HUKUM YANG HIDUP DI MASYARAKAT SEBAGAI SUMBER HUKUM (KAJIAN RUU-KUHP)
HUKUM YANG
HIDUP DI MASYARAKAT SEBAGAI SUMBER HUKUM (KAJIAN RUU-KUHP)
OLEH
Nur Moklis
I.
PENDAHULUAN
Kebiasaan (custom) Dapat diartikan sebagai sumber
hukum dalam arti formal yang tidak tertulis. Kebiasaan adalah perbuatan manusia
yang tetap dilakukan berulang-ulang dalam hal yang sama. Apabila suatu
kebiasaan tertentu diterima oleh masyarakat dan kebiasaan itu selalu
berulang-ulang dilakukan sedemikan rupa, sehingga tindakan yang berlawanan
dengan kebiasaan itu dirasakan sebagai pelanggaran perasaan hukum, maka dengan
demikian timbullah suatu kebiasaan hukum, yang oleh pergaulan hidup dipandang
sebagai hukum. Merupakan sumber hukum yang ada dalam kehidupan sosial
masyarakat dan dipatuhi sebagai nilai-nilai hidup yang positif. Namun tidak
semua kebiasaan itu mengandung hukum yang adil dan mengatur tata kehidupan
masyarakat sehingga tidak semua kebiasaan dijadikan sumber hukum.
Selain kebiasaan dikenal pula adat istiadat yang
mengatur tata pergaulan masyarakat. Adat istiadat adalah himpunan kaidah sosial
yang sudah sejak lama ada dan merupakan tradisi yang umumnya bersifat sakral,
mengatur tata kehidupan sosial masyarakat tertentu. Kebiasaan dan Adat istiadat hidup dan
berkembang di masyarakat tertentu sehingga kekuatan berlakunya terbatas pada
masyarakat tersebut. Adat istiadat dapat menjadi hukum adat jika mendapat dukungan
sanksi hukum.
Menurut Mr. J.H.P. Bellefroid, hukum kebiasaan disebut
“kebiasaan” saja, meliputi semua peraturan-peraturan yang walaupun tidak
ditetapkan pemerintah, tetapi ditaati oleh seluruh rakyat, karena mereka yakin
bahwa peraturan itu berlaku sebagai hukum.
Prof. Soepomo dalam catatan mengenai pasal 32 UUD 1950
berpendapat bahwa “ Hukum adat adalah synonim dengan hukum tidak tertulis dan
hukum tidak tertulis berarti hukum yang tidak dibentuk oleh sebuah badan
legislatif yaitu hukum yang hidup sebagai konvensi di badan–badan hukum negara
(DPR, DPRD, dsb), hukum yang timbul karena putusan-putusan hakim dan hukum
kebiasaan yang hidup dalam masyarakat.”
Perbedaan prinsipil antara hukum kebiasaan dan hokum
adat yaitu, 1. hukum kebiasaan seluruhnya tidak tertulis sedangkan hukum adat, ada
yang tertulis dan ada yang tidak 2. Hukum kebiasaanberasal dari kontrak social
sedangkan hokum adapt berasal dari kehendak nenek moyang agama dan tradisi
masyrakat. Namun demikian tdk semua kebiasaan itu pasti mengandung hukum yg
baik dan adil oleh sebab itu belum tentu kebiasaan atau adat istiadat itu pasti
menjadi sumber hukum formal. Adat kebiasaan tertentu di daerah hukum adat
tertentu yg justru sekarang ini dilarang untuk diberlakukan karena dirasakan
tidak adil dan tidak berperikemanusiaan sehingga bertentangan denagan Pancasila
yang merupakan sumber dari segala sumber hukum, misalnya jika berbuat
susila/zinah, perlakunya ditelanjangi kekeliling kampung. Selanjutnya kebiasaan
akan menjadi hukum kebiasaan karena kebiasaan tersebut dirumuskan hakim dalam
putusannya. Selanjutnya berarti kebiasaan adalah sumber hukum.
