SISTEM HUKUM MASA DEPAN NKRI
SISTEM HUKUM DI INDONESIA:
UPAYA MEWUJUDKAN SISTEM HUKUM MASA DEPAN
NKRI
OLEH
OLEH
NUR MOKLIS
A.
PENDAHULUAN
Sistem
Hukum di Indonesia setidaknya secara factual meliputi hukum adat, hukum Islam
dan hukum sipil. Ketiga hukum ini telah
menjadi hukum positif dan dilaksankan oleh mayoritas penduduk Indonesia. Hukum
adat yang menjadi hukum positif contonya adalah undang undang Agraria. Contoh
Hukum Islam yang telah menjadi Hukum positif anatara lain adalah undang Undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang perbankan Syariah, Undang Undang Nomor 19 Tahun
2008 Tentang Surat Berharga Syariah Negara, Kompilasi Hukum Islam, Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah, Undang Undang Perkawinan, Undang Undang Peradilan Agama,
Undang Undang Penyelenggaraan ibadah Haji, Undang Undang Pengelolaan Zakat, Undang
Undang Penyelenggaraan Keistimewaan di Aceh dan Undang Undang Otonomi Khusus di
Aceh, serta adanya kompilasi Hukum Islam dan lain lain. contoh Hukum sipil yang
telah menjadi hukup positif antara lain KUHP, KUHPerdata, KUHDagan.
Meskipun
secara factual sudah menerapkan tiga system hukum yang berbeda dalam mewujudkan
supremasi hukum di tanah air, namun sebagaian masyarakat dan pakar hukum masih
menginginkan terwujudkan system hukum nasional yang lebih progresif dalam
mewujudkan keadilan social dan menjamin keberlangsungan NKRI dimasa mendatang.
Satu pertanyaan urgen yang sangat aktual adalah “Bagaimana mewujudkan
system hukum yang mampu mengatasi berbagai masalah yang dihadapi NKRI dan mampu
memecahkan masalah serta mampu memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia dimasa
mendatang?”.
Penulis
akan mengkaji dan menganalisa, terhadap tiga system hukum yang telah berjalan
di NKRI dan berusaha memprediksi secara ilmiyah tentang kebutuhan NKRI dimasa
yang akan dating sehingga mampu memprediksi pula system hukum apa yang cocok
atau sesuai dalam keadaan NKRI dimasa yang akan dating.
B.
SISTEM
HUKUM DI INDONESIA
1.
Hukum
Adat
Hukum Adat
dikemukakan pertama kali oleh Prof. Snouck Hurgrounje seorang Ahli Sastra Timur dari Belanda (1894). Sebelum istilah Hukum Adat berkembang, dulu
dikenal istilah Adat Recht. Prof. Snouck Hurgrounje dalam bukunya de atjehers (Aceh) pada
tahun 1893-1894 menyatakan hukum rakyat Indonesia yang tidak
dikodifikasi adalah de atjehers.
Kemudian
istilah ini dipergunakan pula oleh Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven, seorang
Sarjana Sastra yang juga Sarjana Hukum yang pula menjabat sebagai Guru Besar
pada Universitas Leiden di Belanda. Ia memuat
istilah Adat Recht dalam bukunya yang berjudul Adat Recht van
Nederlandsch Indie (Hukum Adat Hindia Belanda) pada tahun 1901-1933.[1]
Perundang-undangan
di Hindia Belanda secara resmi mempergunakan istilah ini pada
tahun 1929 dalam Indische
Staatsregeling (Peraturan Hukum Negeri Belanda), semacam Undang Undang Dasar Hindia Belanda, pada pasal
134 ayat (2) yang berlaku pada tahun 1929.
Dalam
masyarakat Indonesia, istilah hukum adat tidak dikenal adanya. Hilman Hadikusuma mengatakan bahwa istilah tersebut hanyalah
istilah teknis saja. Dikatakan demikian karena istilah tersebut hanya
tumbuh dan dikembangkan oleh para ahli hukum dalam rangka mengkaji hukum yang berlaku dalam masyarakat Indonesia yang kemudian
dikembangkan ke dalam suatu sistem keilmuan.
