HUKUM LINGKUNGAN

ANALISIS IMPLEMENTASI HUKUM LINGKUNGAN DAN BERBAGAI KENDALA YANG DIHADAPI: STUDI KASUS DI INDONESIA
OLEH
NUR MOKLIS

A.    PENDAHULUAN
Hukum Lingkungan adalah merupakan satu bidang ilmu yang relatif baru berkembang,di Universitas Narotama Mata Kuliah Hukum Lingkungan ini baru diberikan pada Tahun l995/ l996. Hukum lingkungan merupakan bidang Study yang terus berkembang,yang mengkuti perkembangan masyarakat dan obyek yang dipelajaripun mengalami perubahan dari waktu ke waktu, baik dalam scope Nasional,Regional maupun Global, dan semua itu menuntut pembaharuan di dalam berbagai peraturannya yang tentunya semakin rumit. Disamping itu materi Hukum Lingkungan merupakan disiplin ilmu yang menarik,meskipun baru, dan sangat penting sekali, mengingat perananya dalam mengantisipasi kemungkinan terjadinya kerusakan dan pencemaran lingkungan yang semakin parah.
Wilayah hidup rakyat di berbagai kampung di Indonesia telah dan sedang mengalami perusakan yang mengancam keselamatan dan kesejahteraan rakyat yang hidup di dalamnya. Ribuan bentuk perusakan dari yang paling halus hingga paling kasat mata terus menerus mengancam dan menggerogoti wilayah-wilayah hidup rakyat, lahan pertanian, hutan, lahan peternakan, termasuk meminggirkan cara rakyat bertahan hidup yang telah lama ada.[1] Kondisi serupa juga dialami oleh rakyat miskin kota, penggusuran hunian sudah jamak terjadi di berbagai kota besar di Indonesia. Gejala penggusuran yang semakin massif akhir-akhir ini merupakan indikasi betapa tata ruang kota sebagai salah satu aspek dari  tata lingkungan yang bersifat makro tidak mengakomodasi hak rakyat yang bersifat mendasar.
Setidaknya ada 3 (tiga) jenis perusak lingkungan yang hadir di dunia dan mengancam keselamatan dan kesejahteraan masyarakat lokal di negara-negara berkembang. Pertama, adalah industri pertanian global, kedua, industri pertambangan, dan ketiga, adalah industri kehutanan.[2] Dalam konteks tata ruang kota, gejala transformasi ruang publik menjadi ruang privat merefleksikan komodifikasi ruang hidup dan ruang sosial yang cenderung memarjinalkan dan mengorbankan rakyat miskin kota.
Manakala suatu komunitas dimarjinalkan dari wilayah hidup, kita harus melihat bahwa di dalam komunitas-komunitas tersebut terdapat kelompok-kelompok dan golongan-golongan yang mengalami penderitaan yang lebih dibandingkan dengan kelompok-kelompok  dan golongan-golongan yang lain. Realita menunjukkan bahwa dalam kasus-kasus kerusakan lingkungan, perempuan dan anak-anak menjadi kelompok dan golongan yang lebih berisiko dan berpotensi mengalami  penderitaan lebih dibandingkan dengan kelompok dan golongan yang lain.[3] Kelompok dan golongan tersebut lebih rentan menjadi korban karena secara tradisional mereka telah menjadi sasaran proses dan  perlakuan diskriminasi. Doktrin hukum Hak Asasi Manusia (HAM) mengkategorisasikan  kelompok dan golongan ini dengan sebutan kelompok rentan dan tidak beruntung (vulnerable and disadvantage groups).[4]
Tulisan ini mencoba mendeskripsikan perempuan sebagai korban atas kerusakan lingkungan yang terjadi sebagai akibat globalisasi ekonomi dan kemudian mentautkannya dengan HAM khususnya hak asasi perempuan. Perspektif feminist legal theory dijadikan pisau analisis untuk memetakan sampai sejauhmana keberpihakan peraturan perundang-undangan di sektor lingkungan berpihak pada perempuan.

B.     PERMASALAHAN
Pada kajian ini, penulis akan menitik beratkan analisis  terkait kenadala yang di hadapi dalam penegakkan hukum lingkungan di Indonesia, dan mencari solusi solusi agar implementasi hukum lingkungan berjalan secara baik. Kajian ini akan berusaha menjawab dua pertanyaan sebagai berikut ini:
1.      Apa kendala yang dihadapi dalam implmentasi penerapan hukum lingkungan di Indonesia?
2.      Bagaimana solusinya supaya penegakkan hukum lingkungan di Indonesia berjalan dengan semestinya?

C.     HUKUM LINGKUNGAN
Hukum Lingkungan adalah merupakan disiplin ilmu hukum yang mempunyai ruang lingkup yang sangat komplek,artinya pengkajian hukum Lingkungan pendekatannya tidak cukup dilakukan melalui satu aspek hukum saja,melainkan dengan multi diplinner.Hukum Lingkungan dapat dimasukkan kedalam berbagai aspek hukum yang ada,sehingga Hukum Lingkungan tidak dapat dimasukkan kedalam salah satu bidang hukum berdasarkan pada pembagian hukum klasik yang ada. Sebagai Hukum yang multidisipliner, maka ada 3 aspek di dalam Hukum Lingkungan, yaitu : Aspek Perdata, Aspek Pidana dan aspek Administrasi.       
Pembahasan Hukum Lingkungan dimulai dengan sejarah perkembangannya yang dimulai dari Revolusi Industri 1899 dengan berbagai peraturan yang ada setelah lahirnya revolusi tersebut,yang dalam sejarahnya mempunyai andil yang sangat besar bagi perkembangan Hukum Lingkungan itu sendiri, yang kemudian dilanjutkan dengan sejarah perkembangan Hukum Lingkungan Regional yang berkembang cukup berarti, kemudian dilanjutkan dengan tonggak yang bersejarah di abad XX, yaitu dengan tercetusnya gagasan cemerlang dari masyarakat Internasional yang diprakasai oleh United Nations atas usul dari wakil swedia,yang duduk di dewan ECOSOC, yang kemudian diselenggarakan conferensi tentang Lingkungan Hidup yang kemudian dikenal dengan United nations Conference on The Human Environment 1972, yang kemudian dikenal DEKLARASI STOCKHOLM  1972.
Dalam hubungaannya dengan sejarah perkembangan hukum lingkungan maka secara khusus juga dibahas mengenai sejarah perkembangan Hukum Lingkungan Nasional yang dimulai dari ikut sertanya Indonsia di dalam Konferensi yang diselenggarakan oleh PBB,kemudian meraitifikasikannya kedalam peraturan perundang-undangan yang ada di negara tercinta,selain itu kita juga melihat peraturan yang ada sebelumnya, yaitu peraturan yang ada pada Zaman Hindia Belanda dan peraturan perundang-undangan yang ada pada masa pendudukan Jepang.
Hukum Lingkungan merupakan bidang ilmu yang masih muda, yang perkembangannya baru terjadi pada dua dasawarsaa akhir-akhir ini.Apabila dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur berbagai aspek lingkungan,maka panjang atau pendeknya sejarah tentang peraturan tersebut tergantung dari apa yang dipandang sebagai environmental concern.
Didalamnya juga akan di bahas juga adanya kaitan erat atau adanya hubungan yang erat antara Hukum Lingkungan  dengan Hukum Adminsitrasi Negara, terutama di dalam masalah Perizinan .Perizinan ini adalah merupakan bagian yang sangat  penting.