Kebiasaan
adalah bukan hukum apabila UU tidak menunjuknya (pasal 15 AB) = Algemene
Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia = ketentuan2 umum tentang peraturan per
UU an untuk Indonesia Suatu adat istiadat dan kebiasaan dapat menjadi hokum
kebiasaan atau hokum tidak tertulis apabila telah memenuhi syarat-syarat yaitu
: 1. Syarat materiil , kebiasaan itu berlangsung terus menerus, dilakukan
berulang2 di dalam masyarakat tertentu dan dilakukan dengan tetap. 2. Syarat
psikologis, ada keyakinan warga masyarakat bahwa perbuatan atau kebiasaan itu
masuk akal sebagai suatu kewajiban (opinio necessitatis = bahwa perbuatan tsb
merupakan kewajiban hukum atau demikianlah seharusnya) = syarat intelektual
Keyakinan hukum itu memili 2 arti :a. Keyakinan hukum dalam arti materiil
(isinya baik). b. Keyakinan hukum dalam arti formil (tidak dilihat isinya
tetapi ditaati). 3. Syarat sanksi, adanya sanksi apabila kebiasaan itu
dilanggar atau tidak ditaati oleh warga masyarakat. Menurut Pasal 15 AB :
“Kebiasaan tidaklah menimbulkan hukum, hanya kalau undang-undang menunjuk pada
kebiasaan untuk diperlakukan”. Contoh : Pasal 1339
KUHS/KUHPerdata. “Persetujuan-persetujuan tidak hanya mengikat untuk apa
yang telah ditetapkan dengan tegas oleh persetujuan-persetujuan itu, tetapi
juga untuk segala sesuatu menurut sifat persetujuan-persetujuan itu
didiwajibkan oleh kebiasaan”.
II.
PERMASALAHAN
Berdasarkan uraian diatas,
maka penelaahan makalah
ini akan mengulas alasan-alasan
menjadikan hokum yang hidup di
masyarakat sebagai sumber hokum dan terkait ukuran atau kreteria hokum yang
hidup di masyarakat sebagai sumber hokum. Untuk mempertajam telaah makalah ini,
perlu dititikberatkan untuk menjawab dua pertanyaan sebagai berikut ini:
1.
Apa
alasan diperluasnya asas legalitas formal menjadi asas legalitas material dalam
konsep sebagai sumber hokum (RKUHP)?
2.
Apa
alasan-alasan menjadikan hokum yang hidup di masyarakat sebagai sumber hokum?
3.
Apa
ukuran atau kreteria hokum yang hidup di masyarakat sebagai sumber hokum?
III.
PEMBAHASAN
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan suatu instrument
hukum yang mempunyai peran sangat penting dalam penegakan hukum pidana di
Indonesia. Dengan demikian KUHP menjadi sumber pokok hukum pidana materil, yang
di dalamnya memuat tentang aturan umum hukum pidana dan rumusan-rumusan tindak
pidana tertentu. Di dalam aturan umum memuat asas-asas umum mengenai berbagai
hal atau bidang dalam hukum pidana, termasuk di dalamnya memuat tentang asas
legalitas (principle of legality).
Apa itu asas legalitas? Asas legalitas merupakan suatu asas yang
sangat menjunjung tinggi kepastian hukum. Prof. Moeljatno, SH. mengatakan asas
legalitas merupakan suatu asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang
dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam
perundang-undangan. Ini dapat diartikan bahwa hukum pidana berdasarkan asas
legalitas, hanya mengenal dan menghukum seseorang atas perbuatannya, apabila
perbuatan tersebut telah secara jelas diatur dalam perundang-undangan. Hal ini
merupakan suatu ciri khas yang ada dalam hukum pidana (KUHP).
Pada
awal pembahasan ini penulis akan membahas tentang asas legalitas sebagaimana
diterangkan konteks di atas merupakan asas yang paling penting dalam
hukum pidana sebagaimana diucapkan oleh Dupont.[1] Dikaji dari perspektif hukum
positif (ius constitutum) maka asas legalitas diatur dalam
ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP[2]. Pada RUU KUHP, dikaji
dari perspektif ius constituendum maka asas legalitas diatur pula
dalam ketentuan Pasal 1 RUU KUHP[3] yang selengkapnya berbunyi
sebagai berikut:
(1) Tiada
seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang
dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.
(2) Dalam
menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan analogi.
(3) Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup
dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun
perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.
(4) Berlakunya
hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sepanjang
sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang
diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.
