HUKUM LINGKUNGAN
ANALISIS IMPLEMENTASI HUKUM LINGKUNGAN DAN BERBAGAI
KENDALA YANG DIHADAPI: STUDI KASUS DI INDONESIA
OLEH
NUR MOKLIS
A. PENDAHULUAN
Hukum Lingkungan adalah merupakan satu bidang
ilmu yang relatif baru berkembang,di Universitas Narotama Mata Kuliah Hukum
Lingkungan ini baru diberikan pada Tahun l995/ l996. Hukum lingkungan merupakan
bidang Study yang terus berkembang,yang mengkuti perkembangan masyarakat dan
obyek yang dipelajaripun mengalami perubahan dari waktu ke waktu, baik dalam
scope Nasional,Regional maupun Global, dan semua itu menuntut pembaharuan di
dalam berbagai peraturannya yang tentunya semakin rumit. Disamping itu materi
Hukum Lingkungan merupakan disiplin ilmu yang menarik,meskipun baru, dan sangat
penting sekali, mengingat perananya dalam mengantisipasi kemungkinan terjadinya
kerusakan dan pencemaran lingkungan yang semakin parah.
Wilayah hidup rakyat
di berbagai kampung di Indonesia telah dan sedang mengalami perusakan yang mengancam
keselamatan dan kesejahteraan rakyat yang hidup di dalamnya. Ribuan bentuk
perusakan dari yang paling halus hingga paling kasat mata terus menerus
mengancam dan menggerogoti wilayah-wilayah hidup rakyat, lahan pertanian,
hutan, lahan peternakan, termasuk meminggirkan cara rakyat bertahan hidup yang
telah lama ada.[1]
Kondisi serupa juga dialami oleh rakyat miskin kota, penggusuran hunian sudah
jamak terjadi di berbagai kota besar di Indonesia. Gejala penggusuran yang
semakin massif akhir-akhir ini merupakan indikasi betapa tata ruang kota
sebagai salah satu aspek dari tata
lingkungan yang bersifat makro tidak mengakomodasi hak rakyat yang bersifat
mendasar.
Setidaknya ada 3
(tiga) jenis perusak lingkungan yang hadir di dunia dan mengancam keselamatan
dan kesejahteraan masyarakat lokal di negara-negara berkembang. Pertama, adalah industri pertanian
global, kedua, industri pertambangan,
dan ketiga, adalah industri
kehutanan.[2] Dalam konteks tata ruang
kota, gejala transformasi ruang publik menjadi ruang privat merefleksikan
komodifikasi ruang hidup dan ruang sosial yang cenderung memarjinalkan dan
mengorbankan rakyat miskin kota.
Manakala suatu
komunitas dimarjinalkan dari wilayah hidup, kita harus melihat bahwa di dalam
komunitas-komunitas tersebut terdapat kelompok-kelompok dan golongan-golongan
yang mengalami penderitaan yang lebih dibandingkan dengan
kelompok-kelompok dan golongan-golongan
yang lain. Realita menunjukkan bahwa dalam kasus-kasus kerusakan lingkungan,
perempuan dan anak-anak menjadi kelompok dan golongan yang lebih berisiko dan
berpotensi mengalami penderitaan lebih
dibandingkan dengan kelompok dan golongan yang lain.[3] Kelompok dan golongan
tersebut lebih rentan menjadi korban karena secara tradisional mereka telah
menjadi sasaran proses dan perlakuan
diskriminasi. Doktrin hukum Hak Asasi Manusia (HAM) mengkategorisasikan kelompok dan golongan ini dengan sebutan
kelompok rentan dan tidak beruntung (vulnerable
and disadvantage groups).[4]
Tulisan ini mencoba
mendeskripsikan perempuan sebagai korban atas kerusakan lingkungan yang terjadi
sebagai akibat globalisasi ekonomi dan kemudian mentautkannya dengan HAM
khususnya hak asasi perempuan. Perspektif feminist legal theory dijadikan pisau
analisis untuk memetakan sampai sejauhmana keberpihakan peraturan
perundang-undangan di sektor lingkungan berpihak pada perempuan.
B. PERMASALAHAN
Pada kajian ini,
penulis akan menitik beratkan analisis
terkait kenadala yang di hadapi dalam penegakkan hukum lingkungan di
Indonesia, dan mencari solusi solusi agar implementasi hukum lingkungan
berjalan secara baik. Kajian ini akan berusaha menjawab dua pertanyaan sebagai
berikut ini:
1. Apa kendala yang dihadapi dalam implmentasi
penerapan hukum lingkungan di Indonesia?
2. Bagaimana solusinya supaya penegakkan hukum
lingkungan di Indonesia berjalan dengan semestinya?
C. HUKUM LINGKUNGAN
Hukum Lingkungan adalah merupakan disiplin ilmu
hukum yang mempunyai ruang lingkup yang sangat komplek,artinya pengkajian hukum
Lingkungan pendekatannya tidak cukup dilakukan melalui satu aspek hukum
saja,melainkan dengan multi diplinner.Hukum Lingkungan dapat dimasukkan kedalam
berbagai aspek hukum yang ada,sehingga Hukum Lingkungan tidak dapat dimasukkan
kedalam salah satu bidang hukum berdasarkan pada pembagian hukum klasik yang
ada. Sebagai Hukum yang multidisipliner, maka ada 3 aspek di dalam Hukum
Lingkungan, yaitu : Aspek Perdata, Aspek Pidana dan aspek Administrasi.
Pembahasan Hukum Lingkungan dimulai dengan
sejarah perkembangannya yang dimulai dari Revolusi Industri 1899 dengan
berbagai peraturan yang ada setelah lahirnya revolusi tersebut,yang dalam
sejarahnya mempunyai andil yang sangat besar bagi perkembangan Hukum Lingkungan
itu sendiri, yang kemudian dilanjutkan dengan sejarah perkembangan Hukum
Lingkungan Regional yang berkembang cukup berarti, kemudian dilanjutkan dengan
tonggak yang bersejarah di abad XX, yaitu dengan tercetusnya gagasan cemerlang
dari masyarakat Internasional yang diprakasai oleh United Nations atas usul
dari wakil swedia,yang duduk di dewan ECOSOC, yang kemudian diselenggarakan
conferensi tentang Lingkungan Hidup yang kemudian dikenal dengan United nations
Conference on The Human Environment 1972, yang kemudian dikenal DEKLARASI
STOCKHOLM 1972.
Dalam hubungaannya dengan sejarah perkembangan
hukum lingkungan maka secara khusus juga dibahas mengenai sejarah perkembangan
Hukum Lingkungan Nasional yang dimulai dari ikut sertanya Indonsia di dalam
Konferensi yang diselenggarakan oleh PBB,kemudian meraitifikasikannya kedalam
peraturan perundang-undangan yang ada di negara tercinta,selain itu kita juga
melihat peraturan yang ada sebelumnya, yaitu peraturan yang ada pada Zaman
Hindia Belanda dan peraturan perundang-undangan yang ada pada masa pendudukan
Jepang.
Hukum Lingkungan merupakan bidang ilmu yang
masih muda, yang perkembangannya baru terjadi pada dua dasawarsaa akhir-akhir
ini.Apabila dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur
berbagai aspek lingkungan,maka panjang atau pendeknya sejarah tentang peraturan
tersebut tergantung dari apa yang dipandang sebagai environmental concern.
Didalamnya juga akan di bahas juga adanya
kaitan erat atau adanya hubungan yang erat antara Hukum Lingkungan dengan Hukum Adminsitrasi Negara, terutama di
dalam masalah Perizinan .Perizinan ini adalah merupakan bagian yang sangat penting.
D. BERBAGAI KENDALA YANG DIHADAPI DALAM IMPLEMENTASI
HUKUM LINGKUNGAN
1. ASPEK GLOBALISASI EKONOMI
Globalisasi memperlihatkan 2 (dua) dimensi yakni, pertama dimensi ekonomi dan korporasi (economic and corporation globalization).
