HUKUM PROGRESIF: MEMBUMIKAN HUKUM SYARI’AH DI INDONESIA OLEH HAKIM
HUKUM PROGRESIF:
MEMBUMIKAN HUKUM SYARI’AH DI
INDONESIA OLEH HAKIM
Oleh:
Nur
Moklis
I.
PENDAHULUAN
Secara singkat, Teori Hukum
Progresif yang dicetuskan oleh Profesor Satjipto Rahardjo ini menegaskan bahwa
hukum adalah untuk manusia, dan bukan sebaliknya. “Hukum itu bukan hanya
bangunan peraturan, melainkan juga bangunan ide, kultur, dan cita-cita”
(Profesor Satjipto Rahardjo).
Prof. Satjipto Raharjo, S.H., yang
menyatakan pemikiran hukum perlu kembali pada filosofis dasarnya, yaitu hukum untuk
manusia. Dengan filosofis tersebut, maka manusia menjadi penentu dan titik
orientasi hukum. Hukum bertugas melayani manusia, bukan sebaliknya. Oleh karena
itu, hukum itu bukan merupakan institusi yang lepas dari kepentingan manusia.
Mutu hukum ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi pada kesejahteraan
manusia. Ini menyebabkan hukum progresif menganut “ideologi” : Hukum yang
pro-keadilan dan Hukum yang Pro-rakyat.
Dalam logika itulah revitalisasi
hukum dilakukan setiap kali. Bagi hukum progresif, proses perubahan tidak lagi
berpusat pada peraturan, tetapi pada kreativitas pelaku hukum
mengaktualisasikan hukum dalam ruang dan waktu yang tepat. Para pelaku hukum
progresif dapat melakukan perubahan dengan melakukan pemaknaan yang kreatif
terhadap peraturan yang ada, tanpa harus menunggu perubahan peraturan (changing
the law). Peraturan buruk tidak harus menjadi penghalang bagi para pelaku
hukum progresif untuk menghadikarkan keadilan untuk rakyat dan pencari
keadilan, karena mereka dapat melakukan interprestasi secara baru setiap kali
terhadap suatu peraturan. Untuk itu agar hukum dirasakan manfaatnya, maka
dibutuhkan jasa pelaku hukum yang kreatif menterjemahkan hukum itu dalam
kepentingan-kepentingan sosial yang memang harus dilayaninya.
Berdasarkan teori ini keadilan tidak
bisa secara langsung ditemukan lewat proses logis formal. Keadilan justru
diperoleh lewat institusi, karenanya, argument-argumen logis formal “dicari”
sesudah keadilan ditemukan untuk membingkai secara yuridis-formal keputusan yang
diyakini adil tersebut. Oleh karena itu konsep hukum progresif, hukum tidak
mengabdi bagi dirinya sendiri, melainkan untuk tujuan yang berada di luar
dirinya.
Dalam masalah penegakan hukum,
terdapat 2 (dua) macam tipe penegakan hukum progresif :
1.
Dimensi dan faktor manusia pelaku dalam penegakan hukum
progresif. Idealnya, mereka terdiri dari generasi baru profesional hukum yang
memiliki visi dan filsafat yang mendasari penegakan hukum progresif.
2.
Kebutuhan akan semacam kebangunan di kalangan akademisi, intelektual
dan ilmuan serta teoritisi hukum Indonesia.
Hal ini jika diperhatikan dengan
seksama ternyata sesuai dengan tujuan pembentukan hokum islam (maqashid al-syari’ah), yaitu merealisir
kemaslahatan manusia dengan menjamin kebutuhan primernya (dhoruriyah), memenuhi kebutuhan skundernya (hajiyah) dn serta kebutuhan pelengkapnya (tahsiniyah)[1].
Muhammad Abu Zahra menyatakan bahwa tujuan pemberlakuan hokum syari’ah adalah
untuk kesejahteraan manusia.[2]
Hal tersebut sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an bahwa tidaklah
Allah mengutus Muhammad SAW kecuali dengan tujuan mensejahterkan alam seisinya.
II. LATAR BELAKANG
Indonesia adalah sebuah
negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam, serta merupakan sebuah negara
di dunia yang memiliki penduduk beragama Islam terbesar. Hukum Islam bagi
rakyat Indonesia, bukanlah merupakan hal yang asing, melainkan begitu familier
dan telah terintegrasi dengan budaya masyarakatnya setempat, sejak berabad-abad
yang lalu. Hal ini dapat diketahui dari tata cara mereka, berdoa,
menyelenggarakan pernikahan, berkhitan, memperlakukan jenazah, membagi warisan
dan lain-lain, pendeknya hampir pada setiap aspek kehidupan mereka.
Oleh karena Hukum Islam
begitu berpengaruh dalam setiap kehidupan masyarakat Indonesia, maka
kedudukannya begitu setrategis untuk dijadikan acuan guna mempengaruhi perilaku
masyarakat, baik dalam segi sosial, budaya, ekonomi serta pergaulan
sehari-hari. Sebagai aturan yang bersumber utama dari ajaran agama
(baca:syariat) Hukum Islam sangat dipatuhi, dan melaksanakannya bagi masyarakat
bernilai sebagai ibadah.
Hukum Islam,
dengan sumber utamanya Al-Quran dan sunah Rosul adalah merupakan sumber
hukum yang bersifat tetap/statis, akan tetapi memberi ruang tafsir yang
dapat menyesuaikan dengan ruang dan waktu dan merujuk pada sumber hukum lainnya
yakni Ijma’ (kesepakatan para ulama dalam menghukumi sesuatu) dan Qias
(penetapan hukum dengan menganalogikan sesuatu dengan sesatu yang telah ada
hukumnya) , maka aplikasinya dalam hukum keseharian menjadi begitu dinamis.
Ijma’ dan Qias sebagai
sumber hukum yang ketiga dan keempat setelah Al-Quran dan sunah Rosul,
menjadikan Hukum Islam mampu beradaptasi dengan ruang dan waktu, sehingga dapat
dipergunakan untuk menghukumi kapan saja dan di mana saja, tanpa kehawatiran
menjadi usang dan ketinggalan jaman.
Hal ini belum termasuk
sumber-sumber hukum lainnya seperti Uruf (adat istiadat), Istihsan,
Istishab. Maslahah mursalah, dll, yang kesemua itu memungkinkan Hukum Islam
menjadi sumber hukum Progresif Indonesia Yang tak pernah Kering.
III. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakan
diatas penulis akan menelaah tentang tentang hokum progresif terkait tentang
membumikan hokum syari’ah di Indonesia,
dengan menitik beratkan pada tiga pertanyaan dibawah ini:
1.
Apa sumber-sumber
hukum Islam ?
2.
Bagaimana seorang hakim membangun/ mewujudkan Hukum Nasional
Progresif ?
3.
Dapatkah hukum Islam menjadi alternatif dalam membangun
Hukum Nasional Progresif?
IV. PANDANGAN HUKUM
PROGRESIF
TENTANG KEADILAN
Sejarah konfigurasi politik di
Indonesia memperlihatkan adanya pasang surut dan naik pasang secara bergantian
antara demokratis dan otoriter. Dengan logika pembangunan ekonomi yang menjadi
prioritas utamanya, periode Orde Baru menampilkan watak otoriter-birokratis.
Orde baru tampil sebagai Negara kuat yang mengatasi berbagai kekuatan yang ada
dalam masyarakat dan berwatak intervensionis. Dalam konfigurasi demikian
hak-hak politik rakyat mendapat tekanan atau pembatasan-pemabatasan.
Agenda reformasi yang menjadi
tuntutan masyarakat adalah bagaimana terpenuhinya rasa keadilan ditengah
masyarakat. Namun didalam realitasnya, ukuran rasa keadilan masyarakat itu
tidak jelas. Menurut Hakim Agung Abdul Rachman Saleh, rasa keadilan masyarakat
yang dituntut harus mampu dipenuhi oleh para hakim itu tidak mudah. Hal ini
dikarenakan ukuran rasa keadilan masyarakat tidak jelas.[3]
Pada dasarnya kehidupan manusia
tidak dapat dipisahkan dari hukum. Sepanjang sejarah peradaban manusia, peran
sentral hukum dalam upaya menciptakan suasana yang memungkinkan manusia merasa
terlindungi, hidup berdampingan secara damai dan menjaga eksistensinya didunia
telah diakui[4].
Keadilan adalah inti atau hakikat
hukum. Keadilan tidak hanya dapat dirumuskan secara matematis bahwa yang
dinamakan adil bila seseorang mendapatkan bagian yang sama dengan orang lain.
Demikian pula, keadilan tidak cukup dimaknai dengan simbol angka sebagaimana
tertulis dalam sanksi-sanksi KUHP, misalnya angka 15 tahun, 5 tahun, 7 tahun
dan seterusnya. Karena keadilan sesungguhnya terdapat dibalik sesuatu yang
tampak dalam angka tersebut (metafisis), terumus secara filosofis oleh
petugas hukum/hakim.[5]
Dalam sistem hukum dimanapun
didunia, keadilan selalu menjadi objek perburuan, khususnya melalui lembaga pengadilannya.
