MASYARAKAT SIPIL DAN DEMOKRATISASI DI INDONESIA



ANALISIS GERAKAN MASYARAKAT SIPIL (CIVIL SOCIETY/ MASYARAKAT MADANI) PADA DEMOKRATISASI DI INDONESIA
OLEH
NUR MOKLIS

A.    PENDAHULUAN
Masyarakat sipil sebagai terjemahan dari civil society/ masyarakat madani diperkenalkan pertama kali oleh Anwar Ibrahim (ketika itu Menteri Keuangan dan Timbalan Perdana Menteri Malaysia) dalam ceramah pada Simposium Nasional dalam rangka Forum Ilmiah pada Festival Istiqlal, 26 September 1995.[1] Istilah itu diterjemahkan dari bahasa Arab “mujtama’ madani”, yang diperkenalkan oleh Prof. Naquib Attas, seorang ahli sejarah dan peradaban Islam dari Malaysia, pendiri ISTAC.[2] Kata “madani” berarti civil atau civilized (beradab). Madani berarti juga peradaban, sebagaimana kata Arab lainnya seperti hadlari, tsaqafi atau tamaddun. Konsep “madani” bagi orang Arab memang mengacu pada hal-hal yang ideal dalam kehidupan.[3]
Konsep masyarakat madani itu lahir sebagai hasil dari Festival Islam yang dinamai Festival Istiqlal, suatu festival yang selenggarakan oleh ICMI (Ikatan Cendekiawan Islam Muslim Indonesia). ICMI adalah suatu wadah organisasi Islam yang didirikan pada Desember 1991 dengan restu dari Presiden Soeharto dan diketuai oleh BJ Habibie, tangan kanan Soeharto yang menduduki jabatan Menteri Riset dan Teknologi. Berdirinya ICMI tidak lepas dari peranan Habibie yang berhasil menyakinkan Presiden Soeharto untuk mengakomodasi kepentingan golongan menengah Muslim yang sedang berkembang pesat dan memerlukan sarana untuk menyalurkan aspirasinya. Gayung bersambut karena Soeharto sedang mencari partner dari golongan Muslim agar mendukung keinginannya menjadi presiden pada tahun 1998. Hal ini dilakukan Soeharto untuk mengurangi tekanan pengaruh dari mereka yang sangat kritis terhadap kebijakannya, terutama dari kalangan nasionalis yang mendirikan berbagai LSM dan kelompok Islam yang menempuh jalur sosio-kultural seperti Gus Dur, Emha, dan Mustafa Bisri.
Mereka mengembangkan gerakan prodemokrasi dengan memperkenalkan konsep civil society atau masyarakat sipil. Konsep ini ditawarkan sebagai kaunter terhadap hegemoni negara yang begitu massif melalui aparat militer, birokrasi, dan para teknokratnya. Konsep Civil society lebih dimaksudkan untuk mengkaunter dominasi ABRI sebagai penyangga utama eksistensi Orde Baru. ABRI tidak hanya memerankan sebagai unsur pertahanan dan keamanan saja tetapi juga mencampuri urusan sipil. Untuk keperluan itu ABRI menjustifikasi tindakannya pada doktrin dwi fungsi ABRI, dimana ABRI ikut memerankan tugas-tugas sipil baik dalam lembaga eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Keterlibatannya dalam politik sangat menentukan. Akibatnya check and balance dalam sistem pemerintahan tidak berjalan dan Orde Baru menjelma menjadi regim yang bersifat bureaucratic authoritarian.
Konsep masyarakat madani berkembang belakangan sebagai padanan dari masyarakat sipil. Istilah masyarakat madani yang diperkenalkan kalangan Islam politik menjadi lebih populer karena didukung oleh Soeharto yang ingin melakukan perubahan politik secara hati-hati dengan mengurangi keterlibatan ABRI dalam jabatan sipil atas desakan negara-negara donor dengan berakhirnya perang dingin pada tahun 1989. Bagi regim Orde Baru, istilah masyarakat madani lebih netral karena tidak seperti halnya konsep civil society yang ingin mendesak ABRI sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan sebagaimana yang terjadi di USA.
Era Reformasi yang melindas rezim Soeharto (1966-1998) dan menampilkan Wakil Presiden Habibie, yang juga ketua umum ICMI, sebagai presiden dalam masa transisi, telah mempopulerkan konsep Masyarakat madani karena Presiden beserta kabinetnya selalu melontarkan diskursus tentang konsep itu pada berbagai kesempatan. Bahkan Habibie mengeluarkan suatu Keppres No 198 Tahun 1998 tanggal 27 Februari 1999 untuk membentuk suatu komite dengan tugas untuk merumuskan dan mensosialisasikan konsep masyarakat madani itu. Konsep masyarakat madani dikembangkan untuk menggantikan paradigma lama yang menekankan pada stabilitas dan keamanan yang terbukti sudah tidak cocok lagi.
   Munculnya konsep masyarakat madani menunjukkan intelektual muslim Melayu mampu menginterpretasikan ajaran Islam dalam kehidupan modern, persisnya mengawinkan ajaran Islam dengan konsep civil society yang lahir di Barat pada abad ke-18. Konsep masyarakat madani tidak langsung terbentuk dalam format seperti yang dikenal sekarang ini. Konsep masyarakat madani memiliki rentang waktu pembentukan yang sangat panjang sebagai hasil dari akumulasi pemikiran yang akhirnya membentuk profile konsep normatif seperti yang dikenal sekarang ini Bahkan konsep ini pun masih akan berkembang terus sebagai akibat dari proses pengaktualisasian yang dinamis dari konsep tersebut di lapangan. Like all other vocabularies with a political edge, their meaning is neither self-evident nor unprejudiced.
   Perumusan dan pengembangan konsep masyarakat madani menggunakan projecting back theory, yang berangkat dari sebuah hadits yang mengatakan “Khayr al-Qurun qarni thumma al-ladhi yalunahu thumma al-ladhi yalunahu”, yaitu dalam menetapkan ukuran baik atau buruknya perilaku harus dengan merujuk pada kejadian yang terdapat dalam khazanah sejarah masa awal Islam.[4] Kemudian para cendekiawan muslim mengislamkan konsep civil society yang lahir di Barat dengan masyarakat madani, suatu masyarakat kota Madinah bentukan Nabi Muhammad SAW. Mereka mengambil contoh dari data historis Islam yang secara kualitatif dapat dibandingkan dengan masyarakat ideal dalam konsep civil society.
Mereka melakukan penyetaraan itu untuk menunjukkan di satu sisi, Islam mempunyai kemampuan untuk diinterpretasi ulang sesuai dengan perkembangan zaman, dan di sisi lain, masyarakat kota Madinah merupakan proto-type masyarakat idel produk Islam yang bisa dipersandingkan dengan masyarakat ideal dalam konsep civil society. Tentunya penggunaan konsep masyarakat madani dilakukan setelah teruji validitasnya  berdasarkan landasan normatif (nass) dari sumber primer Islam (al-Qur’an dan Hadits) atau dengan praktek generasi awal Islam (the Islamic era par exellence).

B.     RUMUSAN MASALAH
Pada makalah ini penulis akan mengkaji dua hal yang sangat mendasar dalam gerakan masyarakat sipil dan demokrasi di Indonesia. Dua pertanyaan mendasar ini menjadi acuan dalam penulisan makalah ini, yaitu:
1.      Bagaimana mewujudkan masyarakat sipil (sipil society/ masyarakat madani) di Indonesia?
2.      Bagaimana mewujudkan demokrasi di Indonesia melalui gerakan masyarakat sipil (sipil society/ masyarakat madani)?