Kedua, dimensi politik dan negara (political and state globalization).[5]
Kedua dimensi tersebut nampak pada kebijakan yang diskenariokan dan
didesain oleh negara-negara maju yang
tergabung dalam G 8[6]
melalui 3 (tiga) mesin globalisasi yaitu, pertama
lembaga keuangan internasional (International
Financial Institutions/IFI’s),[7]
kedua Organisasi Perdangangan Dunia (World
Trade Organization/WTO), dan ketiga perusahaan
multinasional (Multinational
Corporation/MNC).[8]
Melalui mesin-mesin
globalisasi di atas, negara-negara maju semakin memperkokoh hegemoni mereka
untuk mengatur dan mengontrol sumber-sumber di dunia. Lewat tangan WTO mereka
mengatur kebijakan perdagangan dunia.[9] Melalui lembaga keuangan
multilateral, mereka dapat menentukan negara mana yang dapat menikmati kucuran
uang. Kemudian dengan meminjam kekuatan
IMF, mereka menekan negara-negara untuk melakukan deregulasi, privatisasi, dan
liberalisasi.[10]
Kemudian dampak dari
investasi MNC yang mengakibatkan penderitaan pada masyarakat adat (indigenous people) dilakukan oleh
Hitchock sebagaimna dipaparkan dalam tabel di bawah ini.[11]
Tabel 1 :
Proyek MNC yang
menyebabkan dampak negatif bagi kesejahteraan masyarakat
Perubahan
|
Negara
|
Dampak
|
Ecuador oil development
(Petroequador, Maxus oil Co.)
|
Ecuador
|
Waorani dan
masyarakat adat lainnya tergusur dari tanahnya, keanekaragaman hayati hilang,
air terkena racun, da kerusakan lingkungan secara masif karena tumpahan
minyak
|
Total, Unocal (Union Oil Company of California)
|
Burma
|
Terlibat dalam
hak-hak buruh dan menggunakan budak
|
Royal dutch shell
|
Nigeria
|
Perusakan
lingkungan, penindasan, perampasan milik rakyat ogoni, penangkapan dan
penahanan dengan sewenang-wenang, dan menghukum mati aktivis lingkungan
|
Tanzania Wheat Project
|
Tanzania
|
Pemindahan secara
paksa, pelecehan dan penahan, serta mengurangi akses
|
Borneo Logging (Mitshubishi)
|
Malaysia
|
Perusakan hutan,
dan penindasan atas suku Punan dan masyarakat asli lainnya
|
Western Desert Mining (Rio Tinto Zinc)
|
Australia
|
Aborigin tergusur
dari wilayah tradisionalnya, polusi dan perusakan sumber daya
|
Uranium Mining (Kerr-McGee)
|
New Mexico
|
Penambangan-penambangan
Navajo menderita kanker dan penyakit lainnya, tetapi mendapat kompensasi dan
bantuan sangat minimal
|
Agricultural Project (Swft Armour, King Ranch)
|
Brasil
|
Pembersihan hutan
dan timbulnya konflik-konflik sosial
|
Proyek MNC yang m
Selain merusak
lingkungan, korporasi global yang didukung oleh negara-negara maju dan kaya,
WTO, kartel utang terutama IMF, Bank Dunia
sebagai mesin utama globalisasi dalam mengakumulasi kekayaan dan
menghisap sumber daya negara-negara berkembang, operasi korporasi global
tersebut menyokong terjadinya pemiskinan
yang semakin masif.[12] Kecenderungannya kesenjangan sosial ekonomi
antara negara maju dan negara miskin semakin memprihatinkan sepanjang 10 tahun
terakhir. Data UNDP tahun 1999 menunjukkan bahwa jumlah orang miskin yang
hidupnya kurang dari 1 dollar AS sehari meningkat dari 1,197 milyar pada tahun
1987 menjadi 1,214 milyar pada tahun 1997 atau sekitar 20% dari penduduk dunia.
Dua puluh lima persennya lagi (sekitar 1,6 milyar) dari penduduk dunia bertahan
hidup dengan 1-2 dollar AS setiap hari. Dampaknya setiap hari 11.000 anak mati
kelaparan di seluruh dunia, sedangkan 200 juta anak menderita kekurangan gizi
dan protein serta kalori (satu dari empat anak di dunia). Selain itu lebih dari
800 juta orang menderita kelaparan kronis di seluruh dunia dan kira-kira 70%
dari mereka adalah perempuan dan anak.[13]
Di sisi lain,
globalisasi menghasilkan pemusatan kekayaan di tangan segelintir orang. Tiga
orang terkaya di dunia menguasai aset yang nilainya setara dengan milik 600
juta orang di 48 negara miskin. Saat ini pula seperlima penduduk di
negeri-negeri paling menguasai 86 % produk domestik bruto dunia, 82% pasar
ekspor dunia, dan 68 % penanaman modal langsung yang mana pelaku ekonominya
didominasi oleh korporaso global.[14] Gejala ini menunjukkan
bahwa kekuasaan korporasi kini telah menyaingi kekuasaan ekonomi-ekonomi
negara-negara yang mana proses akumulasi kekayaan tersebut bukan terjadi secara
alamiah tetapi berdasarkan suatu rancangan kebijakan politik-ekonomi yang kini
dikenal sebagai neoliberalisme dan globalisasi kapitalis.[15] Demikian juga halnya
dengan tata ruang kota yang hanya memfasilitasi kepentingan pemodal melalui
pembangunan apartemen, mal, dan sentra-sentra bisnis lainnya melalui
penggusuran hunian masyarakat miskin kota sebangun dengan kecenderungan
terjadinya komodifikasi ruang-ruang publik sebagai nafas utama
kapitalisme.
2. ASPEK KURANGNYA SOSIALIASI KEPADA
MASYARAKAT TERKAIT HUKUM LINGKUNGAN
Jelas,
penegakan hukum lingkungan ini pun jauh lebih rumit dari pada delik lain,
karena seperti telah dikemukakan sebelumnya hukum lingkungan menempati titik
silang berbagai pendapat hukum klasik. Proses penegakan hukum administratif
akan lain dari pada proses penegakan hukum perdata maupuan hukum pidana.
Menurut Hamzah (2005:51) pada umumnya masalah dimulai pada satu titik, yaitu terjadinya pelanggaran hukum lingkungan. Dari titik perangkat ini dapat dimulai dari orang pribadi anggota masyarakat, korban penegak hukum yang mengetahui langsung terjadinya pelanggaran tanpa adanya laporan atau pengaduan. Tujuan tempat pelapor kepada Bapedal LSM atau organisasi lingkungan hidup jika ingin memilih jalan perdata terutama tuntutan perbuatan melanggar hukum dapat melakukan gugatan sendiri kepada hakim perdata atas nama masyarakat (algemen belang, maatschappelijk belang). Jika mereka kurang mampu memikul biaya perkara, berdasarkan Pasal 25 Keppres Nomor 55 tahun 1991, dapat meneruskan kepada jaksa yang akan menggugat perdata atas nama kepentingan umum atau kepentingan masyarakat. Di kejaksaan terdapat bidang khusus untuk ini, yaitu Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Hamzah, 2005:51).
Disamping itu, jika anggota masyarakat, korban, LSM, organisasi lingkungan hidup, bahkan siapa saja dapat membuat laporan pidana kepada polisi. Siapa pun juga mengetahui terjadinya kejahatan wajib melapor kepada penyidik. Dari kepolisian dapat diminta petunjuk jaksa secara teknis yuridis. Jalur ini jelas hukum pidana. Akan tetapi, jaksa masih dapat menyelesaikan berdasarkan azas oportunitas, baik dengan syarat maupun tanpa syarat. Jika semua jalur akan ditempuh berhubung pelanggaran telah demikian serius dan menyinggung semua dimensi, misalnya melanggar syarat-syarat suatu izin menimbulkan kerugian finansial kepada orang atau masyarakat, lagi pula ia seorang residiv bahkan telah menimbulkan korban luka atau mati, penegak hukum dan yang berkepentingan melakukan tugasnya. Agar sanksi yang dijatuhkan tidak tumpang tindih misalnya denda (berdasarkan sanksi administratif dan pidana) maka penegak hukum perlu bermusyawarah sehingga tindakan yang dilakukan masing-masing terkoordinasi dengan baik.
