LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH DI INDONESIA
KEBIJAKAN
PEMERINTAH TERHADAP
LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH DI INDONESIA
OLEH
Nur Moklis
I.
PENDAHULUAN
Peran lembaga keuangan adalah sangat penting untuk
menggerakkan berbagai bidang dalam sektor riil, baik dalam skala nasional,
regional maupun internasional. Pada saat ini perkembangan ekonomi
syariah begitu pesat di dunia, tak terkecuali di Indonesia. Bahkan di berbagai benua, seperti Amerika, Eropa, Afrika,
Australia dan Asia mulai berbondong-bondong mengkaji ekonomi syariah. Beberapa
negara ingin mendeklarasikan dirinya sebagai pusat ekonomi syariah di
masing-masing kawasan regional
bahkan tingkat Internasional[1].
Hal itu merupakan dampak sistem kapitalisme yang dibanggakan
dapat menjadi antibodi dari berbagai krisis ternyata justru menadi virus dari
krisis itu sendiri. Sudah berbagai krisis menimpa dunia, pada tahun 1998, 2008,
dan pada tahun 2012 pun masih terjadi krisis, seperti krisis di Asia, Amerika
dan Eropa yang belum lama ini terjadi.
Ternyata lembaga keuangan syariah
mampu menahan krisis ekonomi, hal ini sudah teruji dan bisa dirasakan
masyarakat. Contohnya ketika krisis pada tahun 1998 di Indonesia, banyak
bank-bank konvensional mengalami likuidasi, justru Bank Muamalat yang memiliki
prinsip ekonomi syariah bisa tetap bertahan pada zamannya.
Pada tahun 2008 ketika terjadi krisis
di Amerika, ternyata Indonesia yang sedang mengembangkan ekonomi syariah tidak
terkena dampak yang signifikan dari krisis tersebut. Pada tahun 2012 beberapa
Negara di eropa seperti Yunani, Irlandia, Spanyol, Portugal dan Italia terkena
badai krisis. Tapi ternyata ada satu Negara di Eropa yang masih bertahan yaitu
Inggris. Ternyata Inggris merupakan Negara yang sedang mengembangkan ekonomi
syariah dan Inggris menyatakan sebagai pusat ekonomi syariah di eropa.
Adapun di Indonesia, perkembangan ekonomi syariah saat ini begitu pesat,
ini terlihat dari berbagai kemunculan industri keuangan syariah seperti
asuransi syariah, perbankan syariah, pasar modal syariah[2],
koperasi syariah, dan lain sebagainya. Hingga banyak bermunculan pendidikan tinggi maupun menengah
yang membuka jurusan ekonomi syariah serta banyaknya organisasi dan asosiasi
ekonomi syariah.
Jika dilihat
uraian diatas keberadaan perbankan syari’ah adalah sangat urgen bagi
masyarakat, bangsa dan negara Indonesia. Disisi lain masyarakat Indoneia sangat
merindukan lembaga keuangan yang bebas riba, bebas gharar, adanya transparansi,
adanya kesetaraan, saling menguntungkan dan yang tidak kalah penting adalah
sebab yang halal, tidak bertentangan dengan hukum, tidak dilarang hukum dan
tidak haram[3].
Masyarakat mempunyai ekpektasi yang sangat tinggi terhadap keberadaan bank
syari’ah dan lembaga-lembaga keuangan syari’ah serta bisnis yang berasas
syari’ah lainnya karena selain bebas riba yang merupakan larangan dalam beragama
juga mampu memberikan rasa aman secara spiritual dan juga financial, namun
karena terbatasnya informasi yang dapat diakses oleh masyarakat luas, serta
sedikitnya referensi yang tersedia, apalagi diperkeruh sebagian pakar ekonomi
yang pesimistik dan tidak memahai aspek ekonomi syariah dalam dunia bisnis,
sehingga sebagian masyarakat berprinsip lebih baik melihat dan menunggu dulu
tentang kredibilitas dan aspek hukum lembaga-lembaga ekonomi syari’ah ini.
Berdasarkan
fenomena tersebut penulis berusaha mendiskripsikan secara ringkas namun
gamblang terkait ekonomi syariah dan aspek hukum[4] yang melingkupinya jika
terjadi sengketa, kebijakan pemerintah terhadap lembaga keuangan syari’ah serta
peran ekonomi syariah dalam pembangunan Nasional.
II.
PERMASALAHAN
Berdasarkan
uraian diatas, maka penelaahan ekonomi syariah di Indonesia akan mengulas
perkembangan, aspek hukum yang melingkupinya dan peranannya dalam pembangunan
nasional sehingga masyarakat mendapatkan informasi yang memadai terkait hal
tersebut. Untuk mempertajam telaah makalah ini, perlu dititikberatkan untuk
menjawab tiga pertanyaan sebagai berikut ini:
a.
Bagaimana perkembangan ekonomi syaria’ah di Indonesia sampai saat ini?
b.
Bagaimana
kebijakan pemerintah terhadap lembaga keuangan syari’ah di Indonesia?
c.
Bagaimana peranan ekonomi syariah dalam
pembangunan nasional dan daerah?
III.
MENGENAL EKONOMI SYARI’AH
Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah (KHES) yang diberlakukan sebagai hukum materiil Pengdilan Agama berdasarkan
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2008 ekonomi syariah adalah usaha atau
kegiatan yang dilakukan oleh orang perorang, kelompok orang, badan usaha yang
berbadan hukum atau tidak berbadan hukum dalam rangka memenuhi kebutuhan yang
bersifat komersal dan tidak komersial menurut prinsip syari’ah[5].
Adapun dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006, ekonomi syari'ah
adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari'ah[6], yang dimaksud dengan ekonomi syariah antara lain
meliputi:[7]
1. Bank Syari’ah;
2. Lembaga Keuangan
Mikro Syari’ah;
3. Asuransi Syari’ah;
4. Reasuransi
Syari’ah;
5. Reksa Dana
Syari’ah;
6.
Obligasi Syari’ah Dan Surat Berharga
Berjangka Menengah Syari’ah;
7.
Sekuritas
Syari’ah;
8.
Pembiayaan
Syari’ah;
9. Pegadaian
Syari’ah;
10.
Dana Pensiun
Lembaga Keuangan Syari’ah; Dan
11.
Bisnis Syari’ah.
Perbedaan yang mendasar antara
ekonomi syari’ah dan ekonomi konvensional adalah dari dasar berangkatnya kedua ilmu itu
sendiri. Ilmu ekonomi konvensional berpijak pada dasar materialisme dan
sekulerisme. Sedangkan ekonomi Islam pijakan dasarnya tidak lain adalah
Al-Quran dan As-Sunnah serta kajian para ulama terdahulu[8].
Sehingga derivasinya ke dalam bentuk doktrin-doktrin ekonomi antara keduanya
bisa saja berbeda 180 derajat dalam satu sisi dan bisa juga pada sisi yang lain
menjadi sejajar. Yang berbeda misalnya filosofi interest (riba) yang dalam
ekonomi sekuler adalah sesuatu yang syah-syah saja, sedangkan dalam ekonomi
Islam justru menjadi hal yang paling ditentang dan harus diperangi. Bahkan
pelaku riba diancam oleh Allah dengan sebutan gila. Allah berfirman dalam
Al-Quran: “Orang-orang yang makan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran penyakit gila. Keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata , sesungguhnya jual beli
itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari
Tuhannya, lalu terus berhenti, maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu ;
dan urusannya kepada Allah. Orang yang kembali, maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (QS. Al-Baqarah : 275)[9]
Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap
orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.(QS. Al-Baqarah : 267)[10]
Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah
dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan
yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara
mereka itu siksa yang pedih. (QS. An-Nisa : 161)[11]
Ini sekedar sebuah contoh sederhana
untuk masalah yang bertentangan. Sedangkan masalah yang mungkin sejalan antara
ekonomi syari’ah dan ekonomi konvensional misalnya adalah prinsip kepercayaan
dan keharusan adanya pencatatan setiap transaksi. Dalam masalah prinsip
kepercayaan antara pelaku ekonimi Allah berfirman: Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kami saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara
kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa : 29)[12]
Dan dalam pentingnya sistem pencatatan dalam masalah transaksi ekonomi Allah
berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan
janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka
hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan, dan
hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi
sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya
atau lemah atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya
mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari
orang-orang lelaki . Jika tak ada dua orang lelaki, maka seorang lelaki dan dua
orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa
maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan apabila
mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun
besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi
Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak keraguanmu,
kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu,
maka tidak ada dosa bagi kamu, kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah
apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit
menyulitkan. Jika kamu lakukan , maka sesungguhnya hal itu adalah suatu
kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.(QS. Al-Baqarah : 282)[13]
Pada saat lemabaga keuangan syari’ah
yang paling popular adalah lembaga pernakan syariah. Untuk itu penulis akan
menjelaskan sedikit sebagai sample antara lembaga keuangan berbasis syari’ah
dan lemabaga keuangan yang konvensional. Penulis awali dari Perbedaan
bank syariah dengan bank konvensional menurut Karnaen A. Perwataatmadja dan
Syafi’i Antonio, Bank Syariah memiliki dua pengertain, yaitu: (1) Bank yang
beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syari’at Islam; (2) Bank yanng taat
cara beroperasinya mengacu kepada ketentuan-ketentuan al-quran dan Al-Hadits. Dalam
pengertian lain disebutkan bahwa yang dimaksud dengan bank Syari’ah adalah
lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberiakn kredit dan jasa-jasa lain dalam
lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang operasinya disesuaikan dengan
prinsip syari’at Islam. Dalam pengertain ini, ussaha bank akan selalu dikaitkan
denagn masalah uang yang merupakan barang dagangan utama[14].
Dalam beberapa hal kedua bank ini
memiliki persamaan, terutama dalam sisi teknis penerimaan uang, mekanisme
transfer, teknologi komputer yang digunakan, syarat-syarat umum untuk
memperoleh pembiayaan, seperti KTP,NPWP, proposal, laporan keuangan. Namun
terdapat banyak perbedaan yang cukup esensi (mendasar) diantara keduanya.
Perbedaan itu menyanngkut beberapa hal;[15]
Akad Dan Aspek Legalitas, Dalam bank
syariah, akad yang dilakukan memiliki konsekuensi duniawi dan ukhrawi karena
akad yang dilakukan berdasarkan hukum islam.
Definisi Akad, secara bahasa, akad
atau perjanjian itu digunakan untuk banyak arti, yang keseluruhannya kembali
kepada bentuk ikatan atau penghubungan terhadap dua hal. Sementara akad menurut
istilah adalah keterikatan keinginan diri dengan sesuatu yang lain dengan cara
yang memunculkan adanya komitmen tertentu yang disyariatkan.
Rukun-rukun Akad, Akad memiliki tiga
rukun, yaitu adanya dua orang atau lebih yang melakukan akad, objek akad (transaksi)
dan lafazh (shighat) akad. (1) Dua orang atau lebih yang melakukan akad
ini adalah dua orang atau lebih yang secara langsung terlibat dalam akad. Kedua
belah pihak dipersyaratkan harus memiliki kelayakan untuk melakukan akad
sehingga perjanjian atau akad tersebut dianggap sah. (2) Objek Akad
(Transaksi), yakni barang yang dijual dalam akad jual beli, atau sesuatu yang
disewakan dalam akad sewa dan sejenisnya. (3) Lafazh (Syighat) Akad, yang
dimaksud dengan pengnucapan akad itu adalah ungkapan yang dilontarkan oleh
orang yang melakukan akad untyuk menunjukan keinginannya yang mengesankan bahwa
akad itu sudah belangsung. Tentu saja ucapan itu harus mengandung serah terima
(ijab-qabul).[16]
Akad-Akad dalam Bank Syariah. Antara
Wa’ad dengan Akad. Fiqih Muamalah Islam membedakan antara wa’ad dengan
akad. Wa’ad adalah janji (promise) antara satu pihak kepada pihak
lainnya. Sementara akad adalah kontrak antara dua belah pihak.Wa’ad hanya
mengikat satu pihak, yakni pihak yang yang memberi janji berkewajiban untuk
melaksanakn kewajibannya. Sedangkan pihak yang diberi janji tidak memikul
kewajiban apa-apa terhadap pihak lain.
