FILET IKAN DI KECAMATAN DUKUHSETI KABUPATEN PATI JAWA TENGAH

KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI RUMAH TANGGA
FILET IKAN DI KECAMATAN DUKUHSETI  KABUPATEN PATI
DALAM MENUNJANG KETAHANAN
EKONOMI MASYARAKAT
Oleh
NUR MOKLIS

I.                   PENDAHULUAN
Pada telaah makalah ini, Penulis akan mendeskripsikan secara singkat namun gamblang terkait industry rumahtangga fillet ikan di Kecamatan Dukuhseti Kabupaten Pati. Menurut penulis hal ini cukup actual selain industry ini merekrut sejumlah tenaga kerja yang sangat besar dari berbagai kelurahan di wilayah kecamatan Dukuhuseti namun disisi lain juga “dianggap” menimbulkan pencemaran lingkungan yang sebagian masyarakat menentang keberadaan industry ini berada dilingkungannya yang hampir saja di sebagian tempat akan mejadi konflik[1] sosial.
Sebagai gambaran geografi kecamatan Dukuhseti, daerah ini terletak kurang lebih 36 km ke arah utara dari pusat kota Pati. Merupakan daerah dataran rendah dan berada di pesisir laut Jawa dengan ketinggian tanah antara 1-40 meter dpl. Batas-batas kecamatan Dukuhseti antara lain: Sebelah utara berbatasan dengan laut Jawa, Sebelah timur berbatasan dengan laut Jawa, Sebelah selatan berbatasan dengan kecamatan Tayu, Sebelah barat berbatasan dengan kecamatan Cluwak dan kecamatan Keling Kabupaten Jepara.[2]
Secara administratif, kecamatan Dukuhseti terdiri atas 12 desa, dengan 46, Rukun Warga (RW) dan 342 Rukun Tetangga (RT). Desa/ kelurahan yang berada di kecamatan Dukuhseti adalah desa:
1.      Alasdowo
2.      Bakalan
3.      Banyutowo
4.      Dukuhseti
5.      Dumpil
6.      Grogolan
7.      Kembang
8.      Kenanti
9.      Ngagel
10.  Puncel
11.  Tegalombo
12.  Wedusan[3]
Berdasarkan data tahun 2006, kecamatan Dukuhseti berpenduduk sebanyak 57.723 jiwa yang terdiri atas 29.184 jiwa berkelamin laki-laki dan 28.539 berkelamin perempuan[4].
Adapun pusat industry ini terletak di kelurahan Banyutowo dan kelurahan Dukuhseti, namun demikian karyawan yang bekerja/ terserap dalam industry ini mencakup dari berbagai kelurahan yang ada dikecamatan Dukuhseti ini.
Untuk memperjelas telaah makalah ini, penulis akan mendiskripkan tentang Fillet Ikan sebagai salah satu industry rumahtangga yang mengalami kemajuan yang sangat pesat diwilayah kecamatan Dukuhseti sebagai berikut ini. Ditjen P2HP (2006) meyatakan, fillet ikan sebagai suatu produk olahan hasil perikanan dengan bahan baku ikan segar yang mengalami perlakuan penyiangan, penyayatan, dengan atau tanpa pembuangan kulit, perapihan, pencucian, dengan atau tanpa pembekuan, pengepakan dan penyimpanan segar atau beku.
Bentuk fillet ikan terbagi dalam dua jenis yaitu fillet ikan dengan kulit (skin-on) dan fillet ikan tanpa kulit (skin-less). Pada setiap jenis fillet tersebut dapat dibagi lagi ke dalam dua bagian, yaitu fillet yang masih memiliki bagian dinding perut (belly-on) dan fillet yang tidak memiliki bagian dinding perut (belly-off).
Berdasarkan bahan bakunya, fillet dapat dikategorikan ke dalam dua golongan yaitu fillet yang berasal dari ikan ekonomis tinggi seperti fillet kakap merah (Lutjanus argentimaculatus), fillet kerapu (Serranidae), fillet ikan nila (Oreochromis niloticus) dan fillet ikan patin (Pangasius pangasius) serta fillet yang berasal dari ikan tidak bernilai ekonomis tinggi seperti fillet ikan kurisi (Nemiptterus nemathoporus), fillet ikan swangi (Priyacanthus tayenus), fillet ikan kuniran (Upenus sulphereus), fillet ikan paperek (Leiognathus sp) dan fillet ikan gerot-gerot (Pomadasys sp) (Ditjen P2HP 2007).
Berdasarkan hal tersebut diatas, penulis akan melanjutkan tentang latar belakang penulisan makalah ini sebagaimana tersebut dibawah.

II.                LATARBELAKANG
Industri rumahtangga fillet ikan, selain menjadi tumpuan banyak tenaga kerja sebagai alternative pencarian nafkah, dalam hal ini hususnya ibu-ibu rumahtangga untuk menjadi support dana rumah tangga, juga menghasilkan limbah cair maupun pencemaran udara, hal ini pada sekitar 1 tahun yang lalu hampir memicu  terjadinya konfik social antar masyarakat disekitar tempat industry tersebut.
Pada telaah makalah ini penulis akan menjelaskan tentang keberadaan industry fillet ikan yang berpusat di kelurahan Dukuhseti dan kelurahan Banyutowo, kemudian penulis juga mengkaji tentang manfaat dan mafsadat (dampak baik dan dampak buruknya) bagi masyarakat sekitar, serta bagaimana kebijakan pemerintah Desa, pemerintah Kecamatan serta pemerintah Kabupaten dalam masalah tersebut, selain itu penulis juga akan mengkaji dari aspek teori sosiologi konfik untuk mendiagnosa berbagai kejadian diatas, sehingga bisa terekplanasikan secara komprehensif.

III.             RUMUSAN MASALAH
Dari latarbelakang diatas penulis akan mempertajam kajian makalah ini, pada dua hal yang sangat penting, yang penulis rumuskan dalam dua pertanyaan dibawah ini.
a.       Bagaimanakah keadaan riil industry fillet ikan di Kecamatan Dukuhseti?
b.      Bagaimana kebijakan pemerintah tentang industry fillet ikan di Kecamatan Dukuhseti?

IV.             IRT FILLET IKAN DI KECAMATAN DUKUHSETI KABUPATEN PATI
A.    INDUSTRI FILLET IKAN DI KECAMATAN DUKUHSETI
a.      Industry fillet ikan secara faktual
Industri fillet ikan ini, terkonsentrasi pada dua kelurahan diwilayah kecamatan Dukuhseti, tepatnya kelurahan Banyutowo dan Kelurahan Dukuhseti. Sentra industry fillet ikan ini menyebar dibeberapa titik, ada yang berada diperkampungan penduduk juga ada yang berlokasi ditempat yang agak jauh dari perkampungan penduduk desa.
Keseluruhan jumlah industry ini sekitar 20 lokasi, namun kepemilikannya dikuasai oleh orang-orang yang berdeda. Setiap orang memiliki sekitar 4-6 tempat industri, sehingga praktis industry ini hanya dimiliki oleh sekitar 4 atau 5 orang saja.
Adapun jumlah karyawan, masing-masing berkisar antara 50 sampai dengan 150 orang, sehingga jumlah karyawan keseluruhan mencapai kurang lebih 1500 orang. Sistem penggajiannya dengan system borongan[5] dengan nominal perkilogram dihargai Rp.1500-,. Rata-rata karyawan dapat memperoleh hasil antara 20 kg sampai 40 kg, tergantung keadaan ikan yang di fillet seperti besar kecilnya ikan, serta keterampilan masing-masing karyawan dalam memfillet ikan tersebut. Adapun jam kerjanya tidak ditentukan secara pasti, namun berkisar antara jam 06.00 pagi sampai jam 14.00 WIB[6], dalam kondisi tertentu karyawan diperbolehkan datang agak telat atau pulang agak awal dengan memberitahu pada mandornya yang biasa disebut suplayer.
Dalam kondisi ini, biasanya karyawan mendapat gaji pada hari itu juga atau selambat-lambatnya 2 hari sekali atau 3 hari sekali. Jika rata-rata gaji yang diterima perhari berkisar antara Rp.30.000-, sampai Rp.60.000-, maka dalam sebulan setiap karyawan dalam satu bulan dapat memperoleh penghasilan sekitar Rp.900.000-, sampai Rp.1.800.000-,
Adapun bahan baku berupa ikan segar ini biasanya diambil dari berbagai pelabuhan dijawa dan luar jawa, seperti dari sumatara, Kalimantan dan Sulawesi. Adapun penjualannya kebanyakan ke batam, singapura dan brunedaeussalam.

b.      Proses Pengolahan Fillet Ikan
Dalam proses pengolahan ikan, kesegaran adalah mutlak. Jika ikan sebagai bahan baku sudah tidak segar lagi, maka sebaik apapun proses pengolahannya tidak akan menghasilkan produk yang baik. Bahan mentah yang tidak segar memberikan pengaruh negatif terhadap rendemen, kualitas produk, produktivitas tenaga kerja dan biaya pengolahannya. Poernomo (2009) menyatakan, bahwa kesegaran ikan berpengaruh terhadap keamanan konsumsinya.
Badan Standardisasi Nasional (2006) menyatakan proses pengolahan fillet beku dimulai dari tahap penerimaan, sortasi 1, penyiangan, pencucian 1, pemfilletan, perapihan, pencucian 2, sortasi, penimbangan, penyusunan dalam pan, pembekuan, penggelasan dan pengepakan. Secara detail, alur proses pengolahan fillet ikan beku baik tanpa kulit maupun dengan kulit.
Lebih lanjut, Badan Standardisasi Nasional (2006) menjelaskan masing-masing tahapan proses pengolahan fillet ikan beku sebagai berikut:
Penerimaan Bahan baku yang diterima di unit pengolahan fillet ikan diuji secara organoleptik dan harus ditangani secara hati-hati, cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal 5°C dan selanjutnya dilakukan penimbangan untuk mengetahui berat totalnya.
Sortasi 1, Ikan dipisahkan berdasarkan jenis, mutu dan ukuran. Sortasi harus dilakukan dengan cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal 5°C.
Penyiangan, Ikan disiangi untuk dibuang sisik dan isi perut. Penyiangan harus dilakukan dengan cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal 5°C. Blow (2001) menyatakan pembuangan sisik sangat penting untuk minimalkan bakteri dan mengurangi resiko terdapatnya sisik pada fillet yang telah dipaking.
Pencucian 1, Ikan dicuci dengan air yang bersih dan dingin. Pencucian harus dilakukan dengan cepat, cermat dan saniter dengan tetap menjaga suhu pusat produk maksimal 5°C. 
Pemfilletan, Ikan difillet secara cepat, cermat dan saniter dengan tetap menjaga suhu pusat produk maksimal 5°C.
Perapihan, Fillet ikan dirapihkan dengan memotong daging perut dan membuang tulang yang masih tersisa secara cepat, cermat dan saniter dengan tetap menjaga suhu pusat produk maksimal 5°C.
Pencucian 2, Fillet ikan dicuci dengan air yang bersih dan dingin. Pencucian harus dilakukan dengan cepat, cermat dan saniter dengan tetap menjaga suhu pusat produk maksimal 5°C.
Sortasi 2, Fillet ikan dipisahkan berdasarkan ukuran. Sortasi harus dilakukan dengan cepat, cermat dan saniter dengan tetap menjaga suhu pusat produk maksimal 5°C.
Penimbangan, Fillet ikan ditimbang satu per satu untuk mengetahui beratnya dengan menggunakan timbangan yang telah dikalibrasi. Penimbangan harus dilakukan dengan cepat, cermat dan saniter dengan tetap menjaga suhu pusat produk maksimal 5°C.
Penyusunan dalam Pan, Fillet ikan disusun dalam pan yang telah dilapisi plastik satu per satu. Proses penyusunan harus dilakukan dengan cepat, cermat dan saniter dengan tetap menjaga suhu pusat produk maksimal 5°C.
Pembekuan, Fillet ikan dibekukan dengan metode pembekuan cepat hingga suhu pusat ikan maksimal -18°C.
Penggelasan, Fillet ikan yang telah dibekukan kemudian disemprot dengan air dingin pada suhu 0-1°C. Proses penggelasan harus dilakukan dengan cepat, cermat dan saniter.
Pengepakan, Fillet ikan beku dibungkus plastik secara individual dan dimasukan dalam master karton sesuai dengan label. Pengepakan harus dilakukan dengan cepat, cermat dan saniter.

c.       Jaminan Mutu dan Kemanan Pangan Produk Perikanan
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Pangan menyatakan bahwa setiap orang dilarang menyelenggarakan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan atau peredaran pangan dalam keadaan yang tidak memenuhi persyaratan sanitasi[7].
Pasal 20 Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan menyatakan bahwa 8 proses pengolahan ikan dan produk perikanan wajib memenuhi persyaratan kelayakan pengolahan ikan dan sistem jaminan mutu hasil perikanan. Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2004 tentang Kemanan, Mutu dan Gizi Pangan menyatakan bahwa setiap orang yang memproduksi pangan untuk diperdagangkan bertanggung jawab menyelenggarakan sistem jaminan mutu sesuai dengan jenis pangan yang diproduksi[8].
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.01/MEN/2007 tentang Pengendalian Sistem Jaminan Mutu dan Kemanan Produk Perikanan menyatakan bahwa sistem jaminan mutu dan keamanan adalah upaya pencegahan yang harus diperhatikan dan dilakukan sejak pra produksi sampai dengan pendistribusian untuk menghasilkan hasil perikanan yang bermutu dan aman bagi kesehatan manusia[9].
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.01/MEN/2002 tentang Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan menyatakan bahwa Program Manajemen Mutu Terpadu (PMMT) berdasarkan konsepsi Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) dianggap sesuai untuk ditetapkan sebagai sistem manajemen mutu terpadu hasil perikanan[10].
Dalam implementasinya, agar sistem manajemen mutu terpadu hasil perikanan dapat berjalan secara efektif, diperlukan pemenuhan kelayakan pengolahan yang terdiri atas Standar Prosedur Operasi Sanitasi (SPOS) dan Cara Produksi yang Baik (CPB).
Lebih lanjut, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.01/MEN/2007 tentang Pengendalian Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Produk Perikanan menyatakan bahwa setiap unit usaha yang berdasarkan hasil pengendalian dinyatakan telah memenuhi sistem jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan dapat diberikan sertifikat, antara lain Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP).
Peraturan Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan selaku Otoritas Kompeten Mutu dan Kemanan Pangan Hasil Perikanan di Indonesia Nomor PER.010/DJ-P2HP/2010 tentang Perubahan Peraturan Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan No : PER 067/DJ-P2HP/2008 tentang Pedoman Teknis Penerapan Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan menyatakan Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP) adalah sertifikat yang diberikan kepada UPI yang telah memiliki dan menerapkan program persyaratan dasar yaitu Good Manufacturing Practices (GMP) atau Cara Produksi yang Baik (CPB) dan Standard Sanitation Operating Procedure (SSOP) atau Prosedur Standar Operasi Sanitasi (SPOS) dan atau sistem HACCP secara konsisten[11].

d.      Good Manufaturing Practices (GMP) atau Cara Produksi yang Baik (CPB)
Pada awalnya, Good Manufacturing Practices (GMP) atau Cara Produksi yang Baik (CPB) adalah suatu peraturan yang dicetuskan oleh pemerintah Amerika Serikat (US-FDA) yang menuntut sistem manajemen mutu dan keamanan pangan, penentuan kriteria yang mampu memenuhi the Code of Federal Regulation (21 CFR parts 110) guna memperoleh produk pangan yang bebas dari penyimpangan mutu.
Dalam industri pangan, CPB berperan dalam menentukan apakah fasilitas, metode, pelaksanaan dan pengontrolan yang diterapkan pada proses pengolahan pangan adalah aman, dan apakah pangan diolah dalam kondisi sanitasi yang memadai.
Berdasarkan definisinya, CPB adalah minimum standar sanitasi dan proses pengolahan yang diperlukan untuk menjamin produksi pangan secara utuh (Luning et al 2002). Lebih lanjut Luning et al (2002) menjelaskan tentang unsur-unsur CPB yang terkandung antara lain dokumentasi dan pencatatan (recordkeeping), kualifikasi personal/SDM (personnel qualification), sanitasi dan higiene (Hygienee and Sanitation), verifikasi alat dan peralatan (equipment verification), validasi proses (process validation) dan penanganan bahan (complaint handling).
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 23/MEN.KES/SK/I/78 tentang Pedoman Cara Produksi yang Baik untuk Pengolahan Makanan menyatakan 13 aspek terkait dengan cara produksi makanan yang benar sebagai berikut[12]:
1.      lokasi
Lokasi, Bangunan harus berada ditempat yang bebas dari pencemaran seperti daerah persawahan atau rawa, daerah pembuangan kotoran dan sampah, daerah kering dan berdebu, daerah kotor, daerah berpenduduk padat, daerah penumpukan barang bekas, dan daerah lain yang diduga dapat mengakibatkan pencemaran.
2.      Bangunan
Bangunan, Secara umum bangunan dibuat berdasarkan perencanaan yang memenuhi persyaratan teknik dan higiene sesuai dengan jenis makanan yang diproduksi sehingga mudah dibersihkan, mudah dilaksanakan tindakan sanitasi dan mudah dipelihara. Bangunan unit produksi harus terdiri atas ruangan pokok dan ruangan pelengkap yang harus terpisah sehingga tidak menyebabkan pencemaran terhadap makanan yang diproduksi. Ruang pokok yang digunakan untuk memproduksi makanan harus memenuhi persyaratan sesuai dengan jenis dan kapasitas produksi, ukuran alat produksi serta jumlah karyawan yang berkerja. Susunan ruangan diatur berdasarkan urutan proses produksi sehingga tidak menimbulkan lalu lintas pekerja yang simpang siur dan tidak mengakibatkan pencemaran makanan yang diproduksi.
Ruang pelengkap harus memenuhi syarat luasnya sesuai dengan jumlah karyawan yang berkerja dan susunannya diatur berdasarkan urutan kegiatan yang dilakukan. Lantai ruangan pokok harus memenuhi syarat rapat air, tahan terhadap air, garam, basa, asam dan atau bahan kimia lainnya, permukaannya rata, tidak licin dan mudah dibersihkan, memiliki kelandaian cukup ke arah saluran pembuangan air dan mempunyai saluran tempat air mengalir atau lubang pengeluaran serta pertemuan antara lantai dan dinding tidak boleh membentuk sudut mati, harus melengkung dan rapat air. Lantai ruang pelengkap harus memenuhi syarat rapat air, tahan terhadap air, permukaanya datar, rata serta halus, tidak licin dan mudah dibersihkan. Ruang untuk mandi, cuci dan sarana toilet harus mempunyai kelandaian secukupnya ke arah saluran pembuangan.
Dinding ruangan pokok dan pelengkap harus memenuhi persyaratan sekurang-kuranya 20 cm di bawah dan 20 cm di atas permukaan lantai harus rapat air. Permukaan bagian dalam harus halus, rata, berwarna terang, tahan lama, tidak mudah mengelupas, mudah dibersihkan dan sekurang-kurangnya setinggi 2 meter dari lantai harus rapat air, tahan terhadap air, basa asam dan bahan kimia lainnya. Pertemuan antara dinding dengan dinding dan dinding dengan lantai tidak boleh membentuk sudut mati, harus melengkung dan rapat air.
Atap ruangan pokok dan pelengkap harus memenuhi persyaratan terbuat dari bahan tahan lama, tahan terhadap air dan tidak bocor. Langit-langit ruangan pokok dan pelengkap harus memenuhi persyaratan dibuat dari bahan yang tidak mudah melepaskan bagiannya, tidak terdapat lubang dan tidak retak, tahan lama dan mudah dibersihkan, tinggi dari lantai sekurang-kuranya 3 meter, permukaan rata, berwarna terang. Khusus ruangan pokok ditambahkan syarat tidak mudah mengelupas, rapat air bagi tempat pengolahan yang menimbulkan atau menggunakan uap air.
Pintu ruangan pokok dan pelengkap harus memenuhi syarat dibuat dari bahan yang tahan lama, permukaannya rata, halus, berwarna terang dan mudah dibersihkan, dapat ditutup dengan baik dan membuka ke luar.
Jendela harus memenuhi syarat dibuat dari bahan yang tahan lama, permukaannya rata, halus, mudah dibersihkan dan berwarna terang, sekurang-kurangnya setinggi 1 meter dari lantai, luasnya sesuai dengan besarnya bangunan. Penerangan di ruangan pokok dan pelengkap harus terang sesuai dengan keperluan dan persyaratan kesehatan.
Ventilasi dan pengatur suhu pada ruang pokok maupun pelengkap baik secara alami maupun buatan harus memenuhi persyaratan cukup menjamin peredaran udara dengan baik dan dapat menghilangkan uap, gas, debu, asap dan panas yang dapat merugikan kesehatan, dapat mengatur suhu yang diperlukan, tidak boleh mencemari hasil produksi melalui udara yang dialirkan serta lubang ventilasi harus dilengkapi dengan alat yang dapat mencegah masuknya serangga dan mengurangi masuknya kotoran ke dalam ruangan serta mudah dibersihkan.
3. Fasilitas Sanitasi
Bangunan harus dilengkapi dengan fasilitas sanitasi yang dibuat berdasarkan perencanaan yang memenuhi persyaratan teknik dan higiene. Bangunan harus dilengkapi dengan sarana penyediaan air yang pada pokoknya terbagi atas sumber air, perpipaan pembawa, tempat persediaan air dan perpipaan pembagi. Sarana penyediaan air harus dapat menyediakan air yang cukup bersih sesuai dengan kebutuhan produksi pada khususnya dan kebutuhan perusahaan pada umumnya.
Bangunan harus dilengkapi dengan sarana pembuangan yang pada pokoknya terdiri atas saluran dan tempat pembuangan buangan akhir, tempat buangan padat, sarana pengolahan buangan dan saluran pembuangan buangan terolah. Sarana pembuangan harus dapat mengolah dan membuang buangan padat, cair dan atau gas yang dapat mencemari lingkungan.
Sarana toilet letaknya tidak langsung ke ruang proses pengolahan, dilengkapi dengan bak cuci tangan, diberi tanda pemberitahuan bahwa setiap karyawan harus mencuci tangan dengan sabun dan atau ditergen sesudah menggunakan toilet dan disediakan dalam jumlah cukup sesuai dengan jumlah karyawan.
Sarana cuci tangan harus diletakan di tempat yang diperlukan, dilengkapi dengan air mengalir yang tidak boleh dipakai berulang kali, dilengkapi dengan sabun atau ditergen, handuk atau alat lain untuk mengeringkan tangan dan tempat sampah berpenutup serta disediakan dengan jumlah yang sesuai dengan jumlah karyawan.
4. Alat Produksi
Alat dan perlengkapan yang dipergunakan untuk memproduksi makanan harus dibuat berdasarkan perencanaan yang memenuhi persyaratan teknik dan higiene. Alat dan perlengkapan harus memenuhi syarat sesuai dengan jenis produksi, permukaan yang berhubungan dengan makanan harus halus, tidak berlubang atau bercelah, tidak mengelupas dan tidak berkarat, tidak mencemari hasil produksi dengan jasad renik, unsur atau fragmen logam yang lepas, minyak pelumas, bahan bakar dan lain-lain serta mudah dibersihkan.
5. Bahan
Bahan baku, bahan tambahan dan bahan penolong yang digunakan untuk memproduksi makanan tidak boleh merugikan atau membahayakan kesehatan manusia dan harus memenuhi standar mutu atau persyaratan yang ditetapkan. Terhadap bahan baku, bahan tambahan dan bahan penolong sebelum digunakan harus dilakukan pemeriksaan secara organoleptik, fisika, kimia, biologi dan atau mikrobiologi.
6. Proses Pengolahan
Untuk setiap jenis produk harus ada formula dasar yang menyebutkan jenis bahan baku, bahan tambahan dan bahan penolong yang digunakan serta persyaratan mutunya, jumlah bahan untuk satu kali pengolahan, tahap-tahap proses pengolahan, langkah yang diperlukan dalam proses pengolahan dengan mengingat faktor waktu, suhu, kelembaban, tekanan dan sebagainya sehingga tidak menyebabkan peruraian, pembusukan, kerusakan dan pencemaran produk akhir, jumlah hasil yang diperoleh untuk satu kali pengolahan, uraian mengenai wadah, label, serta cara perwadahan dan pembungkusan, cara pemeriksaan bahan, produk antara dan produk akhir.
Untuk setiap satuan pengolahan harus ada instruksi tertulis dalam bentuk protokol pembuatan yang menyebutkan nama makanan, tanggal pembuatan dan nomor kode, tahapan pengolahan dan hal-hal yang perlu diperhatikan selama proses pengolahan, jumlah hasil pengolahan dan hal lain yang dianggap perlu.
7. Produk Akhir
Produk akhir harus memenui standar mutu atau persyaratan yang ditetapkan dan tidak boleh merugikan dan membahayakan kesehatan. Sebelum produk akhir diedarkan harus dilakukan pemeriksaan secara organoleptik, fisika, kimia, biologi dan atau mikrobiologi.
8. Laboratorium
Perusahaan yang memproduksi jenis makanan tertentu yang ditetapkan menteri harus mempunyai laboratorium untuk melakukan pemeriksaan terhadap bahan baku, bahan tambahan dan bahan penolong yang digunakan serta produk akhir. Untuk setiap pemeriksaan harus ada protokol perusahaan yang menyebutkan nama makanan, tanggal pembuatan, tanggal pengambilan contoh, jumlah contoh yang diambil, kode produksi, jenis pemeriksaan yang dilakukan, kesimpulan pemeriksaan, nama pemeriksa dan hal lain yang diperlukan.
9. Karyawan
Karyawan yang berhubungan dengan produksi makanan harus dalam keadaan sehat, bebas dari luka, penyakit kulit, dan atau hal lain yang diduga dapat mencemari hasil produksi, diteliti dan diawasi kesehatannya secara berkala, mengenakan pakaian kerja, termasuk sarung tangan, tutup kepala dan sepatu yang sesuai, mencuci tangan dibak cuci sebelum melakukan pekerjaan, menahan diri untuk tidak makan, minum, merokok, meludah atau melakukan tidakan lain selama pekerjaan yang dapat mengakibatkan pencemaran terhadap produk makanan dan tidak merugikan karyawan lain. Perusahaan yang memproduksi makanan harus menunjuk dan menetapkan penanggung jawab untuk bidang produksi dan pengawasan mutu yang memiliki kualifikasi sesuai tugas dan tanggung jawabnya.
10. Wadah dan Pembungkus
Wadah dan pembungkus makanan harus memenuhi syarat dapat melindungi dan mempertahankan mutu isinya terhadap pengaruh luar, tidak berpengaruh terhadap isi, dibuat dari bahan yang tidak melepaskan bagian atau unsur yang dapat menggangu kesehatan atau mempengaruhi mutu makanan, menjamin keutuhan dan keaslian isinya, tahan terhadap perlakuan selama pengolahan, pengangkutan dan peredaran dan tidak boleh merugikan atau membahayakan konsumen. Sebelum digunakan wadah harus dibersihkan dikenakan tindakan sanitasi, steril bagi jenis produk yang akan diisi secara aseptik.
11. Label
Label makanan harus memenuhi ketentuan, dibuat dengan ukuran, kombinasi warna dan atau bentuk yang berbeda untuk tiap jenis makanan agar mudah dibedakan.
12. Penyimpanan
Bahan baku, bahan tambahan dan bahan penolong serta produk akhir harus disimpan terpisah dalam masing-masing ruangan yang bersih, bebas serangga, binatang pengerat dan atau binatang lain, terjamin peredaran udara dan suhu yang sesuai. Bahan baku, bahan pembantu, bahan penolong serta produk akhir harus ditandai dan ditempatkan sedemikian rupa hingga jelas dapat dibedakan antara yang belum dan sudah diperiksa, memenuhi syarat dan tidak memenuhi syarat, bahan yang terdahulu diterima diproses lebih dahulu dan produk akhir yang terdahulu dibuat diedarkan lebih dahulu.
Bahan berbahaya seperti insektisida, rodentisida, desinfektan dan lain-lain harus disimpan dalam ruangan tersendiri dan diawasi sedemikian rupa hingga tidak membahayakan atau mencemari bahan baku, bahan tambahan, bahan penolong dan produk akhir.
Wadah dan pembungkus harus disimpan secara rapi ditempat bersih dan terlindung dari pencemaran. Label harus disimpan secara baik dan diatur sedemikian rupa hingga tidak terjadi kesalahan penggunaan. Alat dan perlengkapan produksi yang telah dibersihkan dan dikenakan tindakan sanitasi yang belum digunakan harus disimpan sedemikian rupa hingga terlindung dari debu dan pencemaran lain.
13. Pemeliharaan
Bangunan dan bagian-bagiannya harus dipelihara dan dikenakan tindakan sanitasi secara teratur dan berkala, hingga selalu dalam keadaan bersih dan berfungsi baik.
Harus dilakukan usaha pencegahan masuknya serangga, binatang pengerat, unggas dan binatang lain ke dalam bangunan. Pembasmian jasad renik, serangga dan binatang pengerat dengan menggunakan desinfektan, insektisida, atau rodentisida harus dilakukan dengan hati-hati dan harus dijaga serta dibatasi sedemikian rupa hingga tidak menyebabkan gangguan kesehatan manusia dan tidak menimbulkan pencemaran terhadap bahan baku, bahan tambahan, bahan penolong serta produk akhir.
Buangan padat harus dikumpulkan untuk dikubur, dibakar atau diolah sehingga aman. Buangan air harus diolah terlebih dahulu sebelum dialirkan ke luar. Buangan gas harus diatur atau diolah sedemikian rupa hingga tidak mengganggu kesehatan karyawan dan tidak menimbulkan pencemaran lingkungan.
Alat dan perlengkapan yang digunakan untuk memproduksi makanan harus dibersihkan dan dikenakan tindakan sanitasi secara teratur sehingga tidak menimbulkan pencemaran terhadap produk akhir. Alat dan perlengkapan yang tidak berhubungan dengan makanan harus selalu dalam keadaan bersih.
Alat pengangkutan dan alat pemindahan barang dalam bangunan unit pengolahan harus bersih dan tidak boleh merusak barang yang diangkut atau dipindahkan, baik bahan baku, bahan tambahan, bahan penolong maupun produk akhir. Alat pengangkutan untuk mengedarkan produk akhir harus bersih, dapat melindungi produk baik fisik maupun mutunya sampai ke tempat tujuan.
Dalam implementasinya, CPB dapat berperan untuk menghasilkan suatu produk pangan yang bermutu dan aman bagi kesehatan. Sebelumnya, baik-buruknya mutu produk ditentukan dengan mengandalkan pengujian akhir di laboratorium. Namun hal itu ternyata tidak efektif, sehingga diperlukan adanya penerapan sistem jaminan mutu dan sistem manajemen lingkungan, dan sistem produksi pangan yang baik (Cara Produksi yang Baik). Dengan menerapkan CPB diharapkan produsen pangan dapat menghasilkan produk makanan yang bermutu, aman dikonsumsi dan sesuai dengan tuntutan konsumen, bukan hanya konsumen lokal tetapi juga konsumen global (Fardiaz, 1997).
Direktorat Jenderal Perikanan (2000) menyatakan penerapan CPB dimaksudkan untuk lebih meningkatkan jaminan dan konsistensi mutu dari produk yang dihasilkan. Oleh karena itu dalam menyusun CPB maka perlu dirinci hal-hal yang menyangkut fungsi atau tujuan dari suatu tahapan proses pengolahan dan perlakuan/kondisi yang dipersyaratkan dalam proses pengolahan ikan, yang pada umumnya terkait dengan waktu dan temperatur, pemakaian klor atau bahan untuk mencapai tujuan dari proses pengolahan yang dilakukan.
Jika diamati secara seksama, keberadaan dan standar fillet ikan di kecamatan dukuhseti setidaknya belum sampai memenuhi standar yang tertuang Pasal 8 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Pangan yang menyatakan bahwa setiap orang dilarang menyelenggarakan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan atau peredaran pangan dalam keadaan yang tidak memenuhi persyaratan sanitasi dan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan menyatakan bahwa 8 proses pengolahan ikan dan produk perikanan wajib memenuhi persyaratan kelayakan pengolahan ikan dan sistem jaminan mutu hasil perikanan. Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2004 tentang Kemanan, Mutu dan Gizi Pangan menyatakan bahwa setiap orang yang memproduksi pangan untuk diperdagangkan bertanggung jawab menyelenggarakan sistem jaminan mutu sesuai dengan jenis pangan yang diproduksi.
Disisi lain, hal ini tidak harus serta merta di hentikan karena menyangkut hidup ribuan karyawan, yang rata-rata berpendidikan rendah, atau bahkan maroritas dari mereka tidak menamatkan pendidikan dasar, yang jika dihentikan dengan paksa akan pasti menelantarkan banyak tenaga kerja tersebut. Dengan demikian tentu pengambilan kebijkan  pemerintah sangat diperlukan dalam masalah ini. Hal ini akan penulis telaah dalam kajian dibawah ini.

B.     KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG INDUSTRY FILLET IKAN DI KECAMATAN DUKUHSETI
A.    Konflik Sosial Akibat Keberadaan  Fillet Ikan Di Kecamatan Dukuhseti
Sekitar satu tahun yang lahu, hampir terjadi konflik social antar warga yang menjadi isu dalam hal ini adalah dampak polusi lingkungan akibat keberadaan industry rumahtangga fillet ikan.
Kejadian ini, berlangsung sangat menegangkan karena diikuti dua kubu yang berlainan. Satu pihak adalah kelompok yang menolak keberadaan industry ini, sedangkan satu pihak lagi adalah pemilik serta karyawan industry fillet yang tida terima tempat mencari nafkahnya ditutup.
Kejadian ini sampai melibatkan aparat Desa, kepolisian dan juga kecamatan, bahkan isu ini juga dibawa sampai kabupaten Pati, oleh pihak-pihak yang menentang keberadaan industry rumahan ini.
Banyak orang berpendapat bahwa konflik terjadi karena adanya perebutan sesuatu yang jumlahnya terbatas. Adapula yang berpendapat bahwa konflik muncul karena adanya ketimpangan-ketimpangan dalam masyarakat, terutama antara kelas atas dan kelas bawah. Selain itu juga karena adanya perbedaan-perbedaan kepentingan, kebutuhan, dan tujuan dari masing masing anggota masyarakat.
Untuk mengekplanasi hal tersebut maka penulis akan menyertakan beberapa teori yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto[13] tentang sebab sebab terjadinya konflik antara lain sebagai berikut:
1.      Perbedaan Antar perorangan
Perbedaan ini dapat berupa perbedaan perasaan, pendirian, atau pendapat. Hal ini mengingat bahwa manusia adalah individu yang unik atau istimewa, karena tidak pernah ada kesamaan yang baku antara yang satu dengan yang lain.
Perbedaan-perbedaan inilah yang dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya konflik sosial, sebab dalam menjalani sebuah pola interaksi sosial, tidak mungkin seseorang akan selalu sejalan dengan individu yang lain. Misalnya dalam suatu diskusi kelas, kamu bersama kelompokmu kebetulan sebagai penyaji makalah. Pada satu kesempatan, ada temanmu yang mencoba untuk mengacaukan jalannya diskusi dengan menanyakan hal-hal yang sebetulnya tidak perlu dibahas dalam diskusi tersebut. Kamu yang bertindak selaku moderator melakukan interupsi dan mencoba meluruskan pertanyaan untuk kembali ke permasalahan pokok. Namun temanmu (si penanya) tadi menganggap kelompokmu payah dan tidak siap untuk menjawab pertanyaan. Perbedaan pandangan dan pendirian tersebut akan menimbulkan perasaan amarah dan benci yang apabila tidak ada kontrol terhadap emosional kelompok akan terjadi konflik.
2.      Perbedaan Kebudayaan
Perbedaan kebudayaan mempengaruhi pola pemikiran dan tingkah laku perseorangan dalam kelompok kebudayaan yang bersangkutan. Selain perbedaan dalam tataran individual, kebudayaan dalam masing-masing kelompok juga tidak sama. Setiap individu dibesarkan dalam lingkungan kebudayaan yang berbeda-beda. Dalam lingkungan kelompok masyarakat yang samapun tidak menutup kemungkinan akan terjadi perbedaan kebudayaan, karena kebudayaan lingkungan keluarga yang membesarkannya tidak sama. Yang jelas, dalam tataran kebudayaan ini akan terjadi perbedaan nilai dan norma yang ada dalam lingkungan masyarakat. Ukuran yang dipakai oleh satu kelompok atau masyarakat tidak akan sama dengan yang dipakai oleh kelompok atau masyarakat lain. Apabila tidak terdapat rasa saling pengertian dan menghormati perbedaan tersebut, tidak menutup kemungkinan faktor ini akan menimbulkan terjadinya konflik sosial. Contohnya seseorang yang dibesarkan pada lingkungan kebudayaan yang bersifat individualis dihadapkan pada pergaulan kelompok yang bersifat sosial. Dia akan mengalami kesulitan apabila suatu saat ia ditunjuk selaku pembuat kebijakan kelompok. Ada kecenderungan dia akan melakukan pemaksaan kehendak sehingga kebijakan yang diambil hanya menguntungkan satu pihak saja. Kebijakan semacam ini akan di tentang oleh kelompok besar dan yang pasti kebijakan tersebut tidak akan diterima sebagai kesepakatan bersama. Padahal dalam kelompok harus mengedepankan kepentingan bersama. Di sinilah letak timbulnya pertentangan yang disebabkan perbedaan kebudayaan.
Contoh lainnya adalah seseorang yang berasal dari etnis A yang memiliki kebudayaan A, pindah ke wilayah B dengan kebudayaan B. Jika orang tersebut tetap membawa kebudayaan asal dengan konservatif, tentu saja ia tidak akan diterima dengan baik di wilayah barunya. Dengan kata lain meskipun orang tersebut memiliki pengaruh yang kuat, alangkah lebih baik jika tetap melakukan penyesuaian terhadap kebudayaan tempat tinggalnya yang baru.
3.      Bentrokan Kepentingan
Bentrokan kepentingan dapat terjadi di bidang ekonomi, politik, dan sebagainya. Hal ini karena setiap individu memiliki kebutuhan dan kepentingan yang berbeda dalam melihat atau mengerjakan sesuatu. Demikian pula halnya dengan suatu kelompok tentu juga akan memiliki kebutuhan dan kepentingan yang tidak sama dengan kelompok lain. Misalnya kebijakan mengirimkan pemenang Putri Indonesia untuk mengikuti kontes ‘Ratu Sejagat’ atau ‘Miss Universe’. Dalam hal ini pemerintah menyetujui pengiriman tersebut, karena dipandang sebagai kepentingan untuk promosi kepariwisataan dan kebudayaan. Di sisi lain kaum agamis menolak pengiriman itu karena dipandang bertentangan dengan norma atau adat ketimuran (bangsa Indonesia). Bangsa Indonesia yang selama ini dianggap sebagai suatu bangsa yang menjunjung tinggi budaya timur yang santun, justru merelakan wakilnya untuk mengikuti kontes yang ternyata di dalamnya ada salah satu persyaratan yang mengharuskan untuk berfoto menggunakan swim suit (pakaian untuk berenang).
4.      Perubahan Sosial yang Terlalu Cepat di dalam Masyarakat
Perubahan tersebut dapat menyebabkan terjadinya disorganisasi dan perbedaan pendirian mengenai reorganisasi dari sistem nilai yang baru. Perubahan-perubahan yang terjadi secara cepat dan mendadak akan membuat keguncangan proses-prosessosial di dalam masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehidupan masyarakat yang telah ada. Sebenarnya perubahan adalah sesuatu yang wajar terjadi, namun jika terjadinya secara cepat akan menyebabkan gejolak sosial, karena adanya ketidaksiapan dan keterkejutan masyarakat, yang pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya konflik sosial.
Contohnya kenaikan BBM, termasuk perubahan yang begitu cepat. Masyarakat banyak yang kurang siap dan kemudian menimbulkan aksi penolakan terhadap perubahan tersebut.
Selain yang disebutkan di atas, proses sosial dalam masyarakat ada juga yang menyebabkan atau berpeluang menimbulkan konflik adalah persaingan dankontravensi.
1.      Persaingan (Competition)
Dalam persaingan individu atau kelompok berusaha mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan yang pada suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian umum. Cara yang dilakukan untuk mencapai tujuan itu adalah dengan menarik perhatian atau mempertajam prasangka yang telah ada tanpa menggunakan ancaman atau kekerasan.
Jika dikelompokkan, ada dua macam persaingan, yaitu persaingan yang bersifat pribadi dan tidak pribadi atau kelompok. Persaingan pribadi merupakan persaingan yang dilakukan orang per orang atau individu untuk memperoleh kedudukan dalam organisasi. Persaingan kelompok, misalnya terjadi antara dua macam perusahaan dengan produk yang sama untuk memperebutkan pasar di suatu wilayah.
Persaingan pribadi dan kelompok menghasilkan beberapa bentuk persaingan, antara lain persaingan di bidang ekonomi, kebudayaan, kedudukan dan peranan, dan persaingan ras.
a. Persaingan di Bidang Kebudayaan
Persaingan di bidang kebudayaan merupakan persaingan antara dua kebudayaan untuk memperebutkan pengaruh di suatu wilayah. Persaingan kebudayaan misalnya terjadi antara kebudayaan pendatang dengan kebudayaan penduduk asli. Bangsa pendatang akan berusaha agar kebudayaannya dipakai di wilayah di mana ia datang. Begitu pula sebaliknya, penduduk asli akan berusaha agar bangsa pendatang menggunakan kebudayaannya dalam kehidupan.
c.    Persaingan Kedudukan dan Peranan
Apabila dalam diri seseorang atau kelompok terdapat keinginan-keinginan untuk diakui sebagai orang atau kelompok yang mempunyai kedudukan dan peranan terpandang maka terjadilah persaingan. Kedudukan dan peranan yang dikejar tergantung pada apa yang paling dihargai oleh masyarakat pada suatu masa tertentu.
d.   Persaingan Ras
Persaingan ras sebenarnya juga merupakan persaingan di bidang kebudayaan. Perbedaan ras baik perbedaan warna kulit, bentuk tubuh, maupun corak rambut hanya merupakan suatu perlambang kesadaran dan sikap atau perbedaan-perbedaan dalam kebudayaan. Persaingan dalam batas-batas tertentu memiliki fungsi.
Berikut ini adalah beberapa fungsi persaingan:
(1) alat untuk mengadakan seleksi atas dasar jenis kelamin dan sosial; (2) menyalurkan keinginan individu atau kelompok yang bersifat kompetitif;
(3) jalan untuk menyalurkan keinginan, kepentingan, serta nilai-nilai yang pada suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian sehingga tersalurkan dengan baik oleh mereka yang bersaing; (4) alat untuk menyaring para warga golongan fungsional sehingga menghasilkan pembagian kerja yang efektif.
Persaingan dalam segala bentuknya akan menghasilkan hal-hal yang bersifat positif maupun negatif. Hal-hal positif yang dihasilkan dengan adanya persaingan, antara lain makin kuatnya solidaritas kelompok, dicapainya kemajuan, dan terbentuknya kepribadian seseorang.
a. Makin Kuatnya Solidaritas Kelompok
Persaingan yang dilakukan dengan jujur akan menyebabkan individu saling menyesuaikan diri dalam hubungan sosialnya. Dengan demikian, keserasian dalam kelompok akan tercapai. Hal itu bisa tercapai apabila persaingan dilakukan dengan jujur.
b. Dicapainya Kemajuan
Persaingan akan lebih banyak dijumpai pada masyarakat yang maju dan berkembang pesat. Untuk itu, individu yang berada dalam masyarakat tersebut harus mampu menyesuaikan diri dengan keadaan tersebut. Persaingan akan menyebabkan seseorang terdorong untuk bekerja keras supaya dapat berperan dalam masyarakat.
c. Terbentuknya Kepribadian Seseorang
Persaingan yang dilakukan dengan jujur dapat menimbulkan tumbuhnya rasa sosial dalam diri seseorang. Namun sebaliknya, persaingan juga bisa menimbulkan hal yang negatif, yaitu terciptanya disorganisasi. Adanya disorganisasi karena masyarakat hampir tidak diberi kesempatan untuk menyesuaikan diri dan melakukan reorganisasi saat terjadi perubahan. Hal itu disebabkan karena perubahan yang terjadi bersifat cepat atau revolusi.

2.      Kontravensi
Kontravensi berasal dari bahasa Latin, contra dan venire yang berarti menghalangi atau menantang. Kontravensi merupakan usaha untuk menghalang-halangi pihak lain dalam mencapai tujuan. Tujuan utama tindakan dalam kontravensi adalah menggagalkan tercapainya tujuan pihak lain. Hal itu dilakukan karena rasa tidak senang atas keberhasilan pihak lain yang dirasa merugikan. Namun demikian, dalam kontravensi tidak ada maksud untuk menghancurkan pihak lain.
Menurut Leopold von Wiese dan Howard Becker ada lima macam bentuk kontravensi.
a.       Kontravensi umum, antara lain dilakukan dengan penolakan, keengganan, perlawanan, perbuatan menghalanghalangi, protes, gangguan-gangguan, dan kekerasan.
b.      Kontravensi sederhana, antara lain dilakukan dengan menyangkal pernyataan pihak lain di depan umum, memakimaki orang lain melalui selebaran, mencerca, dan memfitnah.
c.       Kontravensi intensif, antara lain dilakukan dengan menghasut, menyebarkan desas-desus, dan mengecewakan pihak lain.
d.      Kontravensi rahasia, antara lain dilakukan dengan pengkhianatan dan mengumumkan rahasia pihak lain.
e.       Kontravensi taktis, antara lain dilakukan dengan mengejutkan lawan dan mengganggu pihak lain.

B.     Kebijakan Pemerintah Untuk Ketahanan Ekonomi Masyarakat Kecamatan Dukuhseti Pati
Terkait hal tersebut diatas pemerintah telah mengambil beberapa kebijakan, dalam hal ini kawal depannya adalah pemerintah desa Dukuhseti dan Pemerintah Desa Banyutowo. Pertama: pemerintah desa telah memantau dan memberikan pengarahan serta bimbingan secara praktis penanganan limbah dan serta tatacara pembuangannya. Kedua: terkait dengan adanya keberatan dari sebagian warga desa yang mengeluhkan pencemaran udara, pemerintah desa yang dipimpin langsung kepala Desa melakukan mediasi yang dibantu aparat kecamatan Dukuhseti dan aparat kabupaten Pati, untuk memperoleh solusi-solusi terbaik diantara kedua belah pihak. Ketiga: jika untuk kedepannya diadakan penambahan dan atau pemekaran tempat produksi harus mendapat ijin dari pemerintah desa sehingga sebelum beroperasi sudah diyatakan layak atau tidaknya. Keempat: Pemilik Industri rumahtangga tersebut diharuskan mengurus perijinan kementrihan industry dan Perdagangam.
Kebijakan pemerintah yang telah diambil ataupun yang nantinya akan diambil diharapkan mampu memecahkan persoalan masyarakat yang sedang dihadapi. Hal tersebut juga harus memperhatikan ketahanan ekonomi[14] masyarakat yang berada diwilayah kecamatan dukuhseti khususnya dan masyarakat wilayah Kabupaten Pati pada umumnya.