Keadilan adalah hal yang mendasar bagi bekerjanya suatu sistem hukum. Sistem
hukum tersebut sesungguhnya merupakan suatu struktur atau kelengkapan untuk
mencapai konsep keadilan yang telah disepakati bersama.[6]
Merumuskan konsep keadilan dalam
pemikiran hukum progresif ialah
bagaimana bisa menciptakan keadilan yang subtantif dan bukan keadilan prosedur.
Akibat dari hukum modren yang memberikan perhatian besar terhadap aspek
prosedur, maka hukum di Indonesia dihadapkan pada dua pilihan besar antara
pengadilan yang menekankan pada prosedur atau pada substansi. Keadilan
progresif bukanlah keadilan yang menekan pada prosedur melainkan keadilan
substantif.
Bagaimana mungkin itu terjadi,
karena kerusakan dan kemerosotan dalam perburuan keadilan melalui hukum modern
disebabkan permainan prosedur yang menyebabkan timbulnya pertanyaan “apakah
pengadilan itu mencari keadilan atau kemenangan?”. Proses pengadilan dinegara
yang sangat sarat dengan prosedur (heavly proceduralizied) menjalankan
prosedur dengan baik ditempatkan diatas segala-galanya, bahkan diatas
penanganan substansi (accuracy of substance). Sistem seperti itu
memancing sindiran terjadinya trials without truth.[7]
Dalam rangka menjadikan keadilan
subtantif sebagai inti pengadilan yang dijalankan di Indonesia, Mahkamah Agung
memegang peranan yang sangat penting. Sebagai puncak dari badan pengadilan, ia
memiliki kekuasaan untuk mendorong (encourage) pengadilan dan hakim
dinegeri ini untuk mewujudkan keadilan yang progresif tersebut.
Hakim menjadi faktor penting dalam
menentukan, bahwa pengadilan di Indonesia bukanlah suatu permainan (game) untuk
mencari menang atau kalah, melainkan mencari kebenaran dan keadilan. Keadilan
progresif semakin jauh dari cita-cita “pengadilan yang cepat, sederhana, dan
biaya ringan” apabila membiarkan pengadilan didominasi oleh “permainan”
prosedur. Proses pengadilan yang disebut
fair trial dinegeri ini hendaknya berani ditafsirkan sebagai pengadilan
dimana hakim memegang kendali aktif untuk mencari kebenaran.[8]
V.
LANDASAN KONSEPTUAL PEMIKIRAN HUKUM
PROGRESIF
Studi
hubungan antara konfigurasi politik dan karakter produk hukum menghasilkan
tesis bahwa setiap produk hukum merupakan percerminan dari konfigurasi politik
yang melahirkannya. Artinya setiap muatan produk hukum akan sangat ditentukan
oleh visi kelompok dominan (Penguasa). Oleh karena itu, setiap upaya melahirkan
hukum-hukum yang berkarakter responsif/populistik harus dimulai dari upaya
demokratisasi dalam kehidupan politik.[9]
Kehadiran pemikiran hukum progresif
bukanlah sesuatu yang kebetulan, bukan sesuatu yang lahir tanpa sebab, dan juga
bukan sesuatu yang jatuh dari langit. Pemikiran Hukum progresif adalah bagian
dari proses pencarian kebenaran (searching for the truth) yang tidak
pernah berhenti. Hukum progresif yang dapat dipandang sebagai konsep yang
sedang mencari jati diri, bertolak dari realitas empirik tentang bekerjanya
hukum dimasyarakat, berupa ketidakpuasan dan keprihatinan terhadap kinerja dan
kualitas penegakan hukum dalam setting Indonesia akhir abad ke-20.
Adalah keprihatinan Satjipto
Rahardjo terhadap keadaan hukum di Indonesia. Para pengamat hukum dengan jelas
mengatakan bahwa kondisi penegakan hukum di Indonesia sangat memprihatinkan.
Pada tahun 1970-an sudah ada istilah “mafia peradilan” dalam kosakata hukum di
Indonesia, pada orde baru hukum sudah bergeser dari social engineering
ke dark engineering karena digunakan untuk mempertahankan kekuasaan.
Pada era reformasi dunia hukum makin mengalami komersialisasi.
Menurut Satjipto Rahardjo, inti dari
kemunduran diatas adalah makin langkanya kejujuran, empati dan dedikasi dalam
menjalankan hukum, kemudian Satjipto Rahardjo mengajukan pertanyaan, apa yang
salah dengan hukum kita? Bagaimana jalan untuk mengatasinya?[10].
Agenda besar gagasan pemikiran hukum
progresif adalah menempatkan manusia sebagai sentralitas utama dari seluruh
perbincangan mengenai hukum. Dengan kebijaksanaan pemikiran hukum progresif
mengajak untuk memperhatikan faktor perilaku manusia. Oleh karena itu,
pemikiran hukum progresif menempatkan perpaduan antara faktor peraturan dan
perilaku penegak hukum didalam masyarakat. Disinilah arti penting pemahaman
gagasan pemikiran hukum progesif, bahwa
konsep “hukum terbaik” mesti diletakkan dalam konteks keterpaduan yang bersifat
utuh (holistik) dalam memahami problem-problem kemanusiaan.
Dengan demikian, gagasan pemikiran
hukum progresif tidak semata-mata hanya memahami sistem hukum pada sifat yang
dogmatic, selain itu juga aspek perilaku sosial pada sifat yang empirik.
Sehingga diharapkan melihat problem kemanusiaan secara utuh berorientasi
keadilan substantive.
1. Hukum Sebagai Institusi Yang
Dinamis
Pemikiran hukum progresif menolak
segala anggapan bahwa institusi hukum sebagai institusi yang final dan mutlak,
sebaliknya hukum progresif percaya bahwa institusi hukum selalu berada dalam
proses untuk terus menjadi (law as a process, law in the making).
Anggapan ini dijelaskan oleh Satjipto Rahardjo sebagai berikut:
(pemikiran.
penulis) Hukum progresif tidak memahami hukum sebagai institusi yang mutlak
secara final, melainkan sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi
kepada manusia. Dalam konteks pemikiran yang demikian itu, hukum selalu berada
dalam proses untuk terus menjadi. Hukum adalah institusi yang secara terus
menerus membangun dan mengubah dirinya menuju kepada tingkat kesempurnaan yang
lebih baik. Kualitas kesempurnaan disini bisa diverifikasi ke dalam
faktor-faktor keadilan, kesejahteraan, kepedulian kepada rakyat dan lain-lain.
Inilah hakikat “hukum yang selalu dalam proses menjadi (law as a process,
law in the making).[11]
Dalam konteks yang demikian itu,
hukum akan tampak selalu bergerak, berubah, mengikuti dinamika kehidupan
manusia. Akibatnya hal ini akan mempengaruhi pada cara berhukum kita, yang
tidak akan sekedar terjebak dalam ritme “kepastian hukum”, status quo
dan hukum sebagai skema yang final, melainkan suatu kehidupan hukum yang selalu
mengalir dan dinamis baik itu melalui perubahan-undang maupun pada kultur
hukumnya. Pada saat kita menerima hukum sebagai sebuah skema yang final, maka
hukum tidak lagi tampil sebagai solusi bagi persoalan kemanusiaan, melainkan
manusialah yang dipaksa untuk memenuhi kepentingan kepastian hukum.
2. Hukum Sebagai Ajaran Kemanusiaan
dan Keadilan
Dasar filosofi dari pemikiran hukum
progresif adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada
kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia.[12]
Pemikiran hukum progresif berangkat dari
asumsi dasar bahwa hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya. Berdasarkan
hal itu, maka kelahiran hukum bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk
sesuatu yang lebih luas, yaitu; untuk harga diri manusia, kebahagiaan,
kesejahteraan dan kemuliaan manusia. Itulah sebabnya ketika terjadi permasalahan
didalam hukum, maka hukumlah yang harus ditinjau dan diperbaiki, bukan manusia
yang dipaksa-paksa untuk dimasukkan kedalam skema hukum.
Pernyataan bahwa hukum adalah untuk
manusia, dalam artian hukum hanyalah sebagai “alat” untuk mencapai kehidupan yang
adil, sejahtera dan bahagia, bagi manusia. Oleh karena itu menurut pemikiran
hukum progresif, hukum bukanlah tujuan dari manusia, melainkan hukum hanyalah
alat. Sehingga keadilan subtantif yang harus lebih didahulukan ketimbang
keadilan prosedural, hal ini semata-mata agar dapat menampilkan hukum menjadi
solusi bagi problem-problem kemanusiaan.
