TINDAK PIDANA KORUPSI DITINJAU DARI FILSAFAT HUKUM



TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA DITINJAU DARI FILSAFAT HUKUM:
 MADZHAB HUKUM KODRAT (THE THEORY OF NATURAL LAW) DAN MADZHAB POSITIVISME HUKUM (LEGAL POSITIVISME)
Oleh:
Nur Moklis

I.                   PENDAHULUAN
Masyarakat Indonesia, sebagian mengatakan korupsi telah membudaya di semua dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi sebagian berpendapat bahwa korupsi sudah sangat menghawatirkan namun hal tersebut belum pada taraf membudaya. Terlepas apapun pendapat masyarakat, mari kita devinisikan “kata korupsi” ini. Dalam kamus besar bahasa indonesia korupsi adalah kata benda yang berarti  penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Pada saat ini masyarakat indonesia banyak dipertontonkan “opera” tindak pidana korupsi oleh para pejabat publik, antara lain LHI (mantan presiden PKS), yang diduga kuat terkait korupsi impor daging sapi, AM (mantan Ketua MK) yang diduga kuat menerima suap terkait pemenangan perkara salah satu pihak dalam pemilukada, selain itu masih banyak lagi dugaan kasus korupsi yang membayangi banyak pejabat publik, baik dilegislatif, eksekutif maupun yudikatif, meskipun masih perlu penelusuran lebih lanjut oleh aparat penegak hukum.
Begitu banyaknya kasus penyelewengan dan penyalahgunaan wewenang oleh para pejabat negara di segala lini tentu membuat sebagian masyarakat pesimis tentang keberlangsungan eksistensi negara ini yang telah dibangun dengan susah payah oleh para pendiri republik tercinta. Namun sebagian masyarakat tetap pada optimisme yang tinggi dengan mencari akar masalah penyebab terjadinya tindak pidana korupsi tersebut.
Untuk menjelaskan tindak pidana korupsi ini, Penulis akan menganalisanya ditinjau dari sisi filsafat hukum. Sebagai gambaran umum, filsafat hukum dikenal pembagiannya dalam berbagai aliran atau mazhab, yang dikemukakan oleh beberapa orang sarjana, antara lain F.S.G. Northrop dan Lili Rasjidi.[1] Northrop membagi aliran atau madzhab filsafat hukum ke dalam 5 (lima) aliran, yaitu: (1) Legal Positivism, (2) Pragmatic Legal Realism, (3) Neo Kantian and Kelsenian Ethical Jurisprudence, (4) Functional Anthropological or Sociological Jurisprudence, (5) Naturalistic Jurisprudence.
Sedangkan Lili Rasjidi membagi aliran/madzhab filsafat hukum ke dalam 6 (enam) aliran besar, masing-masing: (1) Aliran Hukum Alam: yang terdiri dari dua kategori yaitu Irrasional, dan yang Rasional. (2) Aliran Hukum Positif ada dua, yaitu Analitis dan Murni. (3) Aliran Utilitarianisme. (4) Madzhab Sejarah. (5) Sociological Jurisprudence. (6) Pragmatic Legal Realism.
Selain kedua orang tokoh tersebut ada juga sarjana lain, yaitu Soehardjo Sastrosoehardjo yang membagi filsafat hukum ke dalam 9 (sembilan) aliran atau madzhab, yaitu:[2] (1) Aliran Hukum Kodrat/Hukum Alam. (2) Aliran Idealisme Transendental (Kantianisme). (3) Aliran Neo Kantianisme. (4) Aliran Sejarah. (5) Aliran Positivisme. (6) Aliran Ajaran Hukum Umum. (7) Aliran Sosiologi Hukum. (8) Aliran Realisme Hukum. (9) Aliran Hukum Bebas.
Ketiga sarjana tersebut dalam membagi-bagi aliran dalam filsafat hukum tidak sama, karena memang tergantung pada penafsiran masing-masing orang dalam memilah-milahkan aliran dalam filsafat hukum.
Dalam tulisan ini, penulis akan menggunakan dua landasan theory yaitu madzhab hukum kodrat (the theory of natural law) dan madzhab positivisme hukum (legal positivisme) untuk menganalisa tentang penyebab terjadinya tindak pidana korupsi yang saat ini masih sedemikian akut di negara Indonesia. Tulisan ini juga mengasumsikan bahwa ada yang salah dalam memahami korupsi di Indonesia yang disebabkan oleh penentuan metodologi pemaknaan / pendefinisian yang tidak tepat sehingga berbagai upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan di Indonesia hingga sekarang ini tetap tidak memuaskan.

II.                RUMUSAN MASALAH
Pertanyaan di bawah ini akan selalu aktual dalam perkembangan republik tercinta pasca bergulirnya era revormasi, dan semakin mendapat momentumnya pasca penangkapan AM (Ketua MK) yang diduga kuat menerima suap terkait pemenangan satu perkara di Mahkamh Konstitusi. Meskipun secara keseluruhan Negara Kesatuan Republik Iindonesia (NKRI) mengalami perkembangan yang baik dalam membangun demokrasi, stabilitas keamanan, pertumbuhan ekonomi yang mengembirakan, mampu terhindar dari krisis moneter jilid II tahun 2008 dan krisis moneter jilid III tahun 2012[3], namun disisi lain penegakkan supremasi hukum masih banyak kelemahan dengan indikasi masih banyaknya oknum-oknum tertentu yang masih melakukan penyelewengan atau penyalahgunaan kekuasaannya, sehingga dapat membahayakan eksistensi NKRI saat ini.
Pada telaah makalah ini penulis akan berusaha membedah tindak pidana korupsi dengan menggunakan filsafat hokum, kusunya dua teori madzhab hukum yang sangat populer yaitu madzhab hukum kodrat (the theory of natural law) dan madzhab positivisme hukum (legal positivisme) sehingga mampu mengekplanasi secara comprehensip sehingga mampu menentukan lingkup perbuatan yang “tepat” yang dapat disebut tindak pidana korupsi serta perbutan apa yang tidak termasuk korupsi.
Berawal dari kegelisahan akademik diatas maka, untuk mempertajam telaah makalah ini, penulis akan menitik beratkan pada pertanyaan mendasar yaitu: Apa hakekat tindak pidana korupsi? Perbuatan apa yang dianggap “korup” dan perbuatan apa yang dianggap tidak “korup”?.
Untuk memberikan deskripsi yang memadai maka, Penulis akan mengawali kajian ini dengan menganalisa tindak pidana korupsi dari Undang-Undang tipikor dibawah ini.