C.     MASYARAKAT SIPIL (CIVIL SOCIETY/ MASYARAKAT MADANI)
Istilah masyarakat sipil sering kali dipersepsikan kurang tepat. Pengertian masyarakat sipil terkadang dipertentangkan dengan komunitas militer. Di zaman Orde Baru pandangan seperti itulah yang mendominasi. Masyarakat sipil selalu dikotomikan dengan kelompok militer. Pendikotomian itu telah mereduksi makna sesungguhnya dari istilah Civil Society/ masyarakat madani yang menjadi padanan kata masyarakat sipil.
Term masyarakat sipil sebenarnya hanya salah satu di antara beberapa istilah lain dalam mengindonesiakan kata Civil Society. Di samping masyarakat sipil, padanan kata lainnya yang sering digunakan adalah masyarakat beradab atau masyarakat berbudaya, masyarakat kewargaan, dan masyarakat madani.
Maksud masyarakat berbudaya sebagai padanan kata Civil Society adalah sebagai lawan masyarakat liar. Masyarakat berbudaya merujuk pada masyarakat yang saling menghargai nilai-nilai sosial kemanusiaan (termasuk dalam kehidupan politik).
Sementara, istilah masyarakat madani merujuk pada Madinah, sebuah kota yang sebelumnya bernama Yastrib di wilayah Arab, di mana masyarakat Islam di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad di masa lalu pernah membangun peradaban tinggi.
Civil Society juga sering diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi masyarakat warga atau masyarakat kewargaan. Istilah mulai diperkenalkan oleh AIPI (Asosiasi Ilmu Politik Indonesia), Pemikiran Civil Society memang umumnya dikaitkan dengan pengelompokan masyarakat, tepatnya menunjuk pada kelompok-kelompok sosial yang salah satu cirri utamanya ialah sifat otonomi terhadap negara.
Masyarakat Sipil (Civil Society), banyak diterjemahkan dengan berbagai macam makna. Pada hakekatnya, versi terjemahan apapun yang dipakai, ternyata rujukan berpijaknya bertemu pada pemahaman konseptual yang sama. Pada dasarnya istilah manapun yang dipakai tidak menjadi soal sepanjang kita memiliki perspektif, sudut pandang dan pemahaman konseptual yang sama menurut makna istilah yang digunakan.
Civil Society sebagai wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan, anatara lain; kesukarelaan (voluntary), kesewasembadaan (self generating), dan keswadayaan (self supporting), kemandirian tinggi berhadapan dengan negara, dan keterikatan dengan norma­norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya.
Istilah masyarakat sipil sebagai padanan Civil Society  dari aspek terjemahan Nampak lebih tepat. Sederhana saja, kata Civil Society bila diterjemahkan langsung ke dalam bahasa Indonesia artinya adalah masyarakat sipil. Masyarakat sipil lebih ditekankan pada konsep sesungguhnya dari Civil Society yang pada dasarnya terkait dengan ide demokrasi.
Dalam alam demokrasi, keberadaan Civil Society dianggap sebagai syarat pembangunan demokrasi. Menurut Franz Magnis Suseno, Civil Society bila didefinisikan secara luas, ia disamakan dengan masyarakat yang mandiri yang identik dengan demokrasi.
Sebagai sebuah ruang politik, Civil Society adalah suatu wilayah yang menjamin berlangsungnya perilaku, tindakan dan refleksi mandiri, tidak terkungkung oleh kondisi kehidupan material, dan tidak terserap di dalam jaring-jaring kelembagaan politik resmi. Tersirat pentingnya suatu ruang publik yang bebas, tempat di mana transaksi komunikasi yang bisa dilakukan oleh warga negara.
Robert W Hefner mengilustrasikan bahwa konsep masyarakat sipil berarti sesuatu yang membedakan secara luas dalam tradisi teiritis yang berbeda. Dalam pemikirannya, gagasan ini mengacu pada klub, organisasi-organisasi agama, kelompok­kelompok bisnis, serikat-serikat buruh, kelompok-kelompok HAM, dan asosiasi-asosiasi lainnya yang berada diantara rumah tangga dan negara yang diatur secara suka rela dan saling menguntungkan. Idenya adalah agar institusi-institusi formal bisa bekerja, warga negara pertama, harus belajar berpartisipasi dalam asosiasi-asosiasi sukarela local. Hal ini bisa melalui jaringan perjanjian masyarakat sipil.

D.  KONSEP DEMOKRASI DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA
Asal kata demokrasi dari bahasa latin, Yunani, bermakna sistem pemerintahan agresif dan tidak stabil cenderung mengarah pada tirani.[5]  Sehingga para filsuf seperti Plato sekalipun tidak terlalu antusias mendukung ide demokrasi yang diambil dari akar kata, demos (rakyat) dan kratein (memerintah), karena sangat tidak mungkin menciptakan pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat tanpa menimbulkan konflik.  Pemerintahan mengacu pada kehendak rakyat dikatakan sebagai bentuk demokrasi tradisional atau klasik.
Dalam Capitalism, Socialism, and Democracy, Schumpeter mengatakan kekurangan teori demokrasi klasik tersebut yang selalu menghubungkan antara kehendak rakyat (the will of the people) dan sumber serta bertujuan demi kebaikan bersama (the common good).  Schumpeter kemudian mengusulkan “teori lain mengenai demokrasi” atau “metode demokrasi” memaknai demokrasi dari sudut prosedur kelembagaan untuk mencapai keputusan politik yand di dalamnya setiap individu memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan melalui perjuangan kompetititf dalam rangka memperoleh dukungan berupa suara rakyat.  Demokrasi pada taraf metode tidak melibatkan unsur emosi lagi, akan tetapi lebih menekankan pada akal sehat.[6]
Konsep demokrasi telah mengalami perkembangan sejak definisi empirik Schumpeter dikemukakan, perdebatan akademis seputar demokrasi melahirkan definisi konsep paling beragam dalam ranah akademis.  Berbagai studi mengenai demokrasi dalam ilmu politik dan sosiologi cenderung untuk menilainya dari sudut pandang berbeda-beda.  Demokrasi tidak memiliki tolak ukuran pasti dalam pengukurannya karena membutuhkan konsensus baik dalam lingkup publik maupun akademik sekalipun. Sebagai contoh, pemerintahan Amerika Serikat yang memiliki agenda utama dalam mempromosikan demokrasi dalam kebijakan luar negerinyapun ternyata belum memiliki kesepakatan tentang makna demokrasi.[7] Karena itulah demokrasi masih menimbulkan perdebatan terutama dalam penerapannya di negara-negara berkembang.
Menurut Donald Horowitz (2006), “the world’s only superpower is rhetorically and militarily promoting a political system that remains undefined-and it is staking its credibility and treasure on the pursuit,” (negara superpower satu-satunya di dunia secara retorik dan militeristik mempromosikan sistem politik yang tetap tidak terdefinisikan sampai saat ini-dan hal tersebut mempertaruhkan kredibilitas dan sumber daya teramat berharga demi mencapai maksudnya)[8].  Sehingga, pengertian demokrasi di berbagai belahan dunia merujuk pada penegakkan demokrasi di Amerika Serikat mengalami distorsi makna.  Demokrasi dapat dipertukarkan dengan pengertian sangat sempit semisal voting atau pemilihan umum semata, padahal demokrasi sebagai suatu konsep memiliki pengertian lebih luas.  Karena pencitraan demokrasi di AS sedemikian absurd-nya sehingga dikatakan bahwa demokrasi merupakan instrumen penekan negara-negara Eropa Barat dan AS terhadap negara-negara lainnya di dunia, maka perlu didefinisikan kembali karakteristik dari demokrasi.
Demokrasi sering dipertukar-maknakan dengan kebebasan, sehingga dapat dipergunakan keduanya sekaligus.  Demokrasi bisa dilihat sebagai satu perangkat praktek dan prinsip yang sudah dilembagakan dan selanjutnya melindungi kebebasan itu sendiri.  Demokrasi semestinya melibatkan konsensus di dalamnya, namun secara minimal persyaratan demokrasi terdiri dari: pemerintahan yang dipilih dari suara mayoritas dan memerintah berdasarkan persetujuan masyarakat, keberadaan pemilihan umum yang bebas dan adil, proteksi terhadap kaum minoritas dan hak asasi dasar manusia, persamaan perlakuan di mata hukum, proses pengadilan dan pluralisme politik.[9]  Karakteristik dasar demokrasi seperti telah disebutkan di atas membukakan pandangan bahwa inti dari demokrasi adalah kebebasan rakyat dalam menentukan arah kebijakan pemerintah. Artinya demokrasi tidak hanya sekedar melibatkan kebebasan masyarakat dalam sistem politik, akan tetapi lebih dari itu sampai dengan tata cara melibatkan rakyat dalam demokrasi.
Beberapa pihak mengatakan bahwa demokrasi hanya memberikan dikotomi antara negara demokrasi dan bukan demokrasi, padahal ukuran demokrasi amatlah beragam seperti halnya ukuran dikemukakan oleh organisasi pemeringkat demokrasi berpusat di AS, Freedom House, dengan indeks rata-rata, skala berkisar antara 1 sampai 7, mulai dari: 1) Political freedom atau kebebasan politik (10 indikator), 2) Civil liberties atau kemerdekaan warga negara (15 indikator), seringkali dijadikan acuan dalam mengukur demokrasi.
Selain itu Freedom House memiliki konsep sempit mengenai electoral democracy, yaitu demokrasi dalam arti sangat minimal paling tidak memiliki karakteristik: 1) Sistem politik multi-partai kompetitif, 2) Hak pilih setara bagi orang dewasa, 3) Pemilihan umum dilaksanakan secara reguler, dijamin dengan pemberian suara secara rahasia, terjamin keamanannya, dan absennya kecurangan suara pada pemilu, 4) Akses publik terhadap partai politik besar sampai ke pemilihnya sangat terbuka melalui media dan melalui kampanye terbuka.
Sedangkan definisi political freedom lebih luas daripada electoral democracy, yaitu mengukur proses pemilihan umum dan pluralisme politik, sampai bagaimana memfungsikan pemerintah dan beberapa aspek dari partisipasi.  Political freedom akan memberikan warna pada tingkat kesuksesan demokrasi di berbagai tempat, sehingga tidak ada demokrasi di satu negarapun dapat disamakan dengan negara lain.
Perbedaan kedua ukuran dari lembaga tersebut menimbulkan konsep thin atau minimalist dan thick atau wider tentang demokrasi. Sehingga definisi demokrasi lebih luas harus memperhitungkan aspek kondisi masyarakat dan budaya politik dari masyarakat demokratis.  Definisi sempit tersebut lebih merupakan pengembangan dari konsep Robert Dahl (1970) tentang polyarchy, dengan 8 ciri: 1) hampir semua warga negara dewasa memiliki hak pilih, 2) hampir semua warga negara dewasa dapat menduduki kantor publik, 3) pemimpin politik dapat berkompetisi untuk memperebutkan suara, 4) pemilihan umum harus bebas dan fair, 5) semua penduduk memiliki kebebasan utuk membentuk dan bergabung dalam partai politik dan organisasi lainnya, 6) semua penduduk dapat memiliki kebebasan mengekspresikan pendapat politiknya, 7) informasi mengenai politik banyak tersedia dan dijamin ketersediannya oleh hukum, dan  8) kebijakan pemerintah bergantung pada suara dan pilihan-pihan lain.
Sehingga suatu negara sudah dapat dikatakan demokratis apabila memiliki karakteristik: 1) Pemerintahan sipil yang dipilih secara bebas, jujur, dan adil dalam pemilu, 2) Perwakilan yang representatif, 3) Publik yang bertangung jawab dan dijamin kebebasannya dalam peraturan perundangan. Menurut Gabriel Almond (1999), partisipasi politik diawali oleh adanya artikulasi kepentingan dimana seorang individu mampu mengontrol sumber daya politik seperti halnya seorang pemimpin partai politik atau seorang dictator militer.  Peran mereka sebagai aggregator politik (penggalang/penyatu dukungan) akan sangat menentukan bagi bentuk partisipasi politik selanjutnya. Bangsa besar memiliki bangunan organisasi yang telah terspesialisasi dalam menyalurkan bentuk agregasi politik berikut kebijakan terkait menghasilkan partai politik. Oleh karena itu partisipasi politik menurut Gabriel Almond (1999) terbagi ke dalam 3 kategori seperti ilustrasi berikut ini:
Ilustrasi 1: Partisipasi Politik Almond


