TINDAK PIDANA KORUPSI



PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Oleh
Nur Moklis 

1.      Kebijakan formulasi pemberantasan tindak pidana korupsi
Formulasi merupakan kebijakan membentuk suatu Peraturan perundang-undangan dalam upaya pemerintah memeberantas segala tindak pidana, terutama yang berhubungan dengan sendi-sendi ekonomi yaitu tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang. Pada era reformasi munculnya berbagai produk peraturan perundang-undangan yang bertujuan memperbaharui baik aspek substansi dan lembaga penegaknya. Tindak Pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang merupakan masalah besar yang menjadi sorotan masyarakat luas, dan menyangkut tidak hanya masyarakat nasional namun jug aberpengaruh pada masyarakat Internasional, dan termasuk dama kejahatan luar biasa atau Extra ordinari Crime. Tentunya pula digunakan tindakan-tindakan yan gextra pula dan menangani dan memecahkan masalah tersebut. Keterkaitan erat antara korupsi dengan sendi-sendi ekonomi kejahatan ini merupakan kejahatan yang sudah terorganisisr, dan selain itu juga tindak pidan pencucian uang.
Upaya penangulangan melalaui kebijakan peraturan perundang-undangan dan penegakan hukum pidana. Dalam menaggulangi melalui UU kebijakan peraturan perundang-undangan munculah No. 31 tahun 1999 dan UU No. 20 tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi dan UU No. 8 tahun 2010 tentang  tindak pidana pencucian uang . namunn tetap saja kejahatan atau tindakpidana korupsi maupun tindak pidana pencucia una gsemakin marah dilakaukan oleh para elit poitik dan pejabat negara.
Upaya paling efektif dalam menaggulangi tindak pidana ,khususnya tindak pidana Korupsi dan tindak pidana pencucian uang adalah:
a.        Upaya pencegahan melalui tahap penyusunan perancangan kebijakan hukum nasional yaitu dengan menegaskan secara budaya dan pendidikan ilmu hukum
b.       Pembenahan melalau iupaya kebijakan hukum pidana terus untuk dibenahi, pembenahan dari aparat penegak hukum dan pejabat dan elit politik yang berintegritas tinggi dan moral mulia.
c.        Diperketat sanksi bagi siapapn yang melanggar tidak memandang aparat maupu pejabata maupun elit politik yang melakuakn tindak pidana korupsi maupun tindak pidana pencucian uang.
d.       Mengefektifkan yang terkait dengan upaya pencegahan tindak pidana korupsi maupun tindak pidana pencucian uang dengan hukum positif kepada aparat pengeak hukum dan pemegang jabatan publik.
e.        Melakukan evaluasi dan revisi terhadap semua kelemahan dari berbagai sistem penegakan hukum dibidang pemberatansan Tindak pIdana korupsi maupun tindak pidana pencucian uang.
f.        Mencantumkan kualifikasi delik serta memeebrikan pengertian atau batasan yuridis mengenai pemfukatan jahat.
g.       Perlunya upaya non penal untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang.
Mengenai kerugian negara yang terjadi setelah adanya tindak pidana korupsi maupun tindak pidan pencucuian uang. Kerugian negara yang berasal dari dana APBD dan APBN. Dalam praktek terjadi dalam putusan pengadilan bahwa terdakwa diputus dengan ringan hany abeberapa tahun saja dan mengenai kerugian negara yang berkisar beberapa ratus juta bisa diganti dengan pidana pengganti dengan pidana kurungan atau penjara, apabila terdakw atidak dapat memebayar sesuai jangka waktu yang ditentukan. Dan dalam hal ini denada dapat diganti dengan pidana