LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH DI INDONESIA

KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH  DI INDONESIA
OLEH
Nur Moklis

I.                          PENDAHULUAN
Peran lembaga keuangan adalah sangat penting untuk menggerakkan berbagai bidang dalam sektor riil, baik dalam skala nasional, regional maupun internasional. Pada saat ini perkembangan ekonomi syariah begitu pesat di dunia, tak terkecuali di Indonesia. Bahkan di berbagai benua, seperti Amerika, Eropa, Afrika, Australia dan Asia mulai berbondong-bondong mengkaji ekonomi syariah. Beberapa negara ingin mendeklarasikan dirinya sebagai pusat ekonomi syariah di masing-masing kawasan regional bahkan tingkat Internasional[1].
Hal itu merupakan dampak sistem kapitalisme yang dibanggakan dapat menjadi antibodi dari berbagai krisis ternyata justru menadi virus dari krisis itu sendiri. Sudah berbagai krisis menimpa dunia, pada tahun 1998, 2008, dan pada tahun 2012 pun masih terjadi krisis, seperti krisis di Asia, Amerika dan Eropa yang belum lama ini terjadi.
Ternyata lembaga keuangan syariah mampu menahan krisis ekonomi, hal ini sudah teruji dan bisa dirasakan masyarakat. Contohnya ketika krisis pada tahun 1998 di Indonesia, banyak bank-bank konvensional mengalami likuidasi, justru Bank Muamalat yang memiliki prinsip ekonomi syariah bisa tetap bertahan pada zamannya.
Pada tahun 2008 ketika terjadi krisis di Amerika, ternyata Indonesia yang sedang mengembangkan ekonomi syariah tidak terkena dampak yang signifikan dari krisis tersebut. Pada tahun 2012 beberapa Negara di eropa seperti Yunani, Irlandia, Spanyol, Portugal dan Italia terkena badai krisis. Tapi ternyata ada satu Negara di Eropa yang masih bertahan yaitu Inggris. Ternyata Inggris merupakan Negara yang sedang mengembangkan ekonomi syariah dan Inggris menyatakan sebagai pusat ekonomi syariah di eropa.
Adapun di Indonesia, perkembangan ekonomi syariah saat ini begitu pesat, ini terlihat dari berbagai kemunculan industri keuangan syariah seperti asuransi syariah, perbankan syariah, pasar modal syariah[2], koperasi syariah, dan lain sebagainya. Hingga banyak bermunculan pendidikan tinggi maupun menengah yang membuka jurusan ekonomi syariah serta banyaknya organisasi dan asosiasi ekonomi syariah.
Jika dilihat uraian diatas keberadaan perbankan syari’ah adalah sangat urgen bagi masyarakat, bangsa dan negara Indonesia. Disisi lain masyarakat Indoneia sangat merindukan lembaga keuangan yang bebas riba, bebas gharar, adanya transparansi, adanya kesetaraan, saling menguntungkan dan yang tidak kalah penting adalah sebab yang halal, tidak bertentangan dengan hukum, tidak dilarang hukum dan tidak haram[3]. Masyarakat mempunyai ekpektasi yang sangat tinggi terhadap keberadaan bank syari’ah dan lembaga-lembaga keuangan syari’ah serta bisnis yang berasas syari’ah lainnya karena selain bebas riba yang merupakan larangan dalam beragama juga mampu memberikan rasa aman secara spiritual dan juga financial, namun karena terbatasnya informasi yang dapat diakses oleh masyarakat luas, serta sedikitnya referensi yang tersedia, apalagi diperkeruh sebagian pakar ekonomi yang pesimistik dan tidak memahai aspek ekonomi syariah dalam dunia bisnis, sehingga sebagian masyarakat berprinsip lebih baik melihat dan menunggu dulu tentang kredibilitas dan aspek hukum lembaga-lembaga ekonomi syari’ah ini.
Berdasarkan fenomena tersebut penulis berusaha mendiskripsikan secara ringkas namun gamblang terkait ekonomi syariah dan aspek hukum[4] yang melingkupinya jika terjadi sengketa, kebijakan pemerintah terhadap lembaga keuangan syari’ah serta peran ekonomi syariah dalam pembangunan Nasional.

II.                       PERMASALAHAN
Berdasarkan uraian diatas, maka penelaahan ekonomi syariah di Indonesia akan mengulas perkembangan, aspek hukum yang melingkupinya dan peranannya dalam pembangunan nasional sehingga masyarakat mendapatkan informasi yang memadai terkait hal tersebut. Untuk mempertajam telaah makalah ini, perlu dititikberatkan untuk menjawab tiga pertanyaan sebagai berikut ini:
a.       Bagaimana perkembangan ekonomi syaria’ah di Indonesia sampai saat ini?
b.      Bagaimana kebijakan pemerintah terhadap lembaga keuangan syari’ah di Indonesia?
c.       Bagaimana peranan ekonomi syariah dalam pembangunan nasional dan daerah?

