TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
oleh;
Nur Moklis
1. Formulasi kebijakan tindak pidana pencucian uang
Tidak ada atau belum ada definisi yang
universal dan komprehensif mengenai apa yang dimaksud dengan pencucian uang
atau money laundering. Pihak penuntut dan lembaga penyidikan kejahatan,
kalangan pengusaha dan perusahaan, negara-negara yang telah maju dan
negara-negara dari dunia ketiga (sebagaimana ternyata dari undang-undang
tentang pencucian uang negara-negara itu), dan lembaga-lembaga international
masing-masing mempunyai definisi sendiri berdasarkan prioritas dan perspektif
yang berbeda. Dari beberapa definisi dan penjelasan mengenai apa yang dimaksud
dengan money laundering, dapat disimpulkan bahwa Pencucian Uang atau money
laundering adalah rangkaian kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh
seseorang atau organisasi terhadap uang haram, yaitu uang yang berasal dari
tindak pidana, dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul
uang tersebut dari pemerintah atau otoritas yang berwenang melakukan penindakan
terhadap tindak pidana, dengan cara antara lain dan terutama memasukkan uang
tersebut ke dalam sistem keuangan (financial system) sehingga uang tersebut
kemudian dapat dikeluarkan dari sistem keuangan itu sebagai uang halal. Secara
sederhana, proses pencucian uang dapat dikelompokkan pada tiga kegiatan yakni
placement, layering dan integration.
a.
Placement merupakan fase menempatkan uang yang
dihasilkan dari suatu aktivitas kejahatan misalnya dengan pemecahan sejumlah
besar uang tunai menjadi jumlah kecil yang tidak mencolok untuk ditempatkan
dalam sistem keuangan baik dengan menggunakan rekening simpanan bank, atau
dipergunakan untuk membeli sejumlah instrumen keuangan (cheques, money orders)
yang akan ditagihkan dan selanjutnya didepositokan di rekening bank yang berada
di lokasi lain. Placement dapat dilakukan dengan pergerakan fisik dari uang
tunai baik melalui penyelundupan uang tunai dari suatu negara ke negara lain,
dan menggabungkan antara uang tunai yang berasal dari kejahatan dengan uang
yang diperoleh dari hasil kegiatan yang sah. Proses placement ini merupakan
titik paling lemah dari perbuatan pencucian uang.
b.
Layering, diartikan sebagai memisahkan hasil
tindak pidana dari sumbernya yaitu aktivitas kejahatan yang terkait melalui
beberapa tahapan transaksi keuangan. Dalam hal ini terdapat proses pemindahan
dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil placement ke
tempat lainnya melalui serangkaian transaksi yang kompleks yang didesain untuk
menyamarkan atau menyembunyikan sumber uang haram tersebut. Layering dapat pula
dilakukan melalui pembukaan sebanyak mungkin ke rekening-rekening perusahaan
fiktif dengan memanfaatkan ketentuan rahasia bank.
c.
Integration, yaitu upaya untuk menetapkan suatu
landasan sebagai suatu legitimate explanation bagi hasil kejahatan. Di sini
uang yang dicuci melalui placement maupun layering dialihkan ke dalam
kegiatan-kegiatan resmi sehingga tampak tidak berhubungan sama sekali dengan
aktivitas kejahatan sebelumnya yang menjadi sumber dari uang yang di laundry.
Pada tahap ini uang yang telah dicuci dimasukkan kembali ke dalam sirkulasi
dengan bentuk yang sejalan dengan aturan hukum. Proses integration ini terjadi
apabila proses layering berhasil dengan baik.
Objek pencucian uang semula ditujukan kepada
perdagangan narkoba (drug trafficking) dan kejahatan keuangan yaitu
kecurangan berkaitan dengan kecurangan bank (bank fraud), antara lain
berkaitan dengan kartu kredit (credit card fraud), investasi (investment
fraud), pembayaran uang dimuka (advance fee fraud, penggelapan (embezzlement).
