diancam  dengan  pidana  denda atau semua tindak pidana  yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.
Kewenangan gugurnya pelaksanaan pidana diatur dalam pasal 153 RKUHP, sedangkan di dalam KUHP hanya mengatur mengenai daluwarsa penjalanan pidana pada pasal 84 dan 85. Kewenangan pelaksanaan pidana gugur, jika: a. terpidana meninggal dunia; b. daluwarsa eksekusi; c. terpidana mendapat grasi dan amnesti; d. rehabilitasi; atau e. penyerahan untuk pelaksanaan pidana ke negara lain.
Pasal 154 mengatur tentang perampasan barang apabila terpidana meninggal. Hal ini tidak diatur dalam KUHP.
KUHP sebenarnya telah mengatur mengenai daluwarsa penjalanan pidana yang dijelaskan pada pasal 84 ayat (1)-(4). Akan tetapi terdapat hal baru yang terpapar pada pasal 155 RKUHP ayat (1) dan (4). Yaitu : Kewenangan pelaksanaan pidana penjara gugur karena daluwarsa,  setelah berlaku tenggang waktu yang sama dengan tenggang waktu daluwarsa kewenangan menuntut ditambah 1/3 (satu per tiga) dari tenggang waktu daluwarsa tersebut. Jika  pidana  mati diubah  menjadi pidana  penjara seumur hidup atau pidana penjara sebagaimana dimaksud dalam  Pasal 89 ayat (2) maka  kewenangan  pelaksanaan  pidana gugur karena daluwarsa setelah lewat waktu yang sama dengan tenggang waktu daluwarsa kewenangan menuntut sebagai­mana dimaksud dalam  Pasal 149 ayat (1) huruf e ditambah 1/3 (satu per tiga) dari tenggang waktu daluwarsa tersebut.

E. Bab V : Mengatur Tentang Pengertian Istilah
Dalam RKUHP lebih banyak istilah baru yang dimasukkan dibanding dengan KUHP yang relatif sedikit pengertian istilah yang digunakan.
Pasal 158 RKUHP mengatur tentang pengertian anak kunci, sebenarnya sudah diatur pada pasal 100 KUHP tapi hal itu mengenai penjelasannya. yaitu: “Anak kunci adalah alat yang digunakan untuk membuka kunci, termasuk kode rahasia, kunci masuk komputer, kartu magnetik, sinyal, atau frekuensi yang telah diprogram yang dapat digunakan untuk membuka sesuatu oleh orang yang diberi hak untuk itu.”
Pasal 160 RKUHP mengatur tentang ancaman kekerasan, yaitu: “Ancaman kekerasan adalah suatu hal atau keadaan yang menimbulkan  ra­sa takut, cemas, atau khawatir pada orang yang diancam.”
Pasal 162 RKUHP mengatur istilah awak pesawat udara, yaitu : “Awak pesawat udara adalah orang tertentu yang berada dalam pesawat udara sebagai perwira atau bawahan.”
Pasal 165 mengatur definisi barang : “Barang adalah benda berwujud termasuk air dan uang giral, dan benda tidak berwujud, termasuk aliran listrik, gas, data dan program komputer, jasa termasuk jasa telepon, jasa telekomunikasi, atau jasa komputer. “
Pasal 166 RKUHP yang mengatur tentang benda cagar budaya : Benda cagar budaya adalah:
a.       benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak, yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan;
b.      benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.
Pasal 170 RKUHP mengatur tentang data komputer “Data komputer  adalah suatu representasi fakta-fakta, informasi atau konsep-konsep dalam suatu bentuk yang sesuai untuk prosesing di dalam suatu sistem komputer, termasuk suatu program yang sesuai untuk memungkinkan suatu sistem komputer untuk melakukan suatu.”
Pasal 172 RKUHP mengatur tentang harta kekayaan : “Harta kekayaan adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud.”
“Pasal 173 RKUHP mengatur tentang informasi elektronik : “Informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik diantaranya meliputi teks, simbol, gambar, tanda-tanda, isyarat, tulisan, suara, bunyi, dan bentuk-bentuk lainnya yang telah diolah sehingga mempunyai arti.”
