HUKUM SYARI’AH DALAM PEMBANGUNAN SISITEM HUKUM NASIONAL
INTEGRASI HUKUM SYARI’AH DALAM PEMBANGUNAN
SISITEM HUKUM NASIONAL
GUNA
MEWUJUDKAN MASYARAKAT MADANI DI INDONESIA
Oleh:
Nur Moklis
I.
PENDAHULUAN
Jauh sebelum pemerintah kolonia Belanda menginjakkan kakinya di Indonesia,
telah ada masyarakat islam yang kuat di Indonesia. Pada saat itu islam tidak hanya menjadi agama bagi mereka, akan
tetapi juga menjadi suatu aturan yang harus dijalani di daerah tersebut. Hal
ini dapat dilihat dari berdirinya kerajaan syari’ah pertama di Indonesia yaitu Kerajaan Sultan
Pasai di Aceh. Dan pada saat itu hukum syari’ah pun telah diterapkan di Indonesia, contohnya
hukuman rajam yang pernah dilakukan di Aceh, potong tangan dan hukuman-hukuam
lainnya juga pernah diterapkan di Indonesia.
Setelah pemerintah kolonial Belanda datang ke Indonesia, dan mereka pun
memiliki sistem hukum yang lebih kuat mulai menerapkan politik hukum Belanda
pada awal abad ke-19. Dan politik hukum mereka bertujuan untuk menghilangkan
hukum syari’ah di Indonesia. Lalu
muncullah “hukum adat”,[1]
kemudian hukum syari’ah yang telah mentradisi dalam masyarakat
tersebut disebut dengan hukum adat, sehingga tidak ada lagi hukum syari’ah.
Pada 1918 Belanda memberlakukan Kitab Undang-undang Hukum Pidana untuk seluruh golongan yang
ada di Hindia Belanda. Dan undang-undang itu lah yang sampai saat ini masih
diberlakukan di Indonesia.
Maka lama-kelamaan ada suatu usaha untuk mengintegrasikan hukum syari’ah ke dalam hukum positif/hukum nasiaonal,
tindakan ini seiringan dengan upaya pembaharuan KUHP Indonesia yang merupakan
peninggalan Belanda sejak 1918. Akan tetapi walaupun didukung oleh banyak
alasan yang kuat untuk mengadakan pembaharuan atas KUHP, upaya integrasi hukum syari’ah
dalam hukum nasional tidaklah mudah,
sejarah menunjukkan kepada kita bahwa upaya integrasi ini berjalan
tertatih-tatih. Upaya penyusunan RUU KUHP yang telah lama dirilis pun masih mandek dalam pembahasan DPR.
Sampai sekarang ini telah bayak
integrasi hukum syari’ah dalam
pembangunan hokum nasional. Contonya pada 1991 telah
diberlakukan Kompilasi Hukum Islam (KHI)[2],
dan pada tahun 2008 telah disahkan
penggunaan Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES)[3]
sedangkan Hukum
Pidana Syari’ah
(jinayat) pada saat ini telah diberlakukan di seluruh wilayah provinsi
Aceh[4].
Apabila diperhatikan keberadaan
hukum syari’ah dalam pembangunan
sistem hukum nasional dapat dibedakan dalam
empat bentuk, yaitu: (1) Ada
dalam arti sebagai bagian integral dari hukum nasional indonesia. (2) Ada dalam arti di akui kemandirian,
kekuatan dan wibawanya oleh hukum nasional dan diberi status sebagai hukum
nasional. (3) Ada
dalam fungsinya sebagai penyaring bagi materi-materi hukum nasional indonesia. (4) Ada dalam arti sebagai bahan utama
dan unsur utama bagi pembenukan hukum nasional.
II.
RUMUSAN MASALAH
Telaah makalah ini akan
menitkberatkan pada dua pertanyaan yang sangat relevan pada perkembangan
sosiologi hukum di indonesia.
1.
Bagaimana integrasi hukum syari’ah dalam pembangunan hukum nasional sampai sa’at
ini?
2.
