Skip to main content

HUKUM ADAT DAN HUKUM ISLAM SEBAGAI SUMBER HUKUM NASIONAL DALAM TATA HUKUM INDONESIA

STUDI KRITIS MENDUDUKKAN HUKUM ADAT DAN HUKUM ISLAM SEBAGAI SUMBER HUKUM NASIONAL DALAM TATA HUKUM INDONESIA
OLEH
NUR MOKLIS

A.    PENDAHULUAN
Semua orang mengakui adanya hubungan antara Hukum Adat dan Hukum Islam. Hanya yang diperselisihkan mengenai sejauh mana hubungan itu telah terjadi dan sejauh mana pula yang mungkin akan terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Untuk ini perlu kita mengetahui bahwa terjadinya hubungan antara Hukum Adat dan Hukum Islam adalah disebabkan oleh dua hal. Pertama, diterimanya Hukum Islam itu oleh masyarakat, seperti hukum perkawinan dan hukum Perbankan Syariah  di seluruh Indonesia. Kedua, Islam dapat mengakui Hukum Adat itu dengan syarat-syarat tertentu, seperti adat gono-gini di Jawa, Gunakarya di Sunda, Harta Suarang di Minangkabau, Hareuta Sihareukat di Aceh, Druwe Gabro di Bali dan Barang Berpantengan di Kalimantan. Diantara syarat-syarat dapat diterimanya hukum adat oleh Islam, antara lain ialah   adat itu dapat diterima oleh perasaan yang sehat dan diakui oleh pendapat umum,   dan yang paling urgen adalah tidak bertentangan dengan nash, baik Qur'an maupun Hadits.
Pandangan bahwa unsur agama memberi pengaruh terhadap perwujudan Hukum Adat bukanlah pandangan baru sebab menurut Prof. Dr. Mr. Soekanto, menyatakan bahwa  Jika kita mnegeluarkan pertanyaan hukum apakah menurut kebenaran, keadaan yang bagian terbesar terdapat di dalam Hukum Adat, maka jawabannya adalah Hukum Melayu Polinesia yang asli itu dengan di sana sini sebagai bagian yang sangat kecil adalah Hukum Agama. Demikian pula Prof. Mr. MM. Djojodigoeno mengemukakan batasan yang sama karena beliau berpandangan sebagai berikut : “ ... unsur lainnya yang tidak begitu besar artinya atau luas pengaruhnya ialah unsur-unsur keagamaan, teristimewa unsur-unsur yang dibawa oleh agama Islam, pengaruh agama Hindu dan Kristen-pun ada juga”. Dengan demikian sepakat bahwa pengaruh agama terhadap proses terwujudnya hukum adat sangat bersifat umum dan diakui oleh para pakar hukum adat pada umumnya.[1]
Terkait hubungan hokum adat dengan hukum Islam ada kaidah asasi yang dalam hukum Islam berbunyi al- adah muhakkamah (adat kebiasaaan itu dapat dijadikan pertimbangan hukum). Imam Izzudin Bin Abd Al Salam menyatakan bahwa kemaslahatan dan kemafsadatan dunia dan akhirat tidak bisa diketahui kecuali dengan al-syariah. sedangkan kemaslahatan dunia dan kemafsadatan dunia saja, bisa dikenal dengan pengalaman, adat kebiasaan dan perkiraan yang benar serta indikatornya.[2] Sepintas dapat diamati bahwa hukum adat dan hukum Islam memiliki hubungan yang sangat erat, lebih lanjut akan dibahas pada bagian dibawah ini.

B.     RUMUSAN MASALAH
Pada makalah ini penulis akan menitik beratkan kajian pada dua hal yang sangat mendasar yang menjadi konsentrasi pembahasan dalam makalah ini, yaitu sebagai berikut:
1.      Bagaimana hubungan hukum adat dan hukum Islam di Indonesia?
2.      Bagaimana posisi hukum adat dan hukum islam sebagai sumber hukum nasional dalam tata hukum Indonesia?

