HUKUM PROGRESIF: MEMBUMIKAN HUKUM SYARI’AH DI INDONESIA OLEH HAKIM



HUKUM PROGRESIF:
MEMBUMIKAN HUKUM SYARI’AH DI INDONESIA OLEH HAKIM
Oleh:
Nur Moklis

I.         PENDAHULUAN
Secara singkat, Teori Hukum Progresif yang dicetuskan oleh Profesor Satjipto Rahardjo ini menegaskan bahwa hukum adalah untuk manusia, dan bukan sebaliknya. “Hukum itu bukan hanya bangunan peraturan, melainkan juga bangunan ide, kultur, dan cita-cita” (Profesor Satjipto Rahardjo).
Prof. Satjipto Raharjo, S.H., yang menyatakan pemikiran hukum perlu kembali pada filosofis dasarnya, yaitu hukum untuk manusia. Dengan filosofis tersebut, maka manusia menjadi penentu dan titik orientasi hukum. Hukum bertugas melayani manusia, bukan sebaliknya. Oleh karena itu, hukum itu bukan merupakan institusi yang lepas dari kepentingan manusia. Mutu hukum ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi pada kesejahteraan manusia. Ini menyebabkan hukum progresif menganut “ideologi” : Hukum yang pro-keadilan dan Hukum yang Pro-rakyat.
Dalam logika itulah revitalisasi hukum dilakukan setiap kali. Bagi hukum progresif, proses perubahan tidak lagi berpusat pada peraturan, tetapi pada kreativitas pelaku hukum mengaktualisasikan hukum dalam ruang dan waktu yang tepat. Para pelaku hukum progresif dapat melakukan perubahan dengan melakukan pemaknaan yang kreatif terhadap peraturan yang ada, tanpa harus menunggu perubahan peraturan (changing the law). Peraturan buruk tidak harus menjadi penghalang bagi para pelaku hukum progresif untuk menghadikarkan keadilan untuk rakyat dan pencari keadilan, karena mereka dapat melakukan interprestasi secara baru setiap kali terhadap suatu peraturan. Untuk itu agar hukum dirasakan manfaatnya, maka dibutuhkan jasa pelaku hukum yang kreatif menterjemahkan hukum itu dalam kepentingan-kepentingan sosial yang memang harus dilayaninya. 
Berdasarkan teori ini keadilan tidak bisa secara langsung ditemukan lewat proses logis formal. Keadilan justru diperoleh lewat institusi, karenanya, argument-argumen logis formal “dicari” sesudah keadilan ditemukan untuk membingkai secara yuridis-formal keputusan yang diyakini adil tersebut. Oleh karena itu konsep hukum progresif, hukum tidak mengabdi bagi dirinya sendiri, melainkan untuk tujuan yang berada di luar dirinya.
Dalam masalah penegakan hukum, terdapat 2 (dua) macam tipe penegakan hukum progresif :
1.      Dimensi dan faktor manusia pelaku dalam penegakan hukum progresif. Idealnya, mereka terdiri dari generasi baru profesional hukum yang memiliki visi dan filsafat yang mendasari penegakan hukum progresif.
2.      Kebutuhan akan semacam kebangunan di kalangan akademisi, intelektual dan ilmuan serta teoritisi hukum Indonesia.
Hal ini jika diperhatikan dengan seksama ternyata sesuai dengan tujuan pembentukan hokum islam (maqashid al-syari’ah), yaitu merealisir kemaslahatan manusia dengan menjamin kebutuhan primernya (dhoruriyah), memenuhi kebutuhan skundernya (hajiyah) dn serta kebutuhan pelengkapnya (tahsiniyah)[1]. Muhammad Abu Zahra menyatakan bahwa tujuan pemberlakuan hokum syari’ah adalah untuk kesejahteraan manusia.[2] Hal tersebut sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an bahwa tidaklah Allah mengutus Muhammad SAW kecuali dengan tujuan mensejahterkan alam seisinya.

II.      LATAR BELAKANG
Indonesia adalah sebuah negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam, serta merupakan sebuah negara di dunia yang memiliki penduduk beragama Islam terbesar. Hukum Islam bagi rakyat Indonesia, bukanlah merupakan hal yang asing, melainkan begitu familier dan telah terintegrasi dengan budaya masyarakatnya setempat, sejak berabad-abad yang lalu. Hal ini dapat diketahui dari tata cara mereka, berdoa, menyelenggarakan pernikahan, berkhitan, memperlakukan jenazah, membagi warisan dan lain-lain, pendeknya hampir pada setiap aspek kehidupan mereka.
Oleh karena Hukum Islam begitu berpengaruh dalam setiap  kehidupan masyarakat Indonesia, maka kedudukannya begitu setrategis untuk dijadikan acuan guna mempengaruhi perilaku masyarakat,  baik dalam segi sosial, budaya, ekonomi serta pergaulan sehari-hari. Sebagai aturan yang bersumber utama dari ajaran agama (baca:syariat) Hukum Islam sangat dipatuhi, dan melaksanakannya bagi masyarakat bernilai sebagai ibadah.
 Hukum Islam, dengan sumber utamanya Al-Quran dan sunah Rosul adalah  merupakan sumber hukum yang bersifat  tetap/statis, akan tetapi memberi ruang tafsir yang dapat menyesuaikan dengan ruang dan waktu dan merujuk pada sumber hukum lainnya yakni Ijma’ (kesepakatan para ulama dalam menghukumi sesuatu) dan Qias (penetapan hukum dengan menganalogikan sesuatu dengan sesatu yang telah ada hukumnya) , maka aplikasinya dalam hukum keseharian menjadi begitu dinamis.
Ijma’ dan Qias sebagai sumber hukum yang ketiga dan keempat setelah Al-Quran dan sunah Rosul, menjadikan Hukum Islam mampu beradaptasi dengan ruang dan waktu, sehingga dapat dipergunakan untuk menghukumi kapan saja dan di mana saja, tanpa kehawatiran menjadi usang dan ketinggalan jaman.
Hal ini belum termasuk sumber-sumber hukum lainnya seperti  Uruf (adat istiadat), Istihsan, Istishab. Maslahah mursalah, dll, yang kesemua itu memungkinkan Hukum Islam menjadi sumber hukum Progresif  Indonesia Yang tak pernah Kering.

III.   RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakan diatas penulis akan menelaah tentang tentang hokum progresif terkait tentang membumikan hokum syari’ah di Indonesia,  dengan menitik beratkan pada tiga pertanyaan dibawah ini:
1.      Apa  sumber-sumber hukum Islam ?
2.      Bagaimana seorang hakim membangun/ mewujudkan Hukum Nasional Progresif ? 
3.      Dapatkah hukum Islam menjadi alternatif dalam membangun Hukum Nasional Progresif? 

