MORATORIUM IJIN PEMEKARAN DAERAH OTONOMI BARU DI INDONESIA



STUDY KRITIS TENTANG MORATORIUM IJIN PEMEKARAN DAERAH OTONOMI BARU DI INDONESIA
OLEH
NUR MOKLIS
A.      PENDAHULUAN
Sejak 2009, moratorium pemekaran wilayah telah diberlakukan, walaupun beberapa kali kebobolan oleh tekanan daerah dan DPR yang bersikeras meneruskan pembukaan wilayah administratif baru. Tekanan politik dari DPR membuat pemekaran wilayah di Indonesia terus dilakukan. Dalam kasus Papua, menurut lembaga Institute for Policy Analysis of Conflict, IPAC di Jakarta, saat ini 33 daerah pemekaran baru menunggu pertimbangan DPR.[1]
Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar, Agun Gunanjar, awal Oktober 2013 lalu, mengatakan, pemekaran tak bisa dihentikan karena dipandang sebagai sarana bagi daerah agar dapat menikmati dana pembangunan yang dikuasai pusat. Agun menegaskan permohonan pemekaran wilayah tetap akan diproses meski moratorium berlaku. "Moratorium tidak menghalangi kita untuk meneruskan aspirasi rakyat di daerah," kata Agun. Temuan Kementrian Dalam Negeri menyebutkan dari 217 Daerah Otonom Baru (DOB), 80 persen di antaranya berkinerja buruk.[2]
Hal ini pula yang ditekankan pengamat otonomi daerah I Made Suwandi. "Di atas 60 persen, hasil pemekaran tidak begitu bagus. Indikasinya? Pelayanan publik di wilayah pemekaran tidak bagus," katanya kepada BBC Indonesia. Tiga tahun lalu, dalam rapat konsultasi pemerintah dan pimpinan DPR di Istana Negara, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan, tidak berjalan seperti yang diharapkan. "Dalam 10 tahun terakhir ada 205 daerah pemekaran. 80 Persen mengalami kegagalan," kata Presiden SBY usai rapat konsultasi dengan DPR, pertengahan Juli 2010.Sejak lebih dari sepuluh tahun lalu, sudah sebanyak 205 daerah dimekarkan dan sebanyak 80 persen daerah pemekaran dianggap gagal.[3] Laporan lembaga Institute for Policy Analysis of Conflict, IPAC di Jakarta juga mengatakan pemekaran wilayah di Papua telah  memicu terjadinya konflik baru, sehingga mereka mendesak pemerintah memperketat syarat pemekaran di wilayah tersebut.

B.       RUMUSAN MASALAH
Dalam makalah ini akan dikaji secara singkat tentang apakah diperlukan moratotium pemekaran wilayah di Indonesia?. Penulis akan menyajikan berbagai argumentasi untuk membedah masalah ini, sehingga bisa menjadi bahan masukan bagi pengambil kebijakan.

