MENDUDUKKAN UNDANG-UNDANG DASAR
MENDUDUKKAN UNDANG-UNDANG DASAR
(PROF. DR. SATJIPTO RAHARDJO,S.H.)
Mendudukkan Undang-Undang Dasar
Kata-kata mendudukkan undang-undang dasar menunjukkan dimana
tempat yang sepatutunya bagi suatu dokumen hukum yang disebut undang-undang
dasar itu. Konteks ilmu hukum dalam rangka menulusuri undang-undang dasar
yang khas tidak hanya berkutat pada perundang-undangan, melainkan dalam konteks
yang lebih luas, yaitu hukum dan masyarakatnya. Dalam kepustakaan kontemporer,
ilmu hukum yang demikian disebut “a
general jurisprudence of law and society” (Tamanaha,
2006). Undang-undang dasar merupakan satu monumen, suato dokumen antropogi
karena mengekspresikan kosmologi bangsa, mengejawantahkan cita-cita, harapan
dan mimipi-mimpi tentang membangun negara.
Pada awalanya
Manusia senantiasa berada pada titik pusat, apakah ia membangun
peradaban atau meruntuhkannya. Salah satu bentuk dari membnagun peradaban
tersebut adalah manusia dalam bentuk bangunan politik. Dalam konteks negara
Indonesia Dokumen atau piagam yang bernama Undang-Undang Dasar merupakan karya
kedua sesudah karya pertama yaitu Proklamasi. Proklamasi membuka jalan bagi
kelahiran bangsa dan negara Indonesia, sementara Undang-Undang Dasar memberikan
panduan penting bagi negara yang baru dilahirkan itu, tentang ke arah mana
selanjutnya akan berjalan.
Monumen sakral di tengah-tengah
dunia profan
Keberadaan undang-undang dasar di Indonesia seyogianya juga
merupakan suatu yang sakral. Sama halnya seperti negara Inggris yang kokoh mempertahankan
tradisi dan konstitusi yang tidak tertulis, negara Jepang yang muncul sebagai
negara modern bertahan pada situasi kehidupan di masa lalu, dan Amerika
Serikatyang berusaha mempertahankan keaslian konstitusinya. Sekalipun Amerika
Serikat tidak secara eksplisit mengatakannya, tetapi sikap kebanggaan terhadap “without loss off essential form” beraroma
tradisional pula. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 ada suasana Proklamasi, ada
Soekarno-hatta, perjuangan fisik melepaskan dari penjajahan Belanda, pengorbanan
para pahlawan, Sumpah Pemuda 1928 dan peristiwa bersejarah dan monumental
lainnya. Undang-Undang Dasar 1945 mungkin mengandung kekurangan bila dihadapkan
kepada dinamika kehidupan bangsa. Mempertahankan kemurnian Undang-Undang Dasar
ternyata tidak dapat diartikan mempertahankan kekurangan itu. Mempertahankan
keaslian Undang-Undang Dasar dapat berjalan berdampingan dengan akomodasi
terhadap masalah-masalah “sekarang dan di sini” bangsa Indonesia.
Pembukaan Konstitusi
Pembukaan konstitusi suatu negara
adalah bagian penting dari suatu konstitusi. Di dalamnya termuat berbagai hal,
kejadian, impian-impian, yang sangat mendasar sifatnya bagi bangsa yang
bersangkutan. Dari pembukaan itu pula dapat dibaca sejarah yang telah dilalui
suatu bangsa, bagaimana ia dibangun, suka dan dukanya sampai kelahiran suatu
negara baru. Hampir sekalian negara mengangkat masalah yang sama dalam
konstitusi mereka, sperti keadilan perdamaian dan kesejahteraan bagi rakyatnya.
Gagasan besar dan cita-cita suatu bangsa dijumpai dalam konstitusinya yang
menambah bobot dan pentingnya naskah dasar itu. Dalam menjalankan atau
menegakkan hukum, yang terdiri dari ribuan perundang-undangan itu, kita selalu
merujuk kepada sumbernya, yaitu konstitusi khususnya pembukaan konstitusi. Dengan
demikian kosntitusi tidak dapat dilepaskan dari badan hukum positif dan
sebaliknya badan hukum pasitif itu membutuhkan konsitusi sebagai panduannya
terutama pada waktu menghadapi hal-hal yang problematis dalam perjalanan
sejarah suatu bangsa.
UUD : alam pikiran, bukan teks
biasa
Undang-undang dasar adalah suatu
alam pikiran, yang menjelajahi sekalian ranah kehidupan manusia, baik sosial,
kultural, politik, ekonomi, maupun lainnya. Lebih dari pada dokumen hukum
tertulis, undang-undang dasar adalah suatu perjanjian khidmat yang olehh bangsa
Indonesia sehingga ia lebih merupakan dokumen rohani daripada teks hukum. Ia
tidak kuantitatif melainkan kualitatif, bersifat umum. Seyogianya orang
melihatnya sebagai sumber asas atau moral.