IV.   PANDANGAN HUKUM PROGRESIF TENTANG KEADILAN
Sejarah konfigurasi politik di Indonesia memperlihatkan adanya pasang surut dan naik pasang secara bergantian antara demokratis dan otoriter. Dengan logika pembangunan ekonomi yang menjadi prioritas utamanya, periode Orde Baru menampilkan watak otoriter-birokratis. Orde baru tampil sebagai Negara kuat yang mengatasi berbagai kekuatan yang ada dalam masyarakat dan berwatak intervensionis. Dalam konfigurasi demikian hak-hak politik rakyat mendapat tekanan atau pembatasan-pemabatasan.
Agenda reformasi yang menjadi tuntutan masyarakat adalah bagaimana terpenuhinya rasa keadilan ditengah masyarakat. Namun didalam realitasnya, ukuran rasa keadilan masyarakat itu tidak jelas. Menurut Hakim Agung Abdul Rachman Saleh, rasa keadilan masyarakat yang dituntut harus mampu dipenuhi oleh para hakim itu tidak mudah. Hal ini dikarenakan ukuran rasa keadilan masyarakat tidak jelas.[3]
Pada dasarnya kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari hukum. Sepanjang sejarah peradaban manusia, peran sentral hukum dalam upaya menciptakan suasana yang memungkinkan manusia merasa terlindungi, hidup berdampingan secara damai dan menjaga eksistensinya didunia telah diakui[4].
Keadilan adalah inti atau hakikat hukum. Keadilan tidak hanya dapat dirumuskan secara matematis bahwa yang dinamakan adil bila seseorang mendapatkan bagian yang sama dengan orang lain. Demikian pula, keadilan tidak cukup dimaknai dengan simbol angka sebagaimana tertulis dalam sanksi-sanksi KUHP, misalnya angka 15 tahun, 5 tahun, 7 tahun dan seterusnya. Karena keadilan sesungguhnya terdapat dibalik sesuatu yang tampak dalam angka tersebut (metafisis), terumus secara filosofis oleh petugas hukum/hakim.[5]
Dalam sistem hukum dimanapun didunia, keadilan selalu menjadi objek perburuan, khususnya melalui lembaga pengadilannya. Keadilan adalah hal yang mendasar bagi bekerjanya suatu sistem hukum. Sistem hukum tersebut sesungguhnya merupakan suatu struktur atau kelengkapan untuk mencapai konsep keadilan yang telah disepakati bersama.[6]
Merumuskan konsep keadilan dalam pemikiran hukum progresif  ialah bagaimana bisa menciptakan keadilan yang subtantif dan bukan keadilan prosedur. Akibat dari hukum modren yang memberikan perhatian besar terhadap aspek prosedur, maka hukum di Indonesia dihadapkan pada dua pilihan besar antara pengadilan yang menekankan pada prosedur atau pada substansi. Keadilan progresif bukanlah keadilan yang menekan pada prosedur melainkan keadilan substantif.
Bagaimana mungkin itu terjadi, karena kerusakan dan kemerosotan dalam perburuan keadilan melalui hukum modern disebabkan permainan prosedur yang menyebabkan timbulnya pertanyaan “apakah pengadilan itu mencari keadilan atau kemenangan?”. Proses pengadilan dinegara yang sangat sarat dengan prosedur (heavly proceduralizied) menjalankan prosedur dengan baik ditempatkan diatas segala-galanya, bahkan diatas penanganan substansi (accuracy of substance). Sistem seperti itu memancing sindiran terjadinya trials without truth.[7]
Dalam rangka menjadikan keadilan subtantif sebagai inti pengadilan yang dijalankan di Indonesia, Mahkamah Agung memegang peranan yang sangat penting. Sebagai puncak dari badan pengadilan, ia memiliki kekuasaan untuk mendorong (encourage) pengadilan dan hakim dinegeri ini untuk mewujudkan keadilan yang progresif tersebut.
Hakim menjadi faktor penting dalam menentukan, bahwa pengadilan di Indonesia bukanlah suatu permainan (game) untuk mencari menang atau kalah, melainkan mencari kebenaran dan keadilan. Keadilan progresif semakin jauh dari cita-cita “pengadilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan” apabila membiarkan pengadilan didominasi oleh “permainan” prosedur.  Proses pengadilan yang disebut fair trial dinegeri ini hendaknya berani ditafsirkan sebagai pengadilan dimana hakim memegang kendali aktif untuk mencari kebenaran.[8]

V.      LANDASAN KONSEPTUAL PEMIKIRAN HUKUM PROGRESIF
Studi hubungan antara konfigurasi politik dan karakter produk hukum menghasilkan tesis bahwa setiap produk hukum merupakan percerminan dari konfigurasi politik yang melahirkannya. Artinya setiap muatan produk hukum akan sangat ditentukan oleh visi kelompok dominan (Penguasa). Oleh karena itu, setiap upaya melahirkan hukum-hukum yang berkarakter responsif/populistik harus dimulai dari upaya demokratisasi dalam kehidupan politik.[9]
Kehadiran pemikiran hukum progresif bukanlah sesuatu yang kebetulan, bukan sesuatu yang lahir tanpa sebab, dan juga bukan sesuatu yang jatuh dari langit. Pemikiran Hukum progresif adalah bagian dari proses pencarian kebenaran (searching for the truth) yang tidak pernah berhenti. Hukum progresif yang dapat dipandang sebagai konsep yang sedang mencari jati diri, bertolak dari realitas empirik tentang bekerjanya hukum dimasyarakat, berupa ketidakpuasan dan keprihatinan terhadap kinerja dan kualitas penegakan hukum dalam setting Indonesia akhir abad ke-20.
Adalah keprihatinan Satjipto Rahardjo terhadap keadaan hukum di Indonesia. Para pengamat hukum dengan jelas mengatakan bahwa kondisi penegakan hukum di Indonesia sangat memprihatinkan. Pada tahun 1970-an sudah ada istilah “mafia peradilan” dalam kosakata hukum di Indonesia, pada orde baru hukum sudah bergeser dari social engineering ke dark engineering karena digunakan untuk mempertahankan kekuasaan. Pada era reformasi dunia hukum makin mengalami komersialisasi.
Menurut Satjipto Rahardjo, inti dari kemunduran diatas adalah makin langkanya kejujuran, empati dan dedikasi dalam menjalankan hukum, kemudian Satjipto Rahardjo mengajukan pertanyaan, apa yang salah dengan hukum kita? Bagaimana jalan untuk mengatasinya?[10].
Agenda besar gagasan pemikiran hukum progresif adalah menempatkan manusia sebagai sentralitas utama dari seluruh perbincangan mengenai hukum. Dengan kebijaksanaan pemikiran hukum progresif mengajak untuk memperhatikan faktor perilaku manusia. Oleh karena itu, pemikiran hukum progresif menempatkan perpaduan antara faktor peraturan dan perilaku penegak hukum didalam masyarakat. Disinilah arti penting pemahaman gagasan pemikiran  hukum progesif, bahwa konsep “hukum terbaik” mesti diletakkan dalam konteks keterpaduan yang bersifat utuh (holistik) dalam memahami problem-problem kemanusiaan.
Dengan demikian, gagasan pemikiran hukum progresif tidak semata-mata hanya memahami sistem hukum pada sifat yang dogmatic, selain itu juga aspek perilaku sosial pada sifat yang empirik. Sehingga diharapkan melihat problem kemanusiaan secara utuh berorientasi keadilan substantive.
1. Hukum Sebagai Institusi Yang Dinamis
Pemikiran hukum progresif menolak segala anggapan bahwa institusi hukum sebagai institusi yang final dan mutlak, sebaliknya hukum progresif percaya bahwa institusi hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi (law as a process, law in the making). Anggapan ini dijelaskan oleh Satjipto Rahardjo sebagai berikut:
(pemikiran. penulis) Hukum progresif tidak memahami hukum sebagai institusi yang mutlak secara final, melainkan sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada manusia. Dalam konteks pemikiran yang demikian itu, hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi. Hukum adalah institusi yang secara terus menerus membangun dan mengubah dirinya menuju kepada tingkat kesempurnaan yang lebih baik. Kualitas kesempurnaan disini bisa diverifikasi ke dalam faktor-faktor keadilan, kesejahteraan, kepedulian kepada rakyat dan lain-lain. Inilah hakikat “hukum yang selalu dalam proses menjadi (law as a process, law in the making).[11]
Dalam konteks yang demikian itu, hukum akan tampak selalu bergerak, berubah, mengikuti dinamika kehidupan manusia. Akibatnya hal ini akan mempengaruhi pada cara berhukum kita, yang tidak akan sekedar terjebak dalam ritme “kepastian hukum”, status quo dan hukum sebagai skema yang final, melainkan suatu kehidupan hukum yang selalu mengalir dan dinamis baik itu melalui perubahan-undang maupun pada kultur hukumnya. Pada saat kita menerima hukum sebagai sebuah skema yang final, maka hukum tidak lagi tampil sebagai solusi bagi persoalan kemanusiaan, melainkan manusialah yang dipaksa untuk memenuhi kepentingan kepastian hukum.

2. Hukum Sebagai Ajaran Kemanusiaan dan Keadilan
Dasar filosofi dari pemikiran hukum progresif adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia.[12] Pemikiran hukum progresif  berangkat dari asumsi dasar bahwa hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya. Berdasarkan hal itu, maka kelahiran hukum bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas, yaitu; untuk harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan dan kemuliaan manusia. Itulah sebabnya ketika terjadi permasalahan didalam hukum, maka hukumlah yang harus ditinjau dan diperbaiki, bukan manusia yang dipaksa-paksa untuk dimasukkan kedalam skema hukum.
Pernyataan bahwa hukum adalah untuk manusia, dalam artian hukum hanyalah sebagai “alat” untuk mencapai kehidupan yang adil, sejahtera dan bahagia, bagi manusia. Oleh karena itu menurut pemikiran hukum progresif, hukum bukanlah tujuan dari manusia, melainkan hukum hanyalah alat. Sehingga keadilan subtantif yang harus lebih didahulukan ketimbang keadilan prosedural, hal ini semata-mata agar dapat menampilkan hukum menjadi solusi bagi problem-problem kemanusiaan.

