SISTEM PERADILAN PIDANA


 SISTEM PERADILAN PIDANA
Oleh
Nur Moklis
 
1.      Yang dimaksud sistim peradilan pidana (“Crime Justice Systim”)
Sistem Peradilan Pidana (SPP) berasal dari kata yaitu “sistem” dan “peradilan pidana”. Pemahaman mengenai ”sistem” dapat diartikan sebagai suatu rangkaian diantara sejumlah unsur yang saling terkait untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam pandangan Muladi, pengertian system harus dilihat dalam konteks, baik sebagai physical system dalam arti seperangkat elemen yang secara terpadu bekerja untuk mencapai suatu tujuan dan sebagai abstract system dalam arti gagasan-gagasan yang merupakan susunan yang teratur yang satu sama lain saling ketergantungan.
Dan apabila dikaji dari etimologis, maka ”sistem” mengandung arti terhimpun (antar) bagian atau komponen (subsistem) yang saling berhubungan secara beraturan dan merupakan suatu keseluruhan. Sedangkan ”peradilan pidana” merupakan suatu mekanisme pemeriksaan perkara pidana yang bertujuan untuk menghukum atau membebaskan seseorang dari suatu tuduhan pidana. Dalam kaitannya dengan peradilan pidana, maka dalam implementasinya dilaksanakan dalam suatu sistem peradilan pidana. Tujuan akhir dari peradilan ini tidak lain adalah pencapaian keadilan bagi masyarakat.
Sistem Peradilan Pidana atau “Criminal Justice System” kini telah menjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem. Ciri pendekatan ”sistem” dalam peradilan pidana. Sistem peradilan pidana untuk pertama kali diperkenalkan oleh pakar hukum pidana dan ahli dalam criminal justice system di Amerika Serikat sejalan dengan ketidakpuasan terhadap mekanisme kerja aparatur penegak hukum dan institusi penegak hukum. Ketidakpuasan ini terbukti dari meningkatnya kriminalitas di Amerika Serikat pada tahun 1960-an. Pada masa itu pendekatan yang dipergunakan dalam penegakan hukum adalah ”hukum dan ketertiban” (law and order approach) dan penegakan hukum dalam konteks pendekatan tersebut dikenal dengan istilah ”law enforcement”.
Menurut Indriyanto Seno Adji, sistem peradilan pidana di Indonesia merupakan terjemahan sekaligus penjelmaan dari Criminal Justice System, yang merupakan suatu sistem yang dikembangkan di Amerika Serikat yang dipelopori oleh praktisi hukum (law enforcement officers). Dengan kata lain sistem peradilan pidana merupakan istilah yang digunakan sebagai padanan dari Criminal Justice System.
Untuk mendapatkan gambaran tentang sistem peradilan pidana atau criminal justice sistem, di bawah ini penulis ketengahkan beberapa pengertian sistem peradilan pidana, sebagai berikut :
a)       Dalam Black Law Dictionary, Criminal Justice System diartikan sebagai ”the network of court and tribunals which deal with criminal law and it’s enforcement”. Pengertian ini lebih menekankan pada suatu pemahaman baik mengenai jaringan di dalam lembaga peradilan maupun pada fungsi dari jaringan untuk menegakan hukum pidana. Jadi, tekanannya bukan semata-mata pada adanya penegakan hukum oleh peradilan pidana, melainkan lebih jauh lagi dalam melaksanakan fungsi penegakan hukum tersebut dengan membangun suatu jaringan.
b)      Remington dan Ohlin, Criminal Justice System dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana, dan peradilan pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik adminisrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya.
c)      Mardjono Reksodipoetro, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan.
d)      Menurut Muladi, sistem peradilan pidana merupakan jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana materiel, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Akan tetapi, menurut Muladi kelembagaan ini harus dilihat dalam konteks sosial. Sifat yang terlalu berlebihan jika dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan.
Berbagai pandangan mengenai sistem peradilan pidana atau criminal justice system di atas memiliki dimensi yang berbeda dengan sudut pandang yang berbeda pula. Criminal Justice System atau yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah Sistem Peradilan Pidana merupakan suatu bentuk yang unik dan berbeda dengan sistem sosial lainnya. Perbedaan dapat dilihat dari keberadaannya untuk memproduksi segala sesuatu yang bersifat unwelfare (dapat berupa perampasan kemerdekaan, stigmatisasi, perampasan harta benda atau menghilangkan nyawa manusia) dalam skala yang besar guna mencapai tujuan yang sifatnya welfare (rehabilitasi pelaku, pengendalian dan penekanan tindak pidana).