3. Hukum Sebagai Aspek Peraturan dan
Perilaku
Orientasi pemikiran hukum progresif bertumpu pada aspek
peraturan dan perilaku (rules and behavior). Peraturan akan membangun
sistem hukum positif yang logis dan rasional. Sedangkan aspek perilaku atau
manusia akan menggerakkan peraturan dan sistem yang telah terbangun itu. Karena
asumsi yang dibangun disini, bahwa hukum bisa dilihat dari perilaku sosial
penegak hukum dan masyarakatnya.
Dengan
menempatkan aspek perilaku berada diatas aspek peraturan, dengan demikian
faktor manusia dan kemanusiaan inilah yang mempunyai unsur greget seperti compassion (perasaan
baru), empathy, sincerety (ketulusan), edication, commitment
(tanggung jawab), dare (keberanian) dan determination (kebulatan
tekad).
Satjipto
rahardjo mengutip ucapan Taverne, “Berikan pada saya jaksa dan hakim yang baik,
maka dengan peraturan yang buruk sekalipun saya bisa membuat putusan yang
baik”. Mengutamakan perilaku (manusia) daripada peraturan perundang-undangan
sebagai titik tolak paradigma penegakan hukum, akan membawa kita untuk memahami
hukum sebagai proses dan proyek kemanusiaan.[13]
Mengutamakan faktor perilaku
(manusia) dan kemanusiaan diatas faktor peraturan, berarti melakukan pergeseran pola pikir, sikap dan
perilaku dari aras legalistik-positivistik ke aras kemanusiaan secara utuh (holistik),
yaitu manusia sebagai pribadi (individu) dan makhluk sosial. Dalam konteks
demikian, maka setiap manusia mempunyai tanggung jawab individu dan tanggung
jawab sosial untuk memberikan keadilan kepada siapapun.
4. Hukum Sebagai Ajaran Pembebasan
Pemikiran hukum progresif
menempatkan diri sebagai kekuatan “pembebasan” yaitu membebaskan diri dari
tipe, cara berpikir, asas dan teori hukum yang legalistik-positivistik. Dengan
ciri ini “pembebasan” itu, hukum progresif lebih mengutamakan “tujuan” daripada
“prosedur”. Dalam konteks ini, untuk melakukan penegakan hukum, maka diperlukan
langkah-langkah kreatif, inovatif dan bila perlu melakukan “mobilisasi hukum”
maupun “rule breaking”.
Satjipto Rahardjo memberikan contoh
penegak hukum progresif sebagai berikut. Tindakan Hakim Agung Adi Andojo
Soetjipto dengan inisiatif sendiri mencoba membongkar atmosfir korupsi di lingkungan
Mahkamah Agung. Kemudian dengan berani hakim Agung Adi Andojo Sutjipto membuat
putusan dengan memutus bahwa Mochtar Pakpahan tidak melakukan perbuatan makar
pada rezim Soeharto yang sangat otoriter. Selanjutnya, adalah putusan
pengadilan tinggi yang dilakukan oleh Benyamin Mangkudilaga dalam kasus Tempo,
ia melawan Menteri Penerangan yang berpihak pada Tempo.[14]
Paradigma “pembebasan” yang dimaksud
disini bukan berarti menjurus kepada tindakan anarkhi, sebab apapun yang
dilakukan harus tetap didasarkan pada “logika kepatutan sosial” dan “logika
keadilan” serta tidak semata-mata berdasarkan “logika peraturan” saja. Di
sinilah pemikiran hukum progresif itu menjunjung tinggi moralitas. Karena hati
nurani ditempatkan sebagai penggerak, pendorong sekaligus pengendali “paradigma
pembebasan” itu. Dengan begitu, paradigma pemikiran hukum progresif bahwa “hukum untuk manusia, dan bukan
sebaliknya” akan membuat konsep pemikiran hukum progresif merasa bebas untuk
mencari dan menemukan format, pikiran, asas serta aksi yang tepat untuk
mewujudkannya.
VI. PARADIGMA HUKUM
PROGRESIF
Adalah Satjipto Rahardjo, atau Prof. Tjip panggilan akrab beliau yaitu
seseorang yang dijuluki Begawan sosiologi hukum Indonesia yang pertama kali
mencetuskan gagasan hukum progresif.[15]
Gagasan ini kemudian
mencuat kepermukaan dan menjadi kajian yang sangat menarik ditelaah lebih
lanjut. Apa yang digagas oleh Prof. Tjip ini menawarkan perspektif, spirit, dan
cara baru mengatasi “kelumpuhan hukum di Indonesia. Progresif berasal dari kata
progress yang berarti kemajuan. Hukum
hendaknya mampu mengikuti perkembangan zaman, mampu menjawab perubahan zaman
dengan segala dasar di dalamnya, serta mampu melayani kepentingan masyarakat
dengan menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber daya manusia penegak hukum
itu sendiri.[16]
Dilihat dari
kemunculannya, hukum progresif bukanlah sesuatu yang kebetulan, bukan sesuatu
yang lahir tanpa sebab, dan juga bukan sesuatu yang jatuh dari langit. Hukum
progresif adalah bagian dari proses pencarian kebenaran yang tidak pernah
berhenti. Hukum progresif-yang dapat dipandang sebagai yang sedang mencari jati
diri–bertolak dari realitas empirik tentang bekerjanya hukum di masyarakat,
berupa ketidakpuasan dan keprihatinan terhadap kinerja dan kualitas penegakan
hukum dalam setting Indonesia akhir
abad ke-20. Dalam proses pencariannya itu, Prof. Tjip kemudian berkesimpulan
bahwa salah satu penyebab menurunnya kinerja dan kualitas penegak hukum di
Indonesia adalah dominasi paradigma positivisme dengan sifat formalitasnya yang
melekat.[17]
Dalam kaitannya
dengan pembangunan ekonomi Dunia Ketiga khususnya di Indonesia, kegagalan
pembangunan ekonomi yang hanya disandarkan pada liberalisasi ekonomi dan itu
dibuktikan dengan arus globalisasi ekonomi memaksa Indonesia harus masuk
kedalam poros mekanisme pasar dan perdagangan Internasional. Akibatnya dibawah
pemerintahan Susilo Bambang Yudoyhono (SBY) dengan tekanan dinamika ekonomi
internasional tidak aneh ketika pemerintah sekarang menaikkan harga bahan bakar
minyak (BBM) sampai Jilid II, hal ini dilakukan dengan dalih menyesuaikan harga
minyak dunia yang melonjak naik secara drastis. Sehingga pemerintah melakukan
pengurangan alokasi subsidi BBM untuk menyelamatkan APBN nasional.
Alasan-alasan diatas
secara teknis ekonomis cukup bisa dimaklumi. Persoalannya kebijakan menaikkan
harga BBM harus realistis terhadap kondisi rakyat saat ini. Untuk sampai pada
keyakinan bahwa dampak kenaikan harga BBM secara simultan tak berdampak besar
terhadap inflasi dan daya beli masyarakat, agaknya perlu terlebih dahulu
mengetahui secara seksama kondisi daya tahan masyarakat. Artinya pemerintah
terlebih dahulu melakukan general chek up
atas daya tahan ekonomi masyarakat. Dalam pandangan hukum progresif hal
inilah yang disebut kebijakan yang tidak memberikan kemanfaatan sosial bagi
masyarakat, dan seakan-akan ilmu ekonomi hanya tombol kematian bagi kepentingan
masyarakat secara umum. Karena pilihan meanstream
ekonomi Indonesia yang cenderung postivistik terhadap kepentingan neo
liberalisme belaka.[18] Sehingga tak heran agenda
untuk menjalankan sistem ekonomi seperti ini, yang pertama adalah melakukan
globalisasi hukum yang disesuaikan dengan kepentingan pragmatis yaitu akumulasi
modal. Artinya mekanisme hukum yang diciptakan bertitik sentral pada mazhab
sistem pembangunan ekonomi neo liberalisme sampai masuk ke dalam ranah
positivisme hukum.
