PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA:
REVITALISASI SISTIM HUKUM DAN PEMBERDAYAAN
ASPEK
PSIKOLOGI
Oleh:
Nur Moklis
I.
PENDAHULUAN
Pada kalimat pembuka ini, penulis akan
menjelaskan sedikit tentang definisi kata korupsi.
Korupsi dalam kamus besar bahasa
indonesia adalah kata benda yang berarti
penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dsb) untuk
keuntungan pribadi atau orang lain. Pada saat ini masyarakat indonesia banyak
dipertontonkan “opera” tindak pidana korupsi oleh para pejabat publik,
antara lain LHI (mantan Presiden PKS), yang diduga kuat terkait impor daging sapi, AM
(mantan Ketua MK) yang diduga kuat menerima suap terkait pemenangan perkara salah satu
pihak dalam pemilukada, selain itu masih banyak lagi dugaan kasus korupsi yang
membayangi banyak pejabat publik, baik dilegislatif, eksekutif maupun
yudikatif, meskipun masih perlu penelusuran lebih lanjut oleh aparat penegak
hukum.
Begitu banyaknya kasus penyelewengan dan
penyalahgunaan wewenang oleh para pejabat negara, di segala lini tentu membuat
sebagian masyarakat pesimis tentang keberlangsungan eksistensi negara ini yang
telah dibangun dengan susah payah oleh para pendiri republik tercinta. Namun
sebagian masyarakat tetap pada optimisme yang tinggi dengan mencari akar
masalah penyebab terjadinya tindak pidana korupsi tersebut.
Disisi lain negara ini telah memiliki
instrumen penegakkan hukum dalam penanggulangan tindak pidana korupsi,
Melalui pendekatan per Undang-Undangan
Pemerintah & Dewan Perwakilan Rakyat RI mengeluarkan Tap MPR RI. No.XI /MPR/ 1998, tentang Penyelenggaraan
Negara yg bersih & bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme “kemudian ditetapkan Undang-Undang No.28 tahun 1999,
tentang Penyelenggara negara yg bersih
dan Bebas korupsi, kolusi
dan Nepotisme serta Undang Undang
No.31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang
undang No.20 tahun 2001, tentang Perubahan atas Undang Undang No.31 Tahun
1999,tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan disusul kemudian
dengan Undang Undang No.30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (sebagai wujud
pendekatan “Institusional” ).
Jika dilihat sepintas setidaknya negara ini
telah memiliki perangkat hukum baik hukum materiil dan hukum formil yang
memadai dalam penanggulamgan tindak pidana korupsi ini. Hukum Materiel yang meliputi:
KUHP , UU No.31 Th.1999, UU No.20 Th.2001.
Hukum formil yang meliputi; UU
No.8 Th.1981 (KUHAP). UU No.30 Th.2002. Namun dalam tahap empiris, nampak belum bisa
berjalan optimal guna meminimalisir penyakit kronis bangsa yaitu korupsi.
Dugaan awalnya seperangkat atauran yang baik juga harus diimbangi dengan para
penegak hukum mempuni, berintegritas tinggi serta lingkungan masayarakat yang
mendukung.
II.
LATAR BELAKANG
Meskipun secara perangkat
perundang-undangan (legal subsantce)
Indonesia telah memiliki perangkat yang luamayan baik seperti
diungkapkan diatas, struktur penegak hukum yang kuat (legal structure),
seperti lembaga kepolisian, lembaga kejaksaan dan lembaga peradilan serta
Komisi Pemberantadan korupsi namun yang
tidak kalah penting disini adalah budaya hukum bangsa ini (legal culture)
baik dalam hal Internal
Legal Culture
yaitu kultur yang dimiliki oleh struktur hukum dan External Legal Culture yaitu kultur hukum masyarakat pada umumnya[1].
Pada makalah ini penulis akan menelaah
berbagai aspek yang mendorong seseorang melakukan tindak pidana korupsi ini
baik dari sisi penegakkan supremasi hukum dan faktor-faktor psikologi
seseorang. Tentu kita semua mengetahui secara pasti bahwa semua agama ataupun
aliran kepercayaan, nilai-nilai budaya masyarakat Indonesia menyatakan, tindakan
korupsi adalah tercela, namun sangat ironis pelaku kejahatan ini adalah
masyarakat yang beragama dan juga kental dengan nilai-nilai budaya. Jadi apa
yang belum terekplanasi? Apakah ada kesalahan diagnosa terhadap “penyakit”
korupsi ini? Padahal perbuatan ini secara sistemik dapat merusak sendi
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Namun penelaahan tidak berhenti
pada aspek penyebab tindak pidana korupsi saja, tetapi akan dilanjutkan penelaahan
pada cara-cara konseptual maupun praktis penanggulangan tindak pidana ini, atau
dengan bahasa sederhana, “menyembuhkan Penyakit” korupsi. Lalu apa
obatnya? sehingga diharapkan kedepan dapat meminimalisir tindak pidana
korupsi dan mampu mewujudkan suatu bangsa yang berkeadilan sebagaimana termuat
dalam sila ke lima dari pancasila, mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh
rakyak indonesia.
III.
PERMASALAHAN
Pertanyaan di bawah ini akan selalu
aktual dalam perkembangan republik tercinta pasca bergulirnya era revormasi,
dan semakin mendapat momentumnya pasca penangkapan AM (mantan Ketua MK) yang diduga
kuat menerima suap terkait pemenangan satu perkara di Mahkamh Konstitusi.
Meskipun secara keseluruhan Negara Kesatuan Republik Iindonesia (NKRI)
mengalami perkembangan yang baik dalam membangun demokrasi, stabilitas
keamanan, pertumbuhan ekonomi yang mengembirakan, mampu terhindar dari krisis
moneter jilid II tahun 2008 dan krisis moneter jilid III tahun 2012[2],
namun disisi lain penegakkan supremasi hukum masih banyak kelemahan dengan
indikasi masih banyaknya oknum-oknum tertentu yang masih melakukan
penyelewengan atau penyalahgunaan kekuasaannya, sehingga dapat membahayakan
eksistensi NKRI saat ini.
Untuk melakukan ekplanasi secara
komprehensif, penulis akan berusaha membedah hal ini dari aspek penegakkan
supremasi hukum (law inforcment) yang meliputi substansi hukum (legal
substance), strukture hukum (legal
stucture) dan budaya hukum (legal culture) dan yang tidak kalah
penting untuk mengungkap masalah ini adalah menggunakan pendekatan teori-teori
pesikologi (Pesicological Teories).
Berawal dari kegelisahan akademik diatas
maka, untuk mempertajam telaah makalah ini, penulis akan menetik beratkan pada
dua pertanyaan mendasar yaitu:
a. Apa penyebab masih maraknya korupsi pada saat ini?
b. Bagaimana cara menanggulanginya?
IV.
PENGERTIAN KORUPSI DAN
JENIS-JENISNYA
A.
Pengertian Korupsi
Banyak para
ahli yang mencoba merumuskan pengertian korupsi, yang jika dilihat dari struktrur bahasa dan cara penyampaiannya yang berbeda,
tetapi pada hakekatnya mempunyai makna yang sama. Kartono (1983) memberi batasan
korupsi sebagi tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan
guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara. Jadi
korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi
keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan
menggunakan wewenang dan kekuatankekuatan formal (misalnya dengan alasan hukum
dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri.