Sistem peradilan pidana pada hakekatnya merupakan suatu proses penegakan hukum pidana. Oleh karena itu berhubungan erat sekali dengan perundang-undangan pidana itu sendiri, baik hukum substantif maupun hukum acara pidana, karena perundang-undangan pidana itu pada dasarnya merupakan penegakan hukum pidana ”in abstracto” yang akan diwujudkan dalam penegakan hukum ”in concreto”. Pentingnya peranan perundang-undangan pidana dalam sistem peradilan pidana, karena perundang-undangan tersebut memberikan kekuasaan pada pengambil kebijakan dan memberikan dasar hukum atas kebijakan yang diterapkan. Lembaga legislatif berpartisipasi dalam menyiapkan kebijakan dan memberikan langkah hukum untuk memformulasikan kebijakan dan menerapkan program kebijakan yang telah ditetapkan. Jadi, semua merupakan bagian dari politik hukum yang pada hakekatnya berfungsi dalam tiga bentuk, yakni pembentukan hukum, penegakan hukum, dan pelaksanaan kewenangan dan kompetensi.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, ada beberapa asas utama yang harus diperhatikan dalam mengoperasionalisasikan hukum pidana, sebab individu harus benar-benar merasa terjamin bahwa mekanisme sistem peradilan pidana tidak akan menyentuh mereka tanpa landasan hukum tertulis, yang sudah ada terlebih dahulu (legality principle). Di samping itu, atas dasar yang dibenarkan oleh undang-undang hukum acara pidana mengenai apa yang dinamakan asas kegunaan (expediency principle) yang berpangkal tolak pada kepentingan masyarakat yang dapat ditafsirkan sebagai kepentingan tertib hukum (interest of the legal order). Atas dasar ini penuntutan memperoleh legitimasinya. Asas yang ketiga adalah asas perioritas (priority principle) yang didasarkan pada semakin beratnya beban sistem peradilan pidana. Hal ini bisa berkaitan dengan berbagai kategori yang sama. Perioritas ini dapat juga berkaitan dengan pemilihan jenis-jenis pidana atau tindakan yang dapat diterapkan pada pelaku tindak pidana

2.      Mengapa sistim peradilan pidana (“Criminal Justice Systim”) dalam bekerjanya harus terintegrasi, sehingga merupakan “Integrated Crime Justice Systim”?
Sebelum menjawab mengapa sistim peradilan pidana harus terintegrasi/ terpadu, sekedar perlu diketahui bahwa Integrated criminal justice system adalah sistem peradilan pidana yang mengatur bagaimana penegakan hukum pidana dijalankan. Sistem tersebut mengatur bagaimana proses berjalannya suatu perkara mulai dari penyelidikan sampai pemasyarakatan.
KUHAP menganut asas spesialisasi, diferensiasi, dan kompartemenisasi, yaitu menetapkan pembagian kewenangan kepada masing-masing institusi (penyidik, penuntut umum dan hakim). KUHAP hanya dapat diterapkan kepada orang-orang yang tunduk kepada peradilan umum, meskipun mengatur juga tentang koneksitas yaitu tindak pidana yang dilakukan oleh orang-orang yang tunduk kepada peradilan militer dan kepada peradilan umum. Namun hukum acara yang berlaku berbeda, terhadap orang yang tunduk kepada peradilan militer mempunyai hukum acara tersendiri.
Kemudian KUHAP membedakan tugas dan wewenang dari setiap tingkatan pemeriksaan sejak dari penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di persidangan serta memberikan sekat terhadap tugas dan wewenang penyidik, penuntut umum atau hakim. Menurut Marjono Reksodiputro di dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya tersebut tidak boleh mengganggu usaha adanya suatu kebijakan penyidikan dan penuntutan yang merupakan pedoman kerja bersama dalam proses peradilan pidana.  
Pembagian kewenangan tersebut dimaksudkan agar pelaksanaan tugas penegakan hukum dapat menjadi focus, sehingga tidak terjadi duplikasi kewenangan, tetapi terintegrasi karena antara institusi penegak hukum dengan yang lainnya secara fungsional ada hubungan sedemikian rupa didalam proses penyelesaian perkara pidana. Pola ini dikenal dengan sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system).  