D.    BERBAGAI KENDALA YANG DIHADAPI DALAM IMPLEMENTASI HUKUM LINGKUNGAN
1.      ASPEK GLOBALISASI EKONOMI
Globalisasi  memperlihatkan 2 (dua) dimensi yakni, pertama dimensi ekonomi dan korporasi (economic and corporation globalization). Kedua, dimensi politik dan negara (political and state globalization).[5] Kedua dimensi tersebut nampak pada kebijakan yang diskenariokan dan didesain oleh  negara-negara maju yang tergabung dalam G 8[6] melalui 3 (tiga) mesin globalisasi yaitu, pertama lembaga keuangan internasional (International Financial Institutions/IFI’s),[7] kedua Organisasi Perdangangan Dunia (World Trade Organization/WTO), dan ketiga perusahaan multinasional (Multinational Corporation/MNC).[8]
Melalui mesin-mesin globalisasi di atas, negara-negara maju semakin memperkokoh hegemoni mereka untuk mengatur dan mengontrol sumber-sumber di dunia. Lewat tangan WTO mereka mengatur kebijakan perdagangan dunia.[9] Melalui lembaga keuangan multilateral, mereka dapat menentukan negara mana yang dapat menikmati kucuran uang.  Kemudian dengan meminjam kekuatan IMF, mereka menekan negara-negara untuk melakukan deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi.[10] 
Kemudian dampak dari investasi MNC yang mengakibatkan penderitaan pada masyarakat adat (indigenous people) dilakukan oleh Hitchock sebagaimna dipaparkan dalam tabel di bawah ini.[11]
Tabel 1 :
Proyek MNC yang menyebabkan dampak negatif bagi kesejahteraan masyarakat
Perubahan
Negara
Dampak

Ecuador oil development
(Petroequador, Maxus oil Co.)
Ecuador
Waorani dan masyarakat adat lainnya tergusur dari tanahnya, keanekaragaman hayati hilang, air terkena racun, da kerusakan lingkungan secara masif karena tumpahan minyak
Total, Unocal (Union Oil Company of California)
Burma
Terlibat dalam hak-hak buruh dan menggunakan budak
Royal dutch shell
Nigeria
Perusakan lingkungan, penindasan, perampasan milik rakyat ogoni, penangkapan dan penahanan dengan sewenang-wenang, dan menghukum mati aktivis lingkungan
Tanzania Wheat Project
Tanzania
Pemindahan secara paksa, pelecehan dan penahan, serta mengurangi akses
Borneo Logging (Mitshubishi)
Malaysia
Perusakan hutan, dan penindasan atas suku Punan dan masyarakat asli lainnya
Western Desert Mining (Rio Tinto Zinc)
Australia
Aborigin tergusur dari wilayah tradisionalnya, polusi dan perusakan sumber daya
Uranium Mining (Kerr-McGee)
New Mexico
Penambangan-penambangan Navajo menderita kanker dan penyakit lainnya, tetapi mendapat kompensasi dan bantuan sangat minimal
Agricultural Project (Swft Armour, King Ranch)
Brasil
Pembersihan hutan dan timbulnya konflik-konflik sosial
Proyek MNC yang m
Selain merusak lingkungan, korporasi global yang didukung oleh negara-negara maju dan kaya, WTO, kartel utang terutama IMF, Bank Dunia   sebagai mesin utama globalisasi dalam mengakumulasi kekayaan  dan  menghisap sumber daya negara-negara berkembang, operasi korporasi global tersebut  menyokong terjadinya pemiskinan yang semakin masif.[12]  Kecenderungannya kesenjangan sosial ekonomi antara negara maju dan negara miskin semakin memprihatinkan sepanjang 10 tahun terakhir. Data UNDP tahun 1999 menunjukkan bahwa jumlah orang miskin yang hidupnya kurang dari 1 dollar AS sehari meningkat dari 1,197 milyar pada tahun 1987 menjadi 1,214 milyar pada tahun 1997 atau sekitar 20% dari penduduk dunia. Dua puluh lima persennya lagi (sekitar 1,6 milyar) dari penduduk dunia bertahan hidup dengan 1-2 dollar AS setiap hari. Dampaknya setiap hari 11.000 anak mati kelaparan di seluruh dunia, sedangkan 200 juta anak menderita kekurangan gizi dan protein serta kalori (satu dari empat anak di dunia). Selain itu lebih dari 800 juta orang menderita kelaparan kronis di seluruh dunia dan kira-kira 70% dari mereka adalah perempuan dan anak.[13]
Di sisi lain, globalisasi menghasilkan pemusatan kekayaan di tangan segelintir orang. Tiga orang terkaya di dunia menguasai aset yang nilainya setara dengan milik 600 juta orang di 48 negara miskin. Saat ini pula seperlima penduduk di negeri-negeri paling menguasai 86 % produk domestik bruto dunia, 82% pasar ekspor dunia, dan 68 % penanaman modal langsung yang mana pelaku ekonominya didominasi oleh korporaso global.[14] Gejala ini menunjukkan bahwa kekuasaan korporasi kini telah menyaingi kekuasaan ekonomi-ekonomi negara-negara yang mana proses akumulasi kekayaan tersebut bukan terjadi secara alamiah tetapi berdasarkan suatu rancangan kebijakan politik-ekonomi yang kini dikenal sebagai neoliberalisme dan globalisasi kapitalis.[15] Demikian juga halnya dengan tata ruang kota yang hanya memfasilitasi kepentingan pemodal melalui pembangunan apartemen, mal, dan sentra-sentra bisnis lainnya melalui penggusuran hunian masyarakat miskin kota sebangun dengan kecenderungan terjadinya komodifikasi ruang-ruang publik sebagai nafas utama kapitalisme. 
        
2.      ASPEK KURANGNYA SOSIALIASI KEPADA MASYARAKAT TERKAIT HUKUM LINGKUNGAN
Jelas, penegakan hukum lingkungan ini pun jauh lebih rumit dari pada delik lain, karena seperti telah dikemukakan sebelumnya hukum lingkungan menempati titik silang berbagai pendapat hukum klasik. Proses penegakan hukum administratif akan lain dari pada proses penegakan hukum perdata maupuan hukum pidana.
Menurut Hamzah (2005:51) pada umumnya masalah dimulai pada satu titik, yaitu terjadinya pelanggaran hukum lingkungan. Dari titik perangkat ini dapat dimulai dari orang pribadi anggota masyarakat, korban penegak hukum yang mengetahui langsung terjadinya pelanggaran tanpa adanya laporan atau pengaduan. Tujuan tempat pelapor kepada Bapedal LSM atau organisasi lingkungan hidup jika ingin memilih jalan perdata terutama tuntutan perbuatan melanggar hukum dapat melakukan gugatan sendiri kepada hakim perdata atas nama masyarakat (algemen belang, maatschappelijk belang). Jika mereka kurang mampu memikul biaya perkara, berdasarkan Pasal 25 Keppres Nomor 55 tahun 1991, dapat meneruskan kepada jaksa yang akan menggugat perdata atas nama kepentingan umum atau kepentingan masyarakat. Di kejaksaan terdapat bidang khusus untuk ini, yaitu Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Hamzah, 2005:51).
Disamping itu, jika anggota masyarakat, korban, LSM, organisasi lingkungan hidup, bahkan siapa saja dapat membuat laporan pidana kepada polisi. Siapa pun juga mengetahui terjadinya kejahatan wajib melapor kepada penyidik. Dari kepolisian dapat diminta petunjuk jaksa secara teknis yuridis. Jalur ini jelas hukum pidana. Akan tetapi, jaksa masih dapat menyelesaikan berdasarkan azas oportunitas, baik dengan syarat maupun tanpa syarat. Jika semua jalur akan ditempuh berhubung pelanggaran telah demikian serius dan menyinggung semua dimensi, misalnya melanggar syarat-syarat suatu izin menimbulkan kerugian finansial kepada orang atau masyarakat, lagi pula ia seorang residiv bahkan telah menimbulkan korban luka atau mati, penegak hukum dan yang berkepentingan melakukan tugasnya. Agar sanksi yang dijatuhkan tidak tumpang tindih misalnya denda (berdasarkan sanksi administratif dan pidana) maka penegak hukum perlu bermusyawarah sehingga tindakan yang dilakukan masing-masing terkoordinasi dengan baik.