Antara Tibarru’ dengan tijara, Akad
Tabarru’, (gratuitous
contract) adalah segala macam perjanjian yang menyangkut non-for frofit
transaction (transaksi nirlaba). Transaksi ini pada hakikatnya bukan transaksi
bisnis untuk mencari keuntungan komersial. Akad tabarru’ dilakukan dengan
tujuan tolong menolong dalam rangka berbuat kebaikan (tabarru berasal dari kata
birr dalam bahasa arab, yang artinya kebaikan). Dalam akad tabarru’, pihak yang
berbuat kebaikan tersebut tidak berhak mensyaratkan imbalan apapun kepada pihak
lainnya. Imbalan dari akad tabarru adalah dari Allah Swt., bukan dari manusia
namun demekian pihak pihak yang berbuat kebaikan tersebut boleh meminta kepada counter-part-nya
untuk sekedar menutupi biaya (cover the cost) yang dikeluarkan untuk
dapat melakukan akad tabarru’ tersebut. Namun ia tidak boleh sedikitpun
mengambil laba dari akad tabarru’ itu. Contoh akad-akad tabarru’ adalah qard,
rahan,hiwalah, wakalah, kafalah, wadi’ah, hibah, waqaf, shadaqah, hadiah, dan
lain-lain.
Ada tiga macam bentuk umum akad
Tabarru’, yakni: (1) Meminjamkan harta (uang) Akad meminjamkan uang ini ada
beberapa lagi jenisnya, setidaknya ada tiga jenis, yakni sebagai berikut. Bila
pinjaman ini diberikan tanpa mensyaratkan apapun, selain mengnembalikan
pinjaman tersebut setelah jangka waktu tertentu maka bentuk meminjamkan uang
seperti ini disebut dengan Qard. Selanjutnya, jika dalam meminjamkan
uang ini si pemberi pinjaman mensyartakan suatu jaminan dalam bentuk atau
jumlah tertentu, maka bentuk pemberian pinjaman seperti ini disebut dengan rahn.
Ada lagi suatu bentuk pemberian pinjaman uang, dimana tujuannya adalah
untuk mengambil alih piutang dari pihak lain. Bentuk pemberian pinjaman uang
denagn maksud seperti ini disebut hiwalah.
(2) Meminjamkan jasa, Seperti akad
meminjamkan uang, akad meminjamkan jasa juga terbagi menjadi tiga jenis. Bila
kita meminjamkan ‘diri kita’ (yakni, jasa keahlian atau keterampilan, dan
sebagainya) saat ini untuk melakuakn sesuatu atas nama orang lain, mak hal ini
diberi nam wakalah. Selanjutnya, bila akad wakalah ini kita rinci
tugasnya, yakni bila kita menawarkan jasa kita untuk menjadi wakil seseorang,
dengan tugas menyediakan jasa custody (penitipan, pemeliharaan), bentuk
peminjaman jasa seperti ini disebut dengan akad wadi’ah. Ada variasi
lain dari akad Wakalah,yakni contingent wakalah ( wakalah
bersyarat). Dalam hal ini, maka kita bersedia memberikan jasa kita untuk melakuakan
sesuatau atas nama orang lain, jika terpenuhi kondisinya, atau jika sesuatu
terjadi. Wakalah bersyarat ini dalam terminologi fiqih disebut sebagai akad kafalah.
(3) Memberikan sesuatu, Yang
termasuk kedalam golongan ini adalah akad-akad sebagai berikut: hibah,wakaf,
shadaqah, hadiah dan lain-lain. Dalam semua akad-akad tersebut, si pelaku
memberiakn sesuatu kepada orang alin. Bila penggunanya untuk kepentingan umum
dan agam. Akadnyana dinamakan Wakaf . obyek wakaf ini tidak boleh
diperjaul-belikan begitu dinyatakan sebagai aset wakaf .Sedangkan hibah dan
hadiah adalah pemberian sesuatu secara sukarela kepada orang lain.[17]
Akad tijarah, Akad tijarah/muaawadah (compensational
contrac) adalah segala macam perjanjian yang menyangkut for profit
transaction. Akad-akad ini dilakuakn dengan tujuan mencari keuntungan
karena itu bersifat komersial. Contoh akad tijarah adalah akad-akad investasi,
jual beli, sewa-menyewa. Dan lain-lain.
Antara Natural Uncertainty dengan Natural
certainty contacts, Natural Certainty Contacts (NCC), Kedua belah pihak saling
mempertukarkan aset yang dimilikinya, karena itu objek pertukarannya (baik
barang maupun jasa) pun harus ditetapkan diawal akad dengan pasti, baik
jumlahnya (quantity), mutunya (quality), hargannya (price),
dan waktu penyerahan (time of delivery). Jadi kontrak-kontrak ini secara
“sunatullah” (by their nature) menawarkan return yang tetap dan pasti
yang termasuk dalam katagori ini adalah kontrak-kontrak jual-beli,
upah-mengupah, sewa-menyewa, dan lain-lain.
Natural Uncertainty Contracts (NUC), Dalam NUC, pihak-pihak yang
bertransaksi saling mencampurkan asetnya (baik real assets maupun finansial
assets) menjadi satu kesatuan, dan kemudian menanggung risiko bersama-sama
untuk mendapatkan keuntungan. Disini, keuntungan dan kerugian ditangguang
bersama. Karena itu, kontrak ini tidak memberiakn kepastian pendapatan (return),
baik dari segi jumlah (amount) maupun waktu (timing)-nya. Yang
termasuk dalam kontrak ini adalh kontrak-kontrak investasi. Kontrak investasi
ini secara “Sunatullah” (by their nature)tidak menawarkan return yang
tetap dan pasti. Jadi sifatnya tidak fixed and predetermined.
Contoh-contoh NUC adalah sebagai
berikut :1. Musyarakah (wujuh,’inan, abdan, muwafadhah, mudharabah). 2.
Muzara’ah. 3.Musaqah. 4. Mukhabarah.
Pembedaan antar natural certainty
contacts (NCC) dengan Natural Uncertainty Contacts (NUC) ini sangat
penting karena keduanya memiliki karakteristik khas yang tidak boleh
dicampuradukan. Bila Natural Certainty Contract di ubah menjadi
Uncertain. Terjadilah gharar (ketidakpastian, unknown to both parties).
Dengan kata lain, kita mengubah hal-hal yang sudah pasti menjadi tidak pasti.
Hal ini melanggar “Sunatullah”. Karena itu dilarang.
Teori Uncertainty (ketidakpastian. Secara umum ketidakpastian dapat
terjadi pada empat hal pertama: Ketidakpastian dalam pertukaran, Karakter
kontak pertukaran adalah memberiakn kepastian. Baik dari segi jumlah maupun
waktu.namun, jika didalmnya mengandung aksi spekulasi, suatu pertuakran akan
menghasilakn ketidakpastian karena akan menghasilkan tiga kemungkinan, yaitu
untung, rugi atau tidak untung dan tidak rugi (impas). Ketidakpastian yang
timbul dan aksi spekulasi dalam suatu pertukaran inilah yang disebuat sebagi taghrir
(gharar) dan dilarang dalam Islam.
Kedua: Ketidakpastian dalam permainan, Permainan
dapat diklasifikasikan kedalam tiga hal, yaitu permainan peluang, permainan
ketangkasan dan permainan atas suatu peristiwa alamiah. Dalam ketiga permainan
tersebut, faktor ketidakpastian merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari.
Dengan kata lain, pada dasarnya. Suatu permainan akan selalu memberikan
ketidakpastain: menang,kalah, atau bahkan seri (draw).
Ketiga: Ketidakpastian dalam bisnis atau
investasi, Bisnis atau investasi pada dasarnya merupakan sebuah aktivitas yang
tidak bisa terlepas dari suatu ketidakpastian (Uncertainty contract).
Dalam kerja sama bisnis atau investasi, para pelaku pasti akan menghadapi salah
satu dari tiga kemungkainan yang ada, yaitu untung, rugi, atau tidak untung dan
tidak rugi.
Keempat: Ketidakpastian dalam Risiko murni, Dalam
kehidupan sehari-hari, manusia akan menghadapi bebagi risiko murni.
Risiko-risiko tersebut bersifat tidak pasti, bisa menimpa manusia bisa juga
tidak. Dengan demikian, outcome dari ketidakpastian risiko ini adalah
hanya loss atau no loss, tidak ada profit.[18]
Setiap akad dalam perbankan syariah,
baik dalam hal barang, pelaku transaksi maupun ketentuan lainnya, harus
memenuhi ketentuan akad, seperti hal-hal berikut. Pertama: Rukun, Seperti:
a. Penjual. b.Pembeli. c. Barang. d.Harga. e. Akad/ijab-qabul. Kedua:
Syarat, Seperti syarat berikut: (1) Barang dan jasa harus halal sehingga
transaksi atas barang dan jasa yang haram menjadi batal demi hukum syariah.
(2). Harga barang dan jasa harus jelas. (3) Tempat penyerahan (delivey)
harus jelas karena akan berdampak pada biyaya transportasi. (4) Barang yang
ditransaksikan harus sepenuhnya dalam kepemilikan.tidak boleh menjual sesuatu
yang belum dimiliki atau dikuasai seperti yang terjadi pada transaksi Short
sale dalam pasar modal.
Syarat-Syarat Umum Akad: (1) Pihak-pihak
yang melakukan akad itu telah cakap bertindak hukum (mukallaf) atau jika obyek
akad itu merupakan milik orang yang tidak atau belum cakap bertindak hukum,
maka harus dilakuakn oleh walinya. (2) Obyek Akad itu diakui oleh syara’. Untuk
obyek akad ini disyaratkan pula: (i) berbentuk harta; (ii) dimiliki oleh
seorang; dan(iii) bernilai harta menurut syara’. (3) Akad itu tidak dilarang
dalam Nash (ayat atau hadits) Syara’. (4) Akad yang dilakukan itu
memenuhi syarat-syarat khusus yang terkait dengan akad itu. (5) Akad dapat
memberiakn faedah sehingga tidaklah sah bila Rahn diangap sebagai imbangan
amanah. (6) Ijab itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum
terjadi qabul. Maka bila orang yang berijab menarik kembali ijabnya sebelum
qabul, mak batallah ijabnya. (7) Ijab dan qabul mesti bersambung sehinga
bila seseorang yang berijab sudah berpisah sebelum adanya qabul, maka ijab
tersebut menjadi batal.[19]
Lembaga Penyelesai Sengketa, Berbeda
dengan perbankan konvensional, jika pada perbankan syariah terdapat perbedaan
atau perselisihan antara bank dan nasabahnya, kedua belah pihak tidak
menyelesaikannya di peradilan negeri, tetapi menyelesaikannya sesuai tata cara
dan hukum materi syariah di Pengadilan Agama[20].