Sistem peradilan pidana terpadu dalam KUHAP merupakan dasar bagi terselenggaranya proses peradilan pidana yang benar-benar bekerja dengan baik serta benar-benar memberikan perlindungan hukum terhadap harkat dan martabat tersangka, terdakwa atau terpidana sebagai manusia. Sistem peradilan pidana yang dianut oleh KUHAP terdiri dari sub sistem yang merupakan tahapan proses jalannya penyelesaian perkara, sub sistem penyidikan dilaksanakan oleh Kepolisian, sub sistem penuntutan dilaksanakan oleh Kejaksaan, sub sistem pemeriksaan di sidang pengadilan dilaksanakan oleh Pengadilan dan sub sistem pelaksanaan putusan pengadilan dilaksanakan oleh Kejaksaan dan Lembaga Pemasyarakatan.
Keempat institusi pelaksana dalam sistem peradilan pidana tersebut seyogianya lebih mengutamakan kebersamaan serta semangat kerja yang tulus dan ikhlas serta positif antara aparatur penegak hukum untuk mengembangkan tugas penegakan keadilan dalam bingkai sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system).
Menurut Ohlin and Remington menyatakan system peradilan pidana : Sebagai sebuah kumpulan yang kompleks dari pelaku-pelaku yang saling bergantung satu sama lain yang bertindak terhadap perkara-perkara yang berhubungan dengan pribadi-pribadi/orang-orang yang dituduh atas sebuah tindak kejahatan (a complicated set of interdependent actors who act on cases involving individuals accused of crimes).  
Menurut Muladi makna integrated criminal justice system adalah sinkronisasi atau keserampakan dan keselarasan, yang dapat dibedakan dalam,  pertama  Sinkronisasi Struktural (stuctural sincronization)  yaitu keserempakan dan keselarasan dalam rangka hubungan antar lembaga penegak hukum. Kedua, Sinkronisasi Substansial (substansial sincronization) yaitu keserempakan dan keselarasan yang bersifat vertikal dan horizontal dalam kaitannya dengan hukum positif. Ketiga, Sinkronisasi Kultural (cultural sincronization) yaitu keserampakan dan keselarasan dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana.
Sasaran yang ingin dicapai dalam sistem ini agar tahap-tahap proses dari suatu peradilan pidana ini dapat menjadi lancar. Hakekat sistem peradilan pidana terpadu, tidak lain adalah untuk mewujudkan suatu peradilan yang murah, cepat dan sederhana sebagaimana yang disyaratkan oleh undang-undang itu sendiri, sehingga dapat dikesampingkan ego sektoral yang selama ini dipandang membuat tersendat-sendatnya proses suatu perkara pidana terutama terkait dengan pra penuntutan khusus didalam penelitian berkas perkara hasil penyidikan yang dilimpahkan penyidik ke penuntutan. Pengalaman mengajarkan selama ini, bahwa kandasnya suatu penuntutan, antara lain karena adanya keberatan dari pencari keadilan berlindung dibalik putusan sela atau akhir dari pengadilan, sebagai dampak dari belum optimalnya keterpaduan dalam sistem peradilan pidana.
Meskipun pada saat diundangkannya KUHAP mendapat sambutan yang posistif dari sebagian kalangan masyarakat, mengingat tujuan awalnya bersifat kodifikasi dan unifikasi, tetapi dalam menghadapi perkembangan yang mengglobal di bidang informasi dan teknologi yang memunculkan kompleksitas kejahatan yang multi dimensional, maka kelemahan KUHAP mulai nampak di dalam mengakomodasi perkembangan tersebut, sehingga terhadap substansi tertentu diperlukan pengaturan hukum acara tersendiri atau sektoral mengacu kepada asas lex specialis derogat legi generali. Produk legislasi yang turut mengatur sendiri hukum acaranya, antara lain seperti Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak  Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi manusia (HAM), Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang penerapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Terorisme menjadi Undang-Undang dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Berpijak kepada fenomena dimaksud, maka terhadap RUU KUHAP yang pada saat ini sedang dalam pembahasan antara DPR dan Pemerintah, khususnya terhadap hal-hal yang berkaitan dengan sistem peradilan pidana terpadu perlu mendapat perhatian yang serius, agar pembahasan dapat menghasilkan sesuatu dengan produk legislasi nasional yang tidak sekedar dapat dibanggakan di tataran law in the books dan law in idea, tetapi juga dalam tataran law in action, yaitu diimplementasikan secara efektif.