III.       PENGERTIAN KORUPSI DAN JENIS-JENISNYA
A.           Pengertian Korupsi
Banyak para ahli yang mencoba merumuskan pengertian korupsi, yang jika dilihat dari struktrur bahasa dan cara penyampaiannya yang berbeda, tetapi pada hakekatnya mempunyai makna yang sama. Kartono (1983) memberi batasan korupsi sebagi tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara. Jadi korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan wewenang dan kekuatankekuatan formal (misalnya dengan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri.
Korupsi terjadi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang dimiliki oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan pribadi atau keluarga, sanak saudara dan teman. Wertheim (dalam Lubis, 1970) menyatakan bahwa seorang pejabat dikatakan melakukan tindakan korupsi bila ia menerima hadiah dari seseorang yang bertujuan mempengaruhinya agar ia mengambil keputusan yang menguntungkan kepentingan si pemberi hadiah. Kadang-kadang orang yang menawarkan hadiah dalam bentuk balas jasa juga termasuk dalam korupsi. Selanjutnya, Wertheim menambahkan bahwa balas jasa dari pihak ketiga yang diterima atau diminta oleh seorang pejabat untuk diteruskan kepada keluarganya atau partainya/ kelompoknya atau orang-orang yang mempunyai hubungan pribadi dengannya, juga dapat dianggap sebagai korupsi. Dalam keadaan yang demikian, jelas bahwa ciri yang paling menonjol di dalam korupsi adalah tingkah laku pejabat yang melanggar azas pemisahan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan masyarakat, pemisaham keuangan pribadi dengan masyarakat.

B.     Jenis-Jenis Korupsi
Dalam  Undang-undang nomor 31 tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, tindak Pidana Korupsi dapat dilihat dari dua perspektif yang berbeda yaitu korupsi Aktif dan Korupsi Pasif[4]. Adapun yang dimaksud dengan Korupsi Aktif adalah sebagai berikut :
1)      Secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau Korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara (Pasal 2 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999)
2)      Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau Korporasi yang menyalahgunakan kewenangan,kesempatan atau dapat merugikan keuangan Negara,atau perekonomian Negara (Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999)
3)        Memberi hadiah Kepada Pegawai Negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya,atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut (Pasal 4 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999)
4)        Percobaan pembantuan,atau pemufakatan jahat untuk melakukan Tindak pidana Korupsi (Pasal 15 Undang-undang Nomor 20 tahun 2001)
5)        Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau Penyelenggara Negara dengan maksud supaya berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya (Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 20 tahun 2001)
6)        Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau Penyelenggara negara karena atau berhubung dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya (Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor 20 Tagun 2001)
7)        Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili (Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001)
8)         Pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan,melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang atau keselamatan negara dalam keadaan perang (Pasal (1) huruf a Undang-undang Nomor 20 tahun 2001)
9)        Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a (Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor 20 tahun 2001)
10)     Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara nasional Indonesia atau Kepolisian negara Reublik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang (Pasal 7 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 20 tahun 2001)
11)      Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara nasional indpnesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja mebiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c (pasal 7 ayat (1) huruf d Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001).
12)     Pegawai negeri atau selain pegawai negeri yyang di tugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau untuk sementara waktu,dengan sengaja menggelapkan uang atau mebiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut (Pasal 8 Undang-undang Nomor 20 tahun 2001).
13)     Pegawai negeri atau selain Pegawai Negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau sementara waktu,dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar khusus pemeriksaan administrasi (Pasal 9 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001).
14)    Pegawai negeri atau orang selain Pegawai Negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau untuk sementara waktu dengan sengaja menggelapkan menghancurkan,merusakkan,atau mebuat tidak dapat dipakai barang,akta,surat atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang yang dikuasai karena jabatannya atau membiarkan orang lain menghilangkan,menghancurkan,merusakkan,attau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat atau daftar tersebut (Pasal 10 Undang-undang Nomor 20 tahun 2001).
15)    Pegawai negeri atau Penyelenggara Negara yang :
a.       Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu atau menerima pembayaran dengan potongan atau mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri (pasal 12 e undang-undang Nomor 20 tahun 2001)
b.         Pada waktu menjalankan tugas meminta,menerima atau memotong pembayaran kepada pegawai Negeri atau Penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai hutang kepadanya.padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan mrupakan hutang (huruf f)
c.         Pada waktu menjalankan tugas meminta atau menerima pekerjaan atau penyerahan barang seplah-olah merupakan hutang pada dirinya,padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan hutang (huruf g)
d.    Pada waktu menjalankan tugas telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai,seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan,telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan,pengadaan,atau persewaan yang pada saat dilakukan perbuatan,untuk seluruhnya atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya (huruf i)
16)  Memberi hadiah kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya,atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan itu (Pasal 13 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999).
Adapun berikutnya adalah yang termasuk dalam kategori Korupsi Pasif adalah sebagai berikut :
a.       Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji karena berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya (pasal 5 ayat (2) Undang-undang Nomor 20 tahun 2001)
b.      Hakim atau advokat yang menerima pemberian atau janji untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili atau untuk mepengaruhi nasihat atau pendapat yang diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili (Pasal 6 ayat (2) Undang-undang nomor 20 Tahun 2001)
c.       Orang yang menerima penyerahan bahan atau keparluan tentara nasional indonesia, atau kepolisisan negara republik indonesia yang mebiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau c Undang-undang nomor 20 tahun 2001 (Pasal 7 ayat (2) Undang-undang nomor 20 tahun 2001.
d.      Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan utnuk mengerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya,atau sebaga akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya (pasal 12 huruf a dan huruf b Undang-undang nomor 20 tahun 2001)
e.       Hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili (pasal 12 huruf c Undang-undang nomor 20 tahun 2001)
f.       Advokat yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga,bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat uang diberikan berhubungan dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili (pasal 12 huruf d Undang-undang nomor 20 tahun 2001)
g.      Setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi yang diberikan berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya (pasal 12 Undang-undang nomor 20  tahun 2001).
Pada hal untuk merealisasikan tujuan hukum, yang menurut Prof Subekti,SH adalah mendatangkan kemakmuran dan kebahagian pada rakyat suatu negara, atau menurut Prof Mr. Dr. L.J. Van Apeldoorn yaitu: mengatur kehidupan manusia secara damai atau menurut Betham (teori utilities), yaitu untuk mewujudkan semata-mata apa yang berfaedah bagi orang dan Geny yang berpendapat bahwa tujuan hukum yaitu semata-mata mencapai keadilan[5]. Adapun menurut Gemengde theori tujuan hukum adalah keadilan dan kemanfaatan[6]. Maka Penulis akan menelaah kajian ini dari segi law inforcment dan psicological theoies, untuk membedah penyebab tindak pidana korupsi dan cara penanggulanganya secara koprehensive pada bagian dibawah ini.