Dalam bahasa Inggris dikenal juga
istilah Adat Law, namun perkembangan yang ada di Indonesia sendiri hanya
dikenal istilah Adat saja, untuk menyebutkan sebuah sistem hukum yang
dalam dunia ilmiah dikatakan Hukum Adat.
Pendapat ini
diperkuat dengan pendapat dari Muhammad Rasyid Maggis Dato Radjoe Penghoeloe sebagaimana
dikutif oleh Prof. Amura : sebagai lanjutan kesempuranaan
hidupm selama kemakmuran berlebih-lebihan karena penduduk sedikit bimbang
dengan kekayaan alam yang berlimpah ruah, sampailah manusia kepada adat.
Sedangkan
pendapat Prof. Nasroe menyatakan bahwa adat Minangkabau telah dimiliki
oleh mereka sebelum bangsa Hindu datang ke Indonesia dalam abad ke
satu tahun masehi.
Prof. Dr. Mohammad Koesnoe, S.H. di dalam
bukunya mengatakan bahwa istilah Hukum Adat telah dipergunakan seorang Ulama Aceh yang bernama Syekh Jalaluddin bin Syekh Muhammad Kamaluddin Tursani (Aceh Besar)
pada tahun 1630. Prof. A. Hasymi menyatakan bahwa buku tersebut (karangan Syekh
Jalaluddin) merupakan buku yang mempunyai suatu nilai tinggi dalam bidang hukum
yang baik.
2.
Hukum
Islam
Hukum
Islam yang bersumber dari Kitab suci Al-Qur’an dan Hadist Nabi SAW mengatur
semua aspek hukum, baik hukum ibadah dan hukum muamalah. Dalam hukum ibadah
seperti, shalat, puasa, haji dan lainnya. Dalam hukum muamalah seperti hukum
pidana (jinayat), Hukum perdata, hukum tata usaha negara, hukum ekonomi, hukum
international dan lain lain.
Di
Indonesia, hukum Islam hanya sebagian kecil yang di undangkan menjadi hukum
nasional dan ini dilakukan penegakkannya oleh Pengadilan Agama/ Mahkamah
Syariah. Realitanya Peradilan Agama
sekarang telah
didukung dengan sumberdaya manusia yang sangat handal, hal ini diketahui dengan indikator pendidikan formal aparat peradilannya yaitu: 26 orang
berpendidikan Doktor (S3), 1.814 orang
berpendidikan Magister (S2), 5.393 orang berpendidikan Sarjana (S1), 248
berpendidikan DIII dan SLTA 880 orang[2],
diharapkan menjadi asset bangsa yang sangat berharga untuk menjadi salah satu
alat pengurai benang kusut yang dihadapi masyarakat dan bangsa Indonesia.
Disisi
lain kompetensi absolute Peradilan Agama sesuai dengan Undang-Undang Nomor. 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah di ubah dengan
Undang-Undang-Undang Nomor. 3 tahun 2006 dan diubah dengan Undang-Undang Nomor.
50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama. Pengadilan agama bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara
orang-orang yang beragama Islam di bidang:. Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah,
Wakaf, Zakat, Infaq, Shadaqah; dan Ekonomi Syari'ah[3].
Pada
penjelasan pasal 49 Undang-Undang nomor 3 tahun 2006
diatas yang dimaksud dengan "perkawinan" adalah hal-hal yang diatur
dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang
dilakukan menurut syari'ah, antara lain:
1.
Izin
beristri lebih dari seorang;
2.
Izin
melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua puluh
satu) tahun, dalam hal orang tua wali, atau keluarga dalam garis lurus ada
perbedaan pendapat;
3.
Dispensasi
kawin;
4.
Pencegahan
perkawinan;
5.