Pasal 174 mengatur tentang jaringan telepon, yaitu Jaringan telepon adalah termasuk jaringan komputer atau sistem komunikasi komputer.
Pasal 175 RKUHP mengatur tentang definisi kapal yaitu kendaraan air dengan bentuk dan jenis apapun, yang digerakkan dengan tenaga mekanik, tenaga angin, atau ditunda, termasuk kendaraan yang berdaya dukung dinamis, kendaraan di bawah permukaan air, serta alat apung dan bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah.
Pasal 177 RKUHP, menjelaskan tentang kapten pilot : Kapten pilot adalah orang yang memegang kekuasaan tertinggi dalam pesawat udara atau orang yang menggantikannya.
Pasal 178 RKUHP mengatur tentang kekerasan : Kekerasan adalah setiap perbuatan penyalahgunaan kekuatan fisik dengan atau tanpa menggunakan sarana secara melawan hukum dan menimbulkan bahaya bagi badan, nyawa, kemerdekaan, penderitaan fisik, seksual, psikologis, termasuk menjadikan orang pingsan atau tidak berdaya.
Pasal 180 RKUHP mengatur tentang kode akses : Kode akses adalah angka, huruf, simbol lainnya atau kombinasi diantaranya yang merupakan kunci untuk dapat mengakses komputer, jaringan komputer, internet, atau media elektronik lainnya.
Pasal 181 RKUHP mengatur tentang definisi komputer : Komputer adalah alat pemroses data elektronik, magnetik, optikal, atau sistem yang melaksanakan fungsi logika, aritmatika, dan penyimpanan.
Pasal 182 RKUHP mengatur mengenai korporasi : Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
Pasal 186 RKUHP mengatur tentang masuk atau log in yang artinya masuk yaitu termasuk mengakses komputer atau masuk ke dalam sistem komputer.
Pasal 190 mengatur tentang defininisi pejabat, yang sebenarnya sudah dijelaskan oleh KUHP pada padal 92 KUHP, akan tetapi RKUHP mengatur lebih rinci. “Pejabat adalah setiap warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas negara, atau diserahi tugas lain oleh negara, dan digaji berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang meliputi: pegawai negeri; pejabat negara; penyelenggara negara; pejabat publik; pejabat daerah; orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah; orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyatakat; pejabat publik asing; atau pejabat lain yang ditentukan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Pasal 192 RKUHP mengatur tentang pencemaran lingkungan hidup: Pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya.
Pasal 196 RKUHP mengatur tentang penyedia jasa keuangan yaitu: Penyedia jasa keuangan adalah setiap orang yang menyediakan jasa di bidang keuangan atau jasa lainnya yang terkait dengan keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana, kustodian, wali amanat, lembaga penyinpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing, dana pensiun, perusahaan asuransi, dan kantor pos.
Pasal 198 RKUHP mengatur tentang perbuatan. Perbuatan adalah termasuk juga perbuatan yang dilakukan atau perbuatan yang tidak dilakukan yang merupakan tindak pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan atau hukum yang berlaku.
Pasal 199 mengatur tentang permainan judi adalah : Permainan judi adalah: a.setiap permainan yang kemungkinan untuk mendapat untung tergantung pada untung‑untungan belaka; b.setiap permainan yang kemungkinan untuk mendapatkan untung tersebut bertam­bah besar, karena pemainnya lebih terlatih atau lebih mahir; c.semua pertaruhan tentang hasil perlombaan atau permainan lainnya yang dilakukan oleh setiap orang yang bukan turut berlomba atau turut bermain; atau d. pertaruhan lainnya.
Pasal 200 RKUHP mengatur tentang perusakan lingkungan hidup. Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan.
Pasal 203 RKUHP mengatur tentang pornografi. Pornografi adalah substansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika.
Pasal 204 mengatur tentang ruang: Ruang adalah termasuk bentangan atau terminal komputer yang dapat diakses dengan cara-cara tertentu.
Pasal 205 RKUHP mengatur tentang definisi setiap orang : Setiap orang adalah orang perseorangan, termasuk korporasi.