IV.             MADZHAB HUKUM KODRAT (THE THEORY OF NATURAL LAW)
Hukum Alam/hukum kodrat sebagai metode adalah yang tertua yang dapat dikenali sejak zaman kuno sampai permulaan abad petengahan. Ia merumuskan dirinya pada usaha untuk menemukan metoda yang bias dipakai untuk menciptakan peraturan-peraturan yang mampu untuk menghadapi keadaan yang berlain-lainan. Dengan demikian ia tidak mengandung norma-norma sendiri, melainkan “hanya” memberitahu tentang bagaimana membuat peraturan yang baik.[7]
Asumsi dasar/ideologi Hukum Kodrat: Hukum positif tergantung/berdasarkan tertib yang lebih tinggi/supranatural, yaitu dipengaruhi oleh: (1) Pengaruh ajaran Tuhan; (2) Alasan yang suci; (3) Kodrat manusia (misalnya pikiran manusia dimanapun, kapanpun adalah sama). Jadi hukum dimana saja, kapan saja, bagi siapa saja berlaku sama (universal). Penguasa yang tidak mensejahterakan warganya dianggap tidak adil dan dianggap tidak mencerminkan hukum yang baik. Hukum dipengaruhi/tidak terpisah dari moral (sebagai landasan dari keadilan). Hukum Kodrat dipengaruhi juga oleh ajaran Filsafat, Etika dan Agama.
Prinsip Hukum Kodrat adalah Hukum Positif berlaku berdasarkan (perwujudan dari) suatu sistem/tertib yang lebih tinggi yang ditetapkan oleh Tuhan/Dewa, alasan yang suci dan sifat-sifat kondrat manusia. Pandangan tentang hukum yang dianut oleh mazhab Hukum Kodrat berjalan sangat panjang dan penuh dengan perubahan-perubahan (sejak zaman Yunani Kuno sampai dengan sekarang), mazhab hukum Kodrat mempunyai peranan yang sangat penting dan menentukan dalam hubungannya dengan pandangan agama/ideologi politik, bentuk negara/pemerintahan, budaya dan hukum.
Pelopor aliran Hukum Kodrat adalah Plato dan muridnya Aristoteles (keduanya merupakan penasehat raja pada zaman Yunani Kuno). Plato[8] berpendapat bahwa hukum kodrat menggunakan pendekatan: metafisis, yang meliputi tiga unsur, yaitu: (1) Keadilan (Dari Ilham) Yang merupakan keadaan seimbang di dalam bathin manusia, yang tidak dapat dianalisa oleh akal. (2). “Republic” (Politeia) (a) Negara harus dipimpin oleh raja yang ahli filsafat dan bijaksana agar terjamin pemerintah yang adil. (b) Tugas penguasa mengawasi supaya manusia melakukan pekerjaannya. (c) Tidak ada tempat bagi hukum, sebagai suatu sistem peraturan yang disusun dan dirumuskan untuk mengikat masyarakat. (3) “The Laws” (Nomoi) (a) Membahas tentang prinsip-prinsip dan isi hukum dalam negara (hukum sebagai proses/tata cara). (b) Pengetahuan tentang keadilan yang mempedomani  ketentuan Hukum Negara adalah tetap merupakan ilham mistik (ghaib). Konsepsi Keadilan: sebagai pengungkapan tentang kebaikan yang diterima oleh hanya beberapa orang yang terpilih lalu meneruskannya kepada masyarakat sebagai hukum.
Aristoteles[9] mengemukakan hukum kodrat dilihat dari dua Pendekatan: yaitu dari pendekatan rasional (1) Pengertian Keadilan: Suatu hal yang dipertengahkan antara dua ekstrem yang dideduksikan menurut ilmu pasti semu dari suatu jalinan dari bentuk-bentuk ekstrem dalam pemerintahan dan hubungan antar manusia. (2) Sumbangan Aristoteles Bagi Disiplin Hukum.
Sumbangan 1 Sifat ganda tabiat manusia sebagai bagian dari alam (manusia takhluk kepada hukum jasmaniah dan segenap penciptaan-Nya) dan sebagai penguasa alam (dengan akalnya manusia menguasai alam, yang memberikan kehendak bebas kepadanya dan memungkinkan untuk membedakan apa yang baik dari yang jahat).
Sumbangan 2: Perbedaan Keadilan 1; (1) Keadilan yang “Distributif” (memberi bagian) pembagian barang-barang dan penghargaan kepada, tiap orang sesuai dengan kedudukannya/statusnya dalam masyarakat, serta menghendaki perlakuan yang sama bagi mereka yang berstatus sama, menurut hukum positif, berdasarkan prinsip-prinsip etika dan politik tertentu. (2) Keadilan yang “Korektif” (perbaikan) atau “Remedial” (pengobatan): Ukuran dari prinsip-prinsip teknis yang menguasai administrasi dari pada hukum (pelaksanaan UU). Oleh karena itu dalam mengatur hubungan hukum, perlu ditemukan ukuran umum untuk menanggulangi akibat-akibat perbuatan, tanpa memandang siapapun orangnya, dan maksudnya harus dapat dinilai menurut ukuran obyektif. Misalnya: Hukum harus memperbaiki kejahatan; Ganti rugi harus memperbaiki kesalahan perdata.
Sumbangan 3: Pembedaan Keadilan 2: (1). Keadilan UU/Hukum  Positif; Mendapat kekuatannya dari penetapan sebagai hukum.(2). Keadilan alam/Hukum Alam. Mendapatkan kekuatannya dari apa yang didasarkan pada tabiat manusia dimana saja dan kapan saja, adalah sama.
Sumbangan 4: Pembedaan Keadilan 3. (1) Keadilan Abstrak: Siapapun yang salah harus ditindak/dihukum, oleh karena itu hukum sifatnya adalah umum dan sering kali ketat. (2) Keadilan Equity (Kesebandingan) Bila hukum tersebut dilaksanakan terhadap suatu perkara yang khusus, maka Equity dapat mengubah dan memperlunak keketatan dalam  mempertimbangkan perkara yang khusus tersebut.
Sumbangan 5: Definisi Hukum. Suatu kumpulan peraturan yang mengikat baik pejabat-pejabat maupun rakyat.