Kolaborasi antara aparat penegak hukum yang berorientasi kepada supremasi hukum  akan dapat meminimalisir miskomunikasi dan diskoordinasi antar aparat penegak hukum, sehingga akan membawa energi yang positif dalam proses penegakan hukum dan menutup peluang timbulnya kepentingan subyektif dan ego sektoral/kelembagaan yang dapat merugikan kepentingan pencari keadilan dan kontra produktif terhadap penegakan hukum dan penegakan Hak asasi manusia.
Proses peradilan pidana maupun sistem peradilan pidana mengandung pengertian yang ruang lingkupnya berkaitan dengan mekanisme peradilan pidana. Loebby Loqman membedakan sistem peradilan pidana dengan proses peradilan pidana.  Sistem adalah suatu rangkaian antara unsur atau faktor yang saling terkait satu dengan lainnya sehingga menciptakan suatu mekanisme sedemikian rupa sehingga sampai tujuan dari sistem tersebut. Sedangkan proses peradilan pidana, yakni suatu proses sejak seseorang diduga telah melakukan tindak pidana, sampai orang tersebut dibebaskan kembali setelah melaksanakan pidana yang telah dijatuhkan padanya.
Terlepas dari perbedaan kedua pengertian tersebut yang jelas keduanya sangat erat dengan hubungan fungsional antar sub sistem dan sistem peradilan pidana terpadu. Selanjutnya, berkaitan dengan kondisi obyektif sistem peradilan pidana adalah suatu kondisi yang berkaitan dengan implementasi sistem peradilan pidana yang aktual atau kekinian, bagaimana  konsep kebijakan penanggulangan kejahatan yang integral melalui usaha yang rasional merupakan satu kesatuan yang terintegrasi. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau lebih dikenal dengan KUHAP membawa perubahan yang fundamental baik secara konsepsional maupun secara implementatif terhadap penyelesaian acara pidana, begitu juga terhadap perilaku aparat penegak hukum. Kejaksaan (Jaksa/Penuntut Umum) di dalam KUHAP diposisikan sebagai penyandang asas dominis litis memang posisi sentral, hakim tidak saja menjembatani proses pemeriksaan pendahuluan (penyidik) dengan proses pemeriksaan di depan persidangan, tetapi juga dapat tidaknya seseorang ditetapkan sebagai terdakwa dan selanjutnya diajukan ke pengadilan untuk diperiksa dan mendapatkan keputusan.
Harapan terlaksananya sistem peradilan pidana terpadu yang menggunakan pendekatan sistem melalui mekanisme administrasi peradilan pidana sering ternodai oleh berbagai faktor antara lain, faktor ego sektoral, penyalahgunaan wewenang, diferensiasi SDM (sumber daya manusia) yang berkaitan dengan pengetahuan teknis yuridis dan manajemen perkara, demoralisasi dari para penegak hukum yang berorientasi pada kebutuhan finansial sehingga menghalalkan segala cara, Adanya ketidakpercayaan timbal balik di antara penegak hukum itu sendiri atau saling mencurigai, overlapping kewenangan, kondisi tersebut mengakibatkan sering terjadinya miskomunikasi, misinformasi, diskoordinasi dan disharmonisasi yang menjadi kontra produktif terhadap proses hukum yang sedang berjalan.
Salah satu tantangan terbesar penegak hukum adalah bagaimana mengembalikan kepercayaan publik kepada hukum dan aparat penegak hukum. Banyak kelemahan yang diungkapkan melalui berbagai tulisan dan pendapat, yang kesemuanya dapat ditempatkan sebagai kontrol publik dan bahan evaluasi untuk memperbaiki diri. Banyak tulisan dan pendapat yang menyatakan bahwa terlibat dalam proses peradilan sama saja dengan memasuki lingkaran setan yang penuh ketidakpastian dan kesemerawutan. Mungkin tidak semua institusi dan aparat penegak hukum seperti itu, tetapi itulah kenyataan dan potret buram penegakan hukum yang dilihat oleh masyarakat. Pelaksanaan peradilan sangat jauh dari prinsip peradilan yang sederhana, cepat, dan murah. Persoalannya sekarang ini, bagaimana upaya memperbaiki kondisi obyektif yang sedemikian itu?  Salah satu upaya yang harus dilakukan, khususnya di bidang peradilan pidana adalah menerapkan konsep sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system disingkat ICJS). Tentu para pembentuk undang-undang juga memahami konsep ICJS dan apa yang ada saat ini juga diarahkan untuk membentuk ICJS. Namun demikian, harus diakui terdapat beberapa kelemahan baik pada tataran aturan maupun praktik. Dari sisi aturan, ICJS sesungguhnya memerlukan keterpaduan dan koeksistensi dari banyak produk hukum, baik terkait  dengan hukum pidana materiil, hukum pidana formil, maupun kelembagaan yang memegang peran dalam proses penanganan tindak pidana.