Paradigma hukum
progresif sangat menolak meanstream
seperti ini yang berpusat pada aturan/mekanisme hukum positivistik, dan hukum
progresif membalik paham ini. Kejujuran dan ketulusan menjadi mahkota penegakan
hukum. Empati, kepedulian, dan dedikasi menghadirkan keadilan, menjadi roh
penyelenggara hukum. Kepentingan manusia (kesejahteraan dan kebahagiannya)
menjadi titik orientasi dan tujuan akhir dari hukum. Para penegak hukum menjadi
unjung tombak perubahan.[19]
Dalam logika inilah
revitalisasi hukum dilakukan. Perubahan tak lagi pada peraturan, tetapi pada
kreativitas pelaku hukum mengaktualisasi hukum dalam ruang dan waktu yang
tepat. Aksi perubahan pun bisa segera dilakukan tanpa harus menunggu perubahan
peraturan, karena pelaku hukum progresif dapat melakukan pemaknaan yang
progresif terhadap peraturan yang ada. Menghadapi suatu aturan, meskipun aturan
itu tidak aspiratif misalnya, aparat penegak hukum yang progresif tidak harus
menepis keberadaan aturan itu. Ia setiap kali bisa melakukan interpretasi[20] secara baru terhadap
aturan tersebut untuk memberi keadilan dan kebahagiaan pada pencari keadilan.[21]
Berdasarkan uraian
diatas, hukum progresif, sebagaimana hukum yang lain seperti positivisme,
realisme, dan hukum murni, memiliki karakteristik yang membedakannya dengan
yang lain, sebagaimana akan diuraikan dibawah ini.[22]
Pertama, paradigma
dalam hukum progresif adalah, bahwa “hukum adalah suatu institusi yang
bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan
membuat manusia bahagia”. Artinya paradigma hukum progresif mengatakan bahwa hukum adalah untuk manusia. Pegangan,
optik atau keyakinan dasar ini tidak melihat hukum sebagai sesuatu yang sentral
dalam berhukum, melainkan manusialah yang berada di titik pusat perputaran
hukum. Hukum itu berputar di sekitar manusia sebagai pusatnya. Hukum ada untuk
manusia, bukan manusia untuk hukum. Apabila kita berpegangan pada keyakinan
bahwa manusia itu adalah untuk hukum, maka manusia itu akan selalu diusahakan,
mungkin juga dipaksakan, untuk bisa masuk ke dalam skema-skema yang telah
dibuat oleh hukum. Sama halnya, ketika situasi tersebut di analogkan kepada
undang-undang penanaman modal yang saat ini cenderung hanya mengedepankan
kepentingan invenstasi belaka, tanpa melihat aspek keadilan dan keseimbangan
sosial masyarakat. Sewajarnya bahwa undang-undang penanaman modal sebagai
regulasi yang pada kaitannya juga dengan pembangunan ekonomi di Indonesia
diciptakan untuk pemenuhan hak dasar masyarakat. Bukan dengan tujuan
sebaliknya, masyarakat menjadi victim
akibat dari aturan tersebut.
Kedua, hukum
progresif menolak untuk mempertahankan status
quo dalam berhukum. Mempertahankan status
quo memberikan efek yang sama, seperti pada waktu orang berpendapat, bahwa
hukum adalah tolak ukur semuanya, dan manusia adalah untuk hukum. Cara berhukum
yang demikian itu sejalan dengan cara positivistik, normative dan legalistik.
Sekali undang-undang mengatakan atau merumuskan seperti itu, kita tidak bias
berbuat banyak, kecuali hukumnya dirubah lebih dulu. Dalam hubungan dengan ini,
ada hal lain yang berhubungan dengan penolakan terhadap cara berhukum yang pro status quo tersebut, yaitu berkaitan
dengan perumusan-perumusan masalah kedalam perundang-undangan. Subtansi
undang-undang itu berangkat dari gagasan tertentu dalam masyarakat yang
kemudian bergulir masuk ke lembaga atau badan legislatife.
Terakhir adalah,
hukum progresif memberikan perhatian
besar terhadap peranan perilaku manusia dalam hukum. Ini bertentangan dengan
diametral dengan paham, bahwa hukum itu hanya urusan peraturan. Peranan manusia
disini merupakan konsekuensi terhadap pengakuan, bahwa sebaiknya kita tidak
berpegangan secara mutlak kepada teks formal suatu peraturan. Diatas telah
dijelaskan betapa besar risiko dan akibat yang akan dihadapi apabila kita
“menyerah bulat-bulat” kepada peraturan. Cara berhukum yang penting untuk
mengatasi kemandegan atau stagnasi adalah dengan membebaskan diri dari dominasi
yang membuta kepada teks undang-undang. Cara seperti ini bias dilakukan,
apabila kita melibatkan unsur manusia atau perbuatan manusia dalam berhukum.
Karena pada dasarnya the live of law has
not been logis, but experience.[23]
Gagasan hukum
progresif dan karakteristik yang membedakannya dengan yang lain sebagaimana
uraian di atas, memberi warna dan cara pandang baru di dalam memahami hukum
sebagai regulasi pembangunan ekonomi. Gagasan tersebut paling tidak merupakan
pertimbangan pada aspek mekanisme yang dijalankan pada roda pembangunan ekonomi
Indonesia, walaupun kita tahu bersama bahwa paradigma hukum progresif bukanlah
sesuatu ilmu ekonomi murni. Berkaitan dengan hal itu, muncul pertanyaan,
bagaimana jika gagasan hukum progresif ini secara mekanistik dapat diterapkan
dalam alternatif pembangunan ekonomi Dunia Ketiga, yang pada khususnya dalam
konteks Indonesia. Uraian di bawah ini akan menjelaskan persoalan tersebut
VII.
ASAS-ASAS HUKUM ISLAM
Hukum Islam
sebagaimana hukum-hukum yang lain mempunyai asas dan tiang pokok. kuatan suatu hukum, sukar mudahnya, dapat
diterima atau ditolak masyarakat tergantung kepada asas dan tiang-tiang
pokoknya.[24]
Hudari Bik berpendapat bahwa dalam pembinaan hokum Islam, setidaknya ada tiga
asas.[25]
a)
‘Adamul Harj (Tidak Menyempitkan).
Haraj
menurut
bahasa Arab adalah sempit. Banyak dalildalil yang menunjukkan bahwa syari’at
ini didasarkan atas dihilangkannya kesempitan. Firman Allah Ta’ala:
Artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu” (QS. al-Baqarah ayat 185).
Artinya: “Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali
tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan” (Q.S. Al-Hajj
ayat 78).
Artinya: dan membuang dari mereka beban-beban dan
belenggu-belenggu yang ada pada mereka (Q.S. Al-A’raf ayat 157)
Maksudnya adalah
dalam syari'at yang dibawa oleh Nabi Muhammad itu tidak ada lagi beban-beban
yang berat yang dipikulkan kepada Bani Israil. Umpamanya: mensyari'atkan
membunuh diri untuk sahnya taubat, mewajibkan qisas pada pembunuhan baik yang
disengaja atau tidak tanpa membolehkan membayar diat, memotong anggota badan
yang melakukan kesalahan, membuang atau menggunting kain yang kena najis.
Dan hadits Nabi : ”Aku diutus dengan agama yang
ringan”
Menurut Yusuf
al-Qaradhawi,[26]
memudahkan adalah manhaj al-Qur’an dan Nabi. Manhaj tersebut diajarkan oleh
Nabi kepada para sahabat. Beliau memerintahkan mereka untuk mengikutinya. Baik
individu maupun jamaah. Ketika mengutus Abu Musa dan Muadz bin Jabal ke Yaman,
beliau mengutus dengan wasiat ini, “Mudahkan jangan menyulitkan, beri kabar
gembitrabukan ketakutan, dan taatlah bukan berselisih”. Hal yang beliau
wasiatkan kepada Muadz dan Abu Musa beliau wasiatkan juga kepada umat. Anas
meriwayatkan bahwa Nabi pernah bersabda, “Mudahkanlah dan jangan
menyulitkan, berilahkabar gembira dan jangan ketakutan.” (Muttafaq alaih).
Dengan demikian yang dicipta adalah memudahkan dalam fatwa, danmemberi kabar
gembira dalam dakwah.[27]
Ulama sering
menguatkan pendapat mereka denganperkataan “Ini lebih mudah bagi manusia”. Jika
berijtihad, merekapun sering membetulkan muamalah manusia sesuai
dengankemampuan. Mereka menyandarkan hal tersebut kepada kaidahkaidah syariat,
seperti al-dharurat tubih al-mahzhurat (keadaan darurat membolehkan hal
yang terlarang), al-hajah tunazzil manzilah al-dharurah (kebutuhan
mendesak disesuaikan dengan kedudukan darurat), al-dharar yuzal (darurat
harus dihilangkan), al„adah muhakkamah (adat menjadi hukum), al-masyaqqqah
tajlib al-taysir (kesulitan mendatangkan kemudahan), serta kaidah-kaidah
lainnya yang dibuat oleh ulama dan mereka ambil dari teks-teks dan hukumhukum syariat.[28].
Di sini harus
diingatkan ungkapan yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam kitab Hilyatul
Auliya, Imam Ibnu Abdil Barr dalam al-Ilm, dan Imam an-Nawawi dalam
muqaddimah kitab al-Majmu‟ dari Imam Sufyan bin Said al-Tsauri, yang
menjadi imam
dalam bidang fiqih, hadits, dan wara’.
