TEORI HANS KELSEN TENTANG HUKUM
TEORI HANS KELSEN TENTANG HUKUM
(RESUME)
Oleh:
Nur Moklis
I.
SEJARAH KEHIDUPAN HANS KELSEN
Hingga saat ini hanya terdapat satu biografi lengkap tentang
Hans Kelsen yang disusun oleh Rudolf Aladár Métall, Hans Kelsen:
Leben und Werk diterbitkan tahun 1969. Hans Kelsen dilahirkan dari
pasangan kelas menengah Yahudi berbahasa Jerman di Prague pada
tanggal 11 Oktober 1881. Saat berusia tiga tahun, Kelsen dan keluarganya pindah
ke Wina dan menyelesaikan masa pendidikannya. Kelsen adalah seorang
agnostis, namun pada tahun 1905 Kelsen pindah agama menjadi Katolik demi
menghindari masalah integrasi dan kelancaran karir akademiknya. Namun
identitas Kelsen sebagai keturunan Yahudi tetap saja mendatangkan banyak
masalah dalam hidupnya. Kelsen pada awalnya adalah
pengacara publik yang berpandangan sekuler terhadap hukum sebagai instrumen
mewujudkan kedamaian. Pandangan ini diinspirasikan oleh kebijakan toleransi
yang dikembangkan oleh rezim Dual Monarchy di Habsburg.
Sejak kecil Kelsen sesungguhnya lebih tertarik pada bidang
ilmu klasik dan humanisme seperti filsafat, sastra, logika, dan juga
matematika. Ketertarikan inilah yang sangat mempengaruhi karya-karyanya
kemudian. Tahun 1906 Kelsen memperoleh gelar Doktor di bidang hukum. Pada tahun
1905 Kelsen menerbitkan buku pertamanya berjudul Die Staatslehre des
Dante Alighieri. Pada tahun 1908 dia mengikuti seminar di Heidelberg yang
diselenggarakan oleh Georg Jellinek. Tahun 1911 Kelsen mengajar di University
of Vienna untuk bidang hukum publik dan filsafat hukum dan menyelesaikan
karyaHauptprobleme der Staatsrechtslehre. Pada tahun 1914 Kelsen
menerbitkan dan menjadi editor the Austrian Journal of Public Law.
Selama perang dunia pertama, Kelsen menjadi penasehat
untuk departemen militer dan hukum (military and justice administration).
Tahun 1918 dia menjadi associate professor di bidang hukum
pada University of Vienna dan tahun 1919 menjadi profesor penuh di bidang
hukum publik dan hukum administrasi. Pada tahun 1919, saat berakhirnya monarkhi
Austria, Chancellor pemerintahan republik pertama, Karl Renner, mempercayai
Kelsen menjadi penyusun konstitusi Austria. Hal ini karena kedekatan Kelsen
dengan Partai Sosial Demokrat (Social Democratic Party/SDAP) meskipun
secara formal Kelsen tetap netral karena tidak pernah menjadi anggota partai
politik.
Draft konstitusi yang berhasil disusun, diterima dengan baik
tanpa perubahan berarti baik oleh SDAP maupun oleh kelompok Sosialis
Kristen (Christian Socialist) dan Nasionalis Liberal (Liberal
Nationalist) yang kemudian bersama-sama membentuk pemerintahan koalisi. Draft konstitusi
tersebut kemudian di tetapkan menjadi Konstitusi 1920. Tahun 1921 Kelsen ditunjuk
sebagai anggota Mahkamah Konstitusi Austria.
Memasuki tahun 1930 muncul sentimen anti-Semitic di kalangan
Sosialis Kristen sehingga Kelsen diberhentikan dari anggota Mahkamah
Konstitusi Austria dan pindah ke Cologne. Di sini Kelsen mengajar Hukum
Internasional di University of Cologne, dan menekuni bidang khusus Hukum
Internasional positif. Tahun 1931 dia mempublikasikan karyanya Wer soll
der Hűter des Verfassung sei?. Tahun 1933 saat Nazi berkuasa
situasi berubah cepat dan Kelsen dikeluarkan. Bersama dengan istri dan dua
putrinya Kelsen kemudian pindah ke Jenewa pada tahun 1933 dan memulai karir
akademik di the Institute Universitaire des Hautes Etudes International hingga
tahun 1935. Di samping itu, Kelsen juga mengajar Hukum Internasional di
University of Prague pada tahun 1936, namun kemudian harus keluar karena
sentimen anti-semit di kalangan mahasiswanya.
Pecahnya perang dunia kedua dan kemungkinan terlibatnya
Switzerland dalam konflik tersebut memotivasi Kelsen pindah ke Amerika
Serikat pada tahun 1940. Kelsen, sebagai research associate,
mengajar di Harvard University tahun 1940 sampai tahun 1942. Pada tahun 1942,
dengan dukungan Roscoe Pound yang mengakui Kelsen sebagai ahli hukum
dunia, Kelsen menjadi visiting professor di California
University, Barkeley, namun bukan di bidang hukum, tetapi di departemen ilmu
politik. Dari tahun 1945 sampai 1952 menjadi profesor penuh, dan pada tahun
1945 itulah Kelsen menjadi warga negara Amerika Serikat dan menjadi
penasehat pada United Nation War Crimes Commission di Washington dengan tugas
utama menyiapkan aspek hukum dan teknis pengadilan Nuremberg. Dia juga
menjadi visiting professor di Geneva, Newport, The Hague, Vienna,
Copenhagen, Chicago, Stockholm, Helsinkfors, dan Edinburg, serta memperoleh 11
gelar doktor honoris causa dari Utrecht, Harvard, Chicago, Mexico, Berkeley,
Salamanca, Berlin, Vienna, New York, Paris dan Salzburg. Kelsen tetap aktif
dan produktif setelah pensiun pada tahun 1952. Kelsen tinggal di Amerika
Serikat hingga akhir hayatnya pada tahun 1973. Kelsen meninggal di
Barkeley, 19 April 1973 pada usia 92 tahun dengan meninggalkan sekitar 400
karya. Karya-karya Kelsen di antaranya adalah:
Umum:
1.
