PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA
PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA
(KAJIAN TENTANG KORELASI SOCIAL POLICY, CRIMINAL
POLICY DAN PENAL POLICY DALAM
PENAGGULANGAN TINDAK PIDANA)
OLEH
Nur Moklis
I.
PENDAHULUAN
Hukum dan kebijakan public merupakan
variable yang memiliki keterkaitan yang sangat erat, sehingga telaah tentang
kebijakan pemerintah semakin dibutuhkan untuk dapat memahami peranan hokum saat
ini[1].
Terkait dalam kebijakan social, kebijakan criminal dan kebijakan pidana baik
pada dataran teori ataupun prakti sangat ketara dan dapat dirasakan oleh public
tentang korelasinya yang sangat kuat.
Marc Ancel pernah menyatakan, bahwa
“modern criminal science” terdiri dari tiga komponen yakni Criminology,
Criminal law, dan Penal Policy. Dikemukakan olehnya, bahwa Penal Policy adalah
suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan prektis untuk
memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk
memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada
pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara
atau pelaksana putusan pengadilan. Selanjutnya dinyatakan olehnya: “Di antara
mengenai faktor-faktor kriminologis di satu pihak dan studi mengenai teknik
perundang-undangan di lain pihak, ada tempat bagi suatu ilmu pengetahuan yang
mengamati dan menyelidiki fenomena legislatif dan bagi suatu seni yang
rasional, dimana para sarjana dan praktisi, para ahli kriminologi dan sarjana
hukum dapat bekerja sama tidak sebagai pihak yang saling berlawanan atau saling
berselisih, tetapi sebagai kawan sekerja yang terikat di dalam tugas bersama,
yaitu terutama untuk menghasilkan suatu kebijakan pidana yang realistik,
humanis dan berpikir maju (progresif) lagi sehat."
Akhirnya dikemukakan pula oleh Mars
Ancel, bahwa sistem hukum pidana abad XX masih tetap harus diciptakan. Sistem
demikian hanya dapat disusun dan disempurnakan oleh usaha bersama semua orang
yang beriktikad baik dan juga oleh semua ahli di bidang ilmu-ilmu sosial.
Dengan demikian pada hakikatnya
masalah kebijakan hukum pidana bukanlah semata-mata pekerjaan teknik
perundang-undangan yang dapat dilakukan secara yuridis normatif dan sistematik-dogmatik.
Di samping pendekatan yuridis normatif, kebijakan hukum pidana juga memerlukan
pendekatan yuridis faktual yang dapat berupa pendekatan sosiologis, historis
dan komparatif, bahkan memerlukan pula pendekatan komprehensif dari berbagai
disiplin sosial lainnya dan pendekatan integral dengan kebijakan sosial dan
pembangunan nasional pada umumnya.
Dengan penegasan di atas berarti,
masalah kebijakan pidana termasuk salah satu bidang yang seyogyanya menjadi
pusat perhatian kriminologi. Terlebih memang pidana sebagai salah satu bentuk
reaksi atau respons terhadap kejahatan, merupakan salah satu obyek studi
kriminologi.
Perhatian kriminologi terhadap
masalah kebijakan penanggulangan kejahatan dengan sanksi pidana terlihat pula
dalam kongres-kongres international mengenai kriminologi (International Congress on Criminolocy). Pada Kongres ke-7 Tahun
1973 di Belgrad (Yugoslavia) antara lain dibicarakan mengenai “the evaluation of criminal policies system”,
pada Kongres ke-9 Tahun 1983 di Wina (Austria) antara lain dibicarakan topik
mengenai “status and eole of criminology and its institutional relations with
public policy and practics” dan topik “the public policies proper to criminal
juctice system”, pada Kongres ke-10 Tahun 1988 di Hamburg (Jerman) antara lain dibicarakan
topik mengenai “Crisis of penal sanctions: new perspectives”. Dijelaskan di
dalam buku mengenai sejarah/riwayat international mengenai kriminologi, bahwa
“perspektif baru” yang diterima oleh para kriminolog ialah memandang “the penal
system as a basic item of the criminological research”.
Dalam buku sejarah atau catatan
tahunan mengenai kegiatan dan perkembangan kriminologi secara internasional
(the international Annals of Criminology) yang diterbitkan tahun 1988
dikemukakan, bahwa sejak tahun 1952-1987 telah diselenggarakan 39 kali
kursus/penataran kriminologi. Dijelaskan dalam buku itu, bahwa kursus-kursus
yang diselenggarakan selama ini dapat dibedakan dalam empat periode, yaitu:
1.
Periode 1952-1961, kursus-kursus yang diselenggarakan
terutama menekankan pada Kriminologi Klinik (Clinical Criminology).
2.
Periode 1962-1969, masih ada kecendrungan pada kriminologi
klinik tetapi ada perkembangan terhadap kriminologi perbandingan (Comparative
Criminology).
3.
Periode 1970-1975 (yang semuanya diselenggarakan di luar
Eropa), didasarkan pada pemikiran mengenai masalah-masalah mutakhir tentang
“delinquency” (contemporary problem of delinquency).
4.
Periode sepuluh tahun terakhir, berkaitan dengan
masalah-masalah politik kriminal (criminal policy) dan kriminologi terapan
(applied criminology).
Mengamati perkembangan di atas, maka
wajar dalam penataran Kriminologi ini disajikan bahan-bahan mengenai kebijakan
(hukum) pidana atau penal policy yang pada dasarnya merupakan bagian dan
politik kriminal.
II.
KORELASI SOCIAL POLICY,
CRIMINAL POLICY DAN PENAL POLICY.
A.
Kebijakan Sosial
(Social Policy)
Ada berbagai definisi mengenai yang kebijakan
sosial yang dikemukan oleh beberapa ahli seperti Marshall, Rein, Hutman, Magil,
Spicker dan Hill juga yang mengartikan kebijakan sosial dalam kaitannya dengan
kebijakan kesejahteraan sosial, yaitu: a) Kebijakan sosial adalah kebijakan pemerintah yang
berkaitan dengan tindakan yang memiliki dampak langsung terhadap kesejahteraan
warga negara melalui penyediaan pelayanan sosial atau bantuan keuangan
(Marshal, 1965). b) Kebijakan sosial adalah perencanaan untuk mengatasi
biaya-biaya sosial, peningkatan pemerataan, pendistribusian pelayanan dan
bantuan sosial (Rein, 1970). c) Kebijakan sosial adalah strategi-strategi,
tindakan-tindakan atau rencana-rencana untuk mengatasi masalah sosial dan
memenuhi kebutuhan sosial (Huttman, 1981). d) Kebijakan sosial merupakan
bagian dari kebijakan publik. Kebijakan publik meliputi semua kebijakan yang
berasal dari pemerintah, seperti kebijakan ekonomi, transportasi, komunikasi,
pertahanan keamanan (militer), serta fasilitas-fasilitas umum lainnya (air
bersih, listrik). Kebijakan sosial merupakan satu tipe kebijakan publik yang
diarahkan untuk tujuan sosial (Magil, 1986). e) Kebijakan sosial adalah kebijakan
yang berkaitan dengan kesejahteraan (welfare), baik dalam arti luas yang
menyangkut kualitas hidup manusia maupun dalam arti sempit yang menunjuk pada
beberapa jenis pemberian pelayanan kolektif tertentu guna melidungi
kesejahteraan rakyat (Spicker, 1995). f) Kebijakan sosial adalah studi
mengenai peranan negara dalam kaitannya dengan kesejahteraan warganya
(Hill,1996). g) Kebijakan
sosial menunjuk pada apa yang dilakukan oleh pemerintah sebagai upaya untuk
meningkatkan kualitas hidup manusia melalui pemberian beragam tunjangan
pendapatan, pelayanan kemasyarakatan dan program-program tunjangan sosial
lainnya (Bessant, Watts, Dalton dan Smith 2006).
Dari
berbagai definisi yang dikemukan oleh berbagai ahli dapat disimpulkan bahwa
kebijakan sosial merupakan salah satu kebijakan publik. Kebijakan sosial
merupakan ketetapan pemerintah yang dibuat untuk merespon isu-isu yang bersifat
publik, yakni mengatasi masalah sosial atau memenuhi kebutuhan masyarakat
banyak. Sebagai sebuah kebijakan publik, kebijakan sosial memiliki fungsi
preventif (pencegahan), kuratif (penyembuhan), dan pengembangan
(developmental). Sebagai wujud kewajiban negara (state obligation) dalam
memenuhi hak-hak sosial warganya. Secara garis besar kebijakan sosial
diwujudkan dalam tiga kategori, yakni perundang-undangan, program pelayanan
sosial dan sistem perpajakan. Berdasarkan kategori ini maka dapat dinyatakan
bahwa setiap perundang-undangan, hukum atau peraturan yang menyangkut masalah
dan kehidupan sosial adalah wujud dari kebijakan sosial. Namun tidak semua
kebijakan sosial berbentuk perundang-undangan.
Peranan
pemerintah atau negara di bidang kesejahteraan sosial melalui kebijakan sosial,
sebetulnya dimaksudkan untuk mengusahakan adanya kesetaraan diantara warga
masyarakat dalam mewujudkan kesejahteraannya. Perbedaan latar belakang antar
warga masyarakat seringkali mengakibatkan posisi dan kesempatan mereka tidak
sama. Hal ini dapat mengakibatkan warga masyarakat yang posisinya tidak
menguntungkan akan termarginalisasi dan mengalami masalah dalam mewujudkan
kesejahteraannya, bahkan untuk sekadar memenuhi kebutuhan dasarnya. Oleh sebab
itu dibutuhkan peranan pemerintah untuk membantu kelompok marginal.
Ada
berbagai dimensi dasar dari kebijakan sosial yaitu 1). redistribusi kekayaan;
pengaturan pemerintah dalam pemerataan pendapatan ada berbagai mekanisme yang
dilakukan antara lain pajak progressive, land reform, transmigrasi, dan
lain-lain, 2) Kebebasan yaitu kebebasan masyarakat dari ketakutan, terror,
ekploitasi, dll 3) perlindungan resiko; harus cepat tanggap terhadap resiko,
bencana alam, resiko sosial politik, resiko bekerja, pemanasan global dan
lain-lain.4) keselamatan publik yaitu penyediaan sarana umum yang aman dan
berkualitas, 5) pelayanan sosial adalah seperangkat program yang ditujukan
untuk membantu individu atau kelompok yang mengalami hambatan dalam memenuhui
kebutuhan hidupnya.
B.
Kebijakan
Kriminal (Kriminal Policy)
Prof Sudarto pernah mengemukakan tiga arti mengenai
kebijakan criminal, Yaitu: a. Dalam arti sempit ialah keseluruhan asas dan
metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa
pidana.b. Dalam arti luas ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum
termasuk didalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisic. Dalam arti paling
luas ialah keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan
badan-badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari
masyarakat.
Dalam kesempatan lain beliau mengemukakan definisi
singkat mengenai politik kriminal merupakan “ suatu usaha yang rasional dari
masyarakat untuk menanggulangi kejahatan” definisi ini beliau ambil dari
definisi marc ancel yang merumuskan sebagai “ The rational organization of the
control of crime by society”. G Peter Hoefnagel mengemukakan bahwa “ Criminal policy
is the rational organization of the social reaction to crime”berbagai definisi
lainnya yang dikemukakannya adalah :a. criminal policy is the science of
responses b. Criminal Policy is the science of crime prevention c. Criminal Policy is a policy of designating human
behavior as crimed. Criminal policy is a rational total of the responses to
crime.
Hubungan Politik Kriminal dengan Politik Sosial. Kebijakan atau upaya penaggulangan kejahatan pada
hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (
social defence ) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat ( social walfare
). Oleh karena itu dapat dikatakan , bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari
politik kriminal ialah “ perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.
Kriminologi adalah ilmu pengetahuan tentang kejahatan dan penjahat Menurut Sutherland Kriminolog Amerika, Ruang lingkup
kriminologi terbagi atas tiga bagian: 1. Sociology of Law (sosiologi hukum) mencari secara
analisa ilmiah kondisi-kondisi terjadinya atau terbentuknya hukum.
2. Etiologi kriminil, mencari secara analisa ilmiah sebab-sebab daripada kejahatan 3. Penologi: ilmu pengetahuan tentang terjadinya atau berkembangnya hukuman, artinya dan manfaatnya berhubungan dengan "control of crime". Alih bahasa "Community Policing" dengan adanya buku Kapolri adalah "Perpolisian Masyarakat", disingkat "Polmas". Saya menerima alih bahasa ini untuk menunjukkan pada bentuknya sebagai suatu "lembaga" atau "pranata" (kata benda), namun dalam hal yang dimaksud adalah "gaya" atau "aktivitas"-nya (kata kerja), saya cenderung memakai alih bahasa "Pemolisian Masyarakat" atau "Pemolisian Komuniti".(2) Sebagai landasan akan dipergunakan pengertian (definisi) "Community Policing" yang dipergunakan Kapolri Sutanto (hal. 32-39). Dengan merajuk pada Dr.C. Robert C. Trojanowicz (1994) dideskripsikan Community Policing sebagai "a philosophy of full service personalized policing". Dan sehubungan dengan Sistem Peradilan Pidana (SPP/CJS) saya menggambarkannya sebagai suatu sistem dengan kepolisian, kejaksaan dan pengadilan serta lembaga pemasyarakatan sebagai subsistemnya. Pelanggar hukum berasal dari masyarakat dan akan kembali pula ke masyarakat. Diperlukan keterpaduan kerja dalam SPP ini. (3) Makalah ini akan mencoba membahas implementasi strategi Polmas dari aspek penegakan hukum. Pembahasan juga dilakukan dengan pendekatan "pencegahan/penangkalan kejahatan" (crime prevention) melalui SPP Terpadu (integrated criminal justice system).