Mampukah hukum syari’ah dalam sistem hukum nasional mewujudkan keadilan
kemanfaatan dan kepastian hukum bagi masyarakat Indonesia?
III.
HUKUM
SYARI’AH DALAM PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL
A.
Integrasi Hukum Syari’ah
Di Indonesia Sampai Saat Ini
kompetensi absolute
Peradilan Agama sesuai dengan Undang-Undang Nomor. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama yang telah di ubah dengan Undang-Undang-Undang Nomor. 3 tahun
2006 dan diubah dengan Undang-Undang Nomor. 50 tahun 2009 tentang Peradilan
Agama. Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Syari’ah
di bidang:. Perkawinan, Waris, Wasiat,
Hibah, Wakaf, Zakat, Infaq, Shadaqah; dan Ekonomi Syari'ah[5].
Pada penjelasan pasal
diatas yang dimaksud dengan "perkawinan" adalah hal-hal yang diatur
dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang
dilakukan menurut syari'ah, antara lain[6]:
1.
Izin beristri
lebih dari seorang;
2.
Izin
melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua puluh
satu) tahun, dalam hal orang tua wali, atau keluarga dalam garis lurus ada
perbedaan pendapat;
3.
Dispensasi
kawin;
4.
Pencegahan
perkawinan;
5.
Penolakan
perkawinan oleh pegawai pencatat nikah;
6.
Pembatalan
perkawinan;
7.
Gugatan
kelalaian atas kewajiban suami dan istri;
8.
Perceraian
karena talak;
9.
Gugatan
perceraian;
10.
Penyelesaian
harta bersama;
11.
Penguasaan
anak-anak;
12.
Ibu dapat
memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya
bertanggung jawab tidak mematuhinya;
13.
Penentuan
kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri atau
penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri;
14.
Putusan tentang
sah tidaknya seorang anak;
15.
Putusan tentang
pencabutan kekuasaan orang tua;
16.
Pencabutan
kekuasaan wali;
17.
Penunjukan orang
lain sebagai wall oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wall dicabut;
18.
Penunjukan
seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan belas)
tahun yang ditinggal kedua orang tuanya;
19.
Pembebanan
kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya;
20.
Penetapan asal-usul
seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum syari’ah ;
21.
Putusan tentang
hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran;
22.
Pernyataan
tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum undang- undang nomor 1 tahun
1974 tentang perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.
Yang dimaksud
dengan "waris" adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris,
penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli
waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalap tersebut, serta penetapan
pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli
waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris[7].
Yang dimaksud
dengan "wasiat" adalah perbuatan seseorang memberikan suatu benda
atau manfaat kepada orang lain atau lembaga/badan hukum, yang berlaku setelah
yang memberi tersebut meninggal dunia.
Yang dimaksud
dengan "hibah" adalah pembegan suatu benda secara sukarela dan tanpa
imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan hukum
untuk dimiliki.
Yang dimaksud dengan "wakaf' adalah perbuatan
seseorang atau sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan
sebagian harts benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka
waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau
kesejahteraan umum menurut syari'ah.
Yang dimaksud dengan "zakat" adalah harta yang
wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan hukum yang dimiliki oleh orang
muslim sesuai dengan ketentuan syari'ah untuk
diberikan kepada yang berhak menerimanya.
Yang dimaksud dengan "infaq" adalah perbuatan
seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik
berupa makanan, minuman, mendermakan, memberikan rezeki (karunia), atau
menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas, dan karena Allah
Subhanahu Wata'ala.
Yang dimaksud dengan "shadagah" adalah
perbuatar; seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain atau lembaga/badan
hukum secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu
dengan mengharap ridho Allah Subhanahu Wata'ala dan pahala semata.
Yang dimaksud
dengan "ekonomi syari'ah" adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang
dilaksanakan menurut prinsip syari'ah, antara lain meliputi[8]:
a.
Bank syari'ah;
b.
Lembaga keuangan
mikro syari'ah.
c.
Asuransi
syari'ah;
d.
Reasuransi
syari'ah;
e.