C.     HUKUM ADAT SEBAGAI SUMBER HUKUM NASIONAL
Hukum Adat dikemukakan pertama kali oleh Prof. Snouck Hurgrounje seorang Ahli Sastra Timur dari Belanda (1894). Sebelum istilah Hukum Adat berkembang, dulu dikenal istilah Adat Recht. Prof. Snouck Hurgrounje dalam bukunya de atjehers (Aceh) pada tahun 1893-1894 menyatakan hukum rakyat Indonesia yang tidak dikodifikasi adalah de atjehers.  Kemudian istilah ini dipergunakan pula oleh Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven, seorang Sarjana Sastra yang juga Sarjana Hukum yang pula menjabat sebagai Guru Besar pada Universitas Leiden di Belanda. Ia memuat istilah Adat Recht dalam bukunya yang berjudul Adat Recht van Nederlandsch Indie (Hukum Adat Hindia Belanda) pada tahun 1901-1933.[3]
Perundang-undangan di Hindia Belanda secara resmi mempergunakan istilah ini pada tahun 1929 dalam Indische Staatsregeling (Peraturan Hukum Negeri Belanda), semacam Undang Undang Dasar Hindia Belanda, pada pasal 134 ayat (2) yang berlaku pada tahun 1929. Dalam masyarakat Indonesia, istilah hukum adat tidak dikenal adanya. Hilman Hadikusuma mengatakan bahwa istilah tersebut hanyalah istilah teknis saja. Dikatakan demikian karena istilah tersebut hanya tumbuh dan dikembangkan oleh para ahli hukum dalam rangka mengkaji hukum yang berlaku dalam masyarakat Indonesia yang kemudian dikembangkan ke dalam suatu sistem keilmuan.[4]
Dalam bahasa Inggris dikenal juga istilah Adat Law, namun perkembangan yang ada di Indonesia sendiri hanya dikenal istilah Adat saja, untuk menyebutkan sebuah sistem hukum yang dalam dunia ilmiah dikatakan Hukum Adat.Pendapat ini diperkuat dengan pendapat dari Muhammad Rasyid Maggis Dato Radjoe Penghoeloe sebagaimana dikutif oleh Prof. Amura : sebagai lanjutan kesempuranaan hidupm selama kemakmuran berlebih-lebihan karena penduduk sedikit bimbang dengan kekayaan alam yang berlimpah ruah, sampailah manusia kepada adat.
Sedangkan pendapat Prof. Nasroe menyatakan bahwa adat Minangkabau telah dimiliki oleh mereka sebelum bangsa Hindu datang ke Indonesia dalam abad ke satu tahun masehi. Prof. Dr. Mohammad Koesnoe, S.H. di dalam bukunya mengatakan bahwa istilah Hukum Adat telah dipergunakan seorang Ulama Aceh yang bernama Syekh Jalaluddin bin Syekh Muhammad Kamaluddin Tursani (Aceh Besar) pada tahun 1630. Prof. A. Hasymi menyatakan bahwa buku tersebut (karangan Syekh Jalaluddin) merupakan buku yang mempunyai suatu nilai tinggi dalam bidang hukum yang baik.

