MASYARAKAT SIPIL DAN DEMOKRATISASI DI INDONESIA
ANALISIS
GERAKAN MASYARAKAT SIPIL (CIVIL SOCIETY/
MASYARAKAT MADANI) PADA DEMOKRATISASI DI INDONESIA
OLEH
NUR MOKLIS
A.
PENDAHULUAN
Masyarakat
sipil sebagai terjemahan dari civil
society/ masyarakat madani diperkenalkan pertama kali oleh Anwar Ibrahim
(ketika itu Menteri Keuangan dan Timbalan Perdana Menteri Malaysia) dalam
ceramah pada Simposium Nasional dalam rangka Forum Ilmiah pada Festival
Istiqlal, 26 September 1995.[1]
Istilah itu diterjemahkan dari bahasa Arab “mujtama’
madani”, yang diperkenalkan oleh Prof. Naquib Attas, seorang ahli sejarah
dan peradaban Islam dari Malaysia, pendiri ISTAC.[2]
Kata “madani” berarti civil atau civilized (beradab). Madani berarti juga peradaban, sebagaimana
kata Arab lainnya seperti hadlari,
tsaqafi atau tamaddun. Konsep “madani” bagi orang Arab memang mengacu
pada hal-hal yang ideal dalam kehidupan.[3]
Konsep
masyarakat madani itu lahir sebagai hasil dari Festival Islam yang dinamai
Festival Istiqlal, suatu festival yang selenggarakan oleh ICMI (Ikatan
Cendekiawan Islam Muslim Indonesia). ICMI adalah suatu wadah organisasi Islam
yang didirikan pada Desember 1991 dengan restu dari Presiden Soeharto dan
diketuai oleh BJ Habibie, tangan kanan Soeharto yang menduduki jabatan Menteri
Riset dan Teknologi. Berdirinya ICMI tidak lepas dari peranan Habibie yang
berhasil menyakinkan Presiden Soeharto untuk mengakomodasi kepentingan golongan
menengah Muslim yang sedang berkembang pesat dan memerlukan sarana untuk
menyalurkan aspirasinya. Gayung bersambut karena Soeharto sedang mencari partner
dari golongan Muslim agar mendukung keinginannya menjadi presiden pada tahun
1998. Hal ini dilakukan Soeharto untuk mengurangi tekanan pengaruh dari mereka
yang sangat kritis terhadap kebijakannya, terutama dari kalangan nasionalis
yang mendirikan berbagai LSM dan kelompok Islam yang menempuh jalur
sosio-kultural seperti Gus Dur, Emha, dan Mustafa Bisri.
Mereka
mengembangkan gerakan prodemokrasi dengan memperkenalkan konsep civil society
atau masyarakat sipil. Konsep ini ditawarkan sebagai kaunter terhadap hegemoni
negara yang begitu massif melalui aparat militer, birokrasi, dan para
teknokratnya. Konsep Civil society
lebih dimaksudkan untuk mengkaunter dominasi ABRI sebagai penyangga utama
eksistensi Orde Baru. ABRI tidak hanya memerankan sebagai unsur pertahanan dan
keamanan saja tetapi juga mencampuri urusan sipil. Untuk keperluan itu ABRI
menjustifikasi tindakannya pada doktrin dwi fungsi ABRI, dimana ABRI ikut
memerankan tugas-tugas sipil baik dalam lembaga eksekutif, legislatif, maupun
yudikatif. Keterlibatannya dalam politik sangat menentukan. Akibatnya check and
balance dalam sistem pemerintahan tidak berjalan dan Orde Baru menjelma menjadi
regim yang bersifat bureaucratic authoritarian.
Konsep
masyarakat madani berkembang belakangan sebagai padanan dari masyarakat sipil.
Istilah masyarakat madani yang diperkenalkan kalangan Islam politik menjadi
lebih populer karena didukung oleh Soeharto yang ingin melakukan perubahan
politik secara hati-hati dengan mengurangi keterlibatan ABRI dalam jabatan sipil
atas desakan negara-negara donor dengan berakhirnya perang dingin pada tahun
1989. Bagi regim Orde Baru, istilah masyarakat madani lebih netral karena tidak
seperti halnya konsep civil society yang ingin mendesak ABRI sebagai kekuatan
pertahanan dan keamanan sebagaimana yang terjadi di USA.
Era
Reformasi yang melindas rezim Soeharto (1966-1998) dan menampilkan Wakil
Presiden Habibie, yang juga ketua umum ICMI, sebagai presiden dalam masa
transisi, telah mempopulerkan konsep Masyarakat madani karena Presiden beserta
kabinetnya selalu melontarkan diskursus tentang konsep itu pada berbagai
kesempatan. Bahkan Habibie mengeluarkan suatu Keppres No 198 Tahun 1998 tanggal
27 Februari 1999 untuk membentuk suatu komite dengan tugas untuk merumuskan dan
mensosialisasikan konsep masyarakat madani itu. Konsep masyarakat madani
dikembangkan untuk menggantikan paradigma lama yang menekankan pada stabilitas
dan keamanan yang terbukti sudah tidak cocok lagi.
Munculnya konsep masyarakat madani
menunjukkan intelektual muslim Melayu mampu menginterpretasikan ajaran Islam
dalam kehidupan modern, persisnya mengawinkan ajaran Islam dengan konsep civil society yang lahir di Barat pada
abad ke-18. Konsep masyarakat madani tidak langsung terbentuk dalam format
seperti yang dikenal sekarang ini. Konsep masyarakat madani memiliki rentang
waktu pembentukan yang sangat panjang sebagai hasil dari akumulasi pemikiran
yang akhirnya membentuk profile
konsep normatif seperti yang dikenal sekarang ini Bahkan konsep ini pun masih
akan berkembang terus sebagai akibat dari proses pengaktualisasian yang dinamis
dari konsep tersebut di lapangan. Like all other vocabularies with a political
edge, their meaning is neither self-evident nor unprejudiced.
Perumusan dan pengembangan konsep masyarakat
madani menggunakan projecting back theory,
yang berangkat dari sebuah hadits yang mengatakan “Khayr al-Qurun qarni thumma al-ladhi yalunahu thumma al-ladhi yalunahu”,
yaitu dalam menetapkan ukuran baik atau buruknya perilaku harus dengan merujuk
pada kejadian yang terdapat dalam khazanah sejarah masa awal Islam.[4]
Kemudian para cendekiawan muslim mengislamkan konsep civil society yang lahir di Barat dengan masyarakat madani, suatu
masyarakat kota Madinah bentukan Nabi Muhammad SAW. Mereka mengambil contoh
dari data historis Islam yang secara kualitatif dapat dibandingkan dengan
masyarakat ideal dalam konsep civil
society.
Mereka
melakukan penyetaraan itu untuk menunjukkan di satu sisi, Islam mempunyai
kemampuan untuk diinterpretasi ulang sesuai dengan perkembangan zaman, dan di
sisi lain, masyarakat kota Madinah merupakan proto-type masyarakat idel produk Islam yang bisa dipersandingkan
dengan masyarakat ideal dalam konsep civil
society. Tentunya penggunaan konsep masyarakat madani dilakukan setelah
teruji validitasnya berdasarkan landasan
normatif (nass) dari sumber primer
Islam (al-Qur’an dan Hadits) atau dengan praktek generasi awal Islam (the Islamic era par exellence).
B.
RUMUSAN MASALAH
Pada
makalah ini penulis akan mengkaji dua hal yang sangat mendasar dalam gerakan
masyarakat sipil dan demokrasi di Indonesia. Dua pertanyaan mendasar ini
menjadi acuan dalam penulisan makalah ini, yaitu:
1.
Bagaimana
mewujudkan masyarakat sipil (sipil society/ masyarakat madani) di
Indonesia?
2.
Bagaimana
mewujudkan demokrasi di Indonesia melalui gerakan masyarakat sipil (sipil
society/ masyarakat madani)?
C.
MASYARAKAT
SIPIL (CIVIL SOCIETY/ MASYARAKAT MADANI)
Istilah
masyarakat sipil sering kali dipersepsikan kurang tepat. Pengertian masyarakat
sipil terkadang dipertentangkan dengan komunitas militer. Di zaman Orde Baru
pandangan seperti itulah yang mendominasi. Masyarakat sipil selalu dikotomikan
dengan kelompok militer. Pendikotomian itu telah mereduksi makna sesungguhnya
dari istilah Civil Society/ masyarakat madani yang menjadi padanan kata
masyarakat sipil.
Term
masyarakat sipil sebenarnya hanya salah satu di antara beberapa istilah lain
dalam mengindonesiakan kata Civil Society. Di samping masyarakat sipil,
padanan kata lainnya yang sering digunakan adalah masyarakat beradab atau
masyarakat berbudaya, masyarakat kewargaan, dan masyarakat madani.
Maksud
masyarakat berbudaya sebagai padanan kata Civil Society adalah sebagai
lawan masyarakat liar. Masyarakat berbudaya merujuk pada masyarakat yang saling
menghargai nilai-nilai sosial kemanusiaan (termasuk dalam kehidupan politik).
Sementara,
istilah masyarakat madani merujuk pada Madinah, sebuah kota yang sebelumnya
bernama Yastrib di wilayah Arab, di mana masyarakat Islam di bawah kepemimpinan
Nabi Muhammad di masa lalu pernah membangun peradaban tinggi.
Civil
Society juga sering diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
menjadi masyarakat warga atau masyarakat kewargaan. Istilah mulai diperkenalkan
oleh AIPI (Asosiasi Ilmu Politik Indonesia), Pemikiran Civil Society
memang umumnya dikaitkan dengan pengelompokan masyarakat, tepatnya menunjuk
pada kelompok-kelompok sosial yang salah satu cirri utamanya ialah sifat
otonomi terhadap negara.