3. Hukum Sebagai Aspek Peraturan dan Perilaku
            Orientasi pemikiran hukum progresif bertumpu pada aspek peraturan dan perilaku (rules and behavior). Peraturan akan membangun sistem hukum positif yang logis dan rasional. Sedangkan aspek perilaku atau manusia akan menggerakkan peraturan dan sistem yang telah terbangun itu. Karena asumsi yang dibangun disini, bahwa hukum bisa dilihat dari perilaku sosial penegak hukum dan masyarakatnya.
            Dengan menempatkan aspek perilaku berada diatas aspek peraturan, dengan demikian faktor manusia dan kemanusiaan inilah yang mempunyai unsur greget seperti compassion (perasaan baru), empathy, sincerety (ketulusan), edication, commitment (tanggung jawab), dare (keberanian) dan determination (kebulatan tekad).
            Satjipto rahardjo mengutip ucapan Taverne, “Berikan pada saya jaksa dan hakim yang baik, maka dengan peraturan yang buruk sekalipun saya bisa membuat putusan yang baik”. Mengutamakan perilaku (manusia) daripada peraturan perundang-undangan sebagai titik tolak paradigma penegakan hukum, akan membawa kita untuk memahami hukum sebagai proses dan proyek kemanusiaan.[13]
Mengutamakan faktor perilaku (manusia) dan kemanusiaan diatas faktor peraturan, berarti  melakukan pergeseran pola pikir, sikap dan perilaku dari aras legalistik-positivistik ke aras kemanusiaan secara utuh (holistik), yaitu manusia sebagai pribadi (individu) dan makhluk sosial. Dalam konteks demikian, maka setiap manusia mempunyai tanggung jawab individu dan tanggung jawab sosial untuk memberikan keadilan kepada siapapun.

4. Hukum Sebagai Ajaran Pembebasan
Pemikiran hukum progresif menempatkan diri sebagai kekuatan “pembebasan” yaitu membebaskan diri dari tipe, cara berpikir, asas dan teori hukum yang legalistik-positivistik. Dengan ciri ini “pembebasan” itu, hukum progresif lebih mengutamakan “tujuan” daripada “prosedur”. Dalam konteks ini, untuk melakukan penegakan hukum, maka diperlukan langkah-langkah kreatif, inovatif dan bila perlu melakukan “mobilisasi hukum” maupun “rule breaking”.
Satjipto Rahardjo memberikan contoh penegak hukum progresif sebagai berikut. Tindakan Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto dengan inisiatif sendiri mencoba membongkar atmosfir korupsi di lingkungan Mahkamah Agung. Kemudian dengan berani hakim Agung Adi Andojo Sutjipto membuat putusan dengan memutus bahwa Mochtar Pakpahan tidak melakukan perbuatan makar pada rezim Soeharto yang sangat otoriter. Selanjutnya, adalah putusan pengadilan tinggi yang dilakukan oleh Benyamin Mangkudilaga dalam kasus Tempo, ia melawan Menteri Penerangan yang berpihak pada Tempo.[14]
Paradigma “pembebasan” yang dimaksud disini bukan berarti menjurus kepada tindakan anarkhi, sebab apapun yang dilakukan harus tetap didasarkan pada “logika kepatutan sosial” dan “logika keadilan” serta tidak semata-mata berdasarkan “logika peraturan” saja. Di sinilah pemikiran hukum progresif itu menjunjung tinggi moralitas. Karena hati nurani ditempatkan sebagai penggerak, pendorong sekaligus pengendali “paradigma pembebasan” itu. Dengan begitu, paradigma pemikiran hukum progresif  bahwa “hukum untuk manusia, dan bukan sebaliknya” akan membuat konsep pemikiran hukum progresif merasa bebas untuk mencari dan menemukan format, pikiran, asas serta aksi yang tepat untuk mewujudkannya.

VI.   PARADIGMA HUKUM PROGRESIF
Adalah Satjipto Rahardjo, atau Prof. Tjip panggilan akrab beliau yaitu seseorang yang dijuluki Begawan sosiologi hukum Indonesia yang pertama kali mencetuskan gagasan hukum progresif.[15] Gagasan ini kemudian mencuat kepermukaan dan menjadi kajian yang sangat menarik ditelaah lebih lanjut. Apa yang digagas oleh Prof. Tjip ini menawarkan perspektif, spirit, dan cara baru mengatasi “kelumpuhan hukum di Indonesia. Progresif berasal dari kata progress yang berarti kemajuan. Hukum hendaknya mampu mengikuti perkembangan zaman, mampu menjawab perubahan zaman dengan segala dasar di dalamnya, serta mampu melayani kepentingan masyarakat dengan menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber daya manusia penegak hukum itu sendiri.[16]
Dilihat dari kemunculannya, hukum progresif bukanlah sesuatu yang kebetulan, bukan sesuatu yang lahir tanpa sebab, dan juga bukan sesuatu yang jatuh dari langit. Hukum progresif adalah bagian dari proses pencarian kebenaran yang tidak pernah berhenti. Hukum progresif-yang dapat dipandang sebagai yang sedang mencari jati diri–bertolak dari realitas empirik tentang bekerjanya hukum di masyarakat, berupa ketidakpuasan dan keprihatinan terhadap kinerja dan kualitas penegakan hukum dalam setting Indonesia akhir abad ke-20. Dalam proses pencariannya itu, Prof. Tjip kemudian berkesimpulan bahwa salah satu penyebab menurunnya kinerja dan kualitas penegak hukum di Indonesia adalah dominasi paradigma positivisme dengan sifat formalitasnya yang melekat.[17]
Dalam kaitannya dengan pembangunan ekonomi Dunia Ketiga khususnya di Indonesia, kegagalan pembangunan ekonomi yang hanya disandarkan pada liberalisasi ekonomi dan itu dibuktikan dengan arus globalisasi ekonomi memaksa Indonesia harus masuk kedalam poros mekanisme pasar dan perdagangan Internasional. Akibatnya dibawah pemerintahan Susilo Bambang Yudoyhono (SBY) dengan tekanan dinamika ekonomi internasional tidak aneh ketika pemerintah sekarang menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) sampai Jilid II, hal ini dilakukan dengan dalih menyesuaikan harga minyak dunia yang melonjak naik secara drastis. Sehingga pemerintah melakukan pengurangan alokasi subsidi BBM untuk menyelamatkan APBN nasional.
Alasan-alasan diatas secara teknis ekonomis cukup bisa dimaklumi. Persoalannya kebijakan menaikkan harga BBM harus realistis terhadap kondisi rakyat saat ini. Untuk sampai pada keyakinan bahwa dampak kenaikan harga BBM secara simultan tak berdampak besar terhadap inflasi dan daya beli masyarakat, agaknya perlu terlebih dahulu mengetahui secara seksama kondisi daya tahan masyarakat. Artinya pemerintah terlebih dahulu melakukan general chek up atas daya tahan ekonomi masyarakat. Dalam pandangan hukum progresif hal inilah yang disebut kebijakan yang tidak memberikan kemanfaatan sosial bagi masyarakat, dan seakan-akan ilmu ekonomi hanya tombol kematian bagi kepentingan masyarakat secara umum. Karena pilihan meanstream ekonomi Indonesia yang cenderung postivistik terhadap kepentingan neo liberalisme belaka.[18] Sehingga tak heran agenda untuk menjalankan sistem ekonomi seperti ini, yang pertama adalah melakukan globalisasi hukum yang disesuaikan dengan kepentingan pragmatis yaitu akumulasi modal. Artinya mekanisme hukum yang diciptakan bertitik sentral pada mazhab sistem pembangunan ekonomi neo liberalisme sampai masuk ke dalam ranah positivisme hukum.
Paradigma hukum progresif sangat menolak meanstream seperti ini yang berpusat pada aturan/mekanisme hukum positivistik, dan hukum progresif membalik paham ini. Kejujuran dan ketulusan menjadi mahkota penegakan hukum. Empati, kepedulian, dan dedikasi menghadirkan keadilan, menjadi roh penyelenggara hukum. Kepentingan manusia (kesejahteraan dan kebahagiannya) menjadi titik orientasi dan tujuan akhir dari hukum. Para penegak hukum menjadi unjung tombak perubahan.[19]
Dalam logika inilah revitalisasi hukum dilakukan. Perubahan tak lagi pada peraturan, tetapi pada kreativitas pelaku hukum mengaktualisasi hukum dalam ruang dan waktu yang tepat. Aksi perubahan pun bisa segera dilakukan tanpa harus menunggu perubahan peraturan, karena pelaku hukum progresif dapat melakukan pemaknaan yang progresif terhadap peraturan yang ada. Menghadapi suatu aturan, meskipun aturan itu tidak aspiratif misalnya, aparat penegak hukum yang progresif tidak harus menepis keberadaan aturan itu. Ia setiap kali bisa melakukan interpretasi[20] secara baru terhadap aturan tersebut untuk memberi keadilan dan kebahagiaan pada pencari keadilan.[21]
Berdasarkan uraian diatas, hukum progresif, sebagaimana hukum yang lain seperti positivisme, realisme, dan hukum murni, memiliki karakteristik yang membedakannya dengan yang lain, sebagaimana akan diuraikan dibawah ini.[22]
Pertama, paradigma dalam hukum progresif adalah, bahwa “hukum adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia”. Artinya paradigma hukum progresif mengatakan bahwa hukum adalah untuk manusia. Pegangan, optik atau keyakinan dasar ini tidak melihat hukum sebagai sesuatu yang sentral dalam berhukum, melainkan manusialah yang berada di titik pusat perputaran hukum. Hukum itu berputar di sekitar manusia sebagai pusatnya. Hukum ada untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Apabila kita berpegangan pada keyakinan bahwa manusia itu adalah untuk hukum, maka manusia itu akan selalu diusahakan, mungkin juga dipaksakan, untuk bisa masuk ke dalam skema-skema yang telah dibuat oleh hukum. Sama halnya, ketika situasi tersebut di analogkan kepada undang-undang penanaman modal yang saat ini cenderung hanya mengedepankan kepentingan invenstasi belaka, tanpa melihat aspek keadilan dan keseimbangan sosial masyarakat. Sewajarnya bahwa undang-undang penanaman modal sebagai regulasi yang pada kaitannya juga dengan pembangunan ekonomi di Indonesia diciptakan untuk pemenuhan hak dasar masyarakat. Bukan dengan tujuan sebaliknya, masyarakat menjadi victim akibat dari aturan tersebut.
Kedua, hukum progresif menolak untuk mempertahankan status quo dalam berhukum. Mempertahankan status quo memberikan efek yang sama, seperti pada waktu orang berpendapat, bahwa hukum adalah tolak ukur semuanya, dan manusia adalah untuk hukum. Cara berhukum yang demikian itu sejalan dengan cara positivistik, normative dan legalistik. Sekali undang-undang mengatakan atau merumuskan seperti itu, kita tidak bias berbuat banyak, kecuali hukumnya dirubah lebih dulu. Dalam hubungan dengan ini, ada hal lain yang berhubungan dengan penolakan terhadap cara berhukum yang pro status quo tersebut, yaitu berkaitan dengan perumusan-perumusan masalah kedalam perundang-undangan. Subtansi undang-undang itu berangkat dari gagasan tertentu dalam masyarakat yang kemudian bergulir masuk ke lembaga atau badan legislatife.
Terakhir adalah, hukum  progresif memberikan perhatian besar terhadap peranan perilaku manusia dalam hukum. Ini bertentangan dengan diametral dengan paham, bahwa hukum itu hanya urusan peraturan. Peranan manusia disini merupakan konsekuensi terhadap pengakuan, bahwa sebaiknya kita tidak berpegangan secara mutlak kepada teks formal suatu peraturan. Diatas telah dijelaskan betapa besar risiko dan akibat yang akan dihadapi apabila kita “menyerah bulat-bulat” kepada peraturan. Cara berhukum yang penting untuk mengatasi kemandegan atau stagnasi adalah dengan membebaskan diri dari dominasi yang membuta kepada teks undang-undang. Cara seperti ini bias dilakukan, apabila kita melibatkan unsur manusia atau perbuatan manusia dalam berhukum. Karena pada dasarnya the live of law has not been logis, but experience.[23]
Gagasan hukum progresif dan karakteristik yang membedakannya dengan yang lain sebagaimana uraian di atas, memberi warna dan cara pandang baru di dalam memahami hukum sebagai regulasi pembangunan ekonomi. Gagasan tersebut paling tidak merupakan pertimbangan pada aspek mekanisme yang dijalankan pada roda pembangunan ekonomi Indonesia, walaupun kita tahu bersama bahwa paradigma hukum progresif bukanlah sesuatu ilmu ekonomi murni. Berkaitan dengan hal itu, muncul pertanyaan, bagaimana jika gagasan hukum progresif ini secara mekanistik dapat diterapkan dalam alternatif pembangunan ekonomi Dunia Ketiga, yang pada khususnya dalam konteks Indonesia. Uraian di bawah ini akan menjelaskan persoalan tersebut

