HUKUM PIDANA UMUM DAN HUKUM PIDANA KHUSUS
HUBUNGAN HUKUM PIDANA UMUM DAN HUKUM PIDANA KHUSUS
oleh:
Nur Moklis
1.
Hukum pidana umum dan hokum pidana
khusus
Hukum pidana di
Indonesia terbagi dua yaitu hukum pidana umum (algameen strafrecht) dan
pidana khusus (bijzonder strafrecht). Secara definitif, hukum pidana
umum dapat diartikan sebagai perundang-undangan pidana dan berlaku umum yang
tercantum dalam kitab undang-undang pidana (KUHP) serta perundang-undangan yang
mengubah dan menambah KUHP. Contohnya dengan keluarnya undang-undang nomor 7
tahun 1974 tentang penerbitan perjudian diundangkan dan mulai berlaku pada
tanggal 6 November 1974, yang mana dalam pasal 1 undang-undang tersebut
menyatakan bahwa semua tindak pidana perjudian sebagai kejahatan. Oleh karena
itu ketentuan-ketentuan mengenai perjudian yang dinyatakan dalam beberapa pasal
KUHP perlu diadakan perubahan adapun perubahan dimaksud menyangkut ancaman
hukuman bagi pelanggarnya. Sedangkan yang dimaksud dengan hukum pidana khusus
bisa dimaknai sebagai perundang-undangan di bidang tertentu yang memiliki
sanksi pidana, atau tindak pidana yang diatur dalam perundang-undangan khusus
di luar KUHP. Andiamzah dalam tulisan Aziz Syamsuddin yang dimaksud hukum
pidana khusus adalah peraturan hukum pidana yang tercantum di luar KUHP dapat
disebut undang-undang pidana tersendiri atau disebut juga hukum pidana di luar
kodifikasi atau non kodifikasi. Menurut Adami Kasami (2005: 11), yang dimaksud
hukum pidana umum adalah hukum pidana yang ditujukan dan berlaku untuk semua
warga Negara (sebagai subyek hukum) dan tidak membeda-bedakan kualitas pribadi
subyek hukum tertentu dan setiap warga negara harus tunduk dan patuh terhadap
ketentuan tersebut. Sedangkan hukum pidana khusus adalah hukum pidana yang
dibentuk oleh negara yang hanya dikhususkan berlaku bagi subyek hukum tertentu
saja. Misalnya kejahatan jabatan bagi orang-orang warga negara yang berkualitas
sebagai pegawai negeri atau hukum pidana yang termuat dalam kitab undang-undang
hukum pidana tentara (KUHPT) yang hanya berlaku bagi subyek hukum anggota TNI
saja.
Adapun perbedaan hukum pidana umum dan hukum pidana khusus adalah
sebagai berikut ini:
1. Definisi
Perundang-undangan Pidana dan Pelaku Umum
Perundang-undang di bidang tertentu yang bersanksi pidana atau tindak pidana yang diatur dalam pidana khusus
2. Dasar
Yang tercantum di dalam KUHP dan semua perundang-undangan yang mengubah dan menambah KUHP
Yang tercantum di dalam perundang-undangan di luar KUHP dan mempunyai sanksi pidana
3. Kewenangan penyelidikan dan penyidikan
Polisi dan PNS
Polisi, jaksa, PPNS dan KPK
4. Pengadilan
Pengadilan Umum
Pengadilan TIPIKOR/Pajak/hubungan industrial/HAM/Niaga dan perikanan
5. Hukum acaranya
Kitab undang-undang hukum acara pidana (KUHAP)
KUHAP dan aturan-aturan di dalam perundangan tersebut
6. Sanksi pemidanaan
Dikenal dengan penjahatan pidana dengan istilah azas minimal umum dan maksimal khusus
Minimal khusus dan maksimal khusus
1. Definisi
Perundang-undangan Pidana dan Pelaku Umum
Perundang-undang di bidang tertentu yang bersanksi pidana atau tindak pidana yang diatur dalam pidana khusus
2. Dasar
Yang tercantum di dalam KUHP dan semua perundang-undangan yang mengubah dan menambah KUHP
Yang tercantum di dalam perundang-undangan di luar KUHP dan mempunyai sanksi pidana
3. Kewenangan penyelidikan dan penyidikan
Polisi dan PNS
Polisi, jaksa, PPNS dan KPK
4. Pengadilan
Pengadilan Umum
Pengadilan TIPIKOR/Pajak/hubungan industrial/HAM/Niaga dan perikanan
5. Hukum acaranya
Kitab undang-undang hukum acara pidana (KUHAP)
KUHAP dan aturan-aturan di dalam perundangan tersebut
6. Sanksi pemidanaan
Dikenal dengan penjahatan pidana dengan istilah azas minimal umum dan maksimal khusus
Minimal khusus dan maksimal khusus
2.
Maksud dengan pasal 103 KUHP sebagai “pasal jembatan”?
Pasal 103 KUHP
: “Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII buku ini juga berlaku bagi
perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam
dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain”.