Reksa dana
syari'ah;
f.
Obligasi
syari'ah dan surat berharga berjangka menengah syari'ah;
g.
Sekuritas
syari'ah;
h.
Pembiayaan
syari'ah;
i.
Pegadaian
syari'ah;
j.
Dana pensiun
lembaga keuangan syari'ah; dan
k.
Bisnis syari'ah.
Menurut
Dr Mukti Arto,SH.,MH.[9]
Ruang Lingkup Perkara Ekonomi Syariah, dalam hal ini, kompetensi absolut pengadilan agama meliputi beberapa aspek perbankan syariah dan
kegiatannya dalam menjalankan ekonomi syariah yang, antara lain, meliputi:
1.
Kelembagaan (perorangan dan/atau badan hukum) dalam
perbankan syariah;
2.
Akad (perjanjian) yang dibuat dalam perbankan syariah;
3.
Kegiatan (operasionalisasi) perbankan syariah;
4.
Sengketa tentang status hukum kelembagaan perbankan
syariah;
5.
Sengketa tentang akad (perjanjian) dalam perbankan
syariah;
6. Sengketa
tentang prestasi dan wanprestasi;
7. Sengketa
tentang arbitrase syariah;
8.
Sengketa tentang
kepailitan syariah;
9.
Sengketa tentang perlindungan nasabah dalam perbankan
syariah;
10. Sengketa tentang pengingkaran
terhadap arbiter pada arbitrase syariah;
11. Penunjukan arbiter
ketiga pada arbitrase syariah;
12. Penilaian secara
formal terhadap putusan arbitrase syariah;
13. Penetapan
penolakan/perintah eksekusi putusan arbitrase syariah;
14. Tindak lanjut
penyelesaian sengketa ekonomi syariah pada badan arbitrase syariah (UU No.30 Th
1999);
15. Menyelesaikan
sengketa kepailitan (UU No.37 Tahun 2004);
16. Menyelesaikan
sengketa ekonomi syariah pada umumnya;
17. Melaksanakan
putusan sengketa ekonomi syariah (putusan PA, basyarnas, dan gross akte);
18. Menunjuk arbiter
pada basyar yang disengketakan;
19. Menyelesaikan
sengketa tentang putusan basyarnas;
20. Mendaftar
(mendeponir) putusan basyarnas;
21. Mengeksekusi
putusan basyarnas;
22. Menetapkan
kepailitan debitur;
23. Menetapkan
pengampu (curator);
24. Menetapkan
hakim pengawas;
25. Menyelesaikan
sengketa kepailitan dalam kegiatan ekonomi syariah
Sementara untuk Mahkamah Syar’iyah aceh mendapatkan perluasan kompetensi
absolute berdasarkan Undang-undang nomor 11 tahun 2006 pasal 128 ayat 3-4 yang
berbunyi: (3) Mahkamah Syar’iyah berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan
menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum
keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum pidana) yang didasarkan atas
syari’at Syari’ah . (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai bidang ahwal
al-syakhsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum
pidana) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Qanun Aceh[10].
Jika dalam hukum keluarga Mahkamah syar’iyah memiliki kompetensi absolute
yang sama dengan peradilan Agama[11],
maka dalam bidang muamalah berdasarkan Qanun Nomor 10 tahun 2002 tentang
Peradilan syari’at syari’ah mahkamah
syar’iayah Aceh berwenang mengadili perkara-perkara yang meliputi[12]:
1.
Jual beli
2.
Hutang piutang
3.
Qiradh
(Permodalan)
4.
Musaqah,
muzara`ah, mukharabah (bagi hasil pertanian)
5.
Wakilah
(Perwakilan)
6.
Syirkah
(Perkongsian)
7.
`Ariyah
(Pinjam-meminjam)
8.
Hajru (Penyitaan
harta)
9.
Syuf`ah (Hak
langgeh)
10. Rahnun
(Gadai)
11.
Ihya`ul mawat
(Pembukaan lahan)
12.
Ma`din (Tambang)
13.
Luqathah (Barang
temuan)
14.