2. Etiologi kriminil, mencari secara analisa ilmiah sebab-sebab daripada kejahatan 3. Penologi: ilmu pengetahuan tentang terjadinya atau berkembangnya hukuman, artinya dan manfaatnya berhubungan dengan "control of crime". Alih bahasa "Community Policing" dengan adanya buku Kapolri adalah "Perpolisian Masyarakat", disingkat "Polmas". Saya menerima alih bahasa ini untuk menunjukkan pada bentuknya sebagai suatu "lembaga" atau "pranata" (kata benda), namun dalam hal yang dimaksud adalah "gaya" atau "aktivitas"-nya (kata kerja), saya cenderung memakai alih bahasa "Pemolisian Masyarakat" atau "Pemolisian Komuniti".(2) Sebagai landasan akan dipergunakan pengertian (definisi) "Community Policing" yang dipergunakan Kapolri Sutanto (hal. 32-39). Dengan merajuk pada Dr.C. Robert C. Trojanowicz (1994) dideskripsikan Community Policing sebagai "a philosophy of full service personalized policing". Dan sehubungan dengan Sistem Peradilan Pidana (SPP/CJS) saya menggambarkannya sebagai suatu sistem dengan kepolisian, kejaksaan dan pengadilan serta lembaga pemasyarakatan sebagai subsistemnya. Pelanggar hukum berasal dari masyarakat dan akan kembali pula ke masyarakat. Diperlukan keterpaduan kerja dalam SPP ini. (3) Makalah ini akan mencoba membahas implementasi strategi Polmas dari aspek penegakan hukum. Pembahasan juga dilakukan dengan pendekatan "pencegahan/penangkalan kejahatan" (crime prevention) melalui SPP Terpadu (integrated criminal justice system).
Kebijakan
kriminal adalah salah satu bentuk kebijakan publik untuk mengatasi
masalah kejahatan. Selama ini kebijakan kriminal masuk ke dalam ranah
Sistem Peradilan Pidana (SPP) sebagai representasi dari negara. Kebijakan
kriminal juga dipahami sebagai upaya penegakan hukum . Dengan semakin meningkat,
rumit dan bervariasinya kejahatan, SPP bukan lagi satu-satunya
pemangku kepentingan yang melaksanakan kebijakan kriminal. Berbagai lembaga
penegak hukum kini juga memfokuskan diri pada pencegahan kejahatan.
Lembaga-lembaga negara tersebut melakukan pencegahan kejahatan secara
berkolaborasi dengan civil society dan warga masyarakat lain. Kebijakan
kriminal bisa terdiri dari dua tahap. Pertama adalah kebijakan pencegahan
sebelum terjadinya kejahatan. Kedua adalah kebijakan penegakan hukum
setelah kejahatan terjadi. Kebijakan kriminal kedua menjadi kewenangan
penuh Sistem Peradilan Pidana, yang didasari pada awalnya hakim sebagai
terompet undang-undang (asas legalistik) namun kini di kunci dengan berdasarkan
keyakinan hakim (asas legalistik plus). Yang kemudian sering menjadi ruang
memperdagangkan hukum (money politics).
SPP
dapat melakukan penyelidikan, penyidikan, dan memberikan pidana kepada pelaku
kejahatan, berdasarkan undang-undang dan keyakinan hakim. Selain adanya aturan
hukum formal yang mendasari kewenangan penuh tersebut, keikutsertaan masyarakat
dalam reaksi formal sangat berpotensi memunculkan anarki, hal ini yang patut
diserap para hakim sebagai rasa keadilan masyarakat yang sewajarnya inilah yang
harusnya dibungkus dalam keyakinan hakim. Dalam kebijakan kriminal pencegahan,
aparat penegak hukum dapat tidak lagi mendominasi. Pemangku
kepentingan di masyarakat justru merupakan sumber daya yang menentukan
efektivitas kebijakan terutama bila diperhadapkan dengan rasa keadilan masyarakat
Karena masyarakatlah yang lebih mengetahui realitas kejahatan karena masalah
tersebut merupakan bagian dari kehidupan mereka.
Bentuk
dan sifat kejahatan dapat menjadi dasar reorganisasi atau reformasi
kelembagaan dalam kebijakan kriminal pencegahan kejahatan. Kebijakan atau
policy berkait erat dengan kewenangan dan muncul karena adanya kewenangan dan
jabatan yang melekat pada seseorang.Tanpa kewenangan tak ada kebijakan.
Kebijakan adalah ketetapan yang dibuat oleh pihak yang punya kewenangan atas
suatu bidang permasalahan. Contoh dari kebijakan adalah instruksi menteri
mengenai sesuatu hal. Intruksi adalah kebijakan karena hanya berisi instruksi
atau perintah tanpa larangan dan sanksi karenanya bukan hukum. Dan dilakukan
tidak melalui proses legislasi melainkan hanya berdasarkan kewenangan yang ada
pada menteri.
Kebijaksanaan
adalah bentuk pengenyampingan terhadap aturan hukum. Setelah ada suatu aturan
hukum, terjadi pengenyampingan yang membolehkan melakukan sesuatu yang
sebelumnya sudah ada larangannya. Contoh dari kebijaksanaan adalah seperti yang
dilakukan oleh polisi dengan membiarkan misalnya mobil pemadam kebakaran atau
iring-iringan jenazah atau orang sakit menerabas lampu merah, untuk memberikan
mereka kesempatan sampai secepatnya ke tujuan mereka. Menerobos lampu merah
jelas pelanggaran uu lalu lintas, namun dengan kebijaksanaannya polisi dapat
mengatur supaya lalu lintas biasa dapat memprioritaskan mereka. Contoh
lainnya karyawan dilarang tidak masuk kerja lima hari berturut-turut dengan
konsekwensi dapat di PHK, namun dengan memberikan alasan yang kuat dan jelas,
karyawan dapat diberikan kebijaksanaan, sehingga aturan diatas tidak
diberlakukan. Kebijaksanaan membolehkan peraturan tidak dipatuhi hanya efektif
dan mencapai sasarannya jika aparat penegak peraturannya berlaku tegas dan
correct, dan tidak menjadikannya ruang untuk money politics yang penuh tawar
menawar. Pembuatan kebijakan kriminal menjadi bagian dari upaya memerangi
penyakit masyarakat berupa perilaku kejahatan. Tujuan akhirnya adalah mencapai
keseimbangan dan keserasian antara berbagai kepentingan sub kelompok
masyarakat, menciptakan kedamaian diantara warga masyarakat. Dan apabila ada
perilaku warga masyarakat yang menyimpang dan dikategorikan tindak pidana maka
pada tahap inilah kebijakan kriminal memainkan peranannya.
Kebijakan
kriminal yang baik tentu saja menyerap ragam aspirasi dari beragam kepentingan
kelompok masyarakat yang berbeda berdasarkan perbedaan geografis, perbedaan
local wisdom, perbedaan adat istiadat, dll. Dengan tetap menjamin pencapaian
kepastian hukum dan keadilan masyarakat
C.
Kebijakan Pidana
(Penal Policy)
Istilah “kebijakan” diambil dari istilah “policy”
(Inggris) atau “politiek” (Belanda). Menurut Marc Ancel, pengertian kebijakan
hukum pidana (penal policy) adalah
suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk
memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk
memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada
pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada penyelenggara atau
pelaksana putusan pengadilan[2].
Selanjutnya Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa
pada hakikatnya masalah kebijakan hukum pidana bukanlah semata-mata pekerjaan
teknik perundang-undangan yang dapat dilakukan secara yuridis normative dan
sistematik dogmatik. Disamping pendekatan yuridis faktual juga dapat berupa
pendekatan komprehensif dari berbagai disiplin ilmu sosial lainnya dan
pendekatan integral dengan kebijakan social dan pembangunan nasional pada
umumnya[3].
Istilah “kebijakan” dalam tulisan
ini diambil dari istilah “policy” (inggris) atau “politiek” (Belanda). Bertolak
dari kedua istilah asing ini, maka istilah “kebijakan hukum pidana” dapat pula
disebut dengan istilah “politik hukum pidana”. Dalam kepustakaan asing istilah
“politik hukum pidana” ini sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain
“penal policy”, criminal law policy, atau strafrechtspolitiek. Pengertian
kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun
dari politik kriminal. Menurut Prof. Sudarto, Politik Hukum, adalah: (1) Usaha
untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan
situasi pada suatu saat. (2) Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang
berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang
diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam
mesyarakat dan untuk menvapai apa yang dicita-citakan.
Bertolak dari penegrtian demikian
Prof. Sudarto selanjutnya menyatakan, bahwa melaksanakan “politik hukum pidana”
berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana
yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan dayaguna. Dalam
kesemptan lain beliau menyatakan, bahwa melaksanakan “politik hukum pidana” berarti,
usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan
dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.
Dengan demikian, dilihat sebagai
bagian dari politik hukum, maka politik hukum pidana mengandung arti, bagaimana
mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang
baik. Pengertian demikian terlihat pula dalam definisi “penal policy”, Mars
Ancel yang telah dikemukakan pada uraian yang secara singkat dapat dinyatakan
sebagai “suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan
hukum positif dirumuskan secara lebih baik”. Dengan demikian yang dimaksud
dengan “peraturan hukum positif” (the positive rules) dalam definisi Mars Ancel
itu jelas adalah peraturan perundang-undangan hukum pidana. Dengan demikian
istilah “penal policy” menurut Mars Ancel adalah sama dengan istilah “kebijakan
atau politik hukum pidana”.
Menurut A. Mulder,
“Strafrechtspolitiek” ialah garis kebijakan untuk menentukan: (1) seberapa jauh
ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbaruhi, (2) apa
yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana, (3) cara
bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus
dilaksanakan.
Definisi Mulder di atas bertolak
dari pengertian “sistem hukum pidana” menurut Mars Ancel yang menyatakan, bahwa
tiap masyarakat yang teroganisir memiliki sistem hukum pidana yang terdiri
dari: (1) peraturan-peraturan hukum pidana dan sanksinya, (2) suatu prosedur
hukum pidana, dan (3) suatu mekanisme pelaksanaan (pidana).
Usaha dan kebijakan untuk membuat
peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari
tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga
merupakan bagian adri politik kriminal. Dengan perkataan lain, dilihat dari
sudut politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian
“kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana”.
Usaha penanggulangan kejahatan
dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan
hukum (khususnya penegakan hukum pidana). Oleh karena itu sering pula dikatakan
bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian pula dari kebijakan
penegakan hukum (law enforcement policy).
Di samping itu usaha penanggulangan
kejahatan lewat pembuatn undang-undang (hukum) pidana pada hakikatnya juga
merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat (socisl welfare).
Oleh karena itu wajar pulalah apabila kebijakan atau politik hukum pidana juga
merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial (social policy).
Kebijakan sosial (social policy) dapat diartikan sebagai segala usaha yang
rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan dan sekali gus mencakup
perlindunagn masyarakat. Jadi di dalam pengertian “social policy” sekaligus
tercakup di dalamnya “social welfare policy” dan “social defence policy”.
III.
UPAYA NONPENAL UNTUK MENANGGULANGI KEJAHATAN
Usaha
yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi tindak pidana, antara lain
tindak pidana korupsi adalah tidak hanya dengan menggunakan sarana penal (hukum
pidana), tetapi dapat juga denga menggunakan sarana-sarana yang non-penal.
Sarana non-penal mempunyai pengaruh preventif
terhadap kejahatan. Upaya preventif yang
di maksud adalah upaya yang dilakukan sebelum terjadinya tindak pidana korupsi
dengan cara menangani faktor-faktor
pendorong terjadinya korupsi, yang dapat di laksanakan dalam beberapa cara:
antara lain dengan cara cara moralistik dan cara Abolisionik.[4] Cara
moralistik dapat dilakukan secara umum melalui pembinaan mental dan moral
manusia, khotbah-khotbah, ceramah dan penyuluhan di bidang keagamaan, etika dan
hokum dan Cara ini muncul dari asumsi bahwa korupsi adalah suatu kejahatan yang
harus di berantas dengan terlebih dahulu menggali sebab-sebabnya dan kemudian
diserahkan kepada usaha-usaha untuk menghilangkan sebab-sebab tersebut.
Dalam sistem peradilan pidana
pemidaan itu bukanlah merupakan tujuan akhir dan bukan pula merupakan satu -
satunya cara untuk mencapai tujuan pidana atau tujuan sistem peradilan pidana.
Banyak cara dapat ditempuh, dapat menggunakan hukum pidana maupun dengan cara
diluar hukum pidana atau diluar pengadilan. Dilihat dari segi ekonomisnya
sistem peradilan pidana disamping tidak efisien, juga pidana penjara yang tidak
benar - benar diperlukan semestinya tidak usah diterapkan.
Penegakan hukum dengan sarana penal
merupakan salah satu aspek saja dari usaha masyarakat menanggulangi
kejahatan. Disamping itu masih dikenal usaha masyarakat menanggulangi kejahatan
melalui sarana non penal. Usaha non penal dalam menanggulangi kejahatan
sangat berkaitan erat dengan usaha penal. Upaya non penal ini dengan
sendirinya akan sangat menunjang penyelenggaraan peradilan pidana dalam
mencapai tujuannya. Pencegahan atau atau menanggulangi kejahatan harus
dilakukan pendekatan integral yaitu antara sarana penal dan non penal.
Menurut M. Hamdan, upaya
penaggulangan yang merupakan bagian dari kebijakan sosial pada hakikatnya juga
merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social
defence) yang dapat ditempuh dengan 2 jalur, yaitu: 1. Jalur penal, yaitu dengan menerapkan hukum pidana (criminal
law application). 2. Jalur nonpenal, yaitu dengan cara : a. Pencegahan tanpa pidana (prevention
without punisment), termasuk di dalamnya penerapan sanksi administrative
dan sanksi perdata. b. Mempengaruhi pandangan masyarakat
mengenai kejahatan dan pembinaan lewat media massa (influencing views of
society on crime and punishment).