 













Sumber: Almond (1999)[10]

Sedangkan Huntington dan Nelson mengatakan bahwa tidak ada bentuk partisipasi politik yang digambarkan sebagai “No Easy Choice,” membaginya menjadi 2 macam partisipasi: 1) Otonom (autonomous participation), 2) Mobilisasi (mobilized participation). Mereka mengatakan bahwa keterasingan seseorang dalam partisipasi politik yang disebabkan oleh rasa apatis (ketidakpedulian) dapat menyebabkan alienasi (keterasingan) politik.David F. Roth dan Frank L. Wilson (1980) menstrukturkan partisipasi politik ke dalam piramida partisipasi sebagaimana ilustrasi berikut:


Ilustrasi 2: Piramida Partisipasi Politik Roth dan Wilson


 








Sumber: Budiardjo (1998)[11]
Bentuk umum dari partisipasi politik adalah pemberian suara pada saat pemilihan umum (pemilu).  Bentuk partisipasi politik paling minim seperti ini dapat dijumpai pada sistem politik demokratik sampai paling otoritarian sekalipun. Adapun bentuk-bentuk partisipasi politik yang ada pada sistem politik terbagi menjadi level atau derajat pemberian partisipasi seperti tergambar pada tebel berikut:
Tabel 1. Bentuk dan Derajat Partisipasi Politik Almond
BENTUK
RUANG LINGKUP
DERAJAT
Voting (pemberian suara)
Luas, keputusan pemerintah
Sedang
Informal Group (kelompok informal)
Social Movement (pergerakan sosial)
Aktivitas kolektif, kebijakan umum
Tinggi
Direct Contact (kontak langsung)
Spesifik, urusan personal/pribadi
Rendah
Protest Activity (aktivitas protes)
Ekspresif, urusan spesifik
Tinggi
Sumber: Almond (1999)
Sebagai perbandingan bentuk dan derajat partisipasi politik di berbagai negara pada tahun 1990 – 1993: 1) Amerika Serikat – 49%, 2) Jerman Barat – 82%, 3) Inggris – 72%, 4) Perancis – 68%, 5) Uni Soviet – 64%. Alexis de Tocqueville, seorang ahli masalah demokrasi Amerika Serikat berkebangsaan Perancis, mengakui bahwa aktivitas ‘grass root’ (akar rumput/rakyat jelata) merupakan fondasi dari demokrasi, namun sekarang sudah berubah menjadi ‘middle class’ (masyarakat kelas menengah). Marti Seymour Lipset (1960) memberikan tingkatan sosial dan pemilu, menggambarkan bagaimana tingkat partisipasi politik suatu masyarakat dapat berbeda-beda, sebagai berikut dalam tabel 2:
Tabel 2. Karakteristik Tingkat Sosial dan Pemilu
KATEGORI
TINGGI
RENDAH
Pendapatan
Tinggi
Rendah
Pendidikan
Tinggi
Rendah
Pekerjaan
White Collar Works
Blue Collar Works
Ras
Putih
Hitam
Kelamin
Pria
Wanita
Umur
35-55 Dan 55-Ke Atas
<35
Situasi
Krisis
Normal
Status
Kawin
Belum Kawin
Organisasi
Anggota
Tidak Anggota
Sumber: Rafael Raga Maran (2007)
Sedangkan bila berbicara mengenai agregasi kepentingan, maka Almond menggambarkannya ke dalam bentuk paling kasat mata yaitu partai politik, mensyaratkan adanya sosialisasi politik dan rekrutmen politik.  Kemudian bentuk umum yang ada yaitu patron-client network dengan struktur dimana pemegang kekuasaan berada di kantor pusat, merupakan figure berwenang memberikan keuntungan pada pemilih sebagai imbalan kesetiaan mereka.  Negara-negara yang menganut sistem patron-client umumnya berada di kawasan Asia misalnya: Indonesia, Filipina, Thailand, Jepang, dan India.  Bentuk umum di negara Barat terdiri dari asosiasional dan institusional dengan sistem kepartaian yang kompetitif. 
Di Indonesia, partisipasi politik masyarakat masih terfokus pada penggunaan saluran penyaluran aspirasi politik melalui pemilihan umum.  Partai politik masih dipandang memberikan satu-satunya wadah penampungan aspirasi politik ketimbang sarana-sarana penyaluran lainnya.  Sungguhpun demikian, masyarakat Indonesia telah belajar banyak dari proses demokrasi yang diperkenalkan sejak tahun 1998, pasca runtuhnya Orde Baru.
Perkembangan iklim politik Indonesia setelah jatuhnya rejim Soeharti tidak menampakan perbaikan semakin mengkhawatirkan. Rakyat kembali turun ke jalan dengan berbagai macam bentuk ungkapan kekesalan.  Mulai dari unjuk rasa buruh, perusakan fasilitas publik akibat kekecewaan rakyat pada hasil pilkada semisal di Tuban, sampai protes terhadap kesewenang-wenangan pemerintah di daerah Banten dan Banyumas, kesemuanya berujung pada kerusuhan massa. Ironisnya, elit pemerintah rupanya terlanjur memiliki  kebiasaan tidak mendidik untuk menuding ketidakdewasaan rakyat berdemokrasi sebagai biang keladi kerusuhan, tanpa berani menunjuk siapa di balik semua itu.  Sungguh berbahaya apabila para elit dan pendidik bangsa menyikapi kerusuhan dengan melemparkan kesalahan pada segelintir pihak, berusaha bersikap arif di mulut lain di perbuatan, ataupun lebih parah lagi diam seribu bahasa.  Kenyataannya demonstrasi sebagai alat demokrasi sudah semakin liar, korbanpun telah berjatuhan, sarana publik telah rusak, demokrasi sudah kebablasan!  Sudah waktunya kita bertanya apakah benar kerusuhan timbul akibat kurang dewasanya rakyat dalam berdemokrasi ataukah semata-mata akibat kegagalan pendidikan politik, yang semestinya menjadi tanggung jawab pemerintah? Mungkin ada baiknya kita bersama menyimak sejarah perjalanan demokrasi bangsa dan negara Republik Indonesia dengan mempertimbangkan kembali kesepakatan bersama akan demokrasi yang kita tuju, tak terkecuali pemerintah dan segenap rakyat Indonesia. Anggaplah kesepakatan sudah terjadi, pertanyaan selanjutnya adalah apa kita siap menanggung segala efek samping dari penegakkan demokrasi tersebut? Uraian di bawah ini akan menyajikan pandangan akan “kebablasannya” demokrasi yang mungkin diakibatkan oleh faktor kegagalan kita dalam memahami demokrasi dan akibatnya.
Mendefinisikan Demokrasi di Indonesia. Menurut majalah terbitan Amerika Serikat, The Economist, edisi Desember 2004, umur penegakkan demokrasi di Indonesia tidaklah lebih dari enam tahun sejak jatuhnya rejim diktator Orde Baru digantikan oleh SBY-JK, sebagai pasangan presiden dan wakil presiden pilihan rakyat.  Sebagai anak bangsa, sewajarnyalah kita bersedih ketika demokrasi di Indonesia masih dianggap seperti “anak ingusan”.  Namun kenyataan harus kita terima, perjalanan demokrasi Indonesia masih panjang. Dengan demikian, rasanya sangatlah tidak adil jika kesalahan serta merta ditimpakan pada satu pihak, semisal rakyat bila terjadi mental breakdown dalam proses menuju demokrasi.  Toh, kita semua sedang dalam tahap belajar berdemokrasi.
Agaknya pemerintah perlu mawas diri karena mungkin penegakkan demokrasi di negara kita belum memperhatikan prasyarat bangunan demokrasi tradisional seperti halnya konsensus atau social contract ala John Locke, dari berbagai kepentingan dalam masyarakat. Tentunya  semua pihak perlu memahami bahwa demokrasi seperti ini tidak bisa mengakomodasi semua kepentingan, karena hanya kepentingan mayoritas tertentu yang terwakili.  Kalaupun semua pihak harus terpuaskan, apa jadinya bentuk demokrasi nantinya. Bisa-bisa demokrasi akan “mati” ketika semua pihak turun ke jalan dan memaksakan kehendaknya karena merasa benar.  Dapat dibayangkan, bila demokrasi terakhir ini yang kita anut, negara ini bisa babak belur karena tidak ada yang memimpin, semua merasa berhak memimpin atas nama demokrasi. Celakanya, gejala ini sedang melanda Indonesia.
Hendaknya tekanan dunia internasional untuk berdemokrasi dikesampingkan terlebih dahulu.  Demokrasi ala barat atau Western democracy yang mengedepankan besarnya antusiame rakyat mengikuti pemilihan umum, pemilihan kepala pemerintahan secara langsung, tumbuh suburnya partai-partai politik, mengagungkan kebebasan berpendapat, lembaga peradilan yang ajeg, penegakkan hak asasi manusia, dan pers yang bebas (bertanggung jawab), mendatangkan bias terhadap kualitas demokrasi itu sendiri.  Akibatnya kesuksesan penegakkan demokrasi di Indonesia tidak dibarengi dengan kesuksesan pemahaman akan arti demokrasi pada tingkat grass root.
Efek Samping Demokrasi. Proses penegakkan demokrasi di Indonesia ternyata membawa efek samping yang justru membahayakan kesatuan bangsa, mengapa hal itu bisa terjadi? Menurut Jack Snyder (2001), demokrasi yang dipaksakan pada suatu negara yang sebelumnya masih belum “hijau” berdemokrasi, menekankan keberadaan lembaga-lembaga seperti disebutkan di atas, akan berimbas negatif seperti timbulnya kekerasan politik. Ted Robert Gurr dalam Why Men Rebel (1961) menyebutkan bahwa kekerasan politik dapat disebabkan oleh ketidakpuasan rakyat akan saluran-saluran politik yang ada. Sejalan dengan pendapat Gurr, Huntington (1968) yang berargumen bahwa kesenjangan antara keinginan dan kenyataan pada proses modernisasi berdampak pada ketidakstabilan politik. Alhasil, demokrasi yang dipaksakan hanya akan mengembalikan pemerintahan yang tidak mau tahu apa yang diinginkan rakyatnya alias otoritarian.  Apabila pemerintah tetap memaksakan kehendaknya, bukan mustahil akan lebih banyak lagi korban berjatuhan di kalangan rakyat akibat timbulnya kekerasan politik sebagai efek samping penegakkan demokrasi.
Proses pendemokrasian rakyat semestinya ditunjang keberadaan saluran-saluran politik yang mampu mengakomodasi aspirasi mereka. Rakyat bukanlah aktor politik, elit penguasalah yang bertanggung jawab untuk menyediakan saluran-saluran politik yang legitimate sekaligus mendidik rakyatnya berdemokrasi. Bila tidak terpenuhi, wajar saja rakyat menuntut haknya. Dengan demikian lembaga-lembaga yang ada mungkin harus diredefinisikan kembali sejalan dengan aspirasi rakyat.
Bercermin ke belakang bukan berarti meruntuhkan bangunan lembaga-lembaga demokrasi yang ada, justru diperlukan kearifan untuk menghidupkan kembali lembaga-lembaga demokrasi tradisional seperti halnya konsensus dalam masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, ada baiknya semua pihak berusaha merendahkan hati dan membuang kebiasaan negatif menyalahkan orang lain demi memperbaiki kesalahan pada proses demokrasi yang kita anggap sebagai kesepakatan bersama.