III.                    MENGENAL EKONOMI SYARI’AH
Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) yang diberlakukan sebagai hukum materiil Pengdilan Agama berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2008 ekonomi syariah adalah usaha atau kegiatan yang dilakukan oleh orang perorang, kelompok orang, badan usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum dalam rangka memenuhi kebutuhan yang bersifat komersal dan tidak komersial menurut prinsip syari’ah[5]. Adapun dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006, ekonomi syari'ah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari'ah[6], yang dimaksud dengan ekonomi syariah antara lain meliputi:[7]
1.       Bank Syari’ah;
2.       Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah;
3.       Asuransi Syari’ah;
4.       Reasuransi Syari’ah;
5.       Reksa Dana Syari’ah;
6.       Obligasi Syari’ah Dan Surat Berharga Berjangka Menengah Syari’ah;
7.       Sekuritas Syari’ah;
8.       Pembiayaan Syari’ah;
9.       Pegadaian Syari’ah;
10.   Dana Pensiun Lembaga Keuangan Syari’ah; Dan
11.   Bisnis Syari’ah.
Perbedaan yang mendasar antara ekonomi syari’ah dan ekonomi konvensional  adalah dari dasar berangkatnya kedua ilmu itu sendiri. Ilmu ekonomi konvensional berpijak pada dasar materialisme dan sekulerisme. Sedangkan ekonomi Islam pijakan dasarnya tidak lain adalah Al-Quran dan As-Sunnah serta kajian para ulama terdahulu[8]. Sehingga derivasinya ke dalam bentuk doktrin-doktrin ekonomi antara keduanya bisa saja berbeda 180 derajat dalam satu sisi dan bisa juga pada sisi yang lain menjadi sejajar. Yang berbeda misalnya filosofi interest (riba) yang dalam ekonomi sekuler adalah sesuatu yang syah-syah saja, sedangkan dalam ekonomi Islam justru menjadi hal yang paling ditentang dan harus diperangi. Bahkan pelaku riba diancam oleh Allah dengan sebutan gila. Allah berfirman dalam Al-Quran: “Orang-orang yang makan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata , sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti, maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu ; dan urusannya kepada Allah. Orang yang kembali, maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (QS. Al-Baqarah : 275)[9] Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.(QS. Al-Baqarah : 267)[10] Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih. (QS. An-Nisa : 161)[11]
Ini sekedar sebuah contoh sederhana untuk masalah yang bertentangan. Sedangkan masalah yang mungkin sejalan antara ekonomi syari’ah dan ekonomi konvensional misalnya adalah prinsip kepercayaan dan keharusan adanya pencatatan setiap transaksi. Dalam masalah prinsip kepercayaan antara pelaku ekonimi Allah berfirman: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kami saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa : 29)[12] Dan dalam pentingnya sistem pencatatan dalam masalah transaksi ekonomi Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan, dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki . Jika tak ada dua orang lelaki, maka seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak keraguanmu, kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan , maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.(QS. Al-Baqarah : 282)[13]
Pada saat lemabaga keuangan syari’ah yang paling popular adalah lembaga pernakan syariah. Untuk itu penulis akan menjelaskan sedikit sebagai sample antara lembaga keuangan berbasis syari’ah dan lemabaga keuangan yang konvensional. Penulis awali dari Perbedaan  bank syariah dengan bank konvensional menurut Karnaen A. Perwataatmadja dan Syafi’i Antonio, Bank Syariah memiliki dua pengertain, yaitu: (1) Bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syari’at Islam; (2) Bank yanng taat cara beroperasinya mengacu kepada ketentuan-ketentuan al-quran dan Al-Hadits. Dalam pengertian lain disebutkan bahwa yang dimaksud dengan bank Syari’ah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberiakn kredit dan jasa-jasa lain dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang operasinya disesuaikan dengan prinsip syari’at Islam. Dalam pengertain ini, ussaha bank akan selalu dikaitkan denagn masalah uang yang merupakan barang dagangan utama[14].
Dalam beberapa hal kedua bank ini memiliki persamaan, terutama dalam sisi teknis penerimaan uang, mekanisme transfer, teknologi komputer yang digunakan, syarat-syarat umum untuk memperoleh pembiayaan, seperti KTP,NPWP, proposal, laporan keuangan. Namun terdapat banyak perbedaan yang cukup esensi (mendasar) diantara keduanya. Perbedaan itu menyanngkut beberapa hal;[15]
Akad Dan Aspek Legalitas, Dalam bank syariah, akad yang dilakukan memiliki konsekuensi duniawi dan ukhrawi karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum islam.
Definisi Akad, secara bahasa, akad atau perjanjian itu digunakan untuk banyak arti, yang keseluruhannya kembali kepada bentuk ikatan atau penghubungan terhadap dua hal. Sementara akad menurut istilah adalah keterikatan keinginan diri dengan sesuatu yang lain dengan cara yang memunculkan adanya komitmen tertentu yang disyariatkan.
Rukun-rukun Akad, Akad memiliki tiga rukun, yaitu adanya dua orang atau lebih yang melakukan akad, objek akad (transaksi) dan lafazh (shighat) akad. (1) Dua orang atau lebih yang melakukan akad ini adalah dua orang atau lebih yang secara langsung terlibat dalam akad. Kedua belah pihak dipersyaratkan harus memiliki kelayakan untuk melakukan akad sehingga perjanjian atau akad tersebut dianggap  sah. (2) Objek Akad (Transaksi), yakni barang yang dijual dalam akad jual beli, atau sesuatu yang disewakan dalam akad sewa dan sejenisnya. (3) Lafazh (Syighat) Akad, yang dimaksud dengan pengnucapan akad itu adalah ungkapan yang dilontarkan oleh orang yang melakukan akad untyuk menunjukan keinginannya yang mengesankan bahwa akad itu sudah belangsung. Tentu saja ucapan itu harus mengandung serah terima (ijab-qabul).[16]
Akad-Akad dalam Bank Syariah. Antara Wa’ad dengan Akad. Fiqih Muamalah Islam membedakan antara wa’ad dengan akad. Wa’ad adalah janji (promise) antara satu pihak kepada pihak lainnya. Sementara akad adalah kontrak antara dua belah pihak.Wa’ad hanya mengikat satu pihak, yakni pihak yang yang memberi janji berkewajiban untuk melaksanakn kewajibannya. Sedangkan pihak yang diberi janji tidak memikul kewajiban apa-apa terhadap pihak lain.
Antara Tibarru’ dengan tijara, Akad Tabarru’, (gratuitous contract) adalah segala macam perjanjian yang menyangkut non-for frofit transaction (transaksi nirlaba). Transaksi ini pada hakikatnya bukan transaksi bisnis untuk mencari keuntungan komersial. Akad tabarru’ dilakukan dengan tujuan tolong menolong dalam rangka berbuat kebaikan (tabarru berasal dari kata birr dalam bahasa arab, yang artinya kebaikan). Dalam akad tabarru’, pihak yang berbuat kebaikan tersebut tidak berhak mensyaratkan imbalan apapun kepada pihak lainnya. Imbalan dari akad tabarru adalah dari Allah Swt., bukan dari manusia namun demekian pihak pihak yang berbuat kebaikan tersebut boleh meminta kepada counter-part-nya untuk sekedar menutupi biaya (cover the cost) yang dikeluarkan untuk dapat melakukan akad tabarru’ tersebut. Namun ia tidak boleh sedikitpun mengambil laba dari akad tabarru’ itu. Contoh akad-akad tabarru’ adalah qard, rahan,hiwalah, wakalah, kafalah, wadi’ah, hibah, waqaf, shadaqah, hadiah, dan lain-lain.
Ada tiga macam bentuk umum akad Tabarru’, yakni: (1) Meminjamkan harta (uang) Akad meminjamkan uang ini ada beberapa lagi jenisnya, setidaknya ada tiga jenis, yakni sebagai berikut. Bila pinjaman ini diberikan tanpa mensyaratkan apapun, selain mengnembalikan pinjaman tersebut setelah jangka waktu tertentu maka bentuk meminjamkan uang seperti ini disebut dengan Qard. Selanjutnya, jika dalam meminjamkan uang ini si pemberi pinjaman mensyartakan suatu jaminan dalam bentuk atau jumlah tertentu, maka bentuk pemberian pinjaman seperti ini disebut dengan rahn. Ada lagi suatu bentuk pemberian pinjaman uang, dimana tujuannya adalah untuk mengambil alih piutang dari pihak lain. Bentuk pemberian pinjaman uang denagn maksud seperti ini disebut hiwalah.
(2) Meminjamkan jasa, Seperti akad meminjamkan uang, akad meminjamkan jasa juga terbagi menjadi tiga jenis. Bila kita meminjamkan ‘diri kita’ (yakni, jasa keahlian atau keterampilan, dan sebagainya) saat ini untuk melakuakn sesuatu atas nama orang lain, mak hal ini diberi nam wakalah. Selanjutnya, bila akad wakalah ini kita rinci tugasnya, yakni bila kita menawarkan jasa kita untuk menjadi wakil seseorang, dengan tugas menyediakan jasa custody (penitipan, pemeliharaan), bentuk peminjaman jasa seperti ini disebut dengan akad wadi’ah. Ada variasi lain dari akad Wakalah,yakni contingent wakalah ( wakalah bersyarat). Dalam hal ini, maka kita bersedia memberikan jasa kita untuk melakuakan sesuatau atas nama orang lain, jika terpenuhi kondisinya, atau jika sesuatu terjadi. Wakalah bersyarat ini dalam terminologi fiqih disebut sebagai akad kafalah.
(3) Memberikan sesuatu, Yang termasuk kedalam golongan ini adalah akad-akad sebagai berikut: hibah,wakaf, shadaqah, hadiah dan lain-lain. Dalam semua akad-akad tersebut, si pelaku memberiakn sesuatu kepada orang alin. Bila penggunanya untuk kepentingan umum dan agam. Akadnyana dinamakan Wakaf . obyek wakaf ini tidak boleh diperjaul-belikan begitu dinyatakan sebagai aset wakaf .Sedangkan hibah dan hadiah adalah pemberian sesuatu secara sukarela kepada orang lain.[17]
Akad tijarah, Akad tijarah/muaawadah (compensational contrac) adalah segala macam perjanjian yang menyangkut for profit transaction. Akad-akad ini dilakuakn dengan tujuan mencari keuntungan karena itu bersifat komersial. Contoh akad tijarah adalah akad-akad investasi, jual beli, sewa-menyewa. Dan lain-lain.
 Antara Natural Uncertainty dengan Natural certainty contacts, Natural Certainty Contacts (NCC), Kedua belah pihak saling mempertukarkan aset yang dimilikinya, karena itu objek pertukarannya (baik barang maupun jasa) pun harus ditetapkan diawal akad dengan pasti, baik jumlahnya (quantity), mutunya (quality), hargannya (price), dan waktu penyerahan (time of delivery). Jadi kontrak-kontrak ini secara “sunatullah” (by their nature) menawarkan return yang tetap dan pasti yang termasuk dalam katagori ini adalah kontrak-kontrak jual-beli, upah-mengupah, sewa-menyewa, dan lain-lain.
 Natural Uncertainty Contracts (NUC), Dalam NUC, pihak-pihak yang bertransaksi saling mencampurkan asetnya (baik real assets maupun finansial assets) menjadi satu kesatuan, dan kemudian menanggung risiko bersama-sama untuk mendapatkan keuntungan. Disini, keuntungan dan kerugian ditangguang bersama. Karena itu, kontrak ini tidak memberiakn kepastian pendapatan (return), baik dari segi jumlah (amount) maupun waktu (timing)-nya. Yang termasuk dalam kontrak ini adalh kontrak-kontrak investasi. Kontrak investasi ini secara “Sunatullah” (by their nature)tidak menawarkan return yang tetap dan pasti. Jadi sifatnya tidak fixed and predetermined.
Contoh-contoh NUC adalah sebagai berikut :1. Musyarakah (wujuh,’inan, abdan, muwafadhah, mudharabah). 2. Muzara’ah. 3.Musaqah. 4. Mukhabarah.
Pembedaan antar natural certainty contacts (NCC) dengan Natural Uncertainty Contacts (NUC) ini sangat penting karena keduanya memiliki karakteristik khas yang tidak boleh dicampuradukan. Bila Natural Certainty Contract di ubah menjadi Uncertain. Terjadilah gharar (ketidakpastian, unknown to both parties). Dengan kata lain, kita mengubah hal-hal yang sudah pasti menjadi tidak pasti. Hal ini melanggar “Sunatullah”. Karena itu dilarang.
Teori Uncertainty (ketidakpastian. Secara umum ketidakpastian dapat terjadi pada empat hal pertama: Ketidakpastian dalam pertukaran, Karakter kontak pertukaran adalah memberiakn kepastian. Baik dari segi jumlah maupun waktu.namun, jika didalmnya mengandung aksi spekulasi, suatu pertuakran akan menghasilakn ketidakpastian karena akan menghasilkan tiga kemungkinan, yaitu untung, rugi atau tidak untung dan tidak rugi (impas). Ketidakpastian yang timbul dan aksi spekulasi dalam suatu pertukaran inilah yang disebuat sebagi taghrir (gharar) dan dilarang dalam Islam.
Kedua: Ketidakpastian dalam permainan, Permainan dapat diklasifikasikan kedalam tiga hal, yaitu permainan peluang, permainan ketangkasan dan permainan atas suatu peristiwa alamiah. Dalam ketiga permainan tersebut, faktor ketidakpastian merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari. Dengan kata lain, pada dasarnya. Suatu permainan akan selalu memberikan ketidakpastain: menang,kalah, atau bahkan seri (draw).
Ketiga: Ketidakpastian dalam bisnis atau investasi, Bisnis atau investasi pada dasarnya merupakan sebuah aktivitas yang tidak bisa terlepas dari suatu ketidakpastian  (Uncertainty contract). Dalam kerja sama bisnis atau investasi, para pelaku pasti akan menghadapi salah satu dari tiga kemungkainan yang ada, yaitu untung, rugi, atau tidak untung dan tidak rugi.
Keempat: Ketidakpastian dalam Risiko murni, Dalam kehidupan sehari-hari, manusia akan menghadapi bebagi risiko murni. Risiko-risiko tersebut bersifat tidak pasti, bisa menimpa manusia bisa juga tidak. Dengan demikian, outcome dari ketidakpastian risiko ini adalah hanya loss atau no loss, tidak ada profit.[18]
Setiap akad dalam perbankan syariah, baik dalam hal barang, pelaku transaksi maupun ketentuan lainnya, harus memenuhi ketentuan akad, seperti hal-hal berikut. Pertama:  Rukun, Seperti: a. Penjual. b.Pembeli. c. Barang. d.Harga. e. Akad/ijab-qabul. Kedua: Syarat, Seperti syarat berikut: (1) Barang dan jasa harus halal sehingga transaksi atas barang dan jasa yang haram menjadi batal demi hukum syariah. (2). Harga barang dan jasa harus jelas. (3) Tempat penyerahan (delivey) harus jelas karena akan berdampak pada biyaya transportasi. (4) Barang yang ditransaksikan harus sepenuhnya dalam kepemilikan.tidak boleh menjual sesuatu yang belum dimiliki atau dikuasai seperti yang terjadi pada transaksi Short sale dalam pasar modal.
Syarat-Syarat Umum Akad: (1) Pihak-pihak yang melakukan akad itu telah cakap bertindak hukum (mukallaf) atau jika obyek akad itu merupakan milik orang yang tidak atau belum cakap bertindak hukum, maka harus dilakuakn oleh walinya. (2) Obyek Akad itu diakui oleh syara’. Untuk obyek akad ini disyaratkan  pula: (i) berbentuk harta; (ii) dimiliki oleh seorang; dan(iii) bernilai harta menurut syara’. (3) Akad itu tidak dilarang dalam Nash (ayat atau hadits) Syara’. (4) Akad yang dilakukan itu memenuhi syarat-syarat khusus yang terkait dengan akad itu. (5) Akad dapat memberiakn faedah sehingga tidaklah sah bila Rahn diangap sebagai imbangan amanah. (6) Ijab itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadi qabul. Maka bila orang yang berijab menarik kembali ijabnya sebelum qabul, mak batallah ijabnya. (7) Ijab dan qabul mesti bersambung sehinga bila seseorang yang berijab sudah berpisah sebelum adanya qabul, maka ijab tersebut menjadi batal.[19]
Lembaga Penyelesai Sengketa, Berbeda dengan perbankan konvensional, jika pada perbankan syariah terdapat perbedaan atau perselisihan antara bank dan nasabahnya, kedua belah pihak tidak menyelesaikannya di peradilan negeri, tetapi menyelesaikannya sesuai tata cara dan hukum materi syariah di Pengadilan Agama[20].
Adapun bisnis dan usaha yang dibiayai, dalam bank syariah, bisnis dan dan usaha yang dilaksanakan tidak terlepas dari saringan syariah. Karena itu, bang syariah tidak akan mungkin membiyayai usaha yang terkandung didalamnya hal-hal yang diharamkan.[21] Dalam Bank Syariah suatu pembiayaan tidak mungkin disetujui sebelum dipastikan beberapa hal pokok diantaranya: (1) Apakah obyek pebiayaan halal atau haram? (2) Apakah proyek menimbulkan kemudharatan bagi Masyarakat? (3) Apakah Proyek Berkaitan dengan pembuatan Mesum/asusila? (4) Apakah Proyek dapat merugikan syiar Islam atau tidak?[22]
Lingkungan kerja dan corporate culture, Bank Syariah selayak memiliki libngkungan kerja yang sejalan dengan syariah. Dalam hal etika, misalnya sifat amanah dan shiddiq, harus melandasi setiap karyawan sehingga tercermin integritas eksekutif muslim yang baik. Disamping itu,karyawan bang syariah harus skillful dan professional (fathanah), dan mampu melakukan tugas secara team-work dimana informasi merata diseluruh fungsional organisasi (tabligh).Demikian pula dalam hal reward dan punishment, diperlukan prinsip keadilan yang sesuai dengan syariah.
Selain itu cara berpakain dan tingkah laku dari para karyawan merupakan cermin bahwa mereka bekerja dalam sebuah lembaga keuangan yang membawa nama besar Islam, sehingga tidak ada aurat yang terbuka dan tingkahlaku yang kasar. Demikian pula dalam menghadapi nasabah, akhlak harus senantiasa terjaga .
Perbandingan antara bank syariah dan konvensional[23]
BANK ISLAM
BANK KONVENSIONAL
1.      Melakukan investasi-investasi yang halal saja.
2.      Berdasarkan prinsip bagi hasil, jual beli atau sewa.
3.      Profit dan falah oriented.
4.      Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan kemitraan.
5.      Penghimpunan dan penyaluran dana harus sesuai dengan fatwa DSN.
1.      Investasi yang halal dan haram.