D.    HUKUM ISLAM SEBAGAI SUMBER HUKUM NASIONAL
Hukum Islam yang bersumber dari Kitab suci Al-Qur’an dan Hadist Nabi SAW mengatur semua aspek hukum, baik terkait akidah (I’tiqadiyah), doktrin budi pekerti (khulqiyah) dan doktrin syar’iyah (‘amaliyah). Dalam hal amaliyah  bias melingkupi hukum ibadah dan hukum muamalah. Dalam hukum ibadah seperti, shalat, puasa, haji dan lainnya. Dalam hukum muamalah seperti hukum pidana (jinayat), Hukum perdata, hukum tata usaha negara, hukum ekonomi, hukum international dan lain lain.[5]
Di Indonesia, hukum Islam hanya sebagian kecil yang di undangkan menjadi hukum nasional dan ini dilakukan penegakkannya oleh Pengadilan Agama/ Mahkamah Syariah. Realitanya Peradilan Agama sekarang telah didukung dengan sumberdaya manusia yang sangat handal, hal ini diketahui dengan indikator pendidikan formal aparat peradilannya yaitu: 26 orang berpendidikan  Doktor (S3), 1.814 orang berpendidikan Magister (S2), 5.393 orang berpendidikan Sarjana (S1), 248 berpendidikan DIII dan SLTA 880 orang[6], diharapkan menjadi asset bangsa yang sangat berharga untuk menjadi salah satu alat pengurai benang kusut yang dihadapi masyarakat dan bangsa Indonesia.
Disisi lain kompetensi absolute Peradilan Agama sesuai dengan Undang-Undang Nomor. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah di ubah dengan Undang-Undang-Undang Nomor. 3 tahun 2006 dan diubah dengan Undang-Undang Nomor. 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama. Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:. Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf,  Zakat, Infaq,  Shadaqah; dan Ekonomi Syari'ah[7].
Pada penjelasan pasal 49 Undang-Undang nomor 3 tahun 2006 diatas yang dimaksud dengan "perkawinan" adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut syari'ah, antara lain:
1.         Izin beristri lebih dari seorang;
2.         Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun, dalam hal orang tua wali, atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat;
3.         Dispensasi kawin;
4.         Pencegahan perkawinan;
5.         Penolakan perkawinan oleh pegawai pencatat nikah;
6.         Pembatalan perkawinan;
7.         Gugatan kelalaian atas kewajiban suami dan istri;
8.         Perceraian karena talak;
9.         Gugatan perceraian;
10.     Penyelesaian harta bersama;
11.     Penguasaan anak-anak;
12.     Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak mematuhinya;
13.     Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri;
14.     Putusan tentang sah tidaknya seorang anak;
15.     Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
16.     Pencabutan kekuasaan wali;
17.     Penunjukan orang lain sebagai wall oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wall dicabut;
18.     Penunjukan seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya;
19.     Pembebanan kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya;
20.     Penetapan asal-usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum islam;
21.     Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran;
22.     Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum undang- undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.
Yang dimaksud dengan "waris" adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalap tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris.[8]
Yang dimaksud dengan "wasiat" adalah perbuatan seseorang memberikan suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga/badan hukum, yang berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal dunia. Yang dimaksud dengan "hibah" adalah pembegan suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk dimiliki. Yang dimaksud dengan "wakaf' adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harts benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari'ah. Yang dimaksud dengan "zakat" adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan hukum yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan syari'ah untuk  diberikan kepada yang berhak menerimanya.[9]
Yang dimaksud dengan "infaq" adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa makanan, minuman, mendermakan, memberikan rezeki (karunia), atau menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas, dan karena Allah Subhanahu Wata'ala. Yang dimaksud dengan "shadagah" adalah perbuatar; seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain atau lembaga/badan hukum secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu dengan mengharap ridho Allah Subhanahu Wata'ala dan pahala semata. Yang dimaksud dengan "ekonomi syari'ah" adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari'ah, antara lain meliputi:
a.         Bank syari'ah;
b.         Lembaga keuangan mikro syari'ah.
c.         Asuransi syari'ah;
d.        Reasuransi syari'ah;
e.         Reksa dana syari'ah;
f.          Obligasi syari'ah dan surat berharga berjangka menengah syari'ah;
g.         Sekuritas syari'ah;
h.         Pembiayaan syari'ah;
i.           Pegadaian syari'ah;
j.           Dana pensiun lembaga keuangan syari'ah; dan
k.         Bisnis syari'ah.[10]
Menurut Dr Mukti Arto,SH.,MH.[11] Ruang Lingkup Perkara Ekonomi Syariah, dalam hal ini, kompetensi absolut pengadilan agama meliputi beberapa aspek perbankan syariah dan kegiatannya dalam menjalankan ekonomi syariah yang, antara lain, meliputi:
1.      Kelembagaan (perorangan dan/atau badan hukum) dalam perbankan syariah;
2.      Akad (perjanjian) yang dibuat dalam perbankan syariah;
3.      Kegiatan (operasionalisasi) perbankan syariah;
4.      Sengketa tentang status hukum kelembagaan perbankan syariah;
5.      Sengketa tentang akad (perjanjian) dalam perbankan syariah;
6.      Sengketa tentang prestasi dan wanprestasi;
7.      Sengketa tentang arbitrase syariah;
8.      Sengketa tentang kepailitan syariah;
9.      Sengketa tentang perlindungan nasabah dalam perbankan syariah;
10.  Sengketa tentang pengingkaran terhadap arbiter pada arbitrase syariah;
11.  Penunjukan arbiter ketiga pada arbitrase syariah;
12.  Penilaian secara formal terhadap putusan arbitrase syariah;