E.   ANALISIS MEWUJUDKAN MASYARAKAT SIPIL (SIPIL SOCIETY/ MASYARAKAT MADANI) DI INDONESIA
Masyarakat sipil (sipil society/ masyarakat madani  di Indonesia, sangat kentara dengan latar belakang kehidupan politik pasca lengsernya pemerintahan orde baru. Masyarakat madani sukar tumbuh dan berkembang pada rezim Orde Baru yang didirikan dengan asumsi yang bertolak belakang dengan asumsi Orde Lama. Kedua regim didirikan secara timpang, dimana regim Orde Lama menjadikan politik sebagai panglima, sedangkan Orde Baru menjadikan ekonomi sebagai panglima. Arah kebijakan Orde Baru tersebut menitikberatkan pendekatan stabilitas untuk mendukung program pembangunan ekonomi. Pendekatan ini sejalan dengan pendekatan para teoritisi modern yang didukung IMF (International Monetary Fund) dan World Bank, suatu badan yang sangat besar peranannya bagi modernisasi Indonesia di bawah Presiden Soeharto. Mereka kurang mengakomodasi peranan tradisi sebagai wahana bagi rakyat untuk memberi makna terhadap pembangunan. Bagi mereka pembangunan dititikberatkan pada aspek materi dan percaya pada konsep trickle down bahwa pembangunan yang bersifat sentralistis itu akan memilik efek positif juga pada lapisan rakyat bawah.
 Sejak diangkat menjadi pejabat presiden pada tahun 1966, Soeharto berusaha memberi citra yang jelek pada politik yang cenderung bersifat ideologis. Orde Baru membentuk Golkar sebagai suatu golongan (bukan partai) yang tidak bersifat ideologis dan lebih mementingkan pada program. Kalau dilihat fungsinya maka Golkar merupakan partai politik karena ikut kompetisi dalam pemilu 1971 dan nantinya sebagai pendukung regim Orde Baru. Keberhasilan Golkar dalam pemilu 1971 tidak lepas dari peranan militer yang memiliki jalur komando teritorial dari pusat sampai ke tingkat kecamatan. Militer ini menjalin kerjasama dengan aparat birokrasi dan para teknokrat.
Kemenangan Golkar tidak lepas dari kebijakan Soeharto menunda pelaksanaan pemilu dari tahun 1967 sampai tahun 1971, dan selama waktu itu mesin politiknya melakukan kampanye terselubung. Suatu cara yang ditentang berbagai partai politik, terutama Partai NU yang menjadi saingannya. Golkar berhasil menguasai mayoritas kursi parlemen dan berhasil memaksakan berbagai kebijakan untuk mendukung regim Orde Baru dan sebaliknya berusaha membatasi pengaruh partai politik. Keluar Keputusan MPR tahun 1971 tentang massa mengambang yang membatasi kegiatan partai hanya sampai di aras kabupaten. Kemudian keluar kebijakan deideologisasi pada tah un 1973 yang menggabungkan partai-partai politik kedalam dua wadah fusi. Partai-partai Islam bergabung dalam PPP; sedangkan partai-partai lainnya bergabung ke dalam PDI. Akhirnya keluar UU No. 3 tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya, untuk menegasikan partai politik dan menekankan pada golongan fungsional yang dibentuk Golkar.
Regim Soeharto berusaha melakukan kooptasi terhadap partai politik dengan melakukan intervensi dalam pemilihan ketua sehingga citra parpol menjadi menurun di mata rakyat. Intervensi merupakan suatu yang sangat lumrah karena kedua partai politik PPP dan PDI mengalami kesulitan dalam melakukan konsolidasi berbagai unsur yang  membentuknya. Partai menjadi tidak berfungsi sebagai wadah penyaluran aspirasi rakyat dan rakyat menjadi apatis terhadap politik.
Meskipun pembangunanisme telah menghasilkan angka pertumbuhan ekeonomi sebesar rata-rata 7% hingga tahun 1992, bahkan mencapai 7,9% pada periode 1971-1980, namun angka kemiskinan masih relatif tinggi, angka pengangguran meningkat, dan yang tak kalah mengerikan adalah pengebiran demokrasi dan pelanggaran HAM terus meningkat. Memang secara makro ekonomi terkesan baik, namun secara mikro kurang diraskan manfaatnya bahkan merugikan rakyat. Hal ini disebabkan ideologi developmentalisme yang telah dielaborasi menjadi program-program pembangunan ini memiliki karakter menindas buruh dan rakyat untuk kepentingan kaum borjuis.
Nasib rakyat yang tertindas kurang mendapatkan perhatian secara memadai karena partai politik tidak dapat mengagresikan Media massa sulit melakukan kritik terhadap pemerintah Militer terlibat juga dalam kegiatan ekonomi dan melakukan kerjasama dengan para konglomerat sehingga mereka menjadi tidak peka terhadap nasih rakyat.
Hal yang tidak kalah penting adalah latar belakang kehidupan ormas (organisasi masyarakat). Hanya beberapa organisasi keagamaan yang memiliki basis sosial besar yang relatif memiliki kemandirian dan kekuatan dalam mempresentasikan diri sebagai unsur dari masyarakat madani, seperti Nahdlatul Ulama (NU) yang dimotori oleh KH Abdurrahman Wahid dan Muhammadiyah dengan motor Prof. Dr. Amien Rais. Pemerintah sulit untuk melakukan intervensi dalam pemilihan pimpinan organisasi keagamaan tersebut karena mereka memiliki otoritas dalam pemahaman ajaran Islam (Azizi, 1999). Pengaruh politik tokoh dan organisasi keagamaan ini bahkan lebih besar daripada partai-partai politik yang ada.
UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Sitompul, 1989: 168) mewajibakan semua ormas berasasakan Pancasila. Hal ini menunjukkan “otoritas penguasa” membatasi pengaruh ideologi-ideologi adanya sentralisasi kekuasaan melalui korporatisme dan birokratisasi di hampir seluruh aspek kehidupan, terutama terbentuknya organisasi-organisasi kemasyarakat dan profesi dalam wadah tunggal, seperti MUI, KNPI, PWI, SPSI, HKTI, dan sebagainya. Organisasi-organisasi tersebut tidak memiliki kemandirian dalam pemilihan pemimpin maupun penyusunan program-programnya, sehingga mereka tidak memiliki kekuatan kontrol terhadap jalannya roda pemerintahan.
Munculnya wacana civil society di Indonesia banyak disuarakan oleh kalangan “tradisionalis” (termasuk Nahdlatul Ulama), bukan oleh kalangan “modernis”.[12] Hal ini bisa dipahami karena pada masa tersebut, NU adalah komunitas yang tidak sepenuhnya terakomodasi dalam negara, bahkan dipinggirkan dalam peran kenegaraan. Di kalangan NU dikembangkan wacana civil society yang dipahami sebagai masyarakat non-negara dan selalu tampil berhadapan dengan negara. Kalangan muda NU begitu keranjingan dengan wacana civil society, lihat mereka mendirikan LKiS yang arti sebenarnya adalah Lembaga Kajian Kiri Islam, namun disamarkan keluar sebagai Lembaga Kajian Islam.
   Kebangkitan wacana civil society dalam NU diawali dengan momentum kembali ke khittah 1926 pada tahun 1984 yang mengantarkan Gus Dur sebagai Ketua Umum NU. Gus Dur memperkenalkan pendekatan budaya dalam berhubungan dengan negara sehingga ia dikenal sebagai kelompok Islam budaya, yang dibedakan dengan kelompok Islam Politik. Dari kandungan NU lahir prinsip dualitas Islam-negara, sebagai dasar NU menerima asas tunggal Pancasila. Alasan penerimaan NU terhadap Pancasila berkaitan dengan konsep masyarakat madani, yang menekankan paham pluralisme, yaitu: (1) aspek vertikal, yaitu sifat pluralitas umat (QS al-Hujurat 13) dan adanya satu universal kemanusiaan, sesuai dengan Perennial Philosophy (Filsafat Hari Akhir)  atau Religion of the Heart yang didasarkan pada prinsip kesatuan (tawhid); (2) aspek horisontal, yaitu kemaslahatan umat dalam memutuskan perkara baik politik maupun agama; dan (3) fakta historis bahwa KH A. Wahid Hasyim sebagai salah seorang perumus Pancasila, disamping adanya fatwa Mukhtamar NU 1935 di Palembang.[13]
Kemudian untuk menjawab hubungan Masyarakat sipil/ sipil society/ msyarakat madani dan Negara adalah dalam pengembangan konsep masyarakat madani para intelektual Muslim menjadikan Amerika Serikat sebagai model dari bentukan civil society. Di Amerika kekuasaan negara sangat terbatas dan tidak bisa mengintervensi hak-hak individu (biasa disebut dengan small stateness), namun sangat kuat dalam bidang pelaksanaan hokum.
Kalau kita melihat secara jeli masyarakat madani yang diciptakan Nabi berbentuk suatu negara, sehingga tidak sepenuhnya benar bila kita ingin mewujudkan masyarakat madani berati menjadikan kekuasaan eksekutif/pemerintah lemah seperti yang terjadi di Amerika. Kesan tersebut muncul karena konsep civil society lahir bersamaan dengan konsep negara modern, yang bertujuan: Pertama, untuk menghindari lahirnya negara absolut yang muncul sejak abad ke-16 di Eropa. Kedua, untuk mengontrol kekuasaan negara. Atas dasar itu, perumus civil society menyusun kerangka dasar sebagai berikut:
…the state as an association between the members of a society rather than as the personal domain of a monarch, and furthermore as an association that is unique among all the associations in civil society because of the role it plays. Thingking of the state as an association between all members of a society means ascribing to it supreme authority to make and enforce laws –the general rules that regulate social arrangements and social relationships. If the state is accorded such a role, and if it is to be a genuine association between all members of the community, it follows that its claim to supreme authority cannot be based upon the hereditary title of a royal line, but must originate in the way in which rulers are related to the ruled.[14]