VII. ASAS-ASAS HUKUM ISLAM
Hukum Islam sebagaimana hukum-hukum yang lain mempunyai asas dan tiang pokok.  kuatan suatu hukum, sukar mudahnya, dapat diterima atau ditolak masyarakat tergantung kepada asas dan tiang-tiang pokoknya.[24] Hudari Bik berpendapat bahwa dalam pembinaan hokum Islam, setidaknya ada tiga asas.[25]
a) ‘Adamul Harj (Tidak Menyempitkan).
Haraj menurut bahasa Arab adalah sempit. Banyak dalildalil yang menunjukkan bahwa syari’at ini didasarkan atas dihilangkannya kesempitan. Firman Allah Ta’ala:
Artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” (QS. al-Baqarah ayat 185).
Artinya: “Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan” (Q.S. Al-Hajj ayat 78).
Artinya: dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka (Q.S. Al-A’raf ayat 157)

Maksudnya adalah dalam syari'at yang dibawa oleh Nabi Muhammad itu tidak ada lagi beban-beban yang berat yang dipikulkan kepada Bani Israil. Umpamanya: mensyari'atkan membunuh diri untuk sahnya taubat, mewajibkan qisas pada pembunuhan baik yang disengaja atau tidak tanpa membolehkan membayar diat, memotong anggota badan yang melakukan kesalahan, membuang atau menggunting kain yang kena najis.
Dan hadits Nabi : ”Aku diutus dengan agama yang ringan”
Menurut Yusuf al-Qaradhawi,[26] memudahkan adalah manhaj al-Qur’an dan Nabi. Manhaj tersebut diajarkan oleh Nabi kepada para sahabat. Beliau memerintahkan mereka untuk mengikutinya. Baik individu maupun jamaah. Ketika mengutus Abu Musa dan Muadz bin Jabal ke Yaman, beliau mengutus dengan wasiat ini, “Mudahkan jangan menyulitkan, beri kabar gembitrabukan ketakutan, dan taatlah bukan berselisih”. Hal yang beliau wasiatkan kepada Muadz dan Abu Musa beliau wasiatkan juga kepada umat. Anas meriwayatkan bahwa Nabi pernah bersabda, “Mudahkanlah dan jangan menyulitkan, berilahkabar gembira dan jangan ketakutan.” (Muttafaq alaih). Dengan demikian yang dicipta adalah memudahkan dalam fatwa, danmemberi kabar gembira dalam dakwah.[27]
Ulama sering menguatkan pendapat mereka denganperkataan “Ini lebih mudah bagi manusia”. Jika berijtihad, merekapun sering membetulkan muamalah manusia sesuai dengankemampuan. Mereka menyandarkan hal tersebut kepada kaidahkaidah syariat, seperti al-dharurat tubih al-mahzhurat (keadaan darurat membolehkan hal yang terlarang), al-hajah tunazzil manzilah al-dharurah (kebutuhan mendesak disesuaikan dengan kedudukan darurat), al-dharar yuzal (darurat harus dihilangkan), al„adah muhakkamah (adat menjadi hukum), al-masyaqqqah tajlib al-taysir (kesulitan mendatangkan kemudahan), serta kaidah-kaidah lainnya yang dibuat oleh ulama dan mereka ambil dari teks-teks dan hukumhukum syariat.[28].
Di sini harus diingatkan ungkapan yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam kitab Hilyatul Auliya, Imam Ibnu Abdil Barr dalam al-Ilm, dan Imam an-Nawawi dalam muqaddimah kitab al-Majmu‟ dari Imam Sufyan bin Said al-Tsauri, yang menjadi imam
dalam bidang fiqih, hadits, dan wara’. Ia berkata dengan ungkapan yang sangat agung, Fiqih adalah pemberian rukhshah dari tokoh yang tsiqat, sedang memberikan tuntutan hukum yang keras dapatdilakukan oleh semua orang.”[29]
Kita harus memperhatikan perkataannya bahwa rukhshah dari ulama yang tsiqat, yaitu ulama yang dipercayai kefaqihan dan kesalehan agamanya. Sedangkan orang yang tidak memiliki kedua hal itu atau salah satunya maka bisa saja ia memberikan rukhshah dalam sesuatu yang tidak boleh diberikan rukhshah, sehingga tindakannya itu melanggar dalil-dalil syari’at yang qath‟i dan muhkamat serta kaidah-kaidahnya. Hal ini tentunya tidak dapat diterima oleh insan muslim yang cinta dan teguh memegang agamanya.[30]
Yusuf al-Qaradhawi mengatakan bahwa maksud dari kemudahan itu mengandung beberapa perkara[31]:
1)      Memperhatikan sisi keringanan atau rukhshah.
2)      Memperhatikan kondisi yang mendesak dan kondisi yang meringankan.
3)      Memilih yang paling mudah dan bukan yang paling hati-hati di zaman kita hidup masa kini[32].
4)      Membatasi dalam masalah-masalah yang wajib dan yang haram.
5)      Membebaskan diri dari fanatisme mazhab.
6)      Kemudahan dalam semua masalah.
Terkait dengan prinsip ini, dalam kaidah fiqih terdapat kaidah yang berbunyi al-masyaqqah tajlib al-taysir (kesulitan mendorong kemudahan) yang oleh Ali Haydar dijelaskan bahwa kesulitan yang terdapat pada sesuatu menjadi sebab dalam mempermudah dan memperingan sesuatu tersebut, yang pada intinya menekankan besarnya perhatian syariat pada bentuk-bentuk kemudahan dan keringanan hukum. Bahkan al-Sya’bi pernah menyatakan, jika seorang muslim diperintahkan melakukan salah satu di antara dua hal, kemudian ia memilih yang paling ringan baginya, maka pilihannya itu lebih disukai Allah SWT.[33]