Secara sederhana dapatlah dibedakan,
bahwa upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “penal” lebih menitik beratkan
pada sifat “repressive” (penindasan/pemberantasan/penumpasan) sesudah kejahatan
terjadi, sedangkan jalur “non penal” lebih menitik beratkan pada sifat “preventif”
(pencegahan/penangkalan/pengendalian) sebelum kejahatan terjadi. Beberapa
dekade terakhir berkembang ide-ide perbuatan tanpa pidana, artinya tidak semua
tindak pidana menurut undang-undang pidana dijatuhkan pidana, serentetan
pendapat dan beberapa hasil penelitian menemukan bahwa pemidanaan tidak
memiliki kemanfaatan ataupun tujuan, pemidaan tidak menjadikan lebih baik.
Karena itulah perlunya sarana nonpenal diintensifkan dan diefektifkan,
disamping beberapa alasan tersebut, juga masih diragukannya atau dipermasalahkannya
efektifitas sarana penal dalam mencapai tujuan politik criminal.
Mengingat upaya penanggulangan
kejahatan lewat jalur “non penal” lebih bersifat tindakan pencegahan untuk
terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor
kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif itu antara lain,
berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung
atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan. Dengan
demikian, dilihat dari sudut politik kriminal secara makro dan global, maka
upaya-upaya nonpenal menduduki posisi kunci dan strategis dari keseluruhan
upaya politik kriminal. Di berbagai Kongres PBB mengenai “The Prevention of
Crime and Treatment of Offenders” ditegaskan upaya-upaya strategis mengenai
penanggulangan sebab-sebab timbulnya kejahatan.
Beberapa masalah dan kondisi sosial
yang dapat merupakan faktor kondusif penyebab timbulnya kejahatan, jelas
merupakan masalah yang tidak dapat diatasi semata – mata dengan “penal”. Di
sinilah keterbatasan jalur “penal” dan oleh karena itu, harus ditunjang oleh
jalur “nonpenal”. Salah satu jalur “nonpenal” untuk mengatasi masalah – masalah
sosial seperti dikemukakan diatas adalah lewat jalur “kebijakan sosial” (social
policy). Yang dalam skema G.P. Hoefnagels di atas juga dimasukkan dalam
jalur “prevention without punishment”. Kebijakan sosial pada dasarnya adalah
kebijakan atau upaya - upaya rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.
Jadi identik dengan kebijakan atau perencanaan pembangunan nasional yang
meliputi berbagai aspek yang cukup luas dari pembangunan.
Salah satu aspek kebijakan sosial
yang kiranya patut mendapat perhatian ialah penggarapan masalah kesehatan jiwa
masyarakat (social hygiene), baik secara individual sebagai anggota
masyarakat maupun kesehatan/ kesejahteraan keluarga (termasuk masalah
kesejahteraan anak dan remaja), serta masyarakat luas pada umumnya. Penggarapan
masalah “mental health”, “national mental health” dan “child welfare”
ini pun dikemukakan dalam skema Hoefnagels di atas sebagai salah satu jalur
“prevention (of crime ) without punishment” (jalur “nonpenal”). Prof.
Sudarto pernah juga mengemukakan, bahwa “kegiatan karang taruna, kegiatan
Pramuka dan penggarapan kesehatan jiwa masyarakat dengan pendidikan agama”
merupakan upaya – upaya nonpenal dalam mencegah dan menanggulangi kejahatan.
Pembinaan dan penggarapan kesehatan
jiwa masyarakat memang tidak berarti semata – mata kesehatan rohani/mental,
tetapi juga kesehatan budaya dan nilai – nilau pandangan hidup masyarakat. Ini
berarti penggarapan kesehatan masyarakat atau lingkungan sosial yang sehat
(sebagai salah satu upaya nonpenal dalam strategi politik kriminal), tidak
hanya harus berorientasi pada pendekatan religius tetapi juga berorientasi pada
pendekatan identitas budaya nasional. Dilihat dari sisi upaya nonpenal ini
berarti, perlu digali, dikembangkan dan dimanfaatkan seluruh potensi dukungan
dan dan partisipasi masyarakat dalam upaya untuk mengektifkan dan mengembangkan
“extra legal system” atau “informal and traditional system” yang
ada di masyarakat.
Upaya nonpenal yang paling strategis
adalah segala upaya untuk menjadikan masyarakat sebagai lingkungan sosial dan
lingkungan hidup yang sehat (secara materiil dan immateriil) dari faktor
– faktor kriminogen. Ini berarti, masyarakat dengan seluruh potensinya harus
dijadikan sebagai faktor penangkal kejahatan atau faktor “antikriminogen” yang
merupakan bagian integral dari keseluruhan politik kriminal. Disamping upaya –
upaya nonpenal dapat ditempuh dengan menyehatkan masyarakat lewat kebijakan
sosial dan dengan mengali berbagai potensi yang ada di dalam masyarakat itu
sendiri, dapat pula upaya nonpenal itu digali dari berbagai sumber lainnya yang
juga mempunyai potensi efek-preventif. Sumber lain itu misalnya, media
pers/media massa, pemanfaatan kemajuan teknologi (dikenal dengan istilah “techno-prevention”)
dan pemanfaatan potensi efek-preventif dari aparat penegak hukum. Mengenai yang
terakhir ini, Prof. Sudarto pernah mengemukakan, bahwa kegiatan patroli dari
polisi yang dilakukan secara kontinu termasuk upaya nonpenal yang mempunyai
pengaruh preventif bagi penjahat (pelanggar hukum) potensial. Sehubungan dengan
hal ini, kegiatan razia/operasi yang dilakukan kepolisian di beberapa tempat
tertentu dan kegiatan yang berorientasi pada pelayanan masyarakat atau kegiatan
komunikatif edukatif dengan masyarakat, dapat pula dilihat sebagai upaya
nonpenal yang perlu diefektifkan.
Tindakan hukum dikatakan “efektif”
ketika perilaku bergerak kearah yang dikehendaki, ketika subyek patuh atau
menurut, banyak tindakan hukum tidak “efektif” dalam pengertian ini.
Orang-orang mengabaikan atau melanggar ketentuan.Lazimnya sanksi dibagi menjadi
dua bagian, imbalan dan hukuman, yakni sanksi positf dan negatif. Gagasannya
adalah bahwa orang-orang yang menjadi subyek hukum akan memilih satu dan
menghindari yang lainnya. Para pembuat hukum berasumsi bahwa sanksi yang
berlabel “hukuman” adalah bersifat menyakitkan dan “imbalan” adalah yang
bersifat menyenangkan, sehingga konsekuensi perilaku yang dikehendaki akan
mengikuti secara otomatis. Bentuk-bentuk hukuman yang lazim dalam hukum pidana
adalah denda dan kurungan. Hukuman fisik atau hukuman jasmaniah lainnya, pada
masa lalu, sering digunakan dalam hukum.
Di indonesia fungsi hukum di dalam
pembangunan adalah sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Hal ini didasarkan
pada anggapan bahwa adanya ketertiban dalam pembangunan, merupakan sesuatu yang
dipandang penting dan sangat diperlukan.Upaya nonpenal merupakan kerangka
pembangunan hukum nasional yang akan datang (ius constituendum). Pencegahan
kejahatan harus mampu memandang realitas sosial masyarakat, hukum sebagai
panglima harus mampu menciptakan suatu tatanan sosial melalui kebijakan social.
Pembinaan bidang hukum harus mampu
mengarahkan dan menampung kebutuhan – kebutuhan hukum sesuai dengan kesadaran
hukum rakyat yang berkembang ke arah modernisasi menurut tingkat kemajuan
pembangunan di segala bidang sehingga tercapai ketertiban dan kepastian
hukum sebagai prasarana yang harus ditujukan ke arah peningkatan pembinaan
kesatuan bangsa, sekaligus berfungsi sebagai sarana menunjang perkembangan
modernisasi dan pembangunan yang menyeluruhpembangunan hukum pada hakikatnya
mencakup pembinaan hukum serta pembaharuan hukum. Pembinaan hukum pada
hakikatnya berarti usaha – usaha untuk lebih menyempurnakan hukum yang sudah
ada, sehingga sesuai dengan perkembangan masyarakat.
Hukum sesungguhnya
merupakan fasilitasi interaksi antara manusia yang bertujuan untuk mencapai keteraturan
kehidupan sosial sehingga kaidah-kaidah hukum yang akan diterapkan haruslah
memiliki kerangka falsafah, nilai kebudayaan dan basis sosial yang hidup di
masyarakat. Satjipto Rahardjo mengatakan, hukum itu tertanam ke dalam dan
berakar dalam masyarakatnya. Setiap kali hukum dan cara berhukum dilepaskan
dari konteks masyarakatnya maka kita akan dihadapkan pada cara berhukum yang
tidak substansil. Hukum itu merupakan pantulan dari masyarakatnya, maka tidak
mudah memaksa rakyat untuk berhukum menurut cara yang tidak berakar pada
nilai-nilai dan kebiasaan yang ada dalam masyarakat itu. Selalu ada tarik
menarik antara hukum yang berlaku dan diberlakukan dengan masyarakatnya. Hukum
bukan institutif yang steril dar satu skema yang selesai. Hukum tidak ada di
dunia abstrak melainkan juga berada dalam kenyataan masyarakat.
Optimalisasi jalur non penal sejalan
dengan cita-cita bangsa dan tujuan negara, seperti yang tercantum dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang memuat
Pancasila. Segala bentuk pembangunan harus berangkat dari nilai-nilai
Pancasila, karena pada hakikatnya pancasila merupakan tonggak konvergensi
berbagai gagasan dan pemikiran mengenai dasar falsafah kenegaraan yang
didiskusikan secara mendalam oleh para pendiri negara. Pancasila menjadi
kesepakatan luhur (modus vivendi) yang kemudian ditetapkan sebagai dasar
ideologi negara. Dalam hal ini, upaya non penal dalam pencegahan tindak pidana
merupakan salah satu aspek cita-cita Pancasila, Pancasila menjadi dasar
rasional mengenai asumsi tentang hukum yang akan dibangun sekaligus sebagai
orientasi yang menunjukan kemana bangsa dan negara harus dibangun.
IV.
UPAYA PENAL UNTUK MENANGGULANGI KEJAHATAN
Secara umum upaya penanggulangan
kejahatan dapat dilakukan melalui sarana “penal” dan “non penal”, Upaya
penanggulangan hukum pidana melalui sarana (penal)
dalam mengatur masyarakat lewat perundang-undangan pada hakikatnya merupakan
wujud suatu langkah kebijakan (policy).
Upaya penanggulangan kejahatan
dengan hukum pidana (sarana penal)
lebih menitik beratkan pada sifat “Represive”
(Penindasan/pemberantasan/penumpasan), setelah kejahatan atau tindak pidana
terjadi. Selain itu pada hakikatnya sarana penal
merupakan bagian dari usaha penegakan hukum oleh karena itu kebijakan hukum
pidana merupakan bagian dari kebijakan penegak hukum (Law Enforcement). Dengan kata lain penanggulangan korupsi dapat
dilakukan dengan cara menyerahkan kasus tindak pidana korupsi yang terjadi
kepada pihak penegak hukum dalam hal ini, polisi, jaksa, dan KPK untuk diproses
sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Dimana hukuman atau sanksi pidana
yang dijatuhkan kepada pelaku diharapkan dapat memberikan efek jerah kepada
pelaku sesuai dengan tujuan pemidanaan.
Walaupun penggunaan sarana hukum
pidana “penal” dalam suatu kebijakan kriminal bukan merupakan posisi strategis
dalam penanggulangan tindak pidana korupsi, namun bukan pula suatu langkah
kebijakan yang bisa di sederhanakan dengan mengambil sikap ekstrim untuk
menghapuskan sarana hukum pidana “penal”. Karena permasalahannya tidak terletak
pada eksistensinya akan tetapi pada masalah kebijakan penggunaannya.
V.
PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA (STUDI KOMPARATIF KUHP DAN RUU KUHP)
A. BAB I :
Tentang ruang lingkup berlakunya ketentuan peraturan perundang-undangan pidana
Pasal 1 s/d pasal 2 RKUHP mengatur
tentang asas legalitas dibandingkan dengan KUHP sekarang, dimana KUHP menganut
asas legalitas formil sedangkan RKUHP mengatur dengan adanya keseimbangan
antara legalitas materiel yang tercentum dalam pasal 2 dan legalitas formil
pasal 1 ayat (1) sedangkan dalam KUHP hanya mengatur tentang legalitas formil
pada pasal 1 ayat (1). Didalam pasal 2 ayat 1 dan 2 RKUHP terdapat ketentuan :
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi
berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang
patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan
perundang‑undangan dan Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung
dalam
Pancasila, hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa. Ketentuan ini tidak dijelaskan/tidak terdapat didalam KUHP. Dalam pasal 1 ayat (2) terdapat ketentuan yang menyatakan bahwa dilarangnya menggunakan suatu analogi dalam menetapkan adanya suatu tindak pidana. Mengenai retroaktif dalam RKUHP mengatur lebih luas, yaitu dalam perubahan undang-undang setelah adanya putusan hakim undang-undang baru dapat berlaku apabila UU baru tersebut menganggap perbuatan tersebut bukan suatu perbuatan yang melanggar atau bukan merupakan tindak pidana lagi dan apabila ancaman pidananya lebih ringan maka digunakan UU yang baru. Sementara dalam KUHP masih hanya mengatur dalam hal perubahan UU pada saat belum adanya putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap dapat berlaku.