C.       PERLUNYA MORATORIUM PEMEKARAN WILAYAH
Indonesia adalah negara kepulauan yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Saat ini, dalam perkembangannya, Indonesia terdiri dari 34 provinsi, 410 kabupaten, dan 98 kota. Hal itu menunjukan adanya peningkatan sekitar 60 persen daerah otonomi baru terutama kabupaten/kota yang sekitar 17 tahun lalu hanya sekitar 346 kabupaten/kota. Perkembangan wilayah biasanya merupakan wujud dari keinginan masyarakat di suatu daerah untuk tumbuh dan berkembang dari segi ekonomi, politik, sosial, budaya dan keamanan, dalam dimensi geografis. Tingkat perkembangan wilayah dapat dilihat dari rasio luas wilayah terbangun (built-up area) terhadap total luas wilayah. Semakin besar rasionya maka semakin tinggi tingkat perkembangan wilayahnya. Semakin luas built-up areanya dapat diartikan semakin tinggi aktivitas ekonomi masyarakatnya.
Kondisi ini dapat dapat dilihat dari semakin luas dan rapatnya jaringan jalan, semakin luas dan banyaknya perkantoran, perdagangan, industri, serta semakin padatnya pemukiman penduduk. Seharusnya, kondisi ini menentukan semakin meningkatnya peluang kerja dan pertumbuhan ekonomi. Jika dari desa akan tumbuh kota maka dari kota akan tumbuh kota-kota kecil menjadi kota besar sebagai lokasi pemukiman baru. Dan, jika semakin luas rentang kendali pelayanan publik yang dirasakan masyarakat, saat ini cenderung adanya keinginan memisahkan diri dari desa/kota induk dan semakin luas memisahnya suatu kabupaten/kota dari kabupaten/kota induk. Hal ini bisa lebih luas lain dengan memisahnya kabupaten/kota dari provinsi induk membentuk sebuah provinsi atau wilayah administratif sendiri.
Di Indonesia, perkembangan wilayah sebelum tahun 1998 mengalami perubahan sejak bergulirnya era reformasi. Fenomena ini merupakan konsekuensi dari perubahan kebijakan sentralisasi menjadi desentralisasi (otonomi daerah). Kebijakan itu tertuang dalam UU No. 2 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diganti dengan UU No. 32 tahun 2004. Guna mengimplementasikan kebijakan itu maka dikeluarkan PP No. 129 tahun 2000 tentang persyaratan dan tata cara pembentukan daerah otonom baru, penghapusan dan penggabungan daerah otonom. Peraturan Pemerintah tersebut kemudian diganti dengan PP No. 78 tahun 2007.
1.      Persoalan Otonomi Daerah
Provinsi Lampung berdiri pada 18 Maret 1964 dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 3/1964 yang kemudian menjadi Undang-undang Nomor 14 tahun 1964. Sebelum itu Provinsi Lampung merupakan Karesidenan yang tergabung dengan Provinsi Sumatera Selatan. Sebelum 18 maret 1964, Provinsi Lampung secara administratif masih merupakan bagian dari Provinsi Sumatera Selatan, namun daerah ini jauh sebelum Indonesia merdeka telah menunjukkan potensi yang sangat besar serta corak warna kebudayaan tersendiri yang dapat menambah khasanah adat budaya di Nusantara.[4]
Saat ini, Provinsi Lampung terdiri dari 14 kabupaten/kota, beberapa di antaranya adalah kabupaten baru yang merupakan pecahan dari kabupaten induk setelah terbitnya Undang-Undang Otonomi Daerah No. 32/2004. Yaitu, Kabupaten Pringsewu, Kabupaten Pesawaran, Kabupaten Mesuji, Kabupaten Tulangbawang Barat, dan sekarang sudah lahir kabupaten bungsu yang diberi nama Kabupaten Pesisir Barat.Dalam perkembangannya, banyak persoalan yang dihadapi. Banyaknya daerah otonom baru memiliki implikasi terhadap semakin besarnya dana pembangunan daerah yang dialokasikan dari APBN dan APBD.
Misalnya, dengan pembentukan daerah otonomi baru pemerintah harus mengeluarkan DAU pada 2002 sebesar Rp1,33 triliun, tahun 2003 sebesar Rp2,6 triliun dan pada 2010 sebesar Rp47,9 triliun. Belum lagi konflik daerah otonomi baru yang sebenarnya memerlukan penanganan khusus dari pemda provinsi atau kabupaten induknya. Sebagai contoh, adanya kasus kerusuhan tambak udang PT Citra Pertiwi Bahari (CPB) yang sampai saat ini belum juga tuntas. Padahal, lima tahun lalu persoalan itu masih menjadi tanggung jawab kabupaten induk, yaitu Tulangbawang.
Belum lagi adanya kesan pembangkangan seorang bupati defenitif dari sebuah daerah otonomi baru kepada gubernur yang notabene adalah kepanjangan pemerintah pusat di daerah. Misalnya, belum disahkannya APBD Kabupaten Pesawaran oleh gubernur yang bermula dari pencopotan sekretaris kabupaten defenitif oleh bupati dan diganti dengan pejabat sementara sekkab. Padahal, kewenangan mengangkat dan memberhentikan sekkab adalah gubernur.Fakta lain yang banyak dijumpai dalam otonomi daerah baru adalah jumlah dan kualitas sumber daya manusia (SDM) sebagai personil pemerintah daerah yang minim. Belum lagi kurangnya sarana dan prasaranan pemerintahan dan munculnya berbagai konflik di masyarakat akibat persoalan batas wilayah.
Pelaksanaan otonomi daerah dianggap telah gagal menyejahterakan rakyat bahkan cenderung memboroskan keuangan negara dan terjadi perusakan lingkungan. Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PP ISNU) Ali Masykur Musa di Kota Malang, Jawa Timur, Senin (15/10), mengatakan otonomi daerah yang ditandai lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah justru menimbulkan berbagai masalah.[5]