Théorie générale de droit
international public. Problèmes choisis., 42 RdC(1932, IV) 116.
2.
Principles of International Law. (1952, 2nd ed. Revised and
edited by Tucker, 1966).
3.
Théorie du Droit International Public., 84 RdC (1953,
III) 1.
4.
Allgemeine Theorie der Normen [General Theory of Norms]
(1979)-an index is available separately (1989); tr. M. Hartney.
5.
Essays in Legal and Moral Philosophy, sel. O. Weinberger (1973), pp.
216-27
6.
The Communist Theory of Law (1955). Mostly a critique
of the collectionSoviet Legal Philosophy, tr. H. Babb (1951).
7.
The Function of a Constitution’ (1964), tr. I. Stewart in Tur and
Twining.
8.
General Theory of Law and State (tr. A. Wedberg 1945, reissued
1961).
9.
Hauptprobleme der Staatsrechtslehre entwickelt aus der Lehre
vom Rechtssatze [Major
Problems in Theory of the Law of the State, Approached from Theory of the
Legal Statement] (1911; 2nd edn. 1923, reissued 1960
10. Pure
Theory of Law (1967
- translation by M. Knight of RR2).
11. eine
Rechtslehre: Einleitung in die Rechtswis-senschaftliche Problematik[Pure Theory of
Law: Introduction to the Problematic of Legal Science] (1st edn.
1934); tr. B.L. and S.L. Paulson, Introduction to the Problems of
Legal Theory (forthcoming). The French translation, Théorie
Pure du Droit (1953), tr. H. Thévenaz.
12. Reine
Rechtslehre (2nd
edn. 1960—tr. as PTL).
13. What
is Justice? Justice, Law, and Politics in the Mirror of Science.Collected Essays (1957).
14. H. Kelsen, A. Merkl and A.
Verdross, Die Wiener rechtstheoretische Schule [The Vienna
School of Legal Theory], ed. H. Klecatsky et al. (1968, in 2 vols)
Kedaulatan:
1. Das
Problem der Souveränität und die Theorie des Völkerrechts (1920).
2. Der Wandel
des Souveränitätsbegriffs., 2 Studi filosofico-giuridici dedicati a Giorgio Del
Vecchio (1931) 1.
3. Sovereignty and International Law.,
48 The Georgetown Law Journal(1960) 627.
4. Souveränität., Wörterbuch
des Völkerrechts (1962) 278.
Sanksi:
Unrecht und Unrechtsfolge im Völkerrecht.,
12 Zeitschrift für öffentliches Recht (1932) 481.
Hubungan Hukum Internasional
dan Hukum Nasional
1. Staat und Völkerrecht., 4 Zeitschrift
für öffentliches Recht (1925) 207.
2. Les rapports de système entre le
droit interne et le droit international public., 14 RdC (1926,
IV) 231.
3. La transformation du droit
international en droit interne., 43 Revue générale de droit international
public (1936) 5.
4. Zur Lehre
vom Primat des Völkerrechts., 12 Revue internationale de la théorie du
droit (1938) 211.
5. Die Einheit von Völkerrecht und
staatlichem Recht., 19 Zeitschrift für ausländisches öffentliches
Recht (1958) 234.
Sumber Hukum
1.
Völkerrechtliche Verträge zu Lasten Dritter., 14 Prager
Juristische Zeitschrift (1934) 419.
2.
Contribution à la théorie du traité international., 10 Revue
internationale de la théorie du droit (1936) 253.
3.
Théorie du Droit International Coutumier., Festschrift
für Franz Weyer(1939) 85
4.
The Basis of Obligation in International
Law., Estudios de Derecho Internacional - Homenaje al Professor
Camilo Barcia Trelles (1958) 103.
Covenant
of the League of Nations
1. Zur rechtstechnischen Revision des
Völkerbund-statutes., 17 Zeitschrift für öffentliches Recht (1937)
401, 590.
2. Zur Reform
des Völkerbundes (1938).
3. Legal
Technique in International Law (1939).
4. Revision of the Covenant of the
League of Nations., A Symposium of the Institute of World Organization (1942)
392.
World Organizations
1.
The Legal Process and International Order (1934).
2.
Die Technik des Völkerrechts und die Organisation des
Friedens., 14 Zeitschrift für öffentliches Recht (1935) 240.
3.
The Essential Conditions of International Justice., Proceedings
of the American Society of International Law (1941) 70.
4. The Principle of Sovereign Equality
of States as a Basis for International Organisation., 53 The
Yale Law Journal (1944) 207.
Kedamaian
1.
Law and Peace in International Relations (1942).
2.
Compulsory Adjudication of International Disputes.,
37 AJIL (1943) 397.
3. Peace
through Law (1944).
United Nations:
1.
The Law of the United Nations (1950).
2.
Recent Trends in the Law of the United Nations. A
Supplement to .The Law of the United Nations. (1951).
3.
Limitations on the Functions of the United Nations,
55 The Yale Law Journal (1946) 997.
4.
The Preamble of the Charter. A Critical Analysis., 8 The
Journal of Politics (1946) 134.
5.
General International Law and the Law of the United Nations.
The United Nations - Ten Years. Legal Progress (1956).
6.
Organization and Procedure of the Security Council of the
United Nations., 59 Harvard Law Review (1946) 1087.
