SHUNDUQ HIFZI IDA’ (SAFE DEPOSIT BOX) BANK SYARI’AH



PERJANJIAN SHUNDUQ HIFZI IDA’ (SAFE DEPOSIT BOX) BANK  SYARI’AH TERHADAP MUWADDI-NYA
Oleh:
Nur Moklis

I.              PENDAHULUAN
Sudah banyak tejadinya kasus-kasus pembobolan dana Nasabah oleh oknum perbankkan yang membuat terbelalak dunia perbankkan di Indonesia, tidak hanya Citybank pada waktu itu, akan tetapi berdasarkan pernyataan Bareskrim Mabes Polri sebagaimana di lansir Metrotvnews.com polri mencatat delapan kasus pidana perbankkan selama tahun 2011 sebanyak 11 orang dari 24 tersangka merupakan orang dalam (oknum perbankkan itu sendiri). dan puncak yang mengkhawatirkan adalah semakin berkurangnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap perbankkan. Tentu saja hal semacam ini akan sangat “membahayakan” terhadap eksistensi  dunia perbankkan yang notabenenya adalah Lembaga Kepercayaan dimana pada prinsipnya keinginan masyarakat untuk meyimpan dananya pada Bank semata -mata dilandasi oleh kepercayaan bahwa uangnya akan dapat diperoleh kembali pada waktunya dan disertai dengan jaminan keamanan dari segala bentuk kejahatan.
Pengalaman-pengalaman ini menunjukkan bahwa baik di lndonesia maupun negara-negara lain ada beberapa Bank yang mengalami persoalan dalam memberikan perlindungan terhadap hak-hak nasabahnya sehingga berdampak pada merugikan masyarakat, karena sebagian atau seluruh dana masyarakat yang di “bobol” sehingga dana tersebut tidak dapat diperoleh kembali.
Disisi lain salah satu sifat sekaligus tujuan hukum, adalah memberikan perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat.[1] Demikian dinyatakan oleh pemikir Cicero pada abad I SM dan ditegaskan juga oleh Artidjo Al Kostar (Hakim Agung RI), karena hal tersebut adalah merupakan nilai dan kebutuhan asasi bagi masyarakat beradab. Adapun menurut Prof. Subekti tujuan hukum adalah mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan pada rakyatnnya.[2] Adapun menurut Prof.Abdul Wahab Khalaf guru besar ilmu hukum universitas al-azhar mesir menyatakan bahwa tujuan hukum adalah merealisir kemaslahatan manusia dengan menjamin kebutuhan primernya (dhoruriyah) dan memenuhi kebutuhan sekundernya (hajiyah) serta kebutuhan tertiernya (tahsiniyah).[3]
Membahas tentang perlindungan hukum bagi nasabah sebagaimana judul di atas, sebelum menjawabnya perlu dijelaskan dahulu bahwa yang dimaksud dengan perlindungan hukum, adalah upaya untuk menciptakan rasa aman dan terlindungi bagi para nasabah. Sedangkan yang dimaksud dengan nasabah bank syariah adalah konsumen jasa perbankan yang bertransaksi di Lembaga Perbankan Syariah/ Bank Umum Syari’ah (BUS), Unit Usaha Syariah (UUS), dan Bank Pembiayaan Rakyat Syari’ah (BPRS) serta Baitul Mal Wat Tamwil (BMT).
Adapun factor penentu dalam perlindungan hukum bagi nasabah bahwa antara nasabah dengan lembaga keuangan perbankan syariah, sangat erat hubungannya, bank tidak akan berkembang dengan baik serta tidak dapat memberi manfaat bagi masyarakat luas, jika tidak ada nasabah, oleh karena sebagai pelaku usaha perbankan sangat bergantung dangan nasabah, untuk dapat mempertahankan kelangsungan usahanya.[4] Dalam kenyataan terjadi banyak pelaku usaha/pihak perbankan memiliki kecenderungan untuk mengesampingkan hak-hak konsumen serta memanfaatkan kelemahan konsumennya (nasabah) tanpa harus mendapatkan sanksi hukum, minimnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat konsumen tidak mustahil dijadikan lahan bagi pelaku usaha dalam transaksi yang tidak mempunyai iktikad baik dalam menjalankan usaha yaitu berprinsip mencari keuntungan yang sebesar-besarnya dengan memanfaatkan seefisien mungkin sumber daya yang ada.[5]
Disisi lain lemahnya posisi konsumen tersebut di sebabkan antara lain perangkat hukum yang ada belum bisa memberikan rasa aman, peraturan perundang-undangan yang ada kurang memadai untuk secara langsung melindungi kepentingan dan hak-hak konsumen yang semestinya terlibat penegakan hukum (law enforcement) itu sendiri dirasakan kurang tegas. Disisi lain cara berpikir sebagai pelaku usaha semata-mata masih bersifat profit oriented dalam konteks jangka pendek tanpa memperhatikan kepentingan konsumen yang merupakan bagian dari jaminan berlangsungnya usaha dalam konteks jangka panjang.

II.             RUMUSAN MASALAH
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas maka dalam pembahasan makalah ini penulis, akan menitik beratkan kajian tentang perlindungan konsumen pada lembaga perbangkan syari’ah, dengan menajamkan pada pertanyaan;
1.              Mengapa nasabah perlu dilindungi?
2.              Bagaimana cara memberikan perlindungan hak-hak  masyarakat penyimpan dana?
3.              Bagaimana bentuk-bentuk perlindungannya menurut peraturan perundang-undangan?

III.        PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NASABAH
BANK SYARI’AH
A.    Pentingnya Melindungi Nasabah Perbankan Syari’ah
Perlindungan bagi nasabah/konsumen dalam percaturan bisnis dewasa ini adalah hal-hal yang sangat urgen, dengan adanya perlindungan secara legal atau payung hukum adalah menciptakan kenyamanan dan kedamaian kepada para pihak yang terkait. Secara eksplisit sulit ditemukan ketentuan mengenai perlindungan nasabah debitur dalam Undang-Undang perbankan Nomor 10 Tahun 1998, sebagaian besar Pasal-Pasal hanya berkonsentrasi pada aspek kepentingan perlindungan bank[6] sehingga kedudukan nasabah sangatlah lemah, baik ditinjau dari kontraktual dengan bank dalam perjanjian kredit misalnya nasabah sangat dilematis, perjanjian kredit yang biasanya standar kontrak, senantiasa membebani nasabah debitur dengan berbagai macam kewajiban dan tanggung jawab atas resiko yang ditimbulkan selama perjanjian berlangsung ditujukan kepada nasabah, yang pada gilirannya memunculkan tanggung jawab minus dari pihak bank.
Tidak terkecuali perbankan syariah yang secara baik melaksanakan kegiatan usaha sebagaimana diatur dalam undang-undang Nomor 7 tahun 1992 yang selanjutnya diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998. Dalam Pasal 6, Pasal 7 dan Pasal 13  memberikan daftar ligitimasi kegiatan usaha yang boleh dilakukan oleh bank secara umum, namun secara khusus untuk bank syariah kegiatan usaha yang dapat dilaksanakan adalah yang  sesuai dengan prinsip syariah.[7] Aturan-aturan dan isi pasal dalam Undang-undang nomor 21 Tahun 2008 tersebut begitu memberikan harapan segar bagi nasabah, namun dalam prakteknya kadang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip yang seharusnya menjadi dasar operasionalnya, banyak kendala-kendala yang sedikit mengusik berlangsungnya opersional bank syariah dengan prinsip syariah, seiring dengan perjanjian yang terjadi pada perbankan secara umum, seperti klausula eksonerasi dalam perjanjian kredit sering dimanfaatkan bank padahal beban bunga yang tinggi sudah cukup membebani nasabah jika diperhatikan dengan seksama beban bank yang tinggi, sebenarnya akan berpengaruh pada faktor psikologis nasabah, karena bunga yang menimbulkan ketidaktenangan dalam menjalankan usahanya sehingga akan berimbas pada kegagalan usaha nasabah yang bersangkutan[8].
Klausula-klausula semacam tersebut secara prinsip tidak terjadi jauh dari aturan main dan perundang-undangan pada bank syari’ah, namun demikian begitu tipisnya praktek yang terjadi dilapangan, sehingga yang terjadi adalah kerugian besar bagi nasabah bank syari’ah, karena hak-hak sebagai nasabah bank kurang terperhatikan dan nilai-nilai perekonomian yang diyakini secara islami juga tidak mendapatkan tempat, karena sistem etika bisnis Islam berbeda dengan sistem sekuler ataupun sistem etika yang telah diusung dengan agama lain, melalui perkembangan peradaban sistem sekuler mengasumsikan sejumlah kode moralitas yang sangat entropis[9].
Karena konsep moral dari sistem etika tersebut berdiri di atas nilai-nilai temuan manusia seperti halnya epicurianism atau kebahagiaan hanya untuk kebahagiaan itu sendiri. Sistem tersebut mengusulkan sistem perceraian antara etika dengan agama, Sedangkan kode moralitas yang di adopsi agama selain Islam lebih sering menekankan kepada pengkuburan eksistensi kehidupan manusia dimuka bumi. Dan moralitas etika Islam menanamkan anjuran akan hubungan manusia dengan Tuhannya[10].
Dalam menjalankan bisnis Islam umat Islam dituntut melaksanakan sesuai dengan ketentuan. Aturan yang dimaksud adalah syariah, hal ini didasarkan pada satu kaidah ushul “al aslu fi al-afal at-taqayyud bi hukmi asy-syar’i” bahwa hukum asal suatu perbuatan adalah terikat dengan hukum syara  maka dalam melaksanakan suatu bisnis harus senantiasa mematuhi dan tetap berpegang teguh pada ketentuan syariah, dengan kata lain syari’at merupakan nilai utama yang menjadi payung strategis mau pun taktis bagi organisasi bisnis.[11] Begitu kokohnya prinsip-prinsip Islam dalam mengatur bisnis tak terkecuali dalam perbankan syariah, oleh karena ada baiknya penulis memaparkan asas-asas dalam al qur’an dan hadis dianggap dan bisa dikongkritkan sebagai asas-asas perlindungan bagi hasil debitur 1) asas pelarangan riba 2) asas itikad baik 3) kesepakatan 4) keseimbangan atau keadilan 5) kebersamaan/kemitraan 6) asas tolong menolong/persaudaraan. Asas-asas ini juga sebagian besar ditemukan dalam peraturan perbankan saat ini yakni asas 1) kesepakatan 2) asas kehatihatian 3) asas nondiskriminatif 4) asas keterbukaan, dengan demikian asas pelarangan bunga, sistem bagi hasil, keseimbangan/ keadilan, kemitraan/kebersamaan serta asas tolong menolong merupakan asas khusus dimiliki yang oleh bank berdasarkan prinsip syariah yang tidak ditemukan pada bank sistem bunga.
Yang menjadi landasan filosofis pentingnya perlindungan nasabah segala ketentuan yang berlandaskan pada pengayoman, keberpihakan serta perlindungan terhadap kaum lemah, dan ketentuan ini sangat terkait dengan konsep persaudaraan dan tolong menolong dalam Islam[12].

B.     Bentuk-Bentuk Perlindungan Hukum Nasabah Bank Syari’ah Dalam Peraturan Perundang-Undangan
Pertama: Bentuk Perlindungan Hukum dari Peraturan Bank Indoneisa. Bila kita kaji secara mendalam dan seksama undang-undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 secara ekplisit sama sekali tidak mengatur perlindungan nasabah, bagi nasabah debitur, beberapa pasal dari undang-undang perbankan tersebut hanya mengatur kedudukan bank maupun kedudukan penyimpan dana, perlindungan nasabah debitur sepenuhnya diserahkan kepada nasabah debitur yang bersangkutan dengan cara bersikap hati-hati dalam melakukan hubungan kontraktual dengan baik, namun dengan cara ini dianggap tidak fungsional mengingat proses dan bentuk kontrak itu sendiri bersifat baku dan kecualinya posisi tawar nasabah dalam mempengaruhi sangat kecil.
Namun demikian, bahwa berdasarkan Peraturan Perbankan Indonesia hukum memberikan tempat Nasabah untuk melindungi dirinya dengan cara:
1.      Perlindungan secara implisit ( Implicit deposit protection),yakni  perlindungan yang diperoleh melalui:
a.       Peraturan perundang-undangan dibidang perbankan (UU No.7 1992 dan UU No.10 1998 tentang Perubahan Atas UU No.7 1992 tentang PERBANKKAN); dalam Pasal 37 B dengan jelas disebutkan bahwa: setiap bank wajib menjamin dana masyarakat yang di simpan pada bank bersangkutan untuk menjamin simpanan masyarakat tersebut maka di bentuk lembaga penjamin simpanan (LPS) .
b.      Perlindungan yang dihasilkan oleh pengawasan dan pembinaan yang efektif yang dilakukan oleh bank lndonesia.
c.       Upaya menjaga kelangsungan usaha bank sebagai suatu lembaga pada khususnya dan perlindungan terhadap sistem perbankkan pada umumnya.
d.      Memelihara tingkat kesehatan bank;
e.       Melakukan Usaha sesuai dengan prinsip kehati hatian;
f.       Cara pemberian kredit yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah;
g.      Menyediakan informasi resiko pada nasabah,
2.    Perlindungan secara Eksplisit ( Explicit deposit protection ), yaitu perlindungan yang diperoleh melalui pembentukan lembaga yang menjamin simpanan masyarakat (sebagaimana yang di amanatkan pasal 37B(2) UU 10 1998).
Berdasarkan pengalaman dari beberapa kasus pembobolan dana nasabah akhir-akhir ini yang jika tidak segera di tanggani dengan serius maka kemungkinan akan berdampak pada krisis perbankan maka dengan memperhatikan trend pengawasan bank di beberapa negara lain, serta dalam rangka mengupayakan meningkatnya efisiensi, keamanan dan kestabilan  dibidang pengawasan bank, sudah selayaknyalah paradigma pola pengawasan bank yang sudah beruubah di efektifkan lagi pelaksanaannya, dimana Pengawasan bank yang semula didasarkan pada pola pendekatan pengawasan institusional, oleh UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia diubah menjadi pola pendekatan pengawasan fungsional. Berkenaan dengan itu, maka Pasal 34 UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia mengamanatkan perlunya pemisahan fungsi otoritas moneter dan sistem pembayaran di satu sisi dengan fungsi pengawasan dan pembinaan bank di sisi lainnya.
Dengan demikian, sesuai dengan amanat UU tersebut, sudah waktunya pola pengawasan  dan pembinaan bank sebaiknya dilakukan oleh sebuah lembaga independen yang benar-benar kredibel, sehingga ototritas moneter akan terpisah dari otoritas pengawas bank, dalam rangka mengupayakan optimalisasi perlindungan hak-hak nasabah.
Kedua: Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Di Indonesia perhatian pemerintah terhadap perlindungan konsumen/nasabah nampak jelas pada tahun 1998 dilanjutkan dengan disahkan dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999, lahirnya Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan terhadap konsumen telah memberikan harapan-harapan besar bagi konsumen, hal ini dikarenakan seorang konsumen akan mempunyai landasan serta payung hukum untuk melindungi segala kepentingan-kepentingan dalam dunia usaha tidak terkecuali terhadap nasabah bank syariah[13], selain itu adanya undang-undang perlindungan konsumen akan semakin memudahkan pemerintah dan berbagai lembaga terkait untuk melakukan penataan, pembinaan, serta pendidikan kepada konsumen akan dapat memaksimalkan perannya dalam dunia perdagangan, bisnis, perbankan dan lain sebagainya. Sebagai konsekuensi terhadap undang-undang adalah adanya sanksi bagi pelanggarnya, dengan demikian upaya untuk lebih menjadikan seorang konsumen sebagai bagian yang patut mendapatkan perlindungan benar-benar terwujud. Dengan diberlakukannya Undang-Undang tersebut paling tidak akan semakin membuka peluang usaha lebih kondusif dan nyaman karena akan senantiasa mendapatkan sebuah jaminan perlindungan yang maksimal. Upaya ini senada dengan ajaran syariah Islam yang senantiasa memberikan keleluasaan serta hak yang cukup kepada konsumen dan atau nasabah. Dalam dunia perekonomian peran konsumen sebagai salah satu penggerak roda ekonomi masyarakat, maupun negara sangatlah besar sekali, tanpa adanya konsumen maka ekonomi suatu bangsa tidak akan dapat berjalan bahkan perekonomian global pun akan mengalami stagnan. Begitu besar peran dari seorang konsumen/nasabah seringkali tidak diimbangi dengan perlakuan yang adil dari pihak-pihak tertentu, terutama para produsen nakal yang hanya mengandalkan modal besar, tanpa berpegang pada prisnip etika bisnis, kurang sadar akan pentingnya suatu perlindungan terhadap hak-hak konsumen seringkali menimbulkan praktek transaksi yang hanya menguntungkan satu pihak saja yaitu penjual, oleh sebab itu, kemudian muncul wacana untuk lebih menghargai eksistensi seorang konsumen dalam sebuah pasal besar menyangkut ekonomi dengan memunculkan sebuah undang-undang perlindungan konsumen.
Ketiga: Pada Kemurnian Syariah. Dalam Ketentuan pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Bank Syariah, Pasal 1 ayat 7 Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, kemudian dijelaskan pada ayat 8 Bank Umum Syariah adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Sedangkan pada ayat 12. prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. Dan ayat 16 menjelaskan makna Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa Bank Syariah dan/atau UUS yang kemudian ayat selanjutnya memberikan rincian yaitu ayat 17 Nasabah Penyimpan adalah Nasabah yang menempatkan dananya di Bank Syariah dan/atau UUS dalam bentuk simpanan berdasarkan Akad antara Bank Syariah atau UUS dan Nasabah yang bersangkutan, dan ayat 18. Nasabah Investor adalah Nasabah yang menempatkan dananya di Bank Syariah dan/atau UUS dalam bentuk Investasi berdasarkan Akad antara Bank Syariah atau UUS dan Nasabah yang bersangkutan. ayat 19. Nasabah Penerima Fasilitas adalah Nasabah yang memperoleh fasilitas dana atau yang dipersamakan dengan itu, berdasarkan Prinsip
Syariah.[14] Dari pengertian-pengertian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan perbankan syariah itu, sudah menunjukkan komitmen akan prinsip-prinsip yang dimainkan dalam perbankan syariah. Perlindungan terhadap nasabah dikuatkan lagi dalam isi undang-undang yang sekaligus sebagai asas, tujuan dan fungsi bank syariah, aktualisasi nilai dari asas, tujuan serta fungsi harus dirasakan secara nyaman oleh para nasabah bank tersebut.

IV.        KESIMPULAN
Dari pembahasan dan analisih makalah  tersebut di atas penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut :
1.        Perlindungan hukum bagi nasabah bank syariah adalah hal yang sangat urgen untuk kepentingan-kepentingan bagi nasabahnya, dalam rangka menciptakan kenyamanan dan kedamaian. Hal tersebut untuk meningkatkan posisi tawar nasabah, karena secara eksplisit sulit ditemukan ketentuan mengenai perlindungan nasabah dalam Undang-Undang perbankan, sebagaian besar Pasal-Pasal hanya berkonsentrasi pada aspek kepentingan perlindungan bank sehingga kedudukan nasabah sangatlah lemah baik ditinjau dari kontraktual dengan bank.
2.        Bahwa berdasarkan Peraturan Perbankan Indonesia hukum memberikan tempat Nasabah untuk melindungi dirinya dengan cara:(1) Perlindungan secara implisit (Implicit deposit protection), (2) Perlindungan secara Eksplisit ( Explicit deposit protection ), yaitu perlindungan yang diperoleh melalui pembentukan lembaga yang menjamin simpanan masyarakat (sebagaimana yang di amanatkan pasal 37B(2) UU 10 1998).
3.        Bentuk perlindungan hukum bagi nasabah bank syariah pada Peraturan Perundang-Undangan, adalah tercermin konsistensi dan komitmen bank dalam menjalankan prinsipprinsip yang telah diatur dalam Undang-Undang, sehingga adanya kepastian aktualisasi nilai-nilai islami yang dianut para nasabah.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqih, Darul Qalam, Kuwait, Cet XII, 1978.
C.S.T. Kansil Dan Christine S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Jilid I, Balai Pustaka, Cet.XII, Jakarta 2002
Tarek Al-Diwany, The Problem With Interes, (Jakarta : Akbar Media Aksara, 2005) Di Kutip Dari Drs Faisal Badroen Dkk, Etika Bisnis Dalam Islam (Jakarta : Prenada Media Goup, 2006) Cet. 1
Husni Syazali Dan Heni Sri Imaniyati, Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung: Mandar Maju, 2000).
Johan Arifin, Fiqh Perlindungan Konsumen (Semarang, Rasail Semarang, 2007).
M.Syafi’i Antonio Dan Karnen Perwataatmdja, Apa Dan Bagaimana Bank Islam, (Jakarta : Dana Bhakti Wakaf, 1992).
Mulhadi, Asas Perlindungan Nasabah Berdasarkan Sistem Bank Syariah, 2004.
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Gransindo, 2000).
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Yang Selanjutnya Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Terhadap Konsumen.



[1] Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Gransindo, 2000), H. 16.
[2].C.S.T. Kansil Dan Christine S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hokum Dan Tata Hokum Indonesia, Jilid I, Balai Pustaka, Jakarta 2002 Cet.Xii, Hal 14.
[3] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqih, Darul Qalam, Kuwait, Cet Xii, 1978, Hal.198.
[4] Husni Syazali Dan Heni Sri Imaniyati, Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung: Mandar Maju, 2000), Hal. 36
[5] Ibid., H. 28
[6] Lihat Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbangkan
[7] Lihat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Yang Selanjutnya Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
[8] M.Syafi’i Antonio Dan Karnen Perwataatmdja, Apa Dan Bagaimana Bank Islam, (Jakarta : Dana Bhakti Wakaf, 1992), H. 47.
[9] Hukum Entropia : Hukum Fisika Yang Menyatakan Bahwa Setiap Materi Karena Terikat Dengan Ruang Dan Waktu Akan Mengalami Self Destruction (Rusak Dengan Sendirinya), Tarek Al-Diwany, The Problem With Interes, (Jakarta : Akbar Media Aksara, 2005) Di Kutip Dari Drs Faisal Badroen Dkk, Etika Bisnis Dalam Islam (Jakarta : Prenada Media Goup, 2006) Cet. 1, H. 67.
[10] Ibid., H. 68
[11] Johan Arifin, Fiqh Perlindungan Konsumen (Semarang, Rasail Semarang, 2007), h. 37.
[12] Mulhadi, Asas Perlindungan Nasabah Berdasarkan Sistem Bank Syariah, 2004.
[13] Sebagai komparasi lihat undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan terhadap konsumen.
[14] Lihat Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah.

Comments

Popular posts from this blog

ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERDATA DAN PENERAPANNYA DI PENGADILAN AGAMA (SESI KE-1)

STUDI TENTANG PEMIKIRAN IMAM AL-SYAUKANI DALAM KITAB IRSYAD AL-FUHUL

HADITS-HADITS AHKAM TENTANG JUAL BELI (SALE AND PURCHASE)