2.      Memakai prangkat bunga.

3.      Profit oriented.
4.      Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan debitor-debitor.
5.      Tidak terdapat Dewan sejenis.
Perbedaan diantara keduanya hanya terletak pad pada prinsip operasional yang digunakannya. Kalau Bank Syariah beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil, sedangkan Bank konvensional berdasarkan buga. Dengan kata lain, kedudukan bank syari’ah dalm hubungannya dengan nasabah sebagai mitra investor dan pedagang atau pengusaha, sedangkan pada Bank konvensional sebagai kreditur dan debitur.
Bank asyari’ah memiliki beberapa ciri atau karakteristik tersendiri yang antara lain adalah sebagai berikut: (1) Berdimensi keadilan dan pemerataan. (2) Adanya pemberlakuan jaminan. (3) Menciptakan rasa kebersamaan. (4) Bersifat Mandiri. (5) Persaingan secara sehat. (6) Adanya Dewan Pengawasan Syariah.[24]

IV.             PERKEMBANGAN EKONOMI SYARIA’AH DI INDONESIA
Perkembangan ekonomi syari’ah yang sangat menonjol diantara bisnis syari’ah yang lainnya adalah perbankan syariah, sehingga penulis  berpendapat akan pentingnya me-riview sedikit tentang perkembangan perbankan syari’ah di Indonesia secara ringkas dari awal berdirinya pada tahun 1991 sampai akhir tahun 2013. Dengan demikian akan bisa mendeskripsikan  secara jelas perkembangan perbankan syari’ah dari tahun-ketahunnya.  Hal ini sangat penting guna dikaitkan pada rumusan masalah yang kedua terkait aspek hukum penyelesaian sengketa di peradilan agama[25], yang tentunya meliputi perbankan syari’ah yang sekarang ini sangat disorot publik Indonesia dan Internasional.
Pada  tanggal 01 Mei 1992 Bank Muamalat Indonesia mulai beroperasi dengan modal awal Rp. 106.126.382.000. hingga tahun 1999 Bank Muamalat Indonesia telah memiliki outlet 45 lebih, yang tersebar di Jakarta, Bandung, Semarang, Balikpapan dan Makasar[26].
Pada tahun 1998, dengan diundangkannya Undang-Undang No.10 Tahun 1998 tentang  perubahan atas undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan, telah diatur secara terperinci terkait jenis-jenis usaha yang dapat diimplementasikan oleh perbangkan syari’ah, cara membuka cabang syari’ah bahkan mengkonversi dari bank konvensioal ke dalam bank syari’ah[27].
Pada tahun 1999, Bank Syari’ah Mandiri (BSM) adalah bank pertama milik pemerintah yang dikonversi dari bank konvensional menjadi Bank Umum Syari’ah. Di akhir tahun 1999 BSM memiliki total aset berkisar 2-3 Trilyun dengan lebih dari 20 cabang. Pada Akhir tahun 2000, setidaknya ada 9 Bank Umum Konvensional yang membuka cabang Syari’ah, yaitu: Bank IFI, Bank Niaga, Bank BNI ’46, Bank BTN, Bank Mega, Bank BRI, Bank Bukopin, BPB Jabar dan BPD Aceh.
Perbankan Syariah di Indonesia mengalami pertumbuhan 30 sampai 40 persen per tahun. Perkembangan perbankan syariah selama dua dekade hingga kini, telah memiliki aset senilai Rp 200 triliun yang dikelola oleh 11 bank umum, 24 unit usaha syariah dan 160 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS), dengan pangsa pasar mencapai 4,67 persen[28].
Pengembangan sistem perbankan syariah di Indonesia dilakukan dalam kerangka dual-banking system atau sistem perbankan ganda dalam kerangka Arsitektur Perbankan Indonesia (API), untuk menghadirkan alternatif jasa perbankan yang semakin lengkap kepada masyarakat Indonesia[29]. Secara bersama-sama, sistem perbankan syariah dan perbankan konvensional secara sinergis mendukung mobilisasi dana masyarakat secara lebih luas untuk meningkatkan kemampuan pembiayaan bagi sektor-sektor perekonomian nasional.
Karakteristik sistem perbankan syariah yang  beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil memberikan alternatif sistem perbankan yang saling menguntungkan bagi masyarakat dan bank, serta menonjolkan aspek keadilan dalam bertransaksi, investasi yang beretika, mengedepankan nilai-nilai kebersamaan dan persaudaraan dalam berproduksi, dan menghindari kegiatan spekulatif dalam bertransaksi keuangan. Dengan menyediakan beragam produk serta layanan jasa perbankan yang beragam dengan skema keuangan yang lebih bervariatif, perbankan syariah menjadi alternatif sistem perbankan yang kredibel dan dapat dinimati oleh seluruh golongan masyarakat Indonesia tanpa terkecuali.
Dalam konteks pengelolaan perekonomian makro, meluasnya penggunaan berbagai produk dan instrumen keuangan syariah akan dapat merekatkan hubungan antara sektor keuangan dengan sektor riil serta menciptakan harmonisasi di antara kedua sektor tersebut. Semakin meluasnya penggunaan produk dan instrumen syariah disamping akan mendukung kegiatan keuangan dan bisnis masyarakat juga akan mengurangi transaksi-transaksi yang bersifat spekulatif, sehingga mendukung stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan, yang pada gilirannya akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pencapaian kestabilan harga jangka menengah-panjang.
Sekarang, jumlah Bank Umum Syariah (BUS) telah mencapai 11 unit dan Unit Usaha Syariah (UUS) mencapai 24 unit. Memang, jumlah ini tidak mengalami perubahan sejak tahun 2011. Namun, jumlah jaringan kantor semakin meningkat. Jika pada Bulan April 2012 jumlah kantor mencapai 1.457 unit, pada bulan yang sama di tahun 2013 jumlah ini bertambah menjadi 1.858 unit. Perluasan jaringan kantor tersebut juga telah mampu meningkatkan pengguna bank syariah. Hal tersebut dapat dilihat dari peningkatan jumlah total rekening pembiayaan sebesar 3,31 juta rekening. Jumlah rekening di tahun sebelumnya tercatat 10,83 juta rekening dan tahun ini meningkat menjadi 14,14 juta rekening[30]
Adapun Statistik Perbankan Syariah (Islamic Banking Statistics), June 2013  jumlah Bank Umum Syariah (BUS) telah mencapai 11 unit[31]  dengan jumlah kantor mencapai 1.887 kantor dan Unit Usaha Syariah (UUS) mencapai 24 unit dengan jumlah kantor mencapai 533 kantor, Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) 153 unit dengan jumlah kantor mencapai 397 kantor.[32]
Dari data statistik perbankan syariah BI, per April 2013 total aset perbankan syariah telah menembus angka Rp. 207,800 triliun. Dibandingkan periode satu tahun seblumnya, aset perbankan syariah telah mengalami pertumbuhan sebesar 44%. Angka pembiayaan telah mencapai Rp.163,407 triliun. Penghimpunan dana pihak ketiga telah mencapai Rp.158,519 triliun. Fungsi intermediasi perbankan syariah pun semakin meningkat. FDR per April 2013 mencapai 103,08%. Angka ini meningkat dari tahun sebelumnya yang mencapai 95,39%. Secara total, pangsa pasar perbankan syariah telah mencapai 4.86%.[33]
Dengan telah diberlakukannya Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang terbit tanggal 16 Juli 2008, maka pengembangan industri perbankan syariah nasional semakin memiliki landasan hukum yang memadai dan akan mendorong pertumbuhannya secara lebih cepat lagi. Dengan progres perkembangannya yang impresif, yang mencapai rata-rata pertumbuhan aset lebih dari 65% pertahun dalam lima tahun terakhir, maka diharapkan peran industri perbankan syariah dalam mendukung perekonomian nasional akan semakin signifikan. Apalagi setelah dikabulkannya yudisial review  oleh Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 pasal 55 ayat (2)  Undang-undang No.21 tahun 2008 tentang Perbankan syari’ah, yang menghilangkan dualisme litigasi dalam sengketa perbankan syari’ah, sehingga peradilan agama menjadi satu-satunye lembaga litigasi tempat penyelesaian sengketanya[34].