7.
Sanctions in International Law under the Charter of the
United Nations., 31 Iowa Law Review (1946) 499.
8.
Collective Security under International Law (1957).
Masalah-Masalah Khusus
1.
Collective and Individual Responsibility in International
Law with Particular Regard to Punishment of War Criminals., 31 California
Law Review (1943) 530.
2.
Will the Judgement in the Nuremberg Trial Constitute a
Precedent in International Law?., 1 The International Law
Quarterly (1947) 153.
3.
Austria: Her Actual Legal Status and Re-establishment as an
Independent State. (1944).
4.
Recognition in International Law. Theoretical Observations.,
35 AJIL(1941) 605.
5. The Essence of International
Law., The Relevance of International Law. Essays in Honor of Leo
Gross. (1968) 85.
II.
POKOK-POKOK PEMIKIRAN HANS
KELSEN
Jika dilihat karya-karya yang dibuat oleh Hans Kelsen,
pemikiran yang dikemukakan meliputi tiga masalah utama, yaitu tentang teori
hukum, negara, dan hukum internasional. Ketiga masalah tersebut sesungguhnya
tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya karena saling terkait dan
dikembangkan secara konsisten berdasarkan logika hukum secara formal. Logika
formal ini telah lama dikembangkan dan menjadi karakteristik utama filsafat
Neo-Kantian yang kemudian berkembang menjadi aliran strukturalisme. Teori
umum tentang hukum yang dikembangkan oleh Kelsen meliputi dua aspek penting,
yaitu aspek statis (nomostatics) yang melihat perbuatan yang
diatur oleh hukum, dan aspek dinamis (nomodinamic) yang
melihat hukum yang mengatur perbuatan tertentu.
Friedmann mengungkapkan dasar-dasar esensial dari
pemikiran Kelsen sebagai berikut:
1.
Tujuan teori hukum, seperti tiap ilmu pengetahuan, adalah
untuk mengurangi kekacauan dan kemajemukan menjadi kesatuan.
2.
Teori hukum adalah ilmu pengetahuan mengenai hukum yang
berlaku, bukan mengenai hukum yang seharusnya.
3.
Hukum adalah ilmu pengetahuan normatif, bukan ilmu alam.
4.
Teori hukum sebagai teori tentang norma-norma, tidak ada
hubungannya dengan daya kerja norma-norma hukum.
5.
Teori hukum adalah formal, suatu teori tentang cara menata,
mengubah isi dengan cara yang khusus. Hubungan antara teori hukum dan sistem
yang khas dari hukum positif ialah hubungan apa yang mungkin dengan hukum yang
nyata.
Pendekatan yang dilakukan oleh Kelsen, disebut The
Pure Theory of Law, mendapatkan tempat tersendiri karena berbeda
dengan dua kutub pendekatan yang berbeda antara mahzab hukum alam dengan
positivisme empiris. Beberapa ahli menyebut pemikiran Kelsen sebagai “jalan
tengah” dari dua aliran hukum yang telah ada sebelumnya.
Empirisme hukum melihat hukum dapat direduksi sebagai fakta
sosial. Sedangkan Kelsen berpendapat bahwa interpretasi hukum berhubungan
dengan norma yang non-empiris. Norma tersebut memiliki struktur yang membatasi
interpretasi hukum. Di sisi lain, berbeda dengan mahzab hukum alam, Kelsen
berpendapat bahwa hukum tidak dibatasi oleh pertimbangan moral. Tesis
yang dikembangkan oleh kaum empiris disebut dengan the reductive thesis,
dan antitesisnya yang dikembangkan oleh mahzab hukum alam disebut dengan normativity
thesis. Stanley L. Paulson membuat skema berikut ini untuk menggambarkan
posisi Kelsen di antara kedua tesis tersebut terkait dengan hubungan hukum
dengan fakta dan moral.
Law and Fact
Law an Morality
|
Normativity Thesis
(Separability
Of Law And Fact)
|
Reductive Thesis
(Inseparability
Of Law And Fact)
|
Morality
thesis
(inseparability
of law and morality)
|
Natural
law theory
|
-
|
Separability thesis
(separability
of law and morality)
|
Kelsen’s
Pure Theory of Law
|
Empirico-positivist
theory of law
|
Kolom vertikal menunjukkan hubungan antara hukum dengan
moralitas sedangkan baris horisontal menunjukkan hubungan antara hukum dan
fakta. Tesis utama hukum alam adalah morality thesis dan normativity thesis, sedangkan empirico
positivist adalah separability thesis dan reductive thesis.
Teori Kelsen adalah pada tesis separability thesis dan normativity thesis, yang berarti pemisahan antara
hukum dan moralitas dan juga pemisahan antara hukum dan fakta. Sedangkan
kolom yang kosong tidak terisi karena jika diisi akan menghasilkan sesuatu yang
kontradiktif, sebab tidak mungkin memegang reductive thesis bersama-sama
dengan morality thesis.
Pada dua bab berikutnya akan disajikan teori umum tentang
hukum yang terutama dikemukakan oleh Kelsen melalui buku General Theory
of Law and State khususnya pada bagian pertama, yaitu konsep hukum.
Pembahasan dilakukan dengan membandingkannya dengan dua buku utama lainnya,
yaitu Introduction to the Problems of Legal Theory dan Pure
Theory of Law, serta pembahasan yang dilakukan oleh beberapa ahli hukum
lainnya.