Pasal 103 KUHP
sering disebut atau di istilahkan sebagai pasal jembatan bagi peraturan atau
undang-undang yag mengatur Hukum pidana diluar KUHP. Pasal 103 KUHP berada pada
buku I Aturan Umum KUHP, yang memuat istilah-istilah yang sering digunakan
dalam hukum pidana. Pasal ini menjembatani bahwa segala istilah/pengertian yang
berada dalam bab I-VIII buku satu KUHP dapat digunakan apabila tidak diatur
lain dalam undang-undang atau aturan-aturan yang mengatur tentang hukum pidana
diluar KUHP. Misalnya tentang Percobaan dalam tindak pidana korupsi (UU No. 20
tahun 2001 jo UU no 31 tahun 1999 ttg Tindak Pidana Korupsi). UU tipikor tidak
mengatur secara jelas apa yang dimaksud dengan Percobaan dalam Tindak Pidana
Korupsi, oleh karena itu maka kita dapat menggunakan pasal 53 KUHP tentang
percobaan. Inilah tujuan dan penggunaan pasal jembatan pada pasal 103 KUHP,
untuk menghindari timbulnya kekeliruan dalam penafsiran istilah-istilah yang
digunakan dalam hukum pidana.
Memperhatikan
betapa pentingnya pasal jembatan ini, penulis merasa ada suatu kekeliruan
seiring berkembangnya Ilmu Pengetahuan khususnya Ilmu Hukum. Penulis merasa ada
ketidak tepatan penempatan pasal ini dan juga penggunaannya. Berdasarkan
analisa/opini penulis bahwa pasal ini penempatannya tidak tepat. Maksudnya
bahwa pasal ini dalam beberapa KUHP memuat bahwa pasal ini merupakan aturan
penutup, namun berada dalam Bab IX Buku Satu KUHP. Pertanyaanya apakah pasal
103 ini merupakan bagian dari Bab IX, maka pemberlakuan pasal ini tidak diatur
apakah dapat digunakan karena dalam pasal ini yang diatur hanya pada Bab I-VIII
aturan umum artinya Bab IX tidak ikut. Apakah ini terjadi karena perbedaan
penafsiran yang mana KUHP asli Indonesia adalah WvS (bahasa Belanda)? Atau
karena perkembangan ilmu pengetahuan perancangan Undang-undang. Yang mana
aturan penutup atau aturan peralihan yang harusnya dimuat dalam bab tertentu
(khusus). Jika pasal ini tidak dimuat dalam bab khusus maka pasal 103 KUHP pada
IX tidak dapat dikatakan atau tidak tepat dikatakan sebagai pasal jembatan
karena isi pasal 103 dan letak pasal ini bertolak belakang.
Kekurangan
berikutnya pada penggunaan pasal ini, misalnya pada pasal 15 UU tipikor
khusunya pada bagian pemufakatan jahat. Dalam undang-undang tipikor pemufakatan
jahat tidak disebutkan/diatur apa yang dimaksud dengan pemufakatan jahat. Namun
dalam pasal 15 tersebut hanya diatur bahwa pemufakatan jahat sama pidanaya
dengan delik selesai. Hal ini menimbulkan kelemahan dan dapat menciptakan
perbedaan penafsiran. Pengertian istilah pemufakatan jahat ternyata ada diatur
dalam KUHP pada pasal 88 KUHP. Namun pertanyaannya apakah pengertian istilah
ini dapat digunakan dalam hal tindak pidana korupsi yang diatur dalam UU
khusus. Harusnya bisa, namun yang menjadi masalah yaitu bahwa pasal jembatan
yang sering digunkan ternyata tidak dapat berlaku. Mengapa?, karena pemufakatan
jahat tersebut diatur dalam Buku satu pada bab IX KUHP, sementara yang berlaku
sesuai pasal 103 KUHP ini hanya pada istilah-istilah yang terdapat pada Bab
I-VIII buku satu KUHP. Hal ini banyak menimbulkan pertanyaan dan
dipermasalahkan bagi pihak atau orang-orang yang hanya terpaku pada
undang-undang (positivistik). Permasalahan ini menurut saya dapat menjadi suatu
alasan untuk melakukan pembaharuan hukum pidana khususnya bagi pemberlakuan
konsep KUHP terbaru (konsep KUHP 2012).
Namun dalam
penyelesaian masalah ini biasanya para praktisi menggunakan penafsiran otentik.
Maksudnya, bahwa pemufakatan jahat pada dasarnya telah pernah/ada diatur dalam
KUHP yaitu pada pasal 88, sehingga dalam penafsiran istilah ini apabila tidak
diatur dalam Undang-undang khusus maka dapat digunakan juga istilah yang ada
pada pasal 88 dengan diakuinya penafsiran otentik meskipun dalam pasal 103,
pasal 88 (bab IX) ini tidak disebutkan dapat digunakan untuk Undang-undang
khusu.
Pemecahan
masalah ini sebenarnya memang dapat digunakan dan diakui, tapi hal ini dapat
melemahkan KUHP kita apalagi adanya aliran positivistik yang selalu
mempermasalahkan kepastian hukum, dan harus diatur jelas dalam Undang-undang.
3.
Apa yang dimaksud “lex specialis derogate legi generalis”?
Azas lex
specialis derogate legi generalis
artinya hukum pidana yang berlaku khusus mengkesampingkan hukum pidana yang
berlaku umum. Di Indonesia kini berkembang undang-undang tersendiri di luar
KUHP.
Comments
Post a Comment