Penolakan
perkawinan oleh pegawai pencatat nikah;
6.
Pembatalan
perkawinan;
7.
Gugatan
kelalaian atas kewajiban suami dan istri;
8.
Perceraian
karena talak;
9.
Gugatan
perceraian;
10.
Penyelesaian
harta bersama;
11.
Penguasaan
anak-anak;
12.
Ibu
dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang
seharusnya bertanggung jawab tidak mematuhinya;
13.
Penentuan
kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri atau
penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri;
14.
Putusan
tentang sah tidaknya seorang anak;
15.
Putusan
tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
16.
Pencabutan
kekuasaan wali;
17.
Penunjukan
orang lain sebagai wall oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wall
dicabut;
18.
Penunjukan
seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan belas)
tahun yang ditinggal kedua orang tuanya;
19.
Pembebanan
kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya;
20.
Penetapan
asal-usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum islam;
21.
Putusan
tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran;
22.
Pernyataan
tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum undang- undang nomor 1 tahun
1974 tentang perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.
Yang
dimaksud dengan "waris" adalah penentuan siapa yang menjadi ahli
waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing
ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalap tersebut, serta
penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang
menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris.
Yang
dimaksud dengan "wasiat" adalah perbuatan seseorang memberikan suatu
benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga/badan hukum, yang berlaku
setelah yang memberi tersebut meninggal dunia.
Yang
dimaksud dengan "hibah" adalah pembegan suatu benda secara sukarela
dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan
hukum untuk dimiliki.
Yang
dimaksud dengan "wakaf' adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang
(wakif) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harts benda miliknya
untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan
kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut
syari'ah.
Yang
dimaksud dengan "zakat" adalah harta yang wajib disisihkan oleh
seorang muslim atau badan hukum yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan
ketentuan syari'ah untuk diberikan
kepada yang berhak menerimanya.
Yang
dimaksud dengan "infaq" adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu
kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa makanan, minuman,
mendermakan, memberikan rezeki (karunia), atau menafkahkan sesuatu kepada orang
lain berdasarkan rasa ikhlas, dan karena Allah Subhanahu Wata'ala.
Yang
dimaksud dengan "shadagah" adalah perbuatar; seseorang memberikan
sesuatu kepada orang lain atau lembaga/badan hukum secara spontan dan sukarela
tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu dengan mengharap ridho Allah
Subhanahu Wata'ala dan pahala semata.
Yang
dimaksud dengan "ekonomi syari'ah" adalah perbuatan atau kegiatan usaha
yang dilaksanakan menurut prinsip syari'ah, antara lain meliputi:
a.
Bank
syari'ah;
b.
Lembaga
keuangan mikro syari'ah.
c.
Asuransi
syari'ah;
d.
Reasuransi
syari'ah;
e.
Reksa
dana syari'ah;
f.
Obligasi
syari'ah dan surat berharga berjangka menengah syari'ah;
g.
Sekuritas
syari'ah;
h.
Pembiayaan
syari'ah;
i.
Pegadaian
syari'ah;
j.
Dana
pensiun lembaga keuangan syari'ah; dan
k.
Bisnis
syari'ah.
Menurut Dr Mukti Arto,SH.,MH.[4]
Ruang Lingkup Perkara Ekonomi Syariah, dalam hal ini, kompetensi absolut pengadilan
agama meliputi
beberapa aspek perbankan syariah dan kegiatannya dalam menjalankan ekonomi
syariah yang, antara lain, meliputi:
1.
Kelembagaan (perorangan dan/atau badan hukum)
dalam perbankan syariah;
2.
Akad (perjanjian) yang dibuat dalam perbankan
syariah;
3.
Kegiatan (operasionalisasi) perbankan syariah;
4.
Sengketa tentang status hukum kelembagaan
perbankan syariah;
5.
Sengketa tentang akad (perjanjian) dalam
perbankan syariah;
6.