Korupsi terjadi
disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang dimiliki oleh
pejabat atau pegawai demi kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan pribadi
atau keluarga, sanak saudara dan teman. Wertheim (dalam Lubis, 1970) menyatakan
bahwa seorang pejabat dikatakan melakukan tindakan korupsi bila ia menerima
hadiah dari seseorang yang bertujuan mempengaruhinya agar ia mengambil
keputusan yang menguntungkan kepentingan si pemberi hadiah. Kadang-kadang orang yang menawarkan
hadiah dalam bentuk balas jasa juga
termasuk dalam korupsi. Selanjutnya, Wertheim menambahkan bahwa balas jasa dari
pihak ketiga yang diterima atau diminta oleh seorang pejabat untuk diteruskan
kepada keluarganya atau partainya/ kelompoknya atau orang-orang yang mempunyai
hubungan pribadi dengannya, juga dapat dianggap sebagai korupsi. Dalam keadaan
yang demikian, jelas bahwa ciri yang paling menonjol di dalam korupsi adalah
tingkah laku pejabat yang melanggar azas pemisahan antara kepentingan pribadi
dengan kepentingan masyarakat, pemisaham keuangan pribadi dengan masyarakat.
B. Jenis-Jenis Korupsi
Dalam Undang-undang nomor 31 tahun 1999 yang telah
diubah dengan
Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi, tindak Pidana Korupsi dapat dilihat dari dua perspektif yang
berbeda yaitu korupsi Aktif dan Korupsi Pasif[3]. Adapun yang dimaksud dengan
Korupsi Aktif adalah sebagai berikut :
1)
Secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain
atau Korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara
(Pasal 2 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999)
2)
Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau Korporasi yang menyalahgunakan kewenangan,kesempatan atau dapat merugikan
keuangan Negara,atau perekonomian Negara (Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999)
3)
Memberi hadiah Kepada Pegawai Negeri dengan mengingat
kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya,atau oleh
pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut
(Pasal 4 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999)
4)
Percobaan pembantuan,atau pemufakatan jahat untuk melakukan
Tindak pidana Korupsi (Pasal 15 Undang-undang Nomor 20 tahun 2001)
5)
Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau
Penyelenggara Negara dengan maksud supaya berbuat atau tidak berbuat sesuatu
dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya (Pasal 5 ayat (1) huruf
a Undang-undang Nomor 20 tahun 2001)
6)
Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau Penyelenggara
negara karena atau berhubung dengan sesuatu yang bertentangan dengan
kewajibannya dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya (Pasal 5 ayat (1)
huruf b Undang-undang Nomor 20 Tagun 2001)
7)
Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Hakim dengan maksud
untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili
(Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001)
8)
Pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan atau penjual
bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan,melakukan perbuatan
curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang atau keselamatan
negara dalam keadaan perang (Pasal (1) huruf a Undang-undang Nomor 20 tahun 2001)
9)
Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau
penyerahan bahan bangunan, sengaja
membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a (Pasal 7 ayat
(1) huruf b Undang-undang Nomor 20 tahun 2001)
10)
Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang
keperluan Tentara nasional Indonesia atau Kepolisian negara Reublik Indonesia
melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam
keadaan perang (Pasal 7 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 20 tahun 2001)
11)
Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan
barang keperluan Tentara nasional indpnesia atau Kepolisian Negara Republik
Indonesia dengan sengaja mebiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam
huruf c (pasal 7 ayat (1) huruf d Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001).
12)
Pegawai negeri atau selain pegawai negeri yyang di
tugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau untuk
sementara waktu,dengan sengaja menggelapkan uang atau mebiarkan uang atau surat
berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain atau membantu dalam
melakukan perbuatan tersebut (Pasal 8 Undang-undang Nomor 20 tahun 2001).
13)
Pegawai negeri atau selain Pegawai Negeri yang diberi
tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau sementara
waktu,dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar khusus pemeriksaan
administrasi (Pasal 9 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001).
14)
Pegawai negeri atau orang selain Pegawai Negeri yang diberi
tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau untuk sementara
waktu dengan sengaja menggelapkan menghancurkan,
merusakkan, atau mebuat tidak dapat dipakai barang,akta,surat atau daftar yang
digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang yang
dikuasai karena jabatannya atau membiarkan orang lain menghilangkan,
menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat
atau daftar tersebut (Pasal 10 Undang-undang Nomor 20 tahun 2001).
15)
Pegawai negeri atau Penyelenggara Negara yang :
a.
Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain
secara melawan hukum atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang
memberikan sesuatu atau menerima pembayaran dengan potongan atau mengerjakan
sesuatu bagi dirinya sendiri (pasal 12 e undang-undang Nomor 20 tahun 2001)
b.
Pada waktu
menjalankan tugas meminta,menerima atau memotong pembayaran kepada pegawai
Negeri atau Penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai
hutang kepadanya.padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan mrupakan hutang
(huruf f)
c.
Pada waktu menjalankan
tugas meminta atau menerima pekerjaan atau penyerahan barang seplah-olah
merupakan hutang pada dirinya,padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan
merupakan hutang (huruf g)
d. Pada waktu menjalankan tugas telah
menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai,seolah-olah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan,telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan
tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau baik langsung maupun tidak langsung dengan
sengaja turut serta dalam pemborongan,pengadaan,atau persewaan yang pada saat
dilakukan perbuatan,untuk seluruhnya atau sebagian ditugaskan untuk mengurus
atau mengawasinya (huruf i)
16) Memberi
hadiah kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang
melekat pada jabatan atau kedudukannya,atau oleh pemberi hadiah atau janji
dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan itu (Pasal 13 Undang-undang Nomor
31 Tahun 1999).
Adapun berikutnya adalah
yang termasuk dalam kategori Korupsi Pasif adalah sebagai berikut :
a.
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima
pemberian atau janji karena berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya
yang bertentangan dengan kewajibannya (pasal 5 ayat (2) Undang-undang Nomor 20
tahun 2001)
b.
Hakim atau advokat yang menerima pemberian atau janji untuk
mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili atau untuk
mepengaruhi nasihat atau pendapat yang diberikan berhubung dengan perkara yang
diserahkan kepada pengadilan untuk diadili (Pasal 6 ayat (2) Undang-undang
nomor 20 Tahun 2001)
c.
Orang yang menerima penyerahan bahan atau keparluan tentara
nasional indonesia, atau kepolisisan negara republik indonesia yang mebiarkan
perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau c
Undang-undang nomor 20 tahun 2001 (Pasal 7 ayat (2) Undang-undang nomor 20
tahun 2001.
d.
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima
hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diketahui atau patut diduga
bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan utnuk mengerakkan agar melakukan
atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan
kewajibannya,atau sebaga akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau
tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya
(pasal 12 huruf a dan huruf b Undang-undang nomor 20 tahun 2001)
e.
Hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji
tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya
untuk diadili (pasal 12 huruf c Undang-undang nomor 20 tahun 2001)
f.