Perbankan
15.
Ijarah (Sewa
me-nyewa)
16.
Takaful
17.
Perburuhan
18.
Wakaf
19.
Hibah
20.
Shadaqah
21.
Hadiah
Kemudian timbul
satu pertanyaan apakah mahkamah syar`iyah dengan kekhususannya hanya berwenang
mengadili bidang muamalat versi qanun no.10 tahun 2002 dan tidak berwenang
mengadili ekonomi syariah versi uu no. 3 tahun 2006 ? menurut Dr. H. Syamsuhadi
Irsyad, SH, MH, dalam disertasinya yang berjudul Mahkamah Syar`iyah Dalam
Sistem Peradilan Nasional (2009 :369) berpendapat bahwa perkara-perkara
ekonomi syariah juga merupakan kewenangan Mahkamah Syar`iyah dalam bidang
muamalah , karena dalam konteks ini Pengadilan Agama perlu dibaca sebagai
Mahkamah Syar`iyah. Dengan demikian Mahkamah syar’iyah juga berwenang mengadili
“ekonomi syari’ah” yang meliputi :
1.
Bank syari’ah[13];
2.
Lembaga keuangan
mikro syari’ah;
3.
Asuransi
syari’ah;
4.
Reasuransi
syari’ah;
5.
Reksa dana
syari’ah;
6.
Obligasi
syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah;
7.
Sekuritas
syari’ah;
8.
Pembiayaan
syari’ah;
9.
Pegadaian
syari’ah;
10. Dana
pensiun lembaga keuangan syari’ah; dan
11.
Bisnis syari’ah.
Dalam bidang Pidana/
Jinayah mahkamah syar’iyah berwenang mengadili perkara-perkara yang meliputi:
hudud, Qishas/diyat dan ta’zir, secara rinci sebagai berikut[14]:
Perkara Hudud,
yang meliputi :
1)
Zina
2)
Qadzaf (Menuduh
berzina)
3)
Mencuri
4)
Merampok
5)
Minuman keras
dan Nafza
6)
Murtad
7)
Pemberontakan
Perkara Qishash/Diyat, meliputi :
1) Pembunuhan
2) Penganiayaan
Perkara Ta’zir[15],
yaitu hukuman yang dijatuhkan kepada orang yang melakukan pelanggaran syariat
selain hudud dan qishash, meliputi :
1) Judi
2) Penipuan
3) Pemalsuan
4) Khalwat
5) Meninggalkan shalat fardhu
6) Meninggalkan puasa
Ramadhan.
Dalam perkembangan
berikutnya lahirlah Qanun-Qanun yang mengatur secara teknis tentang hukum
jinayat/ Pidana syariah meskipun belum mencakup keseluruhan seperti ketentuan
Undang-Undang No.11 tahun 2006 tentang pemerintahan aceh dan Qanun nomor 02
tahun 2002 tentang peradilan syariat syari’ah di aceh. Qanun yang dilahirkan antara lain
Qanun no. 11 tahun 2002 tentang aqidah, ibadah dan syiar syari’ah , Qanun no.
12 tahun 2002 tentang minuman Khamer dan sejenisnya, Qanun no.13 tahun 2002
tentang maisir (perjudian), Qanun no.14 tahun 2002 tentang khalwal (mesum).
Dari beberapa indicator
diatas, pertama terkait mempuninya sumberdaya manusia aparat Peradilan
Agama saat ini. Kedua kewenangan absolute peradilan agama dan/Mahkamh
syar’iyah yang telah dimilikya. Ketiga Progaram prioritas Badan
Peradilan Agama yang telah dan sedang dijalankan. penulis berpendapat lembaga
Peradilan Agama saat ini pantas mendapatkan dukungan dari masyarakat dan bangsa
Indonesia untuk semakin meningkatkan reformasi diri serta memaksimalkan
pelayanan hukum yang berkeadilan bagi masyarakat Indonesia.