Dari penjelasan di atas Gamble menyimpulkan bahwa teori negara modern mencakup dua tema sentral yaitu sovereignty; dan political economy, the the problem of the relationship of state power to civil society. Sedangkan konsep civil society lebih berkait dengan tema kedua itu, yaitu;
…how government should ralate to the private, individualist world of civil society organised around commodity production, individual exchange and money; what policies and puposes it should pursue and how the general interest should be defined. Two principal lines of thought emerged. In the first the state came to be regarded as necessarily subordinate to civil society; in the second it was seen as a sphere which included but also transcended civil society and countered its harmful effects. These different conceptions were later to form one of the major dividing lines in modern liberalism.[15]

Hegel dan Rousseau memandang negara modern lebih dari sekedar penjamin bagi berkembangknya civil society, karena negara modern didirikan atas dasar persamaan semua warga negara, maka negara tidak hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan akhir tertentu bersama, seperti penjamin aturan pasar agar setiap individu dapat mengejar keperluannya; melainkan merupakan puncak dari sistem sosial, dimana nilai tertinggi bukan pada individu melainkan pada kehidupan bersama.[16]
        Adam Seligman mengemukakan dua penggunaan istilah civil society dari sudut konsep sosiologi, yaitu dalam tingkatan kelembagaan (organisasi) sebagai tipe sosiologi politik dan membuat civil society sebagai suatu fenomena dalam dunia nilai dan kepercayaan. Dalam pengertian yang pertama, civil society dijadikan sebagai perwujudan suatu tipe keteraturan kelembagaan dan dijadikan jargon untuk memperkuat ide demokrasi yang mempunyai delapan karakteristik yaitu:

(1)      the freedom to form and join organizations, (2) freedom od expression, (3) the right to vote, (4) eligibility for public office, (5) the right of political leaders to compate for support and votes, (6) alteernative sources of information (what we would call a free press, (7) free and fair elections, and (8) institutions for making government policies depend on votes and other expressions of preference.[17]

Dari delapan karakteristik demokrasi yang merupakan tugas negara modern, maka kita tahu bahwa negara mempunyai tugas untuk mengembangkan masyarakat madani.
Penggunaan istilah yang kedua berkaitan dengan tinjauan filsafat yang menekankan pada nilai dan kepercayaan, sebagai pengaruh moralitas Kristen dalam peradaban modern. Moral diyakini sangat penting untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara, walaupun aspek moral itu tidak ditransendenkan kepada Tuhan, dengan alasan seperti yang diyakini Montesquieu dan Tocqueville “the people can be trusted to rule themselves” (Azizi, 2000: 90). Mereka mengabaikan peran Tuhan yang dipandang sudah tidak cocok lagi untuk dunia modern. Mereka yakin agama hanya berperan sebagai masa transisi antara dunia mitos dan dunia modern.
Era Reformasi yang melindas rezim Soeharto (1966-1998) dan menampilkan Wakil Presiden Habibie sebagai presiden dalam masa transisi, telah mempopulerkan konsep Masyarakat madanikarena Presiden beserta kabinetnya selalu melontarkan diskursus tentang konsep itu pada berbagai kesempatan. Bahkan Habibie mengeluarkan suatu Keppres No 198 Tahun 1998 tanggal 27 Februari 1999 untuk membentuk suatu dengan tugas untuk merumuskan dan mensosialisasikan konsep masyarakat madani itu. Konsep masyarakat madani dikembangkan untuk menggantikan paradigma lama yang menekankan pada stabilitas dan keamanan yang terbukti sudah tidak cocok lagi. Soeharto terpaksa harus turun tahta pada tanggal 21 Mei 1998 oleh tekanan dari gerakan Reformasi yang sudah muak dengan pemerintahan militer Soeharto yang otoriter. Gerakan Reformasi didukung oleh negara-negara Barat yang menggulirkan konsep civil society dengan tema pokok Hak Asasi Manusia (HAM).
Presiden Habibie mendapat dukungan dari ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), suatu bentuk pressure group dari kalangan Islam, dimana ia duduk sebagai Ketua Umumnya. Terbentuknya ICMI merupakan suatu keberhasilan umat Islam dalam mendekati kekuasaan karena sebelumnya pemerintah sangat phobi terhadap Islam politik. Hal itu terjadi karena ada perantara Habibie yang sangat dekat dengan Soeharto. Dengan demikian pengembangan konsep masyarakat madani merupakan salah satu cara dari kelompok ICMI untuk merebut pengaruh dalam Pemilu 1997. Kemudian konsep masyarakat madani mendapat dukungan luas dari para politisi, akademisi, agamawan, dan media massa karena mereka semua merasa berkepentingan untuk menyelamatkan gerakan Reformasi yang hendak menegakkan prinsip-prinsip demokrasi, supremasi hukum, dan HAM.
Pengamat politik dari UGM, Dr Mohtar Mas'oed (Republika, 3 Maret 1999) yakin bahwa pengembangan masyarakat madani memang bisa membantu menciptakan atau melestarikan demokrasi, namun bagi masyarakat yang belum berpengalaman dalam berdemokrasi, pengembangan masyarakat madani justru bisa menjadi hambatan terhadap demokrasi karena mereka menganggap demokrasi adalah distribusi kekuasaan politik dengan tujuan pemerataan pembagian kekuasaan, bukan pada aturan main. Untuk menghindari hal itu, diperlukan pengembangan lembaga-lembaga demokrasi, terutama pelembagaan politik, disamping birokrasi yang efektif, yang menjamin keberlanjutan proses pemerintahan yang terbuka dan partisipatoris.
Keteganggan di Indonesia tidak hanya dalam wacana politik saja, tetapi diperparah dengan gejala desintegrasi bangsa terutama kasus Timor Timur, Gerakan Aceh Merdeka, dan Gerakan Papua merdeka. Hal itu lebih didorong oleh dosa rezim Orde Baru yang telah mengabaikan ciri-ciri masyarakat madani seperti pelanggaran HAM, tidak tegaknya hukum, dan pemerintahan yang sentralistis/absolut. Sedangkan kerusuhan sosial yang sering membawa persoalan SARA menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat yang buta hukum dan politik (sebagai prasyarat masyarakat madani), disamping penegakkan hukum yang masih belum memuaskan.
Gus Dur memerankan diri sebagai penentang terhadap ortodoksi Islam atau dikatakannya main mutlak-mutlakan yang dapat membunuh keberagaman. Sebagai komitmennya dia berusaha membangun kebersamaan dalam kehidupan umat beragama, yang tidak hanya didasarkan pada toleransi model kerukunan (ko-eksistensi) dalam Trilogi Kerukunan Umat Beragama-nya mantan Menteri Agama H. Alamsyah Ratu Prawiranegara (1978-1983), tetapi didasarkan pada aspek saling mengerti.[18]. Oleh karena itu Gus Dur sangat mendukung dialong antar agama/antar imam, bahkan ia ikut memprakarsai berdirinya suatu lembagai yang bernama Interfidie, yaitu suatu lembaga yang dibentuk dengan tujuan untuk memupuk saling pengertian antar agama. Gus Dur, seperti kelompok Tradisionalis lainnya, tidak memandang orang berdasarkan agama tapi lebih pada pribadi, visi, kesederhanaan dan ketulusannya untuk pengabdian pada sesame.
Terpilihnya Gus Dur sebagai presiden sebenarnya menyiratkan sebuah problem tentang prospek Masyarakat madani di kalangan NU karena NU yang dulu menjadi komunitas non-negara dan selalu menjadi kekuatan penyeimbang, kini telah menjadi “negara” itu sendiri. Hal tersebut memerlukan identikasi tentang peran apa yang akan dilakukan dan bagaimana NU memposisikan diri dalam konstelasi politik nasional. Seperti yang telah dijelaskan pada bagian awal bahwa timbulnya civil society pada abad ke-18 dimaksudkan untuk mencegah lahirnya negara otoriter, maka NU harus memerankan fungsi komplemen terhadap tugas negara, yaitu membantu tugas negara ataupun melakukan sesuatu yang tidak didapat dilakukan oleh negara, misalnya pengembangan pesantren Rumadi, 1999: 3). Sementara Gus Dur harus mendukung terciptanya negara yang demokratis supaya memungkinkan berkembangnya masyarakat madani, dimana negara hanya berperan sebagai ‘polisi’ yang menjaga lalu lintas kehidupan beragama dengan rambu-rambu Pancasila.[19]