b) Taqlil al-Taklif (Menyedikitkan Beban)
Menyedikitkan beban merupakan konsekuensi logis bagi tidak adanya menyulitkan (asas pertama), karena di dalam banyaknya beban mengakibatkan kesempitan. Orang yang menyibukkan diri terhadap al-Qur’an untuk melihat perintahperintah dan larangan-larangan yang di dalamnya niscaya dapat menerima terhadap kebenaran pokok ini, karena dengan melihatnya sedikit memungkinkan untuk mengetahuinya dalam waktu sekilas dan mudah mengamalkannya, tidaklah banyak perincianperinciannya sehingga banyaknya itu tidak menimbulkan kesulitan terhadap orang-orang yang mau berpegang dengan kitab Allah yang kuat. Sebagian dari ayat yang menunjukkan hal itu adalah firman Allah Ta’ala dalam surat al-Maidah yang berbunyi:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. (Q.S.Al-Maidah ayat 101)

Masalah-masalah yang dilarang ini adalah sesuatu yang telah dimaafkan oleh Allah yakni didiamkan pengharamannya seandainya mereka tidak menanyakannya niscaya hal itu diampuni dalam meninggalkannya.

c) Berangsur-angsur Mendatangkan Hukum
Dalam menetapkan suatu hukum, hendaknya tidak dilakukan secara radikal, karena masyarakat akan sulit untuk melaksanakannya. Maka seyogyanya dilakukan setahap demi setahap. Sebagai contoh, jika pemerintah mengeluarkan peraturan tentang kewajiban bagi pengendara sepeda motor agar menyalakan lampu di siang hari secara sekaligus, maka masyarakat akan menentangnya karena belum mengetahui tujuan dari hal tersebut, namun masyarakat akan mudah menerima dan melaksanakannya jika peraturan itu diterapkan secara bertahap dan setelah masyarakat memahami manfaatnya.[34]
 Dalam sosiologi Ibnu Khaldun dinyatakan bahwa suatu masyarakat (tradisional atau yang tingkat intelektualnya masih rendah) akan menentang apabila ada sesuatu yang baru atau sesuatu yang datang kemudian dalam kehidupannya, lebih-lebih apabila sesuatu yang baru tersebut bertentangan dengan tradisi yang ada. Masyarakat senantiasa memberikan respon apabila timbul sesuatu di tengah-tengah mereka.[35] Dengan mengingat faktor tradisi dan ketidaksenangan manusia untuk menghadapi perpindahan sekaligus dari suatu keadaan lain yang asing sama sekali bagi mereka, al-Qur’andituru nkan secara berangsur-angsur, surat demi surat dan ayat demi ayat sesuai dengan peristiwa, kondisi, dan situasi yang terjadi. Dengan cara demikian, hukum yang diturunkannya lebih disenangi oleh jiwa dan lebih mendorong ke arah menaatinya, serta bersiapsiap meninggalkan ketentuan lama dan menerima ketentuan baru.[36]
 Berangsur-angsur mendatangkan hukum, artinya Allah dalam mendatangkan hukum-hukumnya tidak dengan sekaligus, tetapi diangsur dari satu demi satu. Misalnya tentang hokum dilarangnya orang meminum khamar dan main judi. Ketika Rasulullah SAW ditanya tentang hukum keduanya itu oleh sebagian kaum muslim yang telah meminum khamar dan main judi, maka turun firman Allah dalam surat al-Baqarah yang berbunyi:

Artinya: mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir. Al-Baqarah ayat :219)

Dalam ayat ini tidak jelas kelihatan tentang terlarangnya kedua perkara yang ditanyakan itu, padahal sebenarnya sudah terkandung di dalamnya larangan keras, karena segala yang mendatangkan dosa bagi orang yang mengerjakannya sudah dilarang keras orang mengerjakannya[37].
Belakangan diturunkan pula satu ayat yang berarti melarang orang mengerjakan shalat dikala mabuk yang bunyinya :

Artinya:  Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam Keadaan junub[301], terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun. (Q.S.An-Nisa’ ayat 43)

Kemudian pada suatu saat diturunkan pula ayat yang tegas jelas melarang orang meminum arak dan bermain judi, yang bunyinya :

Artinya:Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah[434], adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu). (Q.S. Al-Maidah ayat 90-91)

Barulah dengan ayat ini jelas terlarangnya orang meminum arak dan bermain judi, yang berarti supaya kedua macam perbuatan itu dijauhi benar-benar oleh segenap orang yang beriman.
Fathurrahman Djamil menambahkan dua asas lagi, yaitu sebagaimana tersebut dibawah ini:

d)   Memperhatikan Kemaslahatan Manusia
Hukum Islam dihadapkan kepada bermacam-macam jenis manusia dan ke seluruh dunia. Maka tentulah pembina hokum memperhatikan kemaslahatan masing-masing mereka sesuai dengan adat kebudayaan mereka serta iklim yang menyelubunginya. Jika kemaslahatan-kemaslahatan itu bertentangan satu sama lain, maka pada saat itu didahulukan maslahat umum atas maslahat khusus dan diharuskan menolak kemudharatan yang lebih besar dengan jalan mengerjakan kemudharatan yang kecil.[38]
Dalam masa kepemimpinannya, Umar menjadikan maslahat dan nash sebagai pokok atau dasar tasyri’nya. Hampir pada semua kejadian dan kasus yang dihadapinya diputuskan dengan tujuan untuk maslahat ammah. Jika dalam suatu kejadian ada nash khususnya, maka Umar harus melaksanakannya dan agar hal itu dapat membawa maslahat, serta menjadikan masalah yang ada nashnya itu membawa dua sisi manfaat. Karena penguasa jika memutuskan satu keputusan hanya karena menurutnya hal itu ada kemaslahatannya, dan dengan sengaja melanggar nash, maka putusannya itu tidak harus dipatuhi, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Nujaim[39].
Umar selalu berpijak pada pemahaman nash dan yang tidak ditolak oleh akal, di samping ia juga selalu berpegangan pada keputusan-keputusan tasyri’ yang umum. Adapun jika dalam masalah yang tidak ada nash khususnya, maka pada saat itu Umar tidak mengeluarkan satu keputusan tasyri’ hanya dengan menggunakan ra’yu dan ijtihadnya dan mengatakan bahwa itu adalah maslahat, dengan tanpa mengaitkan dan menguatkannya dengan alasan lain[40].