Adapun bisnis dan usaha yang
dibiayai, dalam bank syariah, bisnis dan dan usaha yang dilaksanakan
tidak terlepas dari saringan syariah. Karena itu, bang syariah tidak akan
mungkin membiyayai usaha yang terkandung didalamnya hal-hal yang diharamkan.[21]
Dalam Bank Syariah suatu pembiayaan tidak mungkin disetujui sebelum dipastikan
beberapa hal pokok diantaranya: (1) Apakah obyek pebiayaan halal atau haram?
(2) Apakah proyek menimbulkan kemudharatan bagi Masyarakat? (3) Apakah Proyek
Berkaitan dengan pembuatan Mesum/asusila? (4) Apakah Proyek dapat merugikan
syiar Islam atau tidak?[22]
Lingkungan kerja dan corporate
culture, Bank Syariah selayak memiliki libngkungan kerja yang sejalan
dengan syariah. Dalam hal etika, misalnya sifat amanah dan shiddiq,
harus melandasi setiap karyawan sehingga tercermin integritas eksekutif muslim
yang baik. Disamping itu,karyawan bang syariah harus skillful dan
professional (fathanah), dan mampu melakukan tugas secara team-work
dimana informasi merata diseluruh fungsional organisasi (tabligh).Demikian
pula dalam hal reward dan punishment, diperlukan prinsip keadilan
yang sesuai dengan syariah.
Selain itu cara berpakain dan tingkah
laku dari para karyawan merupakan cermin bahwa mereka bekerja dalam sebuah
lembaga keuangan yang membawa nama besar Islam, sehingga tidak ada aurat yang
terbuka dan tingkahlaku yang kasar. Demikian pula dalam menghadapi nasabah,
akhlak harus senantiasa terjaga .
Perbandingan antara bank syariah dan
konvensional[23]
BANK ISLAM
|
BANK KONVENSIONAL
|
1.
Melakukan
investasi-investasi yang halal saja.
2.
Berdasarkan
prinsip bagi hasil, jual beli atau sewa.
3.
Profit
dan falah oriented.
4.
Hubungan
dengan nasabah dalam bentuk hubungan kemitraan.
5.
Penghimpunan
dan penyaluran dana harus sesuai dengan fatwa DSN.
|
1.
Investasi
yang halal dan haram.
2.
Memakai
prangkat bunga.
3.
Profit
oriented.
4.
Hubungan
dengan nasabah dalam bentuk hubungan debitor-debitor.
5.
Tidak
terdapat Dewan sejenis.
|
Perbedaan diantara keduanya hanya
terletak pad pada prinsip operasional yang digunakannya. Kalau Bank Syariah
beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil, sedangkan Bank konvensional
berdasarkan buga. Dengan kata lain, kedudukan bank syari’ah dalm hubungannya
dengan nasabah sebagai mitra investor dan pedagang atau pengusaha, sedangkan
pada Bank konvensional sebagai kreditur dan debitur.
Bank asyari’ah memiliki beberapa
ciri atau karakteristik tersendiri yang antara lain adalah sebagai berikut: (1)
Berdimensi keadilan dan pemerataan. (2) Adanya pemberlakuan jaminan. (3) Menciptakan
rasa kebersamaan. (4) Bersifat Mandiri. (5) Persaingan secara sehat. (6) Adanya
Dewan Pengawasan Syariah.[24]
IV.
PERKEMBANGAN EKONOMI SYARIA’AH DI
INDONESIA
Perkembangan
ekonomi syari’ah yang sangat menonjol diantara bisnis syari’ah yang lainnya adalah
perbankan syariah, sehingga penulis berpendapat akan pentingnya me-riview
sedikit tentang perkembangan perbankan syari’ah di Indonesia secara ringkas
dari awal berdirinya pada tahun 1991 sampai akhir tahun 2013. Dengan demikian
akan bisa mendeskripsikan secara jelas
perkembangan perbankan syari’ah dari tahun-ketahunnya. Hal ini sangat penting guna dikaitkan pada rumusan
masalah yang kedua terkait aspek hukum penyelesaian sengketa di peradilan agama[25],
yang tentunya meliputi perbankan syari’ah yang sekarang ini sangat disorot
publik Indonesia dan Internasional.
Pada tanggal 01 Mei 1992 Bank
Muamalat Indonesia mulai beroperasi dengan modal awal Rp. 106.126.382.000.
hingga tahun 1999 Bank Muamalat Indonesia telah memiliki outlet 45 lebih, yang
tersebar di Jakarta, Bandung, Semarang, Balikpapan dan Makasar[26].
Pada tahun 1998, dengan diundangkannya Undang-Undang No.10 Tahun 1998
tentang perubahan atas
undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang
perbankan, telah diatur
secara terperinci terkait jenis-jenis usaha yang dapat diimplementasikan oleh
perbangkan syari’ah, cara membuka cabang syari’ah bahkan mengkonversi dari bank
konvensioal ke dalam bank syari’ah[27].
Pada tahun 1999, Bank Syari’ah Mandiri (BSM) adalah bank pertama milik
pemerintah yang dikonversi dari bank konvensional menjadi Bank Umum Syari’ah.
Di akhir tahun 1999 BSM memiliki
total aset berkisar 2-3 Trilyun dengan lebih dari 20 cabang. Pada Akhir tahun
2000, setidaknya ada 9 Bank Umum Konvensional yang membuka cabang Syari’ah,
yaitu: Bank IFI, Bank Niaga, Bank BNI ’46, Bank BTN, Bank Mega, Bank BRI, Bank
Bukopin, BPB Jabar dan BPD Aceh.
Perbankan Syariah di
Indonesia mengalami pertumbuhan 30 sampai 40 persen per tahun.
Perkembangan perbankan syariah selama dua dekade hingga kini, telah memiliki
aset senilai Rp 200 triliun yang dikelola oleh 11 bank umum, 24 unit usaha
syariah dan 160 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS), dengan pangsa pasar
mencapai 4,67 persen[28].
Pengembangan sistem perbankan
syariah di Indonesia dilakukan dalam kerangka dual-banking system atau sistem
perbankan ganda dalam kerangka Arsitektur Perbankan Indonesia (API), untuk
menghadirkan alternatif jasa perbankan yang semakin lengkap kepada masyarakat
Indonesia[29].
Secara bersama-sama, sistem perbankan syariah dan perbankan konvensional secara
sinergis mendukung mobilisasi dana masyarakat secara lebih luas untuk
meningkatkan kemampuan pembiayaan bagi sektor-sektor perekonomian nasional.
Karakteristik sistem perbankan
syariah yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil memberikan
alternatif sistem perbankan yang saling menguntungkan bagi masyarakat dan bank,
serta menonjolkan aspek keadilan dalam bertransaksi, investasi yang beretika,
mengedepankan nilai-nilai kebersamaan dan persaudaraan dalam berproduksi, dan
menghindari kegiatan spekulatif dalam bertransaksi keuangan. Dengan menyediakan
beragam produk serta layanan jasa perbankan yang beragam dengan skema keuangan
yang lebih bervariatif, perbankan syariah menjadi alternatif sistem perbankan
yang kredibel dan dapat dinimati oleh seluruh golongan masyarakat Indonesia
tanpa terkecuali.
Dalam konteks pengelolaan perekonomian makro, meluasnya
penggunaan berbagai produk dan instrumen keuangan syariah akan dapat merekatkan
hubungan antara sektor keuangan dengan sektor riil serta menciptakan
harmonisasi di antara kedua sektor tersebut. Semakin meluasnya penggunaan produk dan instrumen syariah
disamping akan mendukung kegiatan keuangan dan bisnis masyarakat juga akan
mengurangi transaksi-transaksi yang bersifat spekulatif, sehingga mendukung
stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan, yang pada gilirannya akan
memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pencapaian kestabilan harga
jangka menengah-panjang.
Sekarang, jumlah Bank Umum Syariah
(BUS) telah mencapai 11 unit dan Unit Usaha Syariah (UUS) mencapai 24 unit.
Memang, jumlah ini tidak mengalami perubahan sejak tahun 2011. Namun, jumlah
jaringan kantor semakin meningkat. Jika pada Bulan April 2012 jumlah kantor mencapai
1.457 unit, pada bulan yang sama di tahun 2013 jumlah ini bertambah menjadi
1.858 unit. Perluasan jaringan kantor tersebut juga telah mampu meningkatkan
pengguna bank syariah. Hal tersebut dapat dilihat dari peningkatan jumlah total
rekening pembiayaan sebesar 3,31 juta rekening. Jumlah rekening di tahun
sebelumnya tercatat 10,83 juta rekening dan tahun ini meningkat menjadi 14,14
juta rekening[30].
Adapun Statistik
Perbankan Syariah (Islamic Banking Statistics), June 2013 jumlah Bank Umum Syariah (BUS) telah mencapai 11 unit[31]
dengan jumlah kantor mencapai 1.887
kantor dan Unit Usaha Syariah (UUS) mencapai 24 unit dengan jumlah kantor
mencapai 533 kantor, Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) 153 unit dengan
jumlah kantor mencapai 397 kantor.[32]
Dari data statistik perbankan
syariah BI, per April 2013 total aset perbankan syariah telah menembus angka
Rp. 207,800 triliun. Dibandingkan periode satu tahun seblumnya, aset perbankan
syariah telah mengalami pertumbuhan sebesar 44%. Angka pembiayaan telah mencapai
Rp.163,407 triliun. Penghimpunan dana pihak ketiga telah mencapai Rp.158,519
triliun. Fungsi intermediasi perbankan syariah pun semakin meningkat. FDR per
April 2013 mencapai 103,08%. Angka ini meningkat dari tahun sebelumnya yang
mencapai 95,39%. Secara total, pangsa pasar perbankan syariah telah mencapai
4.86%.[33]
Dengan telah diberlakukannya
Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang terbit tanggal 16
Juli 2008, maka pengembangan industri perbankan syariah nasional semakin
memiliki landasan hukum yang memadai dan akan mendorong pertumbuhannya secara
lebih cepat lagi. Dengan progres perkembangannya yang impresif, yang mencapai
rata-rata pertumbuhan aset lebih dari 65% pertahun dalam lima tahun terakhir,
maka diharapkan peran industri perbankan syariah dalam mendukung perekonomian
nasional akan semakin signifikan. Apalagi setelah dikabulkannya yudisial review oleh Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012
pasal 55 ayat (2) Undang-undang No.21 tahun 2008 tentang Perbankan
syari’ah, yang menghilangkan dualisme litigasi dalam sengketa perbankan
syari’ah, sehingga peradilan agama menjadi satu-satunye lembaga litigasi tempat
penyelesaian sengketanya[34].
V.
KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP LEMBAGA KEUANGAN SYARI’AH DI
INDONESIA
Apabila Penulis memperhatikan secara seksama terkait kebijakan pemerintah
terhadap lembaga keuangan syari’ah di Indonesia ini setidaknya bisa ditelusuri
dari empat aspek kebijakan, yaitu keilmuan (peningkatan sumberdaya manusia),
institusi/ lembaga keuangan ekonomi syari’ah dan regulasi serta
lembaga penyelesaian sengketa (litigasi atau non litigasi). Penulis akan
menelaah lebih lanjut terkait
kebijakan pemerintah ini pada bagian dibawah:
A.
Kebijakan
Terhadap Peningkatan Sumberdaya Manusia (Keilmuan)
Dari aspek keilmuan (peningkatan sumberdaya
Manusia), pemerintah melalui kemendiknas, atau kemenag telah member ijin
Sekolah menegah kejuruan dengan program studi Ekonomi syariah. Adapun di
tingkat perguruan tinggi baik universitas umum maupun universitas islam telah
membuka berbagai program studi ekonomi syari’ah, mulai dari D-3 hingga S-3 di
banyak perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta.