Advokat yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui
atau patut diduga,bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk mempengaruhi
nasihat atau pendapat uang diberikan berhubungan dengan perkara yang
diserahkan kepada pengadilan untuk diadili (pasal 12 huruf d Undang-undang
nomor 20 tahun 2001)
g.
Setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
menerima gratifikasi yang diberikan berhubungan dengan jabatannya dan
berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya (pasal 12 Undang-undang nomor
20 tahun 2001).
Pada hal untuk
merealisasikan tujuan hukum, yang menurut Prof Subekti,SH adalah mendatangkan kemakmuran dan kebahagian pada
rakyat suatu negara, atau menurut Prof Mr. Dr. L.J. Van Apeldoorn yaitu:
mengatur kehidupan manusia secara damai atau menurut Betham (teori utilities),
yaitu untuk mewujudkan semata-mata apa yang berfaedah bagi orang dan Geny yang
berpendapat bahwa tujuan hukum yaitu semata-mata mencapai keadilan[4].
Adapun menurut Gemengde theori tujuan hukum adalah keadilan dan kemanfaatan[5].
Maka Penulis akan menelaah kajian ini dari segi law inforcment dan psicological
theoies, untuk membedah penyebab tindak pidana korupsi dan cara
penanggulanganya secara koprehensive pada bagian dibawah ini.
V.
PENDEKATAN TEORITIK DAN
PRAKTIS DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
A. Pendekatan Penegakkan
Supremasi Hukum (Law Inforcment)
1. Struktuk Hukum (legal
Structure)
Menurut Friedman, the structure of a system
its skeletal framework; it is the permanent shape, the institutional body of
the system, the tough, rigid bones that
keep the process flowing within bounds…”. Jadi struktur adalah kerangka
atau rangkanya, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi semacam bentuk
dan batasan terhadap keseluruhan. Jelasnya,struktur bagaikan foto diam yang
menghentikan gerak (a kind of still photograph, which freezes the action ). Komponen struktur yaitu kelembagaan
yang diciptakan oleh sistem hukum itu dengan berbagai macam fungsi dalam
rangka mendukung bekerjanya sistem tersebut. Komponen ini
dimungkinkan untuk melihat bagaimana sistem hukum itu memberikan pelayanan
terhadap penggarapan bahan-bahan hukum secara teratur.[6]
Salah seorang pemikir pertama mengenai konsep
birokrasi adalah Max Weber. Menurutnya ciri-ciri utama dari
Struktur birokrasi didalam tipe idealnya adalah sebagai berikut:
1)
Tugas-tugas
organisasi dibagi ke berbagai posisi sebagai tugas resmi.Di sini tersurat
pembagian kerja yang jelas antara posisi-posisi tersebut yang memungkinkan
spesialisasi tingkat tinggi. Spesialisasi pada gilirannya meningkatkan keahlian
staf, baik secara langsung maupun dengan memungkinkan organisasi untuk mempekerjakan
karyawan atas dasar kualitas teknis mereka;
2)
Posisisi atau kantor diorganisasikan ke dalam
struktur otoritas heirarki. Dalam kasus umum heirarki ini mengambil bentuk
piramida di mana tiap pejabat bertanggung jawab atas keputusan dan tindakan
bawahan serta keputusan dan tindakan dia sendiri kepada atasannya di dalam piramida
itu, dan dimana setiap pejabat memiliki otoritas atas para pejabat di bawahnya.
Lingkup otoritas supervisor atas bawahan digariskan dengan jelas;
3)
Sistem aturan dan regulasi yang ditetapkan secara
formal mengatur keputusan dan tindakan pejabat. Pada prinsipnya, kerja dalam
organisasi administratif semacam itu melibatkan aplikasi peraturan-peraturan umum untuk kasus-kasus
khusus. Peraturan rnenjamin keseragaman operasi dan bersama dengan struktur
otoritas, memungkinkan koordinasi berbagai aktivitas. Perturan juga menjamin kelangsungan operasi sekalipun ada
pcrubahan-perabahan personel, sehingga meningkatkan stabilitas, yang tidak
dimiliki oleh tipe kelompok kolektivitas, seperti gerakan-gerakan
sosial;
4)
Terdapat staf administrasi khusus yang tugasnya
menjaga organisasi dan khususnya jalur-jalur komunikasi di dalamnya. Level
terendah dalam aparatur administrasi ini terdiri atas staf tata usaha yang bertugas
menyimpan catatan-catatan tertulis atau file-file organisasi, yang mencakup
semua keputusan dan tindakan resmi. Sementara staf produksi menyumbang secara
langsung pada pencapaian tujuan organisasi. Staf administrasi menyumbang pada
pencapaian tujuan secara tidak langsung dengan menjaga organisasi itu sendiri
tetap;
5)
Para pejabat diharapkan memiliki orientasi
impersonal dalam kontak mereka dengan klien dan dengan para pejabat lain. Klien
haras diperlakukan sebagai kasus, dimana para pejabat diharapkan mengesampingkan
semua pertimbangan personal serta melepaskan ikatan emosi onal, dan bawahan diperlakukan
juga dalam cara impersonal. Jarak sosial antara level-level hierarkis dan
antara pejabat dan klien mereka dimaksudkan untuk mendukung formalitas semacam itu.
Hubungan impersonal tanpa ikatan emosional dirancang untuk
mencegah perasaan personal para pejabat dan mendistorsikan
penilaian rasional mereka dalam menjalankan tugas-tugas mereka;
mencegah perasaan personal para pejabat dan mendistorsikan
penilaian rasional mereka dalam menjalankan tugas-tugas mereka;
6)
Pekerjaan yang diberikan organisasi merupakan
karier bagi pejabat. Secara tipikal seorang pejabat adalah karyawan penuh dan menginginkan
kerier seumur hidup di kantor. Pekerjaan didasarkan pada kualifikasi teknis
kandidat dan bukan atas dasar politik, keluarga atau koneksi-koneksi lain.
Biasanya kualifikasi semacam itu dites dengan ujian atau dengan ijazah yang
menunjukkan prestasi pendidikan pelamar ijazah sarjana, misalnya. Kualifikasi
pendidikan semacam itu menciptakan homogenitas tertentu diantara para
pejabat, karena relatif tidak banyak orang dari kelas buruh punya ijazah sarjana,
meskipun jumlah mereka terus meningkat. Para pejabat ditunjuk untuk menduduki
posisi-posisi, bukan dipilih, sehingga bergantung pada atasan dalam organisasi
dan bukan pada konstituen.
Setelah masa percobaan pejabat memperoleh kedudukan tetap dan terlindungi dari pemecatan sewenang-wenang. Upah berupa gaji, dengan uang pensiun disediakan setelah pensiun. Kemajuan karier adalah sesuai dengan senioritas atau prestasi, atau keduanya. Organisasi publik memiliki stakeholder privat. Karena stakeholder dari organisasi publik seringkali memiliki kepentingan yang bersinggungan satu sama lain, yang mengakibatkan ukuran kinerja organisasi public dimata para stakeholder juga menjadi berbeda-beda.