13.  Penetapan penolakan/perintah eksekusi putusan arbitrase syariah;
14.  Tindak lanjut penyelesaian sengketa ekonomi syariah pada badan arbitrase syariah (UU No.30 Th 1999);
15.  Menyelesaikan sengketa kepailitan (UU No.37 Tahun 2004);
16.  Menyelesaikan sengketa ekonomi syariah pada umumnya;
17.  Melaksanakan putusan sengketa ekonomi syariah (putusan PA, basyarnas, dan gross akte);
18.  Menunjuk arbiter pada basyar yang disengketakan;
19.  Menyelesaikan sengketa tentang putusan basyarnas;
20.  Mendaftar (mendeponir) putusan basyarnas;
21.  Mengeksekusi putusan basyarnas;
22.  Menetapkan kepailitan debitur;
23.  Menetapkan pengampu (curator);
24.  Menetapkan hakim pengawas;
25.  Menyelesaikan sengketa kepailitan dalam kegiatan ekonomi syariah
Sementara untuk Mahkamah Syar’iyah aceh mendapatkan perluasan kompetensi absolute berdasarkan Undang-undang nomor 11 tahun 2006 pasal 128 ayat 3-4 yang berbunyi: (3) Mahkamah Syar’iyah berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum pidana) yang didasarkan atas syari’at Islam. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum pidana) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Qanun Aceh[12].
Jika dalam hukum keluarga Mahkamah syar’iyah memiliki kompetensi absolute yang sama dengan peradilan Agama, maka dalam bidang muamalah berdasarkan Qanun Nomor 10 tahun 2002 tentang Peradilan syari’at islam mahkamah syar’iayah Aceh berwenang mengadili perkara-perkara yang meliputi setidaknya 21 jenis perkara[13]:
1.      Jual beli
2.      Hutang piutang
3.      Qiradh (Permodalan)
4.      Musaqah, muzara`ah, mukharabah (bagi hasil pertanian)
5.      Wakilah (Perwakilan)
6.      Syirkah (Perkongsian)
7.      `Ariyah (Pinjam-meminjam)
8.      Hajru (Penyitaan harta)
9.      Syuf`ah (Hak lang-geh)
10.  Rahnun (Gadai)
11.  Ihya`ul mawat (Pembukaan la-han)
12.  Ma`din (Tambang)
13.  Luqathah (Barang temuan)
14.  Perbankan
15.  Ijarah (Sewa me-nyewa)
16.  Takaful
17.  Perburuhan
18.  Wakaf
19.  Hibah
20.  Shadaqah
21.  Hadiah
Kemudian timbul satu pertanyaan apakah mahkamah syar`iyah dengan kekhususannya hanya berwenang mengadili bidang muamalat versi qanun nomor.10 tahun 2002 Peradilan Syari’at Islam di Aceh  dan tidak berwenang mengadili ekonomi syariah versi Undang-Undang nomor. 3 tahun 2006 tentang peradilan agama? menurut Dr. H. Syamsuhadi Irsyad, SH, MH, dalam disertasinya yang berjudul Mahkamah Syar`iyah Dalam Sistem Peradilan Nasional (2009 :369) berpendapat bahwa perkara-perkara ekonomi syariah juga merupakan kewenangan Mahkamah Syar`iyah dalam bidang muamalah, karena dalam konteks ini Pengadilan Agama perlu dibaca sebagai Mahkamah Syar`iyah. Dengan demikian Mahkamah syar’iyah juga berwenang mengadili “ekonomi syari’ah” yang meliputi :
1.         Bank syari’ah;
2.         Lembaga keuangan mikro syari’ah;
3.         Asuransi syari’ah;
4.         Reasuransi syari’ah;
5.         Reksa dana syari’ah;
6.         Obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah;
7.         Sekuritas syari’ah;
8.         Pembiayaan syari’ah;
9.         Pegadaian syari’ah;
10.     Dana pensiun lembaga keuangan syari’ah; dan
11.     Bisnis syari’ah.
Dalam bidang Jinayah mahkamah syar’iyah berwenang mengadili perkara-perkara yang meliputi: hudud, Qishas/ diyat dan ta’zir, secara rinci sebagai berikut[14]:
Perkara Hudud, yang meliputi :
1)      Zina
2)      Qadzaf (Menu-duh berzina)
3)      Mencuri
4)      Merampok
5)      Minuman ke-ras dan Nafza
6)      Murtad
7)      Pemberontakan
Perkara Qishash/Diyat, meliputi :
1) Pembunuhan
2) Penganiayaan
Perkara Ta’zir, yaitu hukuman yang dijatuhkan kepada orang yang melakukan pelanggaran syariat selain hudud dan qishash, meliputi :
1) Judi
2) Penipuan
3) Pemalsuan
4) Khalwat
5) Meninggalkan shalat fardhu
6) Meninggalkan puasa Ramadhan.
Dalam perkembangan berikutnya lahirlah Qanun-Qanun yang mengatur secara teknis tentang hukum jinayat/ Pidana syariah meskipun belum mencakup keseluruhan seperti ketentuan Undang-Undang No.11 tahun 2006 tentang pemerintahan aceh dan Qanun nomor 02 tahun 2002 tentang peradilan syariat islam di aceh. Qanun yang dilahirkan antara lain Qanun No. 11 tahun 2002 tentang aqidah, ibadah dan syiar islam, Qanun no. 12 tahun 2002 tentang minuman Khamer dan sejenisnya, Qanun no.13 tahun 2002 tentang maisir (perjudian), Qanun no.14 tahun 2002 tentang khalwal (mesum)[15].
Dari beberapa indicator diatas, setidaknya ada beberapa kesimpulan sementara yang dapat ditarik, pertama terkait mempuninya sumberdaya manusia aparat Peradilan Agama saat ini. Kedua kewenangan absolute peradilan agama dan atau Mahkamh Syar’iyah yang sangat luas pada saat ini. Ketiga Progaram prioritas Badan Peradilan Agama yang telah dan sedang dijalankan. penulis berpendapat lembaga Peradilan Agama dan atau Mahkamah Syar’iyah saat ini pantas mendapatkan dukungan dari masyarakat dan bangsa Indonesia untuk semakin meningkatkan reformasi diri serta memaksimalkan pelayanan hukum yang berkeadilan bagi masyarakat Indonesia.
Disisi lain apatisme sebagian masyarakat tentang kemampuan yudisial Peradilan Agama dan atau Mahkamah Syar’iyah seperti ditunjukkan OC kaligis dalam acara Indonesia lawer club yang disiarkan secara nasional oleh TVone, ketika membahas perkara Macica Mukhtar bertema "Perjuangan Machicha Mukhtar Berujung Duka" Senin malam (29/4), akan terbantahkan dengan sendirinya seiring dengan tingkat pemahaman dan kesadaran hukum oleh masyarakat Indonesia. Betapa terkejutnya kita ketika melihat fenomena yang sangat kontras. Peradilan Agama ternyata tidak seperti yang diopinikan sebagian masyarakat, sebagai peradilan perceraian semata, namun juga merupakan lembaga peradilan modern dengan semakin kompleknya perkara yang harus diselesaikan, apalagi dengan perkembangan politik hukum di Indonesia yang sangat progresif akhir-akhir ini.
Kompleksitas perkara-perkara yang diterima, diperiksa dan diadili Peradilan Agama dan atau Mahkamah Syar’iyah dalam jumlah yang begitu besar, tentunya memberikan sumbangan yang tidak kecil dalam menegakkan hukum dalam bingkai sistem peradilan nasional.

