TINDAK PIDANA MAYANTARA



TINDAK PIDANA MAYANTARA
Oleh
Nur Moklis

1.      Yang dimaksud dengan tindak pidana mayantara( Cybercrime”)?
Cybercrime didefinisikan sebagai perbuatan melanggar hukum yang memanfaatkan teknologi computer yang berbasasis pada kecanggihan perkembangan teknologi internet. Menurut Sutarman (2007) Cyber Crime adalah kejahatan yang dilakukan oleh seseorang maupun kelompok dengan menggunakan sarana computer dan alat komunikasi lainya. Cara-cara yang biasa dilakukan dengan merusak data, mencuri data, dan menggunakannya secara illegal. cybercrime merupakan bentuk-bentuk kejahatan yang timbul karena pemanfaatan teknologi internet. Beberapa pendapat mengindentikkan cybercrime dengan computer crime. The U.S. Department of Justice memberikan pengertien computer crime sebagai: “…any illegal act requiring knowledge of computer technology for its perpetration, investigation, or prosecution”. Pengertian tersebut identik dengan yang diberikan Organization of European Community Development, yang mendefinisikan computer crime sebagai: “any illegal, unehtical or unauthorized behavior relating to the automatic processing and/or the transmission of data”. Adapun Andi Hamzah (1989) dalam tulisannya “Aspek-aspek Pidana di Bidang komputer”, mengartikan kejahatan komputer sebagai: ”Kejahatan di bidang komputer secara umum dapat diartikan sebagai penggunaan komputer secara illegal”. Cyberspace sebagai wahana komunikasi yang berbasis computer (computer mediated communication), banyak menawarkan realitas baru dalam berinteraksi dalam dunia maya. Adanya interaksi antar pengguna cyberspace telah banyak terseret ke arah terjadinya penyelewengan hubungan sosial berupa kejahatan yang khas yang memiliki karakteristik berbeda dengan tindak pidana konvensional yang selama ini sudah dikenal. Namun ada juga yang berpandangan bahwa kejahatan melalui internet (cybercrime) memiliki kesamaan bentuk dengan kejahatan yang ada di dunia nyata. (Nitibaskara,2001,53) Belum ada definisi yang seragam mengenai istilah cybercrime, (Arief, Seminar Nasional Cyber Law, Bandung, 9 April 2001) istilah ini banyak banyak dipakai terhadap suatu bentuk kejahatan yang berkaitan dengan dunia virtual dan tindakan kejahatan yang menggunakan sarana komputer. Jenis aktivitas kejahatan yang berkaitan dengan komputer sangat beragam, sehingga banyak muncul istilah-istilah baru di antaranya: hacking, cracking, viruses, booting, troyan horse, spamming dan lain sebagainya. Kualifikasi kejahatan dunia maya (cybercrime).