3.      ASPEK KENDALA DALAM PEMBUKTIAN
Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh bangsa Indonesia tidak hanya memberikan dampak positif, tetapi juga dampak negatif (misalnya terjadinya pencemaran). Produsen tidak memasukkan eksternalitas sebagai unsur biaya dalam kegiatannya, sehingga pihak lain yang dirugikan. Hal ini akan merupakan kendala pada era reformasi sekarang ini, karena kondisi ini berkaitan dengan perlindungan terhadap hak untuk menikmati lingkungan yang baik dan sehat. Masalah pencemaran ini jika tidak ditanggulangi akan mengancam kelestarian fungsi lingkungan hidup. Di sepanjang Kali Surabaya terdapat sekitar 70 industri yang punya andil membuang limbah ke badan sungai tersebut. Permasalahan ini menjadi semakin mendapat perhatian dengan dibangunnya instalasi Pengelolaan Air Minum (PAM) di wilayah Karang Pilang yang merupakan proyek peningkatan kapasitas pengelolaan air minum untuk mencukupi kebutuhan air minum di Surabaya atas bantuan Bank Dunia. Pada tahun1988, dua diantara 70 perusahan/industri yang diduga memberikan kontribusi pencemaran terhadap Kali Surabaya diajukan ke pengadilan. Kedua perusahaan ini adalah PT Sidomakmur yang memproduksi Tahu dan PT Sidomulyo sebagai perusahaan peternakan babi. Limbah dari kedua perusahaan ini dialirkan ke kali Surabaya, dan diperkirakan telah menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan hidup. Untuk dapat membuktikan bahwa suatu perbuatan telah menimbulkan pencemaran perlu penyidikan, penyidikan ini dilakukan oleh aparat POLRI. Untuk itu di samping diperlukan kemampuan dan keuletan setiap petugas, juga diperlukan suatu model yang dapat digunakan untuk menentukan apakah suatu perbuatan telah memenuhi unsur pasal (Pasal 22 UU No. 4 Tahun 1982), seperti halnya dengan kasus Kali Surabaya. Polisi (penyidik) dalam penyidikan berkesimpulan bahwa telah terjadi pencemaran karena kesengajaan, sehingga perkara ini diajukan ke Pengadilan Negeri Sidoardjo, tetapi hakim memutuskan bahwa tidak terjadi pencemaran. Sedangkan pada tingkat Mahkamah Agung menilai bahwa Hakim Pengadilan Negeri Sidoardjo salah menerapkan hukum, selanjutnya MA memutuskan bahwa perbuatan tersebut terbukti secara sah dan menyakinkan mencemari lingkungan hidup karena kelalaian. Perbedaan ini menunjukkan bahwa permasalahan lingkungan hidup merupakan permasalahan kompleks, rumit dalam segi pembuktian dan penerapan pasal, serta subyektifitas pengambil keputusan cukup tinggi, sehingga perlu suatu media untuk menyederhanakan, memudahkan dan meminimisasi unsur subyektifitas.

4.      ASPEK INFRASTRUKTUR PENEGAKAN HUKUM
Kesulitan utama yang kerap dinyatakan oleh pemerintah atau aparat penegak hukum dalam mengatasi pembakaran hutan adalah minimnya aparat pemantau, atau minimnya alat bukti. Dalam hal tertangkap tangan maka yang dijerat adalah para operator yang notabene adalah pekerja harian. Perusahaan selalu dapat lepas dari jeratan hukum. Kompleksitas masalah pembakaran hutan bukan tanpa jalan keluar. Negara harusnya memiliki power untuk mencabut izin operasi atau konsesi atas perusahaan yang di kawasannya terdapat titik api. Hanya ada dua kemungkinan jika terjadi kebakaran di dalam satu konsesi kehutnan atau perkebunan, yaitu mereka sengaja membakar atau mereka tidak serius menjaga kawsannya agar bebas dari kebakaran. Jika ada kekuasaan pemerintah seperti itu, maka dapat dipastikan angka pembakaran hutan akan turus secara drastis. Untuk itu diperlukan suatu aturan hukum berupa Peraturan Pemerintah atau Perpu, karena aturan hukum yang ada saat ini belumlah memadai.

5.      ASPEK BUDAYA HUKUM YANG MASIH BURUK
Pada beberapa kasus, kejahatan lingkungan terjadi karena masih kentalnya budaya korupsi, kolusi dan nepotisme antara perusahaan-perusahaan, pemerintah maupun DPR. Lobi-lobi illegal masih sering terjadi. Misalnya proyek pengadaan barang dan jasa di Lingkungan Bandan Lingkungan Hidup (BLH) Sidoarjo tahun anggaran 2008 lalu terdakwa bersekongkol dengan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Hasan Basri (Didakwa dengan kasus yang sama) memperkaya diri sendiri sehingga merugikan keuangan negara sebesar Rp 193 juta lebih. Kasus lainnya adalah dugaan korupsi penanaman pohon senilai Rp473,9 juta yang menggunakan dana APBD 2006, ke Pengadilan Negeri (PN) Depok. Kasus tersebut melibatkan Asep Suganda, yang saat ini menjabat sebagai Kabid Tata Bangunan, Dinas Tata Kota dan Bangunan (Distakotbang). Dikatakannya, tersangka Asep diduga menyelewengkan dana untuk penanaman 5.000 batang pohon di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung senilai Rp223,9 juta, serta Rp250 juta untuk penanaman 1.250 pohon di Taman Hutan Rakyat (Tahura). Memang bukanlah pekerjaan yang mudah untuk memberantas praktek KKN yang kerapkali terjadi, namun bukanlah tidak mungkin.