E.     STUDI KRITIS MENDUDUKKAN HUKUM ADAT DAN HUKUM ISLAM SEBAGAI SUMBER HUKUM NASIONAL DALAM TATA HUKUM INDONESIA
Islam telah diterima oleh bangsa Indonesia jauh sebelum penjajah dating ke Indonesia. Waktu penjajah Belanda datang ke Indonesia, (Hindia Belanda), bangsa Indonesia telah menyaksikan kenyataan bahwa di Hindia Belanda telah menganut sistem hukum, yaitu agama yang dianut di Hindia Belanda, seperti hukum islam, hindu budha, dan nasrani serta hukum adat bangsa Indonesia. Berlakunya  hukum islam bagi sebagian besar penduduk Hindia Belanda, berkaitan dengan mnculnya kerajaan-kerajaan islam setelah runtuhnya Majapahit pada sekitar tahun 1581. Walaupun pada mulanya kedatangan Belanda yang notabene beragama Kristen protestan ke Indonesia tidak ada kitannya dengan masalah hukum (agama), namun pada perkembangan selanjutnya, berkaitan dengan kepentingan penjajah, akhirnya mereka tidak bisa menghindari persentuhan masalah hukum dengan penduduk pribumi.
Hubungan hukum adat dengan hukum Islam dalam makna “kontak” antara kedua sistem hukum itu telah lama berlangsung di tanah air kita. Hubungannya akrab dalam masyarakat. Keakraban itu tercermin dalam berbagai pepatah dan ungkapan dibeberapa daerah, misalkan ungkapan dalam bahasa Aceh yang berbunyi : hukum ngon adat hantom cre, lagee zat ngon sipeut. Artinya hukum Islam dengan hukum adat tidak dapat dicerai pisahkan karena erat sekali hubungannya seperti hubungan zat dengan sifat sesuatu barang atau benda. Hubungan demikian terdapat juga di Minangkabau yang tercermin dalam pepatah : adat dan syara’sanda menyanda syara’ mengato adat memakai. Makna pepatah ini adalah hubungan (hukum) adat dengan hukum Islam (syara’) erat sekali, saling topang-menopang, karena sesungguhnya yang dinamakan adat yang benar-benar adat adalah syara’ itu sendiri. Dalam hubungan ini perlu dijelaskan bahwa adat dalam ungkapan ini adalah cara melaksanakan atau memakai syara’ itu dalam masyarakat. Hubungan adat dan Islam erat juga di Jawa. Ini mungkin disebabkan karena prinsip rukun dan sinkretisme yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Jawa, terutama didaerah pedesaan.
Berhubungan dengan masalah hukum adat di Indonesia dan hukum Islam bagi masing-masing pemeluknya,munculah beberapa teori-teori hukum diantaranya adalah teori receptio in complexu dan teori receptie yang muncul sebelum kemerdekaan Indonesia. Tiga teori lainnya, yaitu teori receptie exit, receptie a contrario, dan teori eksistensi muncul setelah Indonesia merdeka.


