SHUNDUQ HIFZI IDA’ (SAFE DEPOSIT BOX) BANK SYARI’AH
PERJANJIAN
SHUNDUQ HIFZI IDA’ (SAFE DEPOSIT BOX) BANK SYARI’AH TERHADAP MUWADDI-NYA
Oleh:
Nur Moklis
I.
PENDAHULUAN
Sudah banyak tejadinya kasus-kasus pembobolan
dana Nasabah oleh oknum perbankkan yang membuat terbelalak dunia perbankkan di
Indonesia, tidak hanya Citybank pada waktu itu, akan tetapi berdasarkan
pernyataan Bareskrim Mabes Polri sebagaimana di lansir Metrotvnews.com polri
mencatat delapan kasus pidana perbankkan selama tahun 2011 sebanyak 11 orang
dari 24 tersangka merupakan orang dalam (oknum perbankkan itu sendiri). dan
puncak yang mengkhawatirkan adalah semakin berkurangnya tingkat kepercayaan
masyarakat terhadap perbankkan. Tentu saja hal semacam ini akan sangat
“membahayakan” terhadap eksistensi dunia perbankkan yang notabenenya
adalah Lembaga Kepercayaan dimana pada prinsipnya keinginan masyarakat untuk
meyimpan dananya pada Bank semata -mata dilandasi oleh kepercayaan bahwa
uangnya akan dapat diperoleh kembali pada waktunya dan disertai dengan jaminan
keamanan dari segala bentuk kejahatan.
Pengalaman-pengalaman ini menunjukkan bahwa
baik di lndonesia maupun negara-negara lain ada beberapa Bank yang mengalami
persoalan dalam memberikan perlindungan terhadap hak-hak nasabahnya sehingga
berdampak pada merugikan masyarakat, karena sebagian atau seluruh dana
masyarakat yang di “bobol” sehingga dana tersebut tidak dapat diperoleh kembali.
Disisi
lain salah satu sifat sekaligus tujuan hukum, adalah memberikan perlindungan (pengayoman)
kepada masyarakat.[1]
Demikian dinyatakan oleh pemikir Cicero pada abad I SM dan ditegaskan juga oleh
Artidjo Al Kostar (Hakim Agung RI), karena hal tersebut adalah merupakan nilai
dan kebutuhan asasi bagi masyarakat beradab. Adapun menurut Prof. Subekti
tujuan hukum adalah mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan pada rakyatnnya.[2]
Adapun menurut Prof.Abdul Wahab Khalaf guru besar ilmu hukum universitas
al-azhar mesir menyatakan bahwa tujuan hukum adalah merealisir kemaslahatan
manusia dengan menjamin kebutuhan primernya (dhoruriyah) dan memenuhi
kebutuhan sekundernya (hajiyah) serta kebutuhan tertiernya (tahsiniyah).[3]
Membahas
tentang perlindungan hukum bagi nasabah sebagaimana judul di atas, sebelum
menjawabnya perlu dijelaskan dahulu bahwa yang dimaksud dengan perlindungan
hukum, adalah upaya untuk menciptakan rasa aman dan terlindungi bagi para
nasabah. Sedangkan yang dimaksud dengan nasabah bank syariah adalah konsumen
jasa perbankan yang bertransaksi di Lembaga Perbankan Syariah/ Bank Umum
Syari’ah (BUS), Unit Usaha Syariah (UUS), dan Bank Pembiayaan Rakyat Syari’ah
(BPRS) serta Baitul Mal Wat Tamwil (BMT).