Disisi lain apatisme
sebagian masyarakat tentang kemampuan yudisial Peradilan Agama dan/Mahkamah
Syar’iyah akan terbantahkan dengan sendirinya seiring dengan tingkat pemahaman
dan kesadaran hukum oleh masyarakat Indonesia. Betapa terperangahnya kita
ketika melihat fenomena yang sangat kontras. Peradilan Agama ternyata tidak
seperti yang diopinikan sebagian masyarakat, sebagai peradilan perceraian
semata, namun juga semakin komplek dengan perkembangan politik hukum di
Indonesia.
Kompleksitas
perkara-perkara yang diterima, diperiksa dan diadili Peradilan Agama dan/
Mahkamah Syar’iyah dalam jumlah yang begitu besar, tentunya memberikan
sumbangan yang tidak kecil dalam menegakkan hukum dalam bingkai sistem
peradilan nasional.
B.
Integrasi Hukum Syari’ah
Dalam Sistem Hukum Nasional Guna Mewujudkan Keadilan,
Kemanfaatan
Dan Kepastian Hukum Bagi Masyarakat Indonesia
Sekedar informasi bahwa jumlah Aparat Peradilan agama sekitar 11.579
pada periode akhir desemder 2012. Aparat Peradilan Agama yang terdiri 8.363
orang tenaga teknis dan 3.216 tenaga non teknis. Adapun tenaga teknis terdiri
3.670 hakim, 3.276 panitera, 1.419 tenaga kejurusiataan. Dari jumlah 11.579
orang tersebut, 1.512 orang bertugas di PTA/MSA dan 10.067 bertugas di PA/MS[16].
Jumlah aparat Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah tersebar pada 359 satuan kerja Pengadilan tingkat
pertama dan 29 satuan kerja Pengadilan Tinggi Agama. adapun jumlah perkara yang
diterima, diperiksa dan diputus setiap tahunnya selalu bertambah, pada tahun
2011 perkara yang masuk di pengadilan agama sejumlah 363.448 perkara, pada
tahun 2012 mengalami peningkatan 404.857 perkara[17], sangat
dimungkinkan pada tahun 2013 juga mengalami peningkatan jumlah perkara jika
dilihat dari grafik peningkatan perkara dalam lima tahun terakhir dan juga
masih tambahan dengan jumlah perkara yang tersisa dari tahun sebelumnya yang
rata-rata 72.000-an perkara.
Pada saat ini Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah didukung dengan sumberdaya manusia yang sangat
mempuni, hal ini diketahui dengan
indikator pendidikan formal aparat peradilannya yaitu: 26 orang
berpendidikan Doktor (S3), 1.814 orang
berpendidikan Magister (S2), 5.393 orang berpendidikan Sarjana (S1), 248
berpendidikan DIII dan SLTA 880 orang[18],
diharapkan menjadi asset bangsa yang sangat berharga untuk menjadi salah satu
alat pengurai benang kusut yang dihadapai masyarakat dan bangsa Indonesia.
Seperti telah penulis jelaskan diatas, Peradilan Agama dengan jumlah
satuan kerja yang menjangkau seluruh pelosok indonesia, didukung dengan sumber
daya manusia yang sedemian handal, kompetensi absolute yang sedemikian luas
serta dengan komitmen transparansi dan pengabdian terhadap masyarakat dan bansa
Indonesia guna menegakkan supremasi hukum, adalah merupakan salah satu
indicator bahwa Peradilan Agama bukan hanya salah satu lembaga penegak hukum
namun juga lembaga yang mampu memecahkan problematika para pencari keadilan dan
serta salah satu alat untuk memenuhi rasa keadilan, masyarakat Indonesia pada
umumnya.
Ketika sebagian masyarakat menyatakan ketidak percayaanya kepada
lembaga-lemabaga penegak hukum ditanah air, Peradilan agama tidak menjawabnya
dengan membela diri secara membabi buta atau dengan cara mengambing hitamkan
pihak lain, namun selalu menginstropeksi diri dengan sikap dewasanya dan
berusaha menjawab dengan tindakan-tindakan positif, seperti transparansi
birokrasi sehingga semua elemen masyarakat dapat memantau seluruh tahapan atau prosedur beracara dipersidangan,
biaya perkara, jadwal sidang, pengambilan sisa panjar biaya perkara dan hak-hak
lainnya dengan lelusa melelui Website Peradilan Agama yang telah disediakan
oleh masing-masing satuan kerja serta bisa mendatangi langsung meminta
informasi dari meja informasi yang telah tersedia.