Kemudian penjelasan
pasal demi pasal terhadap ketentuan Pasal 1 RUU KUHP tersebut diperinci sebagai
berikut:
Ayat (1)
Ayat
ini mengandung asas legalitas. Asas ini menentukan bahwa suatu perbuatan hanya
merupakan tindak pidana apabila ditentukan oleh atau didasarkan pada
undang-undang. Dipergunakannya asas tersebut, oleh karena asas legalitas
merupakan asas pokok dalam hukum pidana. Oleh karena itu peraturan
perundang-undangan pidana atau yang mengandung ancaman pidana harus sudah ada
sebelum tindak pidana dilakukan. Hal ini berarti bahwa ketentuan pidana tidak
berlaku surut demi mencegah kesewenang-wenangan penegak hukum dalam menuntut
dan mengadili seseorang yang dituduh melakukan suatu tindak pidana.
Ayat (2)
Larangan
penggunaan penafsiran analogi dalam menetapkan adanya tindak pidana merupakan
konsekuensi dari penggunaan asas legalitas. Penafsiran analogi berarti bahwa
terhadap suatu perbuatan yang pada waktu dilakukan tidak merupakan suatu tindak
pidana, tetapi terhadapnya diterapkan ketentuan pidana yang berlaku untuk
tindak pidana lain yang mempunyai sifat atau bentuk yang sama, karena kedua
perbuatan tersebut dipandang analog satu dengan yang lain. Dengan ditegaskannnya
larangan penggunaan analogi maka perbedaan pendapat yang timbul dalam praktik
selama ini dapat dihilangkan.
Ayat (3)
Adalah
suatu kenyataan bahwa dalam beberapa daerah tertentu di Indonesia masih
terdapat ketentuan hukum yang tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat dan
berlaku sebagai hukum di daerah tersebut. Hal yang demikian terdapat juga
dalam lapangan hukum pidana yaitu yang biasanya disebut dengan tindak pidana
adat. Untuk memberikan dasar hukum yang mantap mengenai berlakunya hukum pidana
adat, maka hal tersebut mendapat pengaturan secara tegas dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana ini. Ketentuan pada ayat ini merupakan pengecualian
dari asas bahwa ketentuan pidana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Diakuinya tindak pidana adat tersebut untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang
hidup di dalam masyarakat tertentu.
Ayat (4)
Ayat
ini mengandung pedoman atau kretaria atau rambu-rambu dalam menetapkan sumber
hukum materiel (hukum yang hidup dalam masyarakat) yang dapat dijadikan sebagai
sumber hukum (sumber legalitas materiil). Pedoman pada ayat ini berorientasi
pada nilai nasional dan internasional.
Ada
beberapa catatan substansial terhadap eksistensi asas legalitas sebagaimana
diatur dalam ketentuan Pasal 1 RUU KUHP tersebut. Pertama, asas
legalitas dalam ketentuan Pasal 1 RUU KUHP merupakan asas legalitas yang
diperluas yaitu dikenal eksistensi asas legalitas formal dan asas legalitas
materiel. Pada RUU KUHP asas legalitas formal diatur dalam ketentuan Pasal 1
ayat (1) sedangkan asas legalitas materiel diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat
(3). Pada asas legalitas formal, dasar patut dipidana suatu perbuatan
adalah Undang-undang yang sudah ada sebelum perbuatan tersebut dilakukan.
Kemudian asas legalitas materiel menentukan bahwa dasar patut dipidana suatu
perbuatan adalah hukum yang hidup dalam masyarakat yaitu hukum tidak tertulis
atau hukum adat.