Pancasila, hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa. Ketentuan ini tidak dijelaskan/tidak terdapat didalam KUHP. Dalam pasal 1 ayat (2) terdapat ketentuan yang menyatakan bahwa dilarangnya menggunakan suatu analogi dalam menetapkan adanya suatu tindak pidana. Mengenai retroaktif dalam RKUHP mengatur lebih luas, yaitu dalam perubahan undang-undang setelah adanya putusan hakim undang-undang baru dapat berlaku apabila UU baru tersebut menganggap perbuatan tersebut bukan suatu perbuatan yang melanggar atau bukan merupakan tindak pidana lagi dan apabila ancaman pidananya lebih ringan maka digunakan UU yang baru. Sementara dalam KUHP masih hanya mengatur dalam hal perubahan UU pada saat belum adanya putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap dapat berlaku.
2.
Menurut tempat
Pada RKUHP disebutkan dan dijelaskan
secara terbuka (jelas) mengenai Tempat pada bagian kedua yang meliputi Asas Wilayah
atau Teritorial, Asas Nasional Pasif, Asas Universal dan Asas Nasional Pasif.
Terdapat pada pasal 4-8 RKUHP. Asas wilayah RKUHP menambahkan tindak pidana di bidang
teknologi informasi atau tindak pidana
lainnya yang
akibatnya dirasakan atau terjadi di wilayah Indonesia atau dalam kapal atau
pesawat udara Indonesia. Dalam konsep Di dalam RKUHP
dijelaskan mengenai Waktu Tindak Pidana dan Tempat Tindak Pidana sedangkan hal
ini tidak dijelaskan di dalam KUHP. Asas nasional pasif pada RKUHP menambahkan
tindak pidana korupsi, pencucian uang, perekonomian, perdagangan, kartu kredit,
keamanan peralatan komunikasi elektronik.
B.
BAB II: Tentang tindak pidana dan
Pertanggungjawaban Pidana
1.
Tindak Pidana
Pada pasal 11 RKUHP dijelaskan
secara rinci mengenai apa itu tindak pidana atau pengertiannya dan kriteria
mengenai suaatu perbuatan itu dapat dikatakan sebagai tindak pidana yaitu perbuatan
melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan
dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, bersifat
melawan hukum atau bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat, tidak ada alasan
pembenar. Serta di dalam pasal 12 RKUHP juga
dijelaskan bahwa hakim dalam mengadili suatu perkara harus mempertimbangkan dan
mengutamakan keadilan baik ketika adanya pertentangan yang tidak dapat
dipertemukan dan hal ini tidak terdapat dalam KUHP, dan hanya merupakan doktrin
yang diakui dalam pelaksanaanya.
Mengenai Permufakatan Jahat di dalam
KUHP sendiri sebenarnya sudah tercantum pada pasal 88 yang berbunyi “dikatakan
ada permufakatan jahat apabila ada dua orang atau lebih telah sepakat akan
melakukan suatu kejahatan” namun itu hanya sebatas pengertian. Sedangkan di
dalam pasal 13 RKUHP mengatur tentang permufakatan jahat melakukan tindak
pidana dipidana, jika ditentukan secara tegas dalam Undang‑Undang. Pidananya adalah 1/3
(satu per tiga) dari ancaman pidana pokok untuk tindak pidana yang bersangkutan, apabila diancam
dengan pidana mati atau penjara seumur hidup, dipidana penjara paling lama 7
(tujuh) tahun.
Sedangkan Pidana tambahan untuk permufakatan jahat melakukan tindak
pidana sama dengan tindak pidana yang bersangkutan. dalam pasal 14 RKUHP diatur
pengecualian yaitu apabila pelaku menarik diri
dari kesepakatan itu; atau mengambil langkah-langkah yang patut untuk mencegah
terjadinya tindak pidana.
Di dalam
pasal 15 RKUHP mengatur mengenai Persiapan pada Buku I, akan tetapi sebenarnya
memepersiapkan suatu tindak pidana telah diatur dalam KUHP pada Buku II pasal
110 ayat (2) sampai (4). Ini merupakan hal baru pada buku I RKUHP. Persiapan melakukan tindak pidana
terjadi jika pembuat berusaha untuk mendapatkan atau menyiapkan sarana,
mengumpulkan informasi atau menyusun perencanaan tindakan atau melakukan
tindakan-tindakan serupa yang dimaksudkan menciptakan kondisi untuk
dilakukannya suatu perbuatan yang secara langsung ditujukan bagi penyelesaian
tindak pidana, termasuk jika pembuat dengan sengaja mendapatkan, membuat,
menghasilkan, mengimpor, mengangkut, mengekspor, atau mempunyai dalam
persediaan atau penyimpanan barang, uang atau alat pembayaran lainnya, alat
penghantar informasi, tempat persembunyian atau transportasi yang dimaksudkan
untuk melakukan tindak pidana. Pidana untuk persiapan melakukan tindak pidana
adalah 1/3 (satu pertiga) dari ancaman pidana pokok yang diancamkan untuk
tindak pidana yang bersangkutan apabila diancam dengan pidana mati atau penjara
seumur hidup, dipidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun. Pidana tambahan
sama dengan tindak pidana yang bersangkutan. Pengecualian terhadap delik
Persiapan terdapat pada pasal 16 RKUHP yang mengatakan bahwa Persiapan
melakukan tindak pidana tidak dipidana, jika yang bersangkutan menghentikan,
meninggalkan, atau mencegah kemungkinan digunakan sarana tersebut.
Percobaan/pogging di dalam KUHP
sebenarnya sudah diatur di dalam KUHP pasal 53-54 mengenai syarat percobaan (
pasal 53 ) dan percobaan terhadap pelanggaran tidak dipidana ( pasal 54 ) namun
di dalam RKUHP terdapat hal-hal baru yang mengatur mengenai Percobaan yang
terdapat dalam pasal 18-20 RKUHP. Dalam Pasal 18 tidak dipidana jika setelah
melakukan permulaan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1)
yaitu: a. pembuat tidak menyelesaikan
perbuatannya karena kehendaknya sendiri secara sukarela; b. pembuat dengan kehendaknya sendiri
mencegah tercapainya tujuan atau akibat perbuatannya. Kecuali dalam hal
perbuatan telah menimbulkan kerugian atau menurut peraturan perundang‑undangan
telah merupakan tindak pidana tersendiri, maka pembuat dapat
dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana tersebut.
Pasal 20 RKUHP mengatur dalam hal
tidak selesai atau tidak mungkin terjadinya tindak pidana disebabkan
ketidakmampuan alat yang digunakan atau ketidakmampuan objek yang dituju, maka
pembuat tetap dianggap telah melakukan percobaan tindak pidana dengan ancaman
pidana tidak lebih dari 1/2 (satu perdua) maksimum pidana yang diancamkan untuk
tindak pidana yang dituju. Pidana pembantuan tidak dipidana apabila
ancaman pidana hanya berupa pidana denda kategori I ( Rp 6.000.000,00 ),
seperti yang tercantum di dalam pasal 22 ayat (3) RKUHP.
Pengecualian terhadap delik
penyertaan diatur di dalam pasal 23 RKUHP yang berbunnyi sebagai berikut :
Keadaan pribadi seseorang yang menghapuskan, mengurangi, atau memberatkan
pidana hanya diberlakukan terhadap pembuat atau pembantu tindak pidana yang
bersangkutan.
Pengulangan diatur didalam Buku I
RKUHP pasal 24 yang berbunyi: Pengulangan tindak pidana terjadi, apabila orang
yang sama melakukan tindak pidana lagi dalam waktu 5 (lima) tahun sejak:
a.
menjalani seluruh atau sebagian
pidana pokok yang dijatuhkan;
b.
pidana pokok yang dijatuhkan telah
dihapuskan; atau
c.
kewajiban menjalani pidana pokok
yang dijatuhkan belum daluwarsa.
Di dalam KUHP sudah diatur mengenai
pengulangan tindak pidana atau recidive namun diatur dalam buku II ( tentang
kejahatan ) yaitu pada pasal 137(2), 144(2), 155(2), 161(2), 163(2), 208(2),
216(3), 321(2), 393(2) dan 303 bis (2).
Di dalam KUHP memang mengatur
tentang mengajukan dan menarik kembali suatu pengaduan yang terdapat pada pasal
72-75, akan tetapi RKUHP menjelaskan lebih terbuka mengenai delik aduan yang
terdapat pada pasal 25. Serta pasal 30 ayat (2) RKUHP yang mengatakan bahwa
pengaduan yang ditarik kembali tidak dapat diajukan lagi.
Di dalam KUHP pada buku I pasal
44-52a tentang Alasan penghapus pidana, pengurangan dan pemberatan dijadikan
dalam satu bab yang juga meliputi alasan pembenar dan pemaaf. Akan tetapi dalam
RKUHP alasan pembenar dan alasan pemaaf ditempatkan pada sub bab yang berbeda,
dimana alasan pembenar terdapat pada sub bab tindak pidana, sedangkan alasan
pemaaf ada pada sub bab pertanggungjawaban pidana. Hal ini menegaskan bahwa
alasan pembenar dan alasan pemaaf dijelaskan secara terpisah.
Bab tentang kesalahan sama sekali
tidak terdapat/tercantum serta dijelaskan di dalam KUHP, namun di dalam RKUHP
pasal 37 ayat (1) dan (2) mengatur tentang asas kesalahan itu sendiri dan unsur
dari kesalahan (kessalahan dalam arti normatif/luas). Pasal 37 ayat (1) : tidak
seorangpun yang melakukan tindak pidana dipidana tanpa kesalahan yaitu
menekankan bahwa pada prinsipnya bahwa tiada pidana tanpa adanya kesalahan.
Oleh karena itu apabila bentuk-bentuk kesalahan seperti dolus/culpa
(kesengajaan/kealpaan) tidak ada, maka seseorang tidak dapat untuk
dipertanggungjawabkan. Pasal 37 (2) : kesalahan terdiri dari kemampuan
bertanggung jawab, kesengajaan, kealpaan, dan tidak ada alasan pemaaf. Dalam
KUHP tidak mengatur serta menjelaskan/mendefinisikan mengenai Strict Liability
dan Vicarious Liabilty. Strict Liability adalah dapat dipidananya seseorang
tanpa harus dibuktikan unsur kesalahannya ( actus non facit reum men sit
rea/mens rea), Vicarious Labilty yaitu suatu pertanggungjawaban pengganti,
dimana seseorang ada hubungan khusus, yang akan mempertanggungjawabkan tindak
pidana yang dilakukan oleh orang lain. Dan dalam RKUHP kedua hal ini diatur di
dalam pasal 38 ayat (1) dan (2).
RKUHP pasal 39 ayat 1-3 mengatur
tentang kesengajaan dan kealpaan sedangkan di dalam KUHP tidak dijelaskan
secara rinci mengenai kesengajaan dan kealpaan.
Di dalam KUHP tidak dijelaskan
mengenai adanya suatu alasan pemaaf namun di RKUHP mengatur tentang
ketentuan tersebut yang tertuang dalam pasal 42 ayat (1) dan (2) RKUHP, yang
mengatur bahwa tidak dipidana, jika seseorang tidak mengetahui atau sesat
mengenai keadaan yang merupakan unsur tindak pidana atau berkeyakinan bahwa
perbuatannya tidak merupakan suatu tindak pidana, kecuali ketidaktahuan,
kesesatan, atau keyakinannya itu patut dipersalahkan kepadanya. Namun apabila
patut dipersalahkan atau dipidana maka maksimum pidananya dikurangi dan tidak
melebihi 1/2 (satu perdua) dari maksimum pidana untuk tindak pidana yang
dilakukan.
KUHP sebenarnya sudah mengatur yang
namanya Daya Paksa/Overmacht, akan tetapi tidak dijelaskan mengenai jenis-jenis
dari overmacht (vis absoluta dan vis compusiva). Sedangkan di RKUHP jenis-jenis
overmacht dijelaskan yang dituangkan di dalam pasal 43 RKUHP, sebagai berikut :
a. dipaksa
oleh kekuatan yang tidak dapat ditahan (Via Absoluta) ;
atau
b.
dipaksa oleh adanya ancaman, tekanan, atau kekuatan yang tidak dapat
dihindari (Via Compulsiva/Daya Paksa Relatif)
RKUHP juga
menjelaskan apa saja yang termasuk dari Alasan Pemaaf yang terdapat dalam pasal
46 RKUHP, sebgai berikut :
a.
tidak ada kesalahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1);
b.
pada waktu melakukan tindak pidana menderita gangguan jiwa, penyakit
jiwa, atau retardasi mental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40; atau
c.
belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 113 ayat (1).
KUHP tidak mengatur mengatur Korporasi
sebagai Subjek Tindak Pidana namun RKUHP mengatur tentang itu yang mana
tertuang di dalam pasal 47-53 RKUHP. Pasal 47 mengatur bahwa Korporasi
merupakan subjek hukum pidana, Pasal 48 dan 49 mengatur siapa yang dapat
dipertanggungjawabkan atau dipersalahakan atas tindak pidana korporasi, Pasal
50 mengatur ruang lingkup perbuatan yang dapat dipidana yang dilakukan oleh
korporasi, Pasal 51 mengatur tentang pembatasan pertanggungjawaban pidana oleh
pengurus korporasi. Pasal 52 mengatur tentang pengesampingan hukum pidana
(ultimum remidium) apabila telah ada bagian hukum lain yang mampu memberikan
perlindungan yang lebih berguna. Dan pertimbangan tersebut harus dinyatakan
oleh putusan hakim. Pasal 53 mengatur mengenai tata cara mengajukan alasan
pemaaf dan pembenar yang dapat diajukan oleh korporasi.
C. Bab III Mengenai Pemidanaan, Pidana, Dan
Tindakan
KUHP tidak menjelaskan mengenai
adanya suatu Tujuan Pemidanaan, akan tetapi didalam RKUHP tujuan pemidanaan
diuraikan secara jelas pada pasal 54 ayat (1) dan (2) yang mana ini merupakan
implementasi dari Ide Keseimbangan. Pemidanaan bertujuan:
a.
mencegah
dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum
demi pengayoman masyarakat;
b. memasyarakatkan
terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan
berguna;
c.
menyelesaikan
konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan
keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan
d.
membebaskan
rasa bersalah pada terpidana.
e.