E.     ANALISIS IMPLEMENTASI HUKUM LINGKUNGAN DAN BERBAGAI KENDALA YANG DIHADAPI: STUDI KASUS DI INDONESIA
1.      ANALISIS KENDALA YANG DIHADAPI DALAM IMPLMENTASI PENERAPAN HUKUM LINGKUNGAN DI INDONESIA
Sebenarnya permasalahan lingkungan hidup bukan merupakan permasalahan baru, yang baru adalah kesadaran kita bahwa aktivitas manusia yang telah menimbulkan permasalahan lingkungan hidup ini beserta akibat-akibatnya. Bagi negara-negara maju, lingkungan hidup merupakan permasalahan yang sangat serius, karena akibat dari kemajuan perekonomian suatu negara itu sendiri. Tetapi lambat laun, negara-negara berkembang menyadari pula permasalahan lingkungan bukanlah monopoli negara-negara maju. Negara-negara berkembang juga memiliki permasalahan lingkungan hidup tersebut.
Pada tahun 1972, permasalahan lingkungan hidup mendapat perhatian luas dari berbagai bangsa, yaitu sejak dilaksanakannya Konferensi Stockholm. Dikatakan Emil Salim bahwa:”...........pada permulaan tahun tujuh puluhan ini dunia mulai sadar dan cemas akan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup sehingga mulai menanggapinya secara sungguh-sungguh sebagai masalah dunia. Dengan adanya Stockholm Declaration ini, perkembangan hukum lingkungan telah memperoleh dorongan kuat, baik pada taraf nasional, regional, bahkan taraf internasional. Keuntungan yang diperoleh adalah dengan tumbuhnya kesatuan pengertian dan bahasan antara para ahli hukum dengan menggunakan Stockholm Declaration ini sebagai referensi bersama. Dalam hal ini Indonesia juga baru memberikan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap masalah lingkungan hidup pada tahun tujuh puluhan, yaitu setelah dilaksanakannya Konferensi Stockholm tersebut. Hal-hal yang menyebabkan mengapa Indonesia merasa wajib menangani masalah-masalah lingkungan hidup adalah : a) Kesadaran bahwa Indonesia sudah menghadapi masalah lingkungan hidup yang cukup serius, b) Keperluan untuk mewariskan kepada generasi mendatang sumbersumberalam yang bisa diolah secara berkelanjutan dalam proses jangkapanjang dan untuk tujuan pembangunan yang sedang giat-giatnya kitalaksanakan pada saat ini, c) Sebab Idiil, Indonesia ingin membangun manusia Indonesia seutuhnya baik materiil maupun sprituil berdasarkan Pancasila yang memuat ciri-ciri keselarasan hubungan antar manusia, hubungan manusia dengan alam, dan hubungan manusia dengan Tuhan. Sebagian besar hukum Indonesia, baik berdasarkan peraturan perundang-undangan maupun keputusan hakim sebelum abad ke-20, ternyata tidaklah ditujukan untuk melindungi lingkungan hidup secara menyeluruh, akan tetapi hanya untuk berbagai aspek yang menjangka uruang lingkup yang sempit. Dengan dikeluarkannya UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup dan kemudian diganti menjadi UU. No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup maka merupakan tonggak bagi pengaturan lingkungan hidup yang menyeluruh untuke depannya. 
Sekarang UU No. 23 Tahun 1997 telah diperbaharui dengan UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam Undang-undang ini lebih rinci membahas tentang penanganan masalah pengelolaan lingkungan hidup. Undang-undang ini terdiri dari 17 Bab dan 127 pasal yang merupakan penyempurnaan Undang-undang sebelumnya yang hanya terdiri dari 11 bab dan 51 pasal. Sanksi pidana sebagai upaya dalam penegakan hukum diatur dalam bab XV mulai pasal 97 sampai dengan pasal 115.
Mewujudkan supremasi hukum melalui upaya penegakan hukum serta konsisten akan memberikan landasan kuat bagi terselenggaranya pembangunan baik dibidang ekonomi, politik, sosial budaya, pertahanan keamanan. Namun dalam kenyataan untuk mewujudkan supremasi hukum tersebut masih memerlukan proses dan waktu agar supremasi hukum dapat benar-benar memberikan implikasi yang menyeluruh terhadap perbaikan pembangunan nasional. Dalam hubungan dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, penegakan hukum dibidang lingkungan hidup dapat diklasifikasikan kedalam 3 (tiga) kategori yaitu : 1) Penegakan hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Administrasi / Tata Usaha Negara. 2) Penegakan Hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Perdata. 3) Penegakan Hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Pidana.
Upaya penegakan sanksi administrasi oleh pemerintah secara konsisten sesuai dengan kewenangan yang ada akan berdampak bagi penegakan hukum terutama dalam rangka menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup. Sehubungan dengan hal ini maka penegakan sanksi administrasi merupakan garda terdepan dalan penegakan hukum lingkungan (primum remedium). Jika sanksi administrasi dinilai tidak efektif barulah dipergunakan sarana sanksi pidana sebagai senjata pamungkas (ultimum remedium). Ini berarti bahwa kegiatan penegakan hukum pidana terhadap suatu tindak pidana lingkungan hidup baru dapat dimulai apabila aparat yang berwenang telah menjatuhkan sanksi administrasi dan telah menindak pelanggar dengan menjatuhkan suatu sanksi administrasi tesebut. Apabila ternyata tidak mampu menghentikan pelanggaran yang terjadi maka diupayakan penyelesaian sengketa melalui mekanisme altenatif di luar pengadilan dalam bentuk musyawarah / perdamaian / negoisasi / mediasi. Apabila upaya yang dilakukan menemui jalan buntu baru dapat digunakan instrumen penegakan hukum pidana lingkungan hidup. 
Pada dasarnya setiap kegiatan pembangunan akan menimbulkan perubahan yang bersifat positif ataupun negatif. Untuk mewujudkan pembangunan yang berwawasan lingkungan hidup maka perlu diusahakan peningkatan dampak positif dan mengurangi dampak negatif. Kewenangan pemerintah untuk mengatur merupakan suatu hal yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang. Dari sisi Hukum Administrasi Negara, kewenangan ini di sebut dengan kewenagan atribusi (Atributive bevoeghdheid), yaitu kewenangan yang melekat pada badan-badan pemerintah yang diperoleh dari Undang-Undang. Sehingga badan-badan pemerintah tersebut dengan demikian memilii kewenangan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 63 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009.
Dengan demikian, badan-badan pemerintah yang berwenang memiliki legitimasi (kewenangan bertindak dalam pengertian politik) untuk menjalankan kewenangan hukumnya. Karena masalah legitimasi adalah persoalan kewenangan yaitu kewenangan menerapkan sanksi seperti pengawasan dan pemberian sanksi yang merupakan suatu tugas pemerintah seperti yang diamanatkan oleh undang-undang. Sanksi administrasi merupakan kewenangan Menteri, Gubernur dan  Pemerintah Kabupaten/Kota.  Hal ini seperti tercantum dalam pasal 76 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang berbunyi :

“Menteri, gubernur atau bupati/walikota menerapka sangksi administrasi kepada penanggung jawab usaha dan/ataukegiatan jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap izin lingkungan”.

Sanksi administrasi yang dimaksud pada ayat 1 tersebut terdiri atas : 1). Teguran tertulis, 2). Paksaan pemerintah, 3), pembekuan izin lingkungan dan 4). Pencabutan izin lingkungan. Lebih lanjut dalam pasal 77 diterangkan bahwa :
“Menteri dapat menerapkan sanksi administrasi terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika Pemerintah menganggap Pemerintah Daerah secara sengaja tidak menerapkan sanksi administrasi terhadap pelanggaran yang serius dibidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan”.