F.      ANALISIS MEWUJUDKAN DEMOKRASI DI INDONESIA MELALUI GERAKAN MASYARAKAT SIPIL (SIPIL SOCIETY/ MASYARAKAT MADANI)
Dalam hubungan masyarakat dengan negara, civil society memiliki tiga fungsi, yaitu: Pertama, sebagai komplementer di mana elemen-elemen civil society mempunyai aktivitas memajukan kesejahteraan untuk melengkapi peran negara sebagai pelayan publik (public services). Kedua, sebagai subtitutor. Artinya, kalangan civil society melakukan serangkaian aktivitas yang belum atau tidak dilakukan negara dalam kaitannya sebagai institusi yang melayani kepentingan masyarakat luas. Dan ketiga, sebagai kekuatan tandingan negara atau counterbalancing the state atau counterveiling forces. Kalangan civil society melakukan advokasi, pendampingan, ligitasi, bahkan praktik-praktik oposisi untuk mengimbangi kekuatan hegemonik negara atau paling tidak menjadi wacana alternatif di luar aparatur birokrasi negara.
Fungsi-fungsi di atas, mengandaikan perbedaan titik-tekan implementasi gagasan-gagasan civil society, antara ranah sosial budaya ataukah pada lingkup politik. Iwan Gardono (2001) berpendapat, bahwa civil society yang menekankan pada aspek sosial budaya dapat bersifat horisontal biasanya terkait erat dengan “civility” atau keberadaan dan “fraternity”. Indigenisasi konsep civil society dilakukan dalam rangka menarik relevansi dengan konteks keumatan. Sedangkan civil society dalam konotasi vertikal lebih merujuk pada dimensi politis, sehingga lebih dekat pada aspek citizen dan liberty. Perbedaan titik-tekan tersebut berimplikasi pada pemaknaan yang beragam, atau setidaknya istilah-istilah yang beragam untuk menyebutkan civil society.
Dengan mengkombinasikan secara horisontal dan vertikal, maka fungsi komplementer, subtitutor, dan countervailing forces menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan. Barangkali persoalannya terletak pada bagaimana kalangan civil society dalam pelbagai sektor dan area of concern dari aktivitas yang mereka lakukan dapat berbagi peran menuju terciptanya demokratisasi yang berbasis masyarakat.
Pemerintahan demokratis adalah sistem pemerintahan yang berdasarkan kedaulatan rakyat. Pemerintahan demokratis bergantung pada seberapa besar keterlibatan politik (civic engagement) warganya. Ada proses pelibatan masyarakat dalam mengawasi kinerja pemerintahan. Kekuatan politik menyebar dalam masyarakat dan politik nasional merupakan hasil pertarungan di masyarakat. Keterlibatan warga negara dalam asosiasi-asosiasi yang potensial menumbuhkan sikap terbuka, trust, toleransi dan sikap positif lainnya kemudian menjadi penting dalam bangunan politik nasional (Putnam, 1993). Dengan demikian, demokrasi tidak menjadi makanan kaum elite saja, tapi mengalami reeksaminasi oleh masyarakat secara transparan dan terus-menerus di ruang publik, tidak saja pada masa pemilu.
Dalam konteks penumbuhan elemen-elemen demokrasi, kita tidak bisa melepaskan diri dari komponen dasar demokrasi, yakni partisipasi aktif dari civil society. Hal ini berarti perlu mengembalikan hak-hak rakyat sebagai stakeholders di dalam pengambilan keputusan sehingga menunjukkan keterkaitan antara demokrasi, otonomi, dan partisipasi.
Pertama,  modal sosial dan trust. Dalam studi kontemporer tentang demokrasi, faktor penunjang demokrasi adalah ada-tidaknya civic culture dalam suatu masyarakat. Civic culture menjadi model demokrasi berbasis masyarakat dan merupakan bagian integral dari civil society selain civic knowledge dan civic value.
Elemen dasar keterlibatan publik (civic engagement) menjadi akar tunjang civil society yang menyuburkan demokrasi. Adanya kultur demokrasi yang bersemai dalam masyarakat menjadi ukuran seberapa jauh keterlibatan publik tersebut dihargai keberadaannya. Demokrasi tidak akan tumbuh dalam sebuah masyarakat yang tidak memiliki kultur demokrasi. Inglehart (1999) meyakinkan bahwa kultur demokrasi erat kaitannya dengan sikap saling percaya (interpersonal trust) antarwarganegara yang diyakini menjadi pendorong yang cukup kuat ke arah demokrasi.
Memang tidak mudah untuk membangun saling percaya di antara warga. Minimnya interpersonal trust pada gilirannya nanti menyebabkan kurangnya kepercayaan pada lembaga-lembaga publik. Misalnya, kurangnya rasa percaya warga terhadap lembaga pengadilan, polisi, parlemen, dan lembaga-lembaga publik yang nota bene adalah institusi demokrasi lainnya. Realitas sui-generis tersebut, tentu menyulitkan pertumbuhan demokrasi karena demokrasi membutuhkan pupuk yang bagus, yakni adanya modal sosial (social capital). Modal sosial biasanya didefinisikan sebagai organisasi sosial itu sendiri atau jaringan sosial yang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Jaringan sosial ini berisi berbagai interaksi sosial. Interaksi sosial yang menumbuhkan civil society harus dimulai dengan sikap berkeadaban yang mensyaratkan sikap saling percaya, fairness, toleran, dan kesukarelaan. Secara normatif setiap agama manapun selalu mengajarkan sikap toleran dan saling percaya.[20]
Modal sosial ditentukan oleh seberapa jauh dua jenis trust (sikap toleran dan saling percaya) tersebut melembaga dalam kehidupan sosial. Memang social capital hanya “penyumbang” bukan determinan faktor bagi demokrasi. Modal sosial lebih khusus lagi menyumbang bagi “stabilnya”, bukan “munculnya” demokrasi. Modal sosial terjadi melalui perubahan hubungan antarindividu yang mempengaruhi perbuatan atau tindakan. Menurut Imam Prasodjo (2002), modal sosial adalah akumulasi rasa saling percaya sebagaimana ditunjukkan oleh keragaman dan kombinasi aksi sukarela yang pada akhirnya menghasilkan pemerintahan yang efektif.
Kedua, partisipasi sosial. Partisipasi sosial dan sikap percaya (trust) menjadi parameter civic engagement dan merupakan satu sisi dari mata uang yang tidak bisa dipisahkan dari keterlibatan politik (political engagement). Jika political engagement menyangkut keterlibatan dan keterkaitan warga negara secara psikologis dengan urusan-urusan politik dan pemerintahan, maka civic engagement menyangkut keterlibatan warga negara di dalam kegiatan sosial secara sukarela dan trust antarsesama warga negara.
Studi tentang civil society kaitannya dengan demokrasi pada dasarnya membicarakan serangkaian partisipasi politik dalam hubungan sosial yang dilakukan secara sukarela. Dengan demikian, demokrasi mengandaikan mekanisme keterlibatan aktif masyarakat. Dalam pemerintahan demokratis, partisipasi masyarakat dijamin eksistensinya. Partisipasi politik, secara umum diartikan sebagai aksi sukarela (voluntarily) untuk mengubah keadaan atau kebijakan publik (Barnes, Kaas, 1978). Partisipasi politik terbagi menjadi dua, yaitu: partisipasi politik itu sendiri dan partisipasi sosial.
Partisipasi sosial didefinisikan sebagai keterlibatan warga negara dalam kehidupan sosial atau civic community. Dengan kata lain, keterlibatan warga atau civic engagement dalam kelompok sosial menjadi ruhnya partisipasi sosial. Kelompok sosial itu sendiri, ditandai oleh dua aktivitas. Pertama, intensitas partisipasi dalam memecahkan masalah sosial antarwarga negara. Artinya, sesama warga negara memiliki kepedulian dan tindakan konkret menyelesaikan problem-problem sosial kemasyarakatan di sekitar mereka dengan melakukan aksi atau kegiatan kolektif (collective action). Hal ini dimungkinkan bila masing-masing warga mau membuka diri untuk terlibat dalam berkomunikasi dan bergaul dengan warga lainnya. Semakin intensif pergaulan antarwarga terjadi, maka peluang terjadinya kegiatan kolektif secara positif dapat terbuka lebih lebar. Keterlibatan warga negara dalam komunitas-komunitas kemasyarakatan atau kelompok sosial jelas mempertebal jaringan sosial antarwarga. Pada gilirannya nanti, jaringan sosial tersebut membuka kemungkinan besar bagi pemecahan-pemecahan masalah publik. Sebaliknya, bila jaringan sosial menipis, yang ditandai sikap selfish yang menguat dan enggan melibatkan diri dalam komunitas, bisa ditebak akan melahirkan fenomena “bermain bola boling sendirian (bowling alone)”. Kedua, kelompok sosial ditentukan oleh intensitas dalam membentuk organisasi sosial. Aktivitas sosial yang kedua ini jelas membutuhkan skill atau keterampilan, adanya aspek kepemimpinan (leadership), memiliki pengetahuan dasar tentang keorganisasian dan tahu bagaimana menjalankannya, mempunyai syarat-syarat atau elemen pokok organisasi dan lain-lain. Seberapa jauh suatu intensitas warga membentuk kelompok atau organisasi sosial biasanya ditentukan oleh seberapa kuat jaringan sosial terbentuk dan seberapa besar keterlibatan dalam komunitas untuk membicarakan masalah-masalah publik terjalin di antara sesama warga.
Intensitas partisipasi warga dalam memecahkan masalah-masalah sosial di sekitarnya relatif tidak membutuhkan keahlian dan pengelolaan serta intensitas yang besar ketimbang jenis kegiatan kelompok sosial yang pertama. Semakin sering warga bertemu (berinteraksi) dan membicarakan masalah sosial, maka peluang pemecahan masalah sosial tersebut semakin besar. Oleh karena itu, tidak heran bila aktivitas sosial yang pertama lebih banyak frekuensinya ketimbang jenis aktivitas sosial yang kedua. Partisipasi warga dalam menyelesaikan masalah sosial juga lebih banyak ketimbang warga yang punya prakarsa membentuk organisasi sosial. Biasanya jenis keanggotaan kelompok sosial dibagi menjadi tiga, yakni anggota aktif, anggota tidak aktif, dan bukan anggota.
Selain berkemampuan masyarakat dalam memecahkan masalah-masalah sosial, terbentuknya asosiasi-asosiasi berdasarkan kesadaran masyarakat untuk berkumpul dan berorganisasi juga menjadi salah satu indikator kesehatan masyarakat ditinjau dari kemampuan masyarakat untuk mau mengatur dirinya secara kolektif.
Ketiga Partisipasi Politik. Demokrasi mensyaratkan adanya partisipasi aktif dari masyarakat biasa untuk menyampaikan aspirasi atau kepentingan, dan ikut memutuskan kebijakan publik yang harus diambil pemerintah. Partisipasi menentukan siapa yang harus menjadi pejabat publik, keputusan-keputusan apa yang harus diambil dan dilaksanakan oleh pemerintah tersebut, dan bagaimana pelaksanaan amanat dari rakyat tersebut dikontrol hingga penyimpangannya dapat ditekan, kalau bukan sama sekali dihilangkan.
Partisipasi politik didefinisikan sebagai tindakan –bukan keyakinan atau sikap- warga negara biasa, bukan elite politik, untuk mempengaruhi keputusan-keputusan yang berkaitan dengan kepentingan publik, bukan suatu kelompok masyarakat keagamaan tertentu misalnya, dan secara sukarela, bukan dipaksa (Laporan Penelitian Islam dan Good Governance, 2002). Partisipasi politik bukanlah sejenis kepercayaan atau keimanan, tapi juga bukan sikap seseorang terhadap sesuatu. Partisipasi politik membutuhkan tindakan individu. Ia telah mendarat pada level psikomotorik yang diwujudkan dengan perbuatan, bukan lagi pada level kognitif dan afektif.
Karena begitu luasnya cakupan tindakan warga negara biasa dalam menyuarakan aspirasinya, maka tidak heran bila bentuk-bentuk partisipasi politik ini sangat beragam. Partisipasi politik paling tidak mencakup beberapa dimensi: ikut dalam pemilihan umum (voting), kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan kampanye dan partai politik (kegiatan kampanye), kegiatan-kegiatan sosial di tingkat kemasyarakatan (kegiatan sosial), dan kegiatan-kegiatan yang terkait dengan protes dan demonstrasi (protes).
Pemilihan umum berarti menyalurkan suaranya dalam bilik-bilik suara dengan asumsi telah memenuhi beberapa tahapan untuk dapat mencoblos. Partisipasi dalam kampanye misalnya, menghadiri kampanye model monologis atau dialogis, menyebarluaskan atribut partai kepada orang lain, ikut dalam pawai yang diselenggarakan partai politik yang sedang berkampanye, menonton atau mendengarkan program kampanye partai di televisi atau radio dan lain-lain.
Partisipasi politik sangat terkait erat dengan seberapa jauh demokrasi diterapkan dalam pemerintahan. Negara yang telah stabil demokrasinya, maka biasanya tingkat partisipasi politik warganya sangat stabil, tidak fluktuatif. Negara yang otoriter kerap memakai kekerasan untuk memberangus setiap prakarsa dan partisipasi warganya. Karenanya, alih-alih bentuk dan kuantitas partisipasi meningkat, yang terjadi warga tidak punya keleluasaan untuk otonom dari jari jemari kekuasaan dan tidak ada partisipasi sama sekali dalam pemerintahan yang otoriter. Negara yang sedang meniti proses transisi dari otoritarianisme menuju demokrasi galib disibukkan dengan jenis dan bentuk partisipasi yang sangat banyak, mulai dari yang bersifat “konstitusional” hingga yang bersifat merusak sarana umum.
Proporsi terbesar masyarakat dalam berpartisipasi secara politik adalah melalui pemilu. Di luar pemilu, yang paling besar proporsinya adalah partisipasi sosial, kemudian diikuti oleh partisipasi yang terkait dengan partai politik dan kampanye (mengahadiri kampanye partai atau pawai partai, memakai tanda gambar partai, menyebarkan selebaran partai, dan membantu partai), dan yang paling rendah proporsinya adalah partisipasi dalam bentuk protes (demontrasi, mogok, memboikot, dan protes dengan merusak sarana umum) yang dilakukan untuk mendukung atau menolak keputusan yang berkaitan dengan kepentingan publik. Di belahan dunia manapun, protes merupakan bentuk partisipasi yang relatif jarang dilakukan oleh warga negara.
Dilihat dari kuantitasnya, di luar pemilu, hanya sekitar 17% yang tidak pernah berpartisipasi dalam kegiatan politik. Yang menyatakan pernah melakukan minimal satu bentuk partisipasi politik di luar pemilu sekitar 16%, dua bentuk partisipasi 19%, dan sekitar tiga bentuk atau lebih partisipasi 48%. Proporsi kuantitas partisipasi ini tidak banyak berbeda dengan di negara-negara demokrasi lain di dunia. Keikutsertaan dan ketidakikutsertaan dalam pemilu menunjukkan sejauh mana tingkat partisipasi konvensional warga negara. Seseorang yang ikut mencoblos dalam pemilu, secara sederhana, menunjukkan komitmen partisipasi warga. Tapi orang yang tidak menggunakan hak memilihnya dalam pemilu bukan berarti ia tidak punya kepedulian terhadap masalah-masalah publik. Bisa jadi ia ingin mengatakan penolakan atau ketidakpuasannya terhadap kinerja elite politik di pemerintahan maupun partai dengan cara golput.[21]
Mekanisme pemilu biasanya telah disepakati melalui institusi demokrasi seperti perwakilan rakyat di parlemen dan dieksekusi oleh lembaga yang ditunjuk pemerintah. Waktu pemilu telah ditentukan secara reguler –apakah empat, lima, atau tujuh tahunan- yang biasanya termaktub dalam konstitusi negara, meskipun tanggal pelaksanaannya secara pasti biasanya dimasukkan dalam tahapan-tahapan pemilu yang telah disepakati bersama dan telah ditentukan prosedur dan teknis operasionalnya.
Demikian pula dengan prosedur dan waktu kampanye dimasukkan dalam tahapan-tahapan pemilu. Seorang warga yang mengikuti kampanye partai lebih bermakna atau berarti ketimbang yang ikut pemilu saja. Apalagi jika partisipasi dalam pemilu bersifat ritual dan dimaknai sebagai kewajiban warga negara, bukan hak sebagai citizenship. Hal ini sudah mengasumsikan bahwa mobilisasi warga untuk berpartisipasi dalam pemilu diekslusikan karena mobilisasi pada dasarnya bukanlah partisipasi. Mobilisasi selalu mengandung unsur keterpaksaan, bukan atas dasar kesukarelaan.
Oleh karena itu, seseorang yang ikut kampanye membuktikan tingkat kepedulian yang lebih baik ketimbang mencoblos pemilu karena partisipasi politik juga ditentukan oleh seberapa besar tingkat partisanship warga. Turut serta dalam kampanye partai politik menunjukkan keingintahuan (curiosity) seseorang terhadap program partai sebelum ia menjatuhkan pilihan suaranya dalam perhelatan pemilu.
Lain halnya jika orang ikut kampanye karena dimobilisasi oleh partai atau ditawari mendapatkan keuntungan ekonomis. Lepas daripada itu, kampanye tetap menjadi indikasi seberapa jauh sikap partisan warga terhadap partai. Namun demikian, orang yang ikut kampanye tidak berkorelasi secara positif dengan pilihannya waktu pemilu. Kampanye suatu partai mungkin diikuti secara meriah, tapi waktu pemilu partai politik bersangkutan hanya mendapat sedikit suara. Hal ini menunjukkan kampanye hanya dilihat sebagai bagian mencari kesesuaian program partai tersebut dengan pilihan konstituennya.