Teori tertentu yang dikembangkan oleh Kelsen dihasilkan dari
analisis perbandingan sistem hukum positif yang berbeda-beda, membentuk konsep
dasar yang dapat menggambarkan suatu komunitas hukum. Masalah utama (subject
matter) dalam teori umum adalah norma hukum (legal norm),
elemen-elemennya, hubungannya, tata hukum sebagai suatu kesatuan, strukturnya,
hubungan antara tata hukum yang berbeda, dan akhirnya, kesatuan hukum di dalam
tata hukum positif yang plural. The pure theory of law menekankan
pada pembedaan yang jelas antara hukum empiris dan keadilan transendental
dengan mengeluarkannya dari lingkup kajian hukum. Hukum bukan merupakan manifestasi
dari otoritas super-human, tetapi merupakan suatu teknik sosial yang
spesifik berdasarkan pengalaman manusia.
The pure theory of law menolak menjadi kajian metafisis
tentang hukum. Teori ini mencari dasar-dasar hukum sebagai landasan validitas,
tidak pada prinsip-prinsip meta-juridis, tetapi melalui suatu hipotesis yuridis,
yaitu suatu norma dasar, yang dibangun dengan analisis logis berdasarkan cara
berpikir yuristik aktual. The pure theory of law berbeda
dengan analytical jurisprudence dalam hal the pure
theory of law lebih konsisten menggunakan metodenya terkait dengan
masalah konsep-konsep dasar, norma hukum, hak hukum, kewajiban hukum, dan
hubungan antara negara dan hukum.
III.
KONSEP HUKUM STATIS (NOMOSTATICS)
DAN KONSEP HUKUM DINAMIS (NOMODINAMICS)
Perilaku manusia
yang diatur oleh norma ataukah norma-norma yang mengatur perilaku manusia
(yakni apakah pengetahuan itu ditujukan kepada norma hukum yang diciptakan,
diterapkan atau dipatuhi oleh tindak perbuatan manusia atau kepada tindak
penciptaan, penerapan, atau kepatuhan yang diharuskan oleh norma hukum). Begitu pentingnya hukum karena perilaku manusia
sangat berbeda. keberbedaan perilaku tersebut sangatlah mungkin
menimbulkan berbagai macam tindakan
Sepanjang sejarah peradaban manusia, peran
sentral hukum dalam menciptakan suasana yang memungkinkan manusia merasa terlindungi, hidup berdampingan secara
damai. Menurut sebagian orang, hukum merupakan sesuatu yang kompleks dan teknis
sehingga sering dijumpai orang dalam menghadapi hukum dengan sikap yang tidak
sabar dan sinis. Akan tetapi hukum merupakan salah satu perhatian manusia beradab yang paling utama dimuka bumi, karena hukum
dapat menawarkan perlindungan terhadap tirani di satu pihak dan terhadap anarki
di lain pihak. Hukum merupakan salah satu instrumen utama masyarakat untuk
melestarikan kebebasan maupun ketertiban dan gangguan yang arbiter, baik oleh
perorangan, golongan masyarakat atau pemerintah. Karena itu, unsur utama
dari hukum adalah ketertiban. Untuk mewujudkan ketertiban itu manusia
diharuskan membentuk kaidah.
Ketertiban dan
kaidah yang diperlukan manusia yang secara otentik menciptakan kondisi yang
memungkinkan manusia secara wajar mewujudkan kepribadiannya secara utuh, yang
dengan itu ia dapat mengembangkan semua potensi kemanusiaan seperti
apa yang secara bebas dikehendakinya (vrije wil).
Tentunya, untuk membentuk suatu ketertiban itu
dibutuhkan suatu jawaban yang memadai yaitu bagaimana ketertiban itu dapat
dijawab dengan baik dan terukur menggunakan suatu teori?. Teori tersebut Penulis tawarkan cukup untuk
menjawabnya yaitu dengan menggunakan Teori Hukum Statis dan Teori Hukum Dinamis.
Teori Hukum Statis adalah hukum sebagai sistem
norma yang berlaku, hukum dalam kondisi istirahatnya. Sedangkan
Teori Hukum Dinamis adalah proses ketika hukum diciptakan dan
diterapkan, hukum yang berjalan. Yang perlu
diperhatikan ialah bahwa proses itu sendiri diatur oleh hukum.
Dengan demikian Teori Hukum tersebut diatas
dapat dijadikan suatu referensi untuk menjawab beberapa pertannyaan hukum
ketika ada sesuatu persoalan yang sampai ketangan kita yang terkait dengan persoalan hukum.
Dalam kehidupan
masyarakat, selalau terdapat berbagai macam norma yang secara langsung atau
tidak langsung mempengaruhi tatacara seseorang untuk berperilaku atau
bertindak. Dalam bukunnya yang berjudul Genaral teori of law And
State Hans Kelsen mengutarakan adanya dua yaitu sistem norma, yaitu
sistem norma yang statik (nomostatik) dan sistem norrma dinamik (nomodinamik).
Sistem norma
statik (Nomostatics) adalah sistem norma yang melihat pada
isinnya, menurut sistem norma statik sendiri suatu norma umum dapat di tarik
menjadi norma khusus dan norma khusus sendiri dapat di tarik dari suatu norma
yang umum. Penarikan norma khusus dari suatu norma umum dapat di artikan bahwa,
dari norma umum itu dirinci menjadi norma yang khusus dari segi isinnya.
Penulis memberikan 2 (dua) contoh sebagai berikut ini: (1)
Dari norma umum yang menyatakan ‘Hendaknya engkau menghormati orang
tua’dapat di tarik/dirinci menjadi norma-norma khusus seperti kewajiban
membantu orang tua kalau ia dalam kesusaahan, atau kewajiban merawatnya kalau
orang tua itu sedang sakit, dan sebagainya. (2) Dari suatu norma umum yang
menyatakan ‘Hendaknya kamu menjalankan perintah agama’ dapat
di tarik/dirinci mejadi norma-norma khusus seperi menjalankan sholat lima
waktu, menjalankan puasa pada waktunya, membayar zakat, dan lain sebagainya.