Masyarakat
Sipil (Civil Society), banyak diterjemahkan dengan berbagai macam makna.
Pada hakekatnya, versi terjemahan apapun yang dipakai, ternyata rujukan
berpijaknya bertemu pada pemahaman konseptual yang sama. Pada dasarnya istilah
manapun yang dipakai tidak menjadi soal sepanjang kita memiliki perspektif,
sudut pandang dan pemahaman konseptual yang sama menurut makna istilah yang
digunakan.
Civil
Society sebagai wilayah-wilayah kehidupan sosial yang
terorganisasi dan bercirikan, anatara lain; kesukarelaan (voluntary),
kesewasembadaan (self generating), dan keswadayaan (self supporting),
kemandirian tinggi berhadapan dengan negara, dan keterikatan dengan normanorma
atau nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya.
Istilah
masyarakat sipil sebagai padanan Civil Society dari aspek terjemahan Nampak lebih tepat.
Sederhana saja, kata Civil Society bila diterjemahkan langsung ke dalam
bahasa Indonesia artinya adalah masyarakat sipil. Masyarakat sipil lebih
ditekankan pada konsep sesungguhnya dari Civil Society yang pada
dasarnya terkait dengan ide demokrasi.
Dalam
alam demokrasi, keberadaan Civil Society dianggap sebagai syarat pembangunan
demokrasi. Menurut Franz Magnis Suseno, Civil Society bila didefinisikan
secara luas, ia disamakan dengan masyarakat yang mandiri yang identik dengan
demokrasi.
Sebagai
sebuah ruang politik, Civil Society adalah suatu wilayah yang menjamin
berlangsungnya perilaku, tindakan dan refleksi mandiri, tidak terkungkung oleh
kondisi kehidupan material, dan tidak terserap di dalam jaring-jaring
kelembagaan politik resmi. Tersirat pentingnya suatu ruang publik yang bebas,
tempat di mana transaksi komunikasi yang bisa dilakukan oleh warga negara.
Robert
W Hefner mengilustrasikan bahwa konsep masyarakat sipil berarti sesuatu yang
membedakan secara luas dalam tradisi teiritis yang berbeda. Dalam pemikirannya,
gagasan ini mengacu pada klub, organisasi-organisasi agama, kelompokkelompok
bisnis, serikat-serikat buruh, kelompok-kelompok HAM, dan asosiasi-asosiasi
lainnya yang berada diantara rumah tangga dan negara yang diatur secara suka
rela dan saling menguntungkan. Idenya adalah agar institusi-institusi formal
bisa bekerja, warga negara pertama, harus belajar berpartisipasi dalam
asosiasi-asosiasi sukarela local. Hal ini bisa melalui jaringan perjanjian
masyarakat sipil.
D. KONSEP DEMOKRASI DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA
Asal
kata demokrasi dari bahasa latin, Yunani, bermakna sistem pemerintahan agresif
dan tidak stabil cenderung mengarah pada tirani.[5] Sehingga para filsuf seperti Plato sekalipun
tidak terlalu antusias mendukung ide demokrasi yang diambil dari akar kata, demos (rakyat) dan kratein (memerintah), karena sangat tidak mungkin menciptakan
pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat tanpa menimbulkan konflik. Pemerintahan mengacu pada kehendak rakyat
dikatakan sebagai bentuk demokrasi tradisional atau klasik.
Dalam
Capitalism, Socialism, and Democracy,
Schumpeter mengatakan kekurangan
teori demokrasi klasik tersebut yang selalu menghubungkan antara kehendak
rakyat (the will of the people) dan
sumber serta bertujuan demi kebaikan bersama (the common good). Schumpeter
kemudian mengusulkan “teori lain mengenai demokrasi” atau “metode demokrasi”
memaknai demokrasi dari sudut prosedur kelembagaan untuk mencapai keputusan
politik yand di dalamnya setiap individu memperoleh kekuasaan untuk membuat
keputusan melalui perjuangan kompetititf dalam rangka memperoleh dukungan
berupa suara rakyat. Demokrasi pada
taraf metode tidak melibatkan unsur emosi lagi, akan tetapi lebih menekankan
pada akal sehat.[6]
Konsep
demokrasi telah mengalami perkembangan sejak definisi empirik Schumpeter dikemukakan,
perdebatan akademis seputar demokrasi melahirkan definisi konsep paling beragam
dalam ranah akademis. Berbagai studi
mengenai demokrasi dalam ilmu politik dan sosiologi cenderung untuk menilainya
dari sudut pandang berbeda-beda.
Demokrasi tidak memiliki tolak ukuran pasti dalam pengukurannya karena
membutuhkan konsensus baik dalam lingkup publik maupun akademik sekalipun.
Sebagai contoh, pemerintahan Amerika Serikat yang memiliki agenda utama dalam
mempromosikan demokrasi dalam kebijakan luar negerinyapun ternyata belum
memiliki kesepakatan tentang makna demokrasi.[7]
Karena itulah demokrasi masih menimbulkan perdebatan terutama dalam
penerapannya di negara-negara berkembang.
Menurut
Donald Horowitz (2006), “the world’s only superpower is rhetorically and
militarily promoting a political system that remains undefined-and it is
staking its credibility and treasure on the pursuit,” (negara superpower
satu-satunya di dunia secara retorik dan militeristik mempromosikan sistem
politik yang tetap tidak terdefinisikan sampai saat ini-dan hal tersebut
mempertaruhkan kredibilitas dan sumber daya teramat berharga demi mencapai
maksudnya)[8]. Sehingga, pengertian demokrasi di berbagai
belahan dunia merujuk pada penegakkan demokrasi di Amerika Serikat mengalami
distorsi makna. Demokrasi dapat
dipertukarkan dengan pengertian sangat sempit semisal voting atau pemilihan
umum semata, padahal demokrasi sebagai suatu konsep memiliki pengertian lebih
luas. Karena pencitraan demokrasi di AS
sedemikian absurd-nya sehingga
dikatakan bahwa demokrasi merupakan instrumen penekan negara-negara Eropa Barat
dan AS terhadap negara-negara lainnya di dunia, maka perlu didefinisikan
kembali karakteristik dari demokrasi.
Demokrasi
sering dipertukar-maknakan dengan kebebasan, sehingga dapat dipergunakan
keduanya sekaligus. Demokrasi bisa
dilihat sebagai satu perangkat praktek dan prinsip yang sudah dilembagakan dan
selanjutnya melindungi kebebasan itu sendiri.
Demokrasi semestinya melibatkan konsensus di dalamnya, namun secara minimal
persyaratan demokrasi terdiri dari: pemerintahan yang dipilih dari suara
mayoritas dan memerintah berdasarkan persetujuan masyarakat, keberadaan
pemilihan umum yang bebas dan adil, proteksi terhadap kaum minoritas dan hak
asasi dasar manusia, persamaan perlakuan di mata hukum, proses pengadilan dan
pluralisme politik.[9] Karakteristik dasar demokrasi seperti telah
disebutkan di atas membukakan pandangan bahwa inti dari demokrasi adalah
kebebasan rakyat dalam menentukan arah kebijakan pemerintah. Artinya demokrasi
tidak hanya sekedar melibatkan kebebasan masyarakat dalam sistem politik, akan
tetapi lebih dari itu sampai dengan tata cara melibatkan rakyat dalam
demokrasi.
Beberapa
pihak mengatakan bahwa demokrasi hanya memberikan dikotomi antara negara demokrasi
dan bukan demokrasi, padahal ukuran demokrasi amatlah beragam seperti halnya
ukuran dikemukakan oleh organisasi pemeringkat demokrasi berpusat di AS, Freedom House, dengan indeks rata-rata,
skala berkisar antara 1 sampai 7, mulai dari: 1) Political freedom atau kebebasan politik (10 indikator), 2) Civil
liberties atau kemerdekaan warga negara (15 indikator), seringkali
dijadikan acuan dalam mengukur demokrasi.
Selain
itu Freedom House memiliki konsep
sempit mengenai electoral democracy, yaitu
demokrasi dalam arti sangat minimal paling tidak memiliki karakteristik: 1)
Sistem politik multi-partai kompetitif, 2) Hak pilih setara bagi orang dewasa,
3) Pemilihan umum dilaksanakan secara reguler, dijamin dengan pemberian suara
secara rahasia, terjamin keamanannya, dan absennya kecurangan suara pada
pemilu, 4) Akses publik terhadap partai politik besar sampai ke pemilihnya
sangat terbuka melalui media dan melalui kampanye terbuka.
Sedangkan
definisi political freedom lebih luas
daripada electoral democracy, yaitu
mengukur proses pemilihan umum dan pluralisme politik, sampai bagaimana
memfungsikan pemerintah dan beberapa aspek dari partisipasi. Political freedom akan memberikan warna pada
tingkat kesuksesan demokrasi di berbagai tempat, sehingga tidak ada demokrasi
di satu negarapun dapat disamakan dengan negara lain.
Perbedaan
kedua ukuran dari lembaga tersebut menimbulkan konsep thin atau minimalist dan thick atau wider tentang demokrasi. Sehingga definisi demokrasi lebih luas
harus memperhitungkan aspek kondisi masyarakat dan budaya politik dari
masyarakat demokratis. Definisi sempit
tersebut lebih merupakan pengembangan dari konsep Robert Dahl (1970) tentang polyarchy, dengan 8 ciri: 1) hampir
semua warga negara dewasa memiliki hak pilih, 2) hampir semua warga negara
dewasa dapat menduduki kantor publik, 3) pemimpin politik dapat berkompetisi
untuk memperebutkan suara, 4) pemilihan umum harus bebas dan fair, 5) semua
penduduk memiliki kebebasan utuk membentuk dan bergabung dalam partai politik
dan organisasi lainnya, 6) semua penduduk dapat memiliki kebebasan
mengekspresikan pendapat politiknya, 7) informasi mengenai politik banyak
tersedia dan dijamin ketersediannya oleh hukum, dan 8) kebijakan pemerintah bergantung pada suara
dan pilihan-pihan lain.