V.                KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP LEMBAGA KEUANGAN SYARI’AH DI INDONESIA
Apabila Penulis memperhatikan secara seksama terkait kebijakan pemerintah terhadap lembaga keuangan syari’ah di Indonesia ini setidaknya bisa ditelusuri dari empat aspek kebijakan, yaitu keilmuan (peningkatan sumberdaya manusia), institusi/ lembaga keuangan ekonomi syari’ah dan regulasi serta lembaga penyelesaian sengketa (litigasi atau non litigasi). Penulis akan menelaah lebih lanjut terkait kebijakan pemerintah ini pada bagian dibawah:
A.    Kebijakan Terhadap Peningkatan Sumberdaya Manusia (Keilmuan)
Dari aspek keilmuan (peningkatan sumberdaya Manusia), pemerintah melalui kemendiknas, atau kemenag telah member ijin Sekolah menegah kejuruan dengan program studi Ekonomi syariah. Adapun di tingkat perguruan tinggi baik universitas umum maupun universitas islam telah membuka berbagai program studi ekonomi syari’ah, mulai dari D-3 hingga S-3 di banyak perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta.
B.     Kebijakan Tehadap Institusional/ Lembaga ekonomi Syari’ah
Aspek institusi, terjadi perkembangan yang luar biasa pada institusi ekonomi syariah sejak berdirinya Bank Muamalat pada awal 1990an. Berhembusnya angin segar terhadap reformasi politik pada tahun 1997 telah berdampak positif pada perkembangan institusi ekonomi syariah ini. Sejak berdirinya bank syariah, segera menyusul kemudian asuransi syariah yang dipelopori Takaful dan  organisasi pengelola zakat yang dipelopori oleh Dompet Dhuafa. Pada akhir 1990an, perkembangan ini tidak tertahankan dengan berdirinya pasar modal syariah, reksadana syariah, pegadaian syariah, pembiayaan syariah, koperasi syariah, hingga berbagai bisnis sektor riil yang mengusung syariah dalam operasional-nya seperti hotel, penerbit buku, rumah makan, lembaga pendidikan, sampai bengkel otomotif.
C.    Kebijakan dalam Membuat Regulasi
Upaya strategis dalam hubungannya dengan pengembangan ekonomi Islam ini telah mulai dilakukan pemerintah, antara lain dengan penyusunan perangkat perundangan yang pada tahun 2008 ini telah disahkan yaitu UU No 19 Tahun 2008 Tentang Surat Berharga Syariah Nasional[35] dan UU No 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. UU No 19 dapat disebut sebagai upaya pemerintah meningkatkan porsi pembiayaan pembangunan nasional melalui skema pembiayaan syariah dari obligasi negara dan surat berharga lainnya yang memang memiliki peluang besar bagi Indonesia untuk memperolehnya dari investor Timur Tengah maupun ummat Islam Indonesia sendiri. Adapun UU No 21/2008 yang secara khusus membahas perbankan syariah merupakan upaya pemerintah dalam menguatkan kontribusi lembaga keuangan syariah dalam memperkokoh pembangunan nasional. Lahirnya kedua peraturan perundangan ini dengan sendirinya akan menambah ruang bagi pengembangan ekonomi Islam dengan perbankan syariah sebagai lokomotifnya, meskipun berbagai pengembangan masih tetap perlu dilakukan, terutama terkait dengan kebijakan pendukung.
Selain itu, harus juga diakui bahwa berbagai persoalan masih menjadi kendala perkembangan ekonomi Islam dan lembaga keuangan Islam di Indonesia. Permintaan akan jasa keuangan dan praktek ekonomi berbasis syariah berkembang lebih cepat dari perkembangan terkait pemikiran dan konsep mengenai ekonomi Islam. Ini berarti bahwa sumber daya insani yang memadai dalam tugas-tugas akademik dan intelektual untuk merumuskan berbagai pemikiran ekonomi Islam masih jauh dari mencukupi. Ditambah juga bahwa sumber daya insani yang secara praksis berkecimpung di lembaga keuangan syariah belum sepenuhnya memiliki kapasitas yang ideal. Kebanyakan baru merupakan sumber daya manusia pada lembaga keuangan konvensional yang kemudian sedikit dipoles dengan label syariah. Tak mengherankan jika kemudian berbagai kritik bermunculan terhadap praktek ekonomi syariah di Indonesia, yang dinilai tidak jauh berbeda dengan praktek serupa di lembaga keuangan konvensional.
Pola-pola hubungan berbasis syariah baru sebatas akad dan ikrar, belum substansinya. Dengan kata lain, transaksi yang terjadi baru sekedar pada tahapan menghilangkan unsur riba dengan mendesain transaksi yang sah akad dan ikrarnya, dan belum menyentuh persoalan mendasar pada masyarakat yang membutuhkan peran aktif lembaga keuangan syariah. Hal ini sangat mungkin terjadi karena pendekatan terhadap ekonomi syariah di Indonesia dilakukan oleh dua kutub keilmuan, yaitu ilmu ekonomi dan ilmu hukum Islam. Keduanya memang merupakan basis bagi ekonomi syariah, namun harus didekati dengan pendekatan yang integratif, sehingga tidak terkesan berjalan sendiri-sendiri. Tentang substansi yang mendasari sebagai nilai-nilai utama ekonomi syariah ini memang masih terus dirumuskan oleh para pakar dan teoritisi di bidang ekonomi syariah. Berbagai buku ekonomi Islam yang ada saat ini memang masih sangat terbatas untuk menjelaskan pola-pola bisnis syariah yang tidak hanya sesuai dengan prinsip syariah, tetapi juga mampu memberikan kesejahteraan masyarakat luas.
Dalam kaitannya dengan peran ekonomi syariah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, memang belum menjadi agenda pengembangan yang integratif. Dalam Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia yang disusun BI misalnya, inisitaif dan target-target yang dicanangkan belum secara eksplisit menunjuk pada upaya penyejahteraan rakyat. Meskipun dalam dalam visinya, pengembangan perbankan syariah dimaksudkan untuk ““Terwujudnya sistem perbankan syariah yang kompetitif, efisien, dan memenuhi prinsip kehati-hatian serta mampu mendukung sektor riil secara nyata melalui kegiatan pembiayaan berbasis bagi hasil dan transaksi riil dalam kerangka keadilan, tolong menolong dan menuju kebaikan guna mencapai kemaslahatan masyarakat? Poin-poin yang dituju dalam cetak biru tersebut antara lain kepatuhan pada prinsip-prinsip syariah, Ketentuan kehati-hatian, Efisiensi operasi dan daya saing, dan Kestabilan sistem dan kemanfaatan bagi perekonomian.
Kontribusi ekonomi Islam dalam pengembangan kesejahteraan masyarakat sebenarnya merupakan bagian integral dari ajaran Islam yang seharusnya juga menjadi ruh pengembangan ekonomi Islam beserta lembaga keuangan dibawahnya. Konsep kerjasama dalam kebaikan dan takwa (ta’awun fil birri wa taqwa), merupakan bagian dari prinsip Islam yang dijunjung tinggi. Namun dalam prakteknya, harus kita akui bahwa praktek keuangan syariah, semisal bank masih jauh dari konsep ini. Sampai saat ini, pembiayaan murabahah (jual-beli) masih mendominasi komposisi pembiayaan bank syariah. Ini berarti bahwa bank syariah masih belum berani bermain pada pembiayaan untuk investasi riil yang memang membutuhkan lebih banyak energi dibandingkan pembiayaan jual-beli.
Berdasarkan sektor ekonomi, kontribusi perbankan syariah juga belum mencerminkan upaya pengembangan kesejahteraan masyarakat. Sektor-sektor primer yang menguasai hajat lebih banyak anggota masyarakat belum sepenuhnya menjadi concern perbankan syariah dalam menyalurkan kreditnya. Perbankan syariah dan lembaga keuangan syariah lainnya memang bisa berkelit bahwa pada tahap awal, pragmatisme bisnis masih diperlukan untuk menjaga eksistensi usaha. Namun demikian dalam jangka panjang, strategi dan pendekatan yang lebih membela kepentingan rakyat sudah saatnya menjadi fokus pelaku usaha bidang perbankan syariah.
Kontribusi lain dari ekonomi syariah untuk kesejahteraan masyarakat sebenarnya dapat juga dilakukan melalui alokasi berbagai proyek untuk kepentingan rakyat banyak yang didanai melalui skema pembiayaan syariah. Perkembangan sukuk di tingkat internasional misalnya bisa dijadikan contoh. Tingginya likuiditas pada negara-negara kaya minyak di Timur Tengah sebenarnya bisa diserap menjadi dana potensial untuk membiayai proyek-proyek pembangunan yang berorientasi pada rakyat banyak, semisal pembangunan jalan, sarana irigasi, dan lain-lain. Potensi ini sudah diakomodasi melalui penerbitan UU No 19/2008 dan sudah saatnya memberikan hasil yang positif. Untuk itu, peran pemerintah menjadi lebih dituntut untuk membangun iklim usaha yang baik sehingga berbagai peluang yang telah ada dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan nasional.
Pemerintah sudah saatnya tidak hanya berkonsentrasi pada pengembangan lembaga keuangan syariah sebagai lokomotif pengembangan ekonomi Islam semata, tetapi sudah saatnya merambah pada upaya strategis menguatkan peran ekonomi Islam dalam perekonomian nasional melalui strategi jangka panjang yang mencakup lebih banyak aspek kehidupan. Islam sebagai nilai universal tentu saja tidak hanya dipraktekkan dalam kaitannya dengan masalah transaksi, tetapi juga dalam masalah manajemen, tata pamong (governance), pendidikan dan bahkan budaya bangsa.
Di sinilah kemudian peranan sivitas akademik dalam membantu pemerintah menyiapkan blue print pengembangan ekonomi Islam yang lebih luas menjadi penting. Dengan penguatan dan pemanfaatan nilai-nilai Islam yang tercakup dalam ekonomi Islam pada berbagai aspek kehidupan, maka potensi ekonomi Islam dalam mendukung ekonomi nasional akan makin terbuka. Sivitas akademik di perguruan tinggi sudah saatnya tidak hanya berkutat pada masalah akad dan transaksi yang menjadi core dari aktivitas mu’amalah, tetapi juga melihat secara lebih makro kepada aspek-aspek kemanfaatan (mashlahat) yang terkandung dalam setiap transaksi untuk kemudian menterjemahkannya dalam kerangka keilmuan yang dapat dimanfaatkan oleh banyak pihak, termasuk pemerintah.
D.    Kebijakan Penyelesaian Sengketa (Litigasi dan Non Litigasi)
1).  Tatacara Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah Pada Pengadilan Agama.
Apabila perkara ekonomi syari’ah diajukan ke Pengadilan Agama, maka Pengadilan Agama wajib memeriksa, memutus dan menyelesaikannya secara profesional, yakni pertama: dengan  proses yang sederhana, cepat, dan biaya ringan; kedua: dengan pelayanan yang prima, yaitu pelayanan secara resmi, adil, ramah, rapi, akomodatif, manusiawi, dan tertib; dan ketiga: dengan hasil (keputusan) yang tuntas, final, dan memuaskan.
Dalam menyelesaikan perkara ekonomi syari’ah, maka Pengadilan Agama harus menjalankan fungsi holistik pengadilan, yaitu sebagai pelayan hukum dan keadilan kepada para pencari keadilan, sebagai penegak hukum dan keadilan terhadap perkara yang dihadapi, dan sebagai pemulih kedamaian antara pihak-pihak yang bersengketa.
Tugas pokok hakim adalah menegakkan hukum dan keadilan serta memulihkan hubungan sosial antara pihak-pihak yang bersengketa melalui proses peradilan[36]. Sebagai penegak hukum, hakim berkewajiban untuk memeriksa (mengkonstatir) apakah akad (perjanjian) antara para pihak telah dilakukan sesuai dengan ketentuan syari’ah Islam, yakni memenuhi syarat dan rukun sahnya suatu perjanjian yang berupa:  1. asas kebebasan berkontrak, 2. asas persamaan dan kesetaraan, 3. asas keadilan, 4. asas kejujuran dan kebenaran, 5. asas  tidak mengandung unsur riba dengan segala bentuknya, 6. asas tidak ada unsur gharar atau tipu daya, 7. asas tidak ada unsur maisir atau spekulasi, 8. asas tidak ada unsur dhulm atau ketidak adilan, 9. asas tertulis, dan lain sebagainya sesuai dengan obyek (jenis) kegiatan ekonomi syari’ah tertentu. Apabila perjanjian (akad) tersebut telah memenuhi syarat dan rukunnya maka perjanjian (akad) tersebut adalah sah dan mempunyai kekuatan hukum. Namun jika ternyata tidak memenuhi syarat dan rukunnya, maka akad tersebut tidak sah dan karenannya tidak mempunyai kekuatan hukum sehingga tidak mengikat kedua belah pihak. Dalam hal ini, maka hakim karena jabatannya berwenang untuk mengesampingkan bagian-bagian yang tidak sesuai (menyimpang) dari syarat rukunnya tersebut untuk kemudian mengambil langkah-langkah yang sejalan dengan ketentuan syari’ah Islam dan mengembalikan kepada asas-asas tersebut. Asas-asas yang bersifat dwangen recht ditegakkan secara imperatif, sedangan asas-asas yang bersifat anvullen recht ditegakkan secara fakultatif.
Sebagai penegak keadilan, hakim wajib memeriksa pokok gugatan dengan membuktikan (mengkonstatir) dalil-dalil gugatan yang dijadikan dasar tuntutan (petitum). Hakim harus membuktikan kebenaran fakta-fakta yang dijadikan dasar gugatan, menetapkan siapa-siapa yang terbukti melakukan wanprestasi untuk kemudian menghukum yang bersangkutan untuk memenuhi prestasi yang seharusnya ia lakukan agar pihak lain tidak dirugikan dan terciptalah rasa keadilan antara kedua belah pihak.
Sebagai pemulih hubungan sosial (kedamaian), maka hakim wajib menemukan apa yang menjadi penyebab timbulnya sengketa antara kedua belah pihak. Suatu sengketa dapat saja timbul karena: (1). kesalahpahaman, (2). perbedaan penafsiran, (3). ketidakjelasan perjanjian (akad), (4). kecurangan, ketidakjujuran atau ketidakpatutan, (5). ketersinggungan, (6). kesewenang-wenangan atau ketidakadilan, (7). ketidakpuasan, (8). kejadian tak terduga, (9). prestasi tidak sesuai dengan penawaran, (10). presatasi tidak sesuai dengan spesifikasinya, (11). prestasi tidak sesuai dengan waktunya, (12). prestasi tidak sesuai dengan aturan main yang diperjanjikan, (13). prestasi tidak sesuai dengan layanan atau birokrasi yang tidak masuk dalam akad, (14). lambatnya proses kerja, (15). atau wanprestasi sepenuhnya, dan lain sebagainya. Dengan mengetahui apa penyebab timbulnya sengketa maka hakim akan dapat memilih dan menemukan cara yang tepat untuk menyelesaikan sengketa antara kedua belah pihak.
Tugas Pengadilan Agama bukan sekedar memutus perkara melainkan menyelesaikan sengketa sehingga terwujud pulihnya kedamaian antara pihak-pihak yang bersengketa, tercipta adanya rasa keadilan pada masing-masing pihak yang berperkara, dan terwujud pula tegaknya hukum dan kebenaran pada perkara yang diperiksa dan diputus tersebut.
Dengan berpegang pada asas-asas proses penyelesaian perkara yang baik (A2 P3 B), hakim menyelesaikan perkara dengan berpedoman pada hukum acara perdata yang ada dengan sedikit penyesuaian dengan karakteristik sengketa ekonomi syari’ah. Proses peradilannya dilakukan sesuai tatacara dalam hukum acara perdata yang berlaku pada Pengadilan Agama.
Proses penyelesaian perkara ekonomi syari’ah dilakukan hakim dengan tata urutan sebagai berikut:
1.        Hakim memeriksa apakah syarat administrasi perkara telah tercukupi atau belum. Administrasi perkara ini meliputi berkas perkara yang di dalamnya telah ada panjar biaya perkara, nomor perkara, penetapan majelis hakim, dan penunjukan panitera sidang. Apabila syarat tersebut belum lengkap maka berkas dikembalikan ke kepaniteraan untuk dilengkapi, apabila sudah lengkap maka hakim menetapkan hari sidang dan memerintahkan kepada juru sita agar para pihak dipanggil untuk hadir dalam sidang yang waktunya telah ditetapkan oleh hakim dalam surat Penetapan Hari Sidang (PHS);
2.        Hakim memeriksa syarat formil perkara yang meliputi kompetensi dan kecakapan penggugat, kompetensi (kewenangan) Pengadilan Agama baik secara absolut maupun relatif, ketepatan penggugat menentukan tergugat (tidak salah menentukan tergugat), surat gugatan tidak obscuur, perkara yang akan diperiksa belum pernah diputus oleh pengadilan dengan putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap (tidak ne bis in idem), tidak terlalu dini, tidak terlambat, dan tidak dilarang oleh undang-undang untuk diperiksa dan diadili oleh Pengadilan.
3.        Apabila ternyata para pihak telah terikat dengan perjanjian arbitrase, maka Pengadilan Agama tidak berwenang memeriksa dan mengadilinya (Pasal 3 UU No.30 Tahun 1999)[37].
4.      Apabila syarat formil telah terpenuhi berarti hakim dapat melanjutkan untuk memeriksa pokok perkara. Dalam persidangan ini, tugas pertama dan utama hakim adalah berusaha mendamaikan kedua belah pihak sesuai dengan PERMA Nomor 2 Tahun 2003 dan PERMA Nomor 1 Tahun 2008. Apabila tercapai perdamaian, maka hakim membuat akta perdamaian. Apabila tidak dapat dicapai perdamaian maka pemeriksaan dilanjutkan ke tahap berikutnya[38].
5.      Hakim melakukan konstatiring terhadap dalil-dalil gugat dan bantahannya melalui tahap-tahap pembacaan surat gugatan, jawaban tergugat, replik, duplik, dan pembuktian.
6.      Hakim melakukan kualifisiring melalui kesimpulan para pihak dan musyawarah hakim.
7.      Hakim melakukan konstituiring yang dituangkan dalam surat putusan.