Pemidanaan
tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.
RKUHP menyebutkan serta menjelaskan
mengenai Pedoman Pemidanaan yang tidak terdapat di dalam KUHP. Pedoman
Pemidanaan sejatinya akan sangat membantu hakim dalam mempertimbangkan takaran
atau berat ringannya suatu hukumman atau pidana yang akan dijatuhkan. Hal ini
terdapat dalam pasal 51 ayat (1) mengenai pertimbangan dalam pemidanaan, dan
pasal 52 ayat (2) mengatur mengenai asas Rechterlijk Pardon (permaafan
hakim) dengan mempertimbangkan keadilan dan kemanusiaan terhadap terdakwa. Dalam
pemidanaan wajib dipertimbangkan sebagai berikut :
a.
kesalahan
pembuat tindak pidana;
b.
motif dan
tujuan melakukan tindak pidana;
c.
sikap batin
pembuat tindak pidana;
d.
tindak pidana yang dilakukan apakah direncanakan
atau tidak direncanakan;
e.
cara melakukan tindak pidana;
f.
sikap dan tindakan pembuat sesudah
melakukan tindak pidana;
g.
riwayat hidup, keadaan sosial, dan
keadaan ekonomi pembuat tindak pidana;
h.
pengaruh pidana terhadap masa depan
pembuat tindak pidana;
i.
pengaruh tindak pidana terhadap
korban atau keluarga korban;
j.
pemaafan dari korban dan/atau
keluarganya; dan/atau
k.
pandangan masyarakat terhadap tindak
pidana yang dilakukan.
l.
Ringannya perbuatan, keadaan
pribadi pembuat, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi
kemudian, dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana
atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.
Pada pasal 56 RKUHP mengatur tentang
Culpa in Causa, yaitu dimana seseorang patut untuk dicela apabila dia
dengan sengaja memasukkan diri ke dalam alasan penghapus pidana. Mengenai Culpa
in Causa, hal ini tidak 56, sebagai berikut : seseorang yang melakukan
tindak pidana tidak dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana berdasarkan
alasan peniadaan pidana, jika orang tersebut telah dengan sengaja menyebabkan
terjadinya keadaan yang dapat menjadi alasan peniadaan pidana. KUHP tidak
mengatur secara terbuka mengenai perubahan dan penyesuaian pidana , namun RKUHP
mengatur akan hal itu yang terdapat pada pasal 57 ayat (1)-(6) tentang
perubahan dan penyesuaian pidana. Dengan memperhatikan sakah satu tujuan
pemidanaan yang berorientasi kepada usaha untuk memperbaiki perilaku terpidana,
yang mana dimungkinkan untuk adanya suatu remisi.
Di dalam KUHP tidak mengatur tentang
Pedoman Penerapan Pidana Penjara dengan Perumusan Tunggal dan Alternatif,
sedangkan RKUHP mengatur tentang hal itu yang terdapat dalam pasal 58 ayat (1)
– (4). Pasal ini dicantumkan bertujuan untuk memberikan kemungkinan yang
diberikan kepada hakim untuk menjatuhkan pidana denda sebagai pengganti pidana
penjara terhadap terdakwa, yang mana untuk mengatasi sifat kaku dari perumusan
pidana yang bersifat tunggal yang seolah-olah mengharuskan hakim untuk
hanya menjatuhkan pidana penjara. Masih terkait dengan Penjelasan pasal 59-60
RKUHP juga mengatur tentang Pedoman Penerapan Pidana Penjara dengan Perumusan
Tunggal dan Alternatif.
Lain-lain ketentuan pemidaan tidak
terdapat pada KUHP, akan tetapi diatur didalam pasal 61 dan 62 RKUHP yang
mengatur tentang pelaksanaan putusan ( penintensier ).
RKUHP pada pasal 63 ayat (1) – (3)
mengatur tentang ketentuan waktu permohonan pengajuan grasi, yang tidak
dijelaskan di dalam KUHP.
Jenis-jenis pidana sebenarnya sudah
dijelaskan di dalam KUHP pada BUKU I pasal 10 huruf a yang terdiri dari pidana
mati, penjara, kurungan, denda. Hal ini berbeda dengan jenis-jenis pidana yang
terdapat dalam pasal 65 ayat (1) RKUHP yang mengatur lain tentang pidana pokok,
yaitu : pidana penjara; pidana tutupan; pidana pengawasan; pidana denda; dan
pidana kerja sosial.
Dan pada pasal 65 ayat (2)
mengatur tentang hierarkhi pemidanaan menentukan berat ringannya pidana.
Pidana mati dicantumkan dalam pasal
tersendiri untuk menunjukkan bahwa jenis pidana ini benar-benar bersifat khusus
yang merupakan jenis pidana yang paling berat. Seperti yang tercantum di dalam
pasal 66 RKUHP. Ketentuan ini tidak terdapat dalam KUHP, KUHP hanya memberikan
penjalanan / pelaksanaan tentang pidana mati dan tidak menempatkannya pada
pasal yang tersendiri.
Mengenai pidana tambahan sebenarnya
sudah diatur di dalam KUHP pasal 10 huruf b, yang terdiri dari perampasan
barang-barang tertentu, perampasan hak-hak tertentu dan pengumuman putusan
hakim. Akan tetapi ada tambahan atau hal baru yang mana telah diatur di dalam
pasal 67 ayat (1) RKUHP, yaitu : pembayaran ganti kerugian; dan pemenuhan kewajiban adat setempat
atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat.
Pasal 67 ayat (2) – (5) RKUHP
mengatur tentang sifat dan ketentuan pidana tambahan, yaitu ; dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana
pokok, sebagai pidana yang berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan
bersama-sama dengan pidana tambahan yang lain. Pidana
tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat atau
kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat atau pencabutan hak yang
diperoleh korporasi dapat dijatuhkan walaupun tidak tercantum dalam perumusan
tindak pidana. Pidana
tambahan untuk percobaan dan pembantuan adalah sama dengan pidana tambahan
untuk tindak pidananya. Anggota Tentara Nasional Indonesia yang melakukan
tindak pidana dapat dikenakan pidana tambahan sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan bagi Tentara Nasional Indonesia.
KUHP tidak menjelaskan akan Pidana
Tutupan akan tetapi RKUHP menjelaskannya lebih dalam yang tertuang di dalam
pasal 76 ayat (1) – (3) yaitu: mengingat keadaan pribadi dan perbuatannya
dapat dijatuhi pidana tutupan; terdakwa yang melakukan tindak pidana karena
terdorong oleh maksud yang patut dihormati.
Begitupun dengan pidana pengawasan
yang tidak dijelaskan pada KUHP akan tetapi dijelaskan dalam RKUHP pada pasal
77-79, yaitu: tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 7
(tujuh) tahun untuk waktu paling lama 3 (tiga) tahun;
mengingat keadaan pribadi dan perbuatannya. Dengan syarat‑syarat: terpidana tidak
akan melakukan tindak pidana; terpidana dalam waktu tertentu yang lebih pendek
dari masa pidana pengawasan, harus mengganti seluruh atau sebagian kerugian
yang timbul oleh tindak pidana yang dilakukan; dan/ atau; terpidana harus
melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan tertentu, tanpa mengurangi
kemerdekaan beragama dan kemerdekaan berpolitik.
Pengaturan mengenai pidana denda
sebenarnya sudah diatur dalam di dalam KUHP pasal 30 akan tetapi adanya hal
baru pada pasal 80 ayat 1-7 yang mana ada pembaharuan nominal denda dan adanya
nominal minimum dan minimum khusus. Pidana denda merupakan pidana berupa
sejumlah uang yang wajib dibayar oleh terpidana
berdasarkan putusan pengadilan. Jika tidak ditentukan minimum khusus maka
pidana denda paling sedikit Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah). Pidana denda
paling banyak ditetapkan berdasarkan kategori, yaitu: a. kategori
I Rp 6.000.000,00 (enam juta rupiah);
b. kategori II Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah);
c. kategori III Rp 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah);
d. kategori IV Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah); e. kategori V
Rp 1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah);
dan f. kategori VI Rp 12.000.000.000,00
(dua belas miliar rupiah).
Masih terkait dengan pidana denda (
tidak terdapat pada KUHP ) pasal 81 RKUHP mengatur tentang kemampuan terdakwa
dalam pidana denda, kemampuan terdakwa yang juga termasuk dengan keadaan
pribadinya, serta menyatakan bahwa ayat (1) dan (2) tidak mengurangi minimum
khusus pada tindak pidana tertentu. KUHP tidak mengatur tentang pidana
pengganti denda untuk korporasi, namun hal ini dijelaskan secara terbuka pada
pasal 85 RKUHP, pidana pengganti berupa pencabutan izin usaha atau
pembubaran korporasi.
Mengenai Pidana kerja sosial tidak
terdapat pada KUHP, sedangkan hal ini terdapat di dalam RKUHP pasal 86 ayat (1)
– (7) , hal ini terkait dengan perumusan alternatif dimana pidana penjara
menjadi obat yang paling terakhir dan sebisa mungkin dihindari, sebagai contoh
diganti dengan kerja sosial seperti yang dijelaskan oleh pasal 86 ayat (1) –
(7) RKUHP.
Pidana mati yang penyusunannya
secara alternatif hanya dijelaskan di dalam pasal 87 RKUHP, sedangkan pada KUHP
tidak dijelaskan, Pidana mati secara alternatif dijatuhkan sebagai upaya
terakhir untuk mengayomi masyarakat. Pelaksanaan pidana mati sebenarnya sudah
diatur dan dijelaskan dalam KUHP pada pasal 11, akan tetapi hanya sebatas tata
cara terpidana dihukum mati, sedangkan pada hal yang sama yang diatur dalam
pasal 88 RKUHP ada hal-hal yanag baru yang dijelaskan terkait pelaksanaan
pidana mati dengan menembak terpidana sampai mati oleh regu tembak, tidak
dilaksanakan di muka umum, terhadap wanita hamil atau orang yang sakit jiwa
ditunda sampai wanita tersebut melahirkan atau orang yang sakit jiwa tersebut
sembuh. Pidana mati baru dapat dilaksanakan setelah
permohonan grasi bagi terpidana ditolak Presiden.
Pada pasal berikutnya, yaitu pasal
89 RKUHP mengatur mengenai penundaan pidana mati dan dalam KUHP hal ini tidak
diatur, yaitu dapat ditunda dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun,
jika reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar; terpidana
menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki; kedudukan terpidana
dalam penyertaan tindak pidana tidak terlalu penting; dan ada alasan yang
meringankan. Jika terpidana selama masa percobaan menunjukkan sikap dan
perbuatan yang terpuji maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur
hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dengan keputusan menteri
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi
manusia. Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada
harapan untuk diperbaiki maka pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah
Jaksa Agung.
Pada pasal 91 RKUHP mengatur
mengenai Pidana Tambahan yang terdiri dari 2 ayat. Dimana ayat 1 mengatur
tentang Pencabutan Hak tertentu. Terkait dengan pasal 91 ayat 1 tersebut
sebenarnya di KUHP sudah dijelaskan pada pasal 35 ayat 1 KUHP. Sedangkan untuk
Pasal 91 ayat 2 RKUHP, ini merupakan hal baru yang tidak diatur di dalam KUHP
yang mengatur mengenai pencabutan hak atas Korporasi.
Terkait dengan hal Perampasan,
sebenarnya sudah diatur di dalam KUHP pasal 39-42 , akan tetapi tidak
dijelaskan mengenai ketentuan penjatuhan pidana perampasan seperti yang diatur
di dalam pasal 95 RKUHP yaitu dapat dijatuhkan tanpa pidana pokok
jika ancaman pidana penjara terhadap tindak pidana yang bersangkutan tidak
lebih dari 7 (tujuh) tahun,
pidana perampasan barang tertentu dan/atau tagihan dapat juga dijatuhkan, jika
terpidana hanya dikenakan tindakan. Pidana perampasan barang yang bukan milik
terpidana tidak dapat dijatuhkan, jika hak pihak ketiga dengan itikad baik akan
terganggu.
Memang di dalam KUHP mengatur
tentang perampasan dan pengumuman putusan hakim, akan tetapi tidak mengatur
tentang Pencantuman
pidana tambahan berupa pembayaran ganti kerugian kepada korban, seperti yang
disebutkan dan dijelaskan pada pasal 99 ayat (1) dan (2) RKUHP.
Pada pasal 100 RKUHP yang mengatur
pemenuhan pidana pengganti kepada masyarakat atau adat setempat. Yang mana hal
ini tidak diatur di dalam KUHP.
KUHP tidak mengatur tentang
Tindakan/Treatment karena tidak menganut sistem Double Track System, berbeda
dengan RKUHP yang menganut sistem ini. Double Track System yaitu di samping
pembuat tindak pidana tindak pidana dapat dijatuhi pidana, dapat juga
dikenakan berbagai tindakan. Yang tertuang pada pasal 101-112 RKUHP, yang
menjelaskan secara terbuka mengenai tindakan dari jenis-jenis tindakan,
ketentuan tindakan sampai dengan tata cara pelaksanaannya.
Pada pasal berikutnya yaitu pada
pasal 114 ayat 1 dan 2 RKUHP mengatur bahwa sedapat mungkin anak
sebagai pembuat tindak pidana dihindarkan dari pemeriksaan di sidang
pengadilan.
Pasal 115 RKUHP, yang mengatakan
bahwa pemberatan
pidana pada pengulangan tindak pidana yang dilakukan anak tidak perlu
diterapkan.