Sehingga
suatu negara sudah dapat dikatakan demokratis apabila memiliki karakteristik:
1) Pemerintahan sipil yang dipilih secara bebas, jujur, dan adil dalam pemilu,
2) Perwakilan yang representatif, 3) Publik yang bertangung jawab dan dijamin
kebebasannya dalam peraturan perundangan. Menurut Gabriel Almond (1999),
partisipasi politik diawali oleh adanya artikulasi kepentingan dimana seorang
individu mampu mengontrol sumber daya politik seperti halnya seorang pemimpin
partai politik atau seorang dictator militer.
Peran mereka sebagai aggregator politik (penggalang/penyatu dukungan)
akan sangat menentukan bagi bentuk partisipasi politik selanjutnya. Bangsa
besar memiliki bangunan organisasi yang telah terspesialisasi dalam menyalurkan
bentuk agregasi politik berikut kebijakan terkait menghasilkan partai politik.
Oleh karena itu partisipasi politik menurut Gabriel Almond (1999) terbagi ke
dalam 3 kategori seperti ilustrasi berikut ini:
Ilustrasi 1: Partisipasi
Politik Almond
Sumber:
Almond (1999)[10]
Sedangkan
Huntington dan Nelson mengatakan bahwa tidak ada bentuk partisipasi politik
yang digambarkan sebagai “No Easy Choice,” membaginya menjadi 2 macam
partisipasi: 1) Otonom (autonomous participation), 2) Mobilisasi (mobilized
participation). Mereka mengatakan bahwa keterasingan seseorang dalam
partisipasi politik yang disebabkan oleh rasa apatis (ketidakpedulian) dapat
menyebabkan alienasi (keterasingan) politik.David F. Roth dan Frank L. Wilson
(1980) menstrukturkan partisipasi politik ke dalam piramida partisipasi
sebagaimana ilustrasi berikut:
Ilustrasi
2: Piramida Partisipasi Politik Roth dan Wilson
Sumber:
Budiardjo (1998)[11]
Bentuk
umum dari partisipasi politik adalah pemberian suara pada saat pemilihan umum
(pemilu). Bentuk partisipasi politik
paling minim seperti ini dapat dijumpai pada sistem politik demokratik sampai
paling otoritarian sekalipun. Adapun bentuk-bentuk partisipasi politik yang ada
pada sistem politik terbagi menjadi level atau derajat pemberian partisipasi
seperti tergambar pada tebel berikut:
Tabel
1. Bentuk dan Derajat Partisipasi Politik Almond
BENTUK
|
RUANG
LINGKUP
|
DERAJAT
|
Voting
(pemberian suara)
|
Luas,
keputusan pemerintah
|
Sedang
|
Informal
Group (kelompok informal)
Social
Movement (pergerakan sosial)
|
Aktivitas
kolektif, kebijakan umum
|
Tinggi
|
Direct
Contact (kontak langsung)
|
Spesifik,
urusan personal/pribadi
|
Rendah
|
Protest
Activity (aktivitas protes)
|
Ekspresif,
urusan spesifik
|
Tinggi
|
Sumber:
Almond (1999)
Sebagai
perbandingan bentuk dan derajat partisipasi politik di berbagai negara pada
tahun 1990 – 1993: 1) Amerika Serikat – 49%, 2) Jerman Barat – 82%, 3) Inggris
– 72%, 4) Perancis – 68%, 5) Uni Soviet – 64%. Alexis de Tocqueville, seorang
ahli masalah demokrasi Amerika Serikat berkebangsaan Perancis, mengakui bahwa
aktivitas ‘grass root’ (akar rumput/rakyat jelata) merupakan fondasi dari
demokrasi, namun sekarang sudah berubah menjadi ‘middle class’ (masyarakat
kelas menengah). Marti Seymour Lipset (1960) memberikan tingkatan sosial dan
pemilu, menggambarkan bagaimana tingkat partisipasi politik suatu masyarakat
dapat berbeda-beda, sebagai berikut dalam tabel 2:
Tabel
2. Karakteristik Tingkat Sosial dan Pemilu
KATEGORI
|
TINGGI
|
RENDAH
|
Pendapatan
|
Tinggi
|
Rendah
|
Pendidikan
|
Tinggi
|
Rendah
|
Pekerjaan
|
White Collar Works
|
Blue Collar Works
|
Ras
|
Putih
|
Hitam
|
Kelamin
|
Pria
|
Wanita
|
Umur
|
35-55 Dan 55-Ke Atas
|
<35
|
Situasi
|
Krisis
|
Normal
|
Status
|
Kawin
|
Belum Kawin
|
Organisasi
|
Anggota
|
Tidak Anggota
|
Sumber:
Rafael Raga Maran (2007)
Sedangkan
bila berbicara mengenai agregasi kepentingan, maka Almond menggambarkannya ke
dalam bentuk paling kasat mata yaitu partai politik, mensyaratkan adanya
sosialisasi politik dan rekrutmen politik.
Kemudian bentuk umum yang ada yaitu patron-client network dengan struktur
dimana pemegang kekuasaan berada di kantor pusat, merupakan figure berwenang
memberikan keuntungan pada pemilih sebagai imbalan kesetiaan mereka. Negara-negara yang menganut sistem
patron-client umumnya berada di kawasan Asia misalnya: Indonesia, Filipina,
Thailand, Jepang, dan India. Bentuk umum
di negara Barat terdiri dari asosiasional dan institusional dengan sistem
kepartaian yang kompetitif.
Di
Indonesia, partisipasi politik masyarakat masih terfokus pada penggunaan
saluran penyaluran aspirasi politik melalui pemilihan umum. Partai politik masih dipandang memberikan
satu-satunya wadah penampungan aspirasi politik ketimbang sarana-sarana
penyaluran lainnya. Sungguhpun demikian,
masyarakat Indonesia telah belajar banyak dari proses demokrasi yang
diperkenalkan sejak tahun 1998, pasca runtuhnya Orde Baru.
Perkembangan
iklim politik Indonesia setelah jatuhnya rejim Soeharti tidak menampakan
perbaikan semakin mengkhawatirkan. Rakyat kembali turun ke jalan dengan
berbagai macam bentuk ungkapan kekesalan.
Mulai dari unjuk rasa buruh, perusakan fasilitas publik akibat
kekecewaan rakyat pada hasil pilkada semisal di Tuban, sampai protes terhadap
kesewenang-wenangan pemerintah di daerah Banten dan Banyumas, kesemuanya
berujung pada kerusuhan massa. Ironisnya, elit pemerintah rupanya terlanjur
memiliki kebiasaan tidak mendidik untuk
menuding ketidakdewasaan rakyat berdemokrasi sebagai biang keladi kerusuhan,
tanpa berani menunjuk siapa di balik semua itu.
Sungguh berbahaya apabila para elit dan pendidik bangsa menyikapi
kerusuhan dengan melemparkan kesalahan pada segelintir pihak, berusaha bersikap
arif di mulut lain di perbuatan, ataupun lebih parah lagi diam seribu
bahasa. Kenyataannya demonstrasi sebagai
alat demokrasi sudah semakin liar, korbanpun telah berjatuhan, sarana publik
telah rusak, demokrasi sudah kebablasan!
Sudah waktunya kita bertanya apakah benar kerusuhan timbul akibat kurang
dewasanya rakyat dalam berdemokrasi ataukah semata-mata akibat kegagalan
pendidikan politik, yang semestinya menjadi tanggung jawab pemerintah? Mungkin
ada baiknya kita bersama menyimak sejarah perjalanan demokrasi bangsa dan
negara Republik Indonesia dengan mempertimbangkan kembali kesepakatan bersama
akan demokrasi yang kita tuju, tak terkecuali pemerintah dan segenap rakyat
Indonesia. Anggaplah kesepakatan sudah terjadi, pertanyaan selanjutnya adalah
apa kita siap menanggung segala efek samping dari penegakkan demokrasi
tersebut? Uraian di bawah ini akan menyajikan pandangan akan “kebablasannya”
demokrasi yang mungkin diakibatkan oleh faktor kegagalan kita dalam memahami
demokrasi dan akibatnya.
Mendefinisikan Demokrasi di Indonesia. Menurut
majalah terbitan Amerika Serikat, The Economist, edisi Desember 2004, umur penegakkan demokrasi di
Indonesia tidaklah lebih dari enam tahun sejak jatuhnya rejim diktator Orde
Baru digantikan oleh SBY-JK, sebagai pasangan presiden dan wakil presiden
pilihan rakyat. Sebagai anak bangsa,
sewajarnyalah kita bersedih ketika demokrasi di Indonesia masih dianggap
seperti “anak ingusan”. Namun kenyataan
harus kita terima, perjalanan demokrasi Indonesia masih panjang. Dengan
demikian, rasanya sangatlah tidak adil jika kesalahan serta merta ditimpakan
pada satu pihak, semisal rakyat bila terjadi mental breakdown dalam proses menuju demokrasi. Toh, kita semua sedang dalam tahap belajar
berdemokrasi.
Agaknya
pemerintah perlu mawas diri karena mungkin penegakkan demokrasi di negara kita
belum memperhatikan prasyarat bangunan demokrasi tradisional seperti halnya
konsensus atau social contract ala
John Locke, dari berbagai kepentingan dalam masyarakat. Tentunya semua pihak perlu memahami bahwa demokrasi
seperti ini tidak bisa mengakomodasi semua kepentingan, karena hanya
kepentingan mayoritas tertentu yang terwakili.