Menurut Hamzah (2005:51) pada umumnya masalah dimulai pada satu titik, yaitu terjadinya pelanggaran hukum lingkungan. Dari titik perangkat ini dapat dimulai dari orang pribadi anggota masyarakat, korban penegak hukum yang mengetahui langsung terjadinya pelanggaran tanpa adanya laporan atau pengaduan. Tujuan tempat pelapor kepada Bapedal LSM atau organisasi lingkungan hidup jika ingin memilih jalan perdata terutama tuntutan perbuatan melanggar hukum dapat melakukan gugatan sendiri kepada hakim perdata atas nama masyarakat (algemen belang, maatschappelijk belang). Jika mereka kurang mampu memikul biaya perkara, berdasarkan Pasal 25 Keppres Nomor 55 tahun 1991, dapat meneruskan kepada jaksa yang akan menggugat perdata atas nama kepentingan umum atau kepentingan masyarakat. Di kejaksaan terdapat bidang khusus untuk ini, yaitu Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Hamzah, 2005:51).
Disamping itu, jika anggota masyarakat, korban, LSM, organisasi lingkungan hidup, bahkan siapa saja dapat membuat laporan pidana kepada polisi. Siapa pun juga mengetahui terjadinya kejahatan wajib melapor kepada penyidik. Dari kepolisian dapat diminta petunjuk jaksa secara teknis yuridis. Jalur ini jelas hukum pidana. Akan tetapi, jaksa masih dapat menyelesaikan berdasarkan azas oportunitas, baik dengan syarat maupun tanpa syarat. Jika semua jalur akan ditempuh berhubung pelanggaran telah demikian serius dan menyinggung semua dimensi, misalnya melanggar syarat-syarat suatu izin menimbulkan kerugian finansial kepada orang atau masyarakat, lagi pula ia seorang residiv bahkan telah menimbulkan korban luka atau mati, penegak hukum dan yang berkepentingan melakukan tugasnya. Agar sanksi yang dijatuhkan tidak tumpang tindih misalnya denda (berdasarkan sanksi administratif dan pidana) maka penegak hukum perlu bermusyawarah sehingga tindakan yang dilakukan masing-masing terkoordinasi dengan baik.
3.
ASPEK KENDALA
DALAM PEMBUKTIAN
Kegiatan
pembangunan yang dilaksanakan oleh bangsa Indonesia tidak hanya memberikan
dampak positif, tetapi juga dampak negatif (misalnya terjadinya pencemaran).
Produsen tidak memasukkan eksternalitas sebagai unsur biaya dalam kegiatannya,
sehingga pihak lain yang dirugikan. Hal ini akan merupakan kendala pada era reformasi
sekarang ini, karena kondisi ini berkaitan dengan perlindungan terhadap hak untuk
menikmati lingkungan yang baik dan sehat. Masalah pencemaran ini jika tidak
ditanggulangi akan mengancam kelestarian fungsi lingkungan hidup. Di sepanjang
Kali Surabaya terdapat sekitar 70 industri yang punya andil membuang limbah ke
badan sungai tersebut. Permasalahan ini menjadi semakin mendapat perhatian
dengan dibangunnya instalasi Pengelolaan Air Minum (PAM) di wilayah Karang
Pilang yang merupakan proyek peningkatan kapasitas pengelolaan air minum untuk
mencukupi kebutuhan air minum di Surabaya atas bantuan Bank Dunia. Pada
tahun1988, dua diantara 70 perusahan/industri yang diduga memberikan kontribusi
pencemaran terhadap Kali Surabaya diajukan ke pengadilan. Kedua perusahaan ini
adalah PT Sidomakmur yang memproduksi Tahu dan PT Sidomulyo sebagai perusahaan
peternakan babi. Limbah dari kedua perusahaan ini dialirkan ke kali Surabaya,
dan diperkirakan telah menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan hidup.
Untuk dapat membuktikan bahwa suatu perbuatan telah menimbulkan pencemaran
perlu penyidikan, penyidikan ini dilakukan oleh aparat POLRI. Untuk itu di
samping diperlukan kemampuan dan keuletan setiap petugas, juga diperlukan suatu
model yang dapat digunakan untuk menentukan apakah suatu perbuatan telah
memenuhi unsur pasal (Pasal 22 UU No. 4 Tahun 1982), seperti halnya dengan
kasus Kali Surabaya. Polisi (penyidik) dalam penyidikan berkesimpulan bahwa
telah terjadi pencemaran karena kesengajaan, sehingga perkara ini diajukan ke
Pengadilan Negeri Sidoardjo, tetapi hakim memutuskan bahwa tidak terjadi pencemaran.
Sedangkan pada tingkat Mahkamah Agung menilai bahwa Hakim Pengadilan Negeri
Sidoardjo salah menerapkan hukum, selanjutnya MA memutuskan bahwa perbuatan
tersebut terbukti secara sah dan menyakinkan mencemari lingkungan hidup karena
kelalaian. Perbedaan ini menunjukkan bahwa permasalahan lingkungan hidup
merupakan permasalahan kompleks, rumit dalam segi pembuktian dan penerapan
pasal, serta subyektifitas pengambil keputusan cukup tinggi, sehingga perlu
suatu media untuk menyederhanakan, memudahkan dan meminimisasi unsur
subyektifitas.
4.
ASPEK INFRASTRUKTUR
PENEGAKAN HUKUM
Kesulitan
utama yang kerap dinyatakan oleh pemerintah atau aparat penegak hukum dalam
mengatasi pembakaran hutan adalah minimnya aparat pemantau, atau minimnya alat
bukti. Dalam hal tertangkap tangan maka yang dijerat adalah para operator yang
notabene adalah pekerja harian. Perusahaan selalu dapat lepas dari jeratan
hukum. Kompleksitas masalah pembakaran hutan bukan tanpa jalan keluar. Negara
harusnya memiliki power untuk mencabut izin operasi atau konsesi atas
perusahaan yang di kawasannya terdapat titik api. Hanya ada dua kemungkinan
jika terjadi kebakaran di dalam satu konsesi kehutnan atau perkebunan, yaitu
mereka sengaja membakar atau mereka tidak serius menjaga kawsannya agar bebas
dari kebakaran. Jika ada kekuasaan pemerintah seperti itu, maka dapat
dipastikan angka pembakaran hutan akan turus secara drastis. Untuk itu
diperlukan suatu aturan hukum berupa Peraturan Pemerintah atau Perpu, karena
aturan hukum yang ada saat ini belumlah memadai.
5.
ASPEK BUDAYA
HUKUM YANG MASIH BURUK
Pada
beberapa kasus, kejahatan lingkungan terjadi karena masih kentalnya budaya
korupsi, kolusi dan nepotisme antara perusahaan-perusahaan, pemerintah maupun
DPR. Lobi-lobi illegal masih sering terjadi. Misalnya proyek pengadaan barang
dan jasa di Lingkungan Bandan Lingkungan Hidup (BLH) Sidoarjo tahun anggaran
2008 lalu terdakwa bersekongkol dengan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Hasan
Basri (Didakwa dengan kasus yang sama) memperkaya diri sendiri sehingga
merugikan keuangan negara sebesar Rp 193 juta lebih. Kasus lainnya adalah
dugaan korupsi penanaman pohon senilai Rp473,9 juta yang menggunakan dana APBD
2006, ke Pengadilan Negeri (PN) Depok. Kasus tersebut melibatkan Asep Suganda,
yang saat ini menjabat sebagai Kabid Tata Bangunan, Dinas Tata Kota dan
Bangunan (Distakotbang). Dikatakannya, tersangka Asep diduga menyelewengkan
dana untuk penanaman 5.000 batang pohon di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung
senilai Rp223,9 juta, serta Rp250 juta untuk penanaman 1.250 pohon di Taman
Hutan Rakyat (Tahura). Memang bukanlah pekerjaan yang mudah untuk memberantas
praktek KKN yang kerapkali terjadi, namun bukanlah tidak mungkin.