G.    PENUTUP
KESIMPULAN
1.       Konsep civil society lahir di Eropa pada abad ke-18 dengan tokohnya John Locke atau Montesquieu. Lahirnya konsep ini berbarengan dengan lahirnya konsep negara modern, yaitu bertujuan untuk menghindari pemerintahan yang absolut. Dengan kata lain mereka ingin mewujudkan masyarakat yang demokratis. Untuk mewujudkan negara demokratis tidak dapat dilakukan sendiri oleh masyarkat sipil/ masyarakat madani, tetapi harus ada keinginan politik juga dari pemerintah karena banyak karakteristik dari demokrasi yang memang menjadi kewajiban negara modern. Kalau kita menerjemahkan civil society dengan referensi model pemerintahan Nabi Muhammad SAW periode Madinah maka kita tahu bahwa Nabi bertindak juga sebagai kepala negara. Hal ini menunjukkan tidak perlu mempertentangkan antara negara dengan masyarakat madani. Contohnya Gus Dur yang menjadi pelopor strategi Islam budaya, waktu periodenya menjabatan sebagai presiden telah menciptakan pemerintahan yang demokratis dan hasilnya masyarakat madani juga berkembang pesat di Indonesia.
2.      Pemerintahan demokratis selalu dicirikan oleh karakteristik antara lain sebagai berikut: setiap kebijakan diputuskan dengan melibatkan keikutsertaan anggota atau masyarakat dalam pemerintahan (participation), tanggap terhadap aspirasi yang berkembang di bawah (responsiveness), bertumpu pada aspek penegakkan hukum (law enforcement) dan aturan hukum (rule of law), terbuka terhadap keanekaragaman anggotanya (inclusiveness), bertumpu pada konsensus, dapat dipertanggungjawabkan kepada anggotanya (accountability), efisien, efektif, stabil, bersih (check and balance) dan adanya proses yang transparan. Dengan demikian, pemerintahan demokratis tergantung pada seberapa besar keterlibatan politik (civic engagement) warganya. Ada proses pelibatan masyarakat dalam mengawasi kinerja pemerintahan. Kekuatan politik menyebar dalam masyarakat dan politik nasional merupakan hasil pertarungan di masyarakat.
SARAN
1.      Masyarakat sipil (sicil society/ masyarakat madani) yang telah terwujud di Indonesia seharusnya tetap dijaga keberlangsungannya sehingga cita cita mewujudkan masyarakat beradab, beretika, saling hormat menghormati dalam keberagaman suku, ras, agama dan lainnya mampu menjadikan NKRI lebih kuat dan disegani sebagai Negara bangsa.
2.      Pemerintah dan semua elemen masyarakat sipil/ sivil society/ masyarakat madani, harus selalu menjaga dan melanjutkan gerakan demokratisasi yang telah berjalan baik di Indonesia supaya kedepan semakin baik untuk mewujudkan keadilan social dan keadilan ekonomi bagi seluruh warga masyarakat di semua penjuru NKRI.