Sengketa
tentang prestasi dan wanprestasi;
7.
Sengketa
tentang arbitrase syariah;
8.
Sengketa
tentang kepailitan syariah;
9.
Sengketa tentang perlindungan nasabah dalam
perbankan syariah;
10. Sengketa tentang pengingkaran
terhadap arbiter pada arbitrase syariah;
11. Penunjukan arbiter ketiga pada arbitrase syariah;
12. Penilaian secara formal terhadap putusan arbitrase syariah;
13.
Penetapan penolakan/perintah eksekusi putusan
arbitrase syariah;
14. Tindak lanjut penyelesaian sengketa ekonomi syariah pada badan arbitrase
syariah (UU No.30 Th 1999);
15.
Menyelesaikan sengketa kepailitan (UU No.37
Tahun 2004);
16.
Menyelesaikan sengketa ekonomi syariah pada
umumnya;
17.
Melaksanakan putusan sengketa ekonomi syariah
(putusan PA, basyarnas, dan gross akte);
18.
Menunjuk arbiter pada basyar yang
disengketakan;
19.
Menyelesaikan sengketa tentang putusan
basyarnas;
20. Mendaftar (mendeponir) putusan basyarnas;
21. Mengeksekusi putusan basyarnas;
22. Menetapkan kepailitan debitur;
23. Menetapkan pengampu (curator);
24.
Menetapkan
hakim pengawas;
25.
Menyelesaikan sengketa kepailitan dalam
kegiatan ekonomi syariah
Sementara untuk Mahkamah Syar’iyah aceh mendapatkan
perluasan kompetensi absolute berdasarkan Undang-undang nomor 11 tahun 2006
pasal 128 ayat 3-4 yang berbunyi: (3) Mahkamah Syar’iyah berwenang memeriksa,
mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal
al-syakhsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum pidana) yang didasarkan atas
syari’at Islam. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai bidang ahwal al-syakhsiyah
(hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum pidana)
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Qanun Aceh[5].
Jika dalam hukum keluarga Mahkamah syar’iyah memiliki
kompetensi absolute yang sama dengan peradilan Agama, maka dalam bidang
muamalah berdasarkan Qanun Nomor 10 tahun 2002 tentang Peradilan syari’at islam
mahkamah syar’iayah Aceh berwenang mengadili perkara-perkara yang meliputi setidaknya 21 jenis perkara[6]:
1.
Jual
beli
2.
Hutang
piutang
3.
Qiradh
(Permodalan)
4.
Musaqah,
muzara`ah, mukharabah (bagi hasil pertanian)
5.
Wakilah
(Perwakilan)
6.
Syirkah
(Perkongsian)
7.
`Ariyah
(Pinjam-meminjam)
8.
Hajru
(Penyitaan harta)
9.
Syuf`ah
(Hak lang-geh)
10. Rahnun (Gadai)
11. Ihya`ul mawat (Pembukaan la-han)
12. Ma`din (Tambang)
13. Luqathah (Barang temuan)
14. Perbankan
15. Ijarah (Sewa me-nyewa)
16. Takaful
17. Perburuhan
18. Wakaf
19. Hibah
20. Shadaqah
21. Hadiah
Kemudian
timbul satu pertanyaan apakah mahkamah syar`iyah dengan kekhususannya hanya
berwenang mengadili bidang muamalat versi qanun nomor.10
tahun 2002 Peradilan Syari’at Islam di Aceh dan tidak berwenang mengadili ekonomi syariah
versi Undang-Undang nomor. 3 tahun 2006 tentang peradilan agama?
menurut Dr. H. Syamsuhadi Irsyad, SH, MH, dalam disertasinya yang berjudul Mahkamah
Syar`iyah Dalam Sistem Peradilan Nasional (2009 :369) berpendapat bahwa
perkara-perkara ekonomi syariah juga merupakan kewenangan Mahkamah Syar`iyah
dalam bidang muamalah, karena dalam konteks ini Pengadilan Agama perlu dibaca
sebagai Mahkamah Syar`iyah. Dengan demikian Mahkamah syar’iyah juga berwenang
mengadili “ekonomi syari’ah” yang meliputi :
1.