Di bidang hukum pidana materiil, selain KUHP saat ini bertebaran undang-undang pidana yang diatur secara sektoral, bahkan undang-undang administrasi juga mengatur sendiri sanksi pidana terhadap pelanggarnya, sehingga telah terjadi pergeseran dari kodifikasi (codification law) menjadi sektoral (statute law). Demikian pula di bidang hukum pidana formil, sehingga konsekuensi logisnya ketentuan yang harus dikoordinasikan dari aspek kelembagaan. Terkait dengan lembaga peradilan saja paling tidak terdapat 14 undang-undang yang terkait, belum lagi lembaga lain yang memiliki peran dalam setiap tahapan penanganan tindak pidana. Berbagai aturan yang terserak itu perlu segera dilakukan evaluasi menyeluruh secara komprehensif (totalitas).
Melalui momentum pembaharuan hukum pidana terutama dalam penyusunan KUHP dan KUHAP baru merupakan awal yang harus dilanjutkan dengan penataan yang lebih komprehensif untuk memperbaiki ICJS di Indonesia. Persoalan selanjutnya adalah pemahaman atas tujuan ICJS yang dibentuk. Agar ICJS dapat berjalan dengan baik, tentu tujuan tersebut harus dipahami dan dijadikan acuan oleh setiap sub sistem. Praktek yang terjadi selama ini belum semua aparat penegak hukum memahami dan melaksanakan tugasnya dengan orientasi tujuan bersama, sehingga belum muncul nilai dan budaya bersama dari keseluruhan sub sistem ICJS. Masing-masing lembaga masih berpotensi memiliki pemahaman sendiri, maka sering terjadi perbedaan antara lembaga yang satu dengan lembaga yang lain. Dalam proses penanganan tindak pidana, perbedaan pemahaman tersebut berdampak juga terhadap standar kerja, sehingga proses dari satu tahapan ke tahapan lain menimbulkan gesekan, seperti yang terkait dengan hubungan fungsional antara penyidik dan penuntut umum. Akibat selanjutnya adalah munculnya kecenderungan instansi centris yang bergeser dari tujuan koordinasi penanganan tindak pidana. Untuk mewujudkan ICJS memang memerlukan kerja keras dan kerja bersama dari setiap sub sistem yang ada, bahkan dari setiap komponen bangsa. Ini adalah agenda besar yang harus dilaksanakan dan segera dimulai jika ingin menyelesaikan permasalahan karut-marut penegakan hukum.
Sejalan dengan itu, maka menurut  Alan Coffey bahwa peradilan pidana dapat berfungsi secara sistematik hanya bila masing-masing bagian dari sistem tersebut saling memperhitungkan satu sama lain. Dengan kata lain, sistem peradilan pidana tidak lebih sistematis dari hubungan antara Polisi dan Penuntut Umum, Polisi dan Pengadilan, Penuntut Umum dan Lembaga Permasyarakatan, Lembaga Permasyarakatan dan Hukum, begitu juga sebaliknya. Tidak adanya hubungan yang berfungsi secara baik antara masing-masing bagian mengakibatkan sistem peradilan pidana rentan terhadap perpecahan dan ketidak-efektifan (Criminal justice can function systematically only to the degrees that each segment of the system takes into account all other segments. In order words, the system is no more systematic than the relationships between Police and prosecution, Police and Court Prosecution and Corrections, Corrections and law, and so forth. In the absence of functional relationships between segments, the criminal justice system is vulnerable to fragmentation and ineffectiveness).  