Dengan pemanfaatan teknologi informasi serta sumberdaya manusia yang ada
Peradilan Agama muncul dan tampil sebagai lembaga peradilan modern yang ideal,
telah mengilangkan kesan atau legitimasi sebagian masyarakat Indonesia bahwa
Peradilan Agama itu “endeso”. Hal tersebut bukanlah pencapaian instan
melainkan melalui tahapan yang panjang dengan menkombinasikan antara pengabdian
terhadap masyarakat dan bangsa indonesia serta mencontoh budi pekerti suri
tauladan yang tak terbantahkan sepanjang masa yaitu Nabi Muhammad SAW.
Disisi lain terbentuknya masyarakat yang ideal, taat hukum, menjunjung
tinggi keberadaban adalah dambaan setiap individu, tatanan sedemikian itu
sebagian pakar menyebutnya sebagai sivil society atau masyarakat madani.
Nur Cholish Majid mendefinisikan Masyarakat madani adalah suatu tatanan
kemasyarakatan yang mengedepankan toleransi, demokrasi, dan berkeadaban serta
menghargai akan adanya pluralisme (kemajemukan). Sementara A.S. Hikam
mendefinisikan pengertian masyarakat madani berdasarkan istilah civil
society. Menurutnya, civil society didefinisikan sebagai
wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan: a.
Kesukarelaan (voluntary), artinya tidak ada paksaan, namun mempunyai
komitmen bersama untuk mewujudkan cita-cita bersama. b. Keswasembadaan (self
generating), artinya setiap anggota mempunyai harga diri yang tinggi. c.
Keswadayaan (self supporting), artinya kemandirian yang kuat tanpa
menggantungkan pada negara, atau lembaga atau organisasi lain. d. Kemandirian
yang tinggi terhadap negara, artinya masyarakat madani tidak tergantung pada
perintah orang lain termasuk negara. e. Keterkaitan dengan norma-norma hukum,
yang artinya terkait pada nilai-nilai hukum yang disepakati bersama. Dalam
bahasa sederhana masyarakat madani adalah tatanan masyarakat yang berdiri
secara mandiri di hadapan penguasa dan negara, memiliki ruang publik dalam
mengemukakan pendapat, dan memiliki lembaga-lembaga yang mandiri dapat
menyalurkan aspirasi dan kepentingan public serta mentaati aturan hukum dalam
bermasyarakat berbangsa dan bernegara dengan saling menghormati satu dengan
lainnya.
Peradilan Agama dan atau Mahkamah syar’iyah sampai saat ini mayoritas
perkara yang diterima, diperiksa dan diadili adalah hukum keluarga dalam
berbagai bentuk derivasinya, selebihnya adalah perkara sengketa ekonomi
syari’ah dan pidana/ jinayah khusus untuk Mahkamah Syar’iyah Aceh. Jika dilihat
dari fenomene tersebut peranan Peradilan Agama sangat menentukan dalam mengawal
tegaknya supremasi hukum, perlindungan hak-hak kaum wanita dan anak-anak.
Disisi lain kuatnya sistem kemasyarakatan, berbangsa dan bernegara adalah jika
individu, satu satuan keluarga dalam masyarakat dalam kondisi ideal sehingga
tercipta komunitas ideal dan dalam sekala besar menjadi sebuah tatanan
masyarakat, berbangsa dan bernegara yang ideal pula.
Dari berbagai korelasi fakta tersebut tidak berlebihan jika keberadaan
Peradilan Agama dan atau Mahkamah Sar’iyah bukan lagi dianggap sebagai
penghalang modernitas ummat, namun menjadi salah satu suplemen dalam mewujudkan
tatanan masyarakaat ideal yang sangat diharapkan masyarakat dan bangsa
Indonesia, yang sebagian kalangan menyebutnya sebagai civil society atau
masyarakat madani.