Bank
syari’ah;
2.
Lembaga
keuangan mikro syari’ah;
3.
Asuransi
syari’ah;
4.
Reasuransi
syari’ah;
5.
Reksa
dana syari’ah;
6.
Obligasi
syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah;
7.
Sekuritas
syari’ah;
8.
Pembiayaan
syari’ah;
9.
Pegadaian
syari’ah;
10.
Dana
pensiun lembaga keuangan syari’ah; dan
11.
Bisnis
syari’ah.
Dalam
bidang Jinayah mahkamah syar’iyah berwenang mengadili perkara-perkara
yang meliputi: hudud, Qishas/ diyat dan ta’zir, secara rinci sebagai berikut[7]:
Perkara Hudud, yang meliputi :
1)
Zina
2)
Qadzaf
(Menu-duh berzina)
3)
Mencuri
4)
Merampok
5)
Minuman
ke-ras dan Nafza
6)
Murtad
7)
Pemberontakan
Perkara
Qishash/Diyat, meliputi :
1) Pembunuhan
2) Penganiayaan
Perkara Ta’zir, yaitu hukuman yang dijatuhkan kepada orang yang melakukan
pelanggaran syariat selain hudud dan qishash, meliputi :
1) Judi
2) Penipuan
3) Pemalsuan
4) Khalwat
5) Meninggalkan shalat fardhu
6) Meninggalkan
puasa Ramadhan.
Dalam
perkembangan berikutnya lahirlah Qanun-Qanun yang mengatur secara teknis
tentang hukum jinayat/ Pidana syariah meskipun belum mencakup keseluruhan
seperti ketentuan Undang-Undang No.11 tahun 2006 tentang pemerintahan aceh dan
Qanun nomor 02 tahun 2002 tentang peradilan syariat islam di aceh. Qanun yang
dilahirkan antara lain Qanun no. 11 tahun 2002 tentang aqidah, ibadah dan syiar
islam, Qanun no. 12 tahun 2002 tentang minuman Khamer dan sejenisnya, Qanun
no.13 tahun 2002 tentang maisir (perjudian), Qanun no.14 tahun 2002 tentang
khalwal (mesum)[8].
Dari
beberapa indicator diatas, setidaknya ada beberapa kesimpulan sementara yang dapat
ditarik, pertama terkait
mempuninya sumberdaya manusia aparat Peradilan Agama saat ini. Kedua
kewenangan absolute peradilan agama dan atau Mahkamh Syar’iyah
yang sangat luas
pada saat ini. Ketiga Progaram prioritas
Badan Peradilan Agama yang telah dan sedang dijalankan. penulis berpendapat
lembaga Peradilan Agama dan atau Mahkamah Syar’iyah
saat ini pantas mendapatkan dukungan dari masyarakat dan bangsa Indonesia untuk
semakin meningkatkan reformasi diri serta memaksimalkan pelayanan hukum yang
berkeadilan bagi masyarakat Indonesia.
Disisi
lain apatisme sebagian masyarakat tentang kemampuan yudisial Peradilan Agama
dan atau Mahkamah Syar’iyah seperti ditunjukkan OC kaligis dalam acara Indonesia lawer club yang disiarkan secara nasional
oleh TVone, ketika membahas perkara Macica Mukhtar bertema "Perjuangan Machicha Mukhtar Berujung Duka"
Senin malam (29/4),
akan terbantahkan dengan sendirinya seiring dengan tingkat pemahaman dan
kesadaran hukum oleh masyarakat Indonesia. Betapa terkejutnya
kita ketika melihat fenomena yang sangat kontras. Peradilan Agama ternyata
tidak seperti yang diopinikan sebagian masyarakat, sebagai peradilan perceraian
semata, namun juga merupakan lembaga peradilan modern dengan semakin
kompleknya perkara yang harus diselesaikan, apalagi
dengan perkembangan politik hukum di Indonesia yang sangat progresif akhir-akhir ini.