2).   Kendala-Kendala Dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah Melalui Pengadilan Agama
Dalam rangka memberikan pelayan yang terbaik kepada masyarakat dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah terdapat beberapa kendala yang harus diatasi. Oleh sebab itu, perlu ada peneyesuaian-penyesuaian praktik peradilan dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah. Kendala-kenadala tersebut, antara lain, adalah:
1.      Belum adanya perangkat hukum yang memadai sebagai acuan dalam menyelesaikan sengketa ekonmi syari’ah pada Pengadilan Agama, Kususnya Hukum acara Ekonomi Syari’ah, yang kemungkinan baru akan dikeluarkan Mahkamah Agung RI dan akan disosialisaikan oleh badan peradilan agama (badilag) awal tahun 2014.
2.      Penerapan asas sidang terbuka untuk umum dalam penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah.
3.      Penerapan hukum materiil dan hukum acara yang terlalu formal dan kaku.
4.      Tidak adanya komunikasi timbal balik yang harmonis dan fleksibel antara hakim dengan para pihak dan antara pihak-pihak itu sendiri sehingga tidak dimungkinkan adanya sistem negosiasi dan konsisliasi adalam porses penyelesaian sengketa.
5.      Sikap, pandangan, dan pendapat para advokat yang mendampingi kliennya yang belum tentu sejalan dengan sikap, pandangan, dan pendapat Pengadilan dalam pembaharuan paradigma peradilan yang modern, mandiri, dan profesional.

Ad.1. Belum adanya perangkat hukum yang memadai
Seperti telah dikemukakan bahwa pelimpahan kekuasaan baru kepada Pengadilan Agama di bidang ekonomi syari’ah tidak disertai pula perangkat hukumnya, khususnya hukum formil sampai tahun ini. Hal ini merupakan kendala tersendiri karena belum ada acuan hukum yang baku, baik bagi hakim ataupun para pelaku ekonomi syari’ah. Sambil menunggu regulasi hukum formil di bidang ekonomi syari’ah yang insyaallah akan dikeluarkan awal tahun 2014 ini, maka Hakim dapat memanfaatkan berbagai literatur penyelesaian sengketa melalui litigasi yang telah dikarang para pakar hukum acara peradilan agama[39]. Adapun untuk hukum materiil, selain perundang-undangan diatas hakim dalam rangka memperkaya lingkup hukum materiilnya juga dapat menempuh langkah-langkah sebagai berikut;
1.       Mengambil hukum tidak tertulis sebagai hukum terapan seperti hukum-hukum fiqh Islam, fatwa-fatwa Dewan Syari’ah Nasionanl, dan Peraturan Bank Indonesia.
2.       Mengadopsi peraturan perundang-undangan yang sejenis melalui penafsiran argumenntum per analogian (analogi) dan pemanfaatan asas lex  posterior derogat legi apriori.
3.       Berijtihad sendiri untuk menemukan hukum yang diperlukan dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah

Ad.2. Penerapan asas sidang terbuka untuk umum
Dalam rangka memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat pencari keadilan dalam perkara sengketa ekonomi syari’ah, ada beberapa hal yang perlu mendapat pertimbangan dari Pengadilan Agama dalam penerapan asas sidang pemeriksaan Pengadilan terbuka untuk umum. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan tersebut adalah:
1.      Salah satu hal yang pada umumnya kurang disukai oleh pencari keadilan atau pihak-pihak yang berperkara adalah bahwa sidang pemeriksaan perkara di Pengadilan bersifat terbuka untuk umum sehingga hal ini akan membuat mereka merasa malu jika permasalahannya diketahui publik.
2.      Hal ini juga akan berpengaruh secara psikologis dalam proses penyelesaian perkara dan biasanya akan semakin mempertajam persengketaan karena masing-masing tentu akan menjaga image, menjaga nama baik diri dan perusahaannya. Masing-masing pihak tentu akan berusaha menjaga kredibelitas (nama baik) diri dan perusahaannya.
3.      Akan lebih runyam lagi jika persengketaan itu dipublikasikan media masa. Hal ini akan berakibat masing-masing tidak berani secara jujur mengakui kesalahan-kesalahannya atau kekurangan-kekurangannya. Keadaan ini akan berpengaruh terhadap proses penyelesaian sengketa yang semakin sulit dan rumit.
Untuk itu, perlu dipertimbangkan tentang penerapan asas sidang terbuka untuk umum dalam perkara ekonomi syari’ah ini. Berdasarkan ketentuan Pasal 59 ayat (1) UU No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dinyatakan bahwa: “Sidang pemeriksaan Pengadilan terbuka untuk umum, kecuali apabila Undang-Undang menentukan lain atau jika Hakim dengan alasan-alasan penting yang dicatat dalam berita acara sidang, memerintahkan bahwa secara keseluruhan atau sebagian akan dilakukan dengan sidang tertutup”[40]. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka dimungkinkan untuk sidang pemeriksaan sengketa ekonomi syari’ah dilakukan secara tertutup demi kemaslahatan pihak-pihak yang berperkara. Hal-hal tersebut di atas merupakan alasan penting dalam rangka penyelesaian sengketa.
Ada dua alasan yang kuat untuk pelaksanaan sidang secara tertutup dalam pemeriksaan sengketa ekonomi syari’ah ini, yaitu:
1.      Proses penyelesaian sengketa akan lebih mudah manakala sidang dilakukan secara tertutup dengan pertimbangan-pertimbangan seperti tersebut di atas.
2.      Penerapan asas sederhana, cepat, dan biaya ringan; asas resmi, adil, ramah, rapi, akomodatif, komunikatif, manusiawi, dan tertib (RARRAKoMTib); dan  asas tuntas, final, dan memuaskan akan lebih mudah dipraktikkan manakala sidang pemeriksaan Pengadilan dilakukan secara tertutup untuk umum.
Pelaksanaan sidang tertutup ini dilakukan atas permintaan dan kesepakatan para pihak dan harus dicatat dalam berita acara sidang. Oleh karena itu, tidak ada salahnya jika hakim dalam pemeriksaannya menawarkan kepada para pihak tentang kemungkinan pelaksaan sidang secara tertutup. Hal ini dapat dianalogkan dengan sidang perkara perceraian, yaitu untuk menjaga nama baik dan memperlancar proses penyesaian sengketa. Pelaksanaan sidang yang tertutup untuk umum juga tidak akan merugikan pihak lain ataupun publik pada umumnya.
Namun demikian, sidang pembacaan putusan haruslah diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Ketentuan ini tidak bisa ditawar-tawar lagi (Pasal 60 UU No.7 Tahun 1989).