E. ANALISIS IMPLEMENTASI HUKUM LINGKUNGAN DAN BERBAGAI
KENDALA YANG DIHADAPI: STUDI KASUS DI INDONESIA
1. ANALISIS KENDALA YANG DIHADAPI DALAM IMPLMENTASI
PENERAPAN HUKUM LINGKUNGAN DI INDONESIA
Sebenarnya permasalahan lingkungan hidup bukan
merupakan permasalahan baru, yang baru adalah kesadaran kita bahwa aktivitas
manusia yang telah menimbulkan permasalahan lingkungan hidup ini beserta
akibat-akibatnya. Bagi negara-negara maju, lingkungan hidup merupakan
permasalahan yang sangat serius, karena akibat dari kemajuan perekonomian suatu
negara itu sendiri. Tetapi lambat laun, negara-negara berkembang menyadari pula
permasalahan lingkungan bukanlah monopoli negara-negara maju. Negara-negara
berkembang juga memiliki permasalahan lingkungan hidup tersebut.
Pada tahun 1972, permasalahan lingkungan hidup
mendapat perhatian luas dari berbagai bangsa, yaitu sejak dilaksanakannya
Konferensi Stockholm. Dikatakan Emil Salim bahwa:”...........pada permulaan
tahun tujuh puluhan ini dunia mulai sadar dan cemas akan pencemaran dan
kerusakan lingkungan hidup sehingga mulai menanggapinya secara sungguh-sungguh
sebagai masalah dunia. Dengan adanya Stockholm Declaration ini, perkembangan
hukum lingkungan telah memperoleh dorongan kuat, baik pada taraf nasional,
regional, bahkan taraf internasional. Keuntungan yang diperoleh adalah dengan
tumbuhnya kesatuan pengertian dan bahasan antara para ahli hukum dengan
menggunakan Stockholm Declaration ini sebagai referensi bersama. Dalam hal ini
Indonesia juga baru memberikan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap masalah
lingkungan hidup pada tahun tujuh puluhan, yaitu setelah dilaksanakannya
Konferensi Stockholm tersebut. Hal-hal yang menyebabkan mengapa Indonesia
merasa wajib menangani masalah-masalah lingkungan hidup adalah : a) Kesadaran
bahwa Indonesia sudah menghadapi masalah lingkungan hidup yang cukup serius, b)
Keperluan untuk mewariskan kepada generasi mendatang sumbersumberalam yang bisa
diolah secara berkelanjutan dalam proses jangkapanjang dan untuk tujuan
pembangunan yang sedang giat-giatnya kitalaksanakan pada saat ini, c) Sebab
Idiil, Indonesia ingin membangun manusia Indonesia seutuhnya baik materiil
maupun sprituil berdasarkan Pancasila yang memuat ciri-ciri keselarasan
hubungan antar manusia, hubungan manusia dengan alam, dan hubungan manusia
dengan Tuhan. Sebagian besar hukum Indonesia, baik berdasarkan peraturan
perundang-undangan maupun keputusan hakim sebelum abad ke-20, ternyata tidaklah
ditujukan untuk melindungi lingkungan hidup secara menyeluruh, akan tetapi
hanya untuk berbagai aspek yang menjangka uruang lingkup yang sempit. Dengan
dikeluarkannya UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan
Lingkungan Hidup dan kemudian diganti menjadi UU. No. 23 Tahun 1997 Tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup maka merupakan tonggak bagi pengaturan lingkungan
hidup yang menyeluruh untuke depannya.
Sekarang UU No. 23 Tahun 1997 telah
diperbaharui dengan UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Dalam Undang-undang ini lebih rinci membahas tentang
penanganan masalah pengelolaan lingkungan hidup. Undang-undang ini terdiri dari
17 Bab dan 127 pasal yang merupakan penyempurnaan Undang-undang sebelumnya yang
hanya terdiri dari 11 bab dan 51 pasal. Sanksi pidana sebagai upaya dalam
penegakan hukum diatur dalam bab XV mulai pasal 97 sampai dengan pasal 115.
Mewujudkan supremasi hukum melalui upaya
penegakan hukum serta konsisten akan memberikan landasan kuat bagi
terselenggaranya pembangunan baik dibidang ekonomi, politik, sosial budaya,
pertahanan keamanan. Namun dalam kenyataan untuk mewujudkan supremasi hukum
tersebut masih memerlukan proses dan waktu agar supremasi hukum dapat
benar-benar memberikan implikasi yang menyeluruh terhadap perbaikan pembangunan
nasional. Dalam hubungan dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, penegakan hukum dibidang
lingkungan hidup dapat diklasifikasikan kedalam 3 (tiga) kategori yaitu : 1) Penegakan
hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Administrasi / Tata Usaha Negara.
2) Penegakan Hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Perdata. 3) Penegakan
Hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Pidana.
Upaya penegakan sanksi administrasi oleh
pemerintah secara konsisten sesuai dengan kewenangan yang ada akan berdampak
bagi penegakan hukum terutama dalam rangka menjaga kelestarian fungsi lingkungan
hidup. Sehubungan dengan hal ini maka penegakan sanksi administrasi merupakan
garda terdepan dalan penegakan hukum lingkungan (primum remedium). Jika sanksi
administrasi dinilai tidak efektif barulah dipergunakan sarana sanksi pidana
sebagai senjata pamungkas (ultimum remedium). Ini berarti bahwa kegiatan
penegakan hukum pidana terhadap suatu tindak pidana lingkungan hidup baru dapat
dimulai apabila aparat yang berwenang telah menjatuhkan sanksi administrasi dan
telah menindak pelanggar dengan menjatuhkan suatu sanksi administrasi tesebut.
Apabila ternyata tidak mampu menghentikan pelanggaran yang terjadi maka
diupayakan penyelesaian sengketa melalui mekanisme altenatif di luar pengadilan
dalam bentuk musyawarah / perdamaian / negoisasi / mediasi. Apabila upaya yang
dilakukan menemui jalan buntu baru dapat digunakan instrumen penegakan hukum
pidana lingkungan hidup.
Pada dasarnya setiap kegiatan pembangunan akan
menimbulkan perubahan yang bersifat positif ataupun negatif. Untuk mewujudkan
pembangunan yang berwawasan lingkungan hidup maka perlu diusahakan peningkatan
dampak positif dan mengurangi dampak negatif. Kewenangan pemerintah untuk
mengatur merupakan suatu hal yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang. Dari
sisi Hukum Administrasi Negara, kewenangan ini di sebut dengan kewenagan
atribusi (Atributive bevoeghdheid), yaitu kewenangan yang melekat pada
badan-badan pemerintah yang diperoleh dari Undang-Undang. Sehingga badan-badan
pemerintah tersebut dengan demikian memilii kewenangan untuk melaksanakan ketentuan
Pasal 63 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009.
Dengan demikian, badan-badan pemerintah yang
berwenang memiliki legitimasi (kewenangan bertindak dalam pengertian politik)
untuk menjalankan kewenangan hukumnya. Karena masalah legitimasi adalah persoalan
kewenangan yaitu kewenangan menerapkan sanksi seperti pengawasan dan pemberian
sanksi yang merupakan suatu tugas pemerintah seperti yang diamanatkan oleh
undang-undang. Sanksi administrasi merupakan kewenangan Menteri, Gubernur
dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Hal ini seperti tercantum dalam
pasal 76 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup yang berbunyi :
“Menteri,
gubernur atau bupati/walikota menerapka sangksi administrasi kepada penanggung
jawab usaha dan/ataukegiatan jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran
terhadap izin lingkungan”.
Sanksi administrasi yang dimaksud pada ayat 1
tersebut terdiri atas : 1). Teguran tertulis, 2). Paksaan pemerintah, 3),
pembekuan izin lingkungan dan 4). Pencabutan izin lingkungan. Lebih lanjut
dalam pasal 77 diterangkan bahwa :
“Menteri
dapat menerapkan sanksi administrasi terhadap penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan jika Pemerintah menganggap Pemerintah Daerah secara sengaja tidak
menerapkan sanksi administrasi terhadap pelanggaran yang serius dibidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan”.