Kompleksitas
perkara-perkara yang diterima, diperiksa dan diadili Peradilan Agama dan atau
Mahkamah Syar’iyah dalam jumlah yang begitu besar, tentunya memberikan
sumbangan yang tidak kecil dalam menegakkan hukum dalam bingkai sistem
peradilan nasional.
3.
Hukum
Sipil
Hukum
sipil adalah sistem hukum yang diilhami
dari hukum Romawi
dengan ciri ditulis dalam suatu kumpulan, dikodifikasi, dan tidak
dibuat oleh hakim.[9]
Secara konseptual, sistem ini merupakan sekumpulan gagasan dan sistem hukum
yang berasal dari Codex Yustinianus, namun juga banyak
dipengaruhi oleh hukum Jermanik Awal, gereja,
feudal, praktik lokal,[10]
serta kecenderungan doktrinal seperti hukum alam, kodifikasi, dan positivisme hukum. Hukum
sipil bersifat abstrak. Asas-asas umum dirumuskan, dan perbedaan antara hukum substantif dengan prosedural ditekankan.[11]
Dalam sistem ini legislasi dipandang sebagai sumber hukum utama, dan sistem
pengadilannya biasanya tidak terikat dengan pendahulu (stare decisis)
dan terdiri dari petugas-petugas yudisial terlatih dengan kekuasaan penafsiran
hukum yang terbatas.
Prinsip
hukum sipil adalah menyediakan kumpulan hukum yang tertulis dan dapat diakses
kepada semua penduduk. Sistem ini merupakan sistem hukum yang paling banyak
digunakan di dunia, kurang lebih di sekitar 150 negara.[12]
Penjajahan menyebabkan penyebaran hukum sipil yang akhirnya diterima di Amerika Latin
serta sebagian Asia
dan Afrika.[13]
Sumber hukum utama dalam sistem ini adalah undang-undang yang merupakan
kumpulan pasal-pasal sistematis yang saling berhubungan yang disusun
berdasarkan subjek[14]
dan yang menjelaskan asas-asas hukum, hak, kewajiban, dan mekanisme hukum
dasar. Undang-undang biasanya dibuat oleh legislatif.
C.
SISTEM
HUKUM DI INDONESIA: UPAYA MEWUJUDKAN SISTEM HUKUM MASA DEPAN NKRI.
Setelah menyajikan tiga system hukum di Indonesia secara singkat, yang
meliputi tiga system hukum, yaitu hukum adat, hukum Islam dan hukum sipil, maka
penulis akan menganalisa dan mengkaji lebih lanjut tentang upaya mewujudkan
system hukum yang cocok untuk masa depan Negata Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI).
Hukum adat di Indonesia sangat banyak jenisnya, menurut seorang
pakar Belanda, Cornelis
van Vollenhoven adalah yang pertama mencanangkan gagasan seperti ini.
Menurutnya daerah di Nusantara menurut
hukum adat bisa dibagi menjadi 23 lingkungan adat berikut: Aceh, Gayo dan Batak, Nias dan
sekitarnya, Minangkabau,
Mentawai,
Sumatra
Selatan, Enggano, Melayu, Bangka dan Belitung, Kalimantan (Dayak), Sangihe-Talaud, Gorontalo,
Toraja,
Sulawesi Selatan (Bugis/Makassar), Maluku Utara,
Maluku Ambon,
Maluku
Tenggara, Papua,
Nusa Tenggara dan Timor, Bali dan Lombok, Jawa dan Madura (Jawa Pesisiran), Jawa Mataraman, Jawa Barat (Sunda). Namun tidak semua hokum adat
dapat diadopsi menjadi hokum nasional, namun hanya yang dipandang cocok sebagai
hokum nasional-lah yang kemudian di jadikan hokum positif.