Selanjutnya dalam bab XV diatur tentang ketentuan pidana bagi para pengusaha/badan usaha/orang yang dengan sengaja melakukan pencemaran dan merusak lingkungan. Namun semua aturan dan ketetntuannay akan sangat tergantung pada pelaksanaan dilapangan. Kerusakan lingkungan adalah pengaruh sampingan dari tindakan manusia untuk mencapai suatu tujuan yang mempunyai konsekuensi terhadap lingkungan. Pencemaran lingkungan adalah akibat dari ambiguitas tindakan manusia. Kewajiban pengusaha untuk melakukan pengendalian pencemaran lingkungan hidup adalah salah satu syarat dalam pemberian izin usaha maka pengusaha dapat dimintakan pertanggung jawaban jika lalai dalam menjalankan kewajibannya. 
Usaha menegakkan hukum lingkungan dewasa ini memang dihadapkan sejumlah kendala. Pertama, masih terdapat perbedaan persepsi antara aparatur penegak hukum dalam memahami dan memaknai peraturan perundang-undangan yang ada. Kedua, biaya untuk menangani penyelesaian kasus lingkungan hidup terbatas. Ketiga, membuktikan telah terjadi pencemaran atau perusakan lingkungan bukanlah pekerjaan mudah. Era reformasi dapat dipandang sebagai peluang yang kondusif untuk mencapai keberhasilan dalam penegakan hukum lingkungan.
Ke depan, perlu exit strategy sebagai solusi penting yang harus diambil oleh pemegang policy dalam penyelamatan fungsi lingkungan hidup. Pertama, mengintensifkan keterpaduan dan koordinasi antarsektor terkait dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Kedua, adanya sanksi yang memadai (enforceability) bagi perusahaan yang membandel dalam pengelolaan limbah sesuai dengan aturan yang berlaku. Jika ada indikasi tindak pidana, aparat penegak hukum dapat menindak tegas para pelaku/penanggung jawab kegiatan seperti diatur dalam Pasal 97-115 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Ketiga, adanya partisipasi publik, transparansi, dan demokratisasi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup patut ditingkatkan. Pengelolaan lingkungan hidup akan terkait tiga unsur, yaitu pemerintah, pengusaha, dan masyarakat. Pada gilirannya, dalam pengelolaan lingkungan hidup setiap orang mempunyai hak yang sama untuk menikmati lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Untuk itu, sudah saatnya penegakan hukum bagi setiap usaha dan aktivitas yang membebani lingkungan diintensifkan agar kelestarian fungsi lingkungan hidup bisa terjaga dengan baik. Persoalan lingkungan hidup bagi negara berkembang seperti Indonesia dilematis bagaikan buah simalakama. Di satu sisi terdapat tuntutan melaksanakan pembangunan yang berdampak terhadap lingkungan, di sisi lain harus melakukan upaya-upaya kelestarian lingkungan. Solusinya, dalam melaksanakan pembangunan praktis sekaligus meningkatkan mutu lingkungan.
Upaya memupuk disiplin lingkungan amat urgen dalam artian menaati aturan yang berlaku sebagai solusi dalam menangani problem lingkungan yang kian marak. Pada prinsipnya, setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian lingkungan hidup, mencegah, dan menanggulangi pencemaran serta perusakan lingkungan hidup.Karena itu, setiap kegiatan yang berakibat pada kerusakan lingkungan, seperti pencemaran lingkungan dan pembuangan zat berbahaya (B3) melebihi ambang batas baku mutu bisa dikategorikan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan hukum, sehingga dapat dikenai sanksi, baik sanksi administrasi, perdata, maupun pidana.
Hingga kini problem lingkungan terus menjadi isu yang selalu aktual dan belum tertanggulangi, terlebih di era reformasi yang tak luput pula dari tuntutan demokratisasi dan transparansi. Dalam rangka mengantisipasi kian meluasnya dampak kontraproduktif terhadap lingkungan khususnya akibat perkembangan dunia industri yang pesat maka penegakan hukum di bidang lingkungan hidup menjadi mutlak diperlukan. Segenap stakeholders harus mempunyai tekad untuk memelihara lingkungan dari kemerosotan fungsi yang senantiasa mengancam kehidupan masa kini dan masa mendatang. Dengan demikian, hukum lingkungan mempunyai peran yang sangat urgen dalam membantu mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Kendala-kendala dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia dapat dijelaskan sebagai berikut :
pertama, Kendala structural, Terdapat 2 hal utama yang mengganggu penegakan hukum, yaitu pertama, masih dominannya pemikiran di kalangan penentu kebijaksanaan yang mempertentangkan pembangunan dengan lingkungan. Belum sepenuhnya tercipta clean and good goverment, yang memustahilkan penegakan hukum lingkungan yang efektif. kedua, harmonisasi pembangunan dan lingkungan dalam format paradigma pembangunan berkelanjutan (sustinable development) yang tercermin dalam dokumen-dokumen internasional, kenegaraan, dan pemerintah kita seperti GBHN, Deklarasi Rio, Agenda 21 Global, dan Agenda 21 Nasional, belum dipahami benar oleh mayoritas pengambilan keputusan di tingkat pemerintah pusat maupun daerah.
Kedua,  Kendala yang ada di masyarakat, pengelolaan pengaduan masyarakat di bidang lingkungan, bagaimana pengaduan mayarakat yang membawa informasi tentang terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan pada kenyataannys justru si pelapor/pembawa informadi tersebut yang menjadi korban seperti pengalaman pahit yang menimpa korban pencemaran lingkungan di daerah Tenggunung, Surabaya, yang harus rela membayar hukuman denda Rp. 40.000.000,- (empat puluh juta), karena telah melaporkan sumurnya tercemar minyak dari pabrik di sebelah rumahnya. Dalam kasus tersebut si pelapor malah dituduh melakukan pelporan palsu  karena setelah diperiksa sumur terebut oleh polisi tidak diketemukan sumur skibst tercemari minyak sehingga perusahaan melakukan gugatan ke pelapor karena telah mencemarkan nama baik perusahaan dengan membuat laporan palsu.
Kenyataan sesungguhnya adalah bahwa sumur tersebut telah bersih ketika polisi datang karena korban sesuai dengan saran tim teknis KPPLH kepada korban untuk terus menerus mengebor sumurnya selama 1 minggu dan selah itu sumur tersebut terlihat bersih dari minyak barulah polisi datang memeriksa. Realitas ini membuktikan bahwa ketidakberdayaan korban pada akses teknologi lingkungan dan kontrol atas prosedur pelaporan lingkungan telah membuat dirinya menjadi korban berkelanjutan kerapuhan mekanisme penegakan hukum lingkungan itu sendiri.
Ketiga, Kendala di lapangan. Dalam proses penegakan hukum yang dilakukan oleh petugas yang terkait dengan lingkungan sering menemukan kesulitan-kesulitan yang dihadapi antar lain : 1) Sulit menangkap pelaku pencemaran karena dalam pembuktianya tidak sesederhana dalam kasus-kasus lain, dimana dalam kasus pencemaran limbah cair (air sungai) merupakan akibat kumulatif dari pembuagan limbah cair yag ada di aliran sungai, maka penerapan azas kausalitas akan memakan waktu, dan biasanya pelaku telah menghilangkan bukti-bukti pencemaran. 2) Pengambilan sample limbah dari suatu industri tidak mudah, kadangkala petugas harus membawa surat pengantar dari instansi petugas, sehingga perusahaan yang diduga melakukan pencemaran sudah melakukan pembersihan terhadap pencemaran pada saat petugas datang. 3) Pembuangan limbah cair, kadangkala dibarengi dengan kondisi alam seperti adanya banjir di aliran sungai, pada malam hari, dan membuat aliran pembuangan tersembunyi yang sulit diketahui oleh orang luar perusahaan. 4) Pembuangan limbah yang dilakukan secara tersembunyi dan kurangnya tenaga ahli di bidang lingkungan, dimana untuk DKI Jakarta hanya mempunyai 5 orang ahli. 5) Tertutupnya Area perusahaan dengan pagar tinggi atau bangunan besar dan merupakan area yang tidak mudah dimasuki oleh masyarakat atau petugas sekalipun, sehingga menyulitkan masyarakat ikut mengawasi pencemaran di lingkungan. 6) Urusan Ekonomi menjadi hal yang utama sehingga lingkungan dinomor duakan oleh para pengusaha. 7) Tidak semua pimpinan perusahaan sampai tingkat manager atau pemilik mempunyai Visi dalam pengelolaan lingkungan sehingga pengelolaan limbah hanya merupakan pemborosan biaya. 8) Pemahaman Hakim dalam suatu sengketa lingkungan dimana bila hakim mengetahui bahwa dalam terjadinya pencemaran lingkungan tersebut, belum ada pembinaan dari instansi terkait, maka kasus pencemaran limbah cair dikembalikan. (tidak dapat dilanjutkan). 9) Hanya limbah B3 saja yang sering atau pernah masuk dalam peradilan, sedangkan kasus limbah cair sering kali diselesaikan dalam jalur sanksi administrasi (penutupan saluran pembuangan, dan selanjutnya).