Ad.3. Penerapan hukum acara yang terlalu formal dan kaku
Penerapan hukum materiil dan hukum acara yang terlalu formal dan kaku akan menjadi kendala dalam penyelsaian sengketa ekonomi syari’ah karena akan berakibat tidak fleksibelnya penyelesaian sengketa dan banyak hal yang justru sebenarnya bisa diselesaikan tetapi menjadi terhambat akibat penerapan hukum materiil dan hukum acara yang terlalu formal dan kaku. Untuk itu, hakim harus menerapkan hukum secara luwes dan lentur dengan berpegang pada asas, fungsi, dan tujuan hukum itu sendiri bukan pada teks hukum yang formal dan kaku. Secara filosofis, penegakan hukum pada hakikatnya adalah menegakkan asas, fungsi dan tujuan hukum, bukan menegakkan teks hukum. Bahkan demi menegakkan asas, fungsi, dan tujuan hukum, hakim berwenang untuk menyimpang dari teks hukum yang ada. Kesemuanya itu harus dijelaskan dalam putusan hakim. Kecuali apabila teks hukum itu berfungsi melindungi hal-hal yang bersifat prinsipiil karena untuk melindungi nilai-nilai kebenaran, agama (aqidah), ideologi, hak asasi manusia, lingkungan hidup, kepastian hukum untuk kepentingan publik,  dan sebagainya, maka hukum harus diterapkan secara imperatif. Hal ini karena asas, fungsi, dan tujuan hukum hanya bisa terlindungi dengan menegakkan teks hukum yang bersangkutan.

Ad.4. Tidak adanya komunikasi timbal balik yang harmonis dan fleksibel
Salah satu kelemahan proses peradilan adalah tidak adanya komunikasi yang harmonis dan fleksibel antara hakim dengan pencari keadilan dan antara para pihak itu sendiri. Hal ini diakibatkan oleh budaya persidangan yang dilakukan secara tertulis dengan meninggalkan asas oral debat. Padahal sebenarnya proses persidangan tertulis pun tidak dilarang, namun tetap diperlukan adanya dialog langsung antara pihak-pihak dan hakim untuk menyempurnakan proses sidang secara tertulis tersebut. Untuk mengatasi hal ini, maka harus diterapkan secara tepat dan proporsional asas resmi, adil, ramah, rapi, akomodatif, komunikatif, manusiawi, dan tertib (RARRAKoMTib).

Ad.5. Sikap, pandangan, dan pendapat para advokat
Sikap, pandangan, dan pendapat para advokat yang belum tentu sejalan dengan sikap, pandangan, dan pendapat para hakim dalam melakukan pembaharuan dalam praktik peradilan. Hal ini akan menjadi kendala dalam praktik akibat dari perbedaan kepentingan pada masing-masing pihak. Oleh sebab itu sudah seharusnya dijalin komunikasi pemikiran baru antara hakim dan para advokat sehingga mereka memiliki visi dan misi yang sama, yaitu bagaimana menyelesaikan sengketa secara tuntas, final, dan memuaskan, jadi, bukan untuk memenangkan perkara. Hakim dan advokat harus memiliki visi dan misi yang sama meskipun dalam posisi yang berbeda.
Demikian tadi telaah materi terkait penyelesaian sengketa perbankan syariah di Pengadilan Agama pada khususnya dan pada umumnya melingkupi semua aspek ekonomi syari’ah seperti dalam penjelasan pasal 49 huruf i Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006[41].