Aliran hukum alam yang ke-2 (dua), yaitu: Aliran hukum alam dari pendekatan Irrasional: Aliran ini berpendapat bahwa hukum yang berlaku universal dan abadi bersumber dari Tuhan secara langsung. Pendukung aliran ini antara lain: Thomas Aquinas (Aquino), John Salisbury, Daante, Piere Dubois, Marsilius Padua, dan John Wyclife.
Thomas Aquinas membagi hukum ke dalam 4 golongan, yaitu:
a)    Lex Aeterna, merupakan rasio Tuhan sendiri yang mengatur segala hal dan merupakan sumber dari segala hukum. Rasio ini tidak dapat ditangkap oleh pancaindera manusia.
b)    Lex Divina, bagia dari rasio Tuhan yang dapat ditangkap oleh manusia berdasarkan waktu yang diterimanya.
c)    Lex Naaturalis, inilah yang dikenal sebagai hukum alam dan merupakan penjelmaan dari rasio manusia.
d)   Lex Posistivis, hukum yang berlaku merupakan pelaksanaan hukum alam oleh manusia berhubung dengan syarat khusus yang diperlukan oleh keadaan dunia. Hukum ini diwujudkan ke dalam kitab-kitab suci dan hukum positif buatan manusia.
 Penulis lain, William Occam dari Inggris mengemukakn adanya hirarkis hukum, dengan penjelasan sebagai berikut:
a)    Hukum Universal, yaitu hukum yang mengatur tingkah laku manusia yang bersumber dari rasio alam.
b)   Apa yang disebut sebagai hukum yang mengikat masyarakat berasal dari alam.
c)    Hukum yang juga bersumber dari prinsip-prinsip alam tetapi dapat diubah oleh penguasa.
Occam juga berpendapat bahwa hukum identik dengan kehendak mutlak Tuhan Sementara itu Fransisco Suarez dari Spanyol berpendapat demikian, manusia yang bersusila dalam pergaulan hidupnya diatur oleh suatu peraturan umum yang harus memuat unsusr-unsur kemauan dan akal. Tuhan adalah pencipta hukum alam yang berlaku di semua tempat dan waktu. Berdasarkan akalnya manusia dapat menerima hukum alam tersebut, sehingga manusia dapat membedakan antara yang adil dan tidak adil, buruk atau jahat dan baik atau jujur. Hukum alam yang dapat diterima oleh manusia adalah sebagian saja, sedang selebihnya adalah hasil dari akal (rasio) manusia.
Aliran hukum alam yang rasional: Sebaliknya, aliran ini mengatakan bahwa sumber dari hukum yang universal dan abadi adalah rasio manusia. Pandangan ini muncul setelah zaman Renaissance (pada saat rasio manusia dipandang terlepas dari tertib ketuhanan/lepas dari rasio Tuhan) yang berpendapat bahwa hukum alam muncul dari pikiran (rasio) manusia tentang apa yang baik dan buruk penilaiannya diserahkan kepada kesusilaan (moral) alam. Tokoh-tokohnya, antara lain: Hugo de Groot (Grotius), Christian Thomasius, Immanuel Kant, dan Samuel Pufendorf.
Pendasar hukum alam yang rasional adalah Hugo de Groot (Grotius), ia menekankan adanya peranan rasio manusia dalam garis depan, sehingga rasio manusia sama sekali terlepas dari Tuhan. Oleh karena itu rasio manusialah sebagai satu-satunya sumber hukum. Tokoh penting lainnya dalam aliran ini ialah Immanuel Kant. Filsafat dari Kant dikenal sebagai filsafat kritis, lawan dari filsafat dogmatis. Ajaran Kant dimuat dalam tiga buah karya besar, yaitu: Kritik Akal Budi Manusia (kritik der reinen Vernunft yang terkait dengan persepsi), Kritik Akal Budi Praktis (kritik der praktischen Vernunft yang terkait dengan moralitas), Kritik Daya Adirasa (kritik der Urteilskraft yang terkait dengan estetika dan harmoni). Ajaran Kant tersebut ada korelasinya dengan tiga macam aspek jiwa manusia, yaitu cipta, rasa, dan karsa (thinking, volition, and feeling).[10]
Metode kritis tidak skeptis, tidak dogmatis (trancendental). Hakekat manusia (homo noumenon) tidak terletak pada akalnya, beserta corak berfikir yang bersifat teoritis keilmuan alamiah (natuurweten schappelijke denkwijze), tetapi pada kebebasan jiwa susila manusia yang mampu secara mandiri menciptakan hukum kesusilaan bagi dirinya sendiri dan juga orang lain. Yang penting bukan manusia ideal berilmu atau ilmuwan, tetapi justru pada manusia ideala berkepribadian humanistis.
Salah satu karya Kant yang berjudul Metaphysische Anfangsgruende der Rechtslehre (Dasar Permulaan Metafisika Ajaran Hukum merupakan bagian dari karyanya yang berjudul Metaphysik der Sitten) pokok pikirannya ialah bahwa manusia menurut darma kesusilaannya mempunyai hak untuk berjuang bagi kebebasan lahiriahnya untuk menghadirkan dan melaksanakan kesusilaan. Dan hukum berfungsi untuk menciptakan situasi kondisi guna mendukung perjuangan tersebut. Hakekat hukum bagi Kant adalah bahwa hukum itu merupakan keseluruhan kondisi-kondisi di mana kehendak sendiri dari seseorang dapat digabungkan dengan kehendak orang lain di bawah hukum kebebasan umum yang meliputi kesemuanya.
Katagori imperatif Kant mewajibkan semua anggota masyarakat tetap mentaati hukum positif negara sekalipun di dalam hukum terebut terdapat unsur-unsur yang bertentangan dengan dasar-dasar kemanusiaan. Jadi, di sini sudah terdapat larangan mutlak bagi perilaku yang tergolong melawan penguasa negara, sehingga dengan katagori imperatif ini ajaran dari Immanuel Kant juga dapat digolongkan ke dalam aliran positivisme. Pendapat Kant ini diikuti oleh Fichte yang mengatakan bahwa hukum alam itu bersumber dari rasio manusia.