Kalaupun semua pihak harus terpuaskan, apa jadinya bentuk demokrasi
nantinya. Bisa-bisa demokrasi akan “mati” ketika semua pihak turun ke jalan dan
memaksakan kehendaknya karena merasa benar.
Dapat dibayangkan, bila demokrasi terakhir ini yang kita anut, negara
ini bisa babak belur karena tidak ada yang memimpin, semua merasa berhak
memimpin atas nama demokrasi. Celakanya, gejala ini sedang melanda Indonesia.
Hendaknya
tekanan dunia internasional untuk berdemokrasi dikesampingkan terlebih
dahulu. Demokrasi ala barat atau Western democracy yang mengedepankan besarnya
antusiame rakyat mengikuti pemilihan umum, pemilihan kepala pemerintahan secara
langsung, tumbuh suburnya partai-partai politik, mengagungkan kebebasan
berpendapat, lembaga peradilan yang ajeg, penegakkan hak asasi manusia, dan
pers yang bebas (bertanggung jawab), mendatangkan bias terhadap kualitas demokrasi itu sendiri. Akibatnya kesuksesan penegakkan demokrasi di
Indonesia tidak dibarengi dengan kesuksesan pemahaman akan arti demokrasi pada
tingkat grass root.
Efek Samping Demokrasi. Proses
penegakkan demokrasi di Indonesia ternyata membawa efek samping yang justru
membahayakan kesatuan bangsa, mengapa hal itu bisa terjadi? Menurut Jack Snyder
(2001), demokrasi yang dipaksakan pada suatu negara yang sebelumnya masih belum
“hijau” berdemokrasi, menekankan keberadaan lembaga-lembaga seperti disebutkan
di atas, akan berimbas negatif seperti timbulnya kekerasan politik. Ted Robert
Gurr dalam Why Men Rebel (1961)
menyebutkan bahwa kekerasan politik dapat disebabkan oleh ketidakpuasan rakyat
akan saluran-saluran politik yang ada. Sejalan dengan pendapat Gurr, Huntington (1968) yang berargumen bahwa
kesenjangan antara keinginan dan kenyataan pada proses modernisasi berdampak
pada ketidakstabilan politik. Alhasil, demokrasi yang dipaksakan hanya
akan mengembalikan pemerintahan yang tidak mau tahu apa yang diinginkan
rakyatnya alias otoritarian. Apabila
pemerintah tetap memaksakan kehendaknya, bukan mustahil akan lebih banyak lagi
korban berjatuhan di kalangan rakyat akibat timbulnya kekerasan politik sebagai
efek samping penegakkan demokrasi.
Proses
pendemokrasian rakyat semestinya ditunjang keberadaan saluran-saluran politik
yang mampu mengakomodasi aspirasi mereka. Rakyat bukanlah aktor politik, elit
penguasalah yang bertanggung jawab untuk menyediakan saluran-saluran politik
yang legitimate sekaligus mendidik
rakyatnya berdemokrasi. Bila tidak terpenuhi, wajar saja rakyat menuntut
haknya. Dengan demikian lembaga-lembaga yang ada mungkin harus diredefinisikan
kembali sejalan dengan aspirasi rakyat.
Bercermin
ke belakang bukan berarti meruntuhkan bangunan lembaga-lembaga demokrasi yang
ada, justru diperlukan kearifan untuk menghidupkan kembali lembaga-lembaga
demokrasi tradisional seperti halnya konsensus dalam masyarakat Indonesia. Oleh
karena itu, ada baiknya semua pihak berusaha merendahkan hati dan membuang
kebiasaan negatif menyalahkan orang lain demi memperbaiki kesalahan pada proses
demokrasi yang kita anggap sebagai kesepakatan bersama.
E.
ANALISIS MEWUJUDKAN
MASYARAKAT SIPIL (SIPIL SOCIETY/ MASYARAKAT MADANI) DI INDONESIA
Masyarakat sipil (sipil society/ masyarakat madani di Indonesia, sangat kentara dengan latar belakang kehidupan politik pasca lengsernya pemerintahan orde baru. Masyarakat madani sukar tumbuh dan berkembang pada rezim Orde Baru yang didirikan dengan asumsi yang bertolak belakang dengan asumsi Orde Lama. Kedua regim didirikan secara timpang, dimana regim Orde Lama menjadikan politik sebagai panglima, sedangkan Orde Baru menjadikan ekonomi sebagai panglima. Arah kebijakan Orde Baru tersebut menitikberatkan pendekatan stabilitas untuk mendukung program pembangunan ekonomi. Pendekatan ini sejalan dengan pendekatan para teoritisi modern yang didukung IMF (International Monetary Fund) dan World Bank, suatu badan yang sangat besar peranannya bagi modernisasi Indonesia di bawah Presiden Soeharto. Mereka kurang mengakomodasi peranan tradisi sebagai wahana bagi rakyat untuk memberi makna terhadap pembangunan. Bagi mereka pembangunan dititikberatkan pada aspek materi dan percaya pada konsep trickle down bahwa pembangunan yang bersifat sentralistis itu akan memilik efek positif juga pada lapisan rakyat bawah.
Sejak diangkat menjadi pejabat presiden pada tahun 1966, Soeharto berusaha memberi citra yang jelek pada politik yang cenderung bersifat ideologis. Orde Baru membentuk Golkar sebagai suatu golongan (bukan partai) yang tidak bersifat ideologis dan lebih mementingkan pada program. Kalau dilihat fungsinya maka Golkar merupakan partai politik karena ikut kompetisi dalam pemilu 1971 dan nantinya sebagai pendukung regim Orde Baru. Keberhasilan Golkar dalam pemilu 1971 tidak lepas dari peranan militer yang memiliki jalur komando teritorial dari pusat sampai ke tingkat kecamatan. Militer ini menjalin kerjasama dengan aparat birokrasi dan para teknokrat.
Kemenangan Golkar tidak lepas dari kebijakan Soeharto menunda pelaksanaan pemilu dari tahun 1967 sampai tahun 1971, dan selama waktu itu mesin politiknya melakukan kampanye terselubung. Suatu cara yang ditentang berbagai partai politik, terutama Partai NU yang menjadi saingannya. Golkar berhasil menguasai mayoritas kursi parlemen dan berhasil memaksakan berbagai kebijakan untuk mendukung regim Orde Baru dan sebaliknya berusaha membatasi pengaruh partai politik. Keluar Keputusan MPR tahun 1971 tentang massa mengambang yang membatasi kegiatan partai hanya sampai di aras kabupaten. Kemudian keluar kebijakan deideologisasi pada tah un 1973 yang menggabungkan partai-partai politik kedalam dua wadah fusi. Partai-partai Islam bergabung dalam PPP; sedangkan partai-partai lainnya bergabung ke dalam PDI. Akhirnya keluar UU No. 3 tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya, untuk menegasikan partai politik dan menekankan pada golongan fungsional yang dibentuk Golkar.
Regim Soeharto berusaha melakukan kooptasi terhadap partai politik dengan melakukan intervensi dalam pemilihan ketua sehingga citra parpol menjadi menurun di mata rakyat. Intervensi merupakan suatu yang sangat lumrah karena kedua partai politik PPP dan PDI mengalami kesulitan dalam melakukan konsolidasi berbagai unsur yang membentuknya. Partai menjadi tidak berfungsi sebagai wadah penyaluran aspirasi rakyat dan rakyat menjadi apatis terhadap politik.
Meskipun pembangunanisme telah menghasilkan angka pertumbuhan ekeonomi sebesar rata-rata 7% hingga tahun 1992, bahkan mencapai 7,9% pada periode 1971-1980, namun angka kemiskinan masih relatif tinggi, angka pengangguran meningkat, dan yang tak kalah mengerikan adalah pengebiran demokrasi dan pelanggaran HAM terus meningkat. Memang secara makro ekonomi terkesan baik, namun secara mikro kurang diraskan manfaatnya bahkan merugikan rakyat. Hal ini disebabkan ideologi developmentalisme yang telah dielaborasi menjadi program-program pembangunan ini memiliki karakter menindas buruh dan rakyat untuk kepentingan kaum borjuis.
Nasib rakyat yang tertindas kurang mendapatkan perhatian secara memadai karena partai politik tidak dapat mengagresikan Media massa sulit melakukan kritik terhadap pemerintah Militer terlibat juga dalam kegiatan ekonomi dan melakukan kerjasama dengan para konglomerat sehingga mereka menjadi tidak peka terhadap nasih rakyat.
Hal yang tidak kalah penting adalah latar belakang kehidupan ormas (organisasi masyarakat). Hanya beberapa organisasi keagamaan yang memiliki basis sosial besar yang relatif memiliki kemandirian dan kekuatan dalam mempresentasikan diri sebagai unsur dari masyarakat madani, seperti Nahdlatul Ulama (NU) yang dimotori oleh KH Abdurrahman Wahid dan Muhammadiyah dengan motor Prof. Dr. Amien Rais. Pemerintah sulit untuk melakukan intervensi dalam pemilihan pimpinan organisasi keagamaan tersebut karena mereka memiliki otoritas dalam pemahaman ajaran Islam (Azizi, 1999). Pengaruh politik tokoh dan organisasi keagamaan ini bahkan lebih besar daripada partai-partai politik yang ada.
UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Sitompul, 1989: 168) mewajibakan semua ormas berasasakan Pancasila. Hal ini menunjukkan “otoritas penguasa” membatasi pengaruh ideologi-ideologi adanya sentralisasi kekuasaan melalui korporatisme dan birokratisasi di hampir seluruh aspek kehidupan, terutama terbentuknya organisasi-organisasi kemasyarakat dan profesi dalam wadah tunggal, seperti MUI, KNPI, PWI, SPSI, HKTI, dan sebagainya. Organisasi-organisasi tersebut tidak memiliki kemandirian dalam pemilihan pemimpin maupun penyusunan program-programnya, sehingga mereka tidak memiliki kekuatan kontrol terhadap jalannya roda pemerintahan.
Munculnya wacana civil society di Indonesia banyak disuarakan oleh kalangan “tradisionalis” (termasuk Nahdlatul Ulama), bukan oleh kalangan “modernis”.[12] Hal ini bisa dipahami karena pada masa tersebut, NU adalah komunitas yang tidak sepenuhnya terakomodasi dalam negara, bahkan dipinggirkan dalam peran kenegaraan. Di kalangan NU dikembangkan wacana civil society yang dipahami sebagai masyarakat non-negara dan selalu tampil berhadapan dengan negara. Kalangan muda NU begitu keranjingan dengan wacana civil society, lihat mereka mendirikan LKiS yang arti sebenarnya adalah Lembaga Kajian Kiri Islam, namun disamarkan keluar sebagai Lembaga Kajian Islam.
Kebangkitan wacana civil society dalam NU diawali dengan momentum kembali ke khittah 1926 pada tahun 1984 yang mengantarkan Gus Dur sebagai Ketua Umum NU. Gus Dur memperkenalkan pendekatan budaya dalam berhubungan dengan negara sehingga ia dikenal sebagai kelompok Islam budaya, yang dibedakan dengan kelompok Islam Politik. Dari kandungan NU lahir prinsip dualitas Islam-negara, sebagai dasar NU menerima asas tunggal Pancasila. Alasan penerimaan NU terhadap Pancasila berkaitan dengan konsep masyarakat madani, yang menekankan paham pluralisme, yaitu: (1) aspek vertikal, yaitu sifat pluralitas umat (QS al-Hujurat 13) dan adanya satu universal kemanusiaan, sesuai dengan Perennial Philosophy (Filsafat Hari Akhir) atau Religion of the Heart yang didasarkan pada prinsip kesatuan (tawhid); (2) aspek horisontal, yaitu kemaslahatan umat dalam memutuskan perkara baik politik maupun agama; dan (3) fakta historis bahwa KH A. Wahid Hasyim sebagai salah seorang perumus Pancasila, disamping adanya fatwa Mukhtamar NU 1935 di Palembang.[13]
Kemudian untuk menjawab hubungan Masyarakat sipil/ sipil society/ msyarakat madani dan Negara adalah dalam pengembangan konsep masyarakat madani para intelektual Muslim menjadikan Amerika Serikat sebagai model dari bentukan civil society. Di Amerika kekuasaan negara sangat terbatas dan tidak bisa mengintervensi hak-hak individu (biasa disebut dengan small stateness), namun sangat kuat dalam bidang pelaksanaan hokum.
Kalau kita melihat secara jeli masyarakat madani yang diciptakan Nabi berbentuk suatu negara, sehingga tidak sepenuhnya benar bila kita ingin mewujudkan masyarakat madani berati menjadikan kekuasaan eksekutif/pemerintah lemah seperti yang terjadi di Amerika. Kesan tersebut muncul karena konsep civil society lahir bersamaan dengan konsep negara modern, yang bertujuan: Pertama, untuk menghindari lahirnya negara absolut yang muncul sejak abad ke-16 di Eropa. Kedua, untuk mengontrol kekuasaan negara. Atas dasar itu, perumus civil society menyusun kerangka dasar sebagai berikut:
…the
state as an association between the members of a society rather than as the
personal domain of a monarch, and furthermore as an association that is unique
among all the associations in civil society because of the role it plays. Thingking
of the state as an association between all members of a society means ascribing
to it supreme authority to make and enforce laws –the general rules that
regulate social arrangements and social relationships. If the state is accorded
such a role, and if it is to be a genuine association between all members of
the community, it follows that its claim to supreme authority cannot be based
upon the hereditary title of a royal line, but must originate in the way in
which rulers are related to the ruled.[14]
Dari
penjelasan di atas Gamble menyimpulkan bahwa teori negara modern mencakup dua
tema sentral yaitu sovereignty; dan political economy, the the problem of the
relationship of state power to civil society. Sedangkan konsep civil society lebih berkait dengan tema
kedua itu, yaitu;
…how
government should ralate to the private, individualist world of civil society
organised around commodity production, individual exchange and money; what
policies and puposes it should pursue and how the general interest should be
defined. Two principal lines of thought emerged. In the first the state came to
be regarded as necessarily subordinate to civil society; in the second it was
seen as a sphere which included but also transcended civil society and
countered its harmful effects. These different conceptions were later to form
one of the major dividing lines in modern liberalism.[15]
Hegel
dan Rousseau memandang negara modern lebih dari sekedar penjamin bagi
berkembangknya civil society, karena negara modern didirikan atas dasar
persamaan semua warga negara, maka negara tidak hanya sebagai alat untuk
mencapai tujuan akhir tertentu bersama, seperti penjamin aturan pasar agar
setiap individu dapat mengejar keperluannya; melainkan merupakan puncak dari
sistem sosial, dimana nilai tertinggi bukan pada individu melainkan pada
kehidupan bersama.[16]
Adam Seligman mengemukakan dua
penggunaan istilah civil society dari
sudut konsep sosiologi, yaitu dalam tingkatan kelembagaan (organisasi) sebagai
tipe sosiologi politik dan membuat civil
society sebagai suatu fenomena dalam dunia nilai dan kepercayaan. Dalam
pengertian yang pertama, civil society dijadikan
sebagai perwujudan suatu tipe keteraturan kelembagaan dan dijadikan jargon
untuk memperkuat ide demokrasi yang mempunyai delapan karakteristik yaitu:
(1)
the freedom to form and join
organizations, (2) freedom od expression, (3) the right to vote, (4)
eligibility for public office, (5) the right of political leaders to compate
for support and votes, (6) alteernative sources of information (what we would
call a free press, (7) free and fair elections, and (8) institutions for making
government policies depend on votes and other expressions of preference.[17]
Dari
delapan karakteristik demokrasi yang merupakan tugas negara modern, maka kita
tahu bahwa negara mempunyai tugas untuk mengembangkan masyarakat madani.
Penggunaan
istilah yang kedua berkaitan dengan tinjauan filsafat yang menekankan pada
nilai dan kepercayaan, sebagai pengaruh moralitas Kristen dalam peradaban
modern. Moral diyakini sangat penting untuk mengatur kehidupan berbangsa dan
bernegara, walaupun aspek moral itu tidak ditransendenkan kepada Tuhan, dengan
alasan seperti yang diyakini Montesquieu dan Tocqueville “the people can be trusted to rule themselves” (Azizi, 2000: 90). Mereka
mengabaikan peran Tuhan yang dipandang sudah tidak cocok lagi untuk dunia
modern. Mereka yakin agama hanya berperan sebagai masa transisi antara dunia
mitos dan dunia modern.
Era
Reformasi yang melindas rezim Soeharto (1966-1998) dan menampilkan Wakil
Presiden Habibie sebagai presiden dalam masa transisi, telah mempopulerkan
konsep Masyarakat madanikarena Presiden beserta kabinetnya selalu melontarkan
diskursus tentang konsep itu pada berbagai kesempatan. Bahkan Habibie
mengeluarkan suatu Keppres No 198 Tahun 1998 tanggal 27 Februari 1999 untuk
membentuk suatu dengan tugas untuk merumuskan dan mensosialisasikan konsep
masyarakat madani itu. Konsep masyarakat madani dikembangkan untuk menggantikan
paradigma lama yang menekankan pada stabilitas dan keamanan yang terbukti sudah
tidak cocok lagi. Soeharto terpaksa harus turun tahta pada tanggal 21 Mei 1998
oleh tekanan dari gerakan Reformasi yang sudah muak dengan pemerintahan militer
Soeharto yang otoriter. Gerakan Reformasi didukung oleh negara-negara Barat
yang menggulirkan konsep civil society
dengan tema pokok Hak Asasi Manusia (HAM).
Presiden
Habibie mendapat dukungan dari ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia),
suatu bentuk pressure group dari
kalangan Islam, dimana ia duduk sebagai Ketua Umumnya. Terbentuknya ICMI
merupakan suatu keberhasilan umat Islam dalam mendekati kekuasaan karena
sebelumnya pemerintah sangat phobi terhadap Islam politik. Hal itu terjadi
karena ada perantara Habibie yang sangat dekat dengan Soeharto. Dengan demikian
pengembangan konsep masyarakat madani merupakan salah satu cara dari kelompok
ICMI untuk merebut pengaruh dalam Pemilu 1997. Kemudian konsep masyarakat
madani mendapat dukungan luas dari para politisi, akademisi, agamawan, dan
media massa karena mereka semua merasa berkepentingan untuk menyelamatkan
gerakan Reformasi yang hendak menegakkan prinsip-prinsip demokrasi, supremasi
hukum, dan HAM.
Pengamat
politik dari UGM, Dr Mohtar Mas'oed (Republika,
3 Maret 1999) yakin bahwa pengembangan masyarakat madani memang bisa membantu
menciptakan atau melestarikan demokrasi, namun bagi masyarakat yang belum
berpengalaman dalam berdemokrasi, pengembangan masyarakat madani justru bisa
menjadi hambatan terhadap demokrasi karena mereka menganggap demokrasi adalah
distribusi kekuasaan politik dengan tujuan pemerataan pembagian kekuasaan,
bukan pada aturan main. Untuk menghindari hal itu, diperlukan pengembangan
lembaga-lembaga demokrasi, terutama pelembagaan politik, disamping birokrasi
yang efektif, yang menjamin keberlanjutan proses pemerintahan yang terbuka dan
partisipatoris.