E.1. Teori Reception In Complexu
Teori Receptio in Complexu ini, dipelopori oleh Lodewijk Willem Christian van den Berg tahun 1845-1925. Teori Receptio In Complexu menyatakan bahwa bagi setiap penduduk berlaku hukum agamanya masing-masing. Bagi orang Islam berlaku penuh hukum Islam sebab ia telah memeluk agama Islam. Teori Receptio In Complexu ini telah diberlakukan di zaman VOC sebagaimana terbukti dengan dibuatnya berbagai kumpulan hukum untuk pedoman pejabat dalam menyeleaikan urusan-urusan hukum rakyat pribumi yang tinggal di dalam wilayah kekuasaan VOC yang kemudian dikenal sebagai Nederlandsch Indie. Contohnya, Statuta Batavia yang saat ini desebut Jakarta 1642 pada menyebutkan bahwa sengketa warisan antara pribumi yang beragama Islam harus diselesaikan dengan mempergunakan hukum Islam, yakni hukum yang dipergunakan oleh rakyat sehari-hari. Untuk keperluan ini, D.W Freijer menyusun buku yang memuat hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam.[16]
E.2.  Teori Receptie
Teori Receptie dipelopori oleh Christian Snouck Hurgronje dan Cornelis van Volenhoven pada tahun 1857-1936. Teori ini dijadikan alat oleh Snouck Hurgronye agar orang-orang pribumi jangan sampai kuat memegang ajaran Islam dan hukum Islam. Jika mereka berpegang terhadap ajaran dan hukum Islam, dikhawatirkan mereka akan sulit menerima dan dipengaruhi dengan mudah oleh budaya barat. Teori ini bertentangan dengan Teori Reception In Complexu. Menurut teori Receptie, hukum Islam tidak secara otomatis berlaku bagi orang Islam. Hukum Islam berlaku bagi orang Islam jika sudah diterima atau diresepsi oleh hukum adat mereka. Oleh karena itu, hukum adatlah yang menentukan berlaku tidaknya hukum Islam. [17] Sebagai contoh teori Receptie saat ini di Indonesia diungkapkan sebagai berikut:
Hukum Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadits hanya sebagian kecil yang mampu dilaksanakan oleh orang Islam di Indonesia. Hukum pidana Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadits tidak mempunyai tempat eksekusi bila hukum yang dimaksud tidak diundangkan di Indonesia. Oleh karena itu, hukum pidana Islam belum pernah berlaku kepada pemeluknya secara hukum ketatanegaraan di Indonesia sejak merdeka sampai saat ini. Selain itu, hukum Islam baru dapat berlaku bagi pemeluknya secara yuridis formal bila telah diundangkan di Indonesia. Teori ini berlaku hingga tiba di zaman kemerdekaan Indonesia.
E.3. Teori Receptie Exit
Teori Receptie Exit diperkenalkan oleh Prof. Dr. Hazairin, S.H. Menurutnya setelah Indonesia merdeka, tepatnya setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan Undang-Undang Dasar 1945 dijadikan Undang-Undang Negara Republik Indonesia, semua peraturan perundang-undangan Hindia Belanda yang berdasarkan teori Receptie bertentangan dengan jiwa UUD 1945. Dengan demikian, teori Receptie itu harus exit alias keluar dari tata hukum Indonesia merdeka.[18]
Teori Receptie bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Secara tegas UUD 1945 menyatakan bahwa “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” dan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Demikian dinyatakan dalam pasal 29 (1) dan (2). Menurut teori Receptie Exit, pemberlakuan hukum islam tidak harus didasarkan pada hukum adat. Pemahaman demikian kebih dipertegas lagi, antara lain dengan berlakunya UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, yang memberlakukan hukum Islam bagi orang Islam (pasal 2 ayat 1), UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Instruksi presiden No. 1 tahun 1991 tentang Kompulasi Hukum Islam di Indonesia (KHI).  
E.4. Teori Receptie A Contrario
Teori Receptie Exit yang diperkenalkan oleh Hazairin dikembangkan oleh Sayuti Thalib, S.H. dengan memperkenalkan Teori Receptie A Contrario. Teori Receptie A Contrario yang secara harfiah berarti lawan dari Teori Receptie menyatakan bahwa hukum adat berlaku bagi orang Islam kalau hukum adat itu tidak bertentangan dengan agama Islam dan hukum Islam. Sebagai contoh, umpamanya di Aceh, masyarakatnya menghendaki agar soal-soal perkawinan dan soal warisan diatur berdasarkan hukum Islam. Apabila ada ketentuan adat boleh saja dipakai selama itu tidak bertentangan dengan hukum Islam. Dengan demikian, dalam Teori Receptie A Contrario, hukum adat itu baru berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam. Inilah Sayuti Thalib dengan teori Reception A Contrario.[19]
E.5. Teori Eksistensi
Sebagai kelanjutan dari teori Receptie Exit dan teori Reception A Contrario, menurut Ichtijanto S.A, muncullah teori Eksistensi. Teori Eksistensi adalah teori yang menerangkan adanya hukum Islam dan hukum Nasional Indonesia. Menurut teori ini, eksistensi atau keberadaan hukum Islam dan hukum nasional itu ialah:
a.         Ada, dalam arti hukum Islam berada dalam hukum nasional sebagai bagian yang integral darinya.
b.         Ada, dalam arti adanya kemandiriannya yang diakui berkekuatan hukum nasional dan sebagai hukum nasional.
c.         Ada, dalam hukum nasional, dalam arti norma hukum Islam sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasional Indonesia.
Berdasarkan teori Eksistensi diatas, maka keberadaan hukum Islam dalam tata hukum nasional merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dibantah adanya. Bahkan lebih dari itu, hukum Islam merupakan bahan utama dari hukum nasional.
Sampai saat ini sudah banyak sekali Undang- Undang yang lahir dari teori teori hukum Islam, seperti UU No.7 tahun 1978 yang diubah dengan UU Nomor 3 tahun 2006 dan diubah dengan UU No.50 Tahun 2009 tentang pengadilan Agama, UU Nomor 19 Tahun 2008 Tentang Surat berharga Syariah Negara, UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Bank syariah, UU NO.38 THN 1999 tentang pengelolaan zakat  yang telah diubah UU N0.23 Tahun 2011, UU NO.41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, PP NO.28 THN 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik, Kompilasi Hukum Islam, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Qanun 10, 11,12, 13 dan 14 tahun 2003 dan lain lain.