Ketidakpuasan terhadap mekanisme kerja aparatur penegak hukum dan institusi penegak hukum dapat berdampak meningkatnya kriminalitas, tindakan main hukum dan main hakim sendiri (eigen rechting dan eigen richting) dan berbagai bentuk kejahatan baru yang mencari celah dari lemahnya koordinasi antar apara penegak hukum, ketidak singkronan dan disharmonisasi dalam fungsional hubungan dapat saja disebabkan oleh pengaturan dan dalam pelaksanaan perundang-undangan (hukum pidana formil dan materiil) yang bisa berakibat pada tidak efektifnya tujuan dari ICJS.
Terkait dengan efektifitas hukum ini, Hans Kelsen menyatakan “Apakah orang-orang pada kenyataannya berbuat menurut suatu cara untuk menghindari sanksi yang di ancamkan oleh norma hukum atau bukan, dan apakah sanksi tersebut benar-benar dilaksanakan bila saratnya terpenuhi atau tidak terpenuhi”. Menurut Anthony Allot mengemukakan tentang efektifitas hukum, yaitu: “Hukum akan menjadi efektif apabila tujuan keberadaan dan penerapannya dapat mencegah perbuatan-perbuatan  yang tidak  diinginkan dapat menghilangkan kekacauan”.  Hukum yang efektif secara umum dapat membuat apa yang dirancang dapat diwujudkan. Jika terjadi kegagalan, maka pembetulannya kemungkinan terjadi secara mudah,apabila ada keharusan untuk melaksanakan atau menerapkan hukum dalam kondisi baru yang berbeda, hukum akan sanggup menindaklanjuti penyelesaiannya.
Kondisi kekinian atau implementasi dari ICJS di Indonesia masih belum memenuhi harapan sebagai upaya penanggulangan kejahatan yang bersifat Penal menggunakan hukum pidana sebagai sarana utama, baik hukum pidana materiil maupun formil termasuk pelaksanaan pidananya. Sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system) yang komponennya terdiri dari kepolisian, kejaksaan, Pengadilan, Lembaga pemasyarakatan, dan Advokat merupakan suatu proses yang diharapkan masyarakat untuk dapat bergerak secara terpadu dengan pengaturan yang proporsional dalam mencapai suatu tujuan yang dikehendaki bersama, yaitu mencegah terjadinya kejahatan.

3.      Apa sajakah “out put” dari sitim peradilan pidana?
Proses penegakan hukum pidana dilakukan oleh suatu sistem yaitu yang disebut dengan Sistem Peradilan Pidana yaitu mekanisme kerja dalam usaha penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem. Sistem penanggulangan kejahatan itu dilakukan oleh komponen-komponen yang saling bekerjasama, yaitu instansi atau badan yang kita kenal dengan nama kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan.
Masing-masing komponen atau sub system mempunyai tugas dan output sendiri-sendiri sesuai dengan funsi dan wewenangnya masing-masing. Kepolisian bertugas melakukan penyidikan dan akan menghasilkan suatu out-put yang disebut dengan berita acara pemeriksaan (BAP). Kejaksaan berdasarkan BAP dari Kepolisian bertugas melakukan penuntutan dengan suatu surat dakwaan dan selanjutnya Pengadilan berdasarkan surat dakwaan dari Kejaksaan akan mengadili perkara kemudian menjatuhkan putusan. Lembaga Pemasyarakatan bertugas melakukan pembinaan terhadap nara pidana agar dapat kembali menjadi orang baik dalam masyarakat.
Pelaksanaan penegakan hukum pidana yang sangat menarik perhatian publik saat sekarang adalah mengadili perkara dan penjatuhan putusan   oleh Pengadilan. Putusan yang dijatuhkan Pengadilan kadang-kadang dianggap masyarakat jauh dari rasa keadilan. Bahkan tidak jarang setelah putusan diucapkan, masyarakat mencari-cari kesalahan materi putusan/pertimbangan putusan atau legal reasoning dari putusan tersebut. Ada juga pihak-pihak yang berperkara yang tidak setuju dengan bunyi putusan minta supaya hakim yang memutus perkara dilaporkan ke Komisi Yudisial karena kesalahan dalam proses pelaksanaan persidangan dan dalam memutus perkara. Kesalahan tersebut sebenarnya menurut ketentuan hukum acara, bagi pihak yang tidak menerima putusan karena dirasa tidak adil, dapat mengajukan upaya hukum ke Pengadilan yang lebih tinggi seperti banding ke Pengadilan Tinggi atau kasasi ke Mahkamah Agung.