Adapun tentang kebijakan formulasi tindak pidana pencucian uang dapat terlihat
telah diundangkannya Undang Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
2.
Penyimpangan yang terdapat pada undang undang tindak
pidana pencucian uang sebagai “lex specialis”
Sebelum
menyajikan penyimpangan yang terdapat dalam undang undang tindak pidana
pencucian uang, bahwa DPR telah mengesahkan Undang-Undang No 8 Tahun 2010
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU PPTPPU).
UU ini merupakan perubahan kedua untuk mencegah dan memberantas tindak pidana
pencucian uang di Indonesia. Setiap undang-undang baru tentu perlu dikritisi
dalam konteks situasi Indonesia yang jauh lebih berarti dibandingkan dari
perspektif internasional. Dalam UU PPTPPU, terdapat beberapa ketentuan baru
yang perlu mendapat perhatian para pemangku kepentingan seperti pengusaha dan
kalangan perbankan. Ketentuan baru tersebut berbeda dengan UU lama (UU No 15
Tahun 2002 yang diubah dengan UU No 25 Tahun 2003).
Perbedaannya
pertama adalah titel UU. UU lama secara teoretis hukum (doktrin) merupakan lex
spesialis systematic, yaitu UU administratif (bersifat regulatif) yang
diperkuat dengan sanksi pidana. Adapun dengan titel baru (UU PPTPPU), secara
teoretis (doktrin) mencerminkan UU pidana khusus (lex specialis) yang bersifat
preventive measure dan repressive measures dalam satu paket. Konsekuensi
perubahan titel adalah UU PPTPPU menempatkan TPPU sebagai tindak pidana khusus
sehingga memerlukan perhatian, sikap, dan tindakan khusus dengan tujuan
menghilangkan sumber dan operasional pencucian uang di Indonesia.
Perbedaan
kedua, akibat dari perbedaan pertama, UU PPTPPU 2010 telah dengan sangat berani
mendelegasikan wewenang publik (bersifat projustitia) kepada sektor privat,
yaitu Lembaga Penyedia Jasa Keuangan (LPJK), termasuk perbankan, untuk
melaksanakan “penundaan transaksi” (suspension of transaction) terhadap
seseorang nasabah untuk paling lama 5 (lima) hari. Perubahan ketiga, UU PPTPPU
telah memberikan wewenang kepada penyidik tindak pidana asal (lazimnya penyidik
pegawai negeri sipil/PPNS ) di bawah koordinasi PPATK untuk melakukan
penyidikan TPPU yang berkaitan dengan tindak pidana asalnya (misalnya tindak
pidana pabean, imigrasi).
Pemberian
wewenang terhadap penyidik tindak pidana asal (PPNS) sudah tentu akan
merepotkan dunia usaha, terutama yang bergerak di bidang ekspor dan impor,
karena mereka akan berhadapan dengan petugas kepabeanan dan perpajakan selain
Polri, Kejaksaan, KPK, dan BNN. Perubahan keempat UU PPTPPU adalah ketentuan
tentang rahasia bank dalam hal terdapat “transaksi keuangan yang mencurigakan”
dapat dikesampingkan, bahkan sejak proses penyidikan sampai pemeriksaan di muka
sidang pengadilan.
Pembukaan
rekening bank seseorang yang dicurigai memiliki transaksi keuangan tersebut
merupakan mandatory obligation, tidak dapat ditolak oleh lembaga penyedia jasa
keuangan maupun oleh nasabah yang bersangkutan. Perubahan kelima, UU PPTPPU
memberikan wewenang kepada PPATK untuk melakukan tindakan penghentian sementara
transaksi selama 5 hari dan dapat diperpanjang sampai dengan 15 hari. Jadi
total waktu di mana seseorang (yang dicurigai) tidak dapat melakukan transaksinya
adalah 25 (dua puluh lima) hari. Perubahan keenam, perintah pemblokiran
rekening tersangka/terdakwa dibatasi lamanya sampai dengan 30 (tiga puluh) hari
sehingga total waktu penundaan, penghentian sementara transaksi sampai pada
pemblokiran, adalah 55 (lima puluh lima) hari.