kurungan atau pun penjara. Dalam hal ini timbul banyak kelemahan, yang pertama pidana kurungan pengganti hanya sebatas memenuhi lembaga pemasyarakatan saja bukan untuk mengembalikan uang rakyat yang seharusnya dapat untuk membangung infrastrukutur yang telah direncanakan. Yang kedua tidak kembalinya uang rakyat yang telah dimakan oleh para koruptor, seharusnya kerugian negara yang timbul diganti dengan perampasan segala harta kekayaan yang dimilki pelaku guna menutup segala kerugian negara yang ditimbulkan, dan apabial masih kurang baru sisa denda yang tidak dapat dibayarkan baru digunakan pidana kurungan pengganti.
Kebijakan formulasi hukum pidana dalam upaya menanggulangi tindak pidana korupsi saat ini di fokuskan terhadap dua (2) hal yaitu bagaimana kebijakan formulasi dalam tindak pidana korupsi dalam peundang – undangan yang berlaku saat ini dan yang akan datang. Sesungguhnya kebijakan tersebut mengalami berbagai perubahan yang mana dijelaskan korupsi yang cepat perkembangan korupsi dalam lingkup penyelewengan dan suap telah begitu menguasai setiap sendi kehidupan masyarakat yang pada akhirnya setiap masyarakat dihadapkan pada kesulitan manakala berhadapan pada para pejabat negara yang seharusnya dapat melayani setiap kebutuhan masyarakat tanpa harus membayar pada pejabat tersebut.
Berikut perundang – undangan mengenai pemberantasan tindak korupsi:
1.      Undang – undang No 3 tahun 1971
2.      Undang – undang No 31 tahun 1999
3.      Undang – undang No 20 tahun 2001
Dan tindak pidana yang berhubungan dengan tindak pidana korupsi:
1.      Undang – undang No 11 tahun 1980 (suap)
2.      Undang – undang No 10 tahun 1998 (perbankan)
3.      Undnag – undang No 25 tahun 2007 (pencucian uang)
Kebijakan formulasi yang akan datang sebenarnya telah diupayakan yaitu penyusunan dalam RUU pemberantasan tindak pidana korupsi (naskah bulan agustus 2008). Konsep RUU ini menunjuk pada konvensi UNCAL 2003 hal mana ditegaskan dalam konsideransi yang menyatakan: “Bahwa dengan telah diratifikasikannya United Nation Convention Corruption 2003 (Konferensi PBB Anti Korupsi 2003) dengan Undang – undang No 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 tersebut.”
Kesimpulan:
Kebijakan formulasi hukum pidana khususnya mengenai formulasi tindak pidana korupsi memiliki sejumlah kelemahan mendasar yaitu:
1.      Kebijakan hukum pidana dalam hal tindak pidana korupsi yang berlaku saat ini tidak mencantumkan kualitas delik apakah sebagai pelanggaran atau kejahatan.
2.      Tidak memberikan pengertian atau batasan – batasan yuridis mengenai penanggulangan tindak pidana ( Recidive).
3.      Tidak adanya pedoman mengenai ketentuan pidana minimal khusus dan pengganti denda untuk korporasi sehingga menimbulkan persoalan keadilan.
Seharusnya berdasarkan kesimpulan diatas, dilakukan pembaharuan kebijakan formulasi yaitu dengan:
a)      Mencantumkan kualifikasi delik serta memberikan pengertian atau batasan yuridis mengenai pemufakata jahat dan penanggulangan tindak pidana.
b)      Rumusan tindak pidana korupssi tetap menekankan pada unsur merugikan keuangan atau perekonomian negara.
c)      Mencantumkan pemberatan pidana dalam lingkup suap dan dalam jabatan.
d)     Menjadikan tindak pidana pencucian uang sebagai tindak pidana korupsi.
e)      Sebaiknya konsep KUHP 2006 – 2008 dijadikan sebagai kebijakan hukum pidana dalam hal penanggulangan tindak pidana korupsi.