F.      PENUTUP
Kesimpulan:
Dari pembahasan diatas penulis dapat menarik kesimpulan antara lain sebagai berikutdibawah ini:
1.      Hubungan hukum adat dan hukum Islam di Indonesia adalah sangat erat, jika masyarakat Indonesia menganut agama Islam maka mereka tetap menggunakan hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
2.      Posisi hukum adat dan hukum Islam sebagai sumber hukum nasional dalam tata hukum Indonesia sangat terasa dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia yang telah  menjadi hukum positif.
Saran:
Kepada pemerintah supaya memasukkan mata kuliah hukum adat dalam porsi yang cukup pada fakultas syariah dan memasukkan mata kuliah hukum Islam dalam porsi yang cukup pada fakultas hukum untuk menghadapi perkembangan hukum di masa depan.



DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahab Khalaf, “Ilmu Ushul Fiqih”, Darul Qalam, Cet.XII, Kuwait, 1978.
H. Hilman Hadi Kusuma, “Pengantar Ilmu Hukum adat di Indonesia”, Cet.I, Mandar Maju, Bandung, 1992.
H. Ichtijanto, “Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia” dan Tjun Surjaman et al, “Hukum Islam di Indonesia Perkembangan dan Pembentukan” Cet. I; Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991.
H.A. Mukti Arto, Kerangka Hukum Muamalah Bidang Ekonomi Syariah Studi Mengenai Prinsip-Prinsip Dasar Untuk Menyelesaikan Kasus-Kasus Di Pengadilan Agama, Bahan Diklat II Program Ppc Terpadu Angkatan Vii Peradilan Agama Seluruh Indonesia Tanggal 24 September Sd 28 November 2012 Pudiklat Badan Litbang Diklat Kumdil MA-RI Di Mega Mendung, Bogor, 2013.
Izzuddin Bin Abd Al-Salam, “Qawaidul Ahkam Fi Mashalihi Al-Anam”, Dar Al-Jalil, Juz I, 1980.
Juhaya S. Praja, “Hukum Islam di Indonesia Perkembangan dan Pembentukannya”, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991.
Majalah Peradilan Agama Edisi I Mei  2013 www.badilag.net.
Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Peradilan Agama, Buku II Edisi Revisi 2010, Mahkamah Agung Ri Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama, 2010.
Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Bidang Aqidah, Ibadah Dan Syiar Islam, Qanun Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Minuman Khamer Dan Sejenisnya,
Qanun Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syari’at Islam Di Mahkamah Syar’iayah Aceh
Qanun Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syari’at Islam Mahkamah Syar’iayah Aceh
Qanun Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Maisir (Perjudian) Dan Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat (Mesum).
Sajuti Thalib, Receptio A Conhario : “Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam” Cet. IV; Jakarta: Bina Aksara, 1985.
Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia, Alfabeta, Bandung, 2009.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh
UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Pertama UU No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.