B.
Kebijakan
Tehadap Institusional/ Lembaga ekonomi Syari’ah
Aspek institusi, terjadi
perkembangan yang luar biasa pada institusi ekonomi syariah sejak berdirinya
Bank Muamalat pada awal 1990an. Berhembusnya angin segar terhadap reformasi
politik pada tahun 1997 telah berdampak positif pada perkembangan institusi
ekonomi syariah ini. Sejak berdirinya bank syariah, segera menyusul kemudian
asuransi syariah yang dipelopori Takaful dan
organisasi pengelola zakat yang dipelopori oleh Dompet Dhuafa. Pada
akhir 1990an, perkembangan ini tidak tertahankan dengan berdirinya pasar modal
syariah, reksadana syariah, pegadaian syariah, pembiayaan syariah, koperasi syariah,
hingga berbagai bisnis sektor riil yang mengusung syariah dalam operasional-nya
seperti hotel, penerbit buku, rumah makan, lembaga pendidikan, sampai bengkel
otomotif.
C.
Kebijakan
dalam Membuat Regulasi
Upaya strategis dalam hubungannya
dengan pengembangan ekonomi Islam ini telah mulai dilakukan pemerintah, antara
lain dengan penyusunan perangkat perundangan yang pada tahun 2008 ini telah
disahkan yaitu UU No 19 Tahun 2008 Tentang Surat Berharga Syariah Nasional[35]
dan UU No 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. UU No 19 dapat disebut
sebagai upaya pemerintah meningkatkan porsi pembiayaan pembangunan nasional
melalui skema pembiayaan syariah dari obligasi negara dan surat berharga
lainnya yang memang memiliki peluang besar bagi Indonesia untuk memperolehnya
dari investor Timur Tengah maupun ummat Islam Indonesia sendiri. Adapun UU No
21/2008 yang secara khusus membahas perbankan syariah merupakan upaya
pemerintah dalam menguatkan kontribusi lembaga keuangan syariah dalam
memperkokoh pembangunan nasional. Lahirnya kedua peraturan perundangan ini
dengan sendirinya akan menambah ruang bagi pengembangan ekonomi Islam dengan
perbankan syariah sebagai lokomotifnya, meskipun berbagai pengembangan masih
tetap perlu dilakukan, terutama terkait dengan kebijakan pendukung.
Selain itu, harus juga diakui bahwa
berbagai persoalan masih menjadi kendala perkembangan ekonomi Islam dan lembaga
keuangan Islam di Indonesia. Permintaan akan jasa keuangan dan praktek ekonomi
berbasis syariah berkembang lebih cepat dari perkembangan terkait pemikiran dan
konsep mengenai ekonomi Islam. Ini berarti bahwa sumber daya insani yang
memadai dalam tugas-tugas akademik dan intelektual untuk merumuskan berbagai
pemikiran ekonomi Islam masih jauh dari mencukupi. Ditambah juga bahwa sumber
daya insani yang secara praksis berkecimpung di lembaga keuangan syariah belum
sepenuhnya memiliki kapasitas yang ideal. Kebanyakan baru merupakan sumber daya
manusia pada lembaga keuangan konvensional yang kemudian sedikit dipoles dengan
label syariah. Tak mengherankan jika kemudian berbagai kritik bermunculan
terhadap praktek ekonomi syariah di Indonesia, yang dinilai tidak jauh berbeda
dengan praktek serupa di lembaga keuangan konvensional.
Pola-pola hubungan berbasis syariah
baru sebatas akad dan ikrar, belum substansinya. Dengan kata lain, transaksi
yang terjadi baru sekedar pada tahapan menghilangkan unsur riba dengan
mendesain transaksi yang sah akad dan ikrarnya, dan belum menyentuh persoalan
mendasar pada masyarakat yang membutuhkan peran aktif lembaga keuangan syariah.
Hal ini sangat mungkin terjadi karena pendekatan terhadap ekonomi syariah di
Indonesia dilakukan oleh dua kutub keilmuan, yaitu ilmu ekonomi dan ilmu hukum
Islam. Keduanya memang merupakan basis bagi ekonomi syariah, namun harus didekati
dengan pendekatan yang integratif, sehingga tidak terkesan berjalan
sendiri-sendiri. Tentang substansi yang mendasari sebagai nilai-nilai utama
ekonomi syariah ini memang masih terus dirumuskan oleh para pakar dan teoritisi
di bidang ekonomi syariah. Berbagai buku ekonomi Islam yang ada saat ini memang
masih sangat terbatas untuk menjelaskan pola-pola bisnis syariah yang tidak
hanya sesuai dengan prinsip syariah, tetapi juga mampu memberikan kesejahteraan
masyarakat luas.
Dalam kaitannya dengan peran ekonomi
syariah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, memang belum menjadi
agenda pengembangan yang integratif. Dalam Cetak Biru Pengembangan Perbankan
Syariah di Indonesia yang disusun BI misalnya, inisitaif dan target-target yang
dicanangkan belum secara eksplisit menunjuk pada upaya penyejahteraan rakyat.
Meskipun dalam dalam visinya, pengembangan perbankan syariah dimaksudkan untuk
““Terwujudnya sistem perbankan syariah yang kompetitif, efisien, dan memenuhi
prinsip kehati-hatian serta mampu mendukung sektor riil secara nyata melalui
kegiatan pembiayaan berbasis bagi hasil dan transaksi riil dalam kerangka
keadilan, tolong menolong dan menuju kebaikan guna mencapai kemaslahatan
masyarakat? Poin-poin yang dituju dalam cetak biru tersebut antara lain
kepatuhan pada prinsip-prinsip syariah, Ketentuan kehati-hatian, Efisiensi
operasi dan daya saing, dan Kestabilan sistem dan kemanfaatan bagi
perekonomian.
Kontribusi ekonomi Islam dalam
pengembangan kesejahteraan masyarakat sebenarnya merupakan bagian integral dari
ajaran Islam yang seharusnya juga menjadi ruh pengembangan ekonomi Islam
beserta lembaga keuangan dibawahnya. Konsep kerjasama dalam kebaikan dan takwa
(ta’awun fil birri wa taqwa), merupakan bagian dari prinsip Islam yang
dijunjung tinggi. Namun dalam prakteknya, harus kita akui bahwa praktek
keuangan syariah, semisal bank masih jauh dari konsep ini. Sampai saat ini,
pembiayaan murabahah (jual-beli) masih mendominasi komposisi pembiayaan bank
syariah. Ini berarti bahwa bank syariah masih belum berani bermain pada
pembiayaan untuk investasi riil yang memang membutuhkan lebih banyak energi
dibandingkan pembiayaan jual-beli.
Berdasarkan sektor ekonomi,
kontribusi perbankan syariah juga belum mencerminkan upaya pengembangan
kesejahteraan masyarakat. Sektor-sektor primer yang menguasai hajat lebih
banyak anggota masyarakat belum sepenuhnya menjadi concern perbankan syariah
dalam menyalurkan kreditnya. Perbankan syariah dan lembaga keuangan syariah
lainnya memang bisa berkelit bahwa pada tahap awal, pragmatisme bisnis masih
diperlukan untuk menjaga eksistensi usaha. Namun demikian dalam jangka panjang,
strategi dan pendekatan yang lebih membela kepentingan rakyat sudah saatnya
menjadi fokus pelaku usaha bidang perbankan syariah.
Kontribusi lain dari ekonomi syariah
untuk kesejahteraan masyarakat sebenarnya dapat juga dilakukan melalui alokasi
berbagai proyek untuk kepentingan rakyat banyak yang didanai melalui skema
pembiayaan syariah. Perkembangan sukuk di tingkat internasional misalnya bisa
dijadikan contoh. Tingginya likuiditas pada negara-negara kaya minyak di Timur
Tengah sebenarnya bisa diserap menjadi dana potensial untuk membiayai
proyek-proyek pembangunan yang berorientasi pada rakyat banyak, semisal
pembangunan jalan, sarana irigasi, dan lain-lain. Potensi ini sudah diakomodasi
melalui penerbitan UU No 19/2008 dan sudah saatnya memberikan hasil yang
positif. Untuk itu, peran pemerintah menjadi lebih dituntut untuk membangun
iklim usaha yang baik sehingga berbagai peluang yang telah ada dapat dikembangkan
sesuai dengan kebutuhan nasional.
Pemerintah sudah saatnya tidak hanya
berkonsentrasi pada pengembangan lembaga keuangan syariah sebagai lokomotif
pengembangan ekonomi Islam semata, tetapi sudah saatnya merambah pada upaya
strategis menguatkan peran ekonomi Islam dalam perekonomian nasional melalui
strategi jangka panjang yang mencakup lebih banyak aspek kehidupan. Islam
sebagai nilai universal tentu saja tidak hanya dipraktekkan dalam kaitannya
dengan masalah transaksi, tetapi juga dalam masalah manajemen, tata pamong
(governance), pendidikan dan bahkan budaya bangsa.
Di sinilah kemudian peranan sivitas
akademik dalam membantu pemerintah menyiapkan blue print pengembangan ekonomi
Islam yang lebih luas menjadi penting. Dengan penguatan dan pemanfaatan
nilai-nilai Islam yang tercakup dalam ekonomi Islam pada berbagai aspek
kehidupan, maka potensi ekonomi Islam dalam mendukung ekonomi nasional akan
makin terbuka. Sivitas akademik di perguruan tinggi sudah saatnya tidak hanya
berkutat pada masalah akad dan transaksi yang menjadi core dari aktivitas
mu’amalah, tetapi juga melihat secara lebih makro kepada aspek-aspek
kemanfaatan (mashlahat) yang terkandung dalam setiap transaksi untuk kemudian
menterjemahkannya dalam kerangka keilmuan yang dapat dimanfaatkan oleh banyak
pihak, termasuk pemerintah.
D.
Kebijakan
Penyelesaian Sengketa (Litigasi dan Non Litigasi)
1). Tatacara Penyelesaian Sengketa Ekonomi
Syari’ah Pada Pengadilan Agama.
Apabila perkara ekonomi
syari’ah diajukan ke Pengadilan Agama, maka Pengadilan Agama wajib memeriksa,
memutus dan menyelesaikannya secara profesional, yakni pertama:
dengan proses yang sederhana, cepat, dan
biaya ringan; kedua: dengan pelayanan yang prima, yaitu pelayanan secara
resmi, adil, ramah, rapi, akomodatif, manusiawi, dan tertib; dan ketiga:
dengan hasil (keputusan) yang tuntas, final, dan memuaskan.
Dalam menyelesaikan perkara
ekonomi syari’ah, maka Pengadilan Agama harus menjalankan fungsi holistik
pengadilan, yaitu sebagai pelayan hukum dan keadilan kepada para pencari
keadilan, sebagai penegak hukum dan keadilan terhadap perkara yang dihadapi,
dan sebagai pemulih kedamaian antara pihak-pihak yang bersengketa.
Tugas pokok hakim adalah
menegakkan hukum dan keadilan serta memulihkan hubungan sosial antara
pihak-pihak yang bersengketa melalui proses peradilan[36].