2.      Penyimpangan yang terdapat pada undang undang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagai lex specialis
Sebelum menguraiakan penyimpangan yang terdapat pada undang undang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagai lex specialis alangkah baiknya sekedar diketahui bahwa tindak pidana korupsi disebut juga sebagai extraordinary crime yang sangat merugikan keuangan dan perekonomian negara serta pelaksanaan pembangunan nasional. Berbagai usaha telah dilakukan untuk mengatasi tindak pidana korupsi. Salah satu usaha tersebut adalah dengan dikeluarkannya berbagai peraturan perundang-undangan antikorupsi (undang-undang khusus).
Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana khsusus  yang diatur dalam undang-undang hukum pidana yang khusus, yaitu undang-undang No. 31 tahun 1999 kemudian diubah menjadi Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Nomor 20 Tahun 2001). Ciri-ciri hukum pidana khusus, terutama, yaitu menyimpang dari asas-asas yang diatur dalam undang-undang hukum pidana umum. Hukum pidana umum dibagi dua, yaitu formil dan materil. Sehingga hukum pidana khusus dapat memiliki dua macam penyimpangan, yaitu penyimpangan secara formil dan materil. Hukum pidana umum dari sudut materil mengenai tindak pidana korupsi diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dan, peraturan umum dari sudut formil mengenai tindak pidana korupsi diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam hal ini maka berlaku adagium lex specialis derogat legi generalis (ketentuan khusus menyingkirkan ketentuan umum).
Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (UU No. 3 Tahun 1971, UU No. 31 Tahun 1999, dan UU No. 20 Tahun 2001) merupakan undang-undang hukum pidana khusus. Ciri-ciri hukum pidana khusus, antara lain:
a.       Memuat satu jenis tindak pidana, dalam hal ini adalah tindak pidana khusus
b.      Mengatur tidak saja hukum pidana materil tetapi juga sekaligus hukum pidana formil.
c.       Terdapat penyimpangan asas.
KUHP telah mengatur tentang berapa perbuatan yang merupakan korupsi. Namun pengaturan tentang tindak pidana korupsi yang ada dalam KUHP dipandang tidak cukup efektif, oleh karena itu lahirlah Peraturan Pemberantasan Korupsi Penguasa Perang Pusat Nomor Prt/Peperu/013/1958, kemudian Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Nomor 3 Tahun 1971) yang lahir dari perbaikan Undang-undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi (UU Nomor 24 Tahun 1960), yang kesemuanya  merupakan salah satu wujud dari usaha tersebut.
Semangat reformasi tahun 1998 mendorong  perbaikan di segala bidang, juga salah satunya adalah undang-undang antikorupsi. Dimulai dengan dikeluarkannya Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Nomor 31 Tahun 1999) yang menggantikan UU Nomor 3 Tahun 1971. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 kemudian diubah menjadi Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Nomor 20 Tahun 2001untuk lebih menciptakan perbaikan tersebut.
Dalam sistem hukum yang berlaku di Indonesia, perangkat normatif hukum pidana tersebut selain dikodifikasi dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), juga terdapat dalam berbagai peraturan perundangundangan yang berlaku sebagai hukum positif. Salah satu undang-undang yang tidak terkodifikasi dalam KUHP adalah Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian dilakukan perubahan melalui Undang-undang Nomor 20 tahun 2001.  Kata kunci untuk hal ini ialah Pasal 103 KUHP yang mengatakan bahwa ketentuan umum KUHP, kecuali Bab IX (intepretasi istilah) berlaku juga terhadap perbuatan yang menurut undang-undang dan peraturan laindiancam dengan pidana, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Maksudnya ialah Pasal 1 sampai dengan 85 Buku I KUHP tentang Ketentuan Umum berlaku juga bagi perbuatan yang diancam dengan pidana berdasarkan undang-undang atau peraturan lain diluar KUHP, kecuali undang-undang  atau peraturan itu menyimpang. Sedangkan untuk hukum pidana formil, kemungkinan dilakukannya penyimpangan dari apa yang telah diatur dalam KUHAP, dapat ditemukan dalam Pasal 284 KUHAP jo bagian penjelasan.
3.      Pada undang undang pemberantasan tindak pidana korupsi terdapat pengaturan tentang “gratifikasi”.  "gratifikasi merupakan tindak pidana korupsi?"
Pengertian gratifikasi terdapat pada Penjelasan Pasal 12B Ayat (1) UU No.31 Tahun 1999 juncto UU No.20 Tahun 2001, bahwa : "Yang dimaksud dengan "gratifikasi" dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjawalan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik."
Apabila dicermati penjelasan pasal 12B ayat (1) tersebut, kalimat yang termasuk definisi gratifikasi adalah sebatas kalimat : pemberian dalam arti luas, sedangkan kalimat setelah itu merupakan bentuk-bentuk gratifikasi. Dari penjelasan pasal 12B Ayat (1) juga dapat dilihat bahwa pengertian gratifikasi mempunya makna yang netral, artinya tidak terdapat makna tercela atau negatif. Apabila penjelasan ini dihubungkan dengan rumusan padal 12B dapat dipahami bahwa tidak semua gratifikasi itu bertentangan dengan hukum, melainkan hanya gratifikasi yang memenuhi kriteria pada unsur 12B saja.
Untuk mengetahui kapan gratifikasi menjadi kejahatan korupsi, perlu dilihat rumusan Pasal 12B ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 juncto UU No. 20 Tahun 2001. "Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut...".
Jika dilihat dari rumusan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa gratifikasi atau pemberian hadiah berubah menjadi suatu yang perbuatan pidana suap khususnya pada seorang Penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri adalah pada saat Penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri tersebut melakukan tindakan menerima suatu gratifikasi atau pemberian hadiah dari pihak manapun sepanjang pemberian tersebut diberikan berhubungan dengan jabatan atau pekerjaannya. 
Salah satu kebiasaan yang berlaku umum di masyarakat adalah pemberian tanda terima kasih atas jasa yang telah diberikan oleh petugas, baik dalam bentuk barang atau bahkan uang. Hal ini dapat menjadi suatu kebiasaan yang bersifat negatif dan dapat mengarah menjadi potensi perbuatan korupsi di kemudian hari. Potensi korupsi inilah yang berusaha dicegah oleh peraturan UU. Oleh karena itu, berapapun nilai gratifikasi yang diterima Penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri, bila pemberian itu patut diduga berkaitan dengan jabatan/kewenangan yang dimiliki, maka sebaiknya Penyelenggara Negara/Pegawai Negeri tersebut segera melapor ke KPK untuk dianalisa lebih lanjut.
Pada umumnya tidak semua pemberian adalah gratifikasi, batas minimal suatu pemberian dapat dikategorikan gratifikasi jika bernilai minimal Rp.1.000.000-,. Khusus dibawah lembaga mahkamah agung jika bernilai Rp.500.000-,. Dan semua gratifikasi adalah merupakan kategori tindak pidana korupsi.