VI.             PERAN EKONOMI SYARIAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL DAN DAERAH
A.  Sumbangan Bagi Perkembangan Ekonomi Nasional
Setidaknya ada tiga (3) hal yang menjadi sumbangan ekonomi syariah bagi ekonomi nasional. Pertama, ekonomi syariah memberikan andil bagi perkembangan sektor riil. Pengharaman terhadap bunga bank dan spekulasi mengharuskan dana yang dikelola oleh lembaga-lembaga keuangan syariah disalurkan ke sektor riil.  
Kedua, ekonomi syariah lewat industri keuangan syariah turut andil dalam menarik investasi luar negeri ke Indonesia, terutama dari negara-negara Timur-tengah. Adanya berbagai peluang investasi syariah di Indonesia, telah menarik minat investor dari negara-negara petro-dollar ini untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Minat mereka terus berkembang dan justru negara kita yang terkesan tidak siap menerima kehadiran mereka karena berbagai ’penyakit akut’ yang tidak investor friendly, seperti rumitnya birokrasi, faktor keamanan, korupsi, dan sebagainya.
Ketiga, gerakan ekonomi syariah mendorong timbulnya perilaku ekonomi yang etis di masyarakat Indonesia. Ekonomi syariah adalah ekonomi yang berpihak kepada kebenaran dan keadilan dan menolak segala bentuk perilaku ekonomi yang tidak baik seperti  sistem riba, spekulasi, dan ketidakpastian (gharar).
B.     Industri Perbankan dan Pembangunan Ekonomi Daerah
Persoalan yang seringkali dikeluhkan oleh UMKM adalah sulitnya mendapat kredit atau pembiayaan dari Bank. Ada banyak alasan mengapa bank “agak pelit” menyalurkan kredit seperti prinsip kehati-hatian (prudential) yang harus dipegang oleh bank sehingga para pebisnis dibagi menjadi dua, bankable dan non-bankable. Celakanya, sebagian besar UMKM masuk kategori yang kedua ini.
Di samping persoalan itu, Bank Indonesia sudah sejak lama mengeluarkan SBI (Sertifikat Bank Indonesia) yang menjanjikan bunga menarik kepada dunia perbankan untuk menyimpan dana-dana yang dihimpunnya dari daerah-daerah di seluruh Indonesia. Penetapan tingkat bunga yang menarik  selalu dijadikan alasan mudah bagi dunia perbankan untuk tidak menyalurkan dananya sebagai kredit kepada dunia usaha. Bunga SBI ini pernah mencapai 17,5% pertahun yang tentu saja menjadi alasan sangat kuat bagi setiap bank untuk mengirimkan dana-dana pihak ke-3 yang dihimpun di bank-bank di daerah-daerah di seluruh Indonesia untuk dikirim ke Jakarta. Inilah faktor penyebab rendahnya nilai LDR (Loan Deposit Ratio) di setiap daerah, sehingga ketika banyak daerah-daerah miskin/tertinggal berteriak mengharapkan kredit yang murah dan mudah, tokh dana-dana perbankan yang terhimpun di daerah-daerah seperti itu justru dikirim ke kantor pusat bank yang bersangkutan. Bank-bank yang lebih banyak mengirim dana-dana dari daerah-daerah ke kantor pusat selalu mudah menerangkan perilaku keliru ini karena “kesulitan menemukenali” proyek-proyek ekonomi dan bisnis yang bankable yang dapat didanai, padahal yang benar bank-bank ini memang merasa lebih aman menggunakan dana-dana yang dihimpun dengan dibelikan SBI. Hingga tidak heran, dana-dana pembangunan daerah yang seharusnya digunakan untuk pengembangan ekonomi daerah ikut ditanam di SBI karena ketidakkreatifan pemerintah daerah dan para bankernya mencari dan merangsang potensi-potensi ekonomi di daerahnya. menurut suatu sumber, dana desentralisasi yang ditanam di SBI jumlahnya tidak tanggung-tanggung, yakni sekitar Rp43 triliun atau mencapai 19,5 persen dari total dana yang dibagikan ke daerah dalam bentuk dana desentralisasi senilai total Rp220,07 triliun.
Jelas kiranya dari analisis ini bahwa perbankan di Indonesia tidak lain daripada lembaga pencari/pengejar untung, dan sama sekali bukan agent of development. Jika bank-bank kita lebih banyak merupakan perusahaan yang menomorsatukan pendapatan bunga, agar dapat membayar jasa bunga deposito yang menarik kepada deposan, bahkan termasuk tambahan hadiah-hadiah menarik seperti mobil dan rumah-rumah mewah, maka amat sulit menjadikan bank sebagai penggerak kegiatan ekonomi rakyat. Akibatnya bank juga tidak mungkin berperan sebagai lembaga yang mendukung upaya-upaya besar pemberantasan kemiskinan.
C.     Perbankan Syariah sebagai Alternatif
Sebagaimana jamak diketahui, keuangan syariah adalah yang tidak mengenal rezim bunga. Sebagai gantinya, ekonomi Islam menawarkan kerjasama yang saling menguntungkan antara pemilik modal (shahibul mal) dengan pengusaha (mudharib) melalui skema mudharabah atau musyarakah. Di samping itu, kelahiran ekonomi syariah antara lain ditujukan untuk menggerakkan ekonomi umat yang sebagian besar berada di kalangan menengah ke bawah. Oleh karena itu, perbankan syariah sebagai bentuk implementasi konsep ekonomi syariah juga mempunyai spirit yang sama yaitu keberpihakan kepada sektor riil terutama usaha menengah ke bawah.
Mengingat bank syariah adalah bank tanpa bunga, maka ia tidak dapat mengharapkan bunga SBI sebagaimana bank-bank konvensional lainnya. Demikian juga, dana nganggur (idle money) di bank-bank syariah tidak dapat diinvestasikan pada instrumen-insturmen keuangan berbasis bunga lainnya. Oleh karena itu, bank syariah harus berpikir keras untuk menyalurkan dana yang dipegangnya ke sektor non-bunga yang berbasis bagi hasil, margin, atau fee
Kinerja perbankan syariah selama ini menunjukkan tersalurnya dana yang dihimpun dari masyarakat ke usaha yang membutuhkan dana. Data yang dirilis Bank Indonesia selalu menunjukkan bahwa rasio pembiayaan yang disalurkan perbankan syariah terhadap dana pihak ketiga (DPK) atau FDR selalu berkisar di angka 100 persen bahkan lebih. Hal ini berarti, fungsi intermediasi yang dijalankan perbankan syariah berjalan dengan baik. Persoalannya, dana yang dihimpun oleh industri keuangan syariah masih sangat sedikit dibanding dengan total asset perbankan nasional. Hingga saat ini rasio asset perbankan syariah terhadap perbankan  total asset perbankan nasioal belum berhasil menembus angka 2 persen. Artinya, meskipun  FDRnya tinggi namun karena angkanya masih sangat kecil, maka pengaruhnya terhadap ekonomi nasional belum begitu terasa, meski banyak bukti di lapangan yang membuat kita sedikit bernafas lega.
Semangat kelahiran industri keuangan syariah di samping untuk memenuhi dahaga masyarakat terhadap produk keuangan syariah, juga untuk ikut mengurangi tingkat kemiskinan di masyarakat dengan mengangkat taraf ekonomi rakyat ke arah yang lebih baik. Oleh karena itu lah, di dalam keuangan syariah di kenal lembaga keuangan mikro syariah (BMT) yang merupakan ujung tombak yang bersentuhan langsung dengan pebisnis dan wirausaha kecil. Bank-bank syariah yang tidak dapat menyentuh level bisnis terendah ini karena berbagai peraturan yang harus ditaati dapat bermitra dengan BMT-BMT dan BPRS yang telah ada dalam penyaluran pembiayaan dan penghimpunan dana masyarakat. 
 Pengembangan Bank Syariah di Indonesia jelas bertujuan menerapkan perbankan etik yaitu tidak sekedar menjual jasa atau produk perbankan dengan mengenakan bunga, tetapi ”bekerjasama dengan klien” untuk memperbaiki kesejahteraan atau meningkatkan kehidupan ekonomi klien. Di Indonesia Bank-bank desa seperti BKK di Jawa Tengah atau Lumbung Piteh Nagari di Sumatera Barat, yang dibentuk dari bawah bersama klien, adalah Bank-bank etik yang dimaksud. Namun sayangnya sejak liberalisasi perbankan 1983, 1988, dan 1992, Bank-bank yang demikian telah ”dimatikan” atau “dikerdilkan”. Pengalaman krisis perbankan 1997/1998 yang sampai kini belum teratasi telah memberikan pelajaran pahit, mudah-mudahan berharga, bagi dunia perbankan Indonesia. Pelajaran berharga itu adalah tidak lagi mengembangkan sistem perbankan kapitalistik yang mendahulukan kepentingan bisnis pemilik Bank, bukan kepetingan klien dan masyarakat luas
D.    Implikasi Ekonomi Syariah terhadap Pembangunan Ekonomi Daerah
Industri keuangan syariah di tanah air mendekati usia 20 tahun. Sudah banyak hal yang dilakukan oleh masyarakat ekonomi syariah Indonesia untuk mengembangkan sistem ekonomi alternatif ini yang diyakini lebih adil dan mensejahterakan. Lembaga-lembaga pendukung pun semakin berkembang termasuk lembaga-lembaga pendidikan ekonomi syariah yang sudah ada hampir di semua provinsi. Lembaga-lembaga keuangan syariah pun juga sudah hampir merata di seluruh nusantara. Sekarang mengembangkan industri keuangan syariah dan lembaga-lembaga pendukungnya berikut peraturan perundang-undangan yang memberikan rambu-rambu bagi pelaku ekonomi syariah pun mulai tertata[42].
Jika demikian halnya, bagaimana pengaruh ekonomi syariah terhadap pembangunan ekonomi daerah? Untuk menjawab pertanyaan ini diperlukan suatu penelitian yang lebih mendalam. Yang dapat kita kemukakan di sini adalah beberapa indikator yang dapat menunjukkan adanya peranan ekonomi syariah terhadap pembangunan daerah.
Indikator pertama yaitu semakin banyaknya bank-bank syariah nasional yang membuka cabang di daerah-daerah. Pembukaan kantor-kantor cabang ini tentu membawa implikasi bagi pembangunan ekonomi setempat karena adanya aktivitas intermediasi yang dilakukan perbankan syariah yaitu menyalurkan dana dari pihak yang surplus ke pada pihak yang shortage.
Di samping bank-bank syariah  nasional, baik bank umum syariah (BUS) maupun unit usaha syariah (UUS), bank-bank pembangunan daerah juga ramai-ramai membuka unit usaha syariahnya. Saat ini sudah ada 11 Bank Pembangunan Daerah (BPD) yang membuka UUS dan akan disusul oleh BPD-BPD lainnya. Perkembangan ini diharapkan akan meningkatkan geliat pembangunan ekonomi daerah melalui sistem keuangan syariah.
Hal selanjutnya yang tidak kalah pentingnya adalah peranan yang dimainkan oleh lembaga-lembaga keuangan mikro dan kecil syariah seperti BMT, Koperasi Syariah, dan BPRS yang juga hampir merata sebarannya di seluruh tanah air. Tentu sudah banyak perananan yang dimainkan oleh lembaga-lembaga keuangan syariah ini dan sudah banyak pula pengaruhnya bagi perbaikan ekonomi daerah.
Lembaga-lembaga ini rajin  melakukan sosialisasi ekonomi syariah kepada masyarakat. Ekonomi syariah adalah suatu konsep ekonomi yang mengajarkan kewirausahaan dan investasi yang etis kepada masyarakat. Dengan demikian, masyarakat dididik untuk menjadi entreprenur-entreprenur sejati yang berjuang mengangkat taraf hidupnya dan masyarakat lainnya ke arah yang lebih baik.
Yang kurang sekarang adalah dukungan dari pemerintah terhadap ekonomi syariah itu sendiri. Ekonomi syariah masih dipandang sebelah mata dan tidak dijadkan sebagai hal yang utama. Padahal sudah banyak bukti yang menunjukkan peranan ekonomi syariah dalam mengangkat ekonomi rakyat. Untuk itu, kita membutuhkan dukungan yang lebih besar lagi dari pemerintah bagi pengembangan ekonomi syariah di tanah air.
Mungkin kita perlu belajar banyak dari pemerintah Malaysia yang memberikan dukungan yang besar bagi ekonomi syariah di sana. Sehingga tidak heran, kita masih jauh tertinggal dari negeri jiran itu dalam bidang keuangan syariah yang telah terbukti menghantarkan negara jiran menjadi negara adidaya dan sangat diperhitungkandi segi perbankan International.
VII.                 KESIMPULAN
1.      Perkembangan ekonomis syari’ah di Indonesia saat ini sudah sangat pesat, namun jika dibanding dengan ekonomi secara nasional persentasenya masih kalah jauh.
2.      Kebiajakn pemerintah setidaknya mencakup empat bidang yaitu keilmuan (peningkatan sumberdaya manusia), institusi/ lembaga keuangan ekonomi syari’ah dan regulasi serta lembaga penyelesaian sengketa (litigasi atau non litigasi). Sengketa ekonomi syari’ah dapat diselesaikan dengan cara litigasi ataupun nonlitigasi. Dalam hal litigasi Pengadilan Agama telah memiliki sumberdaya yang yang sangat handal, salah satu indikatornya adalah setiap satuan kerja memiliki minimal satu majelis hakim khusus ekonomi syari’ah.
3.      Peranan ekonomi syari’ah dalam pembangunan nasional dan daerah telah dapat dirasakan oleh bangsa Indonesia, salah satu indikatornya adalah bangsa indonesia mampu terhindar dari krisis ekonomi global pada tahun 2008 dan tahun 2012.

VIII.              SARAN-SARAN
1.      Bank Indonesia Cq. lembaga perbankan syari’ah: Sangat diperlukan dalam  rekrutmen  praktisi ekonomis syari’ah  adalah tenaga ahli di bidang perbankan syari’ah tentu dengan indikator formalnya adalah alumni program studi ekonomi syari’ah baik dari universitas islam ataupun dari universitas umum untuk menigkatkan SDM pada Bank Umum Syari’ah (BUS) atau Unit Usaha Syari’ah (UUS) serta lembaga Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) juga lembaga-lembaga ekonomi syari’ah lainnya.
2.      Kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia Cq. Balitbang Diklat Kumdil MA-RI: Peningkatan sumberdaya manusia aparat Pengadilan Agama  harus selalu ditingkatkan secara berkesinambungan di bidang hukum perbankan syari’ah khususnya dan ekonomi syariah pada umumnya, meskipun telah banyak praktisi (hakim-hakim Peradilan Agama) yang telah mempunyai sertifikat penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah dari Badan Diklat dan Penelitian  Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung Republik Indonesia (Balitbang Diklat kumdil MA-RI), serta lulusan Hukum Bisnis dan atau Ekonomi syari’ah untuk S1, S2 atau Bahkan S3.
3.      Kepada Pemerintah RI dan Dewan Perwakilan Rakyat RI: Segera diundangkannya hukum formil ekonomi syari’ah, sebagai pedoman para hakim, advokad, akademisi serta masyarakat pencari pada umumnya, terkait penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah.



DAFTAR PUSTAKA

A. Karim,Adiwarman. Bank Islam. Pt Raja Grapindo Persada: Jakarta, 2006.
Abdan, Zaidi. Lembaga Perekonomian Ummat Di Dunia Islam. Angkasa: Bandung, 2003 Cet. Pertama
 Adriani Sutedi,Sh.,Mh., Pasar Modal Syari’ah, Sarana Investasi Keuangan Berdasarkan Prinsip Syari’ah, Sinar Grafika, Cet.I. 2012.
Al-Mushlih, Abdullah dan  Ash-shawi, Shalah. Fikih Ekonomi Keuangan Islam. Darul Haq: Jakarta, 2008, Cet. Ke-II
Al-Qur’an dan Terjemahnya, Thoha putra, Semarang, 1996.
Anita Priantina (Dosen Stei Tazkia) Perjalanan Perbankan Syariah Di Indonesia, Http://Ramadan.Detik.Com/Read/2013/08/18/075234/2333137/1522/ Diakses Pada Hari Senin Tanggal 07 Oktober 2013 Jam.16.30
Bank Muamalat, Annual Report (Jakarta: 1999) Dikutip Oleh Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah Dari Teori Ke Praktik, Gema Insani, Jakarta, 2001,
Djazuli. Dan Janwari, Yadi. Lembaga-lembaga Perekonomian Umat. PT Raja Grapindo Persada: Jakarta,2002. Cetakan. Pertama
Dr.Ahmad Mujahidin,Mh. Prosedur Penyelesaiaan Ekonomi Syari’ah Di Indonesia, Galia Indoneisa, Cet.I Tahun 2010
Firdaus, Muhamad. Fatwa-fatwa Ekonomi Syariah Kontemporer. Renaisan: Jakarta, 2005 Cet. Ke-1
Hosen, Nadratuzzaman, Dkk. Materi Dakwah Ekonomi Syariah. Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah: Jakarta,
Http://Www.Bi.Go.Id/Web/Id/Perbankan/Perbankan+Syariah/ Diakses Pada Hari Selasa Tanggal 08/10/2013 Jam 14.10 WIB
Http://Www.Bisosial.Com/2013/03/Perkembangan-Perbankan-Syariah-Dan.Html  Diakses Senin, Tanggal 07 Oktober 2013 Pukul 16;30 WIB.
Mahkamah Agung Republik Indonesia Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah, Tahun 2011, Edisi Revisi,
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Di Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar, Cet .I., 1996.
Prof Dr. Abdul Wahab Kholaf, Ilmu Ushulul Fiqhi,  Darul Qalam, Kuwait, Cet.XII, Tahun 1978.
Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 93/PUU-X/2012, Yang Diucapka Tanggal 29 Agustus 2013.
Syafi’I Antonio.Muhammad. Bank Syariah dari teori kepraktik. Gema Insani Press: Jakarta, 2001, Cet. Ke1,
Undang-Undang Nomor 03 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang  Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama.
Undang-Undang Nomor.21 Tahun 2008 Perbankan Syari’ah
Widyaningsih.dkk. Bank dan Asuransi Islam Di Indonesia, Kencana: Jakarta, 2005.