Selanjutnya dalam bab XV diatur tentang
ketentuan pidana bagi para pengusaha/badan usaha/orang yang dengan sengaja
melakukan pencemaran dan merusak lingkungan. Namun semua aturan dan
ketetntuannay akan sangat tergantung pada pelaksanaan dilapangan. Kerusakan
lingkungan adalah pengaruh sampingan dari tindakan manusia untuk mencapai suatu
tujuan yang mempunyai konsekuensi terhadap lingkungan. Pencemaran lingkungan
adalah akibat dari ambiguitas tindakan manusia. Kewajiban pengusaha untuk
melakukan pengendalian pencemaran lingkungan hidup adalah salah satu syarat
dalam pemberian izin usaha maka pengusaha dapat dimintakan pertanggung jawaban
jika lalai dalam menjalankan kewajibannya.
Usaha menegakkan hukum lingkungan dewasa ini
memang dihadapkan sejumlah kendala. Pertama, masih terdapat perbedaan persepsi
antara aparatur penegak hukum dalam memahami dan memaknai peraturan
perundang-undangan yang ada. Kedua, biaya untuk menangani penyelesaian kasus
lingkungan hidup terbatas. Ketiga, membuktikan telah terjadi pencemaran atau
perusakan lingkungan bukanlah pekerjaan mudah. Era reformasi dapat dipandang
sebagai peluang yang kondusif untuk mencapai keberhasilan dalam penegakan hukum
lingkungan.
Ke depan, perlu exit strategy sebagai solusi
penting yang harus diambil oleh pemegang policy dalam penyelamatan fungsi
lingkungan hidup. Pertama, mengintensifkan keterpaduan dan koordinasi
antarsektor terkait dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
Kedua, adanya sanksi yang memadai (enforceability) bagi perusahaan yang
membandel dalam pengelolaan limbah sesuai dengan aturan yang berlaku. Jika ada
indikasi tindak pidana, aparat penegak hukum dapat menindak tegas para
pelaku/penanggung jawab kegiatan seperti diatur dalam Pasal 97-115 UU No. 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Ketiga,
adanya partisipasi publik, transparansi, dan demokratisasi dalam pengelolaan
sumber daya alam dan lingkungan hidup patut ditingkatkan. Pengelolaan
lingkungan hidup akan terkait tiga unsur, yaitu pemerintah, pengusaha, dan
masyarakat. Pada gilirannya, dalam pengelolaan lingkungan hidup setiap orang
mempunyai hak yang sama untuk menikmati lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Untuk itu, sudah saatnya penegakan hukum bagi
setiap usaha dan aktivitas yang membebani lingkungan diintensifkan agar
kelestarian fungsi lingkungan hidup bisa terjaga dengan baik. Persoalan
lingkungan hidup bagi negara berkembang seperti Indonesia dilematis bagaikan
buah simalakama. Di satu sisi terdapat tuntutan melaksanakan pembangunan yang
berdampak terhadap lingkungan, di sisi lain harus melakukan upaya-upaya
kelestarian lingkungan. Solusinya, dalam melaksanakan pembangunan praktis
sekaligus meningkatkan mutu lingkungan.
Upaya memupuk disiplin lingkungan amat urgen
dalam artian menaati aturan yang berlaku sebagai solusi dalam menangani problem
lingkungan yang kian marak. Pada prinsipnya, setiap orang berkewajiban
memelihara kelestarian lingkungan hidup, mencegah, dan menanggulangi pencemaran
serta perusakan lingkungan hidup.Karena itu, setiap kegiatan yang berakibat
pada kerusakan lingkungan, seperti pencemaran lingkungan dan pembuangan zat
berbahaya (B3) melebihi ambang batas baku mutu bisa dikategorikan sebagai
perbuatan yang bertentangan dengan hukum, sehingga dapat dikenai sanksi, baik
sanksi administrasi, perdata, maupun pidana.
Hingga kini problem lingkungan terus menjadi
isu yang selalu aktual dan belum tertanggulangi, terlebih di era reformasi yang
tak luput pula dari tuntutan demokratisasi dan transparansi. Dalam rangka
mengantisipasi kian meluasnya dampak kontraproduktif terhadap lingkungan
khususnya akibat perkembangan dunia industri yang pesat maka penegakan hukum di
bidang lingkungan hidup menjadi mutlak diperlukan. Segenap stakeholders harus
mempunyai tekad untuk memelihara lingkungan dari kemerosotan fungsi yang
senantiasa mengancam kehidupan masa kini dan masa mendatang. Dengan demikian,
hukum lingkungan mempunyai peran yang sangat urgen dalam membantu mewujudkan
pembangunan berkelanjutan. Kendala-kendala dalam perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup di Indonesia dapat dijelaskan sebagai berikut :
pertama, Kendala structural, Terdapat 2 hal
utama yang mengganggu penegakan hukum, yaitu pertama, masih dominannya
pemikiran di kalangan penentu kebijaksanaan yang mempertentangkan pembangunan
dengan lingkungan. Belum sepenuhnya tercipta clean and good goverment, yang
memustahilkan penegakan hukum lingkungan yang efektif. kedua, harmonisasi
pembangunan dan lingkungan dalam format paradigma pembangunan berkelanjutan
(sustinable development) yang tercermin dalam dokumen-dokumen internasional,
kenegaraan, dan pemerintah kita seperti GBHN, Deklarasi Rio, Agenda 21 Global,
dan Agenda 21 Nasional, belum dipahami benar oleh mayoritas pengambilan
keputusan di tingkat pemerintah pusat maupun daerah.
Kedua, Kendala
yang ada di masyarakat, pengelolaan pengaduan masyarakat di bidang lingkungan,
bagaimana pengaduan mayarakat yang membawa informasi tentang terjadinya
pencemaran dan kerusakan lingkungan pada kenyataannys justru si pelapor/pembawa
informadi tersebut yang menjadi korban seperti pengalaman pahit yang menimpa
korban pencemaran lingkungan di daerah Tenggunung, Surabaya, yang harus rela
membayar hukuman denda Rp. 40.000.000,- (empat puluh juta), karena telah
melaporkan sumurnya tercemar minyak dari pabrik di sebelah rumahnya. Dalam
kasus tersebut si pelapor malah dituduh melakukan pelporan palsu karena
setelah diperiksa sumur terebut oleh polisi tidak diketemukan sumur skibst
tercemari minyak sehingga perusahaan melakukan gugatan ke pelapor karena telah
mencemarkan nama baik perusahaan dengan membuat laporan palsu.
Kenyataan sesungguhnya adalah bahwa sumur
tersebut telah bersih ketika polisi datang karena korban sesuai dengan saran
tim teknis KPPLH kepada korban untuk terus menerus mengebor sumurnya selama 1
minggu dan selah itu sumur tersebut terlihat bersih dari minyak barulah polisi
datang memeriksa. Realitas ini membuktikan bahwa ketidakberdayaan korban pada
akses teknologi lingkungan dan kontrol atas prosedur pelaporan lingkungan telah
membuat dirinya menjadi korban berkelanjutan kerapuhan mekanisme penegakan
hukum lingkungan itu sendiri.