Keteganggan
di Indonesia tidak hanya dalam wacana politik saja, tetapi diperparah dengan
gejala desintegrasi bangsa terutama kasus Timor Timur, Gerakan Aceh Merdeka,
dan Gerakan Papua merdeka. Hal itu lebih didorong oleh dosa rezim Orde Baru
yang telah mengabaikan ciri-ciri masyarakat madani seperti pelanggaran HAM,
tidak tegaknya hukum, dan pemerintahan yang sentralistis/absolut. Sedangkan
kerusuhan sosial yang sering membawa persoalan SARA menunjukkan bahwa masih
banyak masyarakat yang buta hukum dan politik (sebagai prasyarat masyarakat
madani), disamping penegakkan hukum yang masih belum memuaskan.
Gus
Dur memerankan diri sebagai penentang terhadap ortodoksi Islam atau
dikatakannya main mutlak-mutlakan yang dapat membunuh keberagaman. Sebagai
komitmennya dia berusaha membangun kebersamaan dalam kehidupan umat beragama,
yang tidak hanya didasarkan pada toleransi model kerukunan (ko-eksistensi)
dalam Trilogi Kerukunan Umat Beragama-nya mantan Menteri Agama H. Alamsyah Ratu
Prawiranegara (1978-1983), tetapi didasarkan pada aspek saling mengerti.[18].
Oleh karena itu Gus Dur sangat mendukung dialong antar agama/antar imam, bahkan
ia ikut memprakarsai berdirinya suatu lembagai yang bernama Interfidie, yaitu
suatu lembaga yang dibentuk dengan tujuan untuk memupuk saling pengertian antar
agama. Gus Dur, seperti kelompok Tradisionalis lainnya, tidak memandang orang
berdasarkan agama tapi lebih pada pribadi, visi, kesederhanaan dan ketulusannya
untuk pengabdian pada sesame.
Terpilihnya
Gus Dur sebagai presiden sebenarnya menyiratkan sebuah problem tentang prospek
Masyarakat madani di kalangan NU karena NU yang dulu menjadi komunitas
non-negara dan selalu menjadi kekuatan penyeimbang, kini telah menjadi “negara”
itu sendiri. Hal tersebut memerlukan identikasi tentang peran apa yang akan
dilakukan dan bagaimana NU memposisikan diri dalam konstelasi politik nasional.
Seperti yang telah dijelaskan pada bagian awal bahwa timbulnya civil society pada abad ke-18
dimaksudkan untuk mencegah lahirnya negara otoriter, maka NU harus memerankan
fungsi komplemen terhadap tugas negara, yaitu membantu tugas negara ataupun
melakukan sesuatu yang tidak didapat dilakukan oleh negara, misalnya
pengembangan pesantren Rumadi, 1999: 3). Sementara Gus Dur harus mendukung
terciptanya negara yang demokratis supaya memungkinkan berkembangnya masyarakat
madani, dimana negara hanya berperan sebagai ‘polisi’ yang menjaga lalu lintas
kehidupan beragama dengan rambu-rambu Pancasila.[19]
F.
ANALISIS
MEWUJUDKAN DEMOKRASI DI INDONESIA MELALUI GERAKAN MASYARAKAT SIPIL (SIPIL
SOCIETY/ MASYARAKAT MADANI)
Dalam
hubungan masyarakat dengan negara, civil society memiliki tiga fungsi,
yaitu: Pertama, sebagai komplementer di mana elemen-elemen civil
society mempunyai aktivitas memajukan kesejahteraan untuk melengkapi peran
negara sebagai pelayan publik (public services). Kedua, sebagai
subtitutor. Artinya, kalangan civil society melakukan serangkaian
aktivitas yang belum atau tidak dilakukan negara dalam kaitannya sebagai institusi
yang melayani kepentingan masyarakat luas. Dan ketiga, sebagai kekuatan
tandingan negara atau counterbalancing the state atau counterveiling
forces. Kalangan civil society melakukan advokasi, pendampingan,
ligitasi, bahkan praktik-praktik oposisi untuk mengimbangi kekuatan hegemonik
negara atau paling tidak menjadi wacana alternatif di luar aparatur birokrasi
negara.
Fungsi-fungsi
di atas, mengandaikan perbedaan titik-tekan implementasi gagasan-gagasan civil
society, antara ranah sosial budaya ataukah pada lingkup politik. Iwan
Gardono (2001) berpendapat, bahwa civil society yang menekankan pada
aspek sosial budaya dapat bersifat horisontal biasanya terkait erat dengan “civility”
atau keberadaan dan “fraternity”. Indigenisasi konsep civil society dilakukan
dalam rangka menarik relevansi dengan konteks keumatan. Sedangkan civil
society dalam konotasi vertikal lebih merujuk pada dimensi politis,
sehingga lebih dekat pada aspek citizen dan liberty. Perbedaan
titik-tekan tersebut berimplikasi pada pemaknaan yang beragam, atau setidaknya
istilah-istilah yang beragam untuk menyebutkan civil society.
Dengan
mengkombinasikan secara horisontal dan vertikal, maka fungsi komplementer,
subtitutor, dan countervailing forces menjadi satu kesatuan yang tak
terpisahkan. Barangkali persoalannya terletak pada bagaimana kalangan civil
society dalam pelbagai sektor dan area of concern dari aktivitas yang
mereka lakukan dapat berbagi peran menuju terciptanya demokratisasi yang
berbasis masyarakat.
Pemerintahan
demokratis adalah sistem pemerintahan yang berdasarkan kedaulatan rakyat.
Pemerintahan demokratis bergantung pada seberapa besar keterlibatan politik (civic
engagement) warganya. Ada proses pelibatan masyarakat dalam mengawasi
kinerja pemerintahan. Kekuatan politik menyebar dalam masyarakat dan politik
nasional merupakan hasil pertarungan di masyarakat. Keterlibatan warga negara
dalam asosiasi-asosiasi yang potensial menumbuhkan sikap terbuka, trust,
toleransi dan sikap positif lainnya kemudian menjadi penting dalam bangunan
politik nasional (Putnam, 1993). Dengan demikian, demokrasi tidak menjadi
makanan kaum elite saja, tapi mengalami reeksaminasi oleh masyarakat secara
transparan dan terus-menerus di ruang publik, tidak saja pada masa pemilu.
Dalam
konteks penumbuhan elemen-elemen demokrasi, kita tidak bisa melepaskan diri
dari komponen dasar demokrasi, yakni partisipasi aktif dari civil society.
Hal ini berarti perlu mengembalikan hak-hak rakyat sebagai stakeholders di
dalam pengambilan keputusan sehingga menunjukkan keterkaitan antara demokrasi,
otonomi, dan partisipasi.
Pertama,
modal sosial dan trust. Dalam studi
kontemporer tentang demokrasi, faktor penunjang demokrasi adalah ada-tidaknya civic
culture dalam suatu masyarakat. Civic culture menjadi model demokrasi
berbasis masyarakat dan merupakan bagian integral dari civil society
selain civic knowledge dan civic value.
Elemen
dasar keterlibatan publik (civic engagement) menjadi akar tunjang civil
society yang menyuburkan demokrasi. Adanya kultur demokrasi yang bersemai
dalam masyarakat menjadi ukuran seberapa jauh keterlibatan publik tersebut
dihargai keberadaannya. Demokrasi tidak akan tumbuh dalam sebuah masyarakat
yang tidak memiliki kultur demokrasi. Inglehart (1999) meyakinkan bahwa kultur
demokrasi erat kaitannya dengan sikap saling percaya (interpersonal trust)
antarwarganegara yang diyakini menjadi pendorong yang cukup kuat ke arah
demokrasi.
Memang
tidak mudah untuk membangun saling percaya di antara warga. Minimnya interpersonal
trust pada gilirannya nanti menyebabkan kurangnya kepercayaan pada
lembaga-lembaga publik. Misalnya, kurangnya rasa percaya warga terhadap lembaga
pengadilan, polisi, parlemen, dan lembaga-lembaga publik yang nota bene adalah
institusi demokrasi lainnya. Realitas sui-generis tersebut, tentu
menyulitkan pertumbuhan demokrasi karena demokrasi membutuhkan pupuk yang
bagus, yakni adanya modal sosial (social capital). Modal sosial biasanya
didefinisikan sebagai organisasi sosial itu sendiri atau jaringan sosial yang
dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Jaringan sosial ini berisi berbagai
interaksi sosial. Interaksi sosial yang menumbuhkan civil society harus
dimulai dengan sikap berkeadaban yang mensyaratkan sikap saling percaya, fairness,
toleran, dan kesukarelaan. Secara normatif setiap agama manapun selalu
mengajarkan sikap toleran dan saling percaya.[20]
Modal
sosial ditentukan oleh seberapa jauh dua jenis trust (sikap toleran dan
saling percaya) tersebut melembaga dalam kehidupan sosial. Memang social
capital hanya “penyumbang” bukan determinan faktor bagi demokrasi. Modal
sosial lebih khusus lagi menyumbang bagi “stabilnya”, bukan “munculnya”
demokrasi. Modal sosial terjadi melalui perubahan hubungan antarindividu yang
mempengaruhi perbuatan atau tindakan. Menurut Imam Prasodjo (2002), modal
sosial adalah akumulasi rasa saling percaya sebagaimana ditunjukkan oleh
keragaman dan kombinasi aksi sukarela yang pada akhirnya menghasilkan
pemerintahan yang efektif.
Kedua,
partisipasi sosial. Partisipasi sosial dan sikap percaya (trust) menjadi
parameter civic engagement dan merupakan satu sisi dari mata uang yang
tidak bisa dipisahkan dari keterlibatan politik (political engagement).