Kedua, dalam menetapkan
adanya tindak pidana dilarang mempergunakan analogi (Pasal 1 ayat (2) RUU
KUHP). Penjelasan Pasal demi Pasal ketentuan Pasal 1 ayat (2) RUU
KUHP menyebutkan bahwa, “larangan penggunaan penafsiran analogi dalam
menetapkan adanya tindak pidana merupakan konsekuensi dari penggunaan asas
legalitas. Penafsiran analogi berarti bahwa terhadap suatu perbuatan yang pada
waktu dilakukan tidak merupakan suatu tindak pidana, tetapi terhadapnya
diterapkan ketentuan pidana yang berlaku untuk tindak pidana lain yang
mempunyai sifat atau bentuk yang sama, karena kedua perbuatan tersebut
dipandang analog satu dengan yang lain. Dengan ditegaskannnya larangan
penggunaan analogi maka perbedaan pendapat yang timbul dalam praktik selama ini
dapat dihilangkan”. Dalam kepustakan hukum hakikat penafsiran analogi
dimaksudkan apabila suatu perbuatan pada saat perbuatan bukan merupakan tindak
pidana, kemudian diterapkan ketentuan hukum pidana yang berlaku untuk tindak
pidana lain yang mempunyai sifat atau bentuk yang sama dengan perbuatan
tersebut, sehingga kedua perbuatan itu dipandang analog satu dengan
lainnya. Andi Hamzah menyebut bentuk analogi menjadi dua yaitu gesetz
analogi yaitu analogi terhadap perbuatan yang sama sekali tidan
terdapat dalam ketentuan pidana, dan recht analogi yaitu
analogi terhadap perbuatan yang mempunyai kemiripan dengan perbuatan yang
dilarang dalam ketentuan hukum pidana. Herman Mannheim mengemukakan
adanya dua macam analogi. Pertama, analogi undag-undang
atau gesetzes analogie. Kedua, analogi hukum atau rechtsanalogie. Dalam
penerapan hukum pidana analogi yang diperbolehkan adalah analogi undang-undang
dan bukan analogi hukum. Kendatipun demikian, sulit dibedakan antara analogi
undang-undang dan analogi hukum.[4] M. Cherif
Bassiouni, membagi ada tiga katagori analogi. Pertama, analogi
untuk menciptakan perbuatan pidana baru yang sudah diduga tetapi tidak
dirumuskan oleh pembentuk undang-undang. Kedua, analogi
yang diterapkan apabila bunyi Undang-undang tidak cukup jelas atau gagal
merumuskan unsur-unsur dari suatu tindak pidana. Ketiga, analogi
yang diterapkan terhadap pemidanaan yang tidak didifinisikan oleh pembentuk Undang-undang.
Pada sistem dengan pendekatan positivisme yang ketat, asas legalitas
membolehkan analogi terhadap pemidanaan, asalkan masih dalam batasan-batasan
yang telah ditentukan oleh pembentuk undang-undang. Akan tetapi, pada sistem
hukum yang menerapkan asas legalitas yang sangat ketat, penggunaan analogi
sepenuhnya dilarang, dengan mengingat klausula aturan favor reo.
Artinya, hakim harus menjatuhkan putusan yang meringankan terdakwa.[5]
Pada
hakikatnya, penerapan penafsiran analogi dalam hukum pidana menimbulkan
perdebatan panjang. Ada kelompok yang menerima analogi, kelompok yang menentang
penafsiran analogi dan ada kelompok yang tidak secara tegas menolak dan
menerima analogi. Kelompok yang menyetujui penerapan analogi argumentasinya
karena perkembangan masyarakat relatif cepat sehingga hukum pidana harus
berkembang sesuai perkembangan masyarakat. Sebagian besar negara Eropa melarang
penggunaan analogi, terkecuali Negara Denmark dan Inggris yang memperbolehkan
penerapan analogi. Kemudian kelompok yang menentang penerapan penafsiran
analogi dikarenakan penerapan analogi dianggap berbahaya karena dapat
menyebabkan ketidakpastian hukum dalam masyarakat. Taverne, Roling,
Pompe dan Jonkers menerima penerapan analogi dan Scholten,
van Hattum, van Bemmelen, Moeljatno dan Jan Remmelink menentang
penerapan analogi dalam hukum pidana serta Hazewinkel
Suringa dan Vos yang tidak secara tegas menolak dan menerima
analogi. Dalam praktik peradilan pada tahun 1921 penerapan penafsiran analogi
diterapkan dalam kassus pencurian listrik dengan memperluas pengertian
“barang” (goed) termasuk aliran listrik. Praktik peradilan Indonesia
lewat Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor: 144/Pid/1983/PT. Mdn telah
menafsirkan Pasal 378 KUHP yang memperluas pengertian benda termasuk juga
“kegadisan seorang wanita”.