Pasal 206 RKUHP mengatur tentang sistem komputer yaitu Sistem komputer adalah suatu alat, perlengkapan, atau suatu perangkat perlengkapan yang saling berhubungan atau terkait satu sama lain, satu atau lebih yang mengikuti suatu program, melakukan prosesing data secara otomatik.
Pasal 207 RKUHP mengatur tentang surat yaitu Surat adalah surat yang tertulis di atas kertas, termasuk juga surat atau data yang tertulis atau tersimpan dalam disket, pita magnetik, atau media penyimpan komputer atau media penyimpan data elektronik lain.
Pasal 209 RKUHP mengatur tentang pengertian tindak pidana: Tindak pidana adalah termasuk juga permufakatan jahat, persiapan, percobaan, dan pembantuan melakukan tindak pidana, kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang‑undangan.

VI.          ANALISA PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA
A.    Masalah Pembaharuan Hukum Pidana
Pembaharuan hukum pidana (penal reform) merupakan bagian dari kebijakan/politik hukum pidana (penal policy). Makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana berkaitan erat dengan latar belakang dan urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana itu sendiri. Latar belakang dan urdensi diadakannya pembaharuan hukum pidana dapat ditinjau dari aspek sosio-politik, sosio-filosofis, sosio kultural atau dari berbagai aspek kenijakan (khususnya kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum). Ini berarti makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana juga berkaitan erat dengan berbagai aspek itu. Artinya, pembaharuan hukum pidana juga pada hakikatnya harus merupakan perwujudan dari perubahan dan pembaharuan terhadap berbagai aspek dan kebijakan yang melatar-belakangi itu. Dengan demikian, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya mengandung mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio filosofis, sosio-kulturan masyarakat indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia. Secara singkat dapatlah dikatakan, bahwa pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy-oriented approach) dan sekali gus pendekatan yang berorientasi pada nilai (value-oriented approach).
Pembaharuan hukum pidana harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan, karena memang pada hakikatnya ia hanya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan atau policy (yaitu bagian dari politik hukum/penegakan hukum, pilitik hukum pidana, politik kriminal, politik sosial). Di dalam setiap kebijakan (policy) terkandung pula pertimbangan nilai. Oleh karena itu, pembaharuan hukum pidana harus pula berorientasi pada pendekatan nilai.
Dengan uaraian di atas dapat disimpulkan makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana sebagai berikut:
1.      Dilihat dari sudut pendekatan-kebijakan:
·       Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam rangka mencapai/menunjang tujuan nasional (kesejahteraan masyarakat dan sebagainya),
·       Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat (khususnya upaya penanggulangan kejahatan),
·       Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari uapaya memperbaharui substansi hukum (legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum
2.    Dilihat dari sudut pendekatan-nilai:
Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya melakukan peninjauan dan penilaian kembali (re-oriented dan re-evaluasi) nilai-nilai sosio-politik, sosio-filosofis, dan sosio-kultural yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif hukum pidana yang dicita-citakan. Bukanlah pembaharuan (reformasi) hukum pidana, apabila orientasi nilai dari hukum pidana yang dicita-citakan (misalnya KUHP Baru) sama saja dengan orientasi nilai dari hukum pidana lama warisan penjajah (KUHP lama atau WvS).

B.     Pendekatan Kebijakan Dan Pendekatan Nilai
Dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) adalah:
1.      perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan
2.      sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.