Adapun
factor penentu dalam perlindungan hukum bagi nasabah bahwa antara nasabah dengan
lembaga keuangan perbankan syariah, sangat erat hubungannya, bank tidak akan
berkembang dengan baik serta tidak dapat memberi manfaat bagi masyarakat luas,
jika tidak ada nasabah, oleh karena sebagai pelaku usaha perbankan sangat
bergantung dangan nasabah, untuk dapat mempertahankan kelangsungan usahanya.[4] Dalam
kenyataan terjadi banyak pelaku usaha/pihak perbankan memiliki kecenderungan
untuk mengesampingkan hak-hak konsumen serta memanfaatkan kelemahan konsumennya
(nasabah) tanpa harus mendapatkan sanksi hukum, minimnya kesadaran dan pengetahuan
masyarakat konsumen tidak mustahil dijadikan lahan bagi pelaku usaha dalam transaksi
yang tidak mempunyai iktikad baik dalam menjalankan usaha yaitu berprinsip mencari
keuntungan yang sebesar-besarnya dengan memanfaatkan seefisien mungkin sumber daya
yang ada.[5]
Disisi
lain lemahnya posisi konsumen tersebut di sebabkan antara lain perangkat hukum
yang ada belum bisa memberikan rasa aman, peraturan perundang-undangan yang ada
kurang memadai untuk secara langsung melindungi kepentingan dan hak-hak
konsumen yang semestinya terlibat penegakan hukum (law enforcement) itu
sendiri dirasakan kurang tegas. Disisi lain cara berpikir sebagai pelaku usaha
semata-mata masih bersifat profit oriented dalam konteks jangka pendek tanpa
memperhatikan kepentingan konsumen yang merupakan bagian dari jaminan
berlangsungnya usaha dalam konteks jangka panjang.
II.
RUMUSAN MASALAH
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas maka
dalam pembahasan makalah ini penulis, akan menitik beratkan kajian tentang
perlindungan konsumen pada lembaga perbangkan syari’ah, dengan menajamkan pada
pertanyaan;
1.
Mengapa nasabah perlu
dilindungi?
2.
Bagaimana cara memberikan perlindungan hak-hak
masyarakat penyimpan dana?
3.
Bagaimana bentuk-bentuk
perlindungannya menurut peraturan perundang-undangan?
III.
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NASABAH
BANK
SYARI’AH
A.
Pentingnya Melindungi Nasabah Perbankan Syari’ah
Perlindungan bagi nasabah/konsumen dalam
percaturan bisnis dewasa ini adalah hal-hal yang sangat urgen, dengan adanya perlindungan
secara legal atau payung hukum adalah menciptakan kenyamanan dan kedamaian kepada
para pihak yang terkait. Secara eksplisit sulit ditemukan ketentuan mengenai perlindungan
nasabah debitur dalam Undang-Undang perbankan Nomor 10 Tahun 1998, sebagaian besar
Pasal-Pasal hanya berkonsentrasi pada aspek kepentingan perlindungan bank[6]
sehingga kedudukan nasabah sangatlah lemah, baik ditinjau dari kontraktual dengan bank dalam
perjanjian kredit misalnya nasabah sangat dilematis, perjanjian kredit yang biasanya standar
kontrak, senantiasa membebani nasabah debitur dengan berbagai macam kewajiban dan tanggung
jawab atas resiko
yang ditimbulkan selama perjanjian berlangsung ditujukan kepada nasabah, yang
pada
gilirannya memunculkan tanggung jawab minus
dari pihak bank.
Tidak terkecuali perbankan syariah yang secara
baik melaksanakan kegiatan usaha sebagaimana diatur dalam undang-undang Nomor 7
tahun 1992 yang selanjutnya diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998.
Dalam Pasal 6, Pasal 7 dan Pasal 13 memberikan daftar ligitimasi kegiatan usaha yang boleh dilakukan oleh
bank secara umum, namun secara khusus untuk bank syariah kegiatan usaha yang dapat
dilaksanakan adalah yang sesuai dengan prinsip syariah.[7]
Aturan-aturan dan isi pasal dalam Undang-undang nomor 21 Tahun 2008 tersebut
begitu memberikan harapan segar bagi nasabah,
namun dalam prakteknya kadang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip yang seharusnya menjadi
dasar operasionalnya, banyak kendala-kendala yang sedikit mengusik berlangsungnya
opersional bank syariah dengan prinsip syariah, seiring
dengan perjanjian yang terjadi pada perbankan
secara umum, seperti klausula eksonerasi dalam perjanjian kredit sering dimanfaatkan bank
padahal beban bunga yang tinggi sudah cukup membebani nasabah jika diperhatikan dengan
seksama beban bank yang tinggi, sebenarnya akan berpengaruh pada faktor psikologis
nasabah, karena bunga yang menimbulkan ketidaktenangan dalam menjalankan usahanya
sehingga akan berimbas pada kegagalan usaha nasabah yang bersangkutan[8].
Klausula-klausula semacam tersebut secara
prinsip tidak terjadi jauh dari aturan main dan perundang-undangan pada bank syari’ah,
namun demikian begitu tipisnya praktek yang terjadi dilapangan, sehingga yang terjadi
adalah kerugian besar bagi nasabah bank syari’ah, karena hak-hak sebagai nasabah bank kurang
terperhatikan dan nilai-nilai perekonomian yang diyakini secara islami juga tidak
mendapatkan tempat, karena sistem etika bisnis Islam
berbeda dengan sistem sekuler ataupun sistem etika
yang telah diusung dengan agama lain, melalui perkembangan peradaban sistem sekuler
mengasumsikan sejumlah kode moralitas yang sangat entropis[9].
Karena konsep moral dari sistem etika tersebut
berdiri di atas nilai-nilai temuan manusia seperti halnya epicurianism atau kebahagiaan
hanya untuk kebahagiaan itu sendiri. Sistem tersebut mengusulkan sistem perceraian antara etika
dengan agama, Sedangkan kode moralitas yang di adopsi agama selain Islam lebih sering
menekankan kepada pengkuburan eksistensi kehidupan manusia dimuka bumi. Dan moralitas
etika Islam menanamkan
anjuran akan hubungan manusia dengan Tuhannya[10].
Dalam menjalankan bisnis Islam umat Islam
dituntut melaksanakan sesuai dengan ketentuan. Aturan yang dimaksud adalah
syariah, hal ini didasarkan pada satu kaidah ushul “al
aslu fi al-afal at-taqayyud bi hukmi
asy-syar’i” bahwa hukum asal
suatu perbuatan adalah terikat dengan hukum syara maka dalam melaksanakan suatu bisnis harus senantiasa
mematuhi dan tetap berpegang teguh pada
ketentuan syariah, dengan kata lain syari’at merupakan nilai utama yang menjadi payung
strategis mau pun taktis bagi organisasi bisnis.[11]
Begitu kokohnya prinsip-prinsip Islam dalam
mengatur bisnis tak terkecuali dalam perbankan syariah, oleh karena ada baiknya
penulis memaparkan asas-asas dalam al qur’an dan hadis dianggap dan bisa dikongkritkan sebagai
asas-asas perlindungan bagi hasil debitur 1) asas pelarangan riba 2) asas itikad baik 3)
kesepakatan 4) keseimbangan atau keadilan 5) kebersamaan/kemitraan 6) asas tolong
menolong/persaudaraan. Asas-asas ini juga sebagian
besar ditemukan dalam peraturan perbankan saat
ini yakni asas 1) kesepakatan 2) asas kehatihatian
3) asas nondiskriminatif 4) asas keterbukaan,
dengan demikian asas pelarangan bunga, sistem bagi hasil, keseimbangan/ keadilan,
kemitraan/kebersamaan serta asas tolong menolong merupakan asas khusus dimiliki yang oleh bank
berdasarkan prinsip syariah yang tidak ditemukan pada bank sistem bunga.
Yang menjadi landasan filosofis pentingnya
perlindungan nasabah segala ketentuan yang berlandaskan pada pengayoman,
keberpihakan serta perlindungan terhadap kaum lemah,
dan ketentuan ini sangat terkait dengan konsep
persaudaraan dan tolong menolong dalam Islam[12].
B.
Bentuk-Bentuk Perlindungan Hukum Nasabah Bank Syari’ah Dalam
Peraturan Perundang-Undangan
Pertama:
Bentuk Perlindungan Hukum dari Peraturan Bank Indoneisa. Bila kita kaji secara
mendalam dan seksama undang-undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 secara
ekplisit sama sekali tidak mengatur perlindungan nasabah, bagi nasabah debitur,
beberapa pasal dari undang-undang perbankan tersebut hanya mengatur kedudukan
bank maupun kedudukan penyimpan dana, perlindungan nasabah debitur sepenuhnya
diserahkan kepada nasabah debitur yang bersangkutan dengan cara bersikap hati-hati
dalam melakukan hubungan kontraktual dengan baik, namun dengan cara ini
dianggap tidak fungsional mengingat proses dan bentuk kontrak itu sendiri
bersifat baku dan kecualinya posisi tawar nasabah dalam mempengaruhi sangat
kecil.
Namun demikian, bahwa berdasarkan Peraturan Perbankan Indonesia
hukum memberikan tempat Nasabah untuk melindungi dirinya dengan cara:
1. Perlindungan secara implisit ( Implicit
deposit protection),yakni perlindungan yang diperoleh melalui:
a.
Peraturan perundang-undangan dibidang perbankan
(UU No.7 1992 dan UU No.10 1998 tentang Perubahan Atas UU No.7 1992 tentang
PERBANKKAN); dalam Pasal 37 B dengan jelas disebutkan bahwa: setiap bank wajib
menjamin dana masyarakat yang di simpan pada bank bersangkutan untuk menjamin
simpanan masyarakat tersebut maka di bentuk lembaga penjamin simpanan (LPS) .
b.
Perlindungan yang dihasilkan oleh pengawasan
dan pembinaan yang efektif yang dilakukan oleh bank lndonesia.
c.
Upaya menjaga kelangsungan usaha bank sebagai
suatu lembaga pada khususnya dan perlindungan terhadap sistem perbankkan pada
umumnya.
d.
Memelihara tingkat kesehatan bank;
e.
Melakukan Usaha sesuai dengan prinsip kehati
hatian;
f.
Cara pemberian kredit yang tidak merugikan bank
dan kepentingan nasabah;
g.
Menyediakan informasi resiko pada nasabah,
2. Perlindungan secara
Eksplisit ( Explicit deposit protection ), yaitu perlindungan yang
diperoleh melalui pembentukan lembaga yang menjamin simpanan masyarakat
(sebagaimana yang di amanatkan pasal 37B(2) UU 10 1998).
Berdasarkan pengalaman dari beberapa kasus
pembobolan dana nasabah akhir-akhir ini yang jika tidak segera di tanggani
dengan serius maka kemungkinan akan berdampak pada krisis perbankan maka dengan
memperhatikan trend pengawasan bank di beberapa negara lain, serta dalam rangka
mengupayakan meningkatnya efisiensi, keamanan dan kestabilan dibidang
pengawasan bank, sudah selayaknyalah paradigma pola pengawasan bank yang sudah
beruubah di efektifkan lagi pelaksanaannya, dimana Pengawasan bank yang semula didasarkan
pada pola pendekatan pengawasan institusional, oleh UU No.23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia diubah menjadi pola pendekatan pengawasan fungsional. Berkenaan
dengan itu, maka Pasal 34 UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
mengamanatkan perlunya pemisahan fungsi otoritas moneter dan sistem pembayaran
di satu sisi dengan fungsi pengawasan dan pembinaan bank di sisi lainnya.
Dengan demikian, sesuai dengan amanat UU
tersebut, sudah waktunya pola pengawasan dan pembinaan bank sebaiknya
dilakukan oleh sebuah lembaga independen yang benar-benar kredibel, sehingga
ototritas moneter akan terpisah dari otoritas pengawas bank, dalam rangka
mengupayakan optimalisasi perlindungan hak-hak nasabah.
Kedua:
Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Di Indonesia perhatian pemerintah terhadap
perlindungan konsumen/nasabah nampak jelas pada tahun 1998 dilanjutkan dengan
disahkan dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999, lahirnya Undang-Undang Nomor
8 tahun 1999 tentang perlindungan terhadap konsumen telah memberikan harapan-harapan
besar bagi konsumen, hal ini dikarenakan seorang konsumen akan mempunyai
landasan serta payung hukum untuk melindungi segala kepentingan-kepentingan
dalam dunia usaha tidak terkecuali terhadap nasabah bank syariah[13],
selain itu adanya undang-undang perlindungan konsumen akan semakin memudahkan
pemerintah dan berbagai lembaga terkait untuk melakukan penataan, pembinaan,
serta pendidikan kepada konsumen akan dapat memaksimalkan perannya dalam dunia
perdagangan, bisnis, perbankan dan lain sebagainya. Sebagai konsekuensi
terhadap undang-undang adalah adanya sanksi bagi pelanggarnya, dengan demikian
upaya untuk lebih menjadikan seorang konsumen sebagai bagian yang patut
mendapatkan perlindungan benar-benar terwujud. Dengan diberlakukannya Undang-Undang
tersebut paling tidak akan semakin membuka peluang usaha lebih kondusif dan
nyaman karena akan senantiasa mendapatkan sebuah jaminan perlindungan yang
maksimal. Upaya ini senada dengan ajaran syariah Islam yang senantiasa
memberikan keleluasaan serta hak yang cukup kepada konsumen dan atau nasabah.
Dalam dunia perekonomian peran konsumen sebagai salah satu penggerak roda
ekonomi masyarakat, maupun negara sangatlah besar sekali, tanpa adanya konsumen
maka ekonomi suatu bangsa tidak akan dapat berjalan bahkan perekonomian global
pun akan mengalami stagnan. Begitu besar peran dari seorang konsumen/nasabah
seringkali tidak diimbangi dengan perlakuan yang adil dari pihak-pihak
tertentu, terutama para produsen nakal yang hanya mengandalkan modal besar,
tanpa berpegang pada prisnip etika bisnis, kurang sadar akan pentingnya suatu
perlindungan terhadap hak-hak konsumen seringkali menimbulkan praktek transaksi
yang hanya menguntungkan satu pihak saja yaitu penjual, oleh sebab itu,
kemudian muncul wacana untuk lebih menghargai eksistensi seorang konsumen dalam
sebuah pasal besar menyangkut ekonomi dengan memunculkan sebuah undang-undang
perlindungan konsumen.
Ketiga:
Pada Kemurnian Syariah. Dalam Ketentuan pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Bank Syariah, Pasal 1 ayat 7 Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan
kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas
Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, kemudian dijelaskan pada
ayat 8 Bank Umum Syariah adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya memberikan
jasa dalam lalu lintas pembayaran. Sedangkan pada ayat 12. prinsip syariah
adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang
dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di
bidang syariah. Dan ayat 16 menjelaskan makna Nasabah adalah pihak yang
menggunakan jasa Bank Syariah dan/atau UUS yang kemudian ayat selanjutnya
memberikan rincian yaitu ayat 17 Nasabah Penyimpan adalah Nasabah yang
menempatkan dananya di Bank Syariah dan/atau UUS dalam bentuk simpanan berdasarkan
Akad antara Bank Syariah atau UUS dan Nasabah yang bersangkutan, dan ayat 18.
Nasabah Investor adalah Nasabah yang menempatkan dananya di Bank Syariah dan/atau
UUS dalam bentuk Investasi berdasarkan Akad antara Bank Syariah atau UUS dan
Nasabah yang bersangkutan. ayat 19. Nasabah Penerima Fasilitas adalah Nasabah
yang memperoleh fasilitas dana atau yang dipersamakan dengan itu, berdasarkan
Prinsip
Syariah.[14] Dari
pengertian-pengertian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan perbankan syariah
itu, sudah menunjukkan komitmen akan prinsip-prinsip yang dimainkan dalam perbankan
syariah. Perlindungan terhadap nasabah dikuatkan lagi dalam isi undang-undang yang
sekaligus sebagai asas, tujuan dan fungsi bank syariah, aktualisasi nilai dari
asas, tujuan serta fungsi harus dirasakan secara nyaman oleh para nasabah bank
tersebut.
IV.
KESIMPULAN
Dari
pembahasan dan analisih makalah tersebut
di atas penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut :
1.
Perlindungan
hukum bagi nasabah bank syariah adalah hal yang sangat urgen untuk
kepentingan-kepentingan bagi nasabahnya, dalam rangka menciptakan kenyamanan
dan kedamaian. Hal tersebut untuk meningkatkan posisi tawar nasabah, karena
secara eksplisit sulit ditemukan ketentuan mengenai perlindungan nasabah dalam
Undang-Undang perbankan, sebagaian besar Pasal-Pasal hanya berkonsentrasi pada
aspek kepentingan perlindungan bank sehingga kedudukan nasabah sangatlah lemah
baik ditinjau dari kontraktual dengan bank.
2.
Bahwa
berdasarkan Peraturan Perbankan Indonesia hukum memberikan tempat Nasabah untuk
melindungi dirinya dengan cara:(1) Perlindungan secara implisit (Implicit
deposit protection), (2) Perlindungan secara Eksplisit ( Explicit deposit protection
), yaitu perlindungan yang diperoleh melalui pembentukan lembaga yang menjamin
simpanan masyarakat (sebagaimana yang di amanatkan pasal 37B(2) UU 10 1998).
3.
Bentuk
perlindungan hukum bagi nasabah bank syariah pada Peraturan Perundang-Undangan,
adalah tercermin konsistensi dan komitmen bank dalam menjalankan prinsipprinsip
yang telah diatur dalam Undang-Undang, sehingga adanya kepastian aktualisasi
nilai-nilai islami yang dianut para nasabah.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqih, Darul Qalam, Kuwait, Cet XII, 1978.
C.S.T.
Kansil Dan Christine S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum
Indonesia, Jilid I, Balai Pustaka, Cet.XII, Jakarta 2002
Tarek Al-Diwany, The Problem With Interes, (Jakarta : Akbar Media Aksara, 2005) Di Kutip
Dari Drs Faisal Badroen Dkk, Etika Bisnis Dalam Islam (Jakarta : Prenada Media Goup, 2006)
Cet. 1
Husni Syazali Dan Heni Sri Imaniyati, Hukum Perlindungan
Konsumen, (Bandung: Mandar Maju, 2000).
Johan
Arifin, Fiqh Perlindungan Konsumen (Semarang, Rasail Semarang, 2007).
M.Syafi’i Antonio Dan Karnen
Perwataatmdja, Apa Dan Bagaimana Bank Islam, (Jakarta : Dana
Bhakti Wakaf, 1992).
Mulhadi,
Asas Perlindungan Nasabah Berdasarkan Sistem Bank Syariah, 2004.
Shidarta,
Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Gransindo, 2000).
Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 Tentang
Perbankan
Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Yang
Selanjutnya Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998
Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Terhadap Konsumen.
[1]
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Gransindo, 2000), H.
16.
[2].C.S.T.
Kansil Dan Christine S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hokum Dan Tata Hokum
Indonesia, Jilid I, Balai Pustaka, Jakarta 2002 Cet.Xii, Hal 14.
[3]
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqih, Darul Qalam, Kuwait, Cet Xii,
1978, Hal.198.
[4]
Husni Syazali Dan Heni Sri Imaniyati, Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung:
Mandar Maju, 2000), Hal. 36
[5] Ibid.,
H. 28
[7]
Lihat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
Yang Selanjutnya Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998
[8] M.Syafi’i Antonio Dan Karnen Perwataatmdja, Apa
Dan Bagaimana Bank Islam, (Jakarta : Dana Bhakti Wakaf, 1992), H. 47.
[9] Hukum Entropia : Hukum Fisika Yang Menyatakan
Bahwa Setiap Materi Karena Terikat Dengan Ruang Dan Waktu Akan Mengalami Self Destruction
(Rusak Dengan Sendirinya), Tarek Al-Diwany, The Problem With Interes, (Jakarta : Akbar Media Aksara, 2005) Di Kutip
Dari Drs Faisal Badroen Dkk, Etika Bisnis Dalam Islam (Jakarta : Prenada Media Goup, 2006) Cet. 1, H.
67.
[11]
Johan Arifin, Fiqh Perlindungan Konsumen (Semarang, Rasail Semarang,
2007), h. 37.
[12]
Mulhadi, Asas Perlindungan Nasabah Berdasarkan Sistem Bank Syariah,
2004.
[13]
Sebagai komparasi lihat undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan
terhadap konsumen.
[14]
Lihat Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah.
Comments
Post a Comment