Hukum sebagai dokumen
antropologi
Dalam pemahaman hukum sebagai
dokumen antropologi, kita menempatkan manusia pada titik pusat. Sikap
intelektual ini menjadikan hukum tidak berkisar pada masalah
perundang-undangan. Hukum adalah masalah manusia dan paradigma di sini adalah
“Hukum untuk Manusia”. Hukum sebagai dokumen antropologi memperlihatkan betapa
luas dan dalamnya ia menyentuh kehidupan manusia. Hukum juga merupakan institut
yang otentik yang menyimpan sejarah manusia serta jejak-jeka tentang pergumulan
manusia dengan banyak aspek kehidupannya. Undang-Undang dasar, konstitusi,
sebaiknya dipahami sebagai suatu dokumen antropologi.
Mencari makna bukan mengeja
UUD itu memuat hal-hal atau asas
umum (general principles) dan oleh karena itu perlu dibaca sebagai demikian. Ia
boleh kita sebut sebagai contoh pemikiran atau mewakili suatu gagasan dasar.
Sering dikatakan bahwa UUD tidak mengenal hak-hak asasi manusia. Pernyataan itu
benar sebagai simpulan dari pembacaan secara kuantitatif tetapi tidak secara
kualitatif. Dengan pembacaan secara bermakna, maka HAM itu akan kita temukan
dalam “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”. HAM mengalir dari sumber asas
kemanusiaan yang mendasar itu.
Hukum itu tidak abadi
Hukum itu sesungguhnya abadi,
dalam arti kehidupan manusia selalu membutuhkan hukum (ubi societas ibi ius). Namun
demikian, begitu hukum berwujud teks atau dokumen tertulis , maka ia menjadi
tidak abadi lagi. Sejak ideal yang ada dalam pemikiran manusia dirumuskan
menjadi teks, maka terjadilah kuantifikasi dari sesuatu yang semula bersifat
kualitatif. Dengan kuantifikasi tersebut maka hukum menjadi terikat pada waktu
dan tempat tertentu, atau berdimensi waktu dan tempat. Dengan demikian hukum
tidak lagi menjadi abadi. Bangsa dnan negara adalah entitas puncak yang
dirancang untuk tetap hadir selama-lamanya, kecuali memang harus bubar. UUD
adalah hukum yang mengatur eksistensi bangsa dan negara yang demikian itu.
Tidak mudah mengutak-katik UUD yang menyangkut nasib jutaan manusia warganya.
Undang-undang dan reduksionisme
Salah satu ciri penting atau menonjol
dari hukum adalah karakteristiknya sebagai suatu produk legislatif. Oleh karena
itu ia tergolong pekerjaan yang dilakukan dengan sengaja (purposice human action) (Trubek,
1972). Hukum adalah hukum yang dibuat dengan sengaja oleh manusia, yaitu undang-undang.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum sudah menjadi suatu artifisial.
Dunia hukum mengalami bifrukasi, oleh karena berbicara tentang hukum tidak lagi
hanya berbicara mengenai keadilan dan kebenaran, melainkan mengenai
bentuk-bentuk, mengenai format prosedur dan sebagainya. Perubahan yang sangat
monumental adalah bagaimana suatu nilai, ide, moralitas telah direduksi menjadi
kata-kata dan kalimat. Telah terjadi amputasi dari suatu dunia nilai, ide,
moralitas menjadi kepingan-kepingan berupa pasal-pasal undang-undang.
Mensejajarkan konstitusi dengan sistem perundang-undangan adalah mengulangi
persejajaran antara ide dan bentuk. Hubungan ideal antara konstitusi dan sistem
perundang-undangan adalah apabila perundang-undangan tersebut secara setia
menjabarkan konstitusi ke dalam badan perundang-undangan. Apabila sebaliknya
yang terjadi, maka kita dapat mengatakan bahwa sistem perundang-undangan telah
mereduksi dan mengamputasi konstitusinya sendiri.
Keutuhan yang hilang
Keutuhan hukum menjadi hilang
atau setidaknya tereduksi begitu dituangkan ke dalam rumusan-rumusan bahasa.
Hukum yang semula utuh dalam kepala pembuat hukum menjadi hilang keutuhannya
begitu hukum menjadi teks undang-undang. Teks undang-undang itu hanya skeleton
atau skema belaka dari sesuatu yang pada awalnya utuh.
Undang-Undang Dasar :
memberikan perspektif
UUD yang berfungsi memberikan
perspektif terhadap sekalian massa perundang-undangan harus dapat mengangkat
dirinya lebih tinggi daripada massa yang demikian itu. Apabila UUD dipaksakan
untuk mencantumkan suatu aturan dengan sasaran yang konkret dengan demikian UUD
sudah mendegradasikan diri untuk turun menjadi perundang-undangan biasa.