Ia berkata dengan ungkapan yang sangat agung, Fiqih adalah pemberian
rukhshah dari tokoh yang tsiqat, sedang memberikan tuntutan hukum yang keras
dapatdilakukan oleh semua orang.”[29]
Kita harus
memperhatikan perkataannya bahwa rukhshah dari ulama yang tsiqat, yaitu
ulama yang dipercayai kefaqihan dan kesalehan agamanya. Sedangkan orang yang
tidak memiliki kedua hal itu atau salah satunya maka bisa saja ia memberikan
rukhshah dalam sesuatu yang tidak boleh diberikan rukhshah, sehingga tindakannya
itu melanggar dalil-dalil syari’at yang qath‟i dan muhkamat serta
kaidah-kaidahnya. Hal ini tentunya tidak dapat diterima oleh insan muslim yang
cinta dan teguh memegang agamanya.[30]
Yusuf
al-Qaradhawi mengatakan bahwa maksud dari kemudahan itu mengandung beberapa
perkara[31]:
1)
Memperhatikan
sisi keringanan atau rukhshah.
2)
Memperhatikan
kondisi yang mendesak dan kondisi yang meringankan.
3)
Memilih yang
paling mudah dan bukan yang paling hati-hati di zaman kita hidup masa kini[32].
4)
Membatasi dalam
masalah-masalah yang wajib dan yang haram.
5)
Membebaskan diri
dari fanatisme mazhab.
6)
Kemudahan dalam
semua masalah.
Terkait dengan
prinsip ini, dalam kaidah fiqih terdapat kaidah yang berbunyi al-masyaqqah
tajlib al-taysir (kesulitan mendorong kemudahan) yang oleh Ali Haydar
dijelaskan bahwa kesulitan yang terdapat pada sesuatu menjadi sebab dalam
mempermudah dan memperingan sesuatu tersebut, yang pada intinya menekankan
besarnya perhatian syariat pada bentuk-bentuk kemudahan dan keringanan hukum.
Bahkan al-Sya’bi pernah menyatakan, jika seorang muslim diperintahkan melakukan
salah satu di antara dua hal, kemudian ia memilih yang paling ringan baginya,
maka pilihannya itu lebih disukai Allah SWT.[33]
b)
Taqlil al-Taklif (Menyedikitkan Beban)
Menyedikitkan
beban merupakan konsekuensi logis bagi tidak adanya menyulitkan (asas pertama),
karena di dalam banyaknya beban mengakibatkan kesempitan. Orang yang
menyibukkan diri terhadap al-Qur’an untuk melihat perintahperintah dan
larangan-larangan yang di dalamnya niscaya dapat menerima terhadap kebenaran
pokok ini, karena dengan melihatnya sedikit memungkinkan untuk mengetahuinya
dalam waktu sekilas dan mudah mengamalkannya, tidaklah banyak
perincianperinciannya sehingga banyaknya itu tidak menimbulkan kesulitan
terhadap orang-orang yang mau berpegang dengan kitab Allah yang kuat. Sebagian
dari ayat yang menunjukkan hal itu adalah firman Allah Ta’ala dalam surat
al-Maidah yang berbunyi:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan
menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan,
niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu.
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. (Q.S.Al-Maidah ayat 101)
Masalah-masalah yang dilarang ini adalah
sesuatu yang telah dimaafkan oleh Allah yakni didiamkan pengharamannya
seandainya mereka tidak menanyakannya niscaya hal itu diampuni dalam
meninggalkannya.
c) Berangsur-angsur Mendatangkan Hukum
Dalam menetapkan
suatu hukum, hendaknya tidak dilakukan secara radikal, karena masyarakat akan
sulit untuk melaksanakannya. Maka seyogyanya dilakukan setahap demi setahap.
Sebagai contoh, jika pemerintah mengeluarkan peraturan tentang kewajiban bagi
pengendara sepeda motor agar menyalakan lampu di siang hari secara sekaligus,
maka masyarakat akan menentangnya karena belum mengetahui tujuan dari hal
tersebut, namun masyarakat akan mudah menerima dan melaksanakannya jika
peraturan itu diterapkan secara bertahap dan setelah masyarakat memahami
manfaatnya.[34]
Dalam sosiologi Ibnu
Khaldun dinyatakan bahwa suatu masyarakat (tradisional atau yang tingkat
intelektualnya masih rendah) akan menentang apabila ada sesuatu yang baru atau
sesuatu yang datang kemudian dalam kehidupannya, lebih-lebih apabila sesuatu
yang baru tersebut bertentangan dengan tradisi yang ada. Masyarakat senantiasa
memberikan respon apabila timbul sesuatu di tengah-tengah mereka.[35]
Dengan
mengingat faktor tradisi dan ketidaksenangan manusia untuk menghadapi
perpindahan sekaligus dari suatu keadaan lain yang asing sama sekali bagi
mereka, al-Qur’andituru nkan secara berangsur-angsur, surat demi surat dan ayat
demi ayat sesuai dengan peristiwa, kondisi, dan situasi yang terjadi. Dengan
cara demikian, hukum yang diturunkannya lebih disenangi oleh jiwa dan lebih
mendorong ke arah menaatinya, serta bersiapsiap meninggalkan ketentuan lama dan
menerima ketentuan baru.[36]
Berangsur-angsur
mendatangkan hukum, artinya Allah dalam mendatangkan hukum-hukumnya tidak
dengan sekaligus, tetapi diangsur dari satu demi satu. Misalnya tentang hokum
dilarangnya orang meminum khamar dan main judi. Ketika Rasulullah SAW ditanya
tentang hukum keduanya itu oleh sebagian kaum muslim yang telah meminum khamar
dan main judi, maka turun firman Allah dalam surat al-Baqarah yang berbunyi:
Artinya: mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan
judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa
manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya".
dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang
lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepadamu supaya kamu berfikir. Al-Baqarah ayat :219)
Dalam ayat ini
tidak jelas kelihatan tentang terlarangnya kedua perkara yang ditanyakan itu,
padahal sebenarnya sudah terkandung di dalamnya larangan keras, karena segala
yang mendatangkan dosa bagi orang yang mengerjakannya sudah dilarang keras
orang mengerjakannya[37].
Belakangan diturunkan pula satu ayat
yang berarti melarang orang mengerjakan shalat dikala mabuk yang bunyinya :
Artinya: Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan
mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri
mesjid) sedang kamu dalam Keadaan junub[301], terkecuali sekedar berlalu saja,
hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang
dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak
mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah
mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.
(Q.S.An-Nisa’ ayat 43)
Kemudian pada
suatu saat diturunkan pula ayat yang tegas jelas melarang orang meminum arak
dan bermain judi, yang bunyinya :
Artinya:Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya
(meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan
panah[434], adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan
itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu
lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat
Allah dan sembahyang; Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).
(Q.S. Al-Maidah ayat 90-91)
Barulah dengan ayat ini jelas
terlarangnya orang meminum arak dan bermain judi, yang berarti supaya kedua
macam perbuatan itu dijauhi benar-benar oleh segenap orang yang beriman.
Fathurrahman
Djamil
menambahkan
dua asas lagi, yaitu sebagaimana tersebut dibawah ini:
d)
Memperhatikan Kemaslahatan Manusia
Hukum Islam
dihadapkan kepada bermacam-macam jenis manusia dan ke seluruh dunia. Maka
tentulah pembina hokum memperhatikan kemaslahatan masing-masing mereka sesuai
dengan adat kebudayaan mereka serta iklim yang menyelubunginya. Jika
kemaslahatan-kemaslahatan itu bertentangan satu sama lain, maka pada saat itu
didahulukan maslahat umum atas maslahat khusus dan diharuskan menolak
kemudharatan yang lebih besar dengan jalan mengerjakan kemudharatan yang kecil.[38]
Dalam masa
kepemimpinannya, Umar menjadikan maslahat dan nash sebagai pokok atau dasar
tasyri’nya. Hampir pada semua kejadian dan kasus yang dihadapinya diputuskan
dengan tujuan untuk maslahat ammah. Jika dalam suatu kejadian ada nash
khususnya, maka Umar harus melaksanakannya dan agar hal itu dapat membawa
maslahat, serta menjadikan masalah yang ada nashnya itu membawa dua sisi
manfaat. Karena penguasa jika memutuskan satu keputusan hanya karena menurutnya
hal itu ada kemaslahatannya, dan dengan sengaja melanggar nash, maka putusannya
itu tidak harus dipatuhi, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Nujaim[39].
Umar selalu
berpijak pada pemahaman nash dan yang tidak ditolak oleh akal, di samping ia
juga selalu berpegangan pada keputusan-keputusan tasyri’ yang umum. Adapun jika
dalam masalah yang tidak ada nash khususnya, maka pada saat itu Umar tidak
mengeluarkan satu keputusan tasyri’ hanya dengan menggunakan ra’yu dan
ijtihadnya dan mengatakan bahwa itu adalah maslahat, dengan tanpa mengaitkan
dan menguatkannya dengan alasan lain[40].
e)
Mewujudkan Keadilan yang Merata.