Pasal 116 mengatakan bahwa Ketentuan
dalam Pasal ini memuat jenis-jenis pidana bagi anak yang dapat dijatuhkan oleh
hakim. Pidana pokok bagi anak terdiri
atas:
a. Pidana verbal (diatur lebih lanjut pada pasal
117) : pidana peringatan; atau
pidana teguran
keras;
b. Pidana dengan syarat (diatur lebih lanjut dalam pasal
118) : pidana pembinaan di luar lembaga (diatur lebih lanjut dalam pasal 119); pidana kerja
sosial (diatur lebih lanjut dalam pasal
120); atau pidana pengawasan
(diatur lebih lanjut dalam pasal 121) ;
c. Pidana
denda (diatur lebih lanjut dalam pasal
122- pasal 123); atau
d. Pidana pembatasan kebebasan (diatur lebih lanjut dalam pasal
124): pidana pembinaan di dalam lembaga (diatur lebih lanjut dalam pasal
125) ; pidana penjara
(diatur lebih lanjut dalam pasal 126) dengan maksimal 10 tahun dan tidak dapat
dijatuhi hukuman pidana penjara seumur hidup atau pidana mati; atau pidana
tutupan (diatur lebih lanjut dalam pasal
127).
Pidana tambahan terdiri atas:
a.
perampasan
barang‑barang tertentu dan/atau tagihan;
b.
pembayaran
ganti kerugian; atau
c.
pemenuhan
kewajiban adat.
Pada KUHP sebenarnya telah mengatur mengenai hal yang memperingan dan
memberatkan pengenaan pidana, yaitu tak mampu bertanggungjawab, belum umur 16
tahun, daya paksa, pembelaan terpaksa, ketentuan undang-undang, perintah
jabatan, pemberatan karena jabatan/bendera kebangsaan dan tentang percobaan. Akan tetapi ada hal-hal baru yang
ada pada bab faktor yang memperingan dan memperberat pidana, seperti yang diatur
pada pasal 132-136 RKUHP. Pasal 132-133 RKUHP mengatur tentang hal yang
memperingan pidana dan hal-hal yang meringankan pidana dengan ditetapkannya
maksimum pidana yang dapat dijatuhkan. Faktor yang
memperingan pidana meliputi: a. percobaan melakukan
tindak pidana; b. pembantuan terjadinya tindak pidana; c. penyerahan diri
secara sukarela kepada yang berwajib setelah melakukan tindak pidana; d.
tindak pidana yang dilakukan oleh wanita hamil; e. pemberian ganti
kerugian yang layak atau perbaikan kerusakan secara sukarela sebagai akibat
tindak pidana yang dilakukan; f. tindak pidana yang dilakukan
karena kegoncangan jiwa yang sangat hebat; g. tindak pidana yang
dilakukan oleh pembuat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39; atau h. faktor lain
yang bersumber dari hukum yang hidup dalam masyarakat. Untuk tindak pidana yang diancam pidana mati dan
penjara seumur hidup, maksimum pidananya penjara 15 (lima belas) tahun.
Berdasarkan pertimbangan tertentu, peringanan pidana dapat berupa perubahan
jenis pidana dari yang lebih berat ke jenis pidana yang lebih ringan.
Sedangkan pada pasal 134-135
mengatur tentang pemberatan pidana dan terdapat hal-hal yang memperberat
pidana dengan ditetapkannya maksimum ancaman pidana ditambah 1/3 (satu per
tiga). Sebagai berikut :
a.
pelanggaran
suatu kewajiban jabatan yang khusus diancam dengan pidana atau tindak pidana
yang dilakukan oleh pegawai negeri dengan menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan, atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatan;
b.
penggunaan
bendera kebangsaan, lagu kebangsaan, atau lambang negara Indonesia pada waktu
melakukan tindak pidana;
c.
penyalahgunaan
keahlian atau profesi untuk melakukan tindak pidana;
d.
tindak pidana
yang dilakukan orang dewasa bersama-sama dengan anak di bawah umur 18 (delapan
belas) tahun;
e.
tindak
pidana yang dilakukan secara bersekutu, bersama‑sama, dengan kekerasan,
dengan cara yang kejam, atau dengan berencana;
f.
tindak pidana
yang dilakukan pada waktu terjadi huru hara atau bencana alam;
g.
tindak
pidana yang dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya;
h.
pengulangan
tindak pidana; atau
i.
faktor lain
yang bersumber dari hukum yang hidup dalam masyarakat. .
Pasal 136 RKUHP yang terdiri dari 2
ayat, dimana ayat yang 1 mengatur tentang faktor yang memperingan dan
memperberat pidana secara bersama-sama dan ayat yang ke 2 mengatur tentang
pertimbangan hakim akan ketentuan pada ayat (1). Sebagai berikut :
(1) Jika dalam
suatu perkara terdapat faktor yang memperingan dan memperberat pidana secara
bersama‑sama maka maksimum ancaman pidana diperberat lebih dahulu, kemudian
hasil pemberatan tersebut dikurangi 1/3 (satu per tiga).
(2)
Berdasarkan pertimbangan tertentu,
hakim dapat tidak menerapkan ketentuan mengenai peringanan dan pemberatan
pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Perihal perbarengan sebenarnya sudah
diatur di KUHP yaitu pasal 63-71. Akan tetapi ada hal baru yang terdapat pada
pasal 142 ayat (2) RKUHP, yang mengatur tentang, yaitu lamanya pidana
penjara pengganti atau pidana pengawasan pengganti tidak boleh lebih dari 1
(satu) tahun.
D. BAB IV: Tentang Gugurnya Kewenangan
Penuntutan dan Pelaksanaan Pidana
Mengenai gugurnya kewenangan
penuntutan pidana sebenarnya sudah diatur di dalam KUHP pasal 76 ( mengatur
tentang nebis in idem ), pasal 77 (matinya terdakwa), pasal 78 ( Daluwarsa ).
Akan tetapi pada RKUHP terdapat hal baru mengenai gugurnya kewenangan
penuntutan pidana yaitu pada pasal 145:
a.
telah ada putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap; ( sudah ada )
b.
terdakwa meninggal dunia; ( sudah
ada )
c.
daluwarsa; ( sudah ada )
d.
penyelesaian di luar proses;
e.
maksimum pidana denda dibayar dengan
sukarela bagi tindak pidana yang dilakukan hanya diancam dengan pidana
denda paling banyak kategori II;
f.
maksimum pidana denda dibayar dengan
sukarela bagi tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1
(satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III;
g.
Presiden
memberi amnesti atau abolisi;
h.
penuntutan
dihentikan karena penuntutan diserahkan kepada negara lain berdasarkan
perjanjian;
i.
tindak pidana
aduan yang tidak ada pengaduan atau pengaduannya ditarik kembali; atau
j.
pengenaan asas
oportunitas oleh Jaksa Agung.
Kewenangan penuntutan gugur karena
daluwarsa sudah diatur pada KUHP pasal 78 tapi ada hal baru yang tecantum pada
pasal 149 ayat (1) huruf b yaitu Kewenangan penuntutan gugur
karena daluwarsa yaitu sesudah lampau waktu 2 (dua) tahun
untuk tindak pidana yang hanya diancam dengan
pidana denda atau semua tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun.
Kewenangan gugurnya pelaksanaan
pidana diatur dalam pasal 153 RKUHP, sedangkan di dalam KUHP hanya mengatur
mengenai daluwarsa penjalanan pidana pada pasal 84 dan 85. Kewenangan
pelaksanaan pidana gugur, jika: a. terpidana meninggal dunia; b. daluwarsa eksekusi; c.
terpidana mendapat grasi dan amnesti; d. rehabilitasi; atau e. penyerahan
untuk pelaksanaan pidana ke negara lain.
Pasal 154 mengatur tentang
perampasan barang apabila terpidana meninggal. Hal ini tidak diatur dalam KUHP.
KUHP sebenarnya telah mengatur
mengenai daluwarsa penjalanan pidana yang dijelaskan pada pasal 84 ayat
(1)-(4). Akan tetapi terdapat hal baru yang terpapar pada pasal 155 RKUHP ayat
(1) dan (4). Yaitu : Kewenangan pelaksanaan pidana
penjara gugur karena daluwarsa, setelah berlaku tenggang waktu yang sama
dengan tenggang waktu daluwarsa kewenangan menuntut ditambah 1/3 (satu per
tiga) dari tenggang waktu daluwarsa tersebut. Jika pidana mati
diubah menjadi pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (2) maka kewenangan
pelaksanaan pidana gugur karena daluwarsa setelah lewat waktu yang sama
dengan tenggang waktu daluwarsa kewenangan menuntut sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 149 ayat (1) huruf e ditambah 1/3 (satu per tiga) dari
tenggang waktu daluwarsa tersebut.
E. Bab V : Mengatur Tentang Pengertian
Istilah
Dalam RKUHP
lebih banyak istilah baru yang dimasukkan dibanding dengan KUHP yang relatif
sedikit pengertian istilah yang digunakan.
Pasal 158 RKUHP mengatur tentang
pengertian anak kunci, sebenarnya sudah diatur pada pasal 100 KUHP tapi hal itu
mengenai penjelasannya. yaitu: “Anak kunci adalah alat yang digunakan untuk
membuka kunci, termasuk kode rahasia, kunci masuk komputer, kartu magnetik,
sinyal, atau frekuensi yang telah diprogram yang dapat digunakan untuk membuka
sesuatu oleh orang yang diberi hak untuk itu.”
Pasal 160 RKUHP mengatur tentang
ancaman kekerasan, yaitu: “Ancaman kekerasan adalah suatu hal atau keadaan yang
menimbulkan rasa takut, cemas, atau khawatir pada orang yang diancam.”
Pasal 162 RKUHP mengatur istilah
awak pesawat udara, yaitu : “Awak pesawat udara adalah orang tertentu yang
berada dalam pesawat udara sebagai perwira atau bawahan.”
Pasal 165 mengatur definisi barang :
“Barang adalah benda berwujud termasuk air dan uang giral, dan benda tidak
berwujud, termasuk aliran listrik, gas, data dan program komputer, jasa
termasuk jasa telepon, jasa telekomunikasi, atau jasa komputer. “
Pasal 166 RKUHP yang mengatur
tentang benda cagar budaya : Benda
cagar budaya adalah:
a. benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak, yang berupa
kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur
sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan
mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap
mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan;
b.
benda alam yang dianggap mempunyai nilai
penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.
Pasal 170 RKUHP mengatur tentang
data komputer “Data komputer
adalah suatu representasi fakta-fakta, informasi atau konsep-konsep dalam suatu
bentuk yang sesuai untuk prosesing di dalam suatu sistem komputer, termasuk suatu program yang sesuai untuk memungkinkan
suatu sistem komputer untuk melakukan suatu.”
Pasal 172 RKUHP mengatur tentang
harta kekayaan : “Harta kekayaan adalah semua benda bergerak atau benda tidak
bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud.”
“Pasal 173 RKUHP mengatur tentang
informasi elektronik : “Informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data
elektronik diantaranya meliputi teks, simbol, gambar, tanda-tanda, isyarat,
tulisan, suara, bunyi, dan bentuk-bentuk lainnya yang telah diolah sehingga
mempunyai arti.”
Pasal 174 mengatur tentang jaringan
telepon, yaitu Jaringan telepon adalah termasuk jaringan komputer atau sistem
komunikasi komputer.
Pasal 175 RKUHP mengatur tentang
definisi kapal yaitu kendaraan air dengan bentuk dan jenis apapun, yang
digerakkan dengan tenaga mekanik, tenaga angin, atau ditunda, termasuk
kendaraan yang berdaya dukung dinamis, kendaraan di bawah permukaan air, serta
alat apung dan bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah.
Pasal 177 RKUHP, menjelaskan tentang
kapten pilot : Kapten pilot adalah orang yang memegang kekuasaan tertinggi
dalam pesawat udara atau orang yang menggantikannya.
Pasal 178 RKUHP mengatur tentang
kekerasan : Kekerasan adalah setiap perbuatan penyalahgunaan kekuatan fisik
dengan atau tanpa menggunakan sarana secara melawan hukum dan menimbulkan
bahaya bagi badan, nyawa, kemerdekaan, penderitaan fisik, seksual, psikologis,
termasuk menjadikan orang pingsan atau tidak berdaya.
Pasal 180 RKUHP mengatur tentang
kode akses : Kode akses adalah angka, huruf, simbol lainnya atau kombinasi
diantaranya yang merupakan kunci untuk dapat mengakses komputer, jaringan
komputer, internet, atau media elektronik lainnya.
Pasal 181 RKUHP mengatur tentang
definisi komputer : Komputer adalah alat pemroses data elektronik, magnetik,
optikal, atau sistem yang melaksanakan fungsi logika, aritmatika, dan
penyimpanan.
Pasal 182 RKUHP mengatur mengenai
korporasi : Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang
dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
Pasal 186 RKUHP mengatur tentang
masuk atau log in yang artinya masuk yaitu termasuk
mengakses komputer atau masuk ke dalam sistem komputer.
Pasal 190 mengatur tentang
defininisi pejabat, yang sebenarnya sudah dijelaskan oleh KUHP pada padal 92
KUHP, akan tetapi RKUHP mengatur lebih rinci. “Pejabat adalah setiap warga
negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat
oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas negara, atau diserahi tugas lain
oleh negara, dan digaji berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, yang meliputi: pegawai
negeri; pejabat negara; penyelenggara negara; pejabat publik; pejabat daerah; orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;
orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi yang menerima bantuan dari
keuangan negara atau daerah; orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi
lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyatakat; pejabat publik asing; atau pejabat lain yang ditentukan berdasarkan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 192 RKUHP mengatur tentang
pencemaran lingkungan hidup: Pencemaran
lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi,
dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga
kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup
tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya.