Ketiga, Kendala di lapangan. Dalam proses
penegakan hukum yang dilakukan oleh petugas yang terkait dengan lingkungan
sering menemukan kesulitan-kesulitan yang dihadapi antar lain : 1) Sulit
menangkap pelaku pencemaran karena dalam pembuktianya tidak sesederhana dalam
kasus-kasus lain, dimana dalam kasus pencemaran limbah cair (air sungai)
merupakan akibat kumulatif dari pembuagan limbah cair yag ada di aliran sungai,
maka penerapan azas kausalitas akan memakan waktu, dan biasanya pelaku telah
menghilangkan bukti-bukti pencemaran. 2) Pengambilan sample limbah dari suatu
industri tidak mudah, kadangkala petugas harus membawa surat pengantar dari
instansi petugas, sehingga perusahaan yang diduga melakukan pencemaran sudah
melakukan pembersihan terhadap pencemaran pada saat petugas datang. 3) Pembuangan
limbah cair, kadangkala dibarengi dengan kondisi alam seperti adanya banjir di
aliran sungai, pada malam hari, dan membuat aliran pembuangan tersembunyi yang
sulit diketahui oleh orang luar perusahaan. 4) Pembuangan limbah yang dilakukan
secara tersembunyi dan kurangnya tenaga ahli di bidang lingkungan, dimana untuk
DKI Jakarta hanya mempunyai 5 orang ahli. 5) Tertutupnya Area perusahaan dengan
pagar tinggi atau bangunan besar dan merupakan area yang tidak mudah dimasuki
oleh masyarakat atau petugas sekalipun, sehingga menyulitkan masyarakat ikut
mengawasi pencemaran di lingkungan. 6) Urusan Ekonomi menjadi hal yang utama
sehingga lingkungan dinomor duakan oleh para pengusaha. 7) Tidak semua pimpinan
perusahaan sampai tingkat manager atau pemilik mempunyai Visi dalam pengelolaan
lingkungan sehingga pengelolaan limbah hanya merupakan pemborosan biaya. 8) Pemahaman
Hakim dalam suatu sengketa lingkungan dimana bila hakim mengetahui bahwa dalam
terjadinya pencemaran lingkungan tersebut, belum ada pembinaan dari instansi terkait,
maka kasus pencemaran limbah cair dikembalikan. (tidak dapat dilanjutkan). 9) Hanya
limbah B3 saja yang sering atau pernah masuk dalam peradilan, sedangkan kasus
limbah cair sering kali diselesaikan dalam jalur sanksi administrasi (penutupan
saluran pembuangan, dan selanjutnya).
2. ANALISIS TENTANG SOLUSI SUPAYA PENEGAKKAN HUKUM
LINGKUNGAN DI INDONESIA BERJALAN DENGAN SEMESTINYA
Sumber daya alam dan lingkungan tidak pernah
lepas dari berbagai kepentingan seperti kepentingan Negara, kepentingan pemilik
modal, kepentingan rakyat maupun kepentingan lingkungan itu sendiri. Penempatan
kepentingan itu selalu menempatkan pihak masyarakat sebagai pihak yang
dikalahkan. Terbatasnya akses masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam,
dan tidak seimbangnya posisi tawar masyarakat merupakan contoh klasik dalam
kasus-kasus konflik kepentingan tersebut.
Masalah lingkungan tidak selesai dengan
pemberlakuan Undang-Undang dan komitmen untuk melaksanakannya. Penetapan suatu
Undang-Undang yang mengandung instrumen hukum masih harus diuji dalam
pelaksanaannya (uitvoering atau implementation) sebagai bagian dari mata rantai
pengaturan (regulatory chain) pengelolaan lingkungan. Dalam merumuskan
kebijakan lingkungan, Pemerintah lazimnya menetapkan tujuan yang hendak dicapai.
Pembangunan yang dilakukan dengan menggali dan
mengekslorasi sumber daya alam sering kali tanpa memperdulikan masalah
lingkungan, sehingga menyebabkan memburuknya kondisi lingkungan dan menimbulkan
berbagai masalah. Pepohonan di hutan ditebang tanpa ada upaya menanam kembali,
sumber daya mineral digali dan diserap sementara limbah pertambangannya yang
mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3) dibuang sesukanya, penangkapan ikan
dengan cara meracuni atau sistem peledakan, sampah-sampah dibuang didaerah aliran
air dan sebagainya. Dengan kenyaataan seperti tersebut diatas banyak orang
bertanya : Indonesia telah memiliki perangkat hukum, namun kenapa hukum
tersebut tidak dapat mencegah kerusakan dan pencemaran lingkungan. Singkatnya,
apakah hukum lingkungan di Indonesia telah efektif ditegakan? Bila membicarakan
efektivitas hukum lingkungan berarti membicarakan daya kerja hukum lingkungan
itu dalam mengatur dan/ atau memaksa masyarakat untuk taat terhadap hukum
lingkungan. Hukum dapat efektif jikalau faktor-faktor yang mempengaruhi hukum
tersebut dapat berfungsi dengan sebaik-baiknya. Faktor-faktor tersebut adalah
(1) kaidah hukum/ peraturan itu sendiri; (2) petugas/ penegak hukum; (3) sarana
atau fasilitas yang digunakan oleh penegak hukum; (4) kesadaran masyarakat. Hal
itu akan diuraikan secara berturut-turut sebagai berikut :
Pertama, Kaidah Hukum. Sebagai negara hukum,
keberadaan kaidah hukum dalam berbagai bentuk peraturan di Indonesia adalah hal
yang sudah semestinya ada. Keberlakuan hukum lingkungan di wilayah Indonesia
memiliki sejarah yang panjang. Hukum lingkungan tidak hanya terbentuk pada era
Kemerdekaan saja melainkan telah ada sejak zaman Hindia Belanda dan Jepang.
Hukum lingkungan yang dibuat oleh para regulator bertujuan agar lingkungan
dapat dikelola dengan baik sehingga pemanfaatan dan kelestarian lingkungan
dapat diupayakan semaksimal mungkin. Umumnya kaidah hukum lingkungan di
Indonesia mencakup 4 (empat) bidang besar, yaitu: 1) Hukum Penataan Ruang
(termasuk pengendalian penggunaan tanah dan sumber-sumber daya lingkungan). 2) Hukum
Konservasi (hayati, non hayati, buatan, termasuk benda cagar budaya). 3) Hukum
Kependudukan (termasuk kebutuhan sumber daya manusia). 4) Hukum Pencemaran
Lingkungan (dalam kaitannya dengan pencegahan dan penanggulangan pencemaran). Dengan
adanya kaidah hukum tersebut, diharapkan dapat menjadi dasar bagi negara dan
masyarakat berpartisipasi secara maksimal dalam melestarikan lingkungan hidup
di Indonesia.
Kedua, Petugas/ Penegak Hukum. Di
Indonesia, keberadaan dan fungsi penegak hukum atau orang yang bertugas
menerapkan hukum mendapat sorotan yang luas dari masyarakat. Masyarakat banyak
menganggap penegak hukum tidak menerapkan hukum sesuai dengan aturannya, tidak
transparan, bersifat pilih kasih, dan ini yang lebih parah penegak hukum
dianggap sebagai aktor penunjang pengrusakan lingkungan hidup. Berbagai kasus
lingkungan yang berdampak besar bagi kerusakan lingkungan diduga ‘dibeking’
oleh aparat penegak hukum. Berbagai contoh kasus tersebut adalah: 1) Sering
terjadi kasus penambangan liar di suatu wilayah yang dijaga oleh aparat
keamanan, padahal patut diduga pertambangan liar tersebut tanpa memiliki ijin
Amdal dan ijin pertambangan lainnya yang terkait. 2) Pelaku “illegal logging’
yang kerap mendapat perlakuan istimewa dari aparat hukum, sampai-sampai aparat
hukum membantu mencari cara bagaimana pelaku illegal logging tersebut dapat
dihukum seringan-ringannya atau bahkan bebas dari jerat hukum. Hal ini dapat
menjadi preseden buruk penegakan hukum lingkungan di Indonesia, padahal adanya
ketentuan pidana yang diberlakukan diharapkan dapat memberikan efek jera kepada
pelaku pengrusakan lingkungan. Dengan hukuman yang ringan mustahil pelaku
illegal logging atau pelaku perusak lingkungan lainnya merasakan jera atas perbuatannya.