Manusia di dalam
hukum Islam, sama kedudukannya. Mereka tidak lebih melebihi karena kebangsaan,
karena keturunan, karena harta atau karena kemegahan. Tak ada di dalam hukum
Islam penguasa yang bebas dari jeratan undang-undang, apabila mereka berbuat
zalim. Semua manusia di hadapan Allah Hakim yang Maha
Adil adalah sama.[41]
Nabi
bersabda:Artinya: “diriwayatkan dari Aisyah r.a ia berkata;”ada seorang
perempuanmahzumiah meminjam barang dan mengingkarinya. Kemudian Nabi Muhammad
saw menyuruh agar tangan perempuan itu dipotong.Tetapi kemudian keluarganya
datang kepada Usamah bin Zaid ra dan mengadukan hal itu. Selanjutnya Usamah bin
Zaid menyampaikan pengaduan itu kepada Nabi. Nabi saw berkata,‟HaiUsamah, aku
tidak melihatmu dapat membebaskan suatu hadd dari Allah Azza wa Jalla‟.
Kemudian Nabi berdiri dan berkhotbah, seraya berkata.‟ Sesungguhnya kehancuran
generasi sebelum kamu adalah karena bila orang yang meulia dari mereka mencuri,
maka mereka biarkan. Bila orang yang rendah dari mereka mencuri, maka mereka
menegakkan hadd potong tangan atasnya. Demi Dzat yang jiwaku berada di dalam
genggamanNya, Andaikata Fatimah putrid Muhammad mencuri, niscaya aku potong
tangannya.‟ Dengan demikian maka tangan perempuan mahzumah itu dipotong.
(HR. Muslim)[42]
VIII. HUKUM PROGRESIF: MEMBUMIKAN
HUKUM SYARI’AH DI INDONESIA OLEH HAKIM
Progresif, adalah kata yang berasal
dari bahasa asing (Inggris) yang asal katanya adalah progress, yang artinya
maju. Progressive adalah kata sifat, jadi sesuatu yang bersifat maju.
Hukum Progresif berarti hukum yang bersifat maju. Dalam teori ilmu
hukum, istilah Hukum Progresif tidak dikenal. Belakangan ini seorang pakar ilmu
hukum terkemuka, yakni Prof. DR. Satjipto Rahardjo, SH, merasa prihatin dengan
rendahnya kontribusi ilmu hukum dalam mencerahkan bangsa Indonesia, dalam
mengatasi krisis, termasuk krisis dalam bidang hukum itu sendiri. Untuk itu
beliau melontarkan suatu pemecahan masalah,
dengan gagasan tentang Hukum Progresif.
Adapun pengertian Hukum Progresif
itu sendiri yaitu mengubah secara
cepat, melakukan pembalikan yang mendasar dalam teori dan praksis hukum, serta
melakukan berbagai terobosan. Pembebasan tersebut didasarkan pada prinsip bahwa
: “ Hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya…dan hukum itu tidak ada
untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas yaitu…untuk
harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemuliaan manusia”[43].
Pengertian sebagaimana dikemukakan
oleh Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH, tersebut berarti, Hukum Progresif
adalah serangkaian tindakan yang radikal, dengan mengubah sistem hukum
(termasuk merubah peraturan-peraturan hukum bila perlu) agar hukum lebih
berguna, terutama dalam mengangkat harga diri serta menjamin kebahagiaan dan
kesejahteraan manusia.
Berangkat dari gagasan ini, penulis
mencoba menyampaikan sumbangan pemikiran untuk menuju pada Hukum progresif,
dengan menggalinya dari sumber-sumber hukum yang telah ada dan terbukti telah
dipergunakan selama berabad-abad oleh masyarakat kita, akan tetapi belum pernah
digali dan dikembangkan secara optimal, dalam rangka membangun hukum nasional
yang progresif. Sumber-sumber hukum tersebut adalah yang berasal dari hukum
Islam.
Sebagaimana telah diuraikan di
atas, hukum Islam memiliki sumber-sumber hukum yang progresif serta sangat
memadahi. Selain hal itu, Hukum Islam telah teruji mampu menjawab setiap
persoalan yang timbul dalam pergaulan masyarakat.
Sebagaimana telah diketahui, Hukum
Islam lahir bersamaan dengan lahirnya agama Islam yang di bawa oleh nabi
Muhammad, SAW. Pada saat itu, permasalahan-permasalahan yang ada masih sangat sederhana
apabila dibandingkan dengan saat ini. Selain dari kesederhanaan masyarakatnya,
pada waktu itu Islam masih dipimpin langsung oleh pembawanya (Nabi Muhammad,
SAW) sehingga setiap persoalan dapat ditanyakan langsung serta mendapat
pemecahannya dari beliau. Permasalahan baru berkembang setelah nabi Muhammad
dan umat Islam hijrah ke Yatsrib (Madinah), karena di daerah yang baru ini nabi
Muhammad dihadapkan dengan kondisi masyarakat yang majemuk, dimana ada yang
memeluk agama Nasrani, Yahudi disamping masyarakat Islam sendiri. Untuk hal
tersebut upaya awal yang dilakukan Nabi Muhammad sebagaimana dikatakan oleh
Prof. DR. H. Muchsin, SH dalam bukunya yang berjudul Piagam Madinah,
Filsafat Timur, Filosof Islam dan pemikirannya, adalah membuat perjanjian,
dengan masyarakat Yatsrib yang majemuk itu. Perjanjian yang dibuat oleh Nabi
Muhammad tersebut, belakangan kita kenal sebagai Piagam Madinah, yaitu sebuah
Piagam yang secara historis telah diakui sebagai konstitusi tertua di Dunia.
Konstitusi adalah hukum dasar bagi
masyarakat yang berbangsa dan bernegara, oleh karena itu dapatlah diperhatikan
betapa progresifnya Piagam Madinah tersebut yang sebagian menyatakan sebagai
berikut :
1. Semua
orang mempunyai kedudukan yang sama sebagai anggota masyarakat, wajib saling
membantu dan tidak boleh seorangpun diperlakukan secara buruk (pasal 16). Bahwa
orang yang lemah harus dilindungi dan dibantu (pasal 11).
2. Semua
warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama (pasal 24, 36, 37, 38, 44).
Setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum (Pasal
34, 40, 46).
3. Hukum
harus ditegakkan, siapapun tidak boleh melindungi kejahatan apalagi berpihak
pada orang yang melakukan kejahatan. Demi tegaknya kebenaran dan keadilan,
siapapun pelaku kejahatan harus dihukum tanpa pandang bulu (pasal 13, 22, dan
43).
Perdamaian
adalah tujuan utama, namun dalam mengusahakan perdamaian tidak boleh
mengorbankan keadilan dan kebenaran[44].
Kutipan beberapa pasal dari Piagam
Madinah tersebut cukup menjelaskan bahwa Hukum Islam dapat diterapkan pada
masyarakat yang tidak hanya terdiri dari umat Islam saja, melainkan juga
terhadap masyarakat pemeluk agama lain, sebagaimana masyarakat Yatsrib yang di
dalamnya terdapat masyarakat pemeluk agama Nasrani dan juga pemeluk agama
Yahudi, yang keseluruhan masyarakat tersebut memiliki berkedudukan sama di
hadapan hukum.
Peraturan perundang-undangan di
Indonesia, cukup banyak yang mengadopsi dari Hukum Islam dan itu ternyata telah
berlaku sekian lama tanpa masalah. Ini membuktikan bahwa selain hal-hal
yang berkaitan dengan syariat yang menyangkut ritual peribadatan, Hukum Islam
bersifat universal dan dapat diterima oleh kalangan non Islam. Peraturan
tersebut antara lain adalah apa yang termuat dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974, tentang Perkawinan yang mengatur tentang, poligami, waktu tunggu
bagi janda, alasan-alasan untuk mengajukan perceraian dan lain-lain.
Adapun mengenai hal-hal baru yang
belum ada aturannya, hukum Islam dapat menetapkannya sesuai dengan tujuan hukum
Islam itu sendiri, sebagaimana diuraikan oleh H. Akhmad Khisni, SH, MH,
adalah :
“Mengkaji tujuan hukum (maqoshid al-syari’ah) yang menurut
ulama ahli hukum, bahwa tujuan hukum islam adalah “jalbu al-mashalih”
(mendatangkan kebaikan). Adapun pendapat ulama ahli hukum islam yang lain,
bahwa tujuan hukum islam adalah “dar’ul mafasid” (menolak kerusakan /hal yang
negatif) dan pendapat ahli hukum yang ketiga ini menggabungkan dua pendapat di
atas…”[45]
Sesuai dengan tujuan
hukum Islam yakni mendatangkan kebaikan dan menolak/mencegah yang negatif, maka
sesungguhnya kedua hal tersebut merupakan prinsip dasar yang bersifat
universal, dan sudah barang tentu dapat diterima oleh siapa saja dan di mana
saja. Hal ini karena hal tersebut mewakili hati nurani manusia, sebagai makhluk
ciptahan Tuhan yang paling sempurna. Hati nurani inilah yang membedakan manusia
dengan ciptaan Tuhan/makhluk hidup lainnya, yang hanya dibekali naluri untuk
mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Sebagaimana telah disebutkan di atas
hukum Islam memiliki sumber hukum, yaitu kitab suci Al-Qur’an sebagai sumber
utama, kemudian Sunnah Rosul, Ijma, dan Qias. Mengenai sumber-sumber hukum yang
lainnya, para ahli Hukum Islam (baca: Fuqoha) berbeda pendapat antara satu
dengan lainnya.