Setelah masa percobaan pejabat memperoleh kedudukan tetap dan terlindungi dari pemecatan sewenang-wenang. Upah berupa gaji, dengan uang pensiun disediakan setelah pensiun. Kemajuan karier adalah sesuai dengan senioritas atau prestasi, atau keduanya. Organisasi publik memiliki stakeholder privat. Karena stakeholder dari organisasi publik seringkali memiliki kepentingan yang bersinggungan satu sama lain, yang mengakibatkan ukuran kinerja organisasi public dimata para stakeholder juga menjadi berbeda-beda.
Menurut Dwiyanto, ada tiga konsep yang dapat dijadikan
sebagai acuan guna mengukur kinerja organisasi publik, yakni responsivitas (responsiveness), responsibilitas (responsibility)
dan akuntabilitas (accountabilitay).
Responsivitas mengacu kepada keselarasan antara
program dan kegiatan pelayanan yang diberikan oleh organisasi publik
dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat yang diprogramkan dan dijalankan
oleh organisasi publik maka kinerja organisasi tersebut dinilai
semakin baik.
Sementara responsibilitas menjelaskan sejauhmana pelaksanaan kegiatan organisasi publik itu
dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip baik yang implisit atau eksplisit.
Semakin kegiatan organisasi publik itu dilaksanakan sesuai dengan
pnnsip-prinsip administrasi, peraturan dan kebijakan organisasi maka kinerja
dinilai semakin baik.
Sedangkan akuntabilitas
mengacu kepada seberapa besar pejabat publik dan kegiatan organsiasi publik
tunduk kepada pejabat politik yang dipilih oleh rakyat, oleh karena itu kinerja
pada dasarnya merupakan hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai
oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai tanggung jawab yang diberikan
kepadanya. Dalam hal ini karyawan bisa belajar seberapa besar kinerja yang
mereka lakukan secara informal, seperti komentator yang baik dari mitra kerja, Namun
demikian, penilaian kinerja mengacu pada suatu sistim formal dan terstruktur
yang mengukur, menilai dan mempengaruhi sifat-sifat yang berkaitan
dengan pekerjaan, perilaku dan hasil, termasuk tingkat kehadiran. Fokus
penilaian kinerja adalah untuk mengetahui seberapa prodoktif seorang karyawan
apakah ia bisa berkinerja sama atau lebih efektif pada masa yang akan datang.
2. Substansi Hukum (Legal
Substance)
Substansi hukum yang
dapat diartikan sebagai sejumlah peraturan, norma dan perilaku orang-orang di
dalam sistem hukum. Legal substance berkaitan erat dengan apa yang
dihasilkan atau dilakukan oleh mesin atau struktur hukum di atas. Meskipun
substansi hukum tentang tindak pidana korupsi, yaitu Undang-Undang tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah
“memadai” (?). saat ini tidak ada lagi celah hukum bagi koruptor untuk
berlindung di balik kerahasiaan bank sebagai tempat menyembunyikan dan mencuci
uang karena UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU No 20 tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan UU No 15 tahun 2002 juncto UU No 25
Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sudah menutup celah hukum.
Penutupan celah hukum baru berjalan efektif jika otoritas perbankan dan
pimpinan bank memiliki komitmen yang sama dengan aparatur penegak hukum dan
KPK. Apalagi UU No 7 Tahun 1992 juncto UU No 10 tahun 1998 tentang Perbankan
memberi peluang pembukaan keterangan keadaan keuangan tersangka (Pasal 42).
Peran Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam pemberantasan korupsi
juga tidak kalah penting. Karena itu, kerja sama erat lembaga ini dan KPK amat
strategis dalam menelusuri jejak peredaran uang hasil korupsi. Secara teknis
hukum, hal ini dapat dilaksanakan dengan menyertakan pejabat PPATK sebagai
saksi ahli. Konvensi Menentang Korupsi (Convention Against Corruption, 2003)
yang sudah diadopsi Pemerintah Indonesia, Desember 2003, memuat ketentuan itu.
Dengan bahasa wajib (mandatory language), konvensi itu menuntut agar tiap
negara peserta konvensi sudah memasukkan ketentuan yang dapat membuka kerahasiaan
bank untuk kepentingan penyidikan tindak pidana korupsi (Pasal 31 Ayat 7 juncto
Pasal 40 dan Pasal 55). Perkembangan ini menuntut seluruh pejabat otoritas
perbankan dan pimpinan bank untuk memahami dan melaksanakan ketentuan pembukaan
kerahasiaan bank sepanjang menyangkut status hukum tersangka dalam perkara
tindak pidana korupsi atau tindak pidana lain. Apalagi KPK sudah dibekali
ketentuan khusus untuk melaksanakan instrumen internasional itu dalam UU No
30/2002 (Pasal 12 Huruf c dan Huruf d).
Meskipun
demikian, masih banyak perangkat hukum yang belum mendukung, misalnya tentang
undang-undang perlindungan saksi yang sulit diterapkan. Perlindungan saksi
selalu berkaitan keamanan dan kenyamanan fisik, psikologis, identitas, dan
relokasi bagi saksi sebagai pelapor, dari orang lain yang berkenaan dengan
kesaksian yang akan, tengah atau telah diberikannya atas suatu perkara
pidana.
Dalam rangka
meningkatkan penerapan hukum pidana, perlu ditingkatkan penerapan “Asas
Pembuktian Terbalik”. Sistem pembuktian terbalik (omkering van de bewijslast)
merupakan cara yang jitu untuk menjerat pelaku korupsi. Dalam pembuktian
terbalik, orang yang dituduh melakukan tindak pidana itulah yang harus
membuktikan di depan pengadilan, bahwa ia tidak bersalah. Berbeda dengan pembuktian
biasa, jaksa yang harus membuktikan seseorang bersalah atau tidak dalam
pembuktian terjadinya tindak pidana. Pembuktian terbalik sebenarnya bukanlah
hal yang baru di negeri ini. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 mengenai
Pengelolaan Lingkungan Hidup maupun UU Nomor 8 Tahun 1999 mengenai Perlindungan
Konsumen, secara tegas mengatur penerapan asas pembuktian terbalik itu walaupun
berbeda alasan yang mendasarinya dan penerapannya pada persidangan. Dalam Pasal
37 Undang-undang No. 20 Tahun 2001, diatur sebagai berikut. (1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan
bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. (2) Dalam hal terdakwa
dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka
pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan
bahwa dakwaan tidak terbukti.
Dalam
Penjelasan Pasal 37 ayat (1) diatur, bahwa Pasal ini sebagai konsekuensi
berimbang atas penerapan pembuktian terbalik terhadap terdakwa. Terdakwa tetap
memerlukan perlindungan hukum yang berimbang atas pelanggaran hak-hak yang
mendasar yang berkaitan dengan asas praduga tak bersalah (presumption of
innocence) dan menyalahkan diri sendiri (non self-incrimination). Sedangkan
dalam Penjelasan Ayat (2) ditegaskan bahwa ketentuan ini tidak menganut sistem
pembuktian secara negatif menurut undang-undang (negatief wettelijk).