Sedangkan Sistem
norma yang dinamik (Nomodynamics) adalah sistem norma yang
pada berlakunnya suatu norma dan cara ‘pembentukannnya atau penghapusannya’. Menurut
Hans Kelsen norma itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu susunan
hierarki, norma-norma yang di
bawah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang
lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi ,
demikian seterusnya sampai akhirnya ‘regressus’ ini berhenti pada suatu norma
yang tertinggi yang disebut dengan norma dasar (Grundnorm) yang
tidak dapat di telusuri lagi siapa pembentuknya atau dari mana asalnya. Dan
norma ini adalah norma yang tertinngi yang tidak bersumber dan berdasar pada
norma yang lebih tinggi lagi. Tetapi berlakunnya secara ‘presuposed‘ yaitu
di tetapkan lebih dahulu oleh masyarakat.
Menurut Hans Kelsen hukum merupakan sistem norma yang
dinamik (Nomodynamics) dikarenakan hukum itu di bentuk dan dihapus
oleh lembaga-lembaga yang berwenang membentuk dan menghapusnya, sehinga dalam
hal ini hukum tidak dilihat dari segi isi dari norma tersebut, melainkan
dilihat dari segi pembuatan dan berlakunnya.
Hukum itu
adalah sah (valid) jika di bentuk oleh lembaga-lembaga atau otoritas-otoritas
yang berwenang serta bersumber dan berdasar pada norma yang
lebih tinggi, sehingga dalam hal ini norma yang lebih rendah (inferior) dapat
dibentuk oleh norma yang lebih tinggi(superior) dan hukum itu berjenjang
dan berlapis-lapis membentuk suatu hierarkhi.
Dalam
dinamikannya norma hukum dibagi menjadi dua yaitu norma hukum vertikal dan
horizontal. Dinamika norma hukum
vertikal adalah dinamika yang berjenjang dari atas ke bawah, dalam
dinamika norma hukum vertikal ini suatu norma hukum itu berlaku, bersumber dan
berdasar pada norma hukum yang di atasnya, sampai seterusnya sampai pada suatu
norma hukum yang menjadi dasar dari semua norma hukum yang berada di bawahnya.
Demikian juga dalam hal dinamika dari atas ke bawah, maka norma
dasar itu selalu menjadi sumber dan menjadi dasar dari norma hukum yang ada di
bawahnya, norma hukum yang di bawahnya selalu menjadi sumber dan dasar dari
norma hukum yang ada di bawahnya lagi, dan seterusnya ke bawah.
Dinamika norma
hukum yang horizontal adalah dinamika yang bergeraknya tidak ke
atas atau ke bawah, tetapi ke samping. Dinamika norma hukum horizontal ini
tidak membentuk suatu norma hukum yang baru, tetapi norma itu bergerak ke
samping karena adanya suatu analogi yaitu penarikan suatu norma hukum untuk
kejadian-kejadian lainnya yang dianggap serupa. Penarikan secara analogi dapat
di beri contoh sebagai berikut: Dalam kasus
tentang ‘perkosaan’ seorang hakim telah mengadakan suatu
penarikan secara analogi dari ketentuan tentang ‘perusakan barang’ sehingga
terhadap suatu ‘perkosaaan’selain dikenakan sanksi pidana dapat
juga diberikan sanksi pembayaran ganti rugi.
Untuk mempertegasnya lagi tentang konsep hukum dinamis dan statis perlu
digaris bawahi bahwa Tata
hukum dalam pandangan dinamis adalah dengan mendefinisikan konsep hukum dengan
mengabaikan unsur paksaan tanpa memandang perlu untuk melekatkan suatu sanksi
pidana atau perdata kepada pelanggarannya. Lawannya adalah norma yang bersifat
memaksa (statis).
Norma merupakan suatu
hukum (dalam konsep hukum yang dinamis) adalah jika :
1. Norma tersebut telah dibuat oleh
suatu otorita yang menurut konstitusi kompeten untuk membuat hukum.
2. Lahir dari suatu otorita pembuat
hukum
3. Hukum adalah sesuatu yang terjadi
menurut cara yang ditentukan konstitusi bagi pembentukan hukum.
4. Hukum adalah sesuatu yang dibuat
melalui suatu proses tertentu
Konsep hukum dinamis ini hanya
tampaknya saja sebagai konsep hukum, karena :
1. Tidak mengandung jawaban apapun atas
pertanyaan : (1) Apa yang merupakan esensi hukum?. (2) Apa
kriteria yang membedakan norma hukum dari norma-norma sosial lainnya?.
2. Hanya memberikan jawaban atas
pertanyaan :Apakah dan mengapa suatu norma tertentu termasuk ke dalam suatu
norma hukum yang valid dan membentuk bagian tata hukum tertentu. Jawabannya : suatu norma termasuk ke
dalam suatu tata hukum tertentu jika norma tersebut sesuai dengan prosedur yang
ditentukan oleh konstitusi (yang menjadi dasar bagi tata hukum ini).
Tidak hanya suatu norma, tetapi
suatu perintah yang mengatur perbuatan manusia juga dapat dibuat menurut cara
yang ditentukan oleh konstitusi bagi pembentukan hukum.Tahap penting proses
pembentukan hukum melalui prosedur pembentukan undang-undang (dimana
norma-norma umum dibuat ) :
1. Dua resolusi yang sama dari kedua
parlemen (begi negara yang memiliki dua majelis), persetujuan kepala negara /
Presiden, pengumuman dalam suatu lembaran berita negara.