Penulis lain yang tidak kalah pentingnya ialah Hegel dari Jerman. Yang dijadikan motto oleh Hegel ialah: Apa yang nyata menurut nalar adalah nyata, dan apa yang nyata adalah menurut nalar (Was vernunftig ist, das ist wirklich ist, das ist vernunftig. What is reasonable is real, and what is real is reasonable). Tidak ada antimoni antara nalar/akal dengan kenyataan atau realitas. Bagi Hegel, seluruh kenyataan kodrat alam dan kejiwaan merupakan proses perkembangan sejarah secara dialektis dari roh/cita/spirit mutlak yang senantiasa maju dan berkembang. Jiwa mutlak mengandung dan mencakup seluruh tahap-tahap perkembangan sebelumnya jadi merupakan permulaan dan kelahiran segala sesuatu. Pertumbuhan dan perkembangan dialektis melalui tesa, antitesa, san sintesa yang berlangsung secara berulang-ulang dan terus-menerus. Filsafat hukum dalam bentuk maupun isinya, penampilan dan esensinya juga dikuasai oleh hukum dialektika. Negara merupakan perwujudan jiwa mutlak, demikan juga dengan hukum.

V.                MADZHAB POSITIVISME HUKUM (LEGAL POSITIVISME)
Asumsi dasar/ Ideologi Hukum Positivisme: bahwa hukum positif tidak tergantung/ tidak berdasarkan tertib yang lebih tinggi/ supranatural. Pengaruh terhadap Positivisme: (a) pengaruh (perkembangan) ilmu-ilmu sosial, (b) Penelitian empiris. Hukum terpisah dari moral (sesuai dengan anggapan masa itu bahwa ilmu pengetahuan terpisah dari moral). Positivisme berasal dari kata posite yang artinya menentukan, yaitu apa yang dapat diterima oleh panca indera manusia diyakini benar adanya, metode menerima/menangkap sesuatu hal/obyek dengan panca indera hanya dapat dilakukan oleh ilmu-ilmu sosial dengan metode penelitian empiris.
Positivisme mengutamakan fakta yang dapat diamati dan walaupun tidak menolak abtraksi-absrtaksi data hasil pengamatan, dan tidak mencari atau tidak menerima suatu realitas yang lebih tinggi diatas dunia indrawi. Oleh karena itu cenderung sekuler, empiris dan relativis. Positivisme muncul awal abad XIX, merupakan mazhab yang menentang mazhab hukum kodrat. Positivis klasik bertujuan mencari suatu pengertian yang menyeluruh tentang dunia dan hidup dengan menggunakan metode ilmu-ilmu sosial.
Prinsip Positivisme: a). Hukum disuatu masa/waktu berbeda dengan hukum dimasa yang lain, hukum selalu berkembang sesuai dengan perkembangan bangsa yang bersangkutan,  yang berbeda dengan perkembangan bangsa lain (tempolisme). b). Hukum yang tercipta di dalam satu masyarakat berbeda dengan hukum yang tercipta di masyarakat yang lain, hal itu disebabkan perbedaan kebudayaan (lokalisme). c).  Hukum sebagai suatu produk penguasa yang sah disuatu negara berbeda dengan hukum sebagai produk penguasa yang sah di negara lain, hal itu disebabkan perbedaan politik. Ketiga prinsip itu disebut relativisme dan dasar dari aliran positivisme dengan menggunakan rasio melalui penelitian empiris, untuk menemukan fakta-fakta hukum dan selanjutnya merumuskan prinsip-prinsip hukumnya. Mazhab positivisme dipengaruhi oleh: ilmu sejarah, sosiologi, antropologi, politik, ekonomi dan lain-lain.
Kesimpulan hukum positif tidak tergantung/ tidak berdasarkan dari tertib yang lebih tinggi, tetapi hukum positif adanya karena ditentukan oleh para ahli hukum. Beberapa ahli mazhab positivisme adalah: F.C. von Savigny, Sir Henry Maine, Auguste Comte,H. Spencer, dan lain-lain.
Sebelum aliran ini lahir, telah berkembang suatu pemikiran dalam ilmu hukum yang disebut dengan Legisme yang memandang tidak ada hukum di luar undang-undang, dalam hal ini satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang.
Yang pertama adalah Analitis,Pemikiran ini berkembang di Inggris namun sedikit ada perbedaan dari tempat asal kelahiran Legisme di Jerman. Di Inggris, berkembang bentuk yang agak lain, yang dikenal dengan ajaran Positivisme Hukum dari John Austin, yaitu Analytical Jurisprudence. Austin membagi hukum atas 2 hal, yaitu: 1. Hukum yang diciptakan oleh Tuhan untuk manusia. 2. Hukum yang disusun dan dibuat oleh manusia, yang terdiri dari: hukum dalam arti yang sebenarnya. Jenis ini disebut sebagai hukum positif yang terdiri dari hukum yang dibuat penguasa, seperti: undang-undang, peraturan pemerintah, dan sebagainya, hukum yang dibuat atau disusun rakyat secara individuil yang dipergunakan untuk melaksanakan hak-haknya, contoh hak wali terhadap perwaliannya. Hukum dalam arti yang tidak sebenarnya, dalam arti hukum yang tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum, contoh: ketentuan-ketentuan dalam organisasi atau perkumpulan-perkumpulan.
Menurut Austin, dalam hukum yang nyata pada point pertama, di dalamnya terkandung perintah, sanksi, kewajiban, dan kedaulatan. Sehingga ketentuan yang tidak memenuhi keempat unsur tersebut tidak dapat dikatakan sebagai hukum.
Yang ke dua yaitu ajaran Murni, Ajaran hukum murni dikatagorikan ke dalam aliran positivisme, karena pandangan-pandangannya tidak jauh berbeda dengan ajaran Auistin. Hans Kelsen seorang Neo Kantian, namun pemikirannya sedikit berbeda apabila dibandingkan dengan Rudolf Stammler. Perbedaannya terletak pada penggunaan hukum alam. Stanmmler masih menerima dan menganut berlakunya suatu hukum alam walaupun ajaran hukum alamnya dibatasi oleh ruang dan waktu. Sedang Hans Kelsen secara tegas mengatakan tidak menganut berlakunya suatu hukum alam, walaupun Kelsen mengemukakan adanya asas-asas hukum umum sebagaimana tercermin dalam Grundnorm/Ursprungnormnya.