Imam Syafi’I , yang mazhabnya banyak
dianut di Indonesia, menolak Istihsan. Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy
menyatakan :
“Sesungguhnya Asy-Syafi’I tidak menerangkan dengan tegas apa
yang ditolaknya. Ia hanya menerangkan dalil-dalil yang dipegangnya, yaitu:
al-Kitab, al-Sunnah, al-Ijma’, al-Qias dan fatwa sahabat. Selainnya dipandang
istihsan yang harus ditolak.”[46].
Di sini Imam Syafi’i, mengutamakan
empat sumber tersebut, sedangkan sunber-sumber lainnya yang tidak bersangkutan
dengan keempat sumber tersebut dianggap Istihsan dan itu ditolak oleh beliau.
Menggali hukum dengan mempergunakan
keempat sumber tersebut dengan memperhatikan maqoshid al-syariah, sudah sangat memadai untuk
mendapatkan solusi terhadap persoalan hukum yang dibutuhkan masyarakat.
D. KESIMPULAN.
Hukum Islam digali dari sumber utama
Al-Qur’an dan Sunnah nabi Muhammad, yang bersifat tetap yang akan menjamin
keaslian dan keutuhan nilai-nilai Islam sepanjang jaman. Sementara sumber-sumber
hukum Islam lainnya seperti Ijma’, Qias, Istihsan, Istishab, Maslahah Mursalah,
Dzaro’i dan Uruf, merupakan sumber-sumber hukum yang memiliki fleksibilitas
yang tinggi dan progresif, sehingga memungkinkan hukum Islam untuk diberlakukan
di mana saja, kapan saja, serta dalam berbagai situasi.
Membangun hukum Nasional yang progresif dan ideal,
merupakan pekerjaan besar yang memerlukan kerja keras yang melibatkan banyak
pihak. Selain itu, pihak –pihak yang terlibat itu, haruslah memiliki niat dan
kemauan yang sama, mengerahkan potensi bersama-sama, kemudian menyinergikannya.
Adapun pihak-pihak yang dimaksud, setidak-tidaknya
adalah dari kalangan akademisi, praktisi, kalangan pemerintah, politisi, dan
kelompok masyarakat yang memiliki perhatian ataupun kepedulian terhadap
pembangunan hukum Nasional serta yang menjadi ujung tombaknya adalah para
hakim, baik dali lingkungan Mahkamah Agung RI yang meliputi (Hakim dari
lingkungan Pengadilan Umum, Hakim dari lingkungan Pengadilan Agama, Hakim dari
lingkungan Pengadilan Tata Usaha Negara dan Hakim dari lingkungan Pengadilan
Militer) ataupun dari Mahkamah Konstitusi RI.
Hukum Islam bukan saja dapat menjadi landasan pembangunan
Hukum Nasional Progresif, lebih dari itu bahkan hukum Islam memiliki potensi yang
terbesar, dibandingkan dengan sistem hukum lainnya.
Hal ini karena hukum Islam bersifat universal sehingga
menyentuh segala persoalan yang berkaitan dengan kehidupan manusia secara umum.
Hukum Islam bersifat dinamis dan fleksibel, sehingga senantiasa dapat mengikuti
perubahan dinamika masyarakat.
Hukum
Islam yang bersumber dari ajaran agama yang dianut mayoritas bangsa Indonesia,
dan sebagian telah terintegrasi dalam hukum Adat masyarakat Indonesia, sehingga
memiliki potensi untuk ditaati secara suka rela /ikhlas, dan itu telah terbukti
secara historis dan sosiologis.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Haq, Ahmad Mubarok, dan Agus Ro’uf, Formulasi Nalar Fiqh, Telaah Kaidah Fiqh
Konseptual, Surabaya: Khalista, 2006
Abdul
Wahab Kholaf, Ilmu Ushul Fiqih, Darul
Qalam, 1978.
Akhmad Khisni, Hukum dan Moralitas:Perspektif Hukum Islam, Jurnal Hukum Khaira
Ummah, Volume 1, Program Magister Hukum S2, Ilmu Hukum, Unissula Semarang
Andi
Ayyub Saleh, Tamasya Perenungan Hukum dalam “Law in Book and Law in Action”
Menuju Penemuan Hukum (Rechtsvinding), Yarsif Watampone, Jakarta, 2006.
Chalil Moenawar, Kembali Kepada
Al-Qur‟an dan As-Sunnah, Jakarta: PT Midas Surya, 1993,
Faisal, Menerobos
Positivisme Hukum, Rangkang Education, Yogyakarta, 2010.
Fatchurrahman Djamil, Filsafat Hukum
Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Hudari
Bik, Tarikh al-Tasyri‟ al-Islami, diterjemahkan Mohammad Zuhri, Sejarah
Pembinaan Hukum Islam, Darul Ihya, 1980.
Ishom Talimah, al-Qaradhawi Faqihan, diterjemahkan
Samson Rahman, Manhaj Fiqih Yusuf al-Qaradhawi, Jakarta: Pustaka
al-Kautsar, 2001
Johnny Ibrahim, Teori
dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,
Bayumedia, Surabaya, 2005
Johnny
Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia, Surabaya, 2005.
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Rajawali
Pers, Jakarta, 2009.
Mahmud Kusuma, Menyelami Semangat Hukum
Progresif; Terapi Paradigmatik Atas Lemahnya Penegakan Hukum Indonesia,
Antony Lib bekerjasama LSHP, Yogyakarta, 2009
Muchsin, Piagam
Madinah, Filsafat Timur, Filosof Islam dan Pemikirannya, bp Iblam, 2004.
Muhammad
Abu Zahra, Ushul Fiqih, Darul Fikr
Al-Arabi, TT.
Muhammad Baltaji, Manhaj Umar Ibn
al-Khathab fi al-Tasyrii‟, diterjemahkan H. Masturi Irham, Metodologi
Ijtihad Umar bin al-Khathab, Jakarta: Khalifa, 2005.
Muslim ibn Hajjaj al-Qusyairy
al-Naysabury, Sahih Muslim, Jilid II, Libanon: Dar al- Kutub al-Ilmiyah,
t.th.
Rachmat
Djatnika, Jalan Mencari Hukum Islami Upaya ke Arah Pemahaman Metodologi
Ijtihad, dalam kata pengantar, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum
Nasional, Amrullah Ahmad, dkk (ed), et. al., Jakarta: Gema Insani Press,
1996.
Sabian Usman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum,
Pustaka Belajar, Yogyakarta, 2009
Satjipto
Rahardjo “Indonesia Butuhkan Penegakan Hukum Progresif”, Kompas, 15 juni 2002.
Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir
(Catatan Kritis Tentang Pergulatan Manusia dan Hukum), Penerbit Buku Kompas,
Jakarta, 2007
Satjipto Rahardjo, Hukum Itu Perilaku Kita Sendiri, artikel
pada Harian Kompas, 23 September 2002.
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Kompas,
Jakarta, 2006
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif,
Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2006
Satjipto Rahardjo, Menggagas Hukum Progresif Indonesia,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu
Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009
Satjipto
Rahardjo, Sisi-sisi lain dari Hukum di
Indonesia, Kompas, Jakarta, 2003
Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik,
Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Univesitas Indonesia, Jakarta,
2008.
Sudjiono Sastroatmojo, Konfigurasi Hukum Progresif, Artikel dalam Jurnal Ilmu Hukum, Vol.8
No 2 September 2005.
T.M
Hasbi Ash Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Semarang: PT Pustaka Rizki
Putra, 2001, hlm. 58.
Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, PT. Pustaka Rizki Puta, Semarang,
1997.
Yusuf
al-Qaradhawi, “Taisir al-Fiqh li al-Muslim al-Mua‟shir fi Dahu al-Qur‟an wa
as-Sunnah”, diterjemahkan Abdul Hayyie al-Kattani, M. Yusuf Wijaya, dan
Noor Cholis Hamzain, Fiqih Praktis bagi Kehidupan Modern, Jakarta: Gema
Insani Press, 2002,
Yusuf
al-Qaradhawi, Dirasah fi Fiqh Maqashid Syari‟ah, diterjemahkan H. Arif
Munandar Riswantom Fiqih Maqashid Syariah, Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
2007.
[1] Abdul Wahab Kholaf, Ilmu Ushul Fiqih, Darul Qalam, 1978,
Hal. 197
[2] Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqih, Darul Fikr Al-Arabi, TT, Hal.