[1] Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia, Alfabeta, Bandung, 2009, hlm. 30
[2] Izzuddin Bin Abd Al-Salam, “Qawaidul Ahkam Fi Mashalihi Al-Anam”, Dar Al-Jalil,1980 Juz I, Hlm.10
[4] H. Hilman Hadi Kusuma, “Pengantar Ilmu Hukum adat di Indonesia”, Cet.I, Mandar Maju, Bandung, 1992, hlm.8
[5] Abdul Wahab Khalaf, “Ilmu Ushul Fiqih”, Darul Qalam, Cet.XII, Kuwait, 1978, hlm.32-33
[6] Majalah Peradilan Agama Edisi I Mei  2013 www.badilag.net., Hal.62.
[7] Lihat UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Pertama UU No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama Pasal 49..
[8] Lihat Penjelasannya UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Pertama UU No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama Pasal 49.
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11] Dr.H.A. Mukti Arto, Kerangka Hukum Muamalah Bidang Ekonomi Syariah Studi Mengenai Prinsip-Prinsip Dasar Untuk Menyelesaikan Kasus-Kasus Di Pengadilan Agama, Bahan Diklat Ii Program Ppc Terpadu Angkatan Vii Peradilan Agama Seluruh Indonesia Tanggal 24 September Sd 28 November 2012 Pudiklat Badan Litbang Diklat Kumdil MA-RI Di Mega Mendung, Bogor. Hal.17-18.
[12] Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh Pasal 128 Ayat 3-4. Dan Lihat Pula Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Peradilan Agama, Buku Ii Edisi Revisi 2010, Mahkamah Agung Ri Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama, 2010 Hal.53-54.
[13] Qanun Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syari’at Islam Mahkamah Syar’iayah Aceh Pasal 49 Huruf (B)Dan Penjelasannya.
[14] Qanun Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syari’at Islam Di Mahkamah Syar’iayah Aceh Pasal 49 Huruf (C)Dan Penjelasannya
[15] Lihat  Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Bidang Aqidah, Ibadah Dan Syiar Islam, Qanun Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Minuman Khamer Dan Sejenisnya, Dan Qanun Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Maisir (Perjudian) Dan Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat (Mesum).
[16] Sajuti Thalib, Receptio A Conhario : “Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam” Cet. IV; Jakarta: Bina Aksara, 1985, hlm. 4.
[17] Lihat H. Ichtijanto, “Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia” dan Tjun Surjaman et al, “Hukum Islam di Indonesia Perkembangan dan Pembentukan” Cet. I; Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991, hlm. 122-123.
[18] Juhaya S. Praja, “Hukum Islam di Indonesia Perkembangan dan Pembentukannya”, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991, hlm 128 Teori receptie exit maksudnya adalah bahwa teori receptie harus keluar dari teori hukum nasional Indonesia karena bertentangan dengan UUD 1945 serta bertentangan dengan al-Qur'an dan Sunnah.
[19] Teori Receptie a Confrario menyatakan bahwa hukum yang berlaku bagirakyat adalah hukum agamanya, hukum adat hanya berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum agamanya

Comments

Popular posts from this blog

ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERDATA DAN PENERAPANNYA DI PENGADILAN AGAMA (SESI KE-1)

STUDI TENTANG PEMIKIRAN IMAM AL-SYAUKANI DALAM KITAB IRSYAD AL-FUHUL

HADITS-HADITS AHKAM TENTANG JUAL BELI (SALE AND PURCHASE)