2. Pengakuan resmi tentang
kegunaan-kegunaan dari seorang negarawan, suatu pernyataan yang diputuskan
parlemen, disetujui oleh kepala negara atau presiden, diumumkan dalam berita
Negara.
3. Produk dari prosedur legislatif
(undang-undang = suatu dokumen yang berisikan kata-kata, kalimat-kalimat -
bukan merupakan suatu norma tetapi tetap merupakan hukum).
Selain itu pembuatan norma-norma umum dapat juga berdasarkan : karakter normatif,
pandangan-pandangan yang benar-benar teoritis tentang masalah-masalah tertentu,
motif-motif dari pembuat undang-undang, ideologi-ideologi politik yang
terkandung dalam referensi-referensi seperti ’keadilan’ atau ‘kehendak’ Tuhan,
dan sebagainya. Semua unsur ini adalah isi undang-undang yang tidak memiliki
relevansi hukum. Pertimbangan-pertimbangan dari pengadilan acapkali juga
mengandung unsur-unsur yang tidak memiliki relevansi hukum. Tidak semua yang
dibuat menurut prosedur yang ditetapkan oleh konstitusi adalah hukum dalam arti
suatu norma hukum. Norma hukum hanya jika berisikan norma untuk mengatur
perbuatan manusia, dan jika mengatur perbuatan manusia dengan menetapkan suatu
tindakan paksa sebagai sanksi.
IV.
KRITIK DAN PENGEMBANGAN TEORI
HUKUM HANS KELSEN
Seperti halnya teori
pada umumnya, teori hukum Hans Kelsen juga tidak terlepas dari berbagai
keberatan maupun kritik yang berasal dari aliran hukum sebelumnya (kusususnya
hukum Alam dan positivisme empiris), maupun dari aliran hukum yang berkembang
belakangan. Kritik
terhadap teori hukum Kelsen pada umumnya terkait dengan metode
formal yang digunakan dalam Pure Theory of Law, konsep hukun
sebagai perintah yang memaksa namun tidak secara psikologis, postulasi
validitas norma dasar, hubungan hukum dan negara, dan masalah konsep hukum
internasional sebagai suatu sistem.
Kritik-kritik dikemukakan oleh banyak ahli
hukum sesuai dengan pokok masalah yang menjadi pusat perhatian, dan
masing-masing menggambarkan perspektif tertentu yang berbeda-beda.
a. Kritik Joseph
Raz
Dalam bukunya the concept of legal system
: An Itroduction to The Theory of Legal System membahas
tentang konsep hukum dan sistem hukum berdasarkan dua kriteria yaitu kriteria
eksistensi dan kriteria identitas. Kririk terhadap teori hukum Kelsen dilakukan
dari berbagai aspek, mulai dari bahasa pernyataan normatif,
struktur norma, eksistensi norma, masalah individuasi, sampai pada
massalah sistem hukum Kelsen terkait dengan prinsip individuasi dan identitas
sebagai pemikiran Raz.
b. Kritik Hari
Chand
Hari Chand membahas secara khusus Pure
Theory of Law dalam bab kelima buku “Modern Jurispudence”.
Setelah menguraikan pokok-pokok pikirannya, kemudian chand memberikan kritik
tentang teori Kelsen tersebut, yaitu
1. Tentang norma dasar
Menurut Chand, konsep norma dasar yang
dikemukan Kelsen tidak jelas. Yang disebut norma dasar tersebut merupakan hukum
positidf tetapi suatu pesu-posisi penegtahuan yuridis, atau sesuatu meta-legal
tetapi memiliki suatu fungsi hukum. Sulit untuk melihat kontribusi Pure
Theory of Law terhadap sistem dengan mengasumsikan hukum berasal dari
norma dasar yang tidak dapat ditemukan.
2. Metodologi
Suatu sistem hukum bukan merupakan koleksi
abstrak dari kategori yang mati, tetapi suatu susunan hidup yang bergerak
secara konstan dan terdapat bahaya apabila melihat potongan-potongan
danmenganalisa masing-masing bagian. Pendekatan Kelsen hanya pada satu sisi
ketertarikan, yaitu pada bentuk hukum senbari meletakkan isinya sebagai hal
yang sekunder.
3. Kemurnian
Kelsen sangat menekankan pada analaisis
kemurnian sehingga pendekatan lain terhadap penyelidikan yuridis diabaikan.
Metodenya menjadi tidak murni sepanjang menegenai norma dasar karena dia gagal
menjelaskan bagaimana norma tersebut eksis.
4.
Hirarki Norma
Terdapat sumber hukum seperti kebiasaan,
undang-undang, dan preseden, yang salah satunya tidak dapat dikatkanlebih
tinggi dari yang lain. Disamping norma, dalam sistem hukum juga terdapat
standar, prinsip-prinsip, kebijakan, asas (maxim), yang sama pentingnya
dengan norma, namun tidak diperhatikan oleh Kelsen.
c. Kritik J.W.