IV.
KESIMPULAN
Pada
saat ini integrasi hokum syari’ah dalam menyumbang pembangunan hokum nasional
setidaknya telah tersebar dalam bentuk perundang-undangan (UU), Instruksi
Presiden (INPRES), Peraturan Mahkamah Agung (PERMA), Keputusan Menteri Agama
dan dalam bentuk Qanun-Qanun Aceh serta fatwa-fatwa Dewan Syari’ah Nasional
(DSN). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sumbangan hokum syariah dalam
pembangunan hokum nasional sudah cukup signifikan.
Adapun
dari berbagai fakta dan data dalam makalah ini integrasi hukum syari’ah di Indonesia
telah mampu memberikan keadilan, memiliki nilai kemanfaatan serta dapat
mewujudkan kepastian hukum bagi masyarakat Indonesia. Dengan demikian sangat
diharapkan mampu mendorong dalam mewujudkan masyarakat yang beradab, toleran, menjunjung
tinggi nilai-nilai, norma yang hidup dalam masyarakat, dengan bahasa singkat
masyarakat madani (civil society)
sangkat mungkin dapat diwujudkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
.
DAFTAR
PUSTAKA
Dr.H.A. Mukti Arto, Kerangka
Hukum Muamalah Bidang Ekonomi Syariah Studi Mengenai Prinsip-Prinsip Dasar
Untuk Menyelesaikan Kasus-Kasus di Pengadilan Agama, Bahan Diklat II
Program PPC Terpadu Angkatan VII Peradilan Agama seluruh Indonesia Tanggal 24
September sd 28 November 2012 Pudiklat Badan Litbang Diklat Kumdil MA-RI di
Mega Mendung, Bogor. 2012
Instruksi Presiden RI
Tanggal 10 Juni 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Keputusan Menteri Agama
Nomor 154 Tahun 1991 Tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden RI Tanggal 10 Juni
1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Majalah Peradilan Agama
Edisi I Mei Tahun 2013
Majalah Peradilan Agama
Edisi II September-Nopember Tahun 2013
Peraturan Mahkamah
Agung No.02 Tahun 2008 Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES)
Prof. Drs. H.A. Djazuli, Fiqih Jinayah (upaya menanggulangi
kejahatan dalam islam), PT Radja Grafindo Pesada, Jakarta Cet.III., 2000
Prof. H. Hilman
Hadikusumah,SH, Pengantar ilmu Hukum Adat
Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1992.
Qanun Provinsi Nangro
Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syariat Islam.
Qanun Provinsi Nangro
Aceh Darussalam Nomor 11 Tahun 2002 Tentang aqidah, ibadah dan syiar syari’ah
Qanun Provinsi Nangro
Aceh Darussalam Nomor 12 Tahun 2002 Tentang minuman Khamer dan sejenisnya
Qanun Provinsi Nangro
Aceh Darussalam Nomor 13 Tahun 2002 tentang maisir (perjudian),
Qanun Provinsi Nangro
Aceh Darussalam Nomor 14 Tahun 2002 tentang khalwal (mesum).
Undang-Undang
Nomor 11 tahun 2006 Tentang pemerintahan Aceh.
Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2008 Tentang Surat Berharga Syari’ah Negara (SBSN)
Undang-Undang Nomor 21
tahun 2008 Tentang Perbankan syari’ah.
Undang-Undang Nomor. 3
Tahun 2006 Dan Diubah Dengan Undang-Undang Nomor. 50 Tahun 2009 Tentang
Peradilan Agama.
[1] Van Vollenhoven adalah orang pertama yang
menjadikan hokum adat sebagai ilmu pengetahuan sehingga hokum adat menjadi
sejajar dengan ilmu pengetahuan dan ilmu hokum yang lain. Lihat Prof. H.