Ajaran Kelsen juga dapat dikatakan mewakili aliran positivisme kritis (aliran Wina). Ajaran tersebut dikenal dengan nama Reine Rechtslehre atau ajaran hukum murni. Menurut ajaran tersebut, hukum harus dibersihkan dari dan/atau tidak boleh dicampuri oleh politik, etika, sosiologi, sejarah, dan sebagainya. Ilmu (hukum) adalah susunan formal tata urutan/hirarki norma-norma. Idealisme hukum ditolak sama sekali, karena hal-hal ini oleh Kelsen dianggap tidak ilmiah. Adapun pokok-pokok ajaran Kelsen adalah sebagai berikut:
Tujuan teori ilmu hukum sama halnya dengan ilmu-ulmu yang lain adalah meringkas dan merumuskan bahan-bahan yang serba kacau dan keserbanekaragaman menjadi sesuatu yang serasi.
a)      Teori filsafat hukum adalah ilmu, bukan masalah apa yang dikehendaki, masalah cipta, bukan karsa dan rasa.
b)      Hukum adalah ilmu normatif, bukan ilmu ke-alaman (natuurwetenschap) yang dikuasai oleh hukum kausalitas.   
c)      Teori/filsafat hukum adalah teori yang tidak bersangkut paut dengan kegunaaan atau efektivitas norma-norma hukum.
d)     Teori hukum adalah formal, teori tentang ara atau jalannya mengatur perubahan-perubahan dalam hukum secara khusus.
e)      Hubungan kedudukan antara tori hukum dengan sistem hukum positif tertentu adalah hubungan antara hukum yang serba mungkin dan hukum yang senyatanya.
Fungsi teori hukum ilah menjelaskan hubungan antara norma-norma dasar dan norma-norma lebih rendah dari hukum, tetapi tidak menentukan apakah norma dasar itu baik atau tidak. Yang disebut belakangan adalah tugas ilmum politik, etiika atau agama.Teori konkretisasi hukum menganggap suatu sistem hukum sebagai atau susunan yang piramidal. Stufentheorie diciptakan pertama kali oleh Adolf Merkl (1836-1896), seorang murid dari Rudolf von Jhering,[11] yang kemudian diambil alih oleh Hans Kelsen. Kekuatan berlakunya hukum tertentu tergantung pada norma hukum yang lebih tinggi, demikian seterusnya hingga sampai pada suatu Grundnorm, yang berfungsi sebagai dasar terakhir/tertinggi bagi berlakunya keseluruhan hukum positif yang bersangkutan. Fungsi hukum tersebut bukan dalam arti hukum kodrat, tetapi sebagai suatu Transcendental Logische Voraussetzung, yaitu dalil yang secara transendental menentukan bahwa norma dasar terakhir/tertinggi secara logis harus ada lebih dahulu, yang sekaligus berfungsi sebagai penjelasan atau pembenaran ilmiah bahwa keseluruhan norma-norma c.q. peraturan-peraturan dalam hukum positif yang bersangkutan itu pada hakekatnya merupakan satu kesatuan yang serasi.
Penulis lain bernama Rudolf Stammler  (1856-1938) merupakan tokoh kebangkitan kembali filsafat c.q. hukum kodrat gaya baru, yaitu hukum kodrat yang senantiasa berubah yang mengajarkan bahwa filsafat hukum adalah ilmu/ajaran tentang hukum yang adil  (die lehre vom richtigen recht). Apabila ilmu hukum meneliti dan mengkaji, secara positif, maka tugas dan fungsi filsafat hukum ialah dengan abstraksi bahan-bahan variabel tersebut, meneliti secara transendental kritis (metode yang berasal dari Kant) bentuk-bentuk kesadaran manusia hingga menerobos sampai pada landasan/dasar transendental logis penghayatan hukum yang berujud hakekat pengertian hukum.
Hakekat pengertian hukum atau pengertian hukum yang transendental ini mempunyai unsur-unsur: kehendak/karsa, mengikat, berkuasa atas diri dan tidak bisa diganggu (wollen, verbinden, selbstherrlichkeit unverletzbarkeit). Dari hakekat ini lebih lanjut ditarik 8 (delapan) macam kategori hukum, yaitu: subjek hukum, objek hukum, dasar hukum, hubungan hukum, kekuasaan hukum, penundukan hukum, menurut hukum (rechtmatigeheid), dan melawan hukum. Pengertian dasar atau kategori hukum itu berupa metode pikiran formil yang adanya tidak ditentukan oleh atau digantungkan pada isi atau aturan hukum. Asas-asas hukum umum yang menentukan kebaikan isi atuan hukum, tidak termasuk pengertian hukum tetapi tergolong pada cita hukum. Hukum yang adil adalah hukum yang memenuhi syarat atau tertentu “social-ideal”, yakni ujud dari manusia dalam kehidupan masyarakat yang memiliki kehendak bebas (Gemeinschaft frei wollender Menschen). Cita hukum yang sosial ini berfungsi regulatif terhadap sistem hukum positif, tidak semata-mata pada bentuk hukumnya.

VI.             ANALISA TINDAK PIDANA KORUPSI DITINJAU DARI FILSAFAT HUKUM
A.    Ontologi Korupsi
Menurut Baharuddin Lopa (Baharuddin Lopa & Moh. Yamin, 1987 : 6), pengertian umum tentang tindak pidana korupsi adalah suatu tindak pidana yang berhubungan dengan perbuatan penyuapan dan manipulasi serta perbuatan-perbuatan lain yang merugikan atau dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara, merugikan kesejahteraan dan kepentingan rakyat. Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi (UU 31/1999), memberi pengertian tentang tindak pidana korupsi adalah “perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” atau “perbuatan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain serta dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”. Termasuk dalam pengertian tindak korupsi adalah suap terhadap pejabat atau pegawai negeri.
Kedua pengertian tersebut hanyalah dapat dimengerti dengan baik oleh para ahli hukum atau pejabat dalam bidang hukum. Kalangan awam menganggap bahwa pengertian korupsi bisa jauh lebih luas dari itu, yaitu segala perbuatan tercela yang dilakukan oleh pejabat dan pegawai negeri yang terkait dengan kekayaan negara. Apakah perbuatan itu merugikan negara atau tidak, hal itu bukanlah persoalan utama. Untuk mengkaji lebih jauh, kita merujuk pada apa yang dimaksud korupsi dalam undang-undang mengenai pemberantasan tindak pidan korupsi. Beberapa kata kunci yang merupakan unsur tindak pidana yang perlu didalami yaitu kata-kata:
- “perbuatan”,
- “melawan hukum”,
- “memperkaya diri sendiri atau orang lain”,
- “merugikan keuangangan/perekonomian negara”,
- “menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya,
- “menguntungkan diri sendiri atau orang lain”.
Persoalannya adalah apakah seluruh rangkaian “gambaran” atau “bayangan” dalam rumusan tersebut sudah mewakili pemahaman kita yang benar bahwa hal itu adalah korupsi? Atau ada yang salah dari penggambaran tersebut. Karena itu perlu dikaji lebih dahulu tentang hakekat atau makna dari penggambaran tersebut secara lebih mendalam.