e)   Mewujudkan Keadilan yang Merata.
Manusia di dalam hukum Islam, sama kedudukannya. Mereka tidak lebih melebihi karena kebangsaan, karena keturunan, karena harta atau karena kemegahan. Tak ada di dalam hukum Islam penguasa yang bebas dari jeratan undang-undang, apabila mereka berbuat zalim. Semua manusia di hadapan Allah Hakim yang Maha
Adil adalah sama.[41]
Nabi bersabda:Artinya: “diriwayatkan dari Aisyah r.a ia berkata;”ada seorang perempuanmahzumiah meminjam barang dan mengingkarinya. Kemudian Nabi Muhammad saw menyuruh agar tangan perempuan itu dipotong.Tetapi kemudian keluarganya datang kepada Usamah bin Zaid ra dan mengadukan hal itu. Selanjutnya Usamah bin Zaid menyampaikan pengaduan itu kepada Nabi. Nabi saw berkata,‟HaiUsamah, aku tidak melihatmu dapat membebaskan suatu hadd dari Allah Azza wa Jalla‟. Kemudian Nabi berdiri dan berkhotbah, seraya berkata.‟ Sesungguhnya kehancuran generasi sebelum kamu adalah karena bila orang yang meulia dari mereka mencuri, maka mereka biarkan. Bila orang yang rendah dari mereka mencuri, maka mereka menegakkan hadd potong tangan atasnya. Demi Dzat yang jiwaku berada di dalam genggamanNya, Andaikata Fatimah putrid Muhammad mencuri, niscaya aku potong tangannya.‟ Dengan demikian maka tangan perempuan mahzumah itu dipotong. (HR. Muslim)[42]