Ketentuan
UU PPTPPU tidak jelas membedakan konsekuensi hukum antara tindakan penundaan
transaksi, penghentian sementara, dan pemblokiran kecuali hanya mengatur siapa
yang berwenang dan berapa lamanya, sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan
prinsip due process of law dan transparansi serta akuntabilitas tidak diatur
secara terperinci sehingga tidak ada due diligence of power terhadap kinerja
lembaga terkait indikasi pencucian uang. Perubahan ketujuh, UU PPTPPU
memberikan wewenang kepada PPATK untuk meminta keterangan kepada pihak pelapor
(LPJK) dan pihak lain terkait dugaan TPPU.
Ketentuan
ini mencerminkan perubahan fungsi PPATK dari fungsi administratif kepada fungsi
penegakan hukum sehingga dapat dikatakan bahwa lembaga PPATK bukan hanya
supporting unit terhadap Polri dan kejaksaan, melainkan telah merupakan bagian
atau lembaga tersendiri dalam sistem peradilan pidana (penegakan hukum) di
Indonesia. Dari perspektif mikro pencegahan dan pemberantasan TPPU, UU No 8
Tahun 2010 ini telah menggambarkan kemajuan pesat dan komitmen politik
pemerintah Indonesia dalam ikut serta melaksanakan ketertiban dan keamanan
internasional khusus dari tindak pidana ini. Namun, dalam perspektif makro
sistem ekonomi nasional dan langkah pemerintah untuk meningkatkan investasi
domestik, terutama dari investor asing, keberadaan UU ini bisa menjadi
kontraproduktif.
Ada
beberapa faktor penyebab dari masalah kontra produktif ini. Pertama, sistem
birokrasi di Indonesia sangat lemah dalam segi manajemen administrasi,
koordinasi, dan pengawasan pelaksanaan tugas yang dibebankan oleh
undang-undang. Kedua, sistem birokrasi di Indonesia masih sangat lemah dari
sisi profesionalisme, integritas, dan akuntabilitas sehingga potensial muncul
penyalahgunaan wewenang serta korupsi, kolusi, dan nepotisme. Ketiga, UU ini
tidak menyediakan sarana hukum yang memadai untuk melakukan pencegahan terhadap
kemungkinan moral hazard yang akan terjadi dalam implementasi UU ini.
Keempat,
sistem birokrasi di Indonesia tidak berhasil dan tidak pernah berhasil
menggunakan prinsip stick and carrot dan merrit sytem yang benar dalam langkah
reformasi birokrasi sejak 1998 yang lampau. Kelima, Indonesia merupakan tempat
strategis dalam peta politik global baik dari aspek ekonomi internasional,
politik internasional dan keamanan maupun pertahanan regional. Ketiga aspek
tersebut memerlukan kekuatan ekonomi nasional dan penegakan hukum yang
konsisten dan berkesinambungan serta kewaspadaan nasional yang tinggi dari para
pengambil kebijakan.
Perubahan-perubahan
dan sekaligus kelemahan dari UU PPTPPU 2010 di atas merupakan stumbling block
yang akan kontraproduktif dari ketiga aspek tersebut jika tidak segera
dikeluarkan peraturan pemerintah atau sekurang-kurangnya peraturan Kepala PPATK
untuk mengantisipasi kemungkinan moral hazards dalam implementasi UU tersebut.
Solusi ini semakin penting mengingat iklim dunia usaha di Indonesia sampai saat
ini belum menunjukkan kesungguhan menciptakan good corporate governance,
persaingan usaha tidak sehat atau rentan terjadi suap di sektor publik seperti
diatur dalam Konvensi PBB Antikorupsi Tahun 2003.