Jika political engagement menyangkut keterlibatan dan keterkaitan warga
negara secara psikologis dengan urusan-urusan politik dan pemerintahan, maka civic
engagement menyangkut keterlibatan warga negara di dalam kegiatan sosial
secara sukarela dan trust antarsesama warga negara.
Studi
tentang civil society kaitannya dengan demokrasi pada dasarnya membicarakan serangkaian
partisipasi politik dalam hubungan sosial yang dilakukan secara sukarela.
Dengan demikian, demokrasi mengandaikan mekanisme keterlibatan aktif
masyarakat. Dalam pemerintahan demokratis, partisipasi masyarakat dijamin
eksistensinya. Partisipasi politik, secara umum diartikan sebagai aksi sukarela
(voluntarily) untuk mengubah keadaan atau kebijakan publik (Barnes, Kaas,
1978). Partisipasi politik terbagi menjadi dua, yaitu: partisipasi politik itu
sendiri dan partisipasi sosial.
Partisipasi
sosial didefinisikan sebagai keterlibatan warga negara dalam kehidupan sosial
atau civic community. Dengan kata lain, keterlibatan warga atau civic
engagement dalam kelompok sosial menjadi ruhnya partisipasi sosial.
Kelompok sosial itu sendiri, ditandai oleh dua aktivitas. Pertama,
intensitas partisipasi dalam memecahkan masalah sosial antarwarga negara.
Artinya, sesama warga negara memiliki kepedulian dan tindakan konkret
menyelesaikan problem-problem sosial kemasyarakatan di sekitar mereka dengan
melakukan aksi atau kegiatan kolektif (collective action). Hal ini dimungkinkan
bila masing-masing warga mau membuka diri untuk terlibat dalam berkomunikasi
dan bergaul dengan warga lainnya. Semakin intensif pergaulan antarwarga
terjadi, maka peluang terjadinya kegiatan kolektif secara positif dapat terbuka
lebih lebar. Keterlibatan warga negara dalam komunitas-komunitas kemasyarakatan
atau kelompok sosial jelas mempertebal jaringan sosial antarwarga. Pada
gilirannya nanti, jaringan sosial tersebut membuka kemungkinan besar bagi
pemecahan-pemecahan masalah publik. Sebaliknya, bila jaringan sosial menipis,
yang ditandai sikap selfish yang menguat dan enggan melibatkan diri dalam
komunitas, bisa ditebak akan melahirkan fenomena “bermain bola boling sendirian
(bowling alone)”. Kedua, kelompok sosial ditentukan oleh
intensitas dalam membentuk organisasi sosial. Aktivitas sosial yang kedua ini
jelas membutuhkan skill atau keterampilan, adanya aspek kepemimpinan
(leadership), memiliki pengetahuan dasar tentang keorganisasian dan tahu
bagaimana menjalankannya, mempunyai syarat-syarat atau elemen pokok organisasi
dan lain-lain. Seberapa jauh suatu intensitas warga membentuk kelompok atau
organisasi sosial biasanya ditentukan oleh seberapa kuat jaringan sosial
terbentuk dan seberapa besar keterlibatan dalam komunitas untuk membicarakan
masalah-masalah publik terjalin di antara sesama warga.
Intensitas
partisipasi warga dalam memecahkan masalah-masalah sosial di sekitarnya relatif
tidak membutuhkan keahlian dan pengelolaan serta intensitas yang besar
ketimbang jenis kegiatan kelompok sosial yang pertama. Semakin sering warga
bertemu (berinteraksi) dan membicarakan masalah sosial, maka peluang pemecahan
masalah sosial tersebut semakin besar. Oleh karena itu, tidak heran bila
aktivitas sosial yang pertama lebih banyak frekuensinya ketimbang jenis
aktivitas sosial yang kedua. Partisipasi warga dalam menyelesaikan masalah
sosial juga lebih banyak ketimbang warga yang punya prakarsa membentuk
organisasi sosial. Biasanya jenis keanggotaan kelompok sosial dibagi menjadi
tiga, yakni anggota aktif, anggota tidak aktif, dan bukan anggota.
Selain
berkemampuan masyarakat dalam memecahkan masalah-masalah sosial, terbentuknya
asosiasi-asosiasi berdasarkan kesadaran masyarakat untuk berkumpul dan berorganisasi
juga menjadi salah satu indikator kesehatan masyarakat ditinjau dari kemampuan
masyarakat untuk mau mengatur dirinya secara kolektif.
Ketiga
Partisipasi Politik. Demokrasi mensyaratkan adanya partisipasi aktif dari
masyarakat biasa untuk menyampaikan aspirasi atau kepentingan, dan ikut
memutuskan kebijakan publik yang harus diambil pemerintah. Partisipasi
menentukan siapa yang harus menjadi pejabat publik, keputusan-keputusan apa
yang harus diambil dan dilaksanakan oleh pemerintah tersebut, dan bagaimana
pelaksanaan amanat dari rakyat tersebut dikontrol hingga penyimpangannya dapat
ditekan, kalau bukan sama sekali dihilangkan.
Partisipasi
politik didefinisikan sebagai tindakan –bukan keyakinan atau sikap- warga
negara biasa, bukan elite politik, untuk mempengaruhi keputusan-keputusan yang
berkaitan dengan kepentingan publik, bukan suatu kelompok masyarakat keagamaan
tertentu misalnya, dan secara sukarela, bukan dipaksa (Laporan Penelitian Islam
dan Good Governance, 2002). Partisipasi politik bukanlah sejenis kepercayaan
atau keimanan, tapi juga bukan sikap seseorang terhadap sesuatu. Partisipasi
politik membutuhkan tindakan individu. Ia telah mendarat pada level
psikomotorik yang diwujudkan dengan perbuatan, bukan lagi pada level kognitif
dan afektif.
Karena
begitu luasnya cakupan tindakan warga negara biasa dalam menyuarakan
aspirasinya, maka tidak heran bila bentuk-bentuk partisipasi politik ini sangat
beragam. Partisipasi politik paling tidak mencakup beberapa dimensi: ikut dalam
pemilihan umum (voting), kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan kampanye dan
partai politik (kegiatan kampanye), kegiatan-kegiatan sosial di tingkat
kemasyarakatan (kegiatan sosial), dan kegiatan-kegiatan yang terkait dengan
protes dan demonstrasi (protes).
Pemilihan
umum berarti menyalurkan suaranya dalam bilik-bilik suara dengan asumsi telah
memenuhi beberapa tahapan untuk dapat mencoblos. Partisipasi dalam kampanye
misalnya, menghadiri kampanye model monologis atau dialogis, menyebarluaskan
atribut partai kepada orang lain, ikut dalam pawai yang diselenggarakan partai
politik yang sedang berkampanye, menonton atau mendengarkan program kampanye
partai di televisi atau radio dan lain-lain.
Partisipasi
politik sangat terkait erat dengan seberapa jauh demokrasi diterapkan dalam
pemerintahan. Negara yang telah stabil demokrasinya, maka biasanya tingkat
partisipasi politik warganya sangat stabil, tidak fluktuatif. Negara yang
otoriter kerap memakai kekerasan untuk memberangus setiap prakarsa dan
partisipasi warganya. Karenanya, alih-alih bentuk dan kuantitas partisipasi
meningkat, yang terjadi warga tidak punya keleluasaan untuk otonom dari jari
jemari kekuasaan dan tidak ada partisipasi sama sekali dalam pemerintahan yang
otoriter. Negara yang sedang meniti proses transisi dari otoritarianisme menuju
demokrasi galib disibukkan dengan jenis dan bentuk partisipasi yang sangat
banyak, mulai dari yang bersifat “konstitusional” hingga yang bersifat merusak
sarana umum.
Proporsi
terbesar masyarakat dalam berpartisipasi secara politik adalah melalui pemilu.
Di luar pemilu, yang paling besar proporsinya adalah partisipasi sosial,
kemudian diikuti oleh partisipasi yang terkait dengan partai politik dan
kampanye (mengahadiri kampanye partai atau pawai partai, memakai tanda gambar
partai, menyebarkan selebaran partai, dan membantu partai), dan yang paling
rendah proporsinya adalah partisipasi dalam bentuk protes (demontrasi, mogok,
memboikot, dan protes dengan merusak sarana umum) yang dilakukan untuk
mendukung atau menolak keputusan yang berkaitan dengan kepentingan publik. Di
belahan dunia manapun, protes merupakan bentuk partisipasi yang relatif jarang
dilakukan oleh warga negara.
Dilihat
dari kuantitasnya, di luar pemilu, hanya sekitar 17% yang tidak pernah
berpartisipasi dalam kegiatan politik. Yang menyatakan pernah melakukan minimal
satu bentuk partisipasi politik di luar pemilu sekitar 16%, dua bentuk
partisipasi 19%, dan sekitar tiga bentuk atau lebih partisipasi 48%. Proporsi
kuantitas partisipasi ini tidak banyak berbeda dengan di negara-negara
demokrasi lain di dunia. Keikutsertaan dan ketidakikutsertaan dalam pemilu
menunjukkan sejauh mana tingkat partisipasi konvensional warga negara.