3) Kasus-kasus pengrusakan lingkungan ditangani oleh aparat secara tidak
profesional dan tidak proporsional, misalnya kasus Lapindo yang menurut penulis
lebih menitikberatkan pada sisi keperdartaannya saja yaitu adanya ganti rugi
kepada pemilik lahan yang terkena lumpur panas, namun sisi hukum lainnya yang
juga penting diabaikan misalnya sampai saat ini hukum pidana lingkungan yang
harus diterapkan tidak dilaksanakan secara maksimal. Memang ada juga prestasi
dari penegak hukum dalam lingkungan hidup yang patut mendapat pujian dari
masyarakat, namun hal tersebut tidak sebanding dengan perlakuan penegak hukum
yang tidak menegakan hukum lingkungan secara benar dan konsekuen. Kalau
peraturan sudah baik, tetapi kualitas penegak hukum rendah maka akan ada
masalah. Demikan pula sebaliknya, apabila peraturannya buruk, sedangkan
kualitas petugasnya baik, mungkin pula timbul masalah-masalah.
Ketiga, Sarana/ Fasilitas. Fasilitas atau sarana amat
penting untuk mengefektifkan suatu aturan tertentu. Ruang lingkup sarana
dimaksud, terutama sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung.
Misalnya, bila tidak ada kertas dan karbon yang cukup serta mesin tik yang
cukup baik, bagiamana petugas dapat membuat berita acara mengenai suatu
kejahatan. Bagaimana polisi dapat mengejar pelaku pengrusakan dan pencemaran
lingkungan apabila tidak dilengkapi dengan kendaraan pengejaran yang canggih
dan alat-alat komunikasi yang proporsional. Kalau peralatan dimaksud sudah ada,
faktor-faktor pemeliharaannya juga memegang peran yang sangat penting. Memang
sering terjadi bahwa suatu peraturan sudah difungsikan, padahal fasilitasnya
belum tersedia lengkap. Peraturan yang semula bertujuan untuk memperlancar
proses tetapi justru mengakibatkan terjadinya kemacetan. Mungkin ada baiknya,
ketika hendak menerapkan suatu peraturan secara resmi ataupun memberikan tugas
kepada petugas, dipikirkan mengenai fasilitas-fasilitas yang berpatokan pada:
(1) apa yang sudah ada, dipelihara terus agar setiap saat berfungsi; (2) apa
yang belum ada, perlu diadakan dengan memperhitungkan jangka waktu
pengadaannya; (3) apa yang kurang, perlu dilengkapi; (4) apa yang telah srusak,
diperbaiki atau diganti; (5) apa yang macet, dilancarkan; (6) apa yang telah
mundur, ditingkatkan.
Keempat, Warga
Masyarakat. Salah satu faktor yang mengefektifkan suatu peraturan adalah warga
masyarakat. Yang dimaksud di sini adalah kesadarannya untuk mematuhi suatu
peraturan perundang-undangan. Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa derajat
kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya
hukum yang bersangkutan. Sebagai contoh dapat diungkapkan sebagai berikut : 1) Apabila
derajat kepatuhan terhadap peraturan ‘larangan merokok pada tempat umum’ adalah
tinggi maka peraturan ‘larangan merokok pada tempat umum” dimaksud, pasti akan
berfungsi sehingga polusi udara yang berdampak pada kesehatan masyarakat dapat
dikurangi. Jikalau aturan ini ditaati secara tinggi maka tidak akan ada orang
merokok di ‘non-smoking area’ melainkan di ‘smoking area’ (fasilitas perokok
disediakan). 2) Apabila derajat kepatuhan rendah maka peraturan perihal
larangan membuang sampah sembarangan yang disertai ancaman sanksi denda uang
maupun hukuman kurungan, tidak akan berlaku secara efektif. Akibatnya
lingkungan menjadi kotor, semrawut bahkan pada musim hujan menumpuknya sampah
tidak pada tempatnya akan menimbulkan bencana banjir.
Upaya untuk menumbuhkan kesadaran hukum
masyarakat dalam pelestarian lingkungan dapat dilakukan dengan beberapa cara,
yaitu : Pertama, meningkatkan program sosialisasi dari tingkat pusat sampai ke
desa-desa, khususnya berkaitan dengan hak dan kewajiban serta berbagai
permasalahan riil yang dihadapi oleh masyarakat, seperti prosedur AMDAL,
perizinan dan dampak positif dan negatif apabila prosedur tersebut tidak
dilakukan. Kedua, meningkatkan kesadaran hukum (mental) semua pihak. Ke,
menindak tegas oknum pemerintah/aparat yang menyalahgunakan wewenangnya dan
menindak tegas pelaku perusakan/pencemaran lingkungan tanpa tebang pilih
sehingga masyarakat percaya dengan upaya penegakan hukum lingkungan. Keempat,
memangkas proses birokrasi yang panjang dan berbelit-belit. Kelima, semakin
meningkatkan kualitas dalam pemberian penghargaan dibidang lingkungan,
khususnya kriteria penilaian dengan memasukkan kriteria pembangunan berwawasan
lingkungan, baik ditingkat nasional maupun di daerah-daerah. Keenam,
menghindari penggunaan sarana hukum pidana dalam penegakan hukum lingkungan
yang masih dapat menggunakan sarana hukum lain yang lebih efektif. Contohnya
Perda tentang pembuangan sampah disembarang tempat dengan sanksi pidana
kurungan dan denda yang tinggi yang ternyata tidak efektif. Tumbuhnya kesadaran
hukum lingkungan diharapkan dapat mendukung terwujudnya slogan
"Pembangunan Berwawasan Lingkungan" menjadi kenyataan dan tidak hanya
sekedar menjadikannya sebagai visi dan misi pembangunan saja.
F. PENUTUP
Pada
akhir penulisan makalah ini, penulis akan menyajikan kesimpulan sebagai berikut
dibawah:
KESIMPULAN
1. Kendala yang dihadapi dalam implmentasi penerapan hukum
lingkungan di Indonesia antara lain karena globalisasi ekonomi, kurang
sosialisasi kepada masyarakat terkait hukum lingkungan, kendala dalam
pembuktian, infrastruktur dalam penegakkan hukum yang masih belum memadai, dan
adanya budaya hukum yang masih buruk.
2.
Solusinya supaya
penegakkan hukum lingkungan di Indonesia berjalan dengan semestinya maka penegakkan
hukum lingkungan dapat dilakukan dengan pemberian sanksi perdata, atau yang
berupa sanksi administrasi. Sanksi administrasi, penyelesaian masalah
lingkungan diluar pengadilan bahkan sanksi pidana telah diatur dalam UU No. 32
Tahun 2009 terhadap penanggung jawab usaha dan /atau kegiatan untuk mencegah
dan mengakhiri terjadinya pelanggaran, serta menanggulangi akibat yang
ditimbulkan oleh suatu pelanggaran, melakukan tindakan penyelamatan,
penanggulangan, dan /atau pemulihan atas beban biaya penanggung jawab usaha dan
/atau kegiatan kecuali ditentukan lain berdasarkan Undang-Undang.
SARAN SARAN
1. Pemerintah harus melakukan langkah langkah terukur
untuk menghadapi globalisasi ekonomi, kurang sosialisasi kepada masyarakat
terkait hukum lingkungan, kendala dalam pembuktian, infrastruktur dalam
penegakkan hukum yang masih belum memadai, dan adanya budaya hukum yang masih
buruk, agar mampu memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhan tersebut diatas
sehingga implementasi penegakkan hokum terealisir dengan baik.
2.
Pemerintah harus melakukan
aksi nyata terkait penegakkan hukum lingkungan dengan pemberian sanksi yang
berupa sanksi administrasi, sanksi perdata ataupun sanksi pidana guna ,mencegah
tindakan serupa yang merugikan bangsa, Negara dan masyarakat secara luas.
DAFTAR
PUSTAKA
Arimbi
Heroepoetri dalam Fabby Tumiwa, Listrik
yang Menyengat Rakyat : Menggugat Peranan Bank-Bank Pembangunan Multilarel,
Jakarta, WGPSR, 2002.
Hadjon, Philipus, Pengantar Hukum Administrasi
Indonesia. Yogyakarta, UGM Press. 1998.