Pasal 196 RKUHP mengatur tentang
penyedia jasa keuangan yaitu: Penyedia jasa keuangan adalah setiap orang yang
menyediakan jasa di bidang keuangan atau jasa lainnya yang terkait dengan
keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga pembiayaan,
perusahaan efek, pengelola reksa dana, kustodian, wali amanat, lembaga
penyinpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing, dana pensiun, perusahaan
asuransi, dan kantor pos.
Pasal 198 RKUHP mengatur tentang
perbuatan. Perbuatan adalah termasuk juga perbuatan yang dilakukan atau
perbuatan yang tidak dilakukan yang merupakan tindak pidana sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan atau hukum yang berlaku.
Pasal 199 mengatur tentang permainan
judi adalah : Permainan judi adalah: a.setiap permainan yang kemungkinan untuk
mendapat untung tergantung pada untung‑untungan belaka; b.setiap permainan yang
kemungkinan untuk mendapatkan untung tersebut bertambah besar, karena
pemainnya lebih terlatih atau lebih mahir; c.semua pertaruhan tentang hasil
perlombaan atau permainan lainnya yang dilakukan oleh setiap orang yang bukan
turut berlomba atau turut bermain; atau d. pertaruhan lainnya.
Pasal 200 RKUHP mengatur tentang
perusakan lingkungan hidup. Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan yang
menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik
dan/atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi
dalam menunjang pembangunan berkelanjutan.
Pasal 203
RKUHP mengatur tentang pornografi. Pornografi adalah substansi dalam media atau
alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang
mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika.
Pasal 204
mengatur tentang ruang:
Ruang adalah termasuk bentangan atau terminal komputer yang dapat diakses
dengan cara-cara tertentu.
Pasal 205 RKUHP mengatur tentang
definisi setiap orang : Setiap orang adalah orang perseorangan, termasuk
korporasi.
Pasal 206 RKUHP mengatur tentang
sistem komputer yaitu Sistem komputer adalah suatu alat, perlengkapan, atau
suatu perangkat perlengkapan yang saling berhubungan atau terkait satu sama
lain, satu atau lebih yang mengikuti suatu program, melakukan prosesing data
secara otomatik.
Pasal 207 RKUHP mengatur tentang
surat yaitu Surat adalah surat yang tertulis di atas kertas, termasuk juga
surat atau data yang tertulis atau tersimpan dalam disket, pita magnetik, atau
media penyimpan komputer atau media penyimpan data elektronik lain.
Pasal 209 RKUHP mengatur tentang
pengertian tindak pidana: Tindak pidana adalah termasuk juga permufakatan
jahat, persiapan, percobaan, dan pembantuan melakukan tindak pidana, kecuali
ditentukan lain dalam peraturan perundang‑undangan.
VI.
ANALISA PEMBAHARUAN
HUKUM PIDANA
A. Masalah
Pembaharuan Hukum Pidana
Pembaharuan hukum pidana (penal
reform) merupakan bagian dari kebijakan/politik hukum pidana (penal policy).
Makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana berkaitan erat dengan latar belakang
dan urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana itu sendiri. Latar belakang
dan urdensi diadakannya pembaharuan hukum pidana dapat ditinjau dari aspek
sosio-politik, sosio-filosofis, sosio kultural atau dari berbagai aspek
kenijakan (khususnya kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan
penegakan hukum). Ini berarti makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana juga
berkaitan erat dengan berbagai aspek itu. Artinya, pembaharuan hukum pidana
juga pada hakikatnya harus merupakan perwujudan dari perubahan dan pembaharuan
terhadap berbagai aspek dan kebijakan yang melatar-belakangi itu. Dengan demikian,
pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya mengandung mengandung makna, suatu
upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan
nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio filosofis, sosio-kulturan masyarakat
indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan
penegakan hukum di Indonesia. Secara singkat dapatlah dikatakan, bahwa
pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya harus ditempuh dengan pendekatan yang
berorientasi pada kebijakan (policy-oriented approach) dan sekali gus
pendekatan yang berorientasi pada nilai (value-oriented approach).
Pembaharuan hukum pidana harus
dilakukan dengan pendekatan kebijakan, karena memang pada hakikatnya ia hanya
merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan atau policy (yaitu bagian dari
politik hukum/penegakan hukum, pilitik hukum pidana, politik kriminal, politik
sosial). Di dalam setiap kebijakan (policy) terkandung pula pertimbangan
nilai. Oleh karena itu, pembaharuan hukum pidana harus pula berorientasi pada
pendekatan nilai.
Dengan uaraian di atas dapat
disimpulkan makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana sebagai berikut:
1.
Dilihat dari sudut pendekatan-kebijakan:
·
Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum
pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi
masalah-masalah sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam rangka
mencapai/menunjang tujuan nasional (kesejahteraan masyarakat dan sebagainya),
·
Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan hukum
pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat
(khususnya upaya penanggulangan kejahatan),
·
Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan
hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari uapaya memperbaharui
substansi hukum (legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan
hukum
2. Dilihat dari sudut pendekatan-nilai:
Pembaharuan hukum pidana pada
hakikatnya merupakan upaya melakukan peninjauan dan penilaian kembali
(re-oriented dan re-evaluasi) nilai-nilai sosio-politik, sosio-filosofis, dan
sosio-kultural yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan
substantif hukum pidana yang dicita-citakan. Bukanlah pembaharuan (reformasi)
hukum pidana, apabila orientasi nilai dari hukum pidana yang dicita-citakan
(misalnya KUHP Baru) sama saja dengan orientasi nilai dari hukum pidana lama
warisan penjajah (KUHP lama atau WvS).
B. Pendekatan
Kebijakan Dan Pendekatan Nilai
Dua masalah sentral dalam kebijakan
kriminal dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) adalah:
1. perbuatan apa yang seharusnya
dijadikan tindak pidana, dan
2. sanksi apa yang sebaiknya digunakan
atau dikenakan kepada si pelanggar.
Penganalisaan terhadap dua masalah
sentral ini tidak dapat dilepaskan dari konsepsi integral antara kebijakan
kriminal dengan kebijakan sosial atau kebijakan pembangunan nasional. Ini
berarti pemecahan masalah-masalah di atas harus pula diarahkan untuk mencapai
tujuan-tujuan tertentu dari kebijakan sosial-politik yang telah ditetapkan.
Dengan demikian kebijakan hukum pidana, termasuk pula kebijakan dalam menangani
dua masalah sentral di atas, harus pula dilakukan dengan pendekatan yang
berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach). Sudah barang tentu
pendekatan kebijakan yang integral ini tidak hanya dalam bidang hukum pidana,
tetapi juga pada pembangunan hukum pada umumnya. Pendekatan demikian terlihat
pula misalnya pada tulisan Satjipto Rahardjo yang berjudul “Pembangunan Hukum
yang Diarahkan kepada Tujuan Nasional”. Dikemukakan oleh Satjipto Raharjo bahwa
tidak dijumpai perbedaan antara fungsi hukum sebelum dan susudah kemerdekaan.
Perbedaannya terletak pada keputusan politik yang diambil dalam kedua masalah
tersebut dan pengimplementasiannya ke dalam sistem hukum masing-masing. Apabila
keputusan politik yang diambil setelah kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah
mengutamakan kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya, maka keputusan demikian
harus dirumuskan dalam kaidah-kaidah hukum dan struktur hukumnya pun harus
menyediakan kemungkinan untuk melakukan hal itu.
Bertolak dari pendekatan itu pila,
Sudarto berpendapat bahwa dalam menghadapi masalah sentral yang pertama di
atas, yang sering disebut masalah kriminalisasi, harus diperhatikan hal-hal
yang pada intinya sebagai berikut:
1.
Pembangunan hukum pidana harus memperhatikan tujuan
pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata
material spiritual berdasarkan Pancasila. Sehubungan dengan ini maka
(penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan
mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi
kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.
2. Perbuatan yang diusahakan untuk
dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang
tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (material dan
atau spiritual) atas warga masyarakat,
3. Penggunaan hukum pidana harus pula
memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost and benefit principle),
4. Penggunaan hukum pidana harus pula
memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak
hukum yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overvelasting)
Pendekatan yang berorientasi pada
kebijakan sosial terlihat pula dalam Simposium Pembaharuan Hukum Pidana
Nasional pada bulan Agustus 1980 di Semarang. Dalam salah satu laporannya
dinyatakan antara lain sebagai berikut:
"Masalah kriminalisasi dan
dekriminalisasi atas suatu perbuatan haruslah sesuai dengan politik kriminal
yang dianut oleh bangsa Indonesia, yaitu sejauh mana perbuatan tersebut
bertentangan dengan nilai-nilai fundamental yang berlaku dalam masyarakat dan
oleh masyarakat dianggap patut atau tidak patut dihukum dalam rangka
menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat."
Khususnya mengenai kriteria
kriminalisasi dan dekriminalisasi, laporan simposium itu antara lain
menyatakan: untuk menetapkan suatau perbuatan itu sebagai tindak kriminal,
perlu memperhatikan kreteria umum sebagai berikut :
1. Apa perbuatan itu tidak disukai atau
benci oleh masyarakat karena merugikan, atau dapat merugikan, mendatangkan
korban atau dapat mendatangkan korban
2. Apakah biaya mengkriminalisasi
seimbang dengan hasilnya yang akan dicapai, artinya cost pembuatan
undang-undang, pengawasan dan penegakan hukum, serta bebanyang dipukul oleh
korban, pelaku dan pelaku kejahatan itu sendiri harus seimbang dengan situasi
tertib hukum yang akan dicapai.
3. Apakah akan makin menambah beban
aparat penegak hukum yang tidak seimbang atau nyata-nyata tidak dapat diemban
oleh kemampuan yang dimiliki.
4. Apakah perbuatan-perbuatan itu
menghambat atau menghalangi cita-cita bangsa, sehingga merupakan bahaya bagi
keseluruhan masyarakat.
Di samping kreteria umum di atas,
Simposium memandang perlu pula untuk memperhatikan sikap dan pandangan
masyarakat mengenai patut tercelanya suatu perbuatan tertentu, dengan melakukan
penelitian,khususnya yang berhubungan dengan kemajuan teknologi dan perubahan
sosial.
Demikian pula menurut Bassiouni,
keputusan untuk melakuakan kriminalisasi dan dekriminalisasi harus didasarkan
pada faktor-faktor kebijakan tertentu yang mempertimbangkan bermacam-macam
faktor, termasuk;
1. keseimbangan sarana-sarana yang
digunakan dalam hubungannya dengan hasil-hasil yang ingin dicapai;
2. analisis biaya terhadap hasil-hasil
yang diperoleh dalam hubungannya dengan tujuan-tujuan yang dicari;
3. penelitian atau penafsiran
tujuan-tujuan yang dicari itu dalam kaitannya dengan prioritas-prioritas
lainnya dalam pengalokasian sumber-sumber tenaga manusia;
4. pengaruh sosial dari kriminalisasi
dan dekriminalisasi yang berkenaan dengan atau dipandang dari
pengaruh-pengaruhnya yang sekunder.
Selanjutnya dikemukakan bahwa
problem dari pendekatan yang beroreantasi pada kebujakan adalah kecenderungan
untuk menjadi pragmatis dan kuantitatif serta tidak memberi kemungkinan untuk
masuknya faktor-faktor yang subyektif, misalnya nilai-nilai, ke dalam proses
pembuatan keputusan. Namun demikian, pendekatan yang beroreantasi pada
kebijakan ini menurut Bassiouni seharusnya dipertimbangkan sebagai salah satu
scientific device dan digunakan sebagai alternatif dari pendekatan dengan
penilaian emisional (the emosionally laden value judgment approach) oleh
kebanyakan badan-badan legislatif. Dikemukakan pula bahwa perkembangan darai “a
policy oriented approach” ini lamban datangnya, karena proses legislatif belum
siap untuk pendekatan yang demikian. Masalahnya antara lain terletak pada
sumber-sumber keuangan untuk melakukan orientasi ilmiah itu. Kelambanan yang
demikian ditambah dengan proses kriminalisasi yang berlangsung terus tanpa
suatu evaluasi mengenai pengaruhnya terhadap keseluruhan sistem,mengakibatkan
timbulnya:
·
krisis kelebihan kriminalisasi (the crisis of
over-criminalization), dan
·
Krisis kelamopauan batas dari hukum pidana (the crisis of
overreach of the criminal law).
Yang pertama mengenai banyaknya atau
melimpahnya jumlah kejahatan dan perbuatan-perbuatan yang dikriminalisasikan,
dan yang kedua mengenal usaha pengendalian perbuatan dengan tidak menggunakan
sanksi yang efektif.
Pendekatan kebijakan seperti
dikemukakan di atas jelas merupakan pendekatan yanag rasional, karena
karakteristisk dari suatu politik kriminal yang rasional tidak lain daripada
penerapan metode-metode yang rasional. Menurut G.P. Hoefnagels suatu politik
kriminal harus rasional; kalau tidak demikian tidak sesuai dengan definisinya
sebagai “a rational total of the responses to crime”. Disamping itu, hal ini
penting karena konsepsi mengenai kejahatan dan kekuasaan atau proses untuk
melakukan kriminalisasi sering ditetapkan secara emosional.
Pendekatan yang rasional memang
merupakan pendekatan yang seharusnya melekat pada setiap langkah kebijakan. Hal
ini merupakan konsekuensi logis, karena seperti dikatakan oleh Sudarto, dalam
melaksanakan politik (kebijakan, pen.) orang mengadakan penilaian dan melakukan
pemilihan dari sekian banyak alternatif yang dihadapi. Ini berarti suatu
politik kriminal dengan menggunakan kebijakan hukum pidana harus merupakan
suatu usaha atau langkah-langkah yang dibuat dengan sengaja dan sadar. Ini
berarti memilih dan dan menetapkan hukum pidana sebagai sarana untuk
menanggulangi kejahatan harus benar-benar telah memperhitungkan semua faktor
yang dapat mendukung berfungsinya atau bekerjanya hukum pidana itu dalam
kenyataannya.