Penganalisaan terhadap dua masalah sentral ini tidak dapat dilepaskan dari konsepsi integral antara kebijakan kriminal dengan kebijakan sosial atau kebijakan pembangunan nasional. Ini berarti pemecahan masalah-masalah di atas harus pula diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari kebijakan sosial-politik yang telah ditetapkan. Dengan demikian kebijakan hukum pidana, termasuk pula kebijakan dalam menangani dua masalah sentral di atas, harus pula dilakukan dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach). Sudah barang tentu pendekatan kebijakan yang integral ini tidak hanya dalam bidang hukum pidana, tetapi juga pada pembangunan hukum pada umumnya. Pendekatan demikian terlihat pula misalnya pada tulisan Satjipto Rahardjo yang berjudul “Pembangunan Hukum yang Diarahkan kepada Tujuan Nasional”. Dikemukakan oleh Satjipto Raharjo bahwa tidak dijumpai perbedaan antara fungsi hukum sebelum dan susudah kemerdekaan. Perbedaannya terletak pada keputusan politik yang diambil dalam kedua masalah tersebut dan pengimplementasiannya ke dalam sistem hukum masing-masing. Apabila keputusan politik yang diambil setelah kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah mengutamakan kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya, maka keputusan demikian harus dirumuskan dalam kaidah-kaidah hukum dan struktur hukumnya pun harus menyediakan kemungkinan untuk melakukan hal itu.
Bertolak dari pendekatan itu pila, Sudarto berpendapat bahwa dalam menghadapi masalah sentral yang pertama di atas, yang sering disebut masalah kriminalisasi, harus diperhatikan hal-hal yang pada intinya sebagai berikut:
1.      Pembangunan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata material spiritual berdasarkan Pancasila. Sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.
2.      Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (material dan atau spiritual) atas warga masyarakat,
3.      Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost and benefit principle),
4.      Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overvelasting)
Pendekatan yang berorientasi pada kebijakan sosial terlihat pula dalam Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional pada bulan Agustus 1980 di Semarang. Dalam salah satu laporannya dinyatakan antara lain sebagai berikut:
"Masalah kriminalisasi dan dekriminalisasi atas suatu perbuatan haruslah sesuai dengan politik kriminal yang dianut oleh bangsa Indonesia, yaitu sejauh mana perbuatan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai fundamental yang berlaku dalam masyarakat dan oleh masyarakat dianggap patut atau tidak patut dihukum dalam rangka menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat."
Khususnya mengenai kriteria kriminalisasi dan dekriminalisasi, laporan simposium itu antara lain menyatakan: untuk menetapkan suatau perbuatan itu sebagai tindak kriminal, perlu memperhatikan kreteria umum sebagai berikut :
1.      Apa perbuatan itu tidak disukai atau benci oleh masyarakat karena merugikan, atau dapat merugikan, mendatangkan korban atau dapat mendatangkan korban
2.      Apakah biaya mengkriminalisasi seimbang dengan hasilnya yang akan dicapai, artinya cost pembuatan undang-undang, pengawasan dan penegakan hukum, serta bebanyang dipukul oleh korban, pelaku dan pelaku kejahatan itu sendiri harus seimbang dengan situasi tertib hukum yang akan dicapai.
3.      Apakah akan makin menambah beban aparat penegak hukum yang tidak seimbang atau nyata-nyata tidak dapat diemban oleh kemampuan yang dimiliki.
4.      Apakah perbuatan-perbuatan itu menghambat atau menghalangi cita-cita bangsa, sehingga merupakan bahaya bagi keseluruhan masyarakat.
Di samping kreteria umum di atas, Simposium memandang perlu pula untuk memperhatikan sikap dan pandangan masyarakat mengenai patut tercelanya suatu perbuatan tertentu, dengan melakukan penelitian,khususnya yang berhubungan dengan kemajuan teknologi dan perubahan sosial.
Demikian pula menurut Bassiouni, keputusan untuk melakuakan kriminalisasi dan dekriminalisasi harus didasarkan pada faktor-faktor kebijakan tertentu yang mempertimbangkan bermacam-macam faktor, termasuk;
1.      keseimbangan sarana-sarana yang digunakan dalam hubungannya dengan hasil-hasil yang ingin dicapai;
2.      analisis biaya terhadap hasil-hasil yang diperoleh dalam hubungannya dengan tujuan-tujuan yang dicari;
3.      penelitian atau penafsiran tujuan-tujuan yang dicari itu dalam kaitannya dengan prioritas-prioritas lainnya dalam pengalokasian sumber-sumber tenaga manusia;
4.      pengaruh sosial dari kriminalisasi dan dekriminalisasi yang berkenaan dengan atau dipandang dari pengaruh-pengaruhnya yang sekunder.