Apabila diperhatikan dengan seksama maka kita akan menepukan
sejumlah hukum terapan di Negara ini yang mereceptie dari hukum adat contohnya
adalah undang undang agraria[15].
Meskipun hukum adat secara nasional memiliki farian yang beraneka ragam dalam
berbagai wilayah teritoial di NKRI, namun terkait agrarian dipandang cocok
sebagai hukum nasional.
Adapun hukum Isam yang telah di adopsi menjadi hukum nasional
dengan sepesifikasi yang berbeda dengan Negara Negara lain yang memberlakukan hukum
Islam ini juga telah dipandang mampu mengatasi masalah serta memenuhi kebutuhan
masyarakat Indonesia dalam bidang hukum. Contoh hukum Islam yang telah menjadi hukum
nasional adalah UU No. 50 Tentang Peradilan Agama, UU No.38 Thn 1999 yang telah
diubah UU N0.23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat, UU No.41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, UU No. 19 Tahun 2008 Tentang Surat Berharga Syariah Negara, UU No. 21 Tahun 2008 Tentang Bank Syariah, PP
No.28 Thn 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik, Kompilasi Hukum Islam (KHI), Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah (KHES).[16]
Selain yang berlaku secara nasional hukum Islam juga ada yang
diterapkan sebagai hukum local, seperti yang di berlakukan di Aceh: Qanun Nomor
10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syari’at Islam Mahkamah Syar’iayah Aceh, Qanun Aceh Nomor
11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Bidang Aqidah, Ibadah Dan
Syiar Islam, Qanun Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Minuman Khamer Dan
Sejenisnya,
Qanun Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Maisir (Perjudian) Qanun Nomor 14 Tahun
2003 Tentang Khalwat (Mesum).[17]
Selain kajian diatas hokum nasional sampai saat ini juga masih
menggunakan hokum hokum yang berasal dari hokum sipil. Contohnya KUHP,
KUHPerdata, dan KUHD. Hal ini diperlukan untuk mengisi kekosongan Hukum.
pada kajian makalah ini, penulis berpendapat dengan memandang
pluralitas masyarakat Indonesia, serta kebutuhan hokum nasional, yang mampu
memberikan rasa aman dan perlindaungan hokum, serata mampu memenuhi kebutuhan
masyarakat serta memecahkan masalah dibidang hokum, yang diperlukan saat ini
bukanlah hokum nasional yang berisikan keseragaman hokum dalam satu kesatuan
masyarakat yang pluralis, namun adalah aturan hokum yang mampu member
perlindungan dan juga ditaati oleh masyarakat Indonesia. Jadi Hukum Adat, Hukum
Islam, dan Hukum Sipil, yang telah diadopsi menjadi hokum nasional adalah Hukum
Nasional Indonesia, tidak lagi “dilabeli” hokum adat, hokum Islam dan Hukum
sipil, namun lebih cocok dengan sebutan Hukum Nasional Indonesia meskipun
sumbernya dari adopsi ketiga system
hokum diatas.
D.
PENUTUP
Pada
tahap akhir kajian ini penulis menarik kesimpulan dan juga memberikan saran
sebagai berikut:
1.
Kesimpulan
Bahwa system hukum masa depan NKRI yang mampu mengatasi berbagai persolan
nasional adalah “Sistem Hukum Nasional” yang terdiri dari adopsi system hokum
adat, system hokum Islam dan system hokum sipil.
2.
Saran-saran
Bagi pemerintah NKRI, dalam menentukan perundang undangan
seharusnya melihat hokum yang hidup di masyarakat sehingga rasa keadilan
masyarakat dapat terwujudkan.
DAFTAR PUSTAKA
"Glossary Of Legal Terms", 12th District Court -
Jackson, County, Mi, Diakses Pada 12 Juni 2009
Charles Arnold Baker, The Companion To British History, S.V.
"Civilian" (London: Routledge, 2001).