Jadi diperlukan pula pendekatan yang
fungsional; dan inipun merupakan pendekatan yang melekat (inherent) pada
kebijakan yang rasional. Salah satu kesimpulan dari Seminar Kriminologi ketiga
tahun 1976 di Semarang antara lain menyatakan, hukum pidana hendaknya
dipertahankan sebagai salah satu sarana untuk social defence. Pemilihan pada
konsepsi perlindungan masyarakat inipun membawa konsekuensi pada pendekatan
yang rasional, seperti dikemukakan oleh Johannes Andenaes sebagai
berikut:"Apabila orang mendasarkan hukum pidana pada konsepsi perlindungan
masyarakat/social defence, maka tugas selanjutnya adalah mengembangkannya
serasional mungkin. Hasil-hasil maksimum harus dicapai dengan biaya yang
menimum bagi masyarakat dan minimum penderitaan bagi individu. Dalam tugas
demikian, orang harus mengandalkan pada hasil-hasil penelitian ilmiah mengenai
sebab-sebab kejahatan dan efektivitas dari bermacam-macam sanksi."
Dari apa yang dikemukakan J.
Andenaes di atas jelas terlihat bahwa pendekatan kebijakan yang rasional erat
pula hubungannya dengan pendekatan ekonomis. Dengan pendekatan ekonomis di sini
tidak hanya dimaksudkan untuk mempertimbangkan antara biaya atau beban yang
ditanggung masyarakat (dengan dibuat dan digunakannya hukum pidana) dengan
hasil yang ingin dicapai, tetapi juga dalam arti mempertimbangkan efektivitas
berpendapat, bahwa suatu pidana dapat disebut sebagai alat pencegah yang
ekonomis (economical deterrenta) apabila dipenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
·
pidana itu sungguh-sungguh mencegah;
·
pidana itu tidak menyebabkan timbulnya keadaan yang lebih
berbahaya/merugikan dari pada yang akan terjadi apabila pidana itu tidak
dikenakan;
·
tidak ada pidana lain yang dapat mencegah secara efektif
dengan bahaya/kerugian yang lebih kecil.
Bertolak dari pendapat Ted Honderich
di atas dapat pula ditegaskan, bahwa pendekatan rasional pragmatis berarti
mengandung pula pendekatan kemanfaatan / kegunaan (utilitas). Sehubungan dengan
hal ini, Jeremy Bentham pernah pula menyatakan bahwa pidana janganlah
diterapkan / digunakan apabila “groundless, needless, unprofitable or
inefficacious”.
Segi lain yang perlu dikemukakan
dari pendekatan kebijakan ialah yang berkaitan dengan nilai-nilai yang ingin
dicapai atau dilindungi oleh hukum pidana. Menurut Bassiouni, tujuan-tujuan
yang ingin dicapai oleh pidana pada umumnya terwujud dalam
kepentingan-kepentingan sosial yang mengandung nilai-nilai tertentu yang perlu
dilindungi. Kepentingan-kepentingan sosial tersebut menurut Bassiouni, ialah:
1. Pemeliharaan tertib masyarakat,
2. Perlindungan warga masyarakat dari
kejahatan, kerugian atau bahaya-bahaya yang tak dapat dibenarkan, yang
dilakukan oleh orang lain,
3. Memasyarakatkan kembali
(resosialisasi) para pelanggar hukum,
4. Memelihara atau mempertahankan
integritas pandangan-pandangan dasar tertentu mengenai keadilan sosial,
martabat kemanusiaan dan keadilan individu.
Ditegaskan selanjutnya bahwa sanksi
pidana harus disepadankan dengan kebutuhan untuk melindungi dan mempertahankan
kepentingan-kepentingan ini. Pidana hanya dibenarkan apabila ada kebutuhan yang
berguna bagi masyarakat; pidana yang tidak diperlukan tidak dapat dibenarkan
dan berbahaya bagi masyarakat. Selain itu batas-batas sanksi pidana ditetapkan
pula berdasar kepentingan-kepentingan ini dan nilai-nilai yang mewujudkannya.
Berdasarkan pandangan yang demikian, maka menurut Bassiouni disiplin hukum
pidana bukan hanya pragmatis tetapi juga suatu disiplin yang berdasar dan berorientasi
pada nilai (not only pragmatic but aiso value-based and value-oriented).
Dari uraian di atas dapatlah
disimpulkan bahwa menurut Bassiouni, dalam melakukan kebijakan hukum pidana
diperlukan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented
approach) yang lebih bersifat pragmatis dan rasional, dan juga pendekatan yang
berorientasi pada nilai (value judgment approach). Antara pendekatan kebijakan
dan pendekatan yang berorientasi pada nilai jangan terlalu dilihat sebagai
suatu “dichotomy”, karena dalam pendekatan kebijakan sudah seharusnya juga
dipertimbangkan faktor-faktor nilai. Sehubungan dengan hal ini Roeslan Saleh
menanyakan :
Keharusan rasionalitas itu bukanlah
berarti bahwa pertimbangan-pertimbangan etis dalam hukum pidana dapat ditinggalkan
saja. Juga syarat rasional adalah suatu syarat moral (Wilkins, Morris, dan
Howard). Jadi rasionalitas jangan sampai dikaburkan oleh
pertimbangan-pertimbangan yang bersifat etis. Batas-batas bersifat etis itu
haruslah sebaik-baiknya dan seteliti-telitinya dirumuskan. Di dalam batas-batas
dari apa yang secara etis dapat diterima haruslah diambil keputusan-keputusan
yang rasional itu.
Kebijakan kriminal tidak dapat
dilepaskan sama sekali dari masalah nilai karena seperti dikatakan oleh
Christiansen, “the conception of prblem crime and punishment is an essential
part of the culture of any society”. Begitu pula menurut W. Clifford, “the very
foundation of any criminal justice system consists of the phylosophy behind a
given country”. Terlebih bagi Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan garis
kebijakan pembangunan nasionalnya bertujuan membentuk manuasia seutuhnya.
Apabila pidana akan digunakan sebagai sarana untuk tujuan tersebut, maka
pendekatan humanistik harus pula diperhatikan. Hal ini penting tidak hanya
karena kejahatan itu pada hakikatnya merupakan masalah kemanusiaan, tetapi juga
karena pada hakikatnya pidana itu sendiri unsur penderitaan yang dapat
menyerang kepentingan atau nilai yang paling berharga bagi kehidupan manusia.
Pendekatan humanistik dalam
penggunaan sanksi pidana, tidak hanya berarti bahwa pidana yang dikenakan
kepada si pelanggar harus sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang beradap;
tetapi juga harus dapat membangkitkan kesadaran si pelanggar akan nilai-nilai
kemanusiaan dan nilai-nilai pergaulan hidup bermasyarakat. Sehubungan dengan
hal terakhir ini patut kiranya dikemukakan konsepsi kebujakan pidana dari
aliran social defence (the penal policy of social defence) menurut Marc Ancel
yang bertolak pada konsepsi pertanggungjawaban yang bersifat pribadi. Hal ini
kami anggap perlu dikemukakan karena istilah perlindungan masyarakat atau
social defence yang dikaitkan dengan masalah rehabilitasi dan resosialisasi
sudah sering dugunakan di indonesia. Hal ini terlihat misalnya pada Seminar
Kriminologi ketiga tahun 1976 dan Simposium Pembaharuan Hukum Pidana pada tahun
1980 di Semarang.
Menurut Marc Ancel,
pertanggungjawaban yang didasarkan pada kebebasan individu merupakan kekuatan
penggerak yang utama dari proses penyesuaian- social (the main driving force of
the process of social readaption). Diakui olehnya bahwa masalah determinisme
dan indeterminisme merupakan problem filosofis yang berada di luar lingkup
kebijakan pidana dan hukum pidana. Akan tetapi ditegaskan bahwa kebijakan pidana
yang modern hampir selalu mensyaratkan adanya kebebasan individu. Tujuan utama
setiap perlakuan readaptasi-sosial harus diarahkan pada perbaikan terhadap
penguasaan diri sendiri. Oleh karena itu masalah pertanggungjawaban
(“kesalahan”,pen.) seharusnya tidak boleh diabaikan; malah justru diperkenalkan
kembali sebagai suatu pertanggungjawaban pribadi (“kesalahan individual”,
pen.). Reaksi terhadap perbuatan anti-sosial justru harus dipusatkan pada
konsepsi pertanggungjawaban pribadi ini. Pertanggungjawaban yang dimaksud oleh
Marc Ancel berlainan dengan pandangan klasik yang mengartikannya sebagai
pertanggungjawaban moral secara murni (the purely moral responsibility), dan
berbeda pula dengan pandangan posotivist yang mengartikannya sebagai pertanggungjawaban
menurut hukum atau pertanggung jawaban objektif (legal or objective view of
responsibility) .
Pertanggungjawaban pribadi
(individual responsibility) menurut Marc Ancel menekankan pada perasaan
kewajiban moral pada diri individu dan oleh karena itu mencoba untuk merangsang
ide tanggung jawab atau kewajiban sosial terhadap anggota masyarakat yang lain
dan juga mendorongnya untuk menyadari moralitas sosial. Pengertian yang
demikian merupakan konsekuensi dari pandangan Marc Ancel yang melihat kejahatan
sebagai suatu manifestasi dari kepribadian si pelaku.
Dari uraian di atas terlihat, bahwa
pendekatan nilai humanistik menuntut pula diperhatikannya ide “individualisasi
pidana” dalam kebijakan/pembaharuan hukum pidana. Ide individualisasi pada
pidana ini antara lain mengandung beberapa karakteristik sebagai berikut :
·
pertanggungjawaban (pidana) bersifat pribadi/per- orangan
(asas personal);
·
pidana hanya diberikan kepada orang yang bersalah (asas
culpabilitas: “tiada pidana tanpa kesalahan”);
·
pidana harus disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi si
pelaku; ini berarti harus ada kelonggaran/fleksibilitas bagi hakim dalam
memilih sanksi pidana (jenis maupun berat-ringannya sanksi) dan harus ada
kemungkinan modifikasi pidana (perubahan/penyesuaian) dalam pelaksanaannya.
VII.
KESIMPULAN
Antara
kebijakan sosial (social policy),
kebijakan criminal (criminal policy)
dan kebijakan pidana (penal policy)
adalah saling terkait dan bersinergi. Dalam pembaharuan hukum pidana harus
memperhatikan berbagai aspek yang melingkupinya, sehingga tidak kontra
produktif.
Adapun
penanggulangan kejahatan dapat dilakukan baik dengan pendektan penal ataupun
non penal. Keduanya sangat penting karena mengingat masyarakat Indonesia yang
sangat plural.
Adapun
terkait komparasi tentang KUHP dan RUUKUHAP, perlu terus dikaji sehingga
integrasi hukum yang hidup dimasyarakat dapat teradopsi dan terintegrasi dengan
baik mewujudkan ruh norma yang ditaati dalam masyarakat.
Daftar
Pustaka:
Adi, Isbandi Rukminto. 2002. Pemikiran-pemikiran
dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial. Lembaga Penerbitan FEUI. Jakarta
Barda Nawawi, 2010, Bunga Rampai
Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru),
Cet.Ke-2, Kencana, Jakarta
Huda, Miftahul.2009. Pekerjaan
Sosial dan Kesejahteraan Sosial: Sebuah Pengantar. Pustaka Pelajar.
Yogyakarta.
Lawrence M.Friedman, 2011, Sistem
Hukum, Diterjemahkan oleh M. Khozim, Cet.ke-4, Nusa Media, Bandung
M. Hamdan, 1997, Politik Hukum
Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta
Mahfud MD, “Menguatkan Pancasila
Sebagai Dasar Ideologi Negara”, Dimuat dalam Mahkamah Konstitusi dan
Penguatan Pancasila, Majalah Konstitusi No.52-Mei 2011
Midgley, James. 2005. Pembangunan
Sosial, Perspektif Pembangunan Dalam Kesejahteraan Sosial. Direktorat
Perguruan Tinggi Agama Islam Depag RI. Jakarta.
Prayitno, Ujianto Singgih. 2009. Tantangan
Pembangunan Sosial di Indonesia. Pusat Pengkajian Data dan Informasi
(P3DI). Sekretariat Jendral DPR RI. Jakarta
Satjitpto Rahardjo,
2009, Hukum dan Prilaku : Hidup Baik adalah Dasar Hukum yang Baik,
Penerbit Buku Kompas, Jakarta
Soerjono Soekanto, 2007, Hukum
Adat di Indonesia, Cet.ke-2, Rajawali Pers, Jakarta
Suharto, Edi. 2005. Membangun
Masyarakat Memberdayakan Rakyat. PT. Refika Aditama. Bandung
Suharto, Edi. 2008. Kebijakan
Sosial Sebagai Kebijakan Publik. Alfabeta. Bandung.
Susanto, Anthon F, 2004, Wajah
Peradilan Kita, Refika Aditama, Bandung
Suwarsono& SO, Alvin. 1999.
Perubahan Sosial dan Pembangunan di Indonesia. LP3ES. Jakarata
[1] Prof. Dr. Esmi
Warassih,S.H.,M.H., Pranata Hukum Sebuah
Telaah Sosiologis, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2011,
Hal. 110.
[2] Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai
Kebijakan Hukum Pidana, Jakarta: Prenada Media Group, 2011, Hal. 23.
[4]
Edy Yunara, Korupsi dan
Pertanggungjawaban Pidana Korupsi Berikut Studi Kasus, Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2005, Hal. 60
[5] Lihat Rancangan
Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hokum Pidana (RUUKUHP) dan Prof.
Moeljatno,SH, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
Cet. XXI, tahun 2001.
Comments
Post a Comment