Seseorang yang ikut mencoblos dalam pemilu, secara sederhana, menunjukkan
komitmen partisipasi warga. Tapi orang yang tidak menggunakan hak memilihnya
dalam pemilu bukan berarti ia tidak punya kepedulian terhadap masalah-masalah
publik. Bisa jadi ia ingin mengatakan penolakan atau ketidakpuasannya terhadap
kinerja elite politik di pemerintahan maupun partai dengan cara golput.[21]
Mekanisme
pemilu biasanya telah disepakati melalui institusi demokrasi seperti perwakilan
rakyat di parlemen dan dieksekusi oleh lembaga yang ditunjuk pemerintah. Waktu
pemilu telah ditentukan secara reguler –apakah empat, lima, atau tujuh tahunan-
yang biasanya termaktub dalam konstitusi negara, meskipun tanggal
pelaksanaannya secara pasti biasanya dimasukkan dalam tahapan-tahapan pemilu
yang telah disepakati bersama dan telah ditentukan prosedur dan teknis
operasionalnya.
Demikian
pula dengan prosedur dan waktu kampanye dimasukkan dalam tahapan-tahapan
pemilu. Seorang warga yang mengikuti kampanye partai lebih bermakna atau
berarti ketimbang yang ikut pemilu saja. Apalagi jika partisipasi dalam pemilu
bersifat ritual dan dimaknai sebagai kewajiban warga negara, bukan hak sebagai citizenship.
Hal ini sudah mengasumsikan bahwa mobilisasi warga untuk berpartisipasi dalam
pemilu diekslusikan karena mobilisasi pada dasarnya bukanlah partisipasi.
Mobilisasi selalu mengandung unsur keterpaksaan, bukan atas dasar kesukarelaan.
Oleh
karena itu, seseorang yang ikut kampanye membuktikan tingkat kepedulian yang
lebih baik ketimbang mencoblos pemilu karena partisipasi politik juga
ditentukan oleh seberapa besar tingkat partisanship warga. Turut serta
dalam kampanye partai politik menunjukkan keingintahuan (curiosity) seseorang
terhadap program partai sebelum ia menjatuhkan pilihan suaranya dalam
perhelatan pemilu.
Lain
halnya jika orang ikut kampanye karena dimobilisasi oleh partai atau ditawari mendapatkan
keuntungan ekonomis. Lepas daripada itu, kampanye tetap menjadi indikasi
seberapa jauh sikap partisan warga terhadap partai. Namun demikian, orang yang
ikut kampanye tidak berkorelasi secara positif dengan pilihannya waktu pemilu.
Kampanye suatu partai mungkin diikuti secara meriah, tapi waktu pemilu partai
politik bersangkutan hanya mendapat sedikit suara. Hal ini menunjukkan kampanye
hanya dilihat sebagai bagian mencari kesesuaian program partai tersebut dengan
pilihan konstituennya.
G.
PENUTUP
KESIMPULAN
1.
Konsep civil
society lahir di Eropa pada abad ke-18 dengan tokohnya John Locke atau
Montesquieu. Lahirnya konsep ini berbarengan dengan lahirnya konsep negara
modern, yaitu bertujuan untuk menghindari pemerintahan yang absolut. Dengan
kata lain mereka ingin mewujudkan masyarakat yang demokratis. Untuk mewujudkan
negara demokratis tidak dapat dilakukan sendiri oleh masyarkat sipil/
masyarakat madani, tetapi harus ada keinginan politik juga dari pemerintah
karena banyak karakteristik dari demokrasi yang memang menjadi kewajiban negara
modern. Kalau kita menerjemahkan civil
society dengan referensi model pemerintahan Nabi Muhammad SAW periode
Madinah maka kita tahu bahwa Nabi bertindak juga sebagai kepala negara. Hal ini
menunjukkan tidak perlu mempertentangkan antara negara dengan masyarakat
madani. Contohnya Gus Dur yang menjadi pelopor strategi Islam budaya, waktu
periodenya menjabatan sebagai presiden telah menciptakan pemerintahan yang
demokratis dan hasilnya masyarakat madani juga berkembang pesat di Indonesia.
2.
Pemerintahan
demokratis selalu dicirikan oleh karakteristik antara lain sebagai berikut:
setiap kebijakan diputuskan dengan melibatkan keikutsertaan anggota atau
masyarakat dalam pemerintahan (participation), tanggap terhadap aspirasi
yang berkembang di bawah (responsiveness), bertumpu pada aspek
penegakkan hukum (law enforcement) dan aturan hukum (rule of law),
terbuka terhadap keanekaragaman anggotanya (inclusiveness), bertumpu
pada konsensus, dapat dipertanggungjawabkan kepada anggotanya (accountability),
efisien, efektif, stabil, bersih (check and balance) dan adanya proses
yang transparan. Dengan demikian, pemerintahan demokratis tergantung pada
seberapa besar keterlibatan politik (civic engagement) warganya. Ada
proses pelibatan masyarakat dalam mengawasi kinerja pemerintahan. Kekuatan
politik menyebar dalam masyarakat dan politik nasional merupakan hasil
pertarungan di masyarakat.
SARAN
1.
Masyarakat sipil
(sicil society/ masyarakat madani) yang telah terwujud di Indonesia seharusnya
tetap dijaga keberlangsungannya sehingga cita cita mewujudkan masyarakat
beradab, beretika, saling hormat menghormati dalam keberagaman suku, ras, agama
dan lainnya mampu menjadikan NKRI lebih kuat dan disegani sebagai Negara
bangsa.
2.
Pemerintah dan
semua elemen masyarakat sipil/ sivil society/ masyarakat madani, harus selalu
menjaga dan melanjutkan gerakan demokratisasi yang telah berjalan baik di
Indonesia supaya kedepan semakin baik untuk mewujudkan keadilan social dan
keadilan ekonomi bagi seluruh warga masyarakat di semua penjuru NKRI.
DAFTAR
PUSTAKA
Andrew
Gamble, “An Introduction to Modern Social
and Political Thought” Hongkong: Macmillan Education Ltd., 1988.
Faisal
Ismail, “NU, Gusdurism, dan Politik Kyai”.
Yogyakarta: Tiara Wacana. 1999
Gabriel A. Almond, G. Bingham Powell, Jr., K. Strom,
and R. J Dalton, Comparative Politics Today: A World View, Seventh Edition (New
York: Longman, Inc., 1999).
Ismail
SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam,
Demokratisasi dan Masyarakat Madani. Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000,
hlm.115
Iwan
Gardono, “Wacana Civil Society di Indonesia”, dalam Jurnal Masyarakat Sipil,
Nomor 9, Tahun 2001.
Kamus Bahasa Arab Al Munawwir”
Jakarta, 2000.
Komaruddin
Hidayat dan Ahmad Gaus AF. “Pasing Over:
Melintas Batas Agama”, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998.Hal. XIV.
Laza Kekic, “The
World In 2007: The Economist Intelligence Units’ Index of Democracy”, electronic
copy, 2007.
Mansour Fakih, Masyarakat
Sipil untuk Transformasi Sosial: Pergolakan Ideologi LSM Indonesia.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1996.
Miriam Budiardjo, Partisipasi Politik,
Jakarta: PT. Gramedia, 1998.
Muhammad
AS Hikam, “Demokrasi dan Civil Society” Jakarta: LP3ES. 1996.
Nurcholis
Madjid, “Masyarakat Madani dan Investasi Demokrasi: Tantangan dan Kemungkinan”,
dalam Ahmad Baso, Civil Society versus Masyarakat Madani: Arkeologi
Pemikiran “Civil Society” dalam Islam Indonesia. Bandung: Pustaka Hidayah.
1999.
Oetojo
Oesman dan Alfian (eds.). Pancasila
sebagai Ideologi. Jakarta: BP 7 Pusat. 1991, hlm.164
Rumadi.
1999. Civil Society dan NU Pasca-Gus Dur. Kompas
Online. 5 November 1999.
Tb
Ace Hasan Syadzily, dkk. “Civil Society dan Demokrasi” Jakarta: INCIS,
2003, hlm.132
[1]Ismail SM dan
Abdullah Mukti, Pendidikan Islam,
Demokratisasi dan Masyarakat Madani. Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000,
hlm.115
[2] Ibid.,
hlm.180-181
[3] Disarikan dari “kamus bahasa
arab al munawwir” Jakarta, 2000.
[4] Ibid., hlm. 115-127
[5] Plato, Republik
[6] Dahl, Robert, dikutip Samuel
Huntington,1997.
[7] Laza Kekic, “The World In 2007: The Economist
Intelligence Units’ Index of Democracy”, electronic copy, 2007. Hlm. 122
[8] Horowitz, Donald, 2006, hlm.
114.
[9] Laza Kekic, Op., Cit.,
[10] Gabriel A. Almond, G. Bingham
Powell, Jr., K. Strom, and R. J Dalton, Comparative Politics Today: A World
View, Seventh Edition (New York: Longman, Inc., 1999).hlm. 134
[11] Miriam Budiardjo, Partisipasi
Politik (Jakarta: PT. Gramedia, 1998), hlm. 91
[12] Rumadi. 1999.
Civil Society dan NU Pasca-Gus Dur. Kompas
Online. 5 November 1999.
[13] Faisal Ismail,
“NU, Gusdurism, dan Politik Kyai”.
Yogyakarta: Tiara Wacana. 1999, hlm. 17
[14]Andrew Gamble, “An Introduction to Modern Social and
Political Thought” Hongkong: Macmillan Education Ltd., 1988, hlm. 47-48
[15] Ibid., hlm. 54.
[16] Ibid., hlm.56
[17] Ismail SM dan Abdullah Mukti, Op.,Cit.,
hlm.90
[18] Komaruddin
Hidayat dan Ahmad Gaus AF. “Pasing Over:
Melintas Batas Agama”, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998.Hal. XIV.
[19] Oetojo Oesman
dan Alfian (eds.). Pancasila sebagai
Ideologi. Jakarta: BP 7 Pusat. 1991, hlm.164
[20] Tb Ace Hasan
Syadzily, dkk. “Civil Society dan Demokrasi” Jakarta: INCIS, 2003, hlm.132
[21] Ibid.,
Comments
Post a Comment