2.      ANALISIS TENTANG SOLUSI SUPAYA PENEGAKKAN HUKUM LINGKUNGAN DI INDONESIA BERJALAN DENGAN SEMESTINYA
Sumber daya alam dan lingkungan tidak pernah lepas dari berbagai kepentingan seperti kepentingan Negara, kepentingan pemilik modal, kepentingan rakyat maupun kepentingan lingkungan itu sendiri. Penempatan kepentingan itu selalu menempatkan pihak masyarakat sebagai pihak yang dikalahkan. Terbatasnya akses masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam, dan tidak seimbangnya posisi tawar masyarakat merupakan contoh klasik dalam kasus-kasus konflik kepentingan tersebut. 
Masalah lingkungan tidak selesai dengan pemberlakuan Undang-Undang dan komitmen untuk melaksanakannya. Penetapan suatu Undang-Undang yang mengandung instrumen hukum masih harus diuji dalam pelaksanaannya (uitvoering atau implementation) sebagai bagian dari mata rantai pengaturan (regulatory chain) pengelolaan lingkungan. Dalam merumuskan kebijakan lingkungan, Pemerintah lazimnya menetapkan tujuan yang hendak dicapai. 
Pembangunan yang dilakukan dengan menggali dan mengekslorasi sumber daya alam sering kali tanpa memperdulikan masalah lingkungan, sehingga menyebabkan memburuknya kondisi lingkungan dan menimbulkan berbagai masalah. Pepohonan di hutan ditebang tanpa ada upaya menanam kembali, sumber daya mineral digali dan diserap sementara limbah pertambangannya yang mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3) dibuang sesukanya, penangkapan ikan dengan cara meracuni atau sistem peledakan, sampah-sampah dibuang didaerah aliran air dan sebagainya. Dengan kenyaataan seperti tersebut diatas banyak orang bertanya : Indonesia telah memiliki perangkat hukum, namun kenapa hukum tersebut tidak dapat mencegah kerusakan dan pencemaran lingkungan. Singkatnya, apakah hukum lingkungan di Indonesia telah efektif ditegakan? Bila membicarakan efektivitas hukum lingkungan berarti membicarakan daya kerja hukum lingkungan itu dalam mengatur dan/ atau memaksa masyarakat untuk taat terhadap hukum lingkungan. Hukum dapat efektif jikalau faktor-faktor yang mempengaruhi hukum tersebut dapat berfungsi dengan sebaik-baiknya. Faktor-faktor tersebut adalah (1) kaidah hukum/ peraturan itu sendiri; (2) petugas/ penegak hukum; (3) sarana atau fasilitas yang digunakan oleh penegak hukum; (4) kesadaran masyarakat. Hal itu akan diuraikan secara berturut-turut sebagai berikut :
Pertama, Kaidah Hukum. Sebagai negara hukum, keberadaan kaidah hukum dalam berbagai bentuk peraturan di Indonesia adalah hal yang sudah semestinya ada. Keberlakuan hukum lingkungan di wilayah Indonesia memiliki sejarah yang panjang. Hukum lingkungan tidak hanya terbentuk pada era Kemerdekaan saja melainkan telah ada sejak zaman Hindia Belanda dan Jepang. Hukum lingkungan yang dibuat oleh para regulator bertujuan agar lingkungan dapat dikelola dengan baik sehingga pemanfaatan dan kelestarian lingkungan dapat diupayakan semaksimal mungkin. Umumnya kaidah hukum lingkungan di Indonesia mencakup 4 (empat) bidang besar, yaitu: 1) Hukum Penataan Ruang (termasuk pengendalian penggunaan tanah dan sumber-sumber daya lingkungan). 2) Hukum Konservasi (hayati, non hayati, buatan, termasuk benda cagar budaya). 3) Hukum Kependudukan (termasuk kebutuhan sumber daya manusia). 4) Hukum Pencemaran Lingkungan (dalam kaitannya dengan pencegahan dan penanggulangan pencemaran). Dengan adanya kaidah hukum tersebut, diharapkan dapat menjadi dasar bagi negara dan masyarakat berpartisipasi secara maksimal dalam melestarikan lingkungan hidup di Indonesia.
Kedua,     Petugas/ Penegak Hukum. Di Indonesia, keberadaan dan fungsi penegak hukum atau orang yang bertugas menerapkan hukum mendapat sorotan yang luas dari masyarakat. Masyarakat banyak menganggap penegak hukum tidak menerapkan hukum sesuai dengan aturannya, tidak transparan, bersifat pilih kasih, dan ini yang lebih parah penegak hukum dianggap sebagai aktor penunjang pengrusakan lingkungan hidup. Berbagai kasus lingkungan yang berdampak besar bagi kerusakan lingkungan diduga ‘dibeking’ oleh aparat penegak hukum. Berbagai contoh kasus tersebut adalah: 1) Sering terjadi kasus penambangan liar di suatu wilayah yang dijaga oleh aparat keamanan, padahal patut diduga pertambangan liar tersebut tanpa memiliki ijin Amdal dan ijin pertambangan lainnya yang terkait. 2) Pelaku “illegal logging’ yang kerap mendapat perlakuan istimewa dari aparat hukum, sampai-sampai aparat hukum membantu mencari cara bagaimana pelaku illegal logging tersebut dapat dihukum seringan-ringannya atau bahkan bebas dari jerat hukum. Hal ini dapat menjadi preseden buruk penegakan hukum lingkungan di Indonesia, padahal adanya ketentuan pidana yang diberlakukan diharapkan dapat memberikan efek jera kepada pelaku pengrusakan lingkungan. Dengan hukuman yang ringan mustahil pelaku illegal logging atau pelaku perusak lingkungan lainnya merasakan jera atas perbuatannya. 3) Kasus-kasus pengrusakan lingkungan ditangani oleh aparat secara tidak profesional dan tidak proporsional, misalnya kasus Lapindo yang menurut penulis lebih menitikberatkan pada sisi keperdartaannya saja yaitu adanya ganti rugi kepada pemilik lahan yang terkena lumpur panas, namun sisi hukum lainnya yang juga penting diabaikan misalnya sampai saat ini hukum pidana lingkungan yang harus diterapkan tidak dilaksanakan secara maksimal. Memang ada juga prestasi dari penegak hukum dalam lingkungan hidup yang patut mendapat pujian dari masyarakat, namun hal tersebut tidak sebanding dengan perlakuan penegak hukum yang tidak menegakan hukum lingkungan secara benar dan konsekuen. Kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas penegak hukum rendah maka akan ada masalah. Demikan pula sebaliknya, apabila peraturannya buruk, sedangkan kualitas petugasnya baik, mungkin pula timbul masalah-masalah.
Ketiga, Sarana/ Fasilitas. Fasilitas atau sarana amat penting untuk mengefektifkan suatu aturan tertentu. Ruang lingkup sarana dimaksud, terutama sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung. Misalnya, bila tidak ada kertas dan karbon yang cukup serta mesin tik yang cukup baik, bagiamana petugas dapat membuat berita acara mengenai suatu kejahatan. Bagaimana polisi dapat mengejar pelaku pengrusakan dan pencemaran lingkungan apabila tidak dilengkapi dengan kendaraan pengejaran yang canggih dan alat-alat komunikasi yang proporsional. Kalau peralatan dimaksud sudah ada, faktor-faktor pemeliharaannya juga memegang peran yang sangat penting. Memang sering terjadi bahwa suatu peraturan sudah difungsikan, padahal fasilitasnya belum tersedia lengkap. Peraturan yang semula bertujuan untuk memperlancar proses tetapi justru mengakibatkan terjadinya kemacetan. Mungkin ada baiknya, ketika hendak menerapkan suatu peraturan secara resmi ataupun memberikan tugas kepada petugas, dipikirkan mengenai fasilitas-fasilitas yang berpatokan pada: (1) apa yang sudah ada, dipelihara terus agar setiap saat berfungsi; (2) apa yang belum ada, perlu diadakan dengan memperhitungkan jangka waktu pengadaannya; (3) apa yang kurang, perlu dilengkapi; (4) apa yang telah srusak, diperbaiki atau diganti; (5) apa yang macet, dilancarkan; (6) apa yang telah mundur, ditingkatkan.
Keempat,  Warga Masyarakat. Salah satu faktor yang mengefektifkan suatu peraturan adalah warga masyarakat. Yang dimaksud di sini adalah kesadarannya untuk mematuhi suatu peraturan perundang-undangan. Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa derajat kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan. Sebagai contoh dapat diungkapkan sebagai berikut : 1) Apabila derajat kepatuhan terhadap peraturan ‘larangan merokok pada tempat umum’ adalah tinggi maka peraturan ‘larangan merokok pada tempat umum” dimaksud, pasti akan berfungsi sehingga polusi udara yang berdampak pada kesehatan masyarakat dapat dikurangi. Jikalau aturan ini ditaati secara tinggi maka tidak akan ada orang merokok di ‘non-smoking area’ melainkan di ‘smoking area’ (fasilitas perokok disediakan). 2) Apabila derajat kepatuhan rendah maka peraturan perihal larangan membuang sampah sembarangan yang disertai ancaman sanksi denda uang maupun hukuman kurungan, tidak akan berlaku secara efektif. Akibatnya lingkungan menjadi kotor, semrawut bahkan pada musim hujan menumpuknya sampah tidak pada tempatnya akan menimbulkan bencana banjir.
Upaya untuk menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat dalam pelestarian lingkungan dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu : Pertama, meningkatkan program sosialisasi dari tingkat pusat sampai ke desa-desa, khususnya berkaitan dengan hak dan kewajiban serta berbagai permasalahan riil yang dihadapi oleh masyarakat, seperti prosedur AMDAL, perizinan dan dampak positif dan negatif apabila prosedur tersebut tidak dilakukan. Kedua, meningkatkan kesadaran hukum (mental) semua pihak. Ke, menindak tegas oknum pemerintah/aparat yang menyalahgunakan wewenangnya dan menindak tegas pelaku perusakan/pencemaran lingkungan tanpa tebang pilih sehingga masyarakat percaya dengan upaya penegakan hukum lingkungan. Keempat, memangkas proses birokrasi yang panjang dan berbelit-belit. Kelima, semakin meningkatkan kualitas dalam pemberian penghargaan dibidang lingkungan, khususnya kriteria penilaian dengan memasukkan kriteria pembangunan berwawasan lingkungan, baik ditingkat nasional maupun di daerah-daerah. Keenam, menghindari penggunaan sarana hukum pidana dalam penegakan hukum lingkungan yang masih dapat menggunakan sarana hukum lain yang lebih efektif. Contohnya Perda tentang pembuangan sampah disembarang tempat dengan sanksi pidana kurungan dan denda yang tinggi yang ternyata tidak efektif. Tumbuhnya kesadaran hukum lingkungan diharapkan dapat mendukung terwujudnya slogan "Pembangunan Berwawasan Lingkungan" menjadi kenyataan dan tidak hanya sekedar menjadikannya sebagai visi dan misi pembangunan saja.