[1]Http://WWW.Bisosial.Com/2013/03/Perkembangan-Perbankan-Syariah-Dan.Html  Diakses Senin, Tanggal 07 Oktober 2013 Pukul 16;30 Wib.
[2]Setelah Resmi Diluncurkan (Produk-Produk Pasar Modal Syari’ah) Pada Tanggal 14 Maret 2003, Instrumen-Instrumen Pasar Modal Berbasis Syari’ah Yang Telah Terbit  Sampai Dengan Saat Ini Adalah: Saham, Obligasi Syari’ah (Sukuk), Dan Reksa Dana Syariah.Lihat: Adriani Sutedi,Sh.,Mh., Pasar Modal Syari’ah, Sarana Investasi Keuangan Berdasarkan Prinsip Syari’ah, Sinar Grafika, Cet.I. 2012.Hal.4-8.
[3]  Untuk Mengetahui Lebih Lanjut, Dapat Dibaca Dalam Asas-Asas Akad: Mahkamah Agung Republik Indonesia Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah, Tahun 2011, Edisi Revisi, Hal.15-16.
[4]  Bagi Seorang Muslim Kegiatan Ekonomi Adalah Bagian Dari Ibadah Mengingat Pentingnya Hal Tersebut, Al-Qur’an Telah Mengantur Dalam 70 Ayat: Baik Hal Tersebut Terkait Muamalat Antara Perorangan, Masyarakat Dan Persekutuan, Seperti Jual Beli, Sewa-Menyewa, Gadai, Pertanggungan Syirkah, Utang-Piutang, Menenuhi Janji Secara Disiplin Dan Lainya. Lihat: Prof Dr. Abdul Wahab Kholaf, Ilmu Ushulul Fiqhi,  Darul Qalam, Kuwait, Cet.XII, Tahun 1978 Hal.83.
[5]  Mahkamah Agung Republik Indonesia Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES), Edisi Revisi 2011, Hal.1
[6] Penjelasan Pasal 49 Huruf (I) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Yang Telah Diubah Dengan Undang-Undang No.50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama.
[7]  Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Yang Telah Diubah Dengan Undang-Undang No.50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama.
[8] http://www.syariahonline.com/v2/ekonomi-islam-a-muamalat/2493-ekonomi-islam-vs-ekonomi-konvensional.html
[9] Al-Qur’an dan Terjemahnya, Thoha putra, Semarang, 1996.
[10] Al-Qur’an dan Terjemahnya, Thoha putra, Semarang, 1996.
[11] Al-Qur’an dan Terjemahnya, Thoha putra, Semarang, 1996.
[12] Al-Qur’an dan Terjemahnya, Thoha putra, Semarang, 1996.
[13] Al-Qur’an dan Terjemahnya, Thoha putra, Semarang, 1996.
[14] Prof.H. A.Djazuli. Dan Drs. Yadi Janwari,M.ag . Lembaga-lembaga Perekonomian Umat. PT Raja Grapindo Persada: Jakarta,2002. Cetakan. Pertama.Hlm.54)
[15] Drs.M. Zaidi Abdan, M.Ag. Lembaga Perekonomian Ummat Di Dunia Islam. Angkasa: Bandung, 2003 Cet. Pertama. Hlm.76
[16] Prof.Dr. Abdullah Al-Mushlih dan Prof.Dr.Shalah Ash- Shawi. Fikih Ekonomi Keuangan Islam.Darul Haq: Jakarta, 2004. Hlm. 26-29
[17] M. Nadratuzzaman Hosen. Dkk. Materi Dakwah Ekonomi Syariah. Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah (PKES). Jakart. Hlm.87-89
[18] Adiwarman A. Karim. Bank Islam. PT Raja Grapindo Persada: Jakarta, 2006. Hlm.65
[19] M. Nadratuzzaman Hosen. Dkk. Materi Dakwah Ekonomi Syariah. Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah (PKES). Jakart. Hlm.83-84
[20] Kompetensi absolut Penyelesaian sengkata ekonomi syariah di Pengadilan Agama diatur dalam Undang-Undang  No.3 tahun 2006 Tentang Peradilan agama Pasal 49 huruf (i) dan Undang-Undang Nomor.21 tahun 2008 Perbankan syari’ah pasal 55 ayat 1 yang telah diperkuat dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012, yang diucapkan tanggal 29 Agustus 2013, yaitu terkait dikabulkannya yudisial review yang menghilangkan dualisme litigasi (Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri) dalam sengketa perbankan syari’ah, sehingga Pengadilan Agama menjadi satu-satunya lembaga litigasi tempat penyelesaian sengketa ekonomi syariah
[21] Muhammad Syafi’I Antonio. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Gema Insani: Jakarta, 2001 Cet. Ke-1. Hlm.33
[22] Drs.M. Zaidi Abdan, M.Ag. Lembaga Perekonomian Ummat Di Dunia Islam. Angkasa: Bandung, 2003 Cet. Pertama. Hlm.77
[23] Muhammad Syafi’I Antonio. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Gema Insani: Jakarta, 2001 Cet. Ke-1. Hlm.33-34
[24] Prof.H. A.Djazuli. Dan Drs. Yadi Janwari,M.ag . Lembaga-lembaga Perekonomian Umat. PT Raja Grapindo Persada: Jakarta,2002. Cetakan. Pertama.Hlm.55-60
[25]  Kompetensi absolut Penyelesaian sengkata ekonomi syariah di Pengadilan Agama diatur dalam Undang-Undang  No.3 tahun 2006 Tentang Peradilan agama Pasal 49 huruf (i) dan Undang-Undang Nomor.21 tahun 2008 Perbankan syari’ah pasal 55 ayat 1 yang telah diperkuat dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012, yang diucapkan tanggal 29 Agustus 2013, yaitu terkait dikabulkannya yudisial review yang menghilangkan dualisme litigasi (Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri) dalam sengketa perbankan syari’ah, sehingga Pengadilan Agama menjadi satu-satunya lembaga litigasi tempat penyelesaian sengketa ekonomi syariah.
[26] Bank Muamalat, Annual Report (Jakarta: 1999) Dikutip Oleh Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah Dari Teori Ke Praktik, Gema Insani, Jakarta, 2001, Hal.25.
[27]  Untuk mengetahui lebih detailnya dapat dilihat dalam Undang-Undang No.10 Tahun 1998 tentang  perubahan atas undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan.
[28] Pertumbuhan ini termasuk sangat pesat,lihat:http://rri.co.id/index.php/berita/71378/Perbankan-Syariah-di-Indonesia-Tumbuh-40-Persen#.UlJ95dJGs5g diakses Senin, Pada Tanggal: 07/10/2013 16.30 WIB
[29]http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Perbankan+Syariah/ diakses pada hari selasa tanggal 08/10/2013 Jam 14.10 WIB
[30]Anita Priantina (Dosen STEI Tazkia) Perjalanan Perbankan Syariah Di Indonesia, http://ramadan.detik.com/read/2013/08/18/075234/2333137/1522/ diakses pada hari senin tanggal 07 Oktober 2013 jam.16.30.
[31] Nama-nama bank tersebut adalah PT Bank Syariah Muamalat Indonesia, PT Bank Syariah Mandiri, PT Bank Syariah Mega Indonesia, PT Bank Syariah BRI, PT Bank Syariah Bukopin, PT Bank Panin Syariah, PT Bank Vi ctoria Syariah, PT BCA Syariah, PT Bank Jabar dan Banten, PT Bank Syariah BNI, PT Maybank Indonesia Syariah (Diambil dari data statistic bank Indonesia periode juni 2013).
[32] Ibid.
[33]  Anita Priantina.Op.Cit
[34] Untuk mengetahui secara lengkap dapat dibaca putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 93/PUU-X/2012, yang diucapka tanggal 29 Agustus 2013.
[35] Surat Berharga Syariah Nasional (SBSN) terkenal dengan sebutan sukuk.
[36] Lihat Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Di Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar, Cet .I., 1996, Hal.30-38
[37]  Lihat Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase
[38] Untuk teknis mediasi dalam litigasi dapat di baca PERMA Nomor 2 Tahun 2003 dan PERMA Nomor 1 Tahun 2008
[39] Salah Satu Contonya Buku Karya Dr.Ahmad Mujahidin,MH. Prosedur Penyelesaiaan Ekonomi Syari’ah Di Indonesia, Galia Indoneisa, Cet.I Tahun 2010
[40] Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Nomor.7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan undang-undang nomor 3 tahun 2006 dan telah diubah dengan undang-undang nomor 50 tahun 2009.
[41]  penjelasan pasal 49 huruf i Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 meliputi: Bank Syari’ah, Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah, Asuransi Syari’ah, Reasuransi Syari’ah, Reksa Dana Syari’ah, Obligasi Syari’ah Dan Surat Berharga Berjangka Menengah Syari’ah,Sekuritas Syari’ah, Pembiayaan Syari’ah, Pegadaian Syari’ah, Dana Pensiun Lembaga Keuangan Syari’ah Dan Bisnis Syari’ah
[42] Telah dilahirkanny a Undang-Undang  No.3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 yang meniadakan Choice of Court bagi sengketa Ekonomi Syari’ah adalah bentuk keseriusan pemerintah dalam membeck-up sistem sistem ekonomi tanpa bunga ini.

Comments

Popular posts from this blog

HADITS-HADITS AHKAM TENTANG JUAL BELI (SALE AND PURCHASE)

SHUNDUQ HIFZI IDA’ (SAFE DEPOSIT BOX) BANK SYARI’AH

STUDI TENTANG PEMIKIRAN IMAM AL-SYAUKANI DALAM KITAB IRSYAD AL-FUHUL