Sebagai penegak hukum, hakim berkewajiban untuk memeriksa (mengkonstatir)
apakah akad (perjanjian) antara para pihak telah dilakukan sesuai dengan
ketentuan syari’ah Islam, yakni memenuhi syarat dan rukun sahnya suatu
perjanjian yang berupa: 1. asas
kebebasan berkontrak, 2. asas persamaan dan kesetaraan, 3. asas
keadilan, 4. asas kejujuran dan kebenaran, 5. asas tidak mengandung unsur riba dengan segala
bentuknya, 6. asas tidak ada unsur gharar atau tipu daya, 7. asas
tidak ada unsur maisir atau spekulasi, 8. asas tidak ada unsur dhulm
atau ketidak adilan, 9. asas tertulis, dan lain sebagainya sesuai
dengan obyek (jenis) kegiatan ekonomi syari’ah tertentu. Apabila perjanjian
(akad) tersebut telah memenuhi syarat dan rukunnya maka perjanjian (akad)
tersebut adalah sah dan mempunyai kekuatan hukum. Namun jika ternyata tidak
memenuhi syarat dan rukunnya, maka akad tersebut tidak sah dan karenannya tidak
mempunyai kekuatan hukum sehingga tidak mengikat kedua belah pihak. Dalam hal
ini, maka hakim karena jabatannya berwenang untuk mengesampingkan bagian-bagian
yang tidak sesuai (menyimpang) dari syarat rukunnya tersebut untuk kemudian
mengambil langkah-langkah yang sejalan dengan ketentuan syari’ah Islam dan
mengembalikan kepada asas-asas tersebut. Asas-asas yang bersifat dwangen
recht ditegakkan secara imperatif, sedangan asas-asas yang bersifat anvullen
recht ditegakkan secara fakultatif.
Sebagai penegak keadilan, hakim
wajib memeriksa pokok gugatan dengan membuktikan (mengkonstatir) dalil-dalil
gugatan yang dijadikan dasar tuntutan (petitum). Hakim harus membuktikan
kebenaran fakta-fakta yang dijadikan dasar gugatan, menetapkan siapa-siapa yang
terbukti melakukan wanprestasi untuk kemudian menghukum yang bersangkutan untuk
memenuhi prestasi yang seharusnya ia lakukan agar pihak lain tidak dirugikan
dan terciptalah rasa keadilan antara kedua belah pihak.
Sebagai pemulih hubungan sosial
(kedamaian), maka hakim wajib menemukan apa yang menjadi penyebab timbulnya
sengketa antara kedua belah pihak. Suatu sengketa dapat saja timbul karena:
(1). kesalahpahaman, (2). perbedaan penafsiran, (3). ketidakjelasan perjanjian
(akad), (4). kecurangan, ketidakjujuran atau ketidakpatutan, (5).
ketersinggungan, (6). kesewenang-wenangan atau ketidakadilan, (7).
ketidakpuasan, (8). kejadian tak terduga, (9). prestasi tidak sesuai dengan
penawaran, (10). presatasi tidak sesuai dengan spesifikasinya, (11). prestasi
tidak sesuai dengan waktunya, (12). prestasi tidak sesuai dengan aturan main yang
diperjanjikan, (13). prestasi tidak sesuai dengan layanan atau birokrasi yang
tidak masuk dalam akad, (14). lambatnya proses kerja, (15). atau wanprestasi
sepenuhnya, dan lain sebagainya. Dengan mengetahui apa penyebab timbulnya
sengketa maka hakim akan dapat memilih dan menemukan cara yang tepat untuk
menyelesaikan sengketa antara kedua belah pihak.
Tugas Pengadilan Agama bukan
sekedar memutus perkara melainkan menyelesaikan sengketa sehingga terwujud
pulihnya kedamaian antara pihak-pihak yang bersengketa, tercipta adanya rasa
keadilan pada masing-masing pihak yang berperkara, dan terwujud pula tegaknya
hukum dan kebenaran pada perkara yang diperiksa dan diputus tersebut.
Dengan berpegang pada asas-asas
proses penyelesaian perkara yang baik (A2 P3 B), hakim menyelesaikan perkara
dengan berpedoman pada hukum acara perdata yang ada dengan sedikit penyesuaian
dengan karakteristik sengketa ekonomi syari’ah. Proses peradilannya dilakukan
sesuai tatacara dalam hukum acara perdata yang berlaku pada Pengadilan Agama.
Proses penyelesaian perkara
ekonomi syari’ah dilakukan hakim dengan tata urutan sebagai berikut:
1.
Hakim memeriksa apakah syarat administrasi perkara telah
tercukupi atau belum. Administrasi perkara ini meliputi berkas perkara yang di
dalamnya telah ada panjar biaya perkara, nomor perkara, penetapan majelis
hakim, dan penunjukan panitera sidang. Apabila syarat tersebut belum lengkap
maka berkas dikembalikan ke kepaniteraan untuk dilengkapi, apabila sudah
lengkap maka hakim menetapkan hari sidang dan memerintahkan kepada juru sita
agar para pihak dipanggil untuk hadir dalam sidang yang waktunya telah
ditetapkan oleh hakim dalam surat Penetapan Hari Sidang (PHS);
2.
Hakim memeriksa syarat formil perkara yang meliputi
kompetensi dan kecakapan penggugat, kompetensi (kewenangan) Pengadilan Agama
baik secara absolut maupun relatif, ketepatan penggugat menentukan tergugat
(tidak salah menentukan tergugat), surat gugatan tidak obscuur, perkara yang
akan diperiksa belum pernah diputus oleh pengadilan dengan putusan yang sudah
berkekuatan hukum tetap (tidak ne bis in idem), tidak terlalu dini,
tidak terlambat, dan tidak dilarang oleh undang-undang untuk diperiksa dan
diadili oleh Pengadilan.
3.
Apabila ternyata para pihak telah terikat dengan
perjanjian arbitrase, maka Pengadilan Agama tidak berwenang memeriksa dan
mengadilinya (Pasal 3 UU No.30 Tahun 1999)[37].
4.
Apabila syarat formil telah terpenuhi berarti hakim dapat
melanjutkan untuk memeriksa pokok perkara. Dalam persidangan ini, tugas pertama
dan utama hakim adalah berusaha mendamaikan kedua belah pihak sesuai dengan
PERMA Nomor 2 Tahun 2003 dan PERMA Nomor 1 Tahun 2008. Apabila tercapai perdamaian, maka hakim membuat akta
perdamaian. Apabila tidak dapat dicapai perdamaian maka pemeriksaan dilanjutkan
ke tahap berikutnya[38].
5.
Hakim melakukan konstatiring terhadap dalil-dalil gugat
dan bantahannya melalui tahap-tahap pembacaan surat gugatan, jawaban tergugat,
replik, duplik, dan pembuktian.
6.
Hakim melakukan kualifisiring melalui kesimpulan para
pihak dan musyawarah hakim.
7.
Hakim melakukan konstituiring yang dituangkan dalam surat
putusan.
2). Kendala-Kendala Dalam Penyelesaian Sengketa
Ekonomi Syari’ah Melalui Pengadilan Agama
Dalam rangka memberikan pelayan
yang terbaik kepada masyarakat dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah
terdapat beberapa kendala yang harus diatasi. Oleh sebab itu, perlu ada
peneyesuaian-penyesuaian praktik peradilan dalam menyelesaikan sengketa ekonomi
syari’ah. Kendala-kenadala tersebut, antara lain, adalah:
1.
Belum adanya perangkat hukum yang memadai sebagai acuan
dalam menyelesaikan sengketa ekonmi syari’ah pada Pengadilan Agama, Kususnya
Hukum acara Ekonomi Syari’ah, yang kemungkinan baru akan dikeluarkan Mahkamah
Agung RI dan akan disosialisaikan oleh badan peradilan agama (badilag) awal tahun
2014.
2.
Penerapan asas sidang terbuka untuk umum dalam
penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah.
3.
Penerapan hukum materiil dan hukum acara yang terlalu
formal dan kaku.
4.
Tidak adanya komunikasi timbal balik yang harmonis dan
fleksibel antara hakim dengan para pihak dan antara pihak-pihak itu sendiri
sehingga tidak dimungkinkan adanya sistem negosiasi dan konsisliasi adalam
porses penyelesaian sengketa.
5.
Sikap, pandangan, dan pendapat para advokat yang
mendampingi kliennya yang belum tentu sejalan dengan sikap, pandangan, dan
pendapat Pengadilan dalam pembaharuan paradigma peradilan yang modern, mandiri,
dan profesional.
Ad.1. Belum adanya perangkat hukum yang memadai
Seperti telah dikemukakan bahwa
pelimpahan kekuasaan baru kepada Pengadilan Agama di bidang ekonomi syari’ah
tidak disertai pula perangkat hukumnya, khususnya hukum formil sampai tahun
ini. Hal ini merupakan kendala tersendiri karena belum ada acuan hukum yang
baku, baik bagi hakim ataupun para pelaku ekonomi syari’ah. Sambil menunggu
regulasi hukum formil di bidang ekonomi syari’ah yang insyaallah akan
dikeluarkan awal tahun 2014 ini, maka Hakim dapat memanfaatkan berbagai
literatur penyelesaian sengketa melalui litigasi yang telah dikarang para pakar
hukum acara peradilan agama[39].
Adapun untuk hukum materiil, selain perundang-undangan diatas hakim dalam
rangka memperkaya lingkup hukum materiilnya juga dapat menempuh langkah-langkah
sebagai berikut;
1.
Mengambil hukum tidak tertulis sebagai hukum terapan
seperti hukum-hukum fiqh Islam, fatwa-fatwa Dewan Syari’ah Nasionanl, dan
Peraturan Bank Indonesia.
2.
Mengadopsi peraturan perundang-undangan yang sejenis
melalui penafsiran argumenntum per analogian (analogi) dan pemanfaatan
asas lex posterior derogat legi
apriori.
3.
Berijtihad sendiri untuk menemukan hukum yang diperlukan
dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah
Ad.2. Penerapan asas sidang terbuka untuk umum
Dalam rangka memberikan
pelayanan yang terbaik kepada masyarakat pencari keadilan dalam perkara
sengketa ekonomi syari’ah, ada beberapa hal yang perlu mendapat pertimbangan
dari Pengadilan Agama dalam penerapan asas sidang pemeriksaan Pengadilan
terbuka untuk umum. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan tersebut adalah:
1.
Salah satu hal yang pada umumnya kurang disukai oleh
pencari keadilan atau pihak-pihak yang berperkara adalah bahwa sidang
pemeriksaan perkara di Pengadilan bersifat terbuka untuk umum sehingga hal ini
akan membuat mereka merasa malu jika permasalahannya diketahui publik.
2.
Hal ini juga akan berpengaruh secara psikologis dalam
proses penyelesaian perkara dan biasanya akan semakin mempertajam persengketaan
karena masing-masing tentu akan menjaga image, menjaga nama baik diri dan
perusahaannya. Masing-masing pihak tentu akan berusaha menjaga kredibelitas
(nama baik) diri dan perusahaannya.
3.
Akan lebih runyam lagi jika persengketaan itu
dipublikasikan media masa. Hal ini akan berakibat masing-masing tidak berani
secara jujur mengakui kesalahan-kesalahannya atau kekurangan-kekurangannya.
Keadaan ini akan berpengaruh terhadap proses penyelesaian sengketa yang semakin
sulit dan rumit.
Untuk itu, perlu
dipertimbangkan tentang penerapan asas sidang terbuka untuk umum dalam perkara
ekonomi syari’ah ini. Berdasarkan ketentuan Pasal 59 ayat (1) UU No.7 Tahun
1989 Tentang Peradilan Agama dinyatakan bahwa: “Sidang pemeriksaan Pengadilan
terbuka untuk umum, kecuali apabila Undang-Undang menentukan lain atau jika
Hakim dengan alasan-alasan penting yang dicatat dalam berita acara sidang,
memerintahkan bahwa secara keseluruhan atau sebagian akan dilakukan dengan
sidang tertutup”[40].