Selanjutnya dikemukakan bahwa problem dari pendekatan yang beroreantasi pada kebujakan adalah kecenderungan untuk menjadi pragmatis dan kuantitatif serta tidak memberi kemungkinan untuk masuknya faktor-faktor yang subyektif, misalnya nilai-nilai, ke dalam proses pembuatan keputusan. Namun demikian, pendekatan yang beroreantasi pada kebijakan ini menurut Bassiouni seharusnya dipertimbangkan sebagai salah satu scientific device dan digunakan sebagai alternatif dari pendekatan dengan penilaian emisional (the emosionally laden value judgment approach) oleh kebanyakan badan-badan legislatif. Dikemukakan pula bahwa perkembangan darai “a policy oriented approach” ini lamban datangnya, karena proses legislatif belum siap untuk pendekatan yang demikian. Masalahnya antara lain terletak pada sumber-sumber keuangan untuk melakukan orientasi ilmiah itu. Kelambanan yang demikian ditambah dengan proses kriminalisasi yang berlangsung terus tanpa suatu evaluasi mengenai pengaruhnya terhadap keseluruhan sistem,mengakibatkan timbulnya:
·         krisis kelebihan kriminalisasi (the crisis of      over-criminalization), dan
·         Krisis kelamopauan batas dari hukum pidana (the crisis of overreach of the criminal law).
Yang pertama mengenai banyaknya atau melimpahnya jumlah kejahatan dan perbuatan-perbuatan yang dikriminalisasikan, dan yang kedua mengenal usaha pengendalian perbuatan dengan tidak menggunakan sanksi yang efektif.
Pendekatan kebijakan seperti dikemukakan di atas jelas merupakan pendekatan yanag rasional, karena karakteristisk dari suatu politik kriminal yang rasional tidak lain daripada penerapan metode-metode yang rasional. Menurut G.P. Hoefnagels suatu politik kriminal harus rasional; kalau tidak demikian tidak sesuai dengan definisinya sebagai “a rational total of the responses to crime”. Disamping itu, hal ini penting karena konsepsi mengenai kejahatan dan kekuasaan atau proses untuk melakukan kriminalisasi sering ditetapkan secara emosional.
Pendekatan yang rasional memang merupakan pendekatan yang seharusnya melekat pada setiap langkah kebijakan. Hal ini merupakan konsekuensi logis, karena seperti dikatakan oleh Sudarto, dalam melaksanakan politik (kebijakan, pen.) orang mengadakan penilaian dan melakukan pemilihan dari sekian banyak alternatif yang dihadapi. Ini berarti suatu politik kriminal dengan menggunakan kebijakan hukum pidana harus merupakan suatu usaha atau langkah-langkah yang dibuat dengan sengaja dan sadar. Ini berarti memilih dan dan menetapkan hukum pidana sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan harus benar-benar telah memperhitungkan semua faktor yang dapat mendukung berfungsinya atau bekerjanya hukum pidana itu dalam kenyataannya.
Jadi diperlukan pula pendekatan yang fungsional; dan inipun merupakan pendekatan yang melekat (inherent) pada kebijakan yang rasional. Salah satu kesimpulan dari Seminar Kriminologi ketiga tahun 1976 di Semarang antara lain menyatakan, hukum pidana hendaknya dipertahankan sebagai salah satu sarana untuk social defence. Pemilihan pada konsepsi perlindungan masyarakat inipun membawa konsekuensi pada pendekatan yang rasional, seperti dikemukakan oleh Johannes Andenaes sebagai berikut:"Apabila orang mendasarkan hukum pidana pada konsepsi perlindungan masyarakat/social defence, maka tugas selanjutnya adalah mengembangkannya serasional mungkin. Hasil-hasil maksimum harus dicapai dengan biaya yang menimum bagi masyarakat dan minimum penderitaan bagi individu. Dalam tugas demikian, orang harus mengandalkan pada hasil-hasil penelitian ilmiah mengenai sebab-sebab kejahatan dan efektivitas dari bermacam-macam sanksi."