Undang-undang dasar menempati kedudukan sentral dalam memberikan perspektif,
sehingga hukum positif itu merupakan bangunan yang padu (coherent). Kedudukan
undang-undang dasar menjadi sangat sentral dan strategis baik bagi pembuatan
hukum maupun pelaksanaannya. Maka pembelajaran hukum seyogianyadimulai dari
menggali dan menemukan asas-asas yang tersimpan dalam undang-undang dasar
dituntut untuk berbicara dengan menggunakan bahasa asas dan bukan bahasa
perundang-undangan biasa.
Bahasa Undang-Undang Dasar
Undang-Undang Dasar adalah tipe
undang-undang yang menyusui (marturing)yang memberikan kaidah,
panduan serta arah kepada sekalian produk legislatif selanjutnya. Semakin
konstitusi itu tampil dalam bahasa asas yang demikian itu, akan semakin tahan
pula jadinya menghadapi arus dinamika perkembangan dan perubahan masyarakatnya.
Konstitusi Amerika Serikat
Konstitusi Amerika serikat terus
berkembang, kendati tetap mempertahankan yang asli dan menampung perkembangan
dalam amandemen-amandemen. Presiden Roosevelt melalui pidatonya membanggakan
konstitusi negaranya itu yang begitu sederhana namun berhasil muncul sebagai “the most superbly enduring political
mechanism”. Konstitusi Amerika Serikat terdiri dari
tujuh pasal(article) yang masing-masing dibagi dalam bagian (section. Untuk
menyesuaikan pada dinamika dan perubahan selama ratusan tahun digunakan mekanisme
yang dsiebut amandemen. Telah dilakukan tidak kurang dari dua puluh tujuh
amandemen. Amandemen tersebut dituangkan dalam bentuk-bentuk yang masih
menggunakan bahasa asas (general
principle). Konstitusi Amerika Serikat dan
dinamika perkembangannya memberi pembelajaran kepada kita tentang bagaimana
suatu bangsa mempertahankan kemurnian konstitusinya dan sekaligus membuat
konstitusi tersebut tetap mampu menghadapi perubahan yang terjadi dalam
masyarakat.
Tesis Ronald Dworkin : “moral reading”
Dworkin telah melakukan
pembelajaran yang baik tentang bagaimana konstitusi itu mampu menjalankan
fungsinya untuk memberikan panduan, yaitu tidak lain dengan melaukan “moral reading” pada
waktu kita ingin mencari panduan tersebut. “Moral
reading” itu bukan perkara yang ringan, melainkan
suatu pengerahan energi intelektual yang luar biasa. Oleh karena itu “moral reading”sekaligus sebagai “robust reading”.
Strukturisasi perwujudan
konstitusi
Pengorganisasian fungsi-fungsi
hukum memang akan menimbulkan efisiensi, karena ada pembagian kerja, wewenang
yang lebih jelas dan lain-lain. Tetapi, pengorganisasian juga memiliki
kelemahan, karena idealisme dan kebenaran menjadi terdorong ke belakang.
Menyerahkan pekerjaan untuk mengeksplisitkan dan memunculkan kandungan undang-undang
dasar kepada para ahli hukum, mengandung resiko, bahwa undang-undang dsaar
adalah identik dengan hukum atau perundang-undangan biasa. Di sinilah
kekeliruan mulai terjadi, yaitu tidak mendudukkan konstitusi sebagai suatu tipe
hukum atau perundang-undangan yang beda (disticnt), yang
bukan sekedar dokumen hukum biasa, melainkan dokumen moral, dokumen
antropologi.
Penutup
Undang-Undang Dasar adalah sebuah
tipe yang dirancang untuk memberikan panduan dan arahan kepada massa
perundang-undangan di suatu negeri. Massa undang-undang itu akan menjadi
tercerai berai, tanpa arah, apabila tidak dipandu oleh Undang-Undang Dasar.
Disebabkan posisi yang demikian, maka undang-undang dasar dirumuskan ke dalam
bahasa asas umum (general
principle) atau bahasa moral. Sifat undang-undang
dasar yang demikian maka dibutuhkan cara membacanya yang khusus, yang oleh
Ronald Dworkin disebut “moral
reading”.Batas-batas tajam antara undang-undang dasar dan
undang-undang biasa masih kabur menimbulkan persoalan tersendiri dalam penerapannya.
Diintisarikan dari Buku “Mendudukkan Undang-Undang Dasar” (Suatu pembahasan dari
optik ilmu hukum umum) karangan Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
oleh
Putra PM Siregar, S.H. (Mahasiswa Program Pascasarjana MIH Undip, Program Beasiswa
Unggulan tahun 2012)
Comments
Post a Comment