F.      PENUTUP
Pada akhir penulisan makalah ini, penulis akan menyajikan kesimpulan sebagai berikut dibawah:
KESIMPULAN
1.      Kendala yang dihadapi dalam implmentasi penerapan hukum lingkungan di Indonesia antara lain karena globalisasi ekonomi, kurang sosialisasi kepada masyarakat terkait hukum lingkungan, kendala dalam pembuktian, infrastruktur dalam penegakkan hukum yang masih belum memadai, dan adanya budaya hukum yang masih buruk.
2.      Solusinya supaya penegakkan hukum lingkungan di Indonesia berjalan dengan semestinya maka penegakkan hukum lingkungan dapat dilakukan dengan pemberian sanksi perdata, atau yang berupa sanksi administrasi. Sanksi administrasi, penyelesaian masalah lingkungan diluar pengadilan bahkan sanksi pidana telah diatur dalam UU No. 32 Tahun 2009 terhadap penanggung jawab usaha dan /atau kegiatan untuk mencegah dan mengakhiri terjadinya pelanggaran, serta menanggulangi akibat yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran, melakukan tindakan penyelamatan, penanggulangan, dan /atau pemulihan atas beban biaya penanggung jawab usaha dan /atau kegiatan kecuali ditentukan lain berdasarkan Undang-Undang. 
 
SARAN SARAN
1.      Pemerintah harus melakukan langkah langkah terukur untuk menghadapi globalisasi ekonomi, kurang sosialisasi kepada masyarakat terkait hukum lingkungan, kendala dalam pembuktian, infrastruktur dalam penegakkan hukum yang masih belum memadai, dan adanya budaya hukum yang masih buruk, agar mampu memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhan tersebut diatas sehingga implementasi penegakkan hokum terealisir dengan baik.
2.      Pemerintah harus melakukan aksi nyata terkait penegakkan hukum lingkungan dengan pemberian sanksi yang berupa sanksi administrasi, sanksi perdata ataupun sanksi pidana guna ,mencegah tindakan serupa yang merugikan bangsa, Negara dan masyarakat secara luas.

DAFTAR PUSTAKA
Arimbi Heroepoetri dalam Fabby Tumiwa, Listrik yang Menyengat Rakyat : Menggugat Peranan Bank-Bank Pembangunan Multilarel, Jakarta, WGPSR, 2002.
Hadjon, Philipus, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Yogyakarta, UGM Press. 1998.
Ifdhal Kasim, Hak atas Lingkungan Hidup dan Tanggung Gugat Korporasi Internasional, SUAR, Volume 5 No. 10 & 11 Tahun 2004.
Kartawinata, Bentuk-bentuk Eksploitasi Sumber daya ALam. Laporan Peneloitian BPTP-DAS Surakarta. 1990
Kementrian Lingkungan Hidup RI, HImpunan Peraturan Perundang-Undangan Lingkungan Hidup. Jakarta, 2002
Konspirasi Global : Kejahatan yang Terorganisir dalam Aflina Mustafainah, et. al. Manual Pendidikan Dasar Globalisasi, Jakarta, debtWATCH Indonesia, JK-LPK, dan Community Development Bethesda, 2004.
M. Ridha Saleh, Ecoside : Politik Kejahatan lingkungan dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia, Jakarta, Walhi, 2005.
Meentje Simatauw, Leonard Simanjuntak, Pantoro Tri Kuswardono, Gender & Pengelolaan Sumber Daya Alam : Sebuah Panduan Analisis, Yayasan PIKUL, 2001.
Nabil Makarim, Sambutan Dalam Seminar Pemikiran Perubahan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jakarta, 2003.
nyu “Menuju Forum Sosial Indonesia dalam Bukan Sekedar Anti-Globalisasi”, Jakarta, IGJ dan Walhi, 2005.
Siti Sundari Rangkuti, Instrumen Hukum Pengelolaan Lingkungan Hidup, Seminar Pemikiran Perubahan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jakarta. 2003.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.