Ketentuan
pembuktian ternbalik hanya berlaku pada tindak pidana baru tentang gratifikasi
dan terhadap tuntutan perampasan harta benda terdakwa yang diduga berasal dari
salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam: (a). UU No. 31 Tahun 1999, yaitu Pasal 2, Pasal 3,
Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16. (b). Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001, Pasal 5,
Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12.
Asas pembuktian
terbalik telah dipraktikkan oleh Pengadilan Tinggi Hong kong dalam kasus ICAC
Hong Kong terhadap pemohon 'judicial review" terhadap proses pembuktian
terbalik yang dilaksanakan oleh pengadilan rendah telah sesuai dengan Hong Kong
Bribery Ordinance Act. Keputusan Pengadilan Tinggi Hong kong menganggap bahwa
proses pembuktian terbalik yang telah dilaksanakan pengadilan rendah telah
memberikan keadilan sama bagi kedua belah pihak yaitu kepada pemohon maupun
kepada ICAC Hong Kong dalam menyampaikan pembuktiannya.
Berlainan dengan model Hong Kong (dalam pembuktian
terbalik) yang dapat digunakan dalam kasus korupsi melalui prosedur hukum acara
pidana, maka model pembuktian terbalik dalam Konvensi Anti Korupsi 2003 (Pasal
31 ayat 8), dan banyak memperoleh pengakuan dari negara-negara maju baik yang
menggunakan sistem hukum "Common Law" dan "Civil Law",
yaitu mendukung penggunaan prosedur keperdataan dalam menerapkan teori
pembuktian terbalik dengan keseimbangan kemungkinan tersebut, artinya,
sepanjang prosedur pembuktian terbalik tersebut ditujukan untuk menggugat hak
kepemilikan seseorang atas harta kekayaannya yang berasal dari tindak pidana
korupsi. Konvensi Anti-Korupsi 2003 yang telah diratifikasi telah memuat
ketentuan mengenai pembuktian terbalik (Pasal 31 ayat 8) dalam konteks proses
pembekuan (freezing), perampasan (seizure), dan penyitaan (confiscation) di
bawah judul Kriminalisasi dan Penegakan Hukum (Bab III). Pascaratifikasi
Konvensi Anti Korupsi 2003 sudah tentu berdampak terhadap hukum pembuktian
yang masih dilandaskan kepada Undang-undang Hukum Acara Pidana Nomor 8 tahun
1981 dan ketentuan mengenai penyelidikan, penyidikan dan penuntutan serta
pemeriksaan pengadilan di dalam UU nomor 31 Tahun 1999 junto UU No. 20 Tahun
2001. Berdasarkan fakta tersebut, Romli Atmasasmita mengemukakan bahwa masih
diperlukan perubahan mendasar, antara lain pembentukan hukum acara khusus
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi dalam UU yang
baru tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Sebagai
perbandingan, Pemberantasan korupsi dan sistem akuntabilitas publik di Thailand
sudah menjadi kebijakan publik sejak diberlakukannya UUD 1997 yang dirancang
dan didesakan oleh gerakan rakyat sejak awal tahun 1990-an. Korupsi yang
menjadi ciri sistem pemerintahan Otoriter selama 60 tahun, tidak lagi ditangani
secara konvensional, tapi mulai ditangani oleh lembaga baru dengan pendekatan
luar biasa (extra ordinary) yang lebih modern dan komprehensif. Sesuai dengan
mandat konstitusi, selain dibentuk NCCC (National Counter Corruption Commission)
yang berwenang melakukan penyidikan dan penuntutan kasus korupsi, juga
perubahan dalam sistem peradilan satu tahap untuk kasus korupsi yang melibatkan
pejabat tinggi dan politisi. Bagian lainnya dari sistem antikorupsi dan public
accountability yang penting adalah Lembaga Money Laundering (AMLO), Ombudsman,
dan Mahkamah Konstitusi, Sistem Peradilan Satu Atap untuk Korupsi Politik,
Kebebasan memperoleh Informasi, dan Perlindungan Saksi. Semua langkah tersebut
perlu dilakukan secara terpadu (terintegrasi).
Di Thailand
terdapat ketentuan sebagaimana di Indonesia, yaitu kewajiban pejabat negara
untuk melaporkan kekayaan. Jika pajabat tersebut tidak memenuhi kewajiban, maka
akan dicopot dan dilarang menduduki jabatan publik selama lima tahun ke depan.
Bahkan Konstitusi Thailand yang baru memberikan legal framework yang memberikan
kemudahan pemberantasan korupsi, khususnya bagai pejabat tingggi dan politisi
yang sulit dijerat oleh pendekatan hukum konvensional. Selain itu, Pasal 291
UUD 1997 mewajibkan kepada pejabat tinggi atau birokrat senior dan mereka yang
menduduki jabatan-jabatan politik untuk menyampaikan laporan kekayaan kepada
NCCC. Yaitu meliputi Perdana Menteri, anggota parlemen, Senator, gubernur dan
anggota eksekutif pemerintahan lokal. Selain politisi , pejabat negara seperti
Ketua MA dan wakilnya, Ketua Pengadilan Administrasi Negara dan wakilnya, Jaksa
Agung, Ombudsman dan direktur jenderal dan yang selevelnya, juga terkena ketentuan
yang sama. Laporan kekayaan tersebut, tidak saja menyangkut dirinya, juga istri
dan anaknya, dan harus dikirimkan 30 hari setelah menduduki jabatannya dan
setelah meninggalkan jabatannya, dan setiap tiga tahun bagi pejabat yang masih
menduduki jabatannya.
Menghadapi
fakta tersebut di atas, maka salah satu strategi untuk mencegah korupsi di
kalangan pejabat negara, legislator perlu menerbitkan undang-undang tentang
konflik kepentingan. Materi di dalamnya mengatur sejumlah kepentingan yang
harus dihindari pejabat, karena dapat menyebabkan korupsi. Berkaitan dengan ide
tersebut, Predisen Yudhoyono saat membuka Seminar Konflik Kepentingan di Istana
Negara, Jakarta menyatakan, "Saya menyambut baik upaya pencegahan konflik
kepentingan dengan mencantumkan hal itu dalam berbagai jenis hukum dan
peraturan di Indonesia, antara lain dalam Undang-Undang Anti Korupsi" .
Selain melindungi aset negara dan umum dari tindak pidana korupsi, pengaturan
konflik kepentingan juga upaya mendapatkan kembali kepercayaan masyarakat.
Pengaturan konflik kepentingan tidak hanya semata-mata untuk melindungi aset
umum, namun juga merupakan syarat dari suatu negara atau pemerintahan untuk
memperoleh kepercayaan dari warga negaranya. Bajkan saat ini Ketua Komisi
Pemberantasan Korupsi, Taufiqurahman Ruki, menyatakan, pihaknya mendesak
pemerintah mengeluarkan UU tentang konflik kepentingan pejabat negara.
Undang-undang tersebut berguna untuk melindungi aset negara dari penyalahgunaan
wewenang oleh pejabat terkait.
Selain itu,
kendala subtantif lainnya adalah ketentuan tentang perlunya izin dari presiden
untuk memeriksa pejabat negara yang diduga melakukan tindak pidana korupsi.