164
[3] Lebih jauh Arman mengemukakan
bahwa dalam menetapkan putusannya hakim memang harus mengedepankan rasa
keadilan. Namun rasa keadilan masyarakat sebagaimana dituntut sebagian orang
agar dipenuhi oleh hakim, adalah tidak mudah. Bukan karena hakim tidak bersedia,
melainkan karena ukuran rasa keadilan masyarakat itu tidak jelas. Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik, Pusat Studi Hukum Tata
Negara Fakultas Hukum Univesitas Indonesia, Jakarta, 2008, hlm. 340
[4] Johnny Ibrahim,
Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia, Surabaya, 2005, hlm.1
[5] Andi Ayyub
Saleh, Tamasya Perenungan Hukum dalam “Law in Book and Law in Action” Menuju
Penemuan Hukum (Rechtsvinding), Yarsif Watampone, Jakarta, 2006, hlm. 70
[6] Satjipto Rahardjo, Membedah
Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2006, hlm. 270
[7] Ibid,
hlm. 272
[8] Ibid,
hlm. 276
[9] Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Rajawali
Pers, Jakarta, 2009,hlm. 368
[10] Faisal, Menerobos Positivisme
Hukum, Rangkang Education, Yogyakarta, 2010, hlm. 70
[11] Ibid, hlm. 72
[12] Mahmud Kusuma, Menyelami
Semangat Hukum Progresif; Terapi Paradigmatik Atas Lemahnya Penegakan Hukum
Indonesia, Antony Lib bekerjasama LSHP, Yogyakarta, 2009, hlm. 31
[13] Ibid, 74
[14] Ibid, 75
[15]Gagasan dimaksud
pertama kali dilontarkan pada tahun 2002 lewat sebuah artikel yang ditulis di
Harian Kompas dengan judul “Indonesia Butuhkan Penegakan Hukum Progresif”,
Kompas, 15 juni 2002.
[16] Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Kompas, Jakarta,
2006 hlm ix.
[17] Ibid. hlm 10-11, Lihat juga Satjipto
Rahardjo, Sisi-sisi lain dari Hukum di
Indonesia, Kompas, Jakarta, 2003, hlm 22-25.
[18] Apa yang menjadi pendirian
neo-liberalisme dicirikan sebagai berikut: kebijakan pasar bebas yang mendorong
perusahaan-perusahaan swasta dan pilihan konsumen, penghargaan atas tanggung
jawab personal dan inisiatif kewiraswastaan, serta menyingkirkan birokrasi dan
“parasit” pemerintah. Aturan dasar kaum neo-liberalis adalah, “liberalisasikan
perdagangan dan finansial, biarkan pasar menentukan harga, akhiri inflasi,
(stabilitas ekonomi-makro dan privatisasi) kebijakan pemerintah haruslah
“menyingkirkan dari penghalang jalan”. Paham inilah yang saat ini oleh para
aktor globalisasi dipaksakan untuk diterima semua bangsa-bangsa di seluruh
dunia, khususnya juga terjadi di Indonesia.
[19]
Sudjiono Sastroatmojo, Konfigurasi
Hukum Progresif, Artikel dalam Jurnal Ilmu Hukum, Vol.8 No 2 September
2005, hlm 186.
[20] Satjipto Rahardjo, Menggagas Hukum Progresif Indonesia,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006 hlm 3-4.
[21] Sudjiono Sastroatmojo, Konfigurasi…op,cit.
[22] ] Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, Kompas, Jakarta, 2007, hlm 139-147.
[23] Penjelasan bahwa hukum itu
adalah prilaku, bukan aturan, lihat Satjipto Rahardjo, Hukum Itu Perilaku Kita Sendiri, artikel pada Harian Kompas, 23
September 2002.
[24] T.M Hasbi Ash
Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2001,
hlm. 58.
[25] Hudari Bik, Tarikh
al-Tasyri‟ al-Islami, diterjemahkan Mohammad Zuhri, Sejarah Pembinaan
Hukum Islam, Darul Ihya, 1980, hlm. 31-39.
[26] Yusuf
al-Qaradhawi, Dirasah fi Fiqh Maqashid Syari‟ah, diterjemahkan H. Arif
Munandar Riswantom Fiqih Maqashid Syariah, Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
2007, hlm. 158.
[27] Ibid.
[28] Salah satu
contoh bahwa Rasulullah SAW mempraktekkan kemudahan ialah ketika beliau
memperhatikan karakter orang-orang Ethiopia yang senang menari dan bermain.
Oleh karena itu, beliau mengizinkan mereka untuk melakukan hal itu di masjid
beliau yang mulia. Saat itu Umar melempari mereka dengan kerikil, Rasululah SAW
bersabda kepadanya, “Biarkanlah mereka wahai Umar”. (Muttafaq alaih).
Dalam riwayat lain, beliau bersabda, “Mereka adalah Bani Rafdah. Lihat
juga Yusuf al-Qaradhawi, “Taisir al-Fiqh li al-Muslim al-Mua‟shir fi Dahu
al-Qur‟an wa as-Sunnah”, diterjemahkan Abdul Hayyie al-Kattani, M. Yusuf
Wijaya, dan Noor Cholis Hamzain, Fiqih Praktis bagi Kehidupan Modern, Jakarta:
Gema Insani Press, 2002, hlm.
[29] Ibid, hlm. 21
[30] Ibid.
[31] Ishom Talimah, al-Qaradhawi
Faqihan, diterjemahkan Samson Rahman, Manhaj Fiqih Yusuf al-Qaradhawi, Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2001, hlm. 94.
[32] Al-Qaradhawi
berkata ―Manhaj yang menjadi pilihan saya dan manhaj yang Allah tunjukkan
kepada saya dan saya akan selalu komitmen dengannya dalam tulisan, fatwa dan
pengajaran. Saya akan mengambil yang mudah dalam masalah furu‟ (cabang)
dan tegas dalam masalah yang ushul (pokok). Jika dalam satu masalah
terdapat dua pandangan yang berbeda dan dua pendapat yang sama berdekatan, satu
diantaranya penuh kehati-hatian, sedangkan yang satunya lagi lebih mudah, maka
selayaknya bagi kita untuk memilih fatwa yang lebih mudah bagi seluruh manusia
dan jangan mengambil yang paling hati-hati. Alasan dan hujjahnya ialahperkataan
Aisyah, “Tidaklah Rasulullah diberi pilihan dua perkara kecuali dia
memilih yang paling gampang di antara keduanya selama itu tidak mengandung
dosa.‖ Siapa pun yang belajar fiqih sahabat dan para ulama salafus shalih (ujar
al-Qaradhawi), dia akan mendapatkan bahwa fiqih yang mereka ambil umumnya
mengarah kepada fiqih yang lebih mudah, sedangkan fiqih setelah sahabat lebih
cenderung kepada kehati-hatian. Ishom Talimah, Ibid, hlm. 95.
[33] Abdul Haq,
Ahmad Mubarok, dan Agus Ro’uf, Formulasi Nalar Fiqh, Telaah Kaidah Fiqh
Konseptual, Surabaya: Khalista, 2006, hlm. 177.
[34] Rachmat
Djatnika, Jalan Mencari Hukum Islami Upaya ke Arah Pemahaman Metodologi
Ijtihad, dalam kata pengantar, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum
Nasional, Amrullah Ahmad, dkk (ed), et. al., Jakarta: Gema Insani Press,
1996, hlm. 107-108.
[35] Fatchurrahman
Djamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm.69
[36] Ibid, hlm. 70.
[37] Chalil
Moenawar, Kembali Kepada Al-Qur‟an dan As-Sunnah, Jakarta: PT Midas
Surya, 1993, hlm. 230.
[38] Fathurrahman Djamil, op.
cit., hlm. 71-75.
[39] Muhammad
Baltaji, Manhaj Umar Ibn al-Khathab fi al-Tasyrii‟, diterjemahkan H.
Masturi Irham, Metodologi Ijtihad Umar bin al-Khathab, Jakarta: Khalifa,
2005, hlm. 480.
[40]
Ibid.
[41]
T.M Hasbi Ash Shiddieqy, op.
cit., hlm. 68-69.
[42] Muslim ibn
Hajjaj al-Qusyairy al-Naysabury, Sahih Muslim, Jilid II, Libanon: Dar
al- Kutub al-Ilmiyah, t.th.
[44] Muchsin, Piagam Madinah, Filsafat Timur, Filosof
Islam dan Pemikirannya, BP Iblam, 2004. hal. 34
[45] Akhmad Khisni, Hukum
dan Moralitas:Perspektif Hukum Islam, Jurnal Hukum Khaira Ummah, Volume 1,
Program Magister Hukum S2, Ilmu Hukum, Unissula Semarang, hal. 101-102.
[46] Tengku
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok
Pegangan Imam Mazhab, PT. Pustaka Rizki Puta, Semarang, 1997, Hal.262.
Comments
Post a Comment