Sesungguhnya pengambilan putusan dalam perkara pidana di Pengadilan dilakukan oleh hakim yang independen melalui suatu proses persidangan. Proses tersebut ikut andil dalam menentukan bagaimana putusan yang akan dijatuhkan. Sebaliknya putusan yang dirasakan adil oleh masyarakat sangat tergantung juga dari proses persidangan yang adil, taransparan dan dapat dipertanggungjawabkan.

4.      Kelemahan dalam pelaksanaan sistim peradilan pidana di Indonesia
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981, tentang Hukum Acara Pidana, atau kemudian dikenal dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) genap berusia 32 tahun sejak tanggal 31 Desember 2013 yang lalu. Dalam usia hampir setengah abad ini, terungkap berbagai kelemahan dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana (criminal justice system) di Indonesia. Karena KUHAP yang secara normatif merupakan pijakan hukum pelaksaan sistem peradilan pidana, tidak dapat lagi dianggap sebagai karya agung bangsa Indonesia.
Kelemahan itu, di antaranya ketidakseimbangan hak antara hak-hak tersangka/terdakwa dengan hak-hak korban, sehingga berakibat lemahnya posisi korban. Hal ini akan memperlebar disparitas kebijakan pidana terhadap tersangka/terdakwa dan korban.
Kenyataan lain yang harus dihadapi KUHAP, bahwa komponen yang bekerja di dalam sistem peradilan pidana di negara hukum ini, adalah institusi negara yang telah tercoreng kewibawaannya. Mulai insitusi kepolisian, kejaksaan sampai kehakiman, terlibat dalam pratik penyalahgunaan kekuasaan, maupun berbagai jenis tindak pidana.
Realitas ini menunjukkan sistem peradilan pidana di Indonesia gagal mentrasformasikan “pendidikan hukum” bagi pencari keadilan. Padahal melalui trans-fomasi pendidikan ini, tidak saja membebaskan masyarakat dari keterbelakang-an. Akan meningkatkan pula kepercayaan para pencari keadilan terhadap insti-tusi penegak hukum, sehingga dengan sendirinya menepis berbagai ungkapan sinis masyarakat terhadap polisi, jaksa, hakim dan advokat.
Sebagaimana terungkap di Surabaya, selama tahun 2007 ada tiga kasus tindak pidana korupsi yang diputus bebas. Sementara hakim dan jaksa yang menangani kasus-kasus itu, saling tuding dan membela diri (Catatan Akhir Tahun, Surya, 24 Desember 2007).
Fenomena kegagalan transformasi pendidikan hukum ini, tidak menjadi alasan bagi masyarakat untuk berdiam diri. Justru bagi masyarakat, merosotnya fungsi hukum dan buruknya mental polisi, jaksa, hakim dan advokat merupakan “laboratorium hukum” untuk mengeksploitasi praktik-praktik tercela yang tersembunyi di balik meja polisi, jaksa, hakim maupun tas hitam sang advokat.
Seperti yang selama ini disuarakan berbagai lembaga swadaya masyarakat.,Termasuk hasil temuan pers di Surabaya, yang kemudian memaksa Pengadilan Tinggi Jawa Timur menjatuhkan sanksi terhadap hakim Budi Susilo SH, karena pelanggaran aturan sidang. Dan sanksi persidangan ulang kasus kepemilikan 100 butir ekstasi dan 18,7 gram sabu-sabu dengan hakim tunggal Budi Susilo SH di Pengadilan Negeri Surabaya (Surya, 28 Desember 2007).
Secuil borok kegagalan tersebut, bukan tidak mungkin dapat membangun kultur hitam dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana di Indonesia. Sejalan dengan kekhawatiran itu dan dalam upaya meningkatkan kembali kualitas fungsi hukum, sehingga terpenuhinya kepastian, kemanfaatan dan keadilan, maka sudah saatnya dilakukan rekonseptualisasi terhadap KUHAP.
Menawarkan gagasan tersebut, bukanlah jalan pintas untuk memberantas kultur hitam dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Sebab harus didukung political will pemerintah dan dilandasi kesadaran mereformasi akal pikir dan mental penegak hukum sebagai aparat negara. Rekonseptualisasi terhadap KUHAP, harus diikuti pula komitmen moral para penegak hukum. Jika tidak demikian, selain energi yang terbuang habis, sama halnya dengan melahirkan KUHAP sebagai macan ompong.