Harris
Pandangan utana Kelsen adalah bahwa ilmu hukum
harus terbebas dari hal-hal yang tidak dapat dianalisis secara obyektif menurut
hukum dan hal-hal yang merupakan hukum. Harris menyatakan bahwa Kelsen telah
gagal menjelaskan bahwa hukum adalah praktek dari ilmuwan hukum. Dengan kata
lain teori norma murni tentang hukum adalah bukan tentang hukum, tetapi tentang
disiplin institusional dari ilmu hukum. Kelsen lebih memilih norma daripada
aturan dengan dua alasan. Pertama, dia khawatir penggunaan
aturan dapat berujung pada kebingungan dari ilmu alam, padahal dalam bahassa
Inggris istilah law ambigu dan norm juga
memiliki ambiquitas khusus karena digunakan juga dalam mendeskripsikan rule
situations. Kedua, Kelsen mendefinisikan suatu norma
sebagai “ekspresi dari ide...”, bahwa seorang
individu harus (ought) untuk berbuat sesuatu dengan cara tertentu. Kelsen
secara terus menerus menambahkan untuk mengaitkan dengan pandangannya
bahwa aturan hukum adalah entitas abstrak yang berbeda dengan legislasi masa
lalu atau pelaksanaanya di masa depan, dengan membentuk piramida hukum (stufentheorie)
yang dikembangkan murid Hans Kelsen Hans Nawiasky dimana susunan normanya
adalah :
1. Norma fundamental (staatsfundamental norm);
2. Aturan dasar negara (staats
grunddgesetz);
3. Undang-undang formal (formel gesetz);
4. Peraturan pelaksanaan dan peraturan
otonom (verordnung en autonomesatzung).
Menurut Hans Nawiasky, norma tertinggi yang
oleh Hans Kelsen adalah norma dasar (norm basic) dalam suatu negara
disebut sebagai norma fundamental negara. Sehingga dengan penempatan Pancasila
sebagai staatsfundamental
norm berarti
menempatkannya diatas Undang-Undang Dasar. Pancasila tidak termasuk ke dalam
konstirusi, karena berada diatas konstitusi.
Dari kalangan penganut sistem hukum Eropa
Kontinental, Hans Kelsen yang dikenal dengan jaran hukum
murninya selalu digolongkan sebagai penganut aliran positivisme ini. Ada dua
teori yang dikemukakan oleh Hans Kelsen yang perlu diketengahkan. Pertama,
ajarannya tentang hukum yang bersifat murni dan kedua, berasal dari
muridnya Adolf Merkl yaitu stufenbau des recht yang
mengutamakan tentang adanya hierarkis daripada perundang-undangan. Inti ajaran
hukum murni Hans Kelsen adalah bahwa hukum itu harus dipisahkan dari
anasir-anasir yang tidak yuridis seperti etis, sosiologis, politis dan
sebagainya. Dengan demikian Kelsen tidak memberikan tempat bagi betrlakunya
hukum alam. Hukum merupakan sollen yuridis semata-mata
yang terlepas dari das sein / kenyataan sosial.
Sedangkan ajaran stufentheorie berpendapat bahwa
suatu sistem hukum adalah suatu hierarkis dari hukum dimana suatu ketentuan
hukum tertentu bersumber pada ketentuan hukum lainnya yang lebih tinggi.
Sebagai ketentuan yang paling tanggi adalah Grundnorm atau
norma dasar yang bersifat hipotetis. Ketentuan yang lebih rendah adalah lebih
konkrit daripada ketentuan yang lebih tinggi. Ajaran murni tentang hukum adalah
suatu teori tentang hukum yang senyatanya dan tidak mempersoalkan hukum yang
senyatanya itu, yaitu apakah hukum yang senyatanya itu adil atau tidak adil.
Dewasa ini, teori-teori hukum yang
berpengaruh kuat terhadap konsep-konsep dan implementasi kehidupan hukum di
Indonesia adalah teori hukum positivisme. Pengaruh teori ini dapat
dilihat dari dominannya konsep kodifikasi hukum dalam berbagai jenis hukum yang
berlaku di Indonesia bahkan telah merambat ke sistem hukum internasional dan
tradisional (Lili Rasjidi, SH., 2003 : 181). Demikian pula dalam praktek
hukum pun di tengah masyarakat, pengaruh aliran poisitvis adalah sangat
dominan. Apa yang disebut hukum selalu dikaitkan dengan peraturan
perundang-undangan, di luar itu, dianggap bukan hukum dan tidak dapat
dipergunakan sebagai dasar hukum. Nilai-nilai dan norma di luar undang-undang
hanya dapat diakui apabila dimungkinkan oleh undang-undang dan hanya untuk
mengisi kekosongan peraturan perundang-undang yang tidak atau belum mengatur
masalah tersebut.
Pengaruh kekuatan-kekuatan politik dalam
membentuk hukum dibatasi ruang geraknya dengan berlakunya sistem konstitusional
berdasarkan checks and balances, seperti yang dianut Undang-Undang
dasar 1945 (UUD 1945) setelah perubahan. Jika diteliti lebih dalam materi
perubahan UUD 1945 mengenai penyelenggaraan kekuasaan negara adalah mempertegas
kekuasaan dan wewenang masing-masing lembaga-lembaga negara, mempertegas
batas-batas kekuasaan setiap lembaga negara dan menempatkannya berdasarkan
fungsi-fungsi penyelenggaraan negara bagi setiap lembaga negara. Sistem yang
demikian disebut sistem “checks and balances”, yaitu
pembatasan kekuasaan setiap lembaga negara oleh undang-undang dasar ,
tidak ada yang tertinggi dan tidak ada yang rendah, semuanya sama di atur
berdasarkan fungsi-fungsi masing-masing.
Dengan sistem yang demikian, memberikan
kesempatan kepada setiap warga negara yang merasa dirugikan hak
konstitusionalnya oleh produk politik dari instutusi politik pembentuk hukum
untuk mengajukan gugatan terhadap institusi negara tersebut. Dalam hal
pelanggaran tersebut dilakukan melalui pembentukan undang-undang maka dapat
diajukan keberatan kepada Mahkmah Konstitusi dan dalam hal segala produk hukum
dari institusi politik lainnya dibawah undang-undang diajukan kepada Mahkamah
Agung.