Yohanes Usfunan, menyatakan bahwa ketentuan tentang izin Presiden untuk
memeriksa pejabat negara yang terlibat korupsi selama ini menghambat
efektivitas penanganan perkara korupsi dan pencegahannya. Pasal 106 Undang-Undang No. 22 Tahun
2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD serta Pasal 36 Undang-Undang No. 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah sama-sama mengatur izin pemeriksaan pejabat
negara. Dari perspektif hukum pemerintahan, hakikat izin sebagai salah satu
bentuk pengawasan preventif guna mencegah pelanggaran hukum. Oleh karena itu,
izin pemeriksaan pejabat negara yang diduga korup sama dengan melindungi
koruptor secara normatif. Izin Presiden atas permintaan penyidik, sesuai Pasal
36 Ayat (1) UU No 32 Tahun 2004, dalam kasus tertentu berpeluang disalahgunakan
penyidik "melindungi" koruptor dengan dalih masih menunggu izin Presiden.
Padahal mungkin saja permohonan ke Presiden tidak pernah dikirim. Diskriminasi
Izin pemeriksaan pejabat negara membuktikan perlakuan diskriminatif dan
mengabaikan asas persamaan di depan hukum antara pejabat negara dan pegawai
negeri lain yang terlibat korupsi. Persamaan merupakan salah satu HAM sipil
yang berkarakter absolut sehingga tidak boleh dilanggar oleh siapa pun sesuai
dengan Pasal 28 D Undang-Undang Dasar Negara tahun 1945 jo. Pasal
4 UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Karena itu, dalam politik
legislasi, guna menciptakan hukum responsif sesuai dengan tuntutan dan harapan
masyarakat, ketentuan tentang izin Presiden dalam hukum positif perlu dicabut.
Izin Presiden dapat diganti pemberitahuan tertulis penyidik ke pejabat terkait
secara hierarkis sampai Presiden sebagai laporan. Laporan itu guna mengawasi
pemeriksaan pejabat negara yang diduga korup. Maka, pengawasan pemerintah perlu
ditingkatkan kendati masyarakat masih meragukan obyektivitas pengawasan badan
pengawas daerah mengingat pejabatnya diangkat kepala daerah.
3. Budaya Hukum (Legal
Culture)
Janedjri M
Gaffar mengemukakan bahwa hukum sesungguhnya dapat dilihat sebagai produk
budaya[7].
Sistem hukum merupakan suatu subsistem budaya yang terdiri atas berbagai
lapisan, dari lapisan teratas yang terlihat hingga lapisan terdalam. Lapisan teratas adalah artefact yang
dapat ditangkap oleh pancaindra, tetapi lebih merupakan produk akhir. Dalam
perspektif budaya, lapisan ini berisi ciptaan manusia berupa sistem
bermasyarakat, teknologi, dan seni. Dalam
sistem hukum , lapisan ini berisi sistem aturan dan kelembagaan penegak hukum.
Lapisan kedua adalah nilai-nilai yang diyakini dan dipatuhi oleh anggota
masyarakat serta dimanifestasikan dalam produk artefak budaya. Dalam dunia hukum, nilai-nilai inilah
yang harus menjadi spirit dari pembentukan aturan hukum, penataan kelembagaan,
serta menafasi penegakan aturan hukum oleh aparat penegak hukum.
Nilai-nilai ini berisi nilai-nilai yang bersifat
universal dan partikular yang diyakini oleh bangsa Indonesia. Lapisan
selanjutnya, yang merupakan lapisan terdalam, adalah asumsi-asumsi dasar yang
diyakini oleh setiap individu masyarakat tentang jati diri manusia, tentang
kebenaran, dan tentang hubungan individu itu dengan masyarakat dan alam. Dalam bidang hukum, lapisan ini adalah
asumsi masyarakat dan aparat penegak hukum tentang jati diri sebagai manusia
yang beradab, tentang kebenaran, serta tentang tugas mulia bekerja menegakkan
hukum. Asumsi inilah yang akan
melahirkan tradisi kepatuhan hukum masyarakat di satu sisi, di sisi lain
melahirkan kemuliaan tugas menegakkan hukum yang berkeadilan. Dari ketiga
lapisan di atas, kita masih berada di level kulit atau artefak.
Lapisan nilai baru sedikit disentuh dengan
berbagai pemikiran baru yang mendorong agar penegakan hukum dilakukan untuk
mewujudkan keadilan dan nilai-nilai Pancasila. Lapisan nilai menjadi perhatian,
misalnya dalam pemikiran hukum progresif dan keadilan substantif. Lapisan yang
masih sering dilupakan adalah lapisan dasar berupa keyakinan individu aparat
penegak hukum dan anggota masyarakat. Hal
ini tidak berarti bahwa sistem aturan dan kelembagaan aparat penegak hukum
tidak penting. Keduanya dapat digunakan sebagai sarana rekayasa sosial untuk
membangkitkan kembali spirit nilai dan memperkuat integritas individu. Ketegasan aparat menegakkan aturan
hukum pasti akan memberikan sumbangan pada kepatuhan hukum dan kesadaran
pentingnya hukum dalam masyarakat beradab. Penguatan
asumsi dasar individual tentang kemanusiaan, kebenaran, dan hubungan dengan
lingkungan sosial dan alam sangat penting untuk menumbuhkan manusia-manusia
berintegritas. Manusia-manusia inilah yang akan membentuk budaya hukum
masyarakat dan budaya hukum aparat penegak hukum.Ini tentu kerja besar yang
tidak dapat dilakukan secara sektoral. Karena itu, agenda pembangunan budaya
hukum tidak dapat hanya dilakukan dengan cara sosialisasi peraturan
perundang-undangan, tetapi harus menjadi agenda nasional dan integral dengan
upaya mewujudkan bangsa Indonesia yang bermartabat dan berintegritas.
B. Pendekatan Teori-Teori Psikologi (Psicological Theories)
Kasus korupsi yang mewabah di Negara Indonesia
ini dapat kita kaji dan analisa dengan beberapa pendekatan teori psikologi
berikut : 1. Pendekatan teori biologis, 2. Pendekatan
teori belajar, 3. Pendekatan
teori insentif , 4. Pendekatan
teori kognitif .
Walaupun tidak bisa
menggambarkan secara sempurna hasil analisa mengenai kasus korupsi ini, paling
tidak sedikit mendekati agar kita bisa melakukan tindak pencegahan atas kasus
korupsi ini.
Pertama Pendekatan Biologis Fenomena korupsi yang terjadi di berbagai daerah
di Negara kita ini jika kita kaji berdasarakan pendekatan biologis, memang pada
dasarnya manusia merupakan mahluk yang tidak ada puasnya dengan masalah yang
menyangkut masalah kebutuhan biologis dan itu merupakan suatu sifat yang
melekat pada diri manusia atau sifat bawaan yang ada sejak lahir dengan
berbagai karakterisrik, namun manusia mempunyai pilihan untuk menentukan
perilakunya karna perbedaan perilaku ini yang membedakan karakteristik
seseorang antara satu dengan yang lain.