Kekhawatiran ini sangat beralasan. Oleh karena itu ketepatan dalam melakukan rekonseptualisasi KUHAP diharapkan mampu memformulasi tuntutan perubahan dan pembaharuan yang lebih transparan terhadap bekerjanya para penegak hukum. Mengingat potensi-potensi yang dimiliki masyarakat dalam membongkar praktik-praktik penyalahgunaan kekuasaan maupun praktik tercela lainnya, adalah aset yang kontributif bagi hukum pidana (KUHAP) untuk mencegah kemungkinan-kemungkinan praktik tercela lainnya. Sehingga pada gilirannya KUHAP dan sistem peradilan pidana tidak lagi potensial sebagai faktor viktimogen.
Harapan ini sejalan dengan konsep pemikiran Philipe Nonet dan Philip Selznick (1978), bahwa kemampuan memformalasikan tuntutan perubahan dan pembaharuan hukum, niscaya akan mendekatkan hukum tersebut tidak jauh dari kepentingan dan harapan masyarakat. Melalui model responsif law (hukum yang responsif) akan menempatkan KUHAP secara terbuka dan mampu melayani kebutuhan dan kepentingan sosial, tidak oleh pejabat, melainkan masyarakat.
Harapan ini tentu saja akan menggugah sensitifitas para penegak hukum ketika berinteraksi dan berinterelasi dengan masyarakat di sekitarnya. Artinya, apakah hati nurani para penegak hukum ini dapat memaknai setiap masalah sosial yang ada, mampu menghadapi beragam tekanan, baik di dalam, maupun di luar sistem peradilan pidana itu sendiri, dengan berbagai aspek dan kepentingan yang berbeda.
Mengingat dalam pandangan masyarakat global, keadilan yang substansial tidak selamanya diperoleh di pengadilan. Dan pengadilan bukan satu-satunya ruang untuk mencari dan mendapatkan keadilan yang substansial. Karena keadilan yang substansial itu, bukan sesuatu yang jatuh dengan sendirinya dari langit. Tetapi hasil konstruksi sosial antara sistem peradilan pidana itu sendiri dengan sistem sosial masyarakat.
Sebagaimana diungkapan oleh Marc Galanter dalam karyanya yangmonumental justice in many rooms (Mauro Cappeletti, l981), selama ini kekuatan formallah yang telah menempatkan pengadilan sebagai simbol keadilan. Akibat-nya tertutuplah partisipasi masyarakat untuk mewujudkan keadilan yang substansial. Padahal keadilan itu sendiri dapat dicari dan ditemukan di institusi formal maupun non formal, termasuk di warung-warung pinggir jalan.
Inilah persolan lain yang akan dihadapi dalam rangka rekonseptualisasi terhadap KUHAP. Artinya apakah ketepatan melakukan formulasi tuntutan per-ubahan dan pembaharuan, diikuti pula dengan kemauan aparat penegak hukum untuk merubah paradigma berpikir yang kaku atau rigid dengan paradigma berpikir yang dianut oleh masyarakat global. Sebab di dalam masyarakat global interaksi dan interelasi antara masyarakat nasional dengan individu, serta sistem masyarakat dunia dengan nilai-nilai kemanusiaan, lebih bersifat dinamis.
Ini berarti bagaimana Indonesia menempatkan KUHAP dan sistem per-adilan pidananya di tengah-tengah peta global? Dan bagaimana KUHAP dapat menjalankan perannya dalam sistem hukum internasional? Mengingat dinamika masyarakat akan selalu memperdebatkan di mana tempat negara dalam hukum maupun tempat hukum dalam masyarakat.
Dan pada akhirnya rekonseptualisasi terhadap KUHAP, tidak harus berseberangan dengan adagium hominum causa jus constitutum  atau hukum diciptakan demi kesejahteraan manusia.

Comments

Popular posts from this blog

HADITS-HADITS AHKAM TENTANG JUAL BELI (SALE AND PURCHASE)

SHUNDUQ HIFZI IDA’ (SAFE DEPOSIT BOX) BANK SYARI’AH

STUDI TENTANG PEMIKIRAN IMAM AL-SYAUKANI DALAM KITAB IRSYAD AL-FUHUL