Dari apa yang dikemukakan J. Andenaes di atas jelas terlihat bahwa pendekatan kebijakan yang rasional erat pula hubungannya dengan pendekatan ekonomis. Dengan pendekatan ekonomis di sini tidak hanya dimaksudkan untuk mempertimbangkan antara biaya atau beban yang ditanggung masyarakat (dengan dibuat dan digunakannya hukum pidana) dengan hasil yang ingin dicapai, tetapi juga dalam arti mempertimbangkan efektivitas berpendapat, bahwa suatu pidana dapat disebut sebagai alat pencegah yang ekonomis (economical deterrenta) apabila dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
·         pidana itu sungguh-sungguh mencegah;
·         pidana itu tidak menyebabkan timbulnya keadaan yang lebih berbahaya/merugikan dari pada yang akan terjadi apabila pidana itu tidak dikenakan;
·         tidak ada pidana lain yang dapat mencegah secara efektif dengan bahaya/kerugian yang lebih kecil.
Bertolak dari pendapat Ted Honderich di atas dapat pula ditegaskan, bahwa pendekatan rasional pragmatis berarti mengandung pula pendekatan kemanfaatan / kegunaan (utilitas). Sehubungan dengan hal ini, Jeremy Bentham pernah pula menyatakan bahwa pidana janganlah diterapkan / digunakan apabila “groundless, needless, unprofitable or inefficacious”.
Segi lain yang perlu dikemukakan dari pendekatan kebijakan ialah yang berkaitan dengan nilai-nilai yang ingin dicapai atau dilindungi oleh hukum pidana. Menurut Bassiouni, tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh pidana pada umumnya terwujud dalam kepentingan-kepentingan sosial yang mengandung nilai-nilai tertentu yang perlu dilindungi. Kepentingan-kepentingan sosial tersebut menurut Bassiouni, ialah:
1.      Pemeliharaan tertib masyarakat,
2.      Perlindungan warga masyarakat dari kejahatan, kerugian atau bahaya-bahaya yang tak dapat dibenarkan, yang dilakukan oleh orang lain,
3.      Memasyarakatkan kembali (resosialisasi) para pelanggar hukum,
4.      Memelihara atau mempertahankan integritas pandangan-pandangan dasar tertentu mengenai keadilan sosial, martabat kemanusiaan dan keadilan individu.
Ditegaskan selanjutnya bahwa sanksi pidana harus disepadankan dengan kebutuhan untuk melindungi dan mempertahankan kepentingan-kepentingan ini. Pidana hanya dibenarkan apabila ada kebutuhan yang berguna bagi masyarakat; pidana yang tidak diperlukan tidak dapat dibenarkan dan berbahaya bagi masyarakat. Selain itu batas-batas sanksi pidana ditetapkan pula berdasar kepentingan-kepentingan ini dan nilai-nilai yang mewujudkannya. Berdasarkan pandangan yang demikian, maka menurut Bassiouni disiplin hukum pidana bukan hanya pragmatis tetapi juga suatu disiplin yang berdasar dan berorientasi pada nilai (not only pragmatic but aiso value-based and value-oriented).
Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa menurut Bassiouni, dalam melakukan kebijakan hukum pidana diperlukan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach) yang lebih bersifat pragmatis dan rasional, dan juga pendekatan yang berorientasi pada nilai (value judgment approach). Antara pendekatan kebijakan dan pendekatan yang berorientasi pada nilai jangan terlalu dilihat sebagai suatu “dichotomy”, karena dalam pendekatan kebijakan sudah seharusnya juga dipertimbangkan faktor-faktor nilai. Sehubungan dengan hal ini Roeslan Saleh menanyakan :
Keharusan rasionalitas itu bukanlah berarti bahwa pertimbangan-pertimbangan etis dalam hukum pidana dapat ditinggalkan saja. Juga syarat rasional adalah suatu syarat moral (Wilkins, Morris, dan Howard). Jadi rasionalitas jangan sampai dikaburkan oleh pertimbangan-pertimbangan yang bersifat etis. Batas-batas bersifat etis itu haruslah sebaik-baiknya dan seteliti-telitinya dirumuskan. Di dalam batas-batas dari apa yang secara etis dapat diterima haruslah diambil keputusan-keputusan yang rasional itu.