[1]Meentje Simatauw, Leonard Simanjuntak, Pantoro Tri Kuswardono, Gender & Pengelolaan Sumber Daya Alam : Sebuah Panduan Analisis, Yayasan PIKUL, 2001, hal. 1
[2] Ibid, hal. 33
[3] Saat Freeport belum masuk, perempuan asli mungkin sekali tidak merasakan beban kehidupan yang berat. Namun ketika Freeport masuk, dampak yang dirasakan oleh perempuan lebih berat dibandingkan dengan laki-laki. Pembedaan secara tradisional ternyata menimbulkan kesengsaraan bagi peempuan saat terjadi perubahan.  Karena perempuan harus mengurus makan keluarga maka kerja perempuan menjadi lebih berat saat lingkungan rusak oleh pertambangan. Lihat ibid, hal. 12
[4] Economic, Social, and Cultural Committee United Nations  memasukan perempuan dan anak-anak sebagai kelompok rentan dan tidak beruntung
[5] M. Ridha Saleh, Ecoside : Politik Kejahatan lingkungan dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia, Jakarta, Walhi, 2005, hal. 50
[6] Negara-negara yang tergabung dalam G 8 terdiri dari Amerika Serikat, Kanada, Itali, Perancis, Inggris, Jerman, Rusia, dan Jepang .
[7] Lembaga Keuangan Internasional yakni : Bank Dunia (WB), Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Pembangunan Asia (ADB), Bank Pembangunan Afrika (AfDB), Bank Pembangunan Eropa (EBRD), Bank Pembangunan antar Amerika (IADB), dan Bank Pembangunan Islam (IDB).
[8] Selain melalui institusi-institusi tersebut, negara-negara maju dengan menciptakan lembaga keuangan untuk mendukung investasi mereka di luar negeri. Lembaga ini umumnya disebut sebagai Lembga Kredit Ekspor (Export Credit Agencies/ECA) seperti JBIC (Jepang), Exim Bank (AS), EDC (Kanada), Hermes Jerman). Kemudian mereka juga menciptakan lembaga penjamin yang ditujukan untuk menjamin investasi atas aset-aset negara tersebut di luar negeri, misalnya OPIC (AS). Lihat Konspirasi Global : Kejahatan yang Terorganisir dalam Aflina Mustafainah, et. al. Manual Pendidikan Dasar Globalisasi, Jakarta, debtWATCH Indonesia, JK-LPK, dan Community Development Bethesda, 2004, hal. 14
[9] Salah satu aspek yang diatur oleh WTO adalah perdagangan yang terkait dengan Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI)/Trade Related Aspect of Intelectual Property Rights (TRIPs). TRIPs merupakan instrumen hukum internasional untuk melindungi  kekayaan intelektual dan penemuan termasuk makhluk hidup yang salah satunya adalah benih atau varietas pertanian. Dengan hak paten atas mahkluk hidup, seseorang atau suatu lembaga memiliki hak sepenuhnya untuk memanfaatkan atau menjual jenis atau varietas yang telah dipatenkan. Bila orang lain ingin memanfaatkan atau menjual jenis atau varietas yang sama mereka harus membayar pada pemilik paten. Implikasinya para petani dan masyarakat adat tidak dapat lagi menjalankan aktivitas seperti menyimpan benih, mempertukarkan,  menanam, dan menjual tanpa seijin pemilik paten.  Lihat Posisi Koalisi Ornop terhadap WTO dalam Meentje Simatauw, Leonard Simanjuntak, Pantoro Tri Kuswardono, op. cit, hal. 38
[10]  Aflina Mustafainah et. al, loc. cit. Kebijakan yang  dikembangkan oleh lembaga keuangan multilateral selalu mengarah kepada privatisasi (yang selalu didahului oleh restrukturisasi) dan liberalisasi lewat mesin mereka : pinjaman (loan). Setiap pinjaman  yang diberikan kepada negara-negara debitor selalu disertai syarat-syarat (conditionalities) yang lebih dikenal sebagai Program Penyesuaian Struktural (Structural Adjusment Program/SAP). Fungsi utama SAP adalah untuk meromabk sistem lama disuatu negara agar sesuai dengan mekanisme pasar bebas murni yang diusung oleh aliran neoliberalisme. Lihat Arimbi Heroepoetri dalam Fabby Tumiwa, Listrik yang Menyengat Rakyat : Menggugat Peranan Bank-Bank Pembangunan Multilarel, Jakarta, WGPSR, 2002, hal. Xii.  Berdasarkan kesepakatan dengan IMF, Indonesia akan membuka keran impor beras dengan bea masuk 0% pada bulan Agustus 2002.  Artinya beras dari luar akan membanjiri pasar eras di Indonesia dengan harga murah. Harga beras di pasar dunia pada tahun 2000 berkisar 1500 rupaiah sementara harga beras lokal berkisar antara 2000 hingga 3000 rupiah perkila gram. Lihat Meentje Simatauw, Leonard Simanjuntak, Pantoro Tri Kuswardono, ibid. hal 34
[11] Ifdhal Kasim, Hak atas Lingkungan Hidup dan Tanggung Gugat Korporasi Internasional, SUAR, Volume 5 No. 10 & 11 Tahun 2004, hal. 24
[12] Kemiskinan merupakan suatu kondisi yang menghambat terpenuhinya hak atas lingkungan yang sehat. Permasalahan pemenuhan atas hak lingkungan juga terkait dengan hak atas permukiman yang layak (right to adequate housing) dan akses terhadap layanan air bersih. Rakyat yang hidup dalam kondisi miskin justru sulit untuk memperoleh kedua penikmatan atas hak ini.
[13] Menuju Forum Sosial Indonesia dalam Bukan Sekedar Anti-Globalisasi, Amalia Pulungan dan Roysepta Abimanyu, Jakarta, IGJ dan Walhi, 2005, hal.169-170
[14] Dari 100 pelaku ekonomi terbesar di dunia, 52 di antaranya adalah korporasi global. Gabungan pendapatan Mitsubishi, General Motor, dan Ford Motor lebih besar dibandingkan gabungan Denmark, Thailand, Turki, Afrika Selatan, Arab Saudi, Norwegia, Finlandia, Malaysia, Chili, dan Selandia Baru. ibid
[15] Ibid,

Comments

Popular posts from this blog

HADITS-HADITS AHKAM TENTANG JUAL BELI (SALE AND PURCHASE)

SHUNDUQ HIFZI IDA’ (SAFE DEPOSIT BOX) BANK SYARI’AH

STUDI TENTANG PEMIKIRAN IMAM AL-SYAUKANI DALAM KITAB IRSYAD AL-FUHUL