Korupsi adalah rangkaian unsur-unsur (rumusan) yang tertulis dalam undang yang dicocokan dengan tindakan seseorang pada situasi konktrit. Rumusan dan unsur-unsur tersebut masih merupakan “gambaran” atau “bayangan”, yang masih berada dalam pikiran atau idea yang ditulis, dipositifkan dan dianggap sebagai sesuatu kebenaran. Rangkaian perbuatan konkrit dari “gambaran” atau “bayangan” tersebut adalah merupakan kejahatan, karena itu yang melakukannya dikenai hukuman. Apakah betul rangkaian perbuatan tersebut adalah kejahatan? Dalam kerangka paham positivis “gambaran” atau “bayangan” tersebut dianggap benar dan dijadikan landasan dalam mengambil putusan bahwa perbuatan konkrit atas penggambaran tersebut adalah “kejahatan”, tidak perduli apakah gambaran tersebut bertentangan atau tidak dengan etika atau moralitas dalam masyarakat. Etika dan moralitas menurut pandangan positivis berada di luar sisi hukum dalam penerapannya. Karena itu dari sisi pandangan positivis hal itu tidak perlu dibahas lebih jauh kecuali untuk keperluan ius constituendum (hukum yang dicita-citakan). Sebaliknya walaupun suatu perbuatan seorang pejabat atau pegawai negeri yang oleh masyarakat dianggap tercela tidak dapat dikatakan sebagai korupsi apabila tidak memenuhi unsur-unsur yang ditulis dalam undang-undang atau sedemikian rupa tidak dapat ditafsirkan sehingga cocok dengan rumusan undang-undang. Inilah hal pertama yang harus dipahami tentang korupsi.
Apa yang dimaksud “perbuatan”, tentunya semua orang memahaminya, Yang menjadi soal adalah apakah yang dimaksud adalah perbuatan “aktif” saja atau perbuatan “pasif” (atau tidak berbuat). Memperhatikan rumusan berikutnya yaitu “memperkaya diri sendiri atau orang lain”, atau “menguntungkan diri sendiri atau orang lain”, yang merupakan kata kerja maka dapat dipastikan bahwa yang dimkasud itu adalah perbuatan aktif.”. Dengan demikian perbuatan seseorang baru dikategorikan korupsi apabila melakukan perbuatan aktif saja dan tidak termasuk perbuatan pasif. Artinya; jika terjadi kerugian negara yang menguntungkan seorang pejabat negara atau orang lain dan dipastikan bukan karena perbuatan aktif dari pejabat negara tersebut , maka si pejabat negara itu tidak melakukan perbuatan korupsi. “Perbuatan” itu juga harus memperkaya diri sendiri atau orang lain. Karena penggunaan kata “atau” antara diri sendiri dan orang lain maka rumusan ini bersifat alternatif. Dengan demikian memperkaya orang lain saja walaupun tidak memperkaya diri sendiri adalah termasuk dalam pengertian korupsi ini.
Unsur selanjutnya adalah “melawan hukum”. Artinya perbuatan yang dilakukan untuk meperkaya diri sendiri atau orang lain itu adalah merupakan perbuatan “melawan hukum”. Apa yang dimkasud dengan “melawan hukum”, kembali pada pengertian apa yang dimaksud dengan hukum itu. Dalam kerangka pandangan positivis, hukum itu hanyalah undang-undang atau peraturan perundanga-undangan yang telah diotorisasi/disahkan oleh yang berwenang, di luar itu bukan hukum. Hukum pidana memberikan batasan yang sangat kaku terhadap apa yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum itu, karena terikat oleh asas “nullum delictum”, yaitu suatu perbuatan tidak dapat dikatakan sebagai tindak pidana sebelum diatur dalam undang-undang hukum pidana. Walaupun dalam perkembangan terakhir apa yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum ini tidak saja perbuatan yang melanggar hukum tertulis tetapi juga hukum yang tidak tertulis (baca Indriarto Seno Adji : 2001). Perluasan pengertian ini telah dimuat secara tegas dalam undang-undang mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi. Disamping itu suatu perbuatan yang tidak melawan hukum tetapi menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya untuk tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain yang merugikan keuangan atau perekonomian negara, juga adalah termasuk perbuatan korupsi.
Adanya kata-kata “merugikan perekonomian negara” memberikan perluasan makna kerugian negara, yaitu baik dalam arti sempit merugikan keuangan negara pada umumnya termasuk kerugian pada badan-badan usaha milik negara atau proyek-proyek yang dibiayai dari anggaran negara, juga kerugian terhadap pereknomian negara secara umum. Artinya akibat perbuatan itu mengganggu perekonomian negara atau membuat kondisi perekonomian negara tidak stabil atau mengganggu kebijakan perekonomian negara. Kesemuanya dianggap telah merugikan negara.
Dengan batasan pengertian korupsi yang demikian belum tentu sudah mengakomodir seluruh pandangan masyarakat tentang apa yang dianggap sebagai korupsi. Seperti yang ditulis oleh Jeremy Pope (Jeremy Pope, 2003 : 31) ternyata bahwa pandangan responden tentang apa yang disebut “korup” dan apa yang tidak sangat berbeda satu sama lain. Seperti dalam laporan penelitian di New South Wales, Australia, dikatakan “penting sekali bagi semua orang yang ingin turut mengurangi korupsi untuk menyadari bahwa apa yang diartikan sebagai perilaku korupsi akan berbeda-beda dari satu responden ke responden lain. Bahkan konvensi PBB mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi tidak berani memberikan definisi tentang apa yang disebut korupsi apa yang tidak merupakan korupsi. Karena itu upaya pemberantasan korupsi semakin sulit karena tidak ada pengertian yang sama mengenai apa yang dimaksud dengan korupsi.
Demikian juga halnya di Indonesia dengan rumusan, yang demikian rigid dapat mempersempit arti apa yang dimaksud perbuatan korupsi. Karena pengertian yang sempit itu, seorang pejabat atau pegawai negeri yang sebenarnya telah melakukan perbuatan tercela yang seharusnya diputuskan/divonis korupsi, tapi bisa dilepaskan dari tuntutan hukum. Sebaliknya dengan rumusan yang demikian juga dapat memperluas apa yang dimaksud korpsi, sehingga orang-orang yang sebenarnya bekerja baik dan efektif serta efisien, karena dianggap merugikan keuangan negara dan menguntungkan orang lain walaupun dirinya tetap hidup miskin dapat divonis sebagai korupsi padahal bisa jadi tidak ada sedikitpun maksud dari yang bersangkutan untuk melakukan perbuatan tercela yang berupa korupsi. Karena itu, sebenarnya inti dari “perbuatan korupsi” adalah “perbuatan tercela”. Untuk menghindari bias pengertian perbuatan tercela ini maka perlu dibuat suatu standar etik yang berlaku dalam birokrasi tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan dalam menentukan suatu kebijakan publik. Bila mempergunakan batasan yang terlalu formil dan kaku akan merumitkan upaya untuk mengurangi korupsi.