Hilman Hadikusumah,SH, Pengantar ilmu
Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1992, hal. 12
[2] Instruksi Presiden RI Nomor 01
Tahun 1991 Pada Tanggal 10 Juni Tahun 1991 Dan Keputusan Menteri Agama Nomor
154 Tahun 1991 Tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden RI Tanggal 10 Juni 1991.
[3] KHES Diberlakukan Sebagai Hukum
Materiil Peradilan Agama Dan Mahkamah Syar’iyah Aceh Melalui Peraturan Mahkamah
Agung No.02 Tahun 2008
[5] Pasal 49 Undang-Undang-Undang Nomor. 3
Tahun 2006 Dan Diubah Dengan Undang-Undang Nomor. 50 Tahun 2009 Tentang
Peradilan Agama.
[6] Penjelasan
pasal 49 huruf (a) Undang-Undang-Undang
Nomor. 3 Tahun 2006 Dan Diubah Dengan Undang-Undang Nomor. 50 Tahun 2009
Tentang Peradilan Agama
[7] Ibid.
[8]
Penjelasan pasal 45 huruf (i) Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 yang telah
diubah dengan Undang-Undang No.50 Tahun 2009 tentang peradilan agama
[9] Dr.H.A. Mukti Arto, Kerangka Hukum Muamalah Bidang
Ekonomi Syariah Studi Mengenai Prinsip-Prinsip Dasar Untuk Menyelesaikan
Kasus-Kasus di Pengadilan Agama, Bahan Diklat II Program PPC Terpadu
Angkatan VII Peradilan Agama seluruh Indonesia Tanggal 24 September sd 28
November 2012 Pudiklat Badan Litbang Diklat Kumdil MA-RI di Mega Mendung,
Bogor. Hal.17-18.
[10]
Untuk mendapatkan informasi terkait perluasan kompetensi absolute
Mahkamah Syar’iyah/ Pengadilan Agama
lihat Undang-undang nomor 11 tahun 2006 tentang pemerintahan
Aceh.
[11] Qanun Provinsi Nangro Aceh
Darussalam Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syariat Islam pasal 49 huruf (a) dan
penjelasannya
[12]Qanun Provinsi
Nangro Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syariat Islam pasal
49 huruf (b)
dan penjelasannya
[13]Terkait perbankan Syri’ah telah
diatur dalam Undang-Undang nomor 21 tahun 2008 Tentang Perbankan syari’ah.
[14]Qanun Provinsi
Nangro Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syariat Islam pasal
49 huruf (C)
dan penjelasannya
[15] Hukuman ta’zir dijatuhkan oleh hakim dengan tujuan
memberikan pelajaran supaya pelaku kejahatan tidak mengulangi kejahatan
tersebut, hukuman ini tidak boleh bertentangan dengan prinsip dan tujuan
syari’ah. Lebih lanjut dapat dibaca dalam Prof. Drs. H.A. Djazuli, Fiqih Jinayah (upaya menanggulangi
kejahatan dalam islam), PT Radja Grafindo Pesada, Jakarta Cet.III., 2000
hal .163
[16] Majalah Peradilan Agama Edisi
Mei 2013 hal. 61-62. Selain hal tersebut
Mahkamah Agung juga menjalin hubungan kerjasama untuk mendidik para Hakim dari
Pengadialan Agama/ Mahkamah Syar’iyah guna mengikuti pendidikan S3 ekonomi
syari’ah di Universitas Qartum Sudan (Afrika) dan pelatihan ekonomi syari’ah
dan pidana islam di Universitas Mamlakah Saudi Arabiyah
[17] Ibid.
[18] Ibid. Dan berdasarkan data Badilag per Sep-tember
2013, ada 49 orang dari lingkungan peradilan agama yang telah menyandang gelar
Doktor. Jabatan 49 orang itu beragam: mulai dari Wakil Ketua MA Bidang
Non-Yudisial, Hakim Agung, Ketua PTA, Hakim PA hingga Wakil Sekretaris PA. Yang
menarik, tidak semua gelar doktor itu diperoleh dari perguruan tinggi di dalam
negeri. Lihat Majalah Peradilan Agama Edisi II September-Nopember 2013 hal.63.
Comments
Post a Comment