Kebijakan kriminal tidak dapat dilepaskan sama sekali dari masalah nilai karena seperti dikatakan oleh Christiansen, “the conception of prblem crime and punishment is an essential part of the culture of any society”. Begitu pula menurut W. Clifford, “the very foundation of any criminal justice system consists of the phylosophy behind a given country”. Terlebih bagi Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan garis kebijakan pembangunan nasionalnya bertujuan membentuk manuasia seutuhnya. Apabila pidana akan digunakan sebagai sarana untuk tujuan tersebut, maka pendekatan humanistik harus pula diperhatikan. Hal ini penting tidak hanya karena kejahatan itu pada hakikatnya merupakan masalah kemanusiaan, tetapi juga karena pada hakikatnya pidana itu sendiri unsur penderitaan yang dapat menyerang kepentingan atau nilai yang paling berharga bagi kehidupan manusia.
Pendekatan humanistik dalam penggunaan sanksi pidana, tidak hanya berarti bahwa pidana yang dikenakan kepada si pelanggar harus sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang beradap; tetapi juga harus dapat membangkitkan kesadaran si pelanggar akan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai pergaulan hidup bermasyarakat. Sehubungan dengan hal terakhir ini patut kiranya dikemukakan konsepsi kebujakan pidana dari aliran social defence (the penal policy of social defence) menurut Marc Ancel yang bertolak pada konsepsi pertanggungjawaban yang bersifat pribadi. Hal ini kami anggap perlu dikemukakan karena istilah perlindungan masyarakat atau social defence yang dikaitkan dengan masalah rehabilitasi dan resosialisasi sudah sering dugunakan di indonesia. Hal ini terlihat misalnya pada Seminar Kriminologi ketiga tahun 1976 dan Simposium Pembaharuan Hukum Pidana pada tahun 1980 di Semarang.
Menurut Marc Ancel, pertanggungjawaban yang didasarkan pada kebebasan individu merupakan kekuatan penggerak yang utama dari proses penyesuaian- social (the main driving force of the process of social readaption). Diakui olehnya bahwa masalah determinisme dan indeterminisme merupakan problem filosofis yang berada di luar lingkup kebijakan pidana dan hukum pidana. Akan tetapi ditegaskan bahwa kebijakan pidana yang modern hampir selalu mensyaratkan adanya kebebasan individu. Tujuan utama setiap perlakuan readaptasi-sosial harus diarahkan pada perbaikan terhadap penguasaan diri sendiri. Oleh karena itu masalah pertanggungjawaban (“kesalahan”,pen.) seharusnya tidak boleh diabaikan; malah justru diperkenalkan kembali sebagai suatu pertanggungjawaban pribadi (“kesalahan individual”, pen.). Reaksi terhadap perbuatan anti-sosial justru harus dipusatkan pada konsepsi pertanggungjawaban pribadi ini. Pertanggungjawaban yang dimaksud oleh Marc Ancel  berlainan dengan pandangan klasik yang mengartikannya sebagai pertanggungjawaban moral secara murni (the purely moral responsibility), dan berbeda pula dengan pandangan posotivist yang mengartikannya sebagai pertanggungjawaban menurut hukum atau pertanggung jawaban objektif (legal or objective view of responsibility) .
Pertanggungjawaban pribadi (individual responsibility) menurut Marc Ancel menekankan pada perasaan kewajiban moral pada diri individu dan oleh karena itu mencoba untuk merangsang ide tanggung jawab atau kewajiban sosial terhadap anggota masyarakat yang lain dan juga mendorongnya untuk menyadari moralitas sosial. Pengertian yang demikian merupakan konsekuensi dari pandangan Marc Ancel yang melihat kejahatan sebagai suatu manifestasi dari kepribadian si pelaku.