4.      KPK merupakan lembaga khusus yang diharapkan dapat memberantas tindak pidana korupsi secara efektif. keberadaan KPK tidak tumpang tindih dengan fungsi dan tugas  kepolisian dan kejaksaan sebagai penyidik dan penuntut umum dalam sistim peradilan pidana?
Menurut pendapat saya perlu dilakukan evaluasi yang menyeluruh terkait keberadaan aparat penegak hokum baik KPK, kepolisian dan Kejaksaan. Memang hal tersebut Nampak tumpang tindih dalam tugas mereka. Tentunya hal ini diawali ketidak percayaan masyarakat terhadap lembaga penegakkan hokum yang dilakukan oleh kepolisian dan kejaksaan. Menurut pendapat saya, KPK diberi durasi waktu dalam menyelesaikan tindak pidana Extra Ordinery Crime ini, samapi sistim hokum dinyatakan memadai dalam menyelesaikan tindak pidana Extra Ordinery Crime. Selanjutnya setelah dibangun lembaga dengan sistimn yang kuat yaitu baik kepolisian, kejaksaan dan mahkamah agung, dalam satu pengawasan ekternal yaitu Komisi Yudisial serta axses public yang kuat sebagai lembaga control, sehingga kedepan tidak ada tumpang tindih dalam keberadaan KPK dengan fungsi dan tugas  kepolisian dan kejaksaan sebagai penyidik dan penuntut umum dalam sistim peradilan pidana.

 5.      Perbedaan antara majelis hakim tipikor dengan majelis hakim tindak pidana pada umumnya
Selama ini komposisi majelis hakim tipikor adalah dua hakim karier dan tiga hakim nonkarier. Sedangkan majelis hakim tindak pidana pada umumnya tidak ditentukan secara husus.

Comments

Popular posts from this blog

ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERDATA DAN PENERAPANNYA DI PENGADILAN AGAMA (SESI KE-1)

STUDI TENTANG PEMIKIRAN IMAM AL-SYAUKANI DALAM KITAB IRSYAD AL-FUHUL

HADITS-HADITS AHKAM TENTANG JUAL BELI (SALE AND PURCHASE)