Lebih
lanjut Eddy O.S. Hiariej mengatakan bahwa ketentuan mengenai larangan
menerapkan analogi merupakan suatu contradictio interminis bila
dihubungkan dengan ayat (3) di mana seseorang dapat dipidana meskipun
perbuatannya tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan. Sebab, untuk
memidana suatu perbuatan yang tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan,
mau tidak mau, hakim harus menggunakan analogi atau setidak-tidaknya
interpretasi ekstensif. Padahal, pada hakekatnya tidak terdapat perbedaan
prinsip antara interprestasi ekstensif dengan analogi.[6] Ketiga, asas
legalitas formal dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) RUU KUHP tidak dapat
diberlakukan secara mutlak/absolut atau imperatif karena adanya pengecualian
sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3), (4) RUU KUHP. Eksistensi
dan konsekuensi adanya ketentuan Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP dijelaskan
bahwa, “adalah suatu kenyataan bahwa dalam beberapa daerah tertentu di
Indonesia masih terdapat ketentuan hukum yang tidak tertulis yang hidup dalam
masyarakat dan berlaku sebagai hukum di daerah tersebut. Hal yang
demikian terdapat juga dalam lapangan hukum pidana yaitu yang biasanya disebut
dengan tindak pidana adat. Untuk memberikan dasar hukum yang mantap mengenai
berlakunya hukum pidana adat, maka hal tersebut mendapat pengaturan secara
tegas dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini. Ketentuan pada ayat ini
merupakan pengecualian dari asas bahwa ketentuan pidana diatur dalam peraturan
perundang-undangan. Diakuinya tindak pidana adat tersebut untuk lebih memenuhi
rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat tertentu”.
Konklusi
dasar dari ketentuan Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP dengan diakuinya hukum yang
hidup dalam masyarakat yang merupakan hukum tidak tertulis membawa konsekuensi
logis bahwa pembentuk RUU KUHP menarik hukum tidak tertulis menjadi hukum
formal. Implikasi adanya aspek ini membuat penegakan hukum yang hidup dalam
masyarakat akan dilakukan oleh negara melalui sub sistem peradilan pidana. Hal
ini dapat dimengerti oleh karena polarisasi pemikiran pembentuk RUU KUHP
bertitik tolak dari keseimbangan monodualistik yaitu asas keseimbangan antara
kepentingan/perlindungan individu dengan kepentingan/perlindungan masyarakat,
keseimbangan antara kretaria formal dan materiel, dan keseimbangan antara
kepastian hukum dengan keadilan. Nilai/ide keseimbangan dalam RUU KUHP
dilanjutkan dalam menentukan suatu tindak pidana adalah selalu melawan hukum
dengan dianutnya sifat melawan hukum materiel. Ketentuan Pasal 11 ayat (2) RUU
KUHP[7] menentukan, “untuk
dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan
diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, harus juga bersifat melawan
hukum atau bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat” dan ayat
(3) berbunyi bahwa, “setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat
melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar”. Polarisasi pemikiran pembentuk
undang-undang dalam menentukan dapat dipidana harus memperhatikan keselarasan
dengan perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat. Konklusinya, perbuatan
tersebut nantinya tidak hanya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
tetapi juga akan selalu bertentangan dengan hukum. Perbuatan yang bertentangan
dengan hukum adalah perbuatan yang dinilai oleh masyarakat sebagai perbuatan
yang tidak patut dilakukan. Ditentukannya syarat bertentangan dengan hukum,
didasarkan pada pertimbangan bahwa menjatuhkan pidana pada seseorang yang
melakukan suatu perbuatan yang tidak bersifat melawan hukum dinilai tidak adil.
Oleh karena itu untuk dapat menjatuhkan pidana, hakim selain harus menentukan
apakah perbuatan yang diakukan itu secara formil dilarang oleh peraturan
perundang-undangan dan apakah perbuatan tersebut secara materiil juga
bertentangan dengan hukum, dalam arti kesadaran hukum masyarakat. Hal ini wajib
dipertimbangkan dalam putusan. Oleh karena itu, ketentuan Pasal 1 ayat (3) RUU
KUHP mengimbangi ketentuan Pasal 1 ayat (1) RUU KUHP. Tegasnya, asas legalitas
formal diimbangi dengan ketentuan asas legalitas materiel.
Kemudian berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (4) RUU
KUHP dijelaskan berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut sepanjang
sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang
diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa. Kemudian penjelasan Pasal tersebut
menyebutkan bahwa,“ayat ini mengandung pedoman atau kretaria atau
rambu-rambu dalam menetapkan sumber hukum materiel (hukum yang hidup dalam
masyarakat) yang dapat dijadikan sebagai sumber hukum (sumber legalitas
materiil). Pedoman pada ayat ini berorientasi pada nilai nasional dan
internasional.” Pada hakikatnya, pedoman dalam ayat ini berorientasi
pada nilai nasional dan internasional. Apabila dijabarkan, aspek ini sesuai
dengan nilai nasional (Pancasila) artinya sesuai dengan nilai/paradigma moral
religius, nilai/paradigma kemanusian/humanis, nilai/paradigma kebangsaan,
nilai/paradigma demokrasi (kerakyatan) dan nilai/paradigma keadilan sosial.