2.      Tindak pidana mayantara merupakan tindak pidana lintas Negara, sehingga berdampak pada masalah yuridiksi dalam penegakkan hukumnya. Bagaimanakah penyelesaiannya, sehingga tindak pidana mayantara dapat diberantas mengingat dampak kerugianyang ditimbulkan sangat besar?
Cyber crime merupakan suatu perbuatan merugikan orang lain atau instansi yang berkaitan dan pengguna fasilitas dengan sistem Informasi dan Transaksi Elektronik yang bertujuan untuk menguntungkan diri sendiri maupun orang lain secara materi, maupun hanya untuk sekedar memuaskan jiwa pelaku atau orang tersebut. Oleh karena itu, maka tindakan atau perbuatan tersebut merupakan suatu kejahatan dan merupakan perbuatan melanggar hukum, karena adanya unsur-unsur dimana ada pihak-pihak lain yang merasa dirugikan oleh perbuatan tersebut. Cyber Crime adalah merupakan suatu perbuatan melanggar hukum yang secara khusus di diatur dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik. Dalam upaya-upaya yang dapat dilakukan terkait dengan masalah pembuktian oleh pengadilan dan penyidikan oleh polri dalam cyber crime dapat digunakan berbagai macam cara, antara lain dengan mengoptimalkan Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, mengembangkan pengetahuan dan kemampuan penyidik dalam Dunia Cyber, menambahkan dan meningkatkan fasilitas komputer forensik dalam POLRI.
Dalam pasal 5 ayat 1 dan 2 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik mendeskripsikan bahwa Dokumen elektronik dan Informasi Elektronik adalah merupakan alat bukti yang sah. Selain itu dalam pasal 44 Undang-undang yang sama mengatakan alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan menurut ketentuan undang-undang ini adalah sebagai berikut : a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Perundang-undangan;dan b. alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3). Selain deskripsi undang-undang ITE tersebut, dikenal pula alat bukti digital. tindakan kejahatan tradisional umumnya meninggalkan bukti kejahatan berupa bukti-bukti fisikal, karena proses dan hasil kejahatan ini biasanya juga berhubungan dengan benda berwujud nyata. Dalam dunia komputer dan internet, tindakan kejahatan juga akan melalui proses yang sama. Proses kejahatan yang dilakukan tersangka terhadap korbannya juga akan mengandalkan bantuan aspek pendukung dan juga akan saling melakukan pertukaran atribut ( Yuyun Yulianah, SH, MH ,Pembuktian Tindak Pidana Cyber Crime,Pustaka Pelajar:Yogyakarta,2005 , halaman 7 ).  Namun dalam kasus ini aspek pendukung, media, dan atribut khas para pelakunya adalah semua yang berhubungan dengan sistem komputerisasi dan komunikasi digital. Atribut-atribut khas serta identitas dalam sebuah proses kejahatan dalam dunia komputer dan internet inilah yang disebut dengan bukti-bukti digital  (http://yogapw.wordpress.com /2009/11/13/ pengertian-bukti-digital-digital-evidence, diakses tanggal 3 Juni 2014). Dalam Resolusi Kongres PBB VIII/1990 mengenai Computer related crimes sebagaimana dikutip oleh Barda Nawawi Arief, bahwa menghimbau negara-negara anggota untuk mengintensifkan upaya-upaya penanggulangan penyalahgunaan komputer yang lebih efektif dengan mempertimbangkan langkah-langkah sebagai berikut (Op.cit, Barda Nawawi Arief, Masalah, hlm. 238-239) :1. Melakukan Modernisasi hukum pidana material dan hukum acara pidana. 2. Mengembangkan tindakan-tindakan pencegahan dan pengamanan computer. 3. Melakukan langkah-langkah untuk membuat peka warga warga masyarakat, aparat pengadilan dan penegak hukum, terhadap pentingnya pencegahan kejahatan yang berhubungan dengan komputer
4. Melakukan upaya-upaya pelatihan bagi para hakim, pejabat dan aparat penegak hukum mengenai kejahatan ekonomi dan cyber crime. 5. Memperluas rule of ethics dalam penggunaan komputer dan mengajarkannya melalui kurikulum informatika.
6. Mengadopsi kebijakan perlindungan korban cyber crime sesuai dengan deklarasi PBB mengenai korban dan mengambil langkah-langkah untuk mendorong korban melaporkan adanya cyber crime. Tidak hanya pendekatan penal dan non-penal yang diperlukan dalam penanggulangan cyber crime ini, mengingat cyber crime yang dapat dilakukan oleh orang dengan melalui batas negara, maka perlu dilakukan kerja sama dengan negara lain. Bentuk kerja sama ini dapat berupa kerjasama ekstradisi maupun harmonisasi hukum pidana subtantif sebagaimana terungkap dari hasil Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) X/2000 : “The harmonization of substantive criminal law with regard to cyber crimes is essential if international cooperation is to be achieved between law enforcement and the judicial authorities of different States”