Dr.H.A. Mukti
Arto, Kerangka Hukum Muamalah Bidang Ekonomi Syariah Studi Mengenai
Prinsip-Prinsip Dasar Untuk Menyelesaikan Kasus-Kasus Di Pengadilan Agama, Bahan
Diklat II Program PPC Terpadu Angkatan Vii Peradilan Agama Seluruh Indonesia
Tanggal 24 September Sd 28 November 2012 Pudiklat Badan Litbang Diklat Kumdil
MA-RI Di Mega Mendung, Bogor.
Michel Fromont, Grands Systèmes De Droit Étrangers, 4th Edn.
(Paris: Dalloz, 2001),
Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Peradilan
Agama, Buku II Edisi Revisi 2010, Mahkamah Agung Ri
Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama, 2010
Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Bidang Aqidah, Ibadah Dan
Syiar Islam,
Qanun Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syari’at
Islam Mahkamah Syar’iayah Aceh
Qanun Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Minuman Khamer Dan
Sejenisnya,
Qanun Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Maisir (Perjudian)
Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat (Mesum).
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh
UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Pertama UU No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
[3] Lihat UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Pertama UU No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama Pasal 49 Dan Penjelasannya.
[4] Dr.H.A. Mukti Arto, Kerangka Hukum
Muamalah Bidang Ekonomi Syariah Studi Mengenai Prinsip-Prinsip Dasar Untuk
Menyelesaikan Kasus-Kasus Di Pengadilan Agama, Bahan Diklat Ii Program Ppc
Terpadu Angkatan Vii Peradilan Agama Seluruh Indonesia Tanggal 24 September Sd
28 November 2012 Pudiklat Badan Litbang Diklat Kumdil MA-RI Di Mega Mendung,
Bogor. Hal.17-18.
[5] Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang
Pemerintahan Aceh Pasal 128 Ayat 3-4. Dan Lihat Pula Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Peradilan Agama,
Buku Ii Edisi Revisi 2010, Mahkamah Agung Ri Direktorat Jendral Badan Peradilan
Agama, 2010 Hal.53-54.
[6] Qanun Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syari’at Islam Mahkamah
Syar’iayah Aceh Pasal 49 Huruf (B)Dan Penjelasannya.
[7] Qanun Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syari’at Islam Di Mahkamah Syar’iayah Aceh Pasal 49 Huruf (C)Dan Penjelasannya
[8] Lihat Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Bidang Aqidah, Ibadah Dan Syiar Islam, Qanun
Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Minuman Khamer Dan Sejenisnya, Dan Qanun Nomor 13
Tahun 2003 Tentang Maisir (Perjudian) Dan Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang
Khalwat (Mesum).
[9] "Legal Terms", Armstrong Lawyers, Diakses
11 Juni 2009.
[10] Charles Arnold Baker, The Companion To British History,
S.V. "Civilian" (London: Routledge, 2001), Hlm.308.
[11] Michel Fromont, Grands Systèmes De Droit Étrangers,
4th Edn. (Paris: Dalloz, 2001), Hlm. 8.
[14] "Glossary Of Legal Terms", 12th District
Court - Jackson, County, Mi, Diakses Pada 12 Juni 2009
[15] Hukum Agraria
Adalah Salah Satu Hokum Material Pengadailan Negeri Jika Terjadi Sengketa
Terkait Hal Tersebut.
[16] Peraturan Perundang Undang Diatas Menjadi Hokum
Materiel Pengadilan Agama Dan Mahkamah Syar’iyah Diseluruh Wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
[17] Meskipul Qanun
Adalah Hokum Yang Bersifat Local Untuk Masyarakat Provinsi Aceh Darussalam,
Yang Tempat Penyelesaian Perkaranya Bearada Pada Mahkamah Syar’iyah, Namun Jika
Ada Uapaya Hokum Kasasi Maka Yang Memeriksa Perkara Tersebut Tetap Mahkamah
Agung.
Comments
Post a Comment