VIII.   HUKUM PROGRESIF: MEMBUMIKAN HUKUM SYARI’AH DI INDONESIA OLEH HAKIM
Progresif, adalah kata yang berasal dari bahasa asing (Inggris) yang asal katanya adalah progress, yang artinya maju. Progressive adalah  kata sifat, jadi sesuatu yang bersifat maju. Hukum Progresif berarti hukum yang  bersifat maju.  Dalam teori ilmu hukum, istilah Hukum Progresif tidak dikenal. Belakangan ini seorang pakar ilmu hukum terkemuka, yakni Prof. DR. Satjipto Rahardjo, SH, merasa prihatin dengan rendahnya kontribusi ilmu hukum dalam mencerahkan bangsa Indonesia, dalam mengatasi krisis, termasuk krisis dalam bidang hukum itu sendiri. Untuk itu beliau melontarkan suatu    pemecahan masalah, dengan   gagasan  tentang Hukum Progresif.
Adapun pengertian Hukum Progresif itu sendiri yaitu mengubah secara cepat, melakukan pembalikan yang mendasar dalam teori dan praksis hukum, serta melakukan berbagai terobosan. Pembebasan tersebut didasarkan pada prinsip bahwa : “ Hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya…dan hukum itu tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas yaitu…untuk harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemuliaan manusia”[43].
Pengertian sebagaimana dikemukakan oleh Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH,  tersebut berarti, Hukum Progresif adalah serangkaian tindakan yang radikal, dengan mengubah sistem hukum (termasuk merubah peraturan-peraturan hukum bila perlu) agar hukum lebih berguna, terutama dalam mengangkat harga diri serta menjamin kebahagiaan dan kesejahteraan manusia.
Berangkat dari gagasan ini, penulis mencoba menyampaikan sumbangan pemikiran untuk menuju pada Hukum progresif, dengan menggalinya dari sumber-sumber hukum yang telah ada dan terbukti telah dipergunakan selama berabad-abad oleh masyarakat kita, akan tetapi belum pernah digali dan dikembangkan secara optimal, dalam rangka membangun hukum nasional yang progresif. Sumber-sumber hukum tersebut adalah yang berasal dari hukum Islam.
 Sebagaimana telah diuraikan di atas, hukum Islam memiliki sumber-sumber hukum yang progresif serta sangat memadahi. Selain hal itu, Hukum Islam telah teruji mampu menjawab  setiap persoalan yang timbul dalam pergaulan masyarakat.
Sebagaimana telah diketahui, Hukum Islam lahir bersamaan dengan lahirnya agama Islam yang di bawa oleh nabi Muhammad, SAW. Pada saat itu, permasalahan-permasalahan yang ada masih sangat sederhana apabila dibandingkan dengan saat ini. Selain dari kesederhanaan masyarakatnya, pada waktu itu Islam masih dipimpin langsung oleh pembawanya (Nabi Muhammad, SAW) sehingga setiap persoalan dapat ditanyakan langsung serta mendapat pemecahannya dari beliau. Permasalahan baru berkembang setelah nabi Muhammad dan umat Islam hijrah ke Yatsrib (Madinah), karena di daerah yang baru ini nabi Muhammad dihadapkan dengan kondisi masyarakat yang majemuk, dimana ada yang memeluk agama Nasrani, Yahudi disamping masyarakat Islam sendiri. Untuk hal tersebut upaya awal yang dilakukan Nabi Muhammad sebagaimana dikatakan oleh Prof. DR. H. Muchsin, SH dalam bukunya yang berjudul Piagam Madinah, Filsafat Timur, Filosof Islam dan pemikirannya, adalah membuat perjanjian, dengan masyarakat Yatsrib yang majemuk itu. Perjanjian yang dibuat oleh Nabi Muhammad tersebut, belakangan kita kenal sebagai Piagam Madinah, yaitu sebuah Piagam yang secara historis telah diakui sebagai konstitusi tertua di Dunia.
Konstitusi adalah hukum dasar bagi masyarakat yang berbangsa dan bernegara, oleh karena itu dapatlah diperhatikan betapa progresifnya Piagam Madinah tersebut yang sebagian menyatakan sebagai berikut :
1.      Semua orang mempunyai kedudukan yang sama sebagai anggota masyarakat, wajib saling membantu dan tidak boleh seorangpun diperlakukan secara buruk (pasal 16). Bahwa orang yang lemah harus dilindungi dan dibantu (pasal 11).
2.      Semua warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama (pasal 24, 36, 37, 38, 44).   Setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum (Pasal 34, 40, 46).
3.      Hukum harus ditegakkan, siapapun tidak boleh melindungi kejahatan apalagi berpihak pada orang yang melakukan kejahatan. Demi tegaknya kebenaran dan keadilan, siapapun pelaku kejahatan harus dihukum tanpa pandang bulu (pasal 13, 22, dan 43).
Perdamaian adalah tujuan utama, namun dalam mengusahakan perdamaian tidak boleh mengorbankan keadilan dan kebenaran[44].
Kutipan beberapa pasal dari Piagam Madinah tersebut cukup menjelaskan bahwa Hukum Islam dapat diterapkan pada masyarakat yang tidak hanya terdiri dari umat Islam saja, melainkan juga terhadap masyarakat pemeluk agama lain, sebagaimana masyarakat Yatsrib yang di dalamnya terdapat masyarakat pemeluk agama Nasrani dan juga  pemeluk agama Yahudi, yang keseluruhan masyarakat tersebut memiliki berkedudukan sama di hadapan hukum.
Peraturan perundang-undangan di Indonesia, cukup banyak yang mengadopsi dari Hukum Islam dan itu ternyata telah berlaku sekian lama tanpa masalah. Ini membuktikan bahwa selain hal-hal  yang berkaitan dengan syariat yang menyangkut ritual peribadatan, Hukum Islam bersifat universal dan dapat diterima oleh kalangan non Islam.  Peraturan tersebut antara lain adalah apa yang termuat dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan  yang mengatur tentang, poligami, waktu tunggu bagi janda, alasan-alasan untuk mengajukan perceraian dan lain-lain.
Adapun mengenai hal-hal baru yang belum ada aturannya, hukum Islam dapat menetapkannya sesuai dengan tujuan hukum Islam itu sendiri, sebagaimana diuraikan oleh  H. Akhmad Khisni, SH, MH, adalah :
“Mengkaji tujuan hukum (maqoshid al-syari’ah) yang menurut ulama ahli hukum, bahwa tujuan hukum islam adalah “jalbu al-mashalih” (mendatangkan kebaikan). Adapun pendapat ulama ahli hukum islam yang lain, bahwa tujuan hukum islam adalah “dar’ul mafasid” (menolak kerusakan /hal yang negatif) dan pendapat ahli hukum yang ketiga ini menggabungkan dua pendapat di atas…”[45] 
   Sesuai dengan tujuan hukum Islam yakni mendatangkan kebaikan dan menolak/mencegah yang negatif, maka sesungguhnya kedua hal tersebut  merupakan prinsip dasar yang bersifat universal, dan sudah barang tentu dapat diterima oleh siapa saja dan di mana saja. Hal ini karena hal tersebut mewakili hati nurani manusia, sebagai makhluk ciptahan Tuhan yang paling sempurna. Hati nurani inilah yang membedakan manusia dengan ciptaan Tuhan/makhluk hidup lainnya, yang hanya dibekali naluri untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Sebagaimana telah disebutkan di atas hukum Islam memiliki sumber hukum, yaitu kitab suci Al-Qur’an sebagai sumber utama, kemudian Sunnah Rosul, Ijma, dan Qias. Mengenai sumber-sumber hukum yang lainnya, para ahli Hukum Islam (baca: Fuqoha) berbeda pendapat antara satu dengan lainnya.
Imam Syafi’I , yang mazhabnya banyak dianut di Indonesia, menolak Istihsan. Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy menyatakan :
“Sesungguhnya Asy-Syafi’I tidak menerangkan dengan tegas apa yang ditolaknya. Ia hanya menerangkan dalil-dalil yang dipegangnya, yaitu: al-Kitab, al-Sunnah, al-Ijma’, al-Qias dan fatwa sahabat. Selainnya dipandang istihsan yang harus ditolak.”[46].
Di sini Imam Syafi’i, mengutamakan empat sumber tersebut, sedangkan sunber-sumber lainnya yang tidak bersangkutan dengan keempat sumber tersebut dianggap Istihsan dan itu ditolak oleh beliau.
Menggali hukum dengan mempergunakan keempat sumber tersebut dengan memperhatikan maqoshid al-syariah, sudah sangat  memadai untuk mendapatkan  solusi terhadap persoalan hukum yang dibutuhkan masyarakat.
 D.    KESIMPULAN.
      Hukum Islam digali dari sumber utama Al-Qur’an dan Sunnah nabi Muhammad, yang bersifat tetap yang akan menjamin keaslian dan keutuhan nilai-nilai Islam sepanjang jaman.  Sementara sumber-sumber hukum Islam lainnya seperti Ijma’, Qias, Istihsan, Istishab, Maslahah Mursalah, Dzaro’i dan Uruf, merupakan sumber-sumber hukum yang memiliki fleksibilitas yang tinggi dan progresif, sehingga memungkinkan hukum Islam untuk diberlakukan di mana saja, kapan saja, serta dalam berbagai situasi.
Membangun hukum Nasional yang progresif dan ideal,  merupakan pekerjaan besar yang memerlukan kerja keras yang melibatkan banyak pihak. Selain itu, pihak –pihak yang terlibat itu, haruslah memiliki niat dan kemauan yang sama, mengerahkan potensi bersama-sama, kemudian menyinergikannya.
Adapun  pihak-pihak yang dimaksud, setidak-tidaknya adalah dari kalangan akademisi, praktisi, kalangan pemerintah, politisi, dan kelompok masyarakat yang memiliki perhatian ataupun kepedulian terhadap pembangunan hukum Nasional serta yang menjadi ujung tombaknya adalah para hakim, baik dali lingkungan Mahkamah Agung RI yang meliputi (Hakim dari lingkungan Pengadilan Umum, Hakim dari lingkungan Pengadilan Agama, Hakim dari lingkungan Pengadilan Tata Usaha Negara dan Hakim dari lingkungan Pengadilan Militer) ataupun dari Mahkamah Konstitusi RI. 
Hukum Islam bukan saja dapat menjadi landasan pembangunan Hukum Nasional Progresif, lebih dari itu bahkan hukum Islam memiliki potensi yang terbesar, dibandingkan dengan sistem hukum lainnya.
Hal ini karena hukum Islam bersifat universal sehingga menyentuh segala persoalan yang berkaitan dengan kehidupan manusia secara umum. Hukum Islam bersifat dinamis dan fleksibel, sehingga senantiasa dapat mengikuti perubahan dinamika masyarakat.
Hukum Islam yang bersumber dari ajaran agama yang dianut mayoritas bangsa Indonesia, dan sebagian telah terintegrasi dalam hukum Adat masyarakat Indonesia, sehingga memiliki potensi untuk ditaati secara suka rela /ikhlas, dan itu telah terbukti secara historis dan sosiologis.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Haq, Ahmad Mubarok, dan Agus Ro’uf, Formulasi Nalar Fiqh, Telaah Kaidah Fiqh Konseptual, Surabaya: Khalista, 2006
Abdul Wahab Kholaf, Ilmu Ushul Fiqih, Darul Qalam, 1978.
Akhmad Khisni, Hukum dan Moralitas:Perspektif Hukum Islam, Jurnal Hukum Khaira Ummah, Volume 1, Program Magister Hukum S2, Ilmu Hukum, Unissula Semarang
Andi Ayyub Saleh, Tamasya Perenungan Hukum dalam “Law in Book and Law in Action” Menuju Penemuan Hukum (Rechtsvinding), Yarsif Watampone, Jakarta, 2006.
Chalil Moenawar, Kembali Kepada Al-Qur‟an dan As-Sunnah, Jakarta: PT Midas Surya, 1993,
Faisal, Menerobos Positivisme Hukum, Rangkang Education, Yogyakarta, 2010.
Fatchurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Hudari Bik, Tarikh al-Tasyri‟ al-Islami, diterjemahkan Mohammad Zuhri, Sejarah Pembinaan Hukum Islam, Darul Ihya, 1980.
Ishom Talimah, al-Qaradhawi Faqihan, diterjemahkan Samson Rahman, Manhaj Fiqih Yusuf al-Qaradhawi, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,  Bayumedia, Surabaya, 2005
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,  Bayumedia, Surabaya, 2005.
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2009.
Mahmud Kusuma, Menyelami Semangat Hukum Progresif; Terapi Paradigmatik Atas Lemahnya Penegakan Hukum Indonesia, Antony Lib bekerjasama LSHP, Yogyakarta, 2009
Muchsin, Piagam Madinah, Filsafat Timur, Filosof Islam dan Pemikirannya, bp Iblam, 2004.
Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqih, Darul Fikr Al-Arabi, TT.
Muhammad Baltaji, Manhaj Umar Ibn al-Khathab fi al-Tasyrii‟, diterjemahkan H. Masturi Irham, Metodologi Ijtihad Umar bin al-Khathab, Jakarta: Khalifa, 2005.
Muslim ibn Hajjaj al-Qusyairy al-Naysabury, Sahih Muslim, Jilid II, Libanon: Dar al- Kutub al-Ilmiyah, t.th.
Rachmat Djatnika, Jalan Mencari Hukum Islami Upaya ke Arah Pemahaman Metodologi Ijtihad, dalam kata pengantar, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Amrullah Ahmad, dkk (ed), et. al., Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Sabian Usman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Pustaka Belajar, Yogyakarta, 2009 
Satjipto Rahardjo “Indonesia Butuhkan Penegakan Hukum Progresif”, Kompas, 15 juni 2002.
Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir (Catatan Kritis Tentang Pergulatan Manusia dan Hukum), Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2007
Satjipto Rahardjo, Hukum Itu Perilaku Kita Sendiri, artikel pada Harian Kompas, 23 September 2002.
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Kompas, Jakarta, 2006
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2006
Satjipto Rahardjo, Menggagas Hukum Progresif Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009
Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi lain dari Hukum di Indonesia, Kompas, Jakarta, 2003
Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Univesitas Indonesia, Jakarta, 2008.
 Sudjiono Sastroatmojo, Konfigurasi Hukum Progresif, Artikel dalam Jurnal Ilmu Hukum, Vol.8 No 2 September 2005.
T.M Hasbi Ash Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2001, hlm. 58.
Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, PT. Pustaka Rizki Puta, Semarang, 1997.
Yusuf al-Qaradhawi, “Taisir al-Fiqh li al-Muslim al-Mua‟shir fi Dahu al-Qur‟an wa as-Sunnah”, diterjemahkan Abdul Hayyie al-Kattani, M. Yusuf Wijaya, dan Noor Cholis Hamzain, Fiqih Praktis bagi Kehidupan Modern, Jakarta: Gema Insani Press, 2002,
Yusuf al-Qaradhawi, Dirasah fi Fiqh Maqashid Syari‟ah, diterjemahkan H. Arif Munandar Riswantom Fiqih Maqashid Syariah, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007.