DAFTAR PUSTAKA
 Andrew Gamble, “An Introduction to Modern Social and Political Thought” Hongkong: Macmillan Education Ltd., 1988.
Faisal Ismail, “NU, Gusdurism, dan Politik Kyai”. Yogyakarta: Tiara Wacana. 1999
Gabriel A. Almond, G. Bingham Powell, Jr., K. Strom, and R. J Dalton, Comparative Politics Today: A World View, Seventh Edition (New York: Longman, Inc., 1999).
Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani. Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000, hlm.115
Iwan Gardono, “Wacana Civil Society di Indonesia”, dalam Jurnal Masyarakat Sipil, Nomor 9, Tahun 2001.
Kamus Bahasa Arab Al Munawwir” Jakarta, 2000.
Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF. “Pasing Over: Melintas Batas Agama”, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998.Hal. XIV.
Laza Kekic, “The World In 2007: The Economist Intelligence Units’ Index of Democracy”, electronic copy, 2007.
Mansour Fakih, Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial: Pergolakan Ideologi LSM Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1996.
Miriam Budiardjo, Partisipasi Politik, Jakarta: PT. Gramedia, 1998.
Muhammad AS Hikam, “Demokrasi dan Civil Society” Jakarta: LP3ES. 1996.
Nurcholis Madjid, “Masyarakat Madani dan Investasi Demokrasi: Tantangan dan Kemungkinan”, dalam Ahmad Baso, Civil Society versus Masyarakat Madani: Arkeologi Pemikiran “Civil Society” dalam Islam Indonesia. Bandung: Pustaka Hidayah. 1999.
Oetojo Oesman dan Alfian (eds.). Pancasila sebagai Ideologi. Jakarta: BP 7 Pusat. 1991, hlm.164
Rumadi. 1999. Civil Society dan NU Pasca-Gus Dur. Kompas Online. 5 November 1999.
Tb Ace Hasan Syadzily, dkk. “Civil Society dan Demokrasi” Jakarta: INCIS, 2003, hlm.132



[1]Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani. Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000, hlm.115
[2] Ibid., hlm.180-181
[3] Disarikan dari “kamus bahasa arab al munawwir” Jakarta, 2000.
[4] Ibid., hlm. 115-127
[5] Plato, Republik
[6] Dahl, Robert, dikutip Samuel Huntington,1997.
[7] Laza Kekic, “The World In 2007: The Economist Intelligence Units’ Index of Democracy”, electronic copy, 2007. Hlm. 122
[8] Horowitz, Donald, 2006, hlm. 114.
[9] Laza Kekic, Op., Cit.,
[10] Gabriel A. Almond, G. Bingham Powell, Jr., K. Strom, and R. J Dalton, Comparative Politics Today: A World View, Seventh Edition (New York: Longman, Inc., 1999).hlm. 134
[11] Miriam Budiardjo, Partisipasi Politik (Jakarta: PT. Gramedia, 1998), hlm. 91
[12] Rumadi. 1999. Civil Society dan NU Pasca-Gus Dur. Kompas Online. 5 November 1999.
[13] Faisal Ismail, “NU, Gusdurism, dan Politik Kyai”. Yogyakarta: Tiara Wacana. 1999, hlm. 17

[14]Andrew Gamble, “An Introduction to Modern Social and Political Thought” Hongkong: Macmillan Education Ltd., 1988, hlm. 47-48
[15] Ibid., hlm. 54.
[16] Ibid., hlm.56
[17] Ismail SM dan Abdullah Mukti, Op.,Cit., hlm.90
[18] Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF. “Pasing Over: Melintas Batas Agama”, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998.Hal. XIV.
[19] Oetojo Oesman dan Alfian (eds.). Pancasila sebagai Ideologi. Jakarta: BP 7 Pusat. 1991, hlm.164


[20] Tb Ace Hasan Syadzily, dkk. “Civil Society dan Demokrasi” Jakarta: INCIS, 2003, hlm.132

[21] Ibid.,

Comments

Popular posts from this blog

HADITS-HADITS AHKAM TENTANG JUAL BELI (SALE AND PURCHASE)

SHUNDUQ HIFZI IDA’ (SAFE DEPOSIT BOX) BANK SYARI’AH

STUDI TENTANG PEMIKIRAN IMAM AL-SYAUKANI DALAM KITAB IRSYAD AL-FUHUL