Kemudian rambu-rambu yang berbunyi, “sesuai dengan prinsip-prinsip hukum umum
yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa, bersumber pada “The general
principle of law recognized by community of nations” yang terdapat
dalam ketentuan Pasal 15 ayat (2) ICCPR (International Covenant on
Civil and Political Right). Adanya rambu-rambu tersebut, hukum yang
hidup (hukum pidana ada) mendapat landasan untuk dapat diadili maupun sanksi
adat setempat yang dapat dijatuhkan oleh pengadilan adalah sesuai nilai-nilai
Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat
internasional.
Keempat, adanya pembatasan bahwa asas legalitas formal
tidak diterapkan secara absolut dan adanya keseimbangan monodualistik maka
polarisasi pemikiran pembentuk RUU KUHP menganut pula secara implisit ajaran
melawan hukum materiil dalam fungsi yang positif. Dalam kepustakaan
ilmu hukum dan praktik peradilan ajaran sifat melawan hukum materiil dalam
fungsi positif diartikan bahwa meskipun suatu perbuatan tidak memenuhi rumusan
delik dalam undang-undang, hakim dapat menjatuhkan pidana apabila perbuatan
tersebut dianggap tercela, bertentangan dengan keadilan dan norma-norma sosial
lainnya dalam kehidupan masyarakat.
IV.
KESIMPULAN
1.
Salah
satu alasan diperluasnya asas legalitas formal menjadi asas legalitas material
dalam konsep sebagai sumber hokum (RKUHP) adalah untuk mewujudkan keadilan
ditengah-tengan masyarakat, karena dengan sebatas penerapan asas legalitas
formal akan masih banyak tindak pidana yang ada ditengah-tengah masyarakat yang
sulit disentuh hokum.
2.
Salah
satu alasan menjadikan hokum yang hidup di masyarakat sebagai sumber hokum
adalah untuk mengadopsi hokum adat yang dianut oleh masyarakat setempat yang
tidak termuat dalam RUUKUHP supaya penegakkan hukumnya dapat dilaksanakan oleh
aparat penegak hokum.
3.
Ukuran
atau kreteria hokum yang hidup di masyarakat sebagai sumber hokum adalah jika
tidak bertentangan dengan filosofi hokum nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Lieven Dupont dan Raf. Verstraeten, Handboek
Belgisch Strafrech, Acoo Leuven/Amersfoort, 1990, hlm. 101 dalam:
Komariah Emong Sapardjaja, Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat
Melawan-Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana Indonesia Studi Kasus tentang
Penerapan dan Perkembangannya Dalam Yurisprudensi, PT Alumni, Bandung,
2002,
Moelyatno,
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bumi Aksara, Jakarta, 2007 Rancangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia
Andi Hamzah, Perkembangan
Hukum Pidana Dalam Era Globalisasi, Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan
Kriminologi Indonesia, Perum Percetakan Negara RI, Jakarta, 2008, hlm. 33
M. Cherif Bassiouni, Introduction
to International Criminal Law, Transnational Publisher, Inc. Ardsley,
New York, 2003.
Eddy O.S. Hiariej, Asas
Legalitas & Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana, Erlangga, Jakarta,
2009.
[1] Lieven Dupont dan Raf.
Verstraeten, Handboek Belgisch Strafrech, Acoo Leuven/Amersfoort,
1990, hlm. 101 dalam: Komariah Emong Sapardjaja, Komariah Emong
Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan-Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana
Indonesia Studi Kasus tentang Penerapan dan Perkembangannya Dalam
Yurisprudensi, PT Alumni, Bandung, 2002, hlm. 6.
[2] Moelyatno, Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, Bumi Aksara, Jakarta, 2007 Hal.1.
[3] Lihat Dalam
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia
[4] Andi Hamzah, Perkembangan
Hukum Pidana Dalam Era Globalisasi, Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan
Kriminologi Indonesia, Perum Percetakan Negara RI, Jakarta, 2008, hlm. 33
[5] M. Cherif Bassiouni, Introduction
to International Criminal Law, Transnational Publisher, Inc. Ardsley,
New York, 2003, hlm. 179-180
[7] RUUKUHP, Op.,Cit.
Comments
Post a Comment