Kekhawatiran
ini juga mengajak kita semua merenungkan pernyataan Joseph E Stiglitz (2003;
2006), Gelinas (2003), dan Falk (20032) serta sudah diperingatkan oleh ahli
ekonomi Indonesia terkemuka bahwa globalisasi sebagai ideologi masyarakat
internasional dewasa ini tidak memberikan kemakmuran yang sama antara negara
maju, khususnya pengusung konsep globalisasi,dan negara berkembang.
3.
Proses “pencucian uang” (money loundering”)
Sebelum
menjawabnya terlebih dahulu perlu
sekedar di mengerti bahwa dalam:
a)
Pasal 1 ayat 1 UU No 25 tahun
2003 berbunyi: Pencucian uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer,
membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa
keluar negeri, menukarkan , atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang
diketahuinya atau diduga (seharusnya “patut diduga”) merupakan hasil tindak
pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul harta
kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.
b)
Pencucian uang atau money laundering adalah
rangkaian kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang atau
organisasi terhadap uang haram , yaitu uang dimaksud untuk menyembunyikan atau
menyamarkan asal-usul uang tersebut dari pemerintah atau otoritas yang
berwenang melakukan penindakan terhadap tindak pidana , dengan cara antara lain
dan terutama memasukan uang tersebut kedalam keuangan (financial system) sehingga
uang tersebut kemudian dapat dikeluarkan dari system keuangan itu sebagai uang
yang halal
Tahap-tahap
proses pencucian uang adalah sebagai berikut:
a) Placement :
Tahap pertama dari pencucian uang adalah menempatkan (mendepositokan) uang
haram tersebut ke dalam system keuangan (financial system). Pada tahap
placement tersebut, bentuk dari uang hasil kejahatan harus dikonversi untuk
menyembunyikan asal-usul yang tidak sah dari uang itu. Misal, hasil dari
perdagangan narkoba uangnya terdiri atas uang-uang kecil dalam tumpukan besar
dan lebih berat dari narkobanya, lalu dikonversi ke dalam denominasi uang yang
lebih besar. Lalu di depositokan kedalam rekerning bank, dan dibelikan ke
instrument-instrumen moneter seperti cheques, money orders dll
b) Layering :
Layering atau heavy soaping, dalam tahap ini pencuci berusaha untuk memutuskan
hubungan uang hasil kejahatan itu dari sumbernya, dengan cara memindahkan uang
tersebut dari satu bank ke bank lain, hingga beberapa kali. Dengan cara
memecah-mecah jumlahnya, dana tersebut dapat disalurkan melalui pembelian dan
penjualan investment instrument Mengirimkan dari perusahaan gadungan yang satu
ke perusahaan gadungan yang lain. Para pencuci uang juga melakukan dengan
mendirikan perusahaan fiktip, bisa membeli efek-efek atau alalt-alat
transfortasi seperti pesawat, alat-alat berat dengan atas nama orang lain.
c) Integration :
Integration adakalanya disebut spin dry dimana Uang dicuci dibawa kembali ke
dalam sirkulasi dalam bentuk pendapatan bersih bahkan merupakan objek pajak dengan
menggunakan uang yang telah menjadi halal untuk kegiatan bisnis melalui cara
dengan menginvestasikan dana tersebut kedalam real estate, barang mewah,
perusahaan-perusahaan
4.
KPK berwenang untuk menggunakan
UUTPPU dalam proses peradilan pidana?
Secara factual
telah kita saksikan bahwa KPK telah menggunakan undang undang pemberantasan
tindak pidana pencucian uang, meskipun dalam area wacana wasi diperdebatkan
kompetensi KPK karena dianggap telah mengambil alih wewenang kepolisian dan
kejaksaan. Terlepas dari semua debatebel tersebut, harusnya kedepan perlu
aturan jelas tentang siapa yang menggunakan wewenagn tersebut, KPK atau
Kepolisian dan Kejaksaan.
Comments
Post a Comment