Dari uraian di atas terlihat, bahwa pendekatan nilai humanistik menuntut pula diperhatikannya ide “individualisasi pidana” dalam kebijakan/pembaharuan hukum pidana. Ide individualisasi pada pidana ini antara lain mengandung beberapa karakteristik sebagai berikut :
·         pertanggungjawaban (pidana) bersifat pribadi/per- orangan (asas personal);
·         pidana hanya diberikan kepada orang yang bersalah (asas culpabilitas: “tiada pidana tanpa kesalahan”);
·         pidana harus disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi si pelaku; ini berarti harus ada kelonggaran/fleksibilitas bagi hakim dalam memilih sanksi pidana (jenis maupun berat-ringannya sanksi) dan harus ada kemungkinan modifikasi pidana (perubahan/penyesuaian) dalam pelaksanaannya.

VII.          KESIMPULAN
Antara kebijakan sosial (social policy), kebijakan criminal (criminal policy) dan kebijakan pidana (penal policy) adalah saling terkait dan bersinergi. Dalam pembaharuan hukum pidana harus memperhatikan berbagai aspek yang melingkupinya, sehingga tidak kontra produktif.
Adapun penanggulangan kejahatan dapat dilakukan baik dengan pendektan penal ataupun non penal. Keduanya sangat penting karena mengingat masyarakat Indonesia yang sangat plural.
Adapun terkait komparasi tentang KUHP dan RUUKUHAP, perlu terus dikaji sehingga integrasi hukum yang hidup dimasyarakat dapat teradopsi dan terintegrasi dengan baik mewujudkan ruh norma yang ditaati dalam masyarakat.

Daftar Pustaka:
Adi, Isbandi Rukminto. 2002. Pemikiran-pemikiran dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial. Lembaga Penerbitan FEUI. Jakarta
Barda Nawawi, 2010, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), Cet.Ke-2, Kencana, Jakarta
Huda, Miftahul.2009. Pekerjaan Sosial dan Kesejahteraan Sosial: Sebuah Pengantar. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Lawrence M.Friedman, 2011, Sistem Hukum, Diterjemahkan oleh M. Khozim, Cet.ke-4, Nusa Media, Bandung
M. Hamdan, 1997, Politik Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta
Mahfud MD, “Menguatkan Pancasila Sebagai Dasar Ideologi Negara”, Dimuat dalam Mahkamah Konstitusi dan Penguatan Pancasila, Majalah Konstitusi No.52-Mei 2011
Midgley, James. 2005. Pembangunan Sosial, Perspektif Pembangunan Dalam Kesejahteraan Sosial. Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam Depag RI. Jakarta.
Prayitno, Ujianto Singgih. 2009. Tantangan Pembangunan Sosial di Indonesia. Pusat Pengkajian Data dan Informasi (P3DI). Sekretariat Jendral DPR RI. Jakarta
Satjitpto Rahardjo, 2009, Hukum dan Prilaku : Hidup Baik adalah Dasar Hukum yang Baik, Penerbit Buku Kompas, Jakarta
Soerjono Soekanto, 2007, Hukum Adat di Indonesia, Cet.ke-2, Rajawali Pers, Jakarta
Suharto, Edi. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. PT. Refika Aditama. Bandung
Suharto, Edi. 2008. Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik. Alfabeta. Bandung.
Susanto, Anthon F, 2004, Wajah Peradilan Kita, Refika Aditama, Bandung
Suwarsono& SO, Alvin. 1999. Perubahan Sosial dan Pembangunan di Indonesia. LP3ES. Jakarata


[1] Prof. Dr. Esmi Warassih,S.H.,M.H., Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2011, Hal. 110.
[2] Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Jakarta: Prenada Media Group, 2011, Hal. 23.
[3] Ibid, Hal 24          
[4] Edy Yunara, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korupsi Berikut Studi Kasus, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005, Hal. 60

[5] Lihat Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hokum Pidana (RUUKUHP) dan Prof. Moeljatno,SH, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Cet. XXI, tahun 2001.

Comments

Popular posts from this blog

HADITS-HADITS AHKAM TENTANG JUAL BELI (SALE AND PURCHASE)

SHUNDUQ HIFZI IDA’ (SAFE DEPOSIT BOX) BANK SYARI’AH

STUDI TENTANG PEMIKIRAN IMAM AL-SYAUKANI DALAM KITAB IRSYAD AL-FUHUL