3.      Kebijakan formulasi tindak pidana mayantara dilaksanakan di Indonesia
Kebijakan formulasi tindak pidana mayantara di Indonesia menggunakan Kebijakan kriminalisasi, yaitu merupakan suatu kebijakan dalam menetapkan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana (tidak dipidana) menjadi suatu tindak pidana (perbuatan yang dapat dipidana). Jadi pada hakekatnya, kebijakan kriminalisasi merupakan bagian dari kebijakan kriminal (criminal policy) dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal), dan oleh karena itu termasuk bagian dari “kebijakan hukum pidana” (penal policy), khususnya kebijakan formulasinya. Pertanyaan tentang kriminalisasi muncul ketika kita dihadapkan pada suatu perbuatan yang merugikan orang lain atau masyarakat yang hukumnya belum ada atau belum ditemukan. Berkaitan dengan kebijakan kriminalisasi terhadap perbuatan yang masuk dalam kategori cybercrime sebagai tindak pidana sebagaimana diulas dalam buku tersebut di atas, ada beberapa tanggapan yang hendak dikemukakan, yaitu: (www.google.com KASUS%20 CYBERCRIME/kebijakan-kriminalisasi-dan-penanganan.html/23/4/2012). 1. Persoalan  kriminalisasi timbul karena dihadapan kita terdapat perbuatan yang berdimensi baru, sehingga muncul pertanyaan adakah hukumnya untuk perbuatan tersebut. Kesan yang muncul kemudian adalah terjadinya kekosongan hukum yang akhirnya mendorong kriminalisasi terhadap perbuatan tersebut. Sebenarnya dalam persoalan cybercrime, tidak ada kekosongan hukum, ini terjadi jika digunakan metode penafsiran yang dikenal dalam ilmu hukum dan ini yang mestinya dipegang oleh aparat penegak hukum dalam menghadapi perbuatan-perbuatan yang berdimensi baru yang secara khsusus belum diatur dalam undang-undang. Persoalan menjadi lain jika ada keputusan politik untuk menetapkan cybercrime dalam perundang-undangan tersendiri di luar KUHP atau undang-undang khusus lainnya. Sayangnya dalam persoalan mengenai penafsiran ini, para hakim belum sepakat mengenai kateori beberapa perbuatan. Misalnya carding, ada hakim yang menafsirkan masuk dalam kateori penipuan, ada pula yang memasukkan dalam kategori pencurian. Untuk itu sebetulnya perlu dikembangkan pemahaman kepada para hakim mengenai teknologi informasi agar penafsiran mengenai suatu bentuk cybercrime ke dalam pasal-pasal dalam KUHP atau undang-undang lain tidak membingungkan. 2. Dilihat dari pengertian kriminalisasi, sesungguhnya kriminalisasi tidak harus berupa membuat undang-undang khusus di luar KUHP, dapat pula dilakukan tetap dalam koridor KUHP melalui amandemen. Akan tetapi proses antara membuat amandemen KUHP dengan membuat undang-undang khusus hampir sama, baik dari segi waktu maupun biaya, ditambah dengan ketidaktegasan sistem hukum kita yang tidak menganut sistem kodifikasi secara mutlak, menyebabkan munculnya bermacam-macam undang-undang khusus. 3. Kriminalisasi juga terkait dengan persoalan harmonisasi, yaitu harmonisasi materi/substansi dan harmonisasi eksternal (internasional/global). Mengenai harmonisasi substansi, bukan hanya KUHP yang akan terkena dampak dari dibuatnya undang-undang tentang cybercrime. Kementerian Komunikasi dan Informasi RI mencatat ada 21 undang-undang dan 25 RUU yang akan terkena dampak dari undang-undang yang mengatur cybercrime. Ini merupakan pekerjaan besar di tengah kondisi bangsa yang belum stabil secara politik maupun ekonomi. Harmonisasi eksternal berupa penyesuaian perumusan pasal-pasal cybercrime dengan ketentuan serupa dari negara lain, terutama dengan Draft Convention on Cyber Crime dan pengaturan cybercrime dari negara lain. Harmonisasi ini telah dilaksanakan baik dalam RUU PTI, RUU IETE, RUU ITE, RUU TPTI maupun dalam RUU KUHP. Judge Stenin Schjolberg dan Amanda M. Hubbard mengemukakan dalam persoalan cyber crime ini diperlukan standardisasi dan harmoonisiasi dalam tiga area, yaitu legislation, criminal enforcement dan judicial review. Ini menunjukkan bahwa persoalan harmonisasi merupakan persoalan yang tidak berhenti dengan diundangkannya undang-undang yang mengatur cybercrime, lebih dari itu adalah kerjasama dan harmonisasi dalam penegakan hukum dan peradilannya. 