Ifdhal
Kasim, Hak atas Lingkungan Hidup dan
Tanggung Gugat Korporasi Internasional, SUAR, Volume 5 No. 10 & 11
Tahun 2004.
Kartawinata, Bentuk-bentuk Eksploitasi Sumber
daya ALam. Laporan Peneloitian BPTP-DAS Surakarta. 1990
Kementrian Lingkungan Hidup RI, HImpunan
Peraturan Perundang-Undangan Lingkungan Hidup. Jakarta, 2002
Konspirasi Global : Kejahatan yang Terorganisir dalam Aflina Mustafainah, et. al. Manual Pendidikan Dasar Globalisasi,
Jakarta, debtWATCH Indonesia, JK-LPK, dan Community Development Bethesda, 2004.
M. Ridha
Saleh, Ecoside : Politik Kejahatan
lingkungan dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia, Jakarta, Walhi, 2005.
Meentje
Simatauw, Leonard Simanjuntak, Pantoro Tri Kuswardono, Gender & Pengelolaan Sumber Daya Alam : Sebuah Panduan Analisis, Yayasan
PIKUL, 2001.
Nabil Makarim, Sambutan Dalam Seminar Pemikiran
Perubahan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,
Jakarta, 2003.
nyu “Menuju
Forum Sosial Indonesia dalam Bukan Sekedar Anti-Globalisasi”, Jakarta, IGJ
dan Walhi, 2005.
Siti Sundari Rangkuti, Instrumen Hukum
Pengelolaan Lingkungan Hidup, Seminar Pemikiran Perubahan UU No. 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jakarta. 2003.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
[1]Meentje
Simatauw, Leonard Simanjuntak, Pantoro Tri Kuswardono, Gender & Pengelolaan Sumber Daya Alam : Sebuah Panduan Analisis, Yayasan
PIKUL, 2001, hal. 1
[2] Ibid, hal. 33
[3] Saat
Freeport belum masuk, perempuan asli mungkin sekali tidak merasakan beban
kehidupan yang berat. Namun ketika Freeport masuk, dampak yang dirasakan oleh
perempuan lebih berat dibandingkan dengan laki-laki. Pembedaan secara
tradisional ternyata menimbulkan kesengsaraan bagi peempuan saat terjadi
perubahan. Karena perempuan harus
mengurus makan keluarga maka kerja perempuan menjadi lebih berat saat lingkungan
rusak oleh pertambangan. Lihat ibid,
hal. 12
[4] Economic, Social, and Cultural Committee
United Nations memasukan perempuan dan anak-anak sebagai
kelompok rentan dan tidak beruntung
[5] M.
Ridha Saleh, Ecoside : Politik Kejahatan
lingkungan dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia, Jakarta, Walhi, 2005, hal. 50
[6]
Negara-negara yang tergabung dalam G 8 terdiri dari Amerika Serikat, Kanada,
Itali, Perancis, Inggris, Jerman, Rusia, dan Jepang .
[7] Lembaga
Keuangan Internasional yakni : Bank Dunia (WB), Dana Moneter Internasional
(IMF), Bank Pembangunan Asia (ADB), Bank Pembangunan Afrika (AfDB), Bank
Pembangunan Eropa (EBRD), Bank Pembangunan antar Amerika (IADB), dan Bank
Pembangunan Islam (IDB).
[8] Selain
melalui institusi-institusi tersebut, negara-negara maju dengan menciptakan
lembaga keuangan untuk mendukung investasi mereka di luar negeri. Lembaga ini
umumnya disebut sebagai Lembga Kredit Ekspor (Export Credit Agencies/ECA) seperti JBIC (Jepang), Exim Bank (AS),
EDC (Kanada), Hermes Jerman). Kemudian mereka juga menciptakan lembaga penjamin
yang ditujukan untuk menjamin investasi atas aset-aset negara tersebut di luar
negeri, misalnya OPIC (AS). Lihat Konspirasi
Global : Kejahatan yang Terorganisir dalam Aflina Mustafainah, et. al. Manual Pendidikan Dasar Globalisasi,
Jakarta, debtWATCH Indonesia, JK-LPK, dan Community Development Bethesda, 2004,
hal. 14
[9] Salah
satu aspek yang diatur oleh WTO adalah perdagangan yang terkait dengan Hak atas
Kekayaan Intelektual (HaKI)/Trade Related
Aspect of Intelectual Property Rights (TRIPs). TRIPs merupakan instrumen
hukum internasional untuk melindungi
kekayaan intelektual dan penemuan termasuk makhluk hidup yang salah
satunya adalah benih atau varietas pertanian. Dengan hak paten atas mahkluk
hidup, seseorang atau suatu lembaga memiliki hak sepenuhnya untuk memanfaatkan
atau menjual jenis atau varietas yang telah dipatenkan. Bila orang lain ingin
memanfaatkan atau menjual jenis atau varietas yang sama mereka harus membayar
pada pemilik paten. Implikasinya para petani dan masyarakat adat tidak dapat
lagi menjalankan aktivitas seperti menyimpan benih, mempertukarkan, menanam, dan menjual tanpa seijin pemilik
paten. Lihat Posisi Koalisi Ornop
terhadap WTO dalam Meentje Simatauw, Leonard Simanjuntak, Pantoro Tri Kuswardono,
op. cit, hal. 38
[10] Aflina Mustafainah et. al, loc. cit. Kebijakan yang
dikembangkan oleh lembaga keuangan multilateral selalu mengarah kepada
privatisasi (yang selalu didahului oleh restrukturisasi) dan liberalisasi lewat
mesin mereka : pinjaman (loan).
Setiap pinjaman yang diberikan kepada
negara-negara debitor selalu disertai syarat-syarat (conditionalities) yang
lebih dikenal sebagai Program Penyesuaian Struktural (Structural Adjusment
Program/SAP). Fungsi utama SAP adalah untuk meromabk sistem lama disuatu negara
agar sesuai dengan mekanisme pasar bebas murni yang diusung oleh aliran
neoliberalisme. Lihat Arimbi Heroepoetri dalam Fabby Tumiwa, Listrik yang Menyengat Rakyat : Menggugat
Peranan Bank-Bank Pembangunan Multilarel, Jakarta, WGPSR, 2002, hal.
Xii. Berdasarkan kesepakatan dengan IMF,
Indonesia akan membuka keran impor beras dengan bea masuk 0% pada bulan Agustus
2002. Artinya beras dari luar akan
membanjiri pasar eras di Indonesia dengan harga murah. Harga beras di pasar
dunia pada tahun 2000 berkisar 1500 rupaiah sementara harga beras lokal
berkisar antara 2000 hingga 3000 rupiah perkila gram. Lihat Meentje Simatauw,
Leonard Simanjuntak, Pantoro Tri Kuswardono, ibid. hal 34
[11] Ifdhal
Kasim, Hak atas Lingkungan Hidup dan
Tanggung Gugat Korporasi Internasional, SUAR, Volume 5 No. 10 & 11
Tahun 2004, hal. 24
[12]
Kemiskinan merupakan suatu kondisi yang menghambat terpenuhinya hak atas
lingkungan yang sehat. Permasalahan pemenuhan atas hak lingkungan juga terkait
dengan hak atas permukiman yang layak (right
to adequate housing) dan akses terhadap layanan air bersih. Rakyat yang
hidup dalam kondisi miskin justru sulit untuk memperoleh kedua penikmatan atas
hak ini.
[13] Menuju
Forum Sosial Indonesia dalam Bukan Sekedar Anti-Globalisasi, Amalia Pulungan
dan Roysepta Abimanyu, Jakarta, IGJ dan Walhi, 2005, hal.169-170
[14] Dari
100 pelaku ekonomi terbesar di dunia, 52 di antaranya adalah korporasi global.
Gabungan pendapatan Mitsubishi, General Motor, dan Ford Motor lebih besar
dibandingkan gabungan Denmark, Thailand, Turki, Afrika Selatan, Arab Saudi,
Norwegia, Finlandia, Malaysia, Chili, dan Selandia Baru. ibid
[15] Ibid,
Comments
Post a Comment