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka dimungkinkan untuk sidang pemeriksaan
sengketa ekonomi syari’ah dilakukan secara tertutup demi kemaslahatan
pihak-pihak yang berperkara. Hal-hal tersebut di atas merupakan alasan penting
dalam rangka penyelesaian sengketa.
Ada dua alasan yang kuat untuk
pelaksanaan sidang secara tertutup dalam pemeriksaan sengketa ekonomi syari’ah
ini, yaitu:
1.
Proses penyelesaian sengketa akan lebih mudah manakala
sidang dilakukan secara tertutup dengan pertimbangan-pertimbangan seperti
tersebut di atas.
2.
Penerapan asas sederhana, cepat, dan biaya ringan; asas
resmi, adil, ramah, rapi, akomodatif, komunikatif, manusiawi, dan tertib
(RARRAKoMTib); dan asas tuntas, final,
dan memuaskan akan lebih mudah dipraktikkan manakala sidang pemeriksaan
Pengadilan dilakukan secara tertutup untuk umum.
Pelaksanaan sidang tertutup ini
dilakukan atas permintaan dan kesepakatan para pihak dan harus dicatat dalam
berita acara sidang. Oleh karena itu, tidak ada salahnya jika hakim dalam
pemeriksaannya menawarkan kepada para pihak tentang kemungkinan pelaksaan
sidang secara tertutup. Hal ini dapat dianalogkan dengan sidang perkara
perceraian, yaitu untuk menjaga nama baik dan memperlancar proses penyesaian
sengketa. Pelaksanaan sidang yang tertutup untuk umum juga tidak akan merugikan
pihak lain ataupun publik pada umumnya.
Namun demikian, sidang
pembacaan putusan haruslah diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Ketentuan
ini tidak bisa ditawar-tawar lagi (Pasal 60 UU No.7 Tahun 1989).
Ad.3. Penerapan hukum acara yang terlalu formal dan kaku
Penerapan hukum materiil dan
hukum acara yang terlalu formal dan kaku akan menjadi kendala dalam penyelsaian
sengketa ekonomi syari’ah karena akan berakibat tidak fleksibelnya penyelesaian
sengketa dan banyak hal yang justru sebenarnya bisa diselesaikan tetapi menjadi
terhambat akibat penerapan hukum materiil dan hukum acara yang terlalu formal
dan kaku. Untuk itu, hakim harus menerapkan hukum secara luwes dan lentur
dengan berpegang pada asas, fungsi, dan tujuan hukum itu sendiri bukan pada
teks hukum yang formal dan kaku. Secara filosofis, penegakan hukum pada
hakikatnya adalah menegakkan asas, fungsi dan tujuan hukum, bukan menegakkan
teks hukum. Bahkan demi menegakkan asas, fungsi, dan tujuan hukum, hakim
berwenang untuk menyimpang dari teks hukum yang ada. Kesemuanya itu harus
dijelaskan dalam putusan hakim. Kecuali apabila teks hukum itu berfungsi
melindungi hal-hal yang bersifat prinsipiil karena untuk melindungi nilai-nilai
kebenaran, agama (aqidah), ideologi, hak asasi manusia, lingkungan hidup,
kepastian hukum untuk kepentingan publik,
dan sebagainya, maka hukum harus diterapkan secara imperatif. Hal ini
karena asas, fungsi, dan tujuan hukum hanya bisa terlindungi dengan menegakkan
teks hukum yang bersangkutan.
Ad.4. Tidak adanya komunikasi timbal balik yang harmonis
dan fleksibel
Salah satu kelemahan proses
peradilan adalah tidak adanya komunikasi yang harmonis dan fleksibel antara
hakim dengan pencari keadilan dan antara para pihak itu sendiri. Hal ini
diakibatkan oleh budaya persidangan yang dilakukan secara tertulis dengan
meninggalkan asas oral debat. Padahal sebenarnya proses persidangan
tertulis pun tidak dilarang, namun tetap diperlukan adanya dialog langsung
antara pihak-pihak dan hakim untuk menyempurnakan proses sidang secara tertulis
tersebut. Untuk mengatasi hal ini, maka harus diterapkan secara tepat dan
proporsional asas resmi, adil, ramah, rapi, akomodatif, komunikatif, manusiawi,
dan tertib (RARRAKoMTib).
Ad.5. Sikap, pandangan, dan pendapat para advokat
Sikap, pandangan, dan pendapat
para advokat yang belum tentu sejalan dengan sikap, pandangan, dan pendapat
para hakim dalam melakukan pembaharuan dalam praktik peradilan. Hal ini akan
menjadi kendala dalam praktik akibat dari perbedaan kepentingan pada
masing-masing pihak. Oleh sebab itu sudah seharusnya dijalin komunikasi
pemikiran baru antara hakim dan para advokat sehingga mereka memiliki visi dan
misi yang sama, yaitu bagaimana menyelesaikan sengketa secara tuntas, final,
dan memuaskan, jadi, bukan untuk memenangkan perkara. Hakim dan advokat harus
memiliki visi dan misi yang sama meskipun dalam posisi yang berbeda.
Demikian tadi telaah materi
terkait penyelesaian sengketa perbankan syariah di Pengadilan Agama pada khususnya
dan pada umumnya melingkupi semua aspek ekonomi syari’ah seperti dalam
penjelasan pasal 49 huruf i Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006[41].
VI.
PERAN EKONOMI SYARIAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL DAN
DAERAH
A. Sumbangan Bagi Perkembangan Ekonomi Nasional
Setidaknya ada tiga (3) hal yang
menjadi sumbangan ekonomi syariah bagi ekonomi nasional. Pertama,
ekonomi syariah memberikan andil bagi perkembangan sektor riil. Pengharaman
terhadap bunga bank dan spekulasi mengharuskan dana yang dikelola oleh
lembaga-lembaga keuangan syariah disalurkan ke sektor riil.
Kedua, ekonomi syariah lewat
industri keuangan syariah turut andil dalam menarik investasi luar negeri ke
Indonesia, terutama dari negara-negara Timur-tengah. Adanya berbagai peluang
investasi syariah di Indonesia, telah menarik minat investor dari negara-negara
petro-dollar ini untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Minat mereka terus
berkembang dan justru negara kita yang terkesan tidak siap menerima kehadiran
mereka karena berbagai ’penyakit akut’ yang tidak investor friendly,
seperti rumitnya birokrasi, faktor keamanan, korupsi, dan sebagainya.
Ketiga, gerakan ekonomi
syariah mendorong timbulnya perilaku ekonomi yang etis di masyarakat Indonesia.
Ekonomi syariah adalah ekonomi yang berpihak kepada kebenaran dan keadilan dan
menolak segala bentuk perilaku ekonomi yang tidak baik seperti sistem
riba, spekulasi, dan ketidakpastian (gharar).
B.
Industri Perbankan dan Pembangunan Ekonomi Daerah
Persoalan
yang seringkali dikeluhkan oleh UMKM adalah sulitnya mendapat kredit atau
pembiayaan dari Bank. Ada banyak alasan mengapa bank “agak pelit” menyalurkan
kredit seperti prinsip kehati-hatian (prudential) yang harus dipegang oleh bank
sehingga para pebisnis dibagi menjadi dua, bankable dan non-bankable.
Celakanya, sebagian besar UMKM masuk kategori yang kedua ini.
Di samping persoalan itu, Bank
Indonesia sudah sejak lama mengeluarkan SBI (Sertifikat Bank Indonesia) yang
menjanjikan bunga menarik kepada dunia perbankan untuk menyimpan
dana-dana yang dihimpunnya dari daerah-daerah di seluruh Indonesia. Penetapan
tingkat bunga yang menarik selalu dijadikan alasan mudah bagi
dunia perbankan untuk tidak menyalurkan dananya sebagai kredit kepada dunia
usaha. Bunga SBI ini pernah mencapai 17,5% pertahun yang tentu saja menjadi
alasan sangat kuat bagi setiap bank untuk mengirimkan dana-dana pihak ke-3 yang
dihimpun di bank-bank di daerah-daerah di seluruh Indonesia untuk dikirim ke
Jakarta. Inilah faktor penyebab rendahnya nilai LDR (Loan Deposit Ratio)
di setiap daerah, sehingga ketika banyak daerah-daerah miskin/tertinggal
berteriak mengharapkan kredit yang murah dan mudah, tokh dana-dana
perbankan yang terhimpun di daerah-daerah seperti itu justru dikirim ke kantor
pusat bank yang bersangkutan. Bank-bank yang lebih banyak mengirim dana-dana
dari daerah-daerah ke kantor pusat selalu mudah menerangkan perilaku keliru ini
karena “kesulitan menemukenali” proyek-proyek ekonomi dan bisnis yang bankable
yang dapat didanai, padahal yang benar bank-bank ini memang merasa lebih aman
menggunakan dana-dana yang dihimpun dengan dibelikan SBI. Hingga tidak heran,
dana-dana pembangunan daerah yang seharusnya digunakan untuk pengembangan
ekonomi daerah ikut ditanam di SBI karena ketidakkreatifan pemerintah daerah
dan para bankernya mencari dan merangsang potensi-potensi ekonomi di
daerahnya. menurut suatu sumber, dana desentralisasi yang ditanam di SBI
jumlahnya tidak tanggung-tanggung, yakni sekitar Rp43 triliun atau mencapai
19,5 persen dari total dana yang dibagikan ke daerah dalam bentuk dana desentralisasi
senilai total Rp220,07 triliun.
Jelas kiranya dari analisis ini
bahwa perbankan di Indonesia tidak lain daripada lembaga pencari/pengejar
untung, dan sama sekali bukan agent of development. Jika bank-bank kita
lebih banyak merupakan perusahaan yang menomorsatukan pendapatan bunga, agar
dapat membayar jasa bunga deposito yang menarik kepada deposan, bahkan
termasuk tambahan hadiah-hadiah menarik seperti mobil dan rumah-rumah mewah,
maka amat sulit menjadikan bank sebagai penggerak kegiatan ekonomi rakyat.
Akibatnya bank juga tidak mungkin berperan sebagai lembaga yang mendukung
upaya-upaya besar pemberantasan kemiskinan.
C. Perbankan Syariah sebagai Alternatif
Sebagaimana jamak diketahui, keuangan syariah adalah yang tidak
mengenal rezim bunga. Sebagai gantinya, ekonomi Islam menawarkan kerjasama yang
saling menguntungkan antara pemilik modal (shahibul mal) dengan
pengusaha (mudharib) melalui skema mudharabah atau musyarakah.
Di samping itu, kelahiran ekonomi syariah antara lain ditujukan untuk menggerakkan
ekonomi umat yang sebagian besar berada di kalangan menengah ke bawah. Oleh
karena itu, perbankan syariah sebagai bentuk implementasi konsep ekonomi
syariah juga mempunyai spirit yang sama yaitu keberpihakan kepada sektor riil
terutama usaha menengah ke bawah.
Mengingat bank syariah adalah bank tanpa bunga, maka ia tidak
dapat mengharapkan bunga SBI sebagaimana bank-bank konvensional lainnya.
Demikian juga, dana nganggur (idle money) di bank-bank syariah tidak
dapat diinvestasikan pada instrumen-insturmen keuangan berbasis bunga lainnya.
Oleh karena itu, bank syariah harus berpikir keras untuk menyalurkan dana yang
dipegangnya ke sektor non-bunga yang berbasis bagi hasil, margin, atau fee.