Suap menyuap sebagai sebuah kejahatan telah dikenal sejak adanya pemerintahan. Dalam cerita Al Qur’an tentang tingkah laku Fir’aun yang menindas rakyatnya dan mengumpulkan kekayaan yang berlimpah untuk kesenangannya adalah termasuk korupsi. Demikian juga Nabi Muhammad dalam sebuah hadisnya menyatakan bahwa “dilaknat oleh Allah bagi pemberi suap dan penerima suap”. Jadi rupanya korupsi bukanlah fenomena baru dalam kehidupan dunia. Persoalannya yang lebih jauh adalah, apa yang dimaksud perbuatan-perbuatan : “suap”, “dengan melawan hukum” serta “menyalahgunakan jabatan atau kedudukannya”, “untuk kepentingan dirinya atau orang lain” serta “yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara”. Dalam pemahaman umum tentu saja dengan gampang dapat dijawab bahwa perbuatan-perbuatan tersebut adalah merupakan perbuatan tercela atau tidak bermoral karena merugikan orang lain, karena itu pantas mendapatkan hukuman.

B.     Epistemologi Korupsi
Metodelogi yang mendasari pengertian korupsi sebagaimana dimaksud dalam undang-undang pemberantasan korupsi tersebut sangat mempengaruhi rumusan atau batasan apa yang dimaksud korupsi sebagai sebuah kejahatan dan oleh karena itu harus dihukum. Dengan dasar apa rumusan tersebut diatas dibuat, apakah hanya karena anggapan dari pembuatan undang-undang saja atau dari hasil sebuah penelitian yang merangkum pandangan masyarakat tentang korupsi. Nampaknya beberapa persoalan metodologis seperti ini tidak tergambar dengan jelas dalam rumusan undang-undang tersebut. Paling mungkin yang terjadi adalah rumusan tersebut berasal dari pandangan para ahli atau pandangan dari pembentuk undang-undang saja dan tidak melalui sebuah proses penelitian atas pandangan masyarakat tentang korupsi. Apa yang secara tepat disebut korupsi dari sudut pandang pekerjaan berokrasi bisa berbeda dengan sisi pandangan masyarakat. Karena itu, bisa saja suatu perbuatan adalah korupsi menurut pandangan masyarakat tetapi dari pandangan cara kerja birokrasi hal itu bukanlah korupsi.
Mengamati kenyataannya yang terjadi di Indonesia, mendapatkan kekayaan dari keuangan negara apakah legal atau tidak legal dapat mengenangkan banyak orang bahkan pelakunya mendapatkan penghargaan, pujian bahkan status sosial yang lebih tinggi karena kekayaannya. Ia dapat memberikan bantuan sosial, sumbangan keagamaan dan dapat membantu keluarga yang kekurangan bahkan dapat membantu negara secara tidak langsung dengan banyak menabung dan menyimpan uang di bank yang sangat bermanfaat untuk memajukan perekonomian negara. Orang kaya akan banyak mendapat pujian dan decak kagum dari masyarakat, tidak perduli apakah kekayaan itu berasal dari pekerjaan legal atau tidak legal. Bahkan banyak anggota masyarakat yang berani mati membela orang kaya. Jadi tidak seluruhnya benar bahwa korupsi merugikan orang lain dan merugikan negara atau merupakan perbuatan tercela. Kita harus melihat dari filsafat apa kita melihatnya.
Jika cara pandanganya adalah filsafat materialisme maka ada banyak aspek perbuatan korupsi yang bisa dibenarkan. Mungkin inilah pula kenapa korupsi tidak sepenuhnya dapat diatasi di Indonesia karena bagian terbesar masyarakat kita sudah dirasuki oleh pikiran materialisme dan penghambaan terhadap materi dan kekayaan. Sementara, pada sisi lain cara pandang yang dijadikan dasar untuk mendefinisikan dan memberikan pengertian korupsi pada perundang-undangan kita adalah cara pandang yang didasarkan pada filsafat idealisme, yang hanya mengandalkan dunia ide. Apa yang ada dalam kepala itulah yang diasumsikan sebagai kebenaran, padahal ide tidak bisa menjawab realitas material yang sesungguhnya terjadi. Dalam perumusan tindak pidana korupsi telah menjadikan ide sebagai kebenaran dan ide itu dipositifkan kedalam undang-undang. Padahal ide banyak hambatannya dalam melihat suatu kebenaran. Sir Francis Bacon seorang filosof Inggeris, (F.Budi Hardiman, 2004 : 28-29) tidak begitu yakin dengan kebenaran ide, karena ide kadang-kadang terhambat oleh adanya “idola”, yaitu rintangan yang berupa tradisi-tradisi yang merasuki jalan pikiran kita sehingga kita tidak kritis menilai sesuatu. Menurut F. Bacon, ada 4 macam “idola” yang menjadi rintangan berpikir kritis itu yaitu, pertama; idola trubus, yaitu semacam prasangka-prasangka yang dihasilkan oleh atas keajekan-keajekan tatanan alamiah sehingga tak sanggup memandang alam secara obyektif. Kedua idola cave, yaitu pengalaman-pengalaman dan minta-minat kita pribadi mengarahkan kita melihat dunia, sehingga dunia obyektif dikaburkan. Ketiga idola fora, yaitu pendapat atau kata-kata orang yang diterima begitu saja sehingga mengarahkan keyakinan-keyakinan dan penilaian kita yang tak teruji. Dan keempat idola theatra, yaitu sistem-sistem filsafat tradisional yang merupakan kenyataan subyektif dari para filosofnya.
Karena itu pengertian korupsi ini harus juga dilihat dari sudut pandang yang berbeda yaitu sudut pandang filsafat materialisme dan empirisme, sehingga dapat dipahami bahwa beberapa perbuatan untuk memperoleh kekayaan agar dapat membantu orang lain, memberikan banyak sumbangan sosial dan keagamaan, membantu keluarga, membantu negara, mendapatkan kehormatan dan kedudukan dalam masyarakat, menguntungkan rakyat secara umum atau menguntungkan negara secara tidak langsung dan perbuatan-perbuatan lain yang terpuji seharusnya tidak digolongkan sebagai perbuatan korupsi. Pandangan Immanuel Kant (Mohammad Muslih, 2005 :62), mengenai putusan dapat menjadi acuan untuk melihat epistemologi korupsi, yaitu apa yang disebut oleh Kