FILET IKAN DI KECAMATAN DUKUHSETI KABUPATEN PATI JAWA TENGAH
KEBIJAKAN
PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI RUMAH TANGGA
FILET IKAN DI KECAMATAN DUKUHSETI KABUPATEN PATI
DALAM
MENUNJANG KETAHANAN
EKONOMI
MASYARAKAT
Oleh
NUR
MOKLIS
I.
PENDAHULUAN
Pada telaah makalah ini, Penulis akan mendeskripsikan secara
singkat namun gamblang terkait industry rumahtangga fillet ikan di
Kecamatan Dukuhseti Kabupaten Pati. Menurut penulis hal ini cukup actual selain
industry ini merekrut sejumlah tenaga kerja yang sangat besar dari berbagai
kelurahan di wilayah kecamatan Dukuhuseti namun disisi lain juga “dianggap”
menimbulkan pencemaran lingkungan yang sebagian masyarakat menentang keberadaan
industry ini berada dilingkungannya yang hampir saja di sebagian tempat akan
mejadi konflik[1]
sosial.
Sebagai gambaran geografi kecamatan Dukuhseti, daerah ini terletak kurang
lebih 36 km ke arah utara dari pusat kota Pati. Merupakan
daerah dataran rendah dan berada di pesisir laut Jawa dengan ketinggian
tanah antara 1-40 meter dpl.
Batas-batas kecamatan Dukuhseti antara lain: Sebelah utara berbatasan dengan laut Jawa, Sebelah timur berbatasan dengan laut Jawa, Sebelah selatan berbatasan
dengan kecamatan Tayu, Sebelah barat berbatasan dengan kecamatan Cluwak dan kecamatan Keling Kabupaten Jepara.[2]
Secara
administratif, kecamatan Dukuhseti terdiri atas 12 desa, dengan 46, Rukun Warga (RW) dan 342 Rukun Tetangga (RT). Desa/
kelurahan yang berada di kecamatan Dukuhseti adalah desa:
1.
Alasdowo
2.
Bakalan
3.
Banyutowo
4.
Dukuhseti
5.
Dumpil
6.
Grogolan
7.
Kembang
8.
Kenanti
9.
Ngagel
10. Puncel
11. Tegalombo
Berdasarkan data tahun 2006, kecamatan Dukuhseti berpenduduk sebanyak 57.723 jiwa yang terdiri
atas 29.184 jiwa berkelamin laki-laki dan 28.539 berkelamin perempuan[4].
Adapun pusat industry ini terletak di kelurahan Banyutowo dan
kelurahan Dukuhseti, namun demikian karyawan yang bekerja/ terserap dalam
industry ini mencakup dari berbagai kelurahan yang ada dikecamatan Dukuhseti
ini.
Untuk memperjelas telaah makalah ini, penulis akan mendiskripkan
tentang Fillet Ikan sebagai salah satu industry rumahtangga yang
mengalami kemajuan yang sangat pesat diwilayah kecamatan Dukuhseti sebagai
berikut ini. Ditjen P2HP (2006) meyatakan, fillet ikan sebagai suatu
produk olahan hasil perikanan dengan bahan baku ikan segar yang mengalami
perlakuan penyiangan, penyayatan, dengan atau tanpa pembuangan kulit,
perapihan, pencucian, dengan atau tanpa pembekuan, pengepakan dan penyimpanan
segar atau beku.
Bentuk fillet ikan terbagi dalam dua jenis yaitu fillet ikan
dengan kulit (skin-on) dan fillet ikan tanpa kulit (skin-less).
Pada setiap jenis fillet tersebut dapat dibagi lagi ke dalam dua bagian,
yaitu fillet yang masih memiliki bagian dinding perut (belly-on)
dan fillet yang tidak memiliki bagian dinding perut (belly-off).
Berdasarkan bahan bakunya, fillet dapat dikategorikan ke
dalam dua golongan yaitu fillet yang berasal dari ikan ekonomis tinggi
seperti fillet kakap merah (Lutjanus argentimaculatus), fillet
kerapu (Serranidae), fillet ikan nila (Oreochromis
niloticus) dan fillet ikan patin (Pangasius pangasius) serta fillet
yang berasal dari ikan tidak bernilai ekonomis tinggi seperti fillet ikan
kurisi (Nemiptterus nemathoporus), fillet ikan swangi (Priyacanthus
tayenus), fillet ikan kuniran (Upenus sulphereus), fillet ikan
paperek (Leiognathus sp) dan fillet ikan gerot-gerot (Pomadasys
sp) (Ditjen P2HP 2007).
Berdasarkan hal tersebut diatas, penulis akan melanjutkan tentang
latar belakang penulisan makalah ini sebagaimana tersebut dibawah.
II.
LATARBELAKANG
Industri rumahtangga fillet ikan, selain menjadi tumpuan
banyak tenaga kerja sebagai alternative pencarian nafkah, dalam hal ini hususnya
ibu-ibu rumahtangga untuk menjadi support dana rumah tangga, juga menghasilkan
limbah cair maupun pencemaran udara, hal ini pada sekitar 1 tahun yang lalu hampir
memicu terjadinya konfik social antar
masyarakat disekitar tempat industry tersebut.
Pada telaah makalah ini penulis akan menjelaskan tentang keberadaan
industry fillet ikan yang berpusat di kelurahan Dukuhseti dan kelurahan
Banyutowo, kemudian penulis juga mengkaji tentang manfaat dan mafsadat
(dampak baik dan dampak buruknya) bagi masyarakat sekitar, serta bagaimana
kebijakan pemerintah Desa, pemerintah Kecamatan serta pemerintah Kabupaten
dalam masalah tersebut, selain itu penulis juga akan mengkaji dari aspek teori
sosiologi konfik untuk mendiagnosa berbagai kejadian diatas, sehingga bisa
terekplanasikan secara komprehensif.
III.
RUMUSAN MASALAH
Dari latarbelakang diatas penulis akan mempertajam kajian makalah
ini, pada dua hal yang sangat penting, yang penulis rumuskan dalam dua
pertanyaan dibawah ini.
a.
Bagaimanakah
keadaan riil industry fillet ikan di Kecamatan Dukuhseti?
b.
Bagaimana
kebijakan pemerintah tentang industry fillet ikan di Kecamatan
Dukuhseti?
IV.
IRT FILLET IKAN DI KECAMATAN DUKUHSETI KABUPATEN PATI
A.
INDUSTRI FILLET IKAN DI KECAMATAN DUKUHSETI
a.
Industry fillet ikan secara faktual
Industri fillet ikan ini, terkonsentrasi pada dua kelurahan
diwilayah kecamatan Dukuhseti, tepatnya kelurahan Banyutowo dan Kelurahan
Dukuhseti. Sentra industry fillet ikan ini menyebar dibeberapa titik, ada yang
berada diperkampungan penduduk juga ada yang berlokasi ditempat yang agak jauh
dari perkampungan penduduk desa.
Keseluruhan jumlah industry ini sekitar 20 lokasi, namun
kepemilikannya dikuasai oleh orang-orang yang berdeda. Setiap orang memiliki
sekitar 4-6 tempat industri, sehingga praktis industry ini hanya dimiliki oleh
sekitar 4 atau 5 orang saja.
Adapun jumlah karyawan, masing-masing berkisar antara 50 sampai
dengan 150 orang, sehingga jumlah karyawan keseluruhan mencapai kurang lebih 1500
orang. Sistem penggajiannya dengan system borongan[5]
dengan nominal perkilogram dihargai Rp.1500-,. Rata-rata karyawan dapat
memperoleh hasil antara 20 kg sampai 40 kg, tergantung keadaan ikan yang di fillet
seperti besar kecilnya ikan, serta keterampilan masing-masing karyawan dalam
memfillet ikan tersebut. Adapun jam kerjanya tidak ditentukan secara pasti,
namun berkisar antara jam 06.00 pagi sampai jam 14.00 WIB[6],
dalam kondisi tertentu karyawan diperbolehkan datang agak telat atau pulang
agak awal dengan memberitahu pada mandornya yang biasa disebut suplayer.
Dalam kondisi ini, biasanya karyawan mendapat gaji pada hari itu
juga atau selambat-lambatnya 2 hari sekali atau 3 hari sekali. Jika rata-rata
gaji yang diterima perhari berkisar antara Rp.30.000-, sampai Rp.60.000-, maka
dalam sebulan setiap karyawan dalam satu bulan dapat memperoleh penghasilan
sekitar Rp.900.000-, sampai Rp.1.800.000-,
Adapun bahan baku berupa ikan segar ini biasanya diambil dari
berbagai pelabuhan dijawa dan luar jawa, seperti dari sumatara, Kalimantan dan
Sulawesi. Adapun penjualannya kebanyakan ke batam, singapura dan brunedaeussalam.
b.
Proses Pengolahan Fillet Ikan
Dalam
proses pengolahan ikan, kesegaran adalah mutlak. Jika ikan sebagai bahan baku
sudah tidak segar lagi, maka sebaik apapun proses pengolahannya tidak akan
menghasilkan produk yang baik. Bahan mentah yang tidak segar memberikan
pengaruh negatif terhadap rendemen, kualitas produk, produktivitas tenaga kerja
dan biaya pengolahannya. Poernomo (2009) menyatakan, bahwa kesegaran ikan
berpengaruh terhadap keamanan konsumsinya.
Badan
Standardisasi Nasional (2006) menyatakan proses pengolahan fillet beku
dimulai dari tahap penerimaan, sortasi 1, penyiangan, pencucian 1, pemfilletan,
perapihan, pencucian 2, sortasi, penimbangan, penyusunan dalam pan, pembekuan,
penggelasan dan pengepakan. Secara detail, alur proses pengolahan fillet ikan
beku baik tanpa kulit maupun dengan kulit.
Lebih
lanjut, Badan Standardisasi Nasional (2006) menjelaskan masing-masing tahapan
proses pengolahan fillet ikan beku sebagai berikut:
Penerimaan
Bahan baku yang diterima di unit pengolahan fillet ikan diuji secara
organoleptik dan harus ditangani secara hati-hati, cepat, cermat dan saniter
dengan suhu pusat produk maksimal 5°C dan selanjutnya dilakukan penimbangan
untuk mengetahui berat totalnya.
Sortasi
1, Ikan dipisahkan berdasarkan jenis, mutu dan ukuran. Sortasi harus dilakukan
dengan cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal 5°C.
Penyiangan,
Ikan disiangi untuk dibuang sisik dan isi perut. Penyiangan harus dilakukan
dengan cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal 5°C. Blow
(2001) menyatakan pembuangan sisik sangat penting untuk minimalkan bakteri dan
mengurangi resiko terdapatnya sisik pada fillet yang telah dipaking.
Pencucian
1, Ikan dicuci dengan air yang bersih dan dingin. Pencucian harus dilakukan
dengan cepat, cermat dan saniter dengan tetap menjaga suhu pusat produk
maksimal 5°C.
Pemfilletan,
Ikan difillet secara cepat, cermat dan saniter dengan tetap menjaga suhu
pusat produk maksimal 5°C.
Perapihan,
Fillet ikan dirapihkan dengan memotong daging perut dan membuang tulang
yang masih tersisa secara cepat, cermat dan saniter dengan tetap menjaga suhu
pusat produk maksimal 5°C.
Pencucian
2, Fillet ikan dicuci dengan air yang bersih dan dingin. Pencucian harus
dilakukan dengan cepat, cermat dan saniter dengan tetap menjaga suhu pusat
produk maksimal 5°C.
Sortasi
2, Fillet ikan dipisahkan berdasarkan ukuran. Sortasi harus dilakukan
dengan cepat, cermat dan saniter dengan tetap menjaga suhu pusat produk
maksimal 5°C.
Penimbangan,
Fillet ikan ditimbang satu per satu untuk mengetahui beratnya dengan
menggunakan timbangan yang telah dikalibrasi. Penimbangan harus dilakukan
dengan cepat, cermat dan saniter dengan tetap menjaga suhu pusat produk
maksimal 5°C.
Penyusunan
dalam Pan, Fillet ikan disusun dalam pan yang telah dilapisi plastik
satu per satu. Proses penyusunan harus dilakukan dengan cepat, cermat dan
saniter dengan tetap menjaga suhu pusat produk maksimal 5°C.
Pembekuan,
Fillet ikan dibekukan dengan metode pembekuan cepat hingga suhu pusat
ikan maksimal -18°C.
Penggelasan,
Fillet ikan yang telah dibekukan kemudian disemprot dengan air dingin
pada suhu 0-1°C. Proses penggelasan harus dilakukan dengan cepat, cermat dan
saniter.
Pengepakan,
Fillet ikan beku dibungkus plastik secara individual dan dimasukan dalam
master karton sesuai dengan label. Pengepakan harus dilakukan dengan cepat,
cermat dan saniter.
c.
Jaminan Mutu dan Kemanan Pangan Produk Perikanan
Pasal
8 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Pangan menyatakan bahwa setiap orang
dilarang menyelenggarakan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan,
pengangkutan, dan atau peredaran pangan dalam keadaan yang tidak memenuhi
persyaratan sanitasi[7].
Pasal
20 Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
31 tahun 2004 tentang Perikanan menyatakan bahwa 8 proses pengolahan ikan dan
produk perikanan wajib memenuhi persyaratan kelayakan pengolahan ikan dan
sistem jaminan mutu hasil perikanan. Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2004
tentang Kemanan, Mutu dan Gizi Pangan menyatakan bahwa setiap orang yang
memproduksi pangan untuk diperdagangkan bertanggung jawab menyelenggarakan
sistem jaminan mutu sesuai dengan jenis pangan yang diproduksi[8].
Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.01/MEN/2007 tentang Pengendalian
Sistem Jaminan Mutu dan Kemanan Produk Perikanan menyatakan bahwa sistem
jaminan mutu dan keamanan adalah upaya pencegahan yang harus diperhatikan dan
dilakukan sejak pra produksi sampai dengan pendistribusian untuk menghasilkan
hasil perikanan yang bermutu dan aman bagi kesehatan manusia[9].
Keputusan
Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.01/MEN/2002 tentang Sistem Manajemen
Mutu Terpadu Hasil Perikanan menyatakan bahwa Program Manajemen Mutu Terpadu
(PMMT) berdasarkan konsepsi Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP)
dianggap sesuai untuk ditetapkan sebagai sistem manajemen mutu terpadu hasil
perikanan[10].
Dalam
implementasinya, agar sistem manajemen mutu terpadu hasil perikanan dapat
berjalan secara efektif, diperlukan pemenuhan kelayakan pengolahan yang terdiri
atas Standar Prosedur Operasi Sanitasi (SPOS) dan Cara Produksi yang Baik
(CPB).
Lebih
lanjut, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.01/MEN/2007 tentang
Pengendalian Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Produk Perikanan menyatakan bahwa
setiap unit usaha yang berdasarkan hasil pengendalian dinyatakan telah memenuhi
sistem jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan dapat diberikan sertifikat,
antara lain Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP).
Peraturan
Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan selaku Otoritas
Kompeten Mutu dan Kemanan Pangan Hasil Perikanan di Indonesia Nomor
PER.010/DJ-P2HP/2010 tentang Perubahan Peraturan Direktur Jenderal Pengolahan
dan Pemasaran Hasil Perikanan No : PER 067/DJ-P2HP/2008 tentang Pedoman Teknis
Penerapan Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan menyatakan
Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP) adalah sertifikat yang diberikan kepada
UPI yang telah memiliki dan menerapkan program persyaratan dasar yaitu Good
Manufacturing Practices (GMP) atau Cara Produksi yang Baik (CPB) dan Standard
Sanitation Operating Procedure (SSOP) atau Prosedur Standar Operasi
Sanitasi (SPOS) dan atau sistem HACCP secara konsisten[11].
d.
Good Manufaturing Practices (GMP) atau Cara Produksi yang Baik
(CPB)
Pada
awalnya, Good Manufacturing Practices (GMP) atau Cara Produksi yang Baik
(CPB) adalah suatu peraturan yang dicetuskan oleh pemerintah Amerika Serikat
(US-FDA) yang menuntut sistem manajemen mutu dan keamanan pangan, penentuan
kriteria yang mampu memenuhi the Code of Federal Regulation (21 CFR
parts 110) guna memperoleh produk pangan yang bebas dari penyimpangan mutu.
Dalam
industri pangan, CPB berperan dalam menentukan apakah fasilitas, metode,
pelaksanaan dan pengontrolan yang diterapkan pada proses pengolahan pangan
adalah aman, dan apakah pangan diolah dalam kondisi sanitasi yang memadai.
Berdasarkan
definisinya, CPB adalah minimum standar sanitasi dan proses pengolahan yang
diperlukan untuk menjamin produksi pangan secara utuh (Luning et al 2002).
Lebih lanjut Luning et al (2002) menjelaskan tentang unsur-unsur CPB
yang terkandung antara lain dokumentasi dan pencatatan (recordkeeping),
kualifikasi personal/SDM (personnel qualification), sanitasi dan higiene
(Hygienee and Sanitation), verifikasi alat dan peralatan (equipment
verification), validasi proses (process validation) dan penanganan
bahan (complaint handling).
Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 23/MEN.KES/SK/I/78 tentang Pedoman
Cara Produksi yang Baik untuk Pengolahan Makanan menyatakan 13 aspek terkait
dengan cara produksi makanan yang benar sebagai berikut[12]:
1.
lokasi
Lokasi, Bangunan
harus berada ditempat yang bebas dari pencemaran seperti daerah persawahan atau
rawa, daerah pembuangan kotoran dan sampah, daerah kering dan berdebu, daerah
kotor, daerah berpenduduk padat, daerah penumpukan barang bekas, dan daerah
lain yang diduga dapat mengakibatkan pencemaran.
2.
Bangunan
Bangunan, Secara
umum bangunan dibuat berdasarkan perencanaan yang memenuhi persyaratan teknik
dan higiene sesuai dengan jenis makanan yang diproduksi sehingga mudah
dibersihkan, mudah dilaksanakan tindakan sanitasi dan mudah dipelihara.
Bangunan unit produksi harus terdiri atas ruangan pokok dan ruangan pelengkap
yang harus terpisah sehingga tidak menyebabkan pencemaran terhadap makanan yang
diproduksi. Ruang pokok yang digunakan untuk memproduksi makanan harus memenuhi
persyaratan sesuai dengan jenis dan kapasitas produksi, ukuran alat produksi
serta jumlah karyawan yang berkerja. Susunan ruangan diatur berdasarkan urutan
proses produksi sehingga tidak menimbulkan lalu lintas pekerja yang simpang
siur dan tidak mengakibatkan pencemaran makanan yang diproduksi.
Ruang
pelengkap harus memenuhi syarat luasnya sesuai dengan jumlah karyawan yang
berkerja dan susunannya diatur berdasarkan urutan kegiatan yang dilakukan.
Lantai ruangan pokok harus memenuhi syarat rapat air, tahan terhadap air,
garam, basa, asam dan atau bahan kimia lainnya, permukaannya rata, tidak licin
dan mudah dibersihkan, memiliki kelandaian cukup ke arah saluran pembuangan air
dan mempunyai saluran tempat air mengalir atau lubang pengeluaran serta
pertemuan antara lantai dan dinding tidak boleh membentuk sudut mati, harus
melengkung dan rapat air. Lantai ruang pelengkap harus memenuhi syarat rapat
air, tahan terhadap air, permukaanya datar, rata serta halus, tidak licin dan
mudah dibersihkan. Ruang untuk mandi, cuci dan sarana toilet harus mempunyai
kelandaian secukupnya ke arah saluran pembuangan.
Dinding
ruangan pokok dan pelengkap harus memenuhi persyaratan sekurang-kuranya 20 cm
di bawah dan 20 cm di atas permukaan lantai harus rapat air. Permukaan bagian
dalam harus halus, rata, berwarna terang, tahan lama, tidak mudah mengelupas,
mudah dibersihkan dan sekurang-kurangnya setinggi 2 meter dari lantai harus
rapat air, tahan terhadap air, basa asam dan bahan kimia lainnya. Pertemuan
antara dinding dengan dinding dan dinding dengan lantai tidak boleh membentuk
sudut mati, harus melengkung dan rapat air.
Atap ruangan
pokok dan pelengkap harus memenuhi persyaratan terbuat dari bahan tahan lama,
tahan terhadap air dan tidak bocor. Langit-langit ruangan pokok dan pelengkap
harus memenuhi persyaratan dibuat dari bahan yang tidak mudah melepaskan
bagiannya, tidak terdapat lubang dan tidak retak, tahan lama dan mudah
dibersihkan, tinggi dari lantai sekurang-kuranya 3 meter, permukaan rata,
berwarna terang. Khusus ruangan pokok ditambahkan syarat tidak mudah
mengelupas, rapat air bagi tempat pengolahan yang menimbulkan atau menggunakan
uap air.
Pintu ruangan
pokok dan pelengkap harus memenuhi syarat dibuat dari bahan yang tahan lama,
permukaannya rata, halus, berwarna terang dan mudah dibersihkan, dapat ditutup
dengan baik dan membuka ke luar.
Jendela harus
memenuhi syarat dibuat dari bahan yang tahan lama, permukaannya rata, halus,
mudah dibersihkan dan berwarna terang, sekurang-kurangnya setinggi 1 meter dari
lantai, luasnya sesuai dengan besarnya bangunan. Penerangan di ruangan pokok
dan pelengkap harus terang sesuai dengan keperluan dan persyaratan kesehatan.
Ventilasi dan
pengatur suhu pada ruang pokok maupun pelengkap baik secara alami maupun buatan
harus memenuhi persyaratan cukup menjamin peredaran udara dengan baik dan dapat
menghilangkan uap, gas, debu, asap dan panas yang dapat merugikan kesehatan,
dapat mengatur suhu yang diperlukan, tidak boleh mencemari hasil produksi
melalui udara yang dialirkan serta lubang ventilasi harus dilengkapi dengan
alat yang dapat mencegah masuknya serangga dan mengurangi masuknya kotoran ke
dalam ruangan serta mudah dibersihkan.
3.
Fasilitas Sanitasi
Bangunan
harus dilengkapi dengan fasilitas sanitasi yang dibuat berdasarkan perencanaan
yang memenuhi persyaratan teknik dan higiene. Bangunan harus dilengkapi dengan
sarana penyediaan air yang pada pokoknya terbagi atas sumber air, perpipaan
pembawa, tempat persediaan air dan perpipaan pembagi. Sarana penyediaan air harus
dapat menyediakan air yang cukup bersih sesuai dengan kebutuhan produksi pada
khususnya dan kebutuhan perusahaan pada umumnya.
Bangunan
harus dilengkapi dengan sarana pembuangan yang pada pokoknya terdiri atas
saluran dan tempat pembuangan buangan akhir, tempat buangan padat, sarana
pengolahan buangan dan saluran pembuangan buangan terolah. Sarana pembuangan
harus dapat mengolah dan membuang buangan padat, cair dan atau gas yang dapat
mencemari lingkungan.
Sarana toilet
letaknya tidak langsung ke ruang proses pengolahan, dilengkapi dengan bak cuci
tangan, diberi tanda pemberitahuan bahwa setiap karyawan harus mencuci tangan
dengan sabun dan atau ditergen sesudah menggunakan toilet dan disediakan dalam
jumlah cukup sesuai dengan jumlah karyawan.
Sarana cuci
tangan harus diletakan di tempat yang diperlukan, dilengkapi dengan air
mengalir yang tidak boleh dipakai berulang kali, dilengkapi dengan sabun atau
ditergen, handuk atau alat lain untuk mengeringkan tangan dan tempat sampah
berpenutup serta disediakan dengan jumlah yang sesuai dengan jumlah karyawan.
4. Alat
Produksi
Alat dan
perlengkapan yang dipergunakan untuk memproduksi makanan harus dibuat
berdasarkan perencanaan yang memenuhi persyaratan teknik dan higiene. Alat dan
perlengkapan harus memenuhi syarat sesuai dengan jenis produksi, permukaan yang
berhubungan dengan makanan harus halus, tidak berlubang atau bercelah, tidak
mengelupas dan tidak berkarat, tidak mencemari hasil produksi dengan jasad
renik, unsur atau fragmen logam yang lepas, minyak pelumas, bahan bakar dan
lain-lain serta mudah dibersihkan.
5. Bahan
Bahan baku,
bahan tambahan dan bahan penolong yang digunakan untuk memproduksi makanan
tidak boleh merugikan atau membahayakan kesehatan manusia dan harus memenuhi
standar mutu atau persyaratan yang ditetapkan. Terhadap bahan baku, bahan
tambahan dan bahan penolong sebelum digunakan harus dilakukan pemeriksaan
secara organoleptik, fisika, kimia, biologi dan atau mikrobiologi.
6. Proses
Pengolahan
Untuk setiap
jenis produk harus ada formula dasar yang menyebutkan jenis bahan baku, bahan
tambahan dan bahan penolong yang digunakan serta persyaratan mutunya, jumlah
bahan untuk satu kali pengolahan, tahap-tahap proses pengolahan, langkah yang
diperlukan dalam proses pengolahan dengan mengingat faktor waktu, suhu,
kelembaban, tekanan dan sebagainya sehingga tidak menyebabkan peruraian,
pembusukan, kerusakan dan pencemaran produk akhir, jumlah hasil yang diperoleh
untuk satu kali pengolahan, uraian mengenai wadah, label, serta cara perwadahan
dan pembungkusan, cara pemeriksaan bahan, produk antara dan produk akhir.
Untuk setiap
satuan pengolahan harus ada instruksi tertulis dalam bentuk protokol pembuatan
yang menyebutkan nama makanan, tanggal pembuatan dan nomor kode, tahapan
pengolahan dan hal-hal yang perlu diperhatikan selama proses pengolahan, jumlah
hasil pengolahan dan hal lain yang dianggap perlu.
7. Produk
Akhir
Produk akhir
harus memenui standar mutu atau persyaratan yang ditetapkan dan tidak boleh
merugikan dan membahayakan kesehatan. Sebelum produk akhir diedarkan harus
dilakukan pemeriksaan secara organoleptik, fisika, kimia, biologi dan atau
mikrobiologi.
8.
Laboratorium
Perusahaan
yang memproduksi jenis makanan tertentu yang ditetapkan menteri harus mempunyai
laboratorium untuk melakukan pemeriksaan terhadap bahan baku, bahan tambahan
dan bahan penolong yang digunakan serta produk akhir. Untuk setiap pemeriksaan
harus ada protokol perusahaan yang menyebutkan nama makanan, tanggal pembuatan,
tanggal pengambilan contoh, jumlah contoh yang diambil, kode produksi, jenis
pemeriksaan yang dilakukan, kesimpulan pemeriksaan, nama pemeriksa dan hal lain
yang diperlukan.
9.
Karyawan
Karyawan yang
berhubungan dengan produksi makanan harus dalam keadaan sehat, bebas dari luka,
penyakit kulit, dan atau hal lain yang diduga dapat mencemari hasil produksi,
diteliti dan diawasi kesehatannya secara berkala, mengenakan pakaian kerja,
termasuk sarung tangan, tutup kepala dan sepatu yang sesuai, mencuci tangan
dibak cuci sebelum melakukan pekerjaan, menahan diri untuk tidak makan, minum,
merokok, meludah atau melakukan tidakan lain selama pekerjaan yang dapat
mengakibatkan pencemaran terhadap produk makanan dan tidak merugikan karyawan
lain. Perusahaan yang memproduksi makanan harus menunjuk dan menetapkan
penanggung jawab untuk bidang produksi dan pengawasan mutu yang memiliki
kualifikasi sesuai tugas dan tanggung jawabnya.
10. Wadah
dan Pembungkus
Wadah dan
pembungkus makanan harus memenuhi syarat dapat melindungi dan mempertahankan
mutu isinya terhadap pengaruh luar, tidak berpengaruh terhadap isi, dibuat dari
bahan yang tidak melepaskan bagian atau unsur yang dapat menggangu kesehatan
atau mempengaruhi mutu makanan, menjamin keutuhan dan keaslian isinya, tahan
terhadap perlakuan selama pengolahan, pengangkutan dan peredaran dan tidak
boleh merugikan atau membahayakan konsumen. Sebelum digunakan wadah harus
dibersihkan dikenakan tindakan sanitasi, steril bagi jenis produk yang akan
diisi secara aseptik.
11. Label
Label makanan
harus memenuhi ketentuan, dibuat dengan ukuran, kombinasi warna dan atau bentuk
yang berbeda untuk tiap jenis makanan agar mudah dibedakan.
12. Penyimpanan
Bahan baku,
bahan tambahan dan bahan penolong serta produk akhir harus disimpan terpisah
dalam masing-masing ruangan yang bersih, bebas serangga, binatang pengerat dan
atau binatang lain, terjamin peredaran udara dan suhu yang sesuai. Bahan baku,
bahan pembantu, bahan penolong serta produk akhir harus ditandai dan
ditempatkan sedemikian rupa hingga jelas dapat dibedakan antara yang belum dan
sudah diperiksa, memenuhi syarat dan tidak memenuhi syarat, bahan yang
terdahulu diterima diproses lebih dahulu dan produk akhir yang terdahulu dibuat
diedarkan lebih dahulu.
Bahan
berbahaya seperti insektisida, rodentisida, desinfektan dan lain-lain harus
disimpan dalam ruangan tersendiri dan diawasi sedemikian rupa hingga tidak
membahayakan atau mencemari bahan baku, bahan tambahan, bahan penolong dan
produk akhir.
Wadah dan
pembungkus harus disimpan secara rapi ditempat bersih dan terlindung dari
pencemaran. Label harus disimpan secara baik dan diatur sedemikian rupa hingga
tidak terjadi kesalahan penggunaan. Alat dan perlengkapan produksi yang telah
dibersihkan dan dikenakan tindakan sanitasi yang belum digunakan harus disimpan
sedemikian rupa hingga terlindung dari debu dan pencemaran lain.
13.
Pemeliharaan
Bangunan dan
bagian-bagiannya harus dipelihara dan dikenakan tindakan sanitasi secara
teratur dan berkala, hingga selalu dalam keadaan bersih dan berfungsi baik.
Harus
dilakukan usaha pencegahan masuknya serangga, binatang pengerat, unggas dan
binatang lain ke dalam bangunan. Pembasmian jasad renik, serangga dan binatang
pengerat dengan menggunakan desinfektan, insektisida, atau rodentisida harus
dilakukan dengan hati-hati dan harus dijaga serta dibatasi sedemikian rupa
hingga tidak menyebabkan gangguan kesehatan manusia dan tidak menimbulkan
pencemaran terhadap bahan baku, bahan tambahan, bahan penolong serta produk
akhir.
Buangan padat
harus dikumpulkan untuk dikubur, dibakar atau diolah sehingga aman. Buangan air
harus diolah terlebih dahulu sebelum dialirkan ke luar. Buangan gas harus
diatur atau diolah sedemikian rupa hingga tidak mengganggu kesehatan karyawan
dan tidak menimbulkan pencemaran lingkungan.
Alat dan
perlengkapan yang digunakan untuk memproduksi makanan harus dibersihkan dan
dikenakan tindakan sanitasi secara teratur sehingga tidak menimbulkan pencemaran
terhadap produk akhir. Alat dan perlengkapan yang tidak berhubungan dengan
makanan harus selalu dalam keadaan bersih.
Alat
pengangkutan dan alat pemindahan barang dalam bangunan unit pengolahan harus
bersih dan tidak boleh merusak barang yang diangkut atau dipindahkan, baik
bahan baku, bahan tambahan, bahan penolong maupun produk akhir. Alat
pengangkutan untuk mengedarkan produk akhir harus bersih, dapat melindungi
produk baik fisik maupun mutunya sampai ke tempat tujuan.
Dalam
implementasinya, CPB dapat berperan untuk menghasilkan suatu produk pangan yang
bermutu dan aman bagi kesehatan. Sebelumnya, baik-buruknya mutu produk
ditentukan dengan mengandalkan pengujian akhir di laboratorium. Namun hal itu
ternyata tidak efektif, sehingga diperlukan adanya penerapan sistem jaminan
mutu dan sistem manajemen lingkungan, dan sistem produksi pangan yang baik (Cara
Produksi yang Baik). Dengan menerapkan CPB diharapkan produsen pangan dapat
menghasilkan produk makanan yang bermutu, aman dikonsumsi dan sesuai dengan
tuntutan konsumen, bukan hanya konsumen lokal tetapi juga konsumen global
(Fardiaz, 1997).
Direktorat
Jenderal Perikanan (2000) menyatakan penerapan CPB dimaksudkan untuk lebih
meningkatkan jaminan dan konsistensi mutu dari produk yang dihasilkan. Oleh
karena itu dalam menyusun CPB maka perlu dirinci hal-hal yang menyangkut fungsi
atau tujuan dari suatu tahapan proses pengolahan dan perlakuan/kondisi yang
dipersyaratkan dalam proses pengolahan ikan, yang pada umumnya terkait dengan
waktu dan temperatur, pemakaian klor atau bahan untuk mencapai tujuan dari
proses pengolahan yang dilakukan.
Jika diamati
secara seksama, keberadaan dan standar fillet ikan di kecamatan
dukuhseti setidaknya belum sampai memenuhi standar yang tertuang Pasal 8
Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Pangan yang menyatakan bahwa setiap
orang dilarang menyelenggarakan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan,
pengangkutan, dan atau peredaran pangan dalam keadaan yang tidak memenuhi
persyaratan sanitasi dan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan menyatakan
bahwa 8 proses pengolahan ikan dan produk perikanan wajib memenuhi persyaratan
kelayakan pengolahan ikan dan sistem jaminan mutu hasil perikanan. Peraturan
Pemerintah Nomor 28 tahun 2004 tentang Kemanan, Mutu dan Gizi Pangan menyatakan
bahwa setiap orang yang memproduksi pangan untuk diperdagangkan bertanggung
jawab menyelenggarakan sistem jaminan mutu sesuai dengan jenis pangan yang
diproduksi.
Disisi lain,
hal ini tidak harus serta merta di hentikan karena menyangkut hidup ribuan
karyawan, yang rata-rata berpendidikan rendah, atau bahkan maroritas dari
mereka tidak menamatkan pendidikan dasar, yang jika dihentikan dengan paksa
akan pasti menelantarkan banyak tenaga kerja tersebut. Dengan demikian tentu
pengambilan kebijkan pemerintah sangat
diperlukan dalam masalah ini. Hal ini akan penulis telaah dalam kajian dibawah
ini.
B.
KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG INDUSTRY FILLET IKAN DI
KECAMATAN DUKUHSETI
A. Konflik Sosial Akibat Keberadaan Fillet Ikan Di Kecamatan Dukuhseti
Sekitar satu tahun yang lahu, hampir
terjadi konflik social antar warga yang menjadi isu dalam hal ini adalah dampak
polusi lingkungan akibat keberadaan industry rumahtangga fillet ikan.
Kejadian ini, berlangsung sangat
menegangkan karena diikuti dua kubu yang berlainan. Satu pihak adalah kelompok
yang menolak keberadaan industry ini, sedangkan satu pihak lagi adalah pemilik
serta karyawan industry fillet yang tida terima tempat mencari nafkahnya
ditutup.
Kejadian ini sampai melibatkan aparat
Desa, kepolisian dan juga kecamatan, bahkan isu ini juga dibawa sampai
kabupaten Pati, oleh pihak-pihak yang menentang keberadaan industry rumahan
ini.
Banyak orang berpendapat bahwa konflik
terjadi karena adanya perebutan sesuatu yang jumlahnya terbatas. Adapula yang
berpendapat bahwa konflik muncul karena adanya ketimpangan-ketimpangan dalam
masyarakat, terutama antara kelas atas dan kelas bawah. Selain itu juga karena
adanya perbedaan-perbedaan kepentingan, kebutuhan, dan tujuan dari masing
masing anggota masyarakat.
Untuk mengekplanasi hal tersebut maka
penulis akan menyertakan beberapa teori yang dikemukakan oleh Soerjono
Soekanto[13]
tentang sebab sebab terjadinya konflik antara lain sebagai berikut:
1. Perbedaan Antar perorangan
Perbedaan
ini dapat berupa perbedaan perasaan, pendirian, atau pendapat. Hal ini
mengingat bahwa manusia adalah individu yang unik atau istimewa, karena tidak
pernah ada kesamaan yang baku antara yang satu dengan yang lain.
Perbedaan-perbedaan
inilah yang dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya konflik sosial, sebab
dalam menjalani sebuah pola interaksi sosial, tidak mungkin seseorang akan
selalu sejalan dengan individu yang lain. Misalnya dalam suatu diskusi kelas,
kamu bersama kelompokmu kebetulan sebagai penyaji makalah. Pada satu
kesempatan, ada temanmu yang mencoba untuk mengacaukan jalannya diskusi dengan
menanyakan hal-hal yang sebetulnya tidak perlu dibahas dalam diskusi tersebut.
Kamu yang bertindak selaku moderator melakukan interupsi dan mencoba meluruskan
pertanyaan untuk kembali ke permasalahan pokok. Namun temanmu (si penanya) tadi
menganggap kelompokmu payah dan tidak siap untuk menjawab pertanyaan. Perbedaan
pandangan dan pendirian tersebut akan menimbulkan perasaan amarah dan benci
yang apabila tidak ada kontrol terhadap emosional kelompok akan terjadi
konflik.
2. Perbedaan Kebudayaan
Perbedaan
kebudayaan mempengaruhi pola pemikiran dan tingkah laku perseorangan dalam
kelompok kebudayaan yang bersangkutan. Selain perbedaan dalam tataran
individual, kebudayaan dalam masing-masing kelompok juga tidak sama. Setiap
individu dibesarkan dalam lingkungan kebudayaan yang berbeda-beda. Dalam
lingkungan kelompok masyarakat yang samapun tidak menutup kemungkinan akan
terjadi perbedaan kebudayaan, karena kebudayaan lingkungan keluarga yang
membesarkannya tidak sama. Yang jelas, dalam tataran kebudayaan ini akan
terjadi perbedaan nilai dan norma yang ada dalam lingkungan masyarakat. Ukuran
yang dipakai oleh satu kelompok atau masyarakat tidak akan sama dengan yang
dipakai oleh kelompok atau masyarakat lain. Apabila tidak terdapat rasa saling
pengertian dan menghormati perbedaan tersebut, tidak menutup kemungkinan faktor
ini akan menimbulkan terjadinya konflik sosial. Contohnya seseorang yang
dibesarkan pada lingkungan kebudayaan yang bersifat individualis dihadapkan
pada pergaulan kelompok yang bersifat sosial. Dia akan mengalami kesulitan
apabila suatu saat ia ditunjuk selaku pembuat kebijakan kelompok. Ada
kecenderungan dia akan melakukan pemaksaan kehendak sehingga kebijakan yang
diambil hanya menguntungkan satu pihak saja. Kebijakan semacam ini akan di
tentang oleh kelompok besar dan yang pasti kebijakan tersebut tidak akan
diterima sebagai kesepakatan bersama. Padahal dalam kelompok harus
mengedepankan kepentingan bersama. Di sinilah letak timbulnya pertentangan yang
disebabkan perbedaan kebudayaan.
Contoh
lainnya adalah seseorang yang berasal dari etnis A yang memiliki kebudayaan A,
pindah ke wilayah B dengan kebudayaan B. Jika orang tersebut tetap membawa
kebudayaan asal dengan konservatif, tentu saja ia tidak akan diterima dengan
baik di wilayah barunya. Dengan kata lain meskipun orang tersebut memiliki
pengaruh yang kuat, alangkah lebih baik jika tetap melakukan penyesuaian
terhadap kebudayaan tempat tinggalnya yang baru.
3. Bentrokan Kepentingan
Bentrokan
kepentingan dapat terjadi di bidang ekonomi, politik, dan sebagainya. Hal ini
karena setiap individu memiliki kebutuhan dan kepentingan yang berbeda dalam
melihat atau mengerjakan sesuatu. Demikian pula halnya dengan suatu kelompok
tentu juga akan memiliki kebutuhan dan kepentingan yang tidak sama dengan
kelompok lain. Misalnya kebijakan mengirimkan pemenang Putri Indonesia untuk
mengikuti kontes ‘Ratu Sejagat’ atau ‘Miss Universe’. Dalam hal ini pemerintah
menyetujui pengiriman tersebut, karena dipandang sebagai kepentingan untuk
promosi kepariwisataan dan kebudayaan. Di sisi lain kaum agamis menolak
pengiriman itu karena dipandang bertentangan dengan norma atau adat ketimuran
(bangsa Indonesia). Bangsa Indonesia yang selama ini dianggap sebagai suatu
bangsa yang menjunjung tinggi budaya timur yang santun, justru merelakan
wakilnya untuk mengikuti kontes yang ternyata di dalamnya ada salah satu
persyaratan yang mengharuskan untuk berfoto menggunakan swim suit (pakaian
untuk berenang).
4. Perubahan Sosial yang Terlalu Cepat di
dalam Masyarakat
Perubahan
tersebut dapat menyebabkan terjadinya disorganisasi dan perbedaan pendirian
mengenai reorganisasi dari sistem nilai yang baru. Perubahan-perubahan yang
terjadi secara cepat dan mendadak akan membuat keguncangan proses-prosessosial
di dalam masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk
perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehidupan masyarakat yang telah
ada. Sebenarnya perubahan adalah sesuatu yang wajar terjadi, namun jika
terjadinya secara cepat akan menyebabkan gejolak sosial, karena adanya
ketidaksiapan dan keterkejutan masyarakat, yang pada akhirnya akan menyebabkan
terjadinya konflik sosial.
Contohnya
kenaikan BBM, termasuk perubahan yang begitu cepat. Masyarakat banyak yang
kurang siap dan kemudian menimbulkan aksi penolakan terhadap perubahan
tersebut.
Selain
yang disebutkan di atas, proses sosial dalam masyarakat ada juga yang
menyebabkan atau berpeluang menimbulkan konflik adalah persaingan
dankontravensi.
1. Persaingan (Competition)
Dalam persaingan individu atau kelompok
berusaha mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan yang pada suatu
masa tertentu menjadi pusat perhatian umum. Cara yang dilakukan untuk mencapai
tujuan itu adalah dengan menarik perhatian atau mempertajam prasangka yang
telah ada tanpa menggunakan ancaman atau kekerasan.
Jika dikelompokkan, ada dua macam persaingan,
yaitu persaingan yang bersifat pribadi dan tidak pribadi atau kelompok.
Persaingan pribadi merupakan persaingan yang dilakukan orang per orang atau
individu untuk memperoleh kedudukan dalam organisasi. Persaingan kelompok,
misalnya terjadi antara dua macam perusahaan dengan produk yang sama untuk
memperebutkan pasar di suatu wilayah.
Persaingan pribadi dan kelompok menghasilkan
beberapa bentuk persaingan, antara lain persaingan di bidang ekonomi,
kebudayaan, kedudukan dan peranan, dan persaingan ras.
a. Persaingan di Bidang Kebudayaan
Persaingan di bidang kebudayaan merupakan
persaingan antara dua kebudayaan untuk memperebutkan pengaruh di suatu wilayah.
Persaingan kebudayaan misalnya terjadi antara kebudayaan pendatang dengan
kebudayaan penduduk asli. Bangsa pendatang akan berusaha agar kebudayaannya
dipakai di wilayah di mana ia datang. Begitu pula sebaliknya, penduduk asli
akan berusaha agar bangsa pendatang menggunakan kebudayaannya dalam kehidupan.
c. Persaingan Kedudukan dan Peranan
Apabila
dalam diri seseorang atau kelompok terdapat keinginan-keinginan untuk diakui
sebagai orang atau kelompok yang mempunyai kedudukan dan peranan terpandang
maka terjadilah persaingan. Kedudukan dan peranan yang dikejar tergantung pada
apa yang paling dihargai oleh masyarakat pada suatu masa tertentu.
d. Persaingan Ras
Persaingan ras sebenarnya juga merupakan
persaingan di bidang kebudayaan. Perbedaan ras baik perbedaan warna kulit,
bentuk tubuh, maupun corak rambut hanya merupakan suatu perlambang kesadaran
dan sikap atau perbedaan-perbedaan dalam kebudayaan. Persaingan dalam
batas-batas tertentu memiliki fungsi.
Berikut ini adalah beberapa fungsi persaingan:
(1) alat untuk mengadakan seleksi atas dasar jenis kelamin dan sosial; (2) menyalurkan keinginan individu atau kelompok yang bersifat kompetitif;
(3) jalan untuk menyalurkan keinginan, kepentingan, serta nilai-nilai yang pada suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian sehingga tersalurkan dengan baik oleh mereka yang bersaing; (4) alat untuk menyaring para warga golongan fungsional sehingga menghasilkan pembagian kerja yang efektif.
(1) alat untuk mengadakan seleksi atas dasar jenis kelamin dan sosial; (2) menyalurkan keinginan individu atau kelompok yang bersifat kompetitif;
(3) jalan untuk menyalurkan keinginan, kepentingan, serta nilai-nilai yang pada suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian sehingga tersalurkan dengan baik oleh mereka yang bersaing; (4) alat untuk menyaring para warga golongan fungsional sehingga menghasilkan pembagian kerja yang efektif.
Persaingan dalam segala bentuknya akan
menghasilkan hal-hal yang bersifat positif maupun negatif. Hal-hal positif yang
dihasilkan dengan adanya persaingan, antara lain makin kuatnya solidaritas
kelompok, dicapainya kemajuan, dan terbentuknya kepribadian seseorang.
a. Makin Kuatnya Solidaritas Kelompok
Persaingan yang dilakukan dengan jujur akan
menyebabkan individu saling menyesuaikan diri dalam hubungan sosialnya. Dengan
demikian, keserasian dalam kelompok akan tercapai. Hal itu bisa tercapai
apabila persaingan dilakukan dengan jujur.
b. Dicapainya Kemajuan
Persaingan akan lebih banyak dijumpai pada
masyarakat yang maju dan berkembang pesat. Untuk itu, individu yang berada
dalam masyarakat tersebut harus mampu menyesuaikan diri dengan keadaan
tersebut. Persaingan akan menyebabkan seseorang terdorong untuk bekerja keras
supaya dapat berperan dalam masyarakat.
c. Terbentuknya Kepribadian Seseorang
Persaingan yang dilakukan dengan jujur dapat
menimbulkan tumbuhnya rasa sosial dalam diri seseorang. Namun sebaliknya,
persaingan juga bisa menimbulkan hal yang negatif, yaitu terciptanya
disorganisasi. Adanya disorganisasi karena masyarakat hampir tidak diberi
kesempatan untuk menyesuaikan diri dan melakukan reorganisasi saat terjadi
perubahan. Hal itu disebabkan karena perubahan yang terjadi bersifat cepat atau
revolusi.
2. Kontravensi
Kontravensi berasal dari bahasa Latin, contra
dan venire yang berarti menghalangi atau menantang. Kontravensi merupakan usaha
untuk menghalang-halangi pihak lain dalam mencapai tujuan. Tujuan utama
tindakan dalam kontravensi adalah menggagalkan tercapainya tujuan pihak lain.
Hal itu dilakukan karena rasa tidak senang atas keberhasilan pihak lain yang
dirasa merugikan. Namun demikian, dalam kontravensi tidak ada maksud untuk
menghancurkan pihak lain.
Menurut Leopold von Wiese dan Howard
Becker ada lima macam bentuk kontravensi.
a. Kontravensi umum, antara lain dilakukan dengan
penolakan, keengganan, perlawanan, perbuatan menghalanghalangi, protes,
gangguan-gangguan, dan kekerasan.
b. Kontravensi sederhana, antara lain dilakukan
dengan menyangkal pernyataan pihak lain di depan umum, memakimaki orang lain
melalui selebaran, mencerca, dan memfitnah.
c. Kontravensi intensif, antara lain dilakukan
dengan menghasut, menyebarkan desas-desus, dan mengecewakan pihak lain.
d. Kontravensi rahasia, antara lain dilakukan
dengan pengkhianatan dan mengumumkan rahasia pihak lain.
e. Kontravensi taktis, antara lain dilakukan
dengan mengejutkan lawan dan mengganggu pihak lain.