[1] Abdul Wahab Kholaf, Ilmu Ushul Fiqih, Darul Qalam, 1978, Hal. 197
[2] Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqih, Darul Fikr Al-Arabi, TT, Hal. 164
[3] Lebih jauh Arman mengemukakan bahwa dalam menetapkan putusannya hakim memang harus mengedepankan rasa keadilan. Namun rasa keadilan masyarakat sebagaimana dituntut sebagian orang agar dipenuhi oleh hakim, adalah tidak mudah. Bukan karena hakim tidak bersedia, melainkan karena ukuran rasa keadilan masyarakat itu tidak jelas.  Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Univesitas Indonesia, Jakarta, 2008, hlm. 340
[4] Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,  Bayumedia, Surabaya, 2005, hlm.1

[5] Andi Ayyub Saleh, Tamasya Perenungan Hukum dalam “Law in Book and Law in Action” Menuju Penemuan Hukum (Rechtsvinding), Yarsif Watampone, Jakarta, 2006, hlm. 70
[6] Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2006, hlm. 270
[7] Ibid, hlm. 272

[8] Ibid, hlm. 276
[9] Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2009,hlm. 368
[10] Faisal, Menerobos Positivisme Hukum, Rangkang Education, Yogyakarta, 2010, hlm. 70
[11] Ibid, hlm. 72
[12] Mahmud Kusuma, Menyelami Semangat Hukum Progresif; Terapi Paradigmatik Atas Lemahnya Penegakan Hukum Indonesia, Antony Lib bekerjasama LSHP, Yogyakarta, 2009, hlm. 31
[13]  Ibid, 74

[14] Ibid, 75
[15]Gagasan dimaksud pertama kali dilontarkan pada tahun 2002 lewat sebuah artikel yang ditulis di Harian Kompas dengan judul “Indonesia Butuhkan Penegakan Hukum Progresif”, Kompas, 15 juni 2002.

[16] Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Kompas, Jakarta, 2006 hlm ix.
[17] Ibid. hlm 10-11, Lihat juga Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi lain dari Hukum di Indonesia, Kompas, Jakarta, 2003, hlm 22-25.


[18] Apa yang menjadi pendirian neo-liberalisme dicirikan sebagai berikut: kebijakan pasar bebas yang mendorong perusahaan-perusahaan swasta dan pilihan konsumen, penghargaan atas tanggung jawab personal dan inisiatif kewiraswastaan, serta menyingkirkan birokrasi dan “parasit” pemerintah. Aturan dasar kaum neo-liberalis adalah, “liberalisasikan perdagangan dan finansial, biarkan pasar menentukan harga, akhiri inflasi, (stabilitas ekonomi-makro dan privatisasi) kebijakan pemerintah haruslah “menyingkirkan dari penghalang jalan”. Paham inilah yang saat ini oleh para aktor globalisasi dipaksakan untuk diterima semua bangsa-bangsa di seluruh dunia, khususnya juga terjadi di Indonesia.
[19]  Sudjiono Sastroatmojo, Konfigurasi Hukum Progresif, Artikel dalam Jurnal Ilmu Hukum, Vol.8 No 2 September 2005, hlm 186.
[20] Satjipto Rahardjo, Menggagas Hukum Progresif Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006 hlm 3-4.
[21] Sudjiono Sastroatmojo, Konfigurasi…op,cit.
[22] ] Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, Kompas, Jakarta, 2007, hlm 139-147.
[23] Penjelasan bahwa hukum itu adalah prilaku, bukan aturan, lihat Satjipto Rahardjo, Hukum Itu Perilaku Kita Sendiri, artikel pada Harian Kompas, 23 September 2002.
[24] T.M Hasbi Ash Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2001, hlm. 58.
[25] Hudari Bik, Tarikh al-Tasyri‟ al-Islami, diterjemahkan Mohammad Zuhri, Sejarah Pembinaan Hukum Islam, Darul Ihya, 1980, hlm. 31-39.
[26] Yusuf al-Qaradhawi, Dirasah fi Fiqh Maqashid Syari‟ah, diterjemahkan H. Arif Munandar Riswantom Fiqih Maqashid Syariah, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007, hlm. 158.
[27] Ibid.
[28] Salah satu contoh bahwa Rasulullah SAW mempraktekkan kemudahan ialah ketika beliau memperhatikan karakter orang-orang Ethiopia yang senang menari dan bermain. Oleh karena itu, beliau mengizinkan mereka untuk melakukan hal itu di masjid beliau yang mulia. Saat itu Umar melempari mereka dengan kerikil, Rasululah SAW bersabda kepadanya, “Biarkanlah mereka wahai Umar”. (Muttafaq alaih). Dalam riwayat lain, beliau bersabda, “Mereka adalah Bani Rafdah. Lihat juga Yusuf al-Qaradhawi, “Taisir al-Fiqh li al-Muslim al-Mua‟shir fi Dahu al-Qur‟an wa as-Sunnah”, diterjemahkan Abdul Hayyie al-Kattani, M. Yusuf Wijaya, dan Noor Cholis Hamzain, Fiqih Praktis bagi Kehidupan Modern, Jakarta: Gema Insani Press, 2002, hlm.
[29] Ibid, hlm. 21
[30] Ibid.
[31] Ishom Talimah, al-Qaradhawi Faqihan, diterjemahkan Samson Rahman, Manhaj Fiqih Yusuf al-Qaradhawi, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001, hlm. 94.
[32] Al-Qaradhawi berkata ―Manhaj yang menjadi pilihan saya dan manhaj yang Allah tunjukkan kepada saya dan saya akan selalu komitmen dengannya dalam tulisan, fatwa dan pengajaran. Saya akan mengambil yang mudah dalam masalah furu‟ (cabang) dan tegas dalam masalah yang ushul (pokok). Jika dalam satu masalah terdapat dua pandangan yang berbeda dan dua pendapat yang sama berdekatan, satu diantaranya penuh kehati-hatian, sedangkan yang satunya lagi lebih mudah, maka selayaknya bagi kita untuk memilih fatwa yang lebih mudah bagi seluruh manusia dan jangan mengambil yang paling hati-hati. Alasan dan hujjahnya ialahperkataan Aisyah, Tidaklah Rasulullah diberi pilihan dua perkara kecuali dia memilih yang paling gampang di antara keduanya selama itu tidak mengandung dosa.‖ Siapa pun yang belajar fiqih sahabat dan para ulama salafus shalih (ujar al-Qaradhawi), dia akan mendapatkan bahwa fiqih yang mereka ambil umumnya mengarah kepada fiqih yang lebih mudah, sedangkan fiqih setelah sahabat lebih cenderung kepada kehati-hatian. Ishom Talimah, Ibid, hlm. 95.
[33] Abdul Haq, Ahmad Mubarok, dan Agus Ro’uf, Formulasi Nalar Fiqh, Telaah Kaidah Fiqh Konseptual, Surabaya: Khalista, 2006, hlm. 177.
[34] Rachmat Djatnika, Jalan Mencari Hukum Islami Upaya ke Arah Pemahaman Metodologi Ijtihad, dalam kata pengantar, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Amrullah Ahmad, dkk (ed), et. al., Jakarta: Gema Insani Press, 1996, hlm. 107-108.
[35] Fatchurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm.69
[36] Ibid, hlm. 70.
[37] Chalil Moenawar, Kembali Kepada Al-Qur‟an dan As-Sunnah, Jakarta: PT Midas Surya, 1993, hlm. 230.
[38] Fathurrahman Djamil, op. cit., hlm. 71-75.
[39] Muhammad Baltaji, Manhaj Umar Ibn al-Khathab fi al-Tasyrii‟, diterjemahkan H. Masturi Irham, Metodologi Ijtihad Umar bin al-Khathab, Jakarta: Khalifa, 2005, hlm. 480.
[40] Ibid.
[41] T.M Hasbi Ash Shiddieqy, op. cit., hlm. 68-69.
[42] Muslim ibn Hajjaj al-Qusyairy al-Naysabury, Sahih Muslim, Jilid II, Libanon: Dar al- Kutub al-Ilmiyah, t.th.
[43] Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif     , Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2006, Hal. 154

[44] Muchsin, Piagam Madinah, Filsafat Timur, Filosof Islam dan Pemikirannya, BP Iblam, 2004. hal. 34
[45] Akhmad Khisni, Hukum dan Moralitas:Perspektif Hukum Islam, Jurnal Hukum Khaira Ummah, Volume 1, Program Magister Hukum S2, Ilmu Hukum, Unissula Semarang, hal. 101-102.

[46] Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, PT. Pustaka Rizki Puta, Semarang, 1997, Hal.262.

Comments

Popular posts from this blog

ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERDATA DAN PENERAPANNYA DI PENGADILAN AGAMA (SESI KE-1)

STUDI TENTANG PEMIKIRAN IMAM AL-SYAUKANI DALAM KITAB IRSYAD AL-FUHUL

HADITS-HADITS AHKAM TENTANG JUAL BELI (SALE AND PURCHASE)