2.      Peran dan Tugas Pemerintah
Pembentukan daerah otonomi baru sampai saat ini memang belum diharamkan. Tapi, paling tidak, selama 17 tahun pelaksanaaan otonomi daerah, pemerintah pusat harus banyak melakukan evaluasi. Evaluasi dilakukan dengan mengambil kebijakan penghentian sementara (moratorium) pembentukan daerah otonomi baru.Selanjutnya, pemerintah pusat dapat melakukan upaya yang konfrehensif untuk menata kembali usulan pembentukan daerah otonomi baru dengan menetapkan sejumlah strategi. Misanya, menetapkan persyaratan khusus bagi usulan daerah otonomi baru. Tujuannya, agar usulan pembentukan daerah otonomi tidak dijadikan ajang politisasi pihak-pihak tertentu untuk membentuk raja-raja kecil di daerah.[6]
Selain itu, dibuat persyaratan teknis dengan parameter dan indikator yang jelas. Misalnya, soal luas wilayah dan batas wilayah yang jelas, serta dengan jumlah penduduk minimal 500 ribu jiwa. Selain itu, jika nanti ternetuk daerah otonomi baru, harus ada kepastian sarana dan prasarana yang baik dan memenuhi syarat bagi jalannya roda pemerintahan yang baru terbentuk.
Jika dilihat dari hasil evaluasi yang dilakukan Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri) menyebutkan di samping persoalan adanya ketimpangan antara besarnya dana yang dialokasikan dengan hasil yang dicapai dalam pembangunan daerah otonom baru serta munculnya konflik horisontal cenderung semakin meningkat. Hal ini lebih disebabkan lemahnya aturan persyaratan pembentukan daerah otonomi baru. Untuk itu, pemerintah pusat diharapkan dapat mengambil kebijakan cepat, mengingat otonomi daerah yang sudah berjalan hampir 17 tahun justru semakin menimbulkan banyak masalah yang dihadapi. Salah satu menyempurnakan ketentuan persyaratan minimal untuk daerah otonom baru

D.      KESIMPULAN
Pemerintah perlu mengakaji ulang dan mengefaluasi tentang kebijakan pemekaran wilayah sehingga tujuan ingin mensejahterakan rakyat dapat terwujud. Disi lain moratotium pemekaran wilayah di Indonesia diperlukan untuk memberi waktu pada pengambil kebijakan untuk melakukan penelaahan ulang tengtang keberhasilan, kendala, serta hal hal yang diperlukan.

DAFTAR PUSTAKA

Kuncoro,“Otonomi dan Pembangunan Daerah; Reformasi, Perencanaan, Strategi dan Peluang”, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2004. Hlm.
Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas  Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

Comments

Popular posts from this blog

HADITS-HADITS AHKAM TENTANG JUAL BELI (SALE AND PURCHASE)

SHUNDUQ HIFZI IDA’ (SAFE DEPOSIT BOX) BANK SYARI’AH

STUDI TENTANG PEMIKIRAN IMAM AL-SYAUKANI DALAM KITAB IRSYAD AL-FUHUL