B.
Kebijakan Pemerintah Untuk Ketahanan Ekonomi Masyarakat Kecamatan
Dukuhseti Pati
Terkait
hal tersebut diatas pemerintah telah mengambil beberapa kebijakan, dalam hal
ini kawal depannya adalah pemerintah desa Dukuhseti dan Pemerintah Desa
Banyutowo. Pertama: pemerintah desa telah memantau dan memberikan
pengarahan serta bimbingan secara praktis penanganan limbah dan serta tatacara
pembuangannya. Kedua: terkait dengan adanya keberatan dari sebagian
warga desa yang mengeluhkan pencemaran udara, pemerintah desa yang dipimpin
langsung kepala Desa melakukan mediasi yang dibantu aparat kecamatan Dukuhseti
dan aparat kabupaten Pati, untuk memperoleh solusi-solusi terbaik diantara
kedua belah pihak. Ketiga: jika untuk kedepannya diadakan penambahan dan
atau pemekaran tempat produksi harus mendapat ijin dari pemerintah desa
sehingga sebelum beroperasi sudah diyatakan layak atau tidaknya. Keempat:
Pemilik Industri rumahtangga tersebut diharuskan mengurus perijinan kementrihan
industry dan Perdagangam.
Kebijakan
pemerintah yang telah diambil ataupun yang nantinya akan diambil diharapkan
mampu memecahkan persoalan masyarakat yang sedang dihadapi. Hal tersebut juga
harus memperhatikan ketahanan ekonomi[14]
masyarakat yang berada diwilayah kecamatan dukuhseti khususnya dan masyarakat
wilayah Kabupaten Pati pada umumnya.
V.
SARAN-SARAN
1.
Kepada
pemerintah Kabupaten Pati dengan mempertimbangkan masukan dari pemerintah Desa
dan kecamatan sebaiknya mengeluarkan perda terkait Fillet ikan yang ada
di wilayah yuridiksinya dan agar tidak terjadi lagi konflik social diantara
warga.
2.
Kepada
Pemerintah Desa setempat dengan memperhatikan tokoh masyarakat dan sesepuh adat
sebaiknya mengeluarkan Peraturan Desa yang dapat mengatur serta menjadi panduan
dalam kegiatan Industri rumah tangga fillet ikan di kelurahan
masing-masing diwilayah kecamatan Dukuhseti.
3.
Kepada
warga desa setempat mencadi keniscayaan untuk menjunjung nilai-nila luruh
setempat dengan mengedepankan musyawarah mufakat dalam menyelesaikan suatu
masyalah yang dihadapi.
DAFTAR PUSTAKA
Budiyono. Sosiologi 2. Jakarta: Pusat
Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional, 2009
Http://id.wikipedia.org/wiki/Dukuhseti,_Pati. Akses 23
September 2013 pukul 09.00 WIB
Http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_konflik diakses
tanggal 23 Nopember 2013.
Keputusan
Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.01/MEN/2002 tentang Sistem Manajemen
Mutu Terpadu Hasil Perikanan
Keputusan
Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.01/MEN/2002 tentang Sistem Manajemen
Mutu Terpadu Hasil Perikanan
Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 23/MEN.KES/SK/I/78 tentang Pedoman
Cara Produksi yang Baik untuk Pengolahan Makanan
Peraturan
Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan selaku Otoritas
Kompeten Mutu dan Kemanan Pangan Hasil Perikanan di Indonesia Nomor
PER.010/DJ-P2HP/2010 tentang Perubahan Peraturan Direktur Jenderal Pengolahan
dan Pemasaran Hasil Perikanan No : PER 067/DJ-P2HP/2008 tentang Pedoman Teknis
Penerapan Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan
Undang-Undang
Nomor 45 tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004
tentang Perikanan dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2004 tentang Kemanan,
Mutu dan Gizi Pangan
Undang-Undang
Nomor 7 tahun 2004 tentang Pangan
Wrahatnala, Bondet. Sosiologi 2.
Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional. 2009.
[1] Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan
ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan
tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan,
adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawa sertanya ciri-ciri
individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap
masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik
antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan
hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Dalam sosiologi, kita
mengenal adanya teori konflik yang berupaya memahami konflik dari sudut pandang
ilmu sosial. Teori konflik adalah sebuah teori yang memandang bahwa perubahan
sosial tidak terjadi melalui proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa
perubahan, tetapi terjadi akibat adanya konflik yang menghasilkan
kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula. Teori konflik lahir
sebagai sebuah antitesis dari teori struktural fungsional yang memandang
pentingnya keteraturan dalam masyarakat (lihat:http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_konflik) diakses tanggal 23 Nopember 2013.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
data terbarau penulis belum menemukannya, namun dapat dipastikan dalam
waktu 7 tahun terakhir jumlah penduduknya mengalami peningkatan.
[5]
Sistem borongan yaitu upah kerja karyawan berdasarkan banyak atau sedikitnya
hasil yang didapat, jika memperoleh hasil banyak dalam pekerjaannya akan
mendapat upah banyak, jika mendapatkan hasil sedikit dalam pekerjaanya, upah
yang diterima juga sedikit.
[6] Jam
kerja ini tergantung jumlah banyak sedikitnya ikan yang difillet, jika ikan
berjumlah banyak karyawan dipersilahkan menambah jam kerja, jika ikan yang
fifillet sedikit, jam kerja bias berkurang.
[7]
Lebih lanjut dapat dibaca dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Pangan
[8]
Lebih lanjut dapat dibaca dalam Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan dan
Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2004 tentang Kemanan, Mutu dan Gizi Pangan
[9]
Lebih lanjut dapt dibaca dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
KEP.01/MEN/2002 tentang Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan
[10]
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.01/MEN/2002 tentang Sistem
Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan
[11]
Peraturan Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan selaku
Otoritas Kompeten Mutu dan Kemanan Pangan Hasil Perikanan di Indonesia Nomor
PER.010/DJ-P2HP/2010 tentang Perubahan Peraturan Direktur Jenderal Pengolahan
dan Pemasaran Hasil Perikanan No : PER 067/DJ-P2HP/2008 tentang Pedoman Teknis
Penerapan Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan
[12]
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 23/MEN.KES/SK/I/78 tentang
Pedoman Cara Produksi yang Baik untuk Pengolahan Makanan
[13]
Untuk mengetahu lebih detail dapat dibaca bukunya Budiyono. 2009. Sosiologi 2. Jakarta:
Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional dan bukunya Wrahatnala, Bondet.
2009. Sosiologi 2. Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan
Nasional.
[14]
Ketahanan ekonomi biasanya diartikan segala kegiatan pemerintah
dan masyarakat di dalam pengelolaan faktor produksi, yaitu bumi, sumber alam,
tenaga kerja, teknologi, dan manajemen didalam produksi serta distribusi barang
dan jasa demi kesejahteraan rakyat, baik fisi material maupun mental spiritual
Comments
Post a Comment