4. Berkaitan dengan harmonisasi substansi, ada yang bagian yang tak disinggung dalam buku tersebut, terutama mengenai jenis pidana. Mengingat cybercrime merupakan kejahatan yang menggunakan atau bersaranakan teknologi komputer, maka diperlukan modifikasi jenis sanksi pidana bagi pelakunya. Jenis sanksi pidana tersebut adalah tidak diperbolehkannya/dilarang sipelaku untuk menggunakan komputer dalam jangka waktu tertentu. Bagi pengguna komputer yang sampai pada tingkat ketergantungan, sanksi atau larangan untuk tidak menggunakan komputer merupakan derita yang berat. Jangan sampai terulang kembali kasus Imam Samudera – terpidana kasus terorisme Bom Bali I – yang dengan leluasa menggunakan laptop di dalam selnya. 5. Setelah harmonisasi dilakukan, maka langkah yang selanjutnya adalah melakukan perjanjian ekstradisi dengan berbagai negara. Cybercrime dapat dilakukan lintas negara sehingga perjanjian ekstradisi dan kerjasama dengan negara lain perlu dilakukan terutama untuk menentukan yurisdiksi kriminal mana yang hendak dipakai. Pengalaman menunjukkan karena ketiadaan perjanjian ekstradisi, kepolisian tidak dapat membawa pelaku kejahatan kembali ke tanah air untuk diadili. 6. Hal lain yang luput dari perhatian adalah pertanggungjawaban Internet Service Provider (ISP) sebagai penyedia layanan internet dan Warung Internet (Warnet) yang menyediakan akses internet. Posisi keduanya dalam cybercrime cukup penting sebagai penyedia dan jembatan menuju jaringan informasi global, apalagi Warnet telah ditetapkan sebagai ujung tombak untuk mengurangi kesenjangan digital di Indonesia. Bentuk pertanggungjawaban pidana apa yang mesti mereka terima jika terbukti terlibat dalam cybercrime. Apakah pertanggungjawabannya dibebankan secara individual atau dianggap sebagai suatu korporasi. Ini akan memiliki konsekuensi tersendiri. Tentang kebijakan formulasi, dapat dilakukan dua pendekatan sebagai berikut:a. Menganggapnya sebagai kejahatan biasa (ordinary crime) yang dilakukan dengan komputer teknologi tinggi (high-tech) dan KUHP – dengan diamanemen dapat dipergunakan untuk menanggulanginya. b. Menganggapnya sebagai kejahatan kategori baru (new category of crime) yang membutuhkan suatu kerangka hukum yang baru dan komprehensif untuk mengatasi sifat khusus teknologi yang sedang berkembang dan tantangan baru yang tidak ada pada kejahatan biasa (misalnya masalah yurisdiksi, dan karena itu perlu diatur secara tersendiri di luar KUHP. Mardjono lebih jauh berargumen bahwa Indonesia dapat menggunakan kedua pendekatan tersebut bersama-sama, sebagaimana Amerika Serikat mempergunakan kedua pendekatan tersebut bersama-sama, misalnya dengan mengamenden Securities Act 1933 (UU Pasar Modal) dan mengundangkan Computer Fraud and Abuse Act. Sebaliknya di Belanda Commissie Franken dalam tahun 1987 dan Kaspersen menganjurkan pendekatan pertama dan hanya menyempurnakan Wetboek van Strafrecht (Kasperen, 1990). Commissie Franken merumuskan sembilan bentuk penyalahgunaan (misbruikvormen): 1. tanpa hak memasuki sistem komputer; 2. tanpa hak mengambil (onderscheppen) data komputer; 3. tanpa hak mengetahui  (kennisnemen); 4. tanpa hak menyalin/mengkopi; 5. tanpa hak mengubah; 6. mengambil data; 7. tanpa hak mempergunakan peralatan; 8. sabotase sistem komputer; 9. mengganggu telekomunikasi (Kasperen : 315). Perumusan Commissie Franken dibuat lebih dari 13 tahun yang lalu. Sementara ini cyber crime telah mengalami perkembangan yang menakutkan, karena itu perlu dipelajari bersama dengan saran-saran Konvensi Dewan Eropa 2000. Namun demikian, dalam usaha kriminalisasi-primair (menyatakan sebagai delik perbuatan dalam abstracto) sebaiknya kita berpedoman pada 7 asas yang dikemukakan de Roos (1987), yaitu: a. masuk akalnya kerugian yang digambarkan; b. adanya toleransi yang didasarkan pada penghormatan atas kebebasan dan tanggungjawab individu c. apakah kepentingan yang dilanggar masih dapat dilindungi dengan cara lain (asas subsidiaritas) d. ada keseimbangan antara kerugian, toleransi dan pidana yang diancamkan (asas proportionalitas) e. apakah kita dapat merumuskan dengan baik, sehingga kepentingan hukum yang akan dilindungi, tercermin dan jelas hubungannya dengan asas kesalahan – sendi utama hukum pidana; f. kemungkinan penegakannya secara praktis dan efektif (serta dampaknya pada prevensi umum).


Comments

Popular posts from this blog

HADITS-HADITS AHKAM TENTANG JUAL BELI (SALE AND PURCHASE)

SHUNDUQ HIFZI IDA’ (SAFE DEPOSIT BOX) BANK SYARI’AH

STUDI TENTANG PEMIKIRAN IMAM AL-SYAUKANI DALAM KITAB IRSYAD AL-FUHUL