Walaupun di luar
kekuatan-kekuatan politik yang duduk dalam institusi-instusi politik, terdapat
kekuatan-kekuatan lainnya yang memberikan kontribusi dan mempengaruhi produk
hukum yang dilahirkan oleh institusi-institusi politik. Kekuatan tersebut
berbagai kelompok kepentingan yang dijamin dan diakui keberadaan dan perannya
menurut ketentuan hukum sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, seperti
kalangan pengusaha, tokoh ilmuan, kelompok organisasi kemasyarakatan,
organisasi profesi, tokoh agama, lembaga swadaya masyarakat dan lain-lain. Bahkan UU. R.I.
No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Per-Undang-Undangan, dalam Bab.
X menegaskan adanya partisipasi masyarakat yaitu yang diatur dalam Pasal 53 : “Masyarakat
berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan
atau pembahasan Rancangan Undang Undang dan Rancangan Peraturan Daerah.
Ilmu hukum adalah “ilmu normatif”, demikian
dinyatakan oleh Kelsen berkali-kali. Hukum itu semata-mata berada dalam kawasan
dunia sollen. Ciri hakiki dari norma adalah sifatnya yang
hipotetis. Ia lahir bukan karena proses alami, melainkan karena kemauan dan
akal manusia. Kemauan dan akal ini menelorkan pernyataan yang berfungsi sebagai
asumsi dasar atau permulaan. Dinyatakan, bahwa berbuat begini atau begitu
merupakan dalil yang umum dan sebagai kelanjutannya harus diikuti oleh
konsekuensi tertentu. Konsekuensi yang demikian itu akan dilaksanakan oleh
kehendak manusia sendiri juga. Oleh karena itu salah satu ciri yang menonjol
pada teori Kelsen adalah paksanaan. Kelsen berpendapat bahwa norma-norma hukum
itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hirarkhi tata susunan,
dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma
yang lebih tinggi. Norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada
norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang
tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif yaitu
norma dasar (grundnorm). Sehingga, norma yang lebih rendah memperoleh
kekuatannya dari suatu norma yang lebih tinggi. Semakin tinggi suatu norma,
akan semakin abstrak sifatnya, dan sebaliknya, semakin rendah kedudukannya,
akan semakin konkrit norma tersebut. Norma yang paling tinggi, yang menduduki
puncak piramida, disebut oleh Kelsen dengan nama Grundnorm (norma
dasar).
Sistem hukum Indonesia pada dasarnya menganut
teori yang dikembangkan oleh Hans Kelsen. Hal ini tampak dalam rumusan hirarkhi
peraturan perundangan-undangan Indonesia sebagaimana dapat kita temukan dalam Pasal
7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan. Dalam Pasal 7 undang-undang tersebut dinyatakan bahwa,
Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut :
Menurut Bagir Manan, hukum
positif adalah kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis dan tidak tertulis yang
pada saat ini yang berlaku dan mengikat secara umum atau khusus dan ditegakkan
oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan dalam negara. Teori Hukum
Murni masih banyak dipakai di Indonesia, hal tersebut tercermin dengan masih
diikutinya/diterapkannya beberapa pemikiran dari Hans Kelsen dalam sistem
kehidupan secara yuridis. Dalam hubungan tugas hakim dan perundang-undangan
masih terlihat pengaruh aliran Aliran Legis (pandangan Legalisme), yang
menyatakan bahwa hakim tidak boleh berbuat selain daripada menerapkan
undang-undang secara tegas. Hakim hanya sekedar terompet undang-undang dan
selain itu juga dalam penerapan hukum oleh para Hakim masih terpaku peraturan
perundang-undangan tertulis. Bahkan peraturan, perundang-undangan yang
tertulis dianggap keramat oleh banyak Hakim di Indonesia.
Akan tetapi tidak semua sistem hukum nasional Indonesia secara bulat mengadopsi sistem hukum yang berkembang di Eropa, walaupun sebagian besar hukum peninggalan kolonial Belanda masih tetap berlaku. Teori hukum murni dalam perjalanannya tidak mampu menjelaskan keadaan hukum secara holistik, maka Satjipto Rahardjo meminjam Sosiologi Hukum sebagai alat bantu untuk menjelaskan persoalan tersebut. Penyebab utama gagalnya suatu teori disebabkan karena teori bersifat instruktif.
Akan tetapi tidak semua sistem hukum nasional Indonesia secara bulat mengadopsi sistem hukum yang berkembang di Eropa, walaupun sebagian besar hukum peninggalan kolonial Belanda masih tetap berlaku. Teori hukum murni dalam perjalanannya tidak mampu menjelaskan keadaan hukum secara holistik, maka Satjipto Rahardjo meminjam Sosiologi Hukum sebagai alat bantu untuk menjelaskan persoalan tersebut. Penyebab utama gagalnya suatu teori disebabkan karena teori bersifat instruktif.
V.
PENUTUP
Dalam menggunakan suatu
teori hukum sebagai landasan dalam membuat suatu hukum diperlukan suatu
kejelasan yang sejelas-jelasnya terhadap teori tersebut dengan harapan bahwa
teori hukum tersebut tetap relevan untuk beberapa tahun kedepan sehingga
suatu teori hukum benar-benar sesuai dengan makudnya yakni untuk mengetahui
perbuatan-perbuatan hukum dan untuk menilai perbuatan-perbuatan tersebut.
Suatu teori hukum tidaklah selalu sempurna dalam hal relevansinya terhadap perkembangan zaman. Namun demikian,
bukan berarti teori tersebut tidak dapat lagi digunakan sesuai dengan
maksud dari teori tersebut karena walau bagaimanapun suatu teori yang
dianggap tidak relevan lagi dengan
perkembangan zaman tetap
dapat dipakai sebagai landasan untuk membuat teori tersebut lebih sempurna.
Demikian resume yang Penulis
susun untuk tugas matakuliah Politik Hukum.
Comments
Post a Comment