V.                SARAN-SARAN
1.            Kepada pemerintah Kabupaten Pati dengan mempertimbangkan masukan dari pemerintah Desa dan kecamatan sebaiknya mengeluarkan perda terkait Fillet ikan yang ada di wilayah yuridiksinya dan agar tidak terjadi lagi konflik social diantara warga.
2.            Kepada Pemerintah Desa setempat dengan memperhatikan tokoh masyarakat dan sesepuh adat sebaiknya mengeluarkan Peraturan Desa yang dapat mengatur serta menjadi panduan dalam kegiatan Industri rumah tangga fillet ikan di kelurahan masing-masing diwilayah kecamatan Dukuhseti.
3.            Kepada warga desa setempat mencadi keniscayaan untuk menjunjung nilai-nila luruh setempat dengan mengedepankan musyawarah mufakat dalam menyelesaikan suatu masyalah yang dihadapi.


DAFTAR PUSTAKA

Budiyono. Sosiologi 2. Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional, 2009
Http://id.wikipedia.org/wiki/Dukuhseti,_Pati. Akses 23 September 2013 pukul 09.00 WIB
Http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_konflik diakses tanggal 23 Nopember 2013.
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.01/MEN/2002 tentang Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.01/MEN/2002 tentang Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 23/MEN.KES/SK/I/78 tentang Pedoman Cara Produksi yang Baik untuk Pengolahan Makanan
Peraturan Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan selaku Otoritas Kompeten Mutu dan Kemanan Pangan Hasil Perikanan di Indonesia Nomor PER.010/DJ-P2HP/2010 tentang Perubahan Peraturan Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan No : PER 067/DJ-P2HP/2008 tentang Pedoman Teknis Penerapan Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan
Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2004 tentang Kemanan, Mutu dan Gizi Pangan
Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Pangan
Wrahatnala, Bondet. Sosiologi 2. Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional. 2009.


[1] Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawa sertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Dalam sosiologi, kita mengenal adanya teori konflik yang berupaya memahami konflik dari sudut pandang ilmu sosial. Teori konflik adalah sebuah teori yang memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi melalui proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanya konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula. Teori konflik lahir sebagai sebuah antitesis dari teori struktural fungsional yang memandang pentingnya keteraturan dalam masyarakat (lihat:http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_konflik) diakses tanggal 23 Nopember 2013.
[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Dukuhseti,_Pati. Akses 23 September 2013 pukul 09.00 WIB
[3] Ibid.
[4] Ibid. data terbarau penulis belum menemukannya, namun dapat dipastikan dalam waktu 7 tahun terakhir jumlah penduduknya mengalami peningkatan.
[5] Sistem borongan yaitu upah kerja karyawan berdasarkan banyak atau sedikitnya hasil yang didapat, jika memperoleh hasil banyak dalam pekerjaannya akan mendapat upah banyak, jika mendapatkan hasil sedikit dalam pekerjaanya, upah yang diterima juga sedikit.
[6] Jam kerja ini tergantung jumlah banyak sedikitnya ikan yang difillet, jika ikan berjumlah banyak karyawan dipersilahkan menambah jam kerja, jika ikan yang fifillet sedikit, jam kerja bias berkurang.
[7] Lebih lanjut dapat dibaca dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Pangan
[8] Lebih lanjut dapat dibaca dalam Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2004 tentang Kemanan, Mutu dan Gizi Pangan
[9] Lebih lanjut dapt dibaca dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.01/MEN/2002 tentang Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan
[10] Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.01/MEN/2002 tentang Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan
[11] Peraturan Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan selaku Otoritas Kompeten Mutu dan Kemanan Pangan Hasil Perikanan di Indonesia Nomor PER.010/DJ-P2HP/2010 tentang Perubahan Peraturan Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan No : PER 067/DJ-P2HP/2008 tentang Pedoman Teknis Penerapan Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan
[12] Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 23/MEN.KES/SK/I/78 tentang Pedoman Cara Produksi yang Baik untuk Pengolahan Makanan
[13] Untuk mengetahu lebih detail dapat dibaca bukunya Budiyono. 2009. Sosiologi 2. Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional dan bukunya Wrahatnala, Bondet. 2009. Sosiologi 2. Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.
[14] Ketahanan ekonomi biasanya diartikan segala kegiatan pemerintah dan masyarakat di dalam pengelolaan faktor produksi, yaitu bumi, sumber alam, tenaga kerja, teknologi, dan manajemen didalam produksi serta distribusi barang dan jasa demi kesejahteraan rakyat, baik fisi material maupun mental spiritual

Comments

Popular posts from this blog

ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERDATA DAN PENERAPANNYA DI PENGADILAN AGAMA (SESI KE-1)

STUDI TENTANG PEMIKIRAN IMAM AL-SYAUKANI DALAM KITAB IRSYAD AL-FUHUL

HADITS-HADITS AHKAM TENTANG JUAL BELI (SALE AND PURCHASE)