Kinerja perbankan syariah selama ini menunjukkan tersalurnya dana
yang dihimpun dari masyarakat ke usaha yang membutuhkan dana. Data yang dirilis
Bank Indonesia selalu menunjukkan bahwa rasio pembiayaan yang disalurkan
perbankan syariah terhadap dana pihak ketiga (DPK) atau FDR selalu berkisar di
angka 100 persen bahkan lebih. Hal ini berarti, fungsi intermediasi yang
dijalankan perbankan syariah berjalan dengan baik. Persoalannya, dana yang
dihimpun oleh industri keuangan syariah masih sangat sedikit dibanding dengan
total asset perbankan nasional. Hingga saat ini rasio asset perbankan syariah
terhadap perbankan total asset perbankan nasioal belum berhasil menembus
angka 2 persen. Artinya, meskipun FDRnya tinggi namun karena angkanya
masih sangat kecil, maka pengaruhnya terhadap ekonomi nasional belum begitu terasa,
meski banyak bukti di lapangan yang membuat kita sedikit bernafas lega.
Semangat kelahiran industri keuangan syariah di samping
untuk memenuhi dahaga masyarakat terhadap produk keuangan syariah, juga untuk
ikut mengurangi tingkat kemiskinan di masyarakat dengan mengangkat taraf
ekonomi rakyat ke arah yang lebih baik. Oleh karena itu lah, di dalam
keuangan syariah di kenal lembaga keuangan mikro syariah (BMT) yang merupakan
ujung tombak yang bersentuhan langsung dengan pebisnis dan wirausaha kecil.
Bank-bank syariah yang tidak dapat menyentuh level bisnis terendah ini karena
berbagai peraturan yang harus ditaati dapat bermitra dengan BMT-BMT dan BPRS
yang telah ada dalam penyaluran pembiayaan dan penghimpunan dana
masyarakat.
Pengembangan Bank Syariah di Indonesia jelas
bertujuan menerapkan perbankan etik yaitu tidak sekedar menjual jasa atau
produk perbankan dengan mengenakan bunga, tetapi ”bekerjasama dengan klien”
untuk memperbaiki kesejahteraan atau meningkatkan kehidupan ekonomi klien. Di
Indonesia Bank-bank desa seperti BKK di Jawa Tengah atau Lumbung Piteh Nagari
di Sumatera Barat, yang dibentuk dari bawah bersama klien, adalah Bank-bank
etik yang dimaksud. Namun sayangnya sejak liberalisasi perbankan 1983, 1988,
dan 1992, Bank-bank yang demikian telah ”dimatikan” atau “dikerdilkan”.
Pengalaman krisis perbankan 1997/1998 yang sampai kini belum teratasi telah
memberikan pelajaran pahit, mudah-mudahan berharga, bagi dunia perbankan
Indonesia. Pelajaran berharga itu adalah tidak lagi mengembangkan sistem
perbankan kapitalistik yang mendahulukan kepentingan bisnis pemilik Bank, bukan
kepetingan klien dan masyarakat luas
D. Implikasi Ekonomi Syariah terhadap Pembangunan Ekonomi
Daerah
Industri keuangan syariah di tanah air
mendekati usia 20 tahun. Sudah banyak hal yang dilakukan oleh masyarakat
ekonomi syariah Indonesia untuk mengembangkan sistem ekonomi alternatif ini
yang diyakini lebih adil dan mensejahterakan. Lembaga-lembaga pendukung pun
semakin berkembang termasuk lembaga-lembaga pendidikan ekonomi syariah yang
sudah ada hampir di semua provinsi. Lembaga-lembaga keuangan syariah pun juga
sudah hampir merata di seluruh nusantara. Sekarang mengembangkan
industri keuangan syariah dan lembaga-lembaga pendukungnya berikut peraturan
perundang-undangan yang memberikan rambu-rambu bagi pelaku ekonomi syariah pun mulai tertata[42].
Jika demikian halnya, bagaimana
pengaruh ekonomi syariah terhadap pembangunan ekonomi daerah? Untuk menjawab
pertanyaan ini diperlukan suatu penelitian yang lebih mendalam. Yang dapat kita
kemukakan di sini adalah beberapa indikator yang dapat menunjukkan adanya
peranan ekonomi syariah terhadap pembangunan daerah.
Indikator pertama yaitu semakin
banyaknya bank-bank syariah nasional yang membuka cabang di daerah-daerah.
Pembukaan kantor-kantor cabang ini tentu membawa implikasi bagi pembangunan
ekonomi setempat karena adanya aktivitas intermediasi yang dilakukan perbankan
syariah yaitu menyalurkan dana dari pihak yang surplus ke pada pihak yang shortage.
Di samping bank-bank syariah nasional,
baik bank umum syariah (BUS) maupun unit usaha syariah (UUS), bank-bank
pembangunan daerah juga ramai-ramai membuka unit usaha syariahnya. Saat ini
sudah ada 11 Bank Pembangunan Daerah (BPD) yang membuka UUS dan akan disusul
oleh BPD-BPD lainnya. Perkembangan ini diharapkan akan meningkatkan geliat
pembangunan ekonomi daerah melalui sistem keuangan syariah.
Hal selanjutnya yang tidak kalah pentingnya
adalah peranan yang dimainkan oleh lembaga-lembaga keuangan mikro dan kecil
syariah seperti BMT, Koperasi Syariah, dan BPRS yang juga hampir merata
sebarannya di seluruh tanah air. Tentu sudah banyak
perananan yang dimainkan oleh lembaga-lembaga keuangan syariah ini dan sudah
banyak pula pengaruhnya bagi perbaikan ekonomi daerah.
Lembaga-lembaga ini rajin melakukan sosialisasi ekonomi
syariah kepada masyarakat. Ekonomi syariah adalah suatu konsep ekonomi yang
mengajarkan kewirausahaan dan investasi yang etis kepada masyarakat. Dengan
demikian, masyarakat dididik untuk menjadi entreprenur-entreprenur sejati yang
berjuang mengangkat taraf hidupnya dan masyarakat lainnya ke arah yang lebih
baik.
Yang kurang sekarang adalah dukungan dari pemerintah terhadap
ekonomi syariah itu sendiri. Ekonomi syariah masih dipandang sebelah mata dan
tidak dijadkan sebagai hal yang utama. Padahal sudah banyak bukti yang
menunjukkan peranan ekonomi syariah dalam mengangkat ekonomi rakyat. Untuk itu,
kita membutuhkan dukungan yang lebih besar lagi dari pemerintah bagi
pengembangan ekonomi syariah di tanah air.
Mungkin kita perlu belajar banyak dari pemerintah Malaysia yang
memberikan dukungan yang besar bagi ekonomi syariah di sana. Sehingga tidak
heran, kita masih jauh tertinggal dari negeri jiran itu dalam bidang keuangan
syariah yang telah
terbukti menghantarkan negara jiran menjadi negara adidaya dan sangat
diperhitungkandi segi perbankan International.
VII.
KESIMPULAN
1.
Perkembangan ekonomis syari’ah di Indonesia saat ini
sudah sangat pesat, namun jika dibanding dengan ekonomi secara nasional
persentasenya masih kalah jauh.
2.
Kebiajakn pemerintah setidaknya mencakup empat bidang yaitu keilmuan
(peningkatan sumberdaya manusia), institusi/ lembaga keuangan ekonomi
syari’ah dan regulasi serta lembaga penyelesaian sengketa (litigasi atau
non litigasi). Sengketa
ekonomi syari’ah dapat diselesaikan dengan cara litigasi ataupun nonlitigasi.
Dalam hal litigasi Pengadilan Agama telah memiliki sumberdaya yang yang sangat
handal, salah satu indikatornya adalah setiap satuan kerja memiliki minimal
satu majelis hakim khusus ekonomi syari’ah.
3.
Peranan ekonomi syari’ah dalam pembangunan nasional dan
daerah telah dapat dirasakan oleh bangsa Indonesia, salah satu indikatornya
adalah bangsa indonesia mampu terhindar dari krisis ekonomi global pada tahun
2008 dan tahun 2012.
VIII.
SARAN-SARAN
1.
Bank Indonesia Cq. lembaga perbankan
syari’ah: Sangat diperlukan dalam
rekrutmen praktisi ekonomis
syari’ah adalah tenaga ahli di bidang
perbankan syari’ah tentu dengan indikator formalnya adalah alumni program studi
ekonomi syari’ah baik dari universitas islam ataupun dari universitas umum
untuk menigkatkan SDM pada Bank Umum Syari’ah (BUS) atau Unit Usaha Syari’ah
(UUS) serta lembaga Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) juga lembaga-lembaga
ekonomi syari’ah lainnya.
2.
Kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia
Cq. Balitbang Diklat Kumdil MA-RI: Peningkatan sumberdaya manusia aparat
Pengadilan Agama harus selalu
ditingkatkan secara berkesinambungan di bidang hukum perbankan syari’ah
khususnya dan ekonomi syariah pada umumnya, meskipun telah banyak praktisi
(hakim-hakim Peradilan Agama) yang telah mempunyai sertifikat penyelesaian
sengketa ekonomi syari’ah dari Badan Diklat dan Penelitian Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung Republik
Indonesia (Balitbang Diklat kumdil MA-RI), serta lulusan Hukum Bisnis dan atau
Ekonomi syari’ah untuk S1, S2 atau Bahkan S3.
3.
Kepada Pemerintah RI dan Dewan
Perwakilan Rakyat RI: Segera diundangkannya hukum formil ekonomi syari’ah,
sebagai pedoman para hakim, advokad, akademisi serta masyarakat pencari pada
umumnya, terkait penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah.
DAFTAR PUSTAKA
A. Karim,Adiwarman. Bank Islam.
Pt Raja Grapindo Persada: Jakarta, 2006.
Abdan, Zaidi. Lembaga
Perekonomian Ummat Di Dunia Islam. Angkasa: Bandung, 2003 Cet. Pertama
Adriani Sutedi,Sh.,Mh., Pasar Modal
Syari’ah, Sarana Investasi Keuangan Berdasarkan Prinsip Syari’ah, Sinar
Grafika, Cet.I. 2012.
Al-Mushlih, Abdullah dan
Ash-shawi, Shalah. Fikih Ekonomi Keuangan Islam. Darul Haq: Jakarta,
2008, Cet. Ke-II
Al-Qur’an
dan Terjemahnya, Thoha putra, Semarang, 1996.
Anita Priantina (Dosen Stei
Tazkia) Perjalanan Perbankan Syariah Di Indonesia, Http://Ramadan.Detik.Com/Read/2013/08/18/075234/2333137/1522/ Diakses Pada Hari Senin Tanggal 07 Oktober 2013 Jam.16.30
Bank
Muamalat, Annual Report (Jakarta: 1999) Dikutip Oleh Muhammad Syafi’i
Antonio, Bank Syari’ah Dari Teori Ke Praktik, Gema Insani, Jakarta,
2001,
Djazuli. Dan Janwari, Yadi. Lembaga-lembaga
Perekonomian Umat. PT Raja Grapindo Persada: Jakarta,2002. Cetakan. Pertama
Dr.Ahmad
Mujahidin,Mh. Prosedur Penyelesaiaan Ekonomi Syari’ah Di Indonesia,
Galia Indoneisa, Cet.I Tahun 2010
Firdaus, Muhamad. Fatwa-fatwa
Ekonomi Syariah Kontemporer. Renaisan: Jakarta, 2005 Cet. Ke-1
Hosen, Nadratuzzaman, Dkk. Materi
Dakwah Ekonomi Syariah. Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah: Jakarta,
Http://Rri.Co.Id/Index.Php/Berita/71378/Perbankan-Syariah-Di-Indonesia-Tumbuh-40-Persen#.Ulj95djgs5g Diakses Senin, Pada Tanggal: 07/10/2013 16.30 WIB
Http://Www.Bi.Go.Id/Web/Id/Perbankan/Perbankan+Syariah/ Diakses Pada Hari Selasa Tanggal 08/10/2013 Jam 14.10
WIB
Http://Www.Bisosial.Com/2013/03/Perkembangan-Perbankan-Syariah-Dan.Html Diakses Senin,
Tanggal 07 Oktober 2013 Pukul 16;30 WIB.
Mahkamah
Agung Republik Indonesia Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama, Kompilasi
Hukum Ekonomi Syari’ah, Tahun 2011, Edisi Revisi,
Mukti
Arto, Praktek Perkara Perdata Di Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar, Cet
.I., 1996.
Prof
Dr. Abdul Wahab Kholaf, Ilmu Ushulul Fiqhi, Darul Qalam, Kuwait, Cet.XII, Tahun 1978.
Putusan
Mahkamah Konsitusi Nomor 93/PUU-X/2012, Yang
Diucapka Tanggal 29 Agustus 2013.
Syafi’I Antonio.Muhammad. Bank
Syariah dari teori kepraktik. Gema Insani Press: Jakarta, 2001, Cet. Ke1,
Undang-Undang
Nomor 03 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang
Perbankan.
Undang-Undang
Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama.
Undang-Undang
Nomor.21 Tahun 2008 Perbankan Syari’ah
Widyaningsih.dkk. Bank dan Asuransi
Islam Di Indonesia, Kencana: Jakarta, 2005.
[1]Http://WWW.Bisosial.Com/2013/03/Perkembangan-Perbankan-Syariah-Dan.Html Diakses Senin, Tanggal 07 Oktober 2013 Pukul
16;30 Wib.
[2]Setelah
Resmi Diluncurkan (Produk-Produk Pasar Modal Syari’ah) Pada Tanggal 14 Maret
2003, Instrumen-Instrumen Pasar Modal Berbasis Syari’ah Yang Telah Terbit Sampai Dengan Saat Ini Adalah: Saham,
Obligasi Syari’ah (Sukuk), Dan Reksa Dana Syariah.Lihat: Adriani
Sutedi,Sh.,Mh., Pasar Modal Syari’ah, Sarana Investasi Keuangan Berdasarkan
Prinsip Syari’ah, Sinar Grafika, Cet.I. 2012.Hal.4-8.
[3] Untuk Mengetahui Lebih Lanjut, Dapat Dibaca
Dalam Asas-Asas Akad: Mahkamah Agung Republik Indonesia Direktorat Jendral
Badan Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah, Tahun 2011,
Edisi Revisi, Hal.15-16.
[4] Bagi Seorang Muslim Kegiatan Ekonomi Adalah
Bagian Dari Ibadah Mengingat Pentingnya Hal Tersebut, Al-Qur’an Telah Mengantur
Dalam 70 Ayat: Baik Hal Tersebut Terkait Muamalat Antara Perorangan, Masyarakat
Dan Persekutuan, Seperti Jual Beli, Sewa-Menyewa, Gadai, Pertanggungan Syirkah,
Utang-Piutang, Menenuhi Janji Secara Disiplin Dan Lainya. Lihat: Prof Dr. Abdul
Wahab Kholaf, Ilmu Ushulul Fiqhi,
Darul Qalam, Kuwait, Cet.XII, Tahun 1978 Hal.83.
[5] Mahkamah Agung Republik Indonesia Direktorat
Jendral Badan Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES),
Edisi Revisi 2011, Hal.1
[6]
Penjelasan Pasal 49
Huruf (I) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Yang Telah Diubah Dengan
Undang-Undang No.50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama.
[7] Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Yang Telah Diubah Dengan
Undang-Undang No.50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama.
[8]
http://www.syariahonline.com/v2/ekonomi-islam-a-muamalat/2493-ekonomi-islam-vs-ekonomi-konvensional.html
[9] Al-Qur’an dan Terjemahnya, Thoha
putra, Semarang, 1996.
[10] Al-Qur’an dan Terjemahnya, Thoha
putra, Semarang, 1996.
[11] Al-Qur’an dan Terjemahnya, Thoha
putra, Semarang, 1996.
[12] Al-Qur’an dan Terjemahnya, Thoha
putra, Semarang, 1996.
[13] Al-Qur’an dan Terjemahnya, Thoha
putra, Semarang, 1996.
[14] Prof.H. A.Djazuli. Dan Drs. Yadi
Janwari,M.ag . Lembaga-lembaga Perekonomian Umat. PT Raja Grapindo
Persada: Jakarta,2002. Cetakan. Pertama.Hlm.54)
[15] Drs.M. Zaidi Abdan, M.Ag. Lembaga
Perekonomian Ummat Di Dunia Islam. Angkasa: Bandung, 2003 Cet. Pertama.
Hlm.76
[16] Prof.Dr. Abdullah Al-Mushlih dan
Prof.Dr.Shalah Ash- Shawi. Fikih Ekonomi Keuangan Islam.Darul Haq:
Jakarta, 2004. Hlm. 26-29
[17] M. Nadratuzzaman Hosen. Dkk. Materi
Dakwah Ekonomi Syariah. Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah (PKES). Jakart.
Hlm.87-89
[18] Adiwarman A. Karim. Bank
Islam. PT Raja Grapindo Persada: Jakarta, 2006. Hlm.65
[19] M. Nadratuzzaman Hosen. Dkk. Materi
Dakwah Ekonomi Syariah. Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah (PKES). Jakart.
Hlm.83-84
[20] Kompetensi
absolut Penyelesaian sengkata ekonomi syariah di Pengadilan Agama diatur dalam
Undang-Undang No.3 tahun 2006 Tentang
Peradilan agama Pasal 49 huruf (i) dan Undang-Undang Nomor.21 tahun 2008
Perbankan syari’ah pasal 55 ayat 1 yang telah diperkuat dengan putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012, yang diucapkan
tanggal 29 Agustus 2013, yaitu terkait dikabulkannya yudisial review yang
menghilangkan dualisme litigasi (Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri) dalam
sengketa perbankan syari’ah, sehingga Pengadilan Agama menjadi satu-satunya
lembaga litigasi tempat penyelesaian sengketa ekonomi syariah
[21] Muhammad Syafi’I Antonio. Bank
Syariah dari Teori ke Praktik. Gema Insani: Jakarta, 2001 Cet. Ke-1.
Hlm.33
[22] Drs.M. Zaidi Abdan, M.Ag. Lembaga
Perekonomian Ummat Di Dunia Islam. Angkasa: Bandung, 2003 Cet. Pertama.
Hlm.77
[23] Muhammad Syafi’I Antonio. Bank
Syariah dari Teori ke Praktik. Gema Insani: Jakarta, 2001 Cet. Ke-1.
Hlm.33-34
[24] Prof.H. A.Djazuli. Dan Drs. Yadi
Janwari,M.ag . Lembaga-lembaga Perekonomian Umat. PT Raja Grapindo
Persada: Jakarta,2002. Cetakan. Pertama.Hlm.55-60
[25] Kompetensi absolut Penyelesaian
sengkata ekonomi syariah di Pengadilan Agama diatur dalam Undang-Undang No.3 tahun 2006 Tentang Peradilan agama Pasal
49 huruf (i) dan Undang-Undang Nomor.21 tahun 2008 Perbankan syari’ah pasal 55
ayat 1 yang telah diperkuat dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012, yang diucapkan tanggal 29 Agustus
2013, yaitu terkait dikabulkannya yudisial review yang menghilangkan
dualisme litigasi (Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri) dalam sengketa
perbankan syari’ah, sehingga Pengadilan Agama menjadi satu-satunya lembaga
litigasi tempat penyelesaian sengketa ekonomi syariah.
[26] Bank
Muamalat, Annual Report (Jakarta: 1999) Dikutip Oleh Muhammad Syafi’i
Antonio, Bank Syari’ah Dari Teori Ke Praktik, Gema Insani, Jakarta,
2001, Hal.25.
[27] Untuk mengetahui lebih detailnya dapat dilihat
dalam Undang-Undang
No.10 Tahun 1998 tentang perubahan atas undang-undang
nomor 7 tahun 1992 tentang
perbankan.
[28] Pertumbuhan ini termasuk sangat pesat,lihat:http://rri.co.id/index.php/berita/71378/Perbankan-Syariah-di-Indonesia-Tumbuh-40-Persen#.UlJ95dJGs5g diakses Senin, Pada Tanggal: 07/10/2013 16.30 WIB
[29]http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Perbankan+Syariah/
diakses pada hari selasa tanggal 08/10/2013 Jam 14.10 WIB
[30]Anita Priantina (Dosen STEI Tazkia) Perjalanan
Perbankan Syariah Di Indonesia, http://ramadan.detik.com/read/2013/08/18/075234/2333137/1522/ diakses pada hari senin tanggal 07 Oktober 2013
jam.16.30.
[31] Nama-nama bank
tersebut adalah PT Bank Syariah Muamalat Indonesia, PT Bank Syariah Mandiri, PT
Bank Syariah Mega Indonesia, PT Bank Syariah BRI, PT Bank Syariah Bukopin, PT
Bank Panin Syariah, PT Bank Vi ctoria Syariah, PT BCA Syariah, PT Bank Jabar
dan Banten, PT Bank Syariah BNI, PT Maybank Indonesia Syariah (Diambil dari
data statistic bank Indonesia periode juni 2013).
[32] Ibid.
[34] Untuk
mengetahui secara lengkap dapat dibaca putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 93/PUU-X/2012, yang diucapka tanggal 29 Agustus
2013.
[36] Lihat Mukti
Arto, Praktek Perkara Perdata Di Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar, Cet
.I., 1996, Hal.30-38
[37]
Lihat Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase
[38] Untuk teknis mediasi dalam
litigasi dapat di baca PERMA Nomor 2 Tahun 2003 dan PERMA Nomor 1 Tahun 2008
[39] Salah Satu
Contonya Buku Karya Dr.Ahmad Mujahidin,MH. Prosedur Penyelesaiaan Ekonomi
Syari’ah Di Indonesia, Galia Indoneisa, Cet.I Tahun 2010
[40] Pasal 59
ayat (1) Undang-Undang Nomor.7 Tahun
1989 yang telah
diubah dengan undang-undang nomor 3 tahun 2006 dan telah diubah dengan
undang-undang nomor 50 tahun 2009.
[41] penjelasan pasal 49
huruf i Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 meliputi: Bank Syari’ah,
Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah, Asuransi Syari’ah, Reasuransi
Syari’ah,
Reksa Dana Syari’ah, Obligasi
Syari’ah
Dan Surat Berharga Berjangka Menengah Syari’ah,Sekuritas Syari’ah, Pembiayaan
Syari’ah, Pegadaian Syari’ah, Dana Pensiun Lembaga Keuangan Syari’ah Dan Bisnis
Syari’ah
[42] Telah
dilahirkanny a Undang-Undang No.3 Tahun
2006 Tentang Peradilan Agama, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang
Perbankan Syari’ah dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 yang meniadakan Choice of Court bagi sengketa
Ekonomi Syari’ah adalah bentuk keseriusan pemerintah dalam membeck-up sistem
sistem ekonomi tanpa bunga ini.
Comments
Post a Comment