Fenomena korupsi yang terjadi diberbagai daerah
di Negara kita ini telah melampaui batas ketidakwajaran. Jika kita kaji masalah
ini berdasarkan pendekatan biologis memang pada dasarnya manusia merupakan
makhluk yang tidak mempunyai rasa puas akan apa yang telah mereka dapat selama
ini. Manusia lahir dengan berbagai karakteristik yang membedakan dengan yang
lain dan berperan menentukan perilakunya.
Karakteristik biologis
dalam kontek ini adalah; a. Naluri (karakteristik bawaan). Manusia
memiliki naluri untuk selalu memenuhi kebutuhan dan tidak pernah puas dengan
apa yang sudah dimiliki. b. Faktor Genetika (karakteristik fisik yang
berkembang sejak lahir) Secara biologis, perbedaan genetika menimbulkan
perbedaan perilaku. Misalnya, sebagian dari kita ada perempuan (bisa
melahirkan) dan ada pria (tak dapat melahirkan), ada yang tumbuh lebih besar
dan kuat, ada pula yang kurus dan kecil. c. pertumbuhan fisik sementara .Yang
di maksud disini adalah pengaruh produksi hormonal atau perangsang otak yang di
pengaruhi oleh lingkungan dan kebutuhan biologisnya.
Karakteristik diatas bisa
jadi menjadi faktor utama sehingga mereka melakukan perbuatan korupsi,
perbuatan korupsi yang mereka lakukan ini mungkin suatu dorongan yang timbul
dari dalam diri seseorang tersebut sehingga melakukan perbuatan korupsi untuk
memenuhi kebutuhan biologisnya.
Dengan adanya factor yang sedemikian rupa,
masih ada lagi factor yang mempengaruhi orang tersebut melalukan tindakan
korupsi, yakni dengan adanya kesempatan untuk dapat melakukan tindakan korupsi.
Dengan adanya kesempatan yang seperti ini, dan para koruptor beranggapan bahwa
apa yang mereka lakukan tidak akan diketahui oleh pihak lain. Faktor kesempatan
ini juga dipengaruhi oleh genetis. ketika orang mendapat kesempatan untuk
berbuat jelek tapi factor genetis maupun nalurinya tidak terbiasa dengan hal
tersebut, maka orang itu tidak akan melakukan tindakan korupsi. berbeda dengan
orang yang tidak melatih nalurinya untuk menjaga dari hal-hal yang jelek. atau
malah akan jauh berbeda dengan orang-orang yang punya genetis egoisme untuk
berusaha memenuhi kebutuhan pribadinya mengalahkan rasa kasihannya kepada orang
lain.
Kedua Pendekatan Belajar, Kali ini kita menganalisis permasalahan tindak korupsi
ditinjau dari pendekatan belajar, yang seakan-akan fenomena ini terjadi
hanyalah dianggap sebagai masalah biasa yang sering terjadi dikalangan hidup
sesorang terlebih para petinggi-petinggi Negara. Dalam teori belajar dikatakan bahwa perilaku
banyak ditentukan oleh apa yang telah dipelajarinya sebelumnya.
Ada 3 mekanisme dalam belajar, yaitu; a.
Asosiasi; atau yang lebih dikenal dengan classical conditioning. Pada anjing,
Pavlov mengasosiasikan bel dengan daging. b.
Reinforcement; Orang belajar menampilkan perilaku karena disertai sesuatu yang
menyenangkan, (demikian juga sebaliknya) c. Imitasi; Sering kali seseorang
mempelajari sikap dan perilaku dengan mengimitasi sikap dan perilaku orang yang
menjadi model.
Pendekatan belajar memiliki tiga karakteristik
yaitu; a. Sebab-sebab perilaku terletak pada pengalaman belajar individu
dimasa lampau.
b. Menempatkan sumber perilaku pada lingkungan eksternal, bukan pada pengartian subyektif individu terhadap apa yang terjadi. c. Pendekatan belajar, untuk menjelaskan perilaku yang nyata, bukan keadaan subyektif/psikologis tertentu.
b. Menempatkan sumber perilaku pada lingkungan eksternal, bukan pada pengartian subyektif individu terhadap apa yang terjadi. c. Pendekatan belajar, untuk menjelaskan perilaku yang nyata, bukan keadaan subyektif/psikologis tertentu.
Pada kasus kali ini para koruptor telah
mempelajari perilaku sebagai kebiasaan. Saat mereka dihadapkan pada situasi
yang sama, maka merekan akan melakukan hal sama seperti
apa yang telah mereka pelajari sebelumnya. Dalam kasus korupsi ini dapat dikatan bahwa para petinggi-petinggi Negara
telah melakukan tindak korupsi dikarenakan sebelumnya mereka mengalami atau
bahkan melakuakan perbuatan ini. Dengan adanya hal yang demikian maka mereka
mengimitasi perbuatan korupsi tersebut.
Ketiga, Pendekatan
Insentif, Berdasarkan
pandangan teori insentif, para koruptor melakuakn tindakan yang seperti itu
berdasarkan pada keuntungan dan kerugian yang akan diterima setelah mereka
melakukan tindakan tersebut usai. Pada kasus ini para koruptor mempunyai
beberapa pilihan yakni mereka dapat melarikan diri atau menyerah pada KPK. Jika
mereka menyerah maka akan ditangkapdan dipenjarakan (insentif negatif). Dengan
melarikan diri maka merekan akan bersenang-senang dengan hasil uang korupsi
yang mereka dapat (insentif positif).
Dalam kasus korupsi ini, koruptor dan KPK dapat
dianalisis dalam bentuk permusuhan karena kepentingan mereka yang saling
bertetangan. Para koruptor beruntung bila dapat lolos dari KPK, begitupun
sebaliknya jika KPK dapat menangkap para koruptor tersebut maka ia
beruntung.
Para pelaku korupsi dalam
melakukan tindakan yang seperti ini tentunya mereka sudah memikirkan terlebih
dahulu secara rasional dengan memperhitungkan keuntungan dan kerugian dari
tindakan yang di lakukannya dan secara rasional akan memilih alternatif yang
terbaik. Para pelaku korupsi memilih alternative yang di dasarkan pada prinsip
nilai dari perbuatan yang mereka lakukan yang akan timbul dan dugaan keputusan
dari tindakan mereka yang akan timbul. Dalam kasus ini dapat di analisis karna adanya
kesempatan dan niat yang ada dalam diri pelaku korupsi yang bertentangan dengan
nilai-nilai dan peraturan hukum yang ada.
Keempat, Teori
Kognitif . Pada dasarnya
perilaku seseorang sangat tergantung pada persepsinya terhadap situasi sosial,
dan hukum persepsi sosial mirip dengan hukum persepsi obyek. Orang
mengorganisasikan persepsi, pikiran dan keyakinannya tentang situasi sosial
kedalam bentuk yang sederhana dan bermakna dan pengorganisasian itu mepengaruhi
perilaku sesorang dalam situasi sosial.
Secara kognitif, orang cenderung mengelompokkan
obyek atas dasar prinsip kesamaan, kedekatan, dan pengalaman yang cenderung
menginterpretasi aspek yang tak jelas pada diri orang. Interpretasi ini
merupakan implikasi dari caranya mengamati orang lain dan situasi sosial.
Secara umum,
prinsip-prinsip dasar kognitif bisa di kategorikan menjadi beberapa bagian
seperti berikut: a. Secara kognitif, orang cenderung mengkelompokkan obyek
atas dasar prinsip kesamaan, kedekatan, dan pengalaman. b. Secara
kognitif, orang cenderung memperhatikan (tertarik) pada sesuatu yang mencolok
(figure) berwarna-warni, bergerak-gerak, bersuara, unik & antik. c.
Secara kognitif orang cenderung menginter- pretasi aspek yang tak jelas pada
diri orang, (tujuan, motif, sikap, ciri kepribadian, perasaan, dll). Interpretasi
ini merupakan implikasi dari caranya mengamati orang lain dan situasi sosial. Proses
interpretasi dan organisasi kognitif sangatlah penting (dalam kontek ini),
karena merupakan implikasi dari cara seorang mengamati orang lain dan situasi
sosialnya.
Kembali pada kasus korupsi
yang telah dikaji, para pelaku korupsi tidak mengamati KPK atau hukum dan
perangkatnya yang berlaku di Indonesia sebagai bagian-bagian yang terpisah,
melainkan secara keseluruhan para koruptor melihatnya sebagai KPK secara umum
yang tugasnya, sifatnya, perilakunya, dll seperti yang telah ia ketahui sebelumnya.
Sehingga
seperti apa yang telah mereka persepsi, KPK merupakan ancaman baginya. Atas
dasar interpretasi dan organisasi kognitif tersebut, para pelaku korupsi
berekaksi untuk dapat melarikan diri dan dapat bersenang-senang dengan uang
hasil korupsinya.
Teori kognitif menekankan pada dua hal
yaitu; 1. Memusatkan perhatian pada interpretasi (organisasi perseptual)
mengenai keadaan saat ini bukan keadaan masa lalu. (bagaimana korupsi itu
dilakukan karena kebutuhannya sekarang untuk memperkaya dirinya tanpa melihat
keadaan masa lalunya. Sehingga bisa jadi dulu yang dia adalah orang yang baik
namun karena dalam kesempatan yang dia dapatkan dia dapat melakukan korupsi
karena posisi dia saat ini yang menguntungkan). 2.
Sebab-sebab perilaku terletak pada persepsi (interpretasi) individu terhadap
situasi, bukan pada realitas situasinya sendiri. (bagaimana seorang yang
korupsi menginterpretasikan situasi (waktu itu) merupakan hal yang penting,
dari pada bagaimana sebenarnya situasi itu. Sehingga waktu yang dipikirkan itu
tidak akan pernah dilewatkan untuk melakukan korupsi.
VI.
KESIMPULAN
Pada telaahan makalah ini
penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Bahwa penyebab utama maraknya tindak pidana korupsi yang
dilakukan para penyelenggara negara adalah karena lemahnya penegakkan supremasi
hukum dan aspek psikologi seseorang yang sangat dimungkinkan mengalami
fluktuasi kadar keimanan (yazidu wa yanqusu) dalam menjalankan tugas
sebagai penyelenggara negara.
2. Bahwa cara efektif untuk meminimalisir terjadinya tindak
pidana korupsi adalah dengan penegakkan supremasi hukum yang mampu membuat jera
para pelakunya dan membuat gentar bagi mereka yang ingin melakukannya, serta
melakukan terapi psikologi religius untuk membentengi diri dan menstabilkan
kadar fluktuasi kadar keimanan para penyelenggara negara tersebut.
VII. SARAN-SARAN
1. Meningkatkan penghasilan resmi para penyelengara negara
sehingga minimal mampu memenuhi kebutuhan primer dan skundernya dan keluarga
yang ditanggungnya, dan menghapuskan semua insentif diluar itu, serta
optimalisasi transparansi anggaran disetiap satuan kerja penyelenggara negara
sehingga dapat di kontrol oleh semua pegawai dan masyarakat.
2. Melaksanakan sistem pelayanan terhadap masyarakat dengan
on-line secara bertahap disemua lembaga negara dan kementrian dipusat sampai
tingkat daerah, yang dapat meminimalkan percaloan diberbagai sistem pelayana
masyarakat.
3. Melaksanakan penegakkan supremasi hukum dengan menganut
asas equality before the law, serta setiap lembaga negara dan kementerian
mengalokasikan anggara untuk terapi psikologi religius bagi para pegawainya
secara terstruktur dan berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Dr.Sukresno,SH,MH, Teori Hukum , Buku Diktat Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas
Muria Kudus, Juli 2013
Janedjri M Gaffar, Budaya Hukum Dalam Penegakan Hukum, Koran
Sindo, Kamis, 27 Desember 2012
Pipin Syarifin,SH.Pengantar Ilmu Hukum Untuk Fakultas
Syari’ah MKDK, CV Pustaka Setia, Bandung,1999
Prof Drs. CST. Kansil,SH Dan Christine ST Kansil,SH.,MH.,
Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia Jilid I, Cet.XII, 2002
Prof. Sacipto Raharjo,SH, Ilmu Hukum, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung , 2000.
Tap MPR RI. Nomor
XI /MPR/ 1998, Tentang Penyelenggaraan Negara Yg Bersih & Bebas Korupsi,
Kolusi Dan Nepotisme
Undang Undang
Nomor 30 Tahun 2002 Tentang
Komisi Pemberantasan Korupsi
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Hukum Acara
Pidana Nomor 8 tahun 1981
Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002
Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001, tentang Perubahan atas
Undang Undang No.31 Tahun 1999,tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup
Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999, Tentang
Penyelenggara Negara Yg Bersih
Dan Bebas Korupsi, Kolusi
Dan Nepotisme
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
Tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan
Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Undang-Undang Nomor. 22 Tahun 2003
Tentang Susunan Dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, Dan DPRD
Undang-Undang
Nomor. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
[1] Menurut Dr. Sukresno,SH.MH, Baik Struktur Hukum, Substansi Hukum Dan Kultur
Hukum, Ketiganya Disebut Dengan Istilah “Seni Hukum”. Lihat
Lebih Lanjut Dr.Sukresno,SH, MH, Teori Hukum , Buku Diktat Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas
Muria Kudus, Juli 2013, Hal.29.
[2] Bahwa terhindarnya Indonesia dari krisis moneter tahun 2008 dan tahun 2012
menurut para pengamat perekonomian karena Indonesia telah mengembangkan
perbankan syari’ah. Hal ini didukung berbagai fakta antara lain ketika eropa
terkena krisis enomoni tersebut, Inggris yang menjadi basis ekonomi syari’ah di
eropa terhindar dari krisis ini.
[3]Disarikan Dari Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Yang Telah Diubah Dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
[4]
Prof Drs. CST. Kansil,SH Dan Christine ST Kansil,SH.,MH.,
Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia Jilid I, Cet.XII, 2002, Hal.14-17.
[5] Pipin Syarifin,SH.Pengantar Ilmu
Hukum Untuk Fakultas Syari’ah MKDK, CV Pustaka Setia, Bandung, 1999, Hal.
53.
[6] Lebih Lanjut Dapat Dibaca Dalam
Bukunya Prof. Sacipto Raharjo,SH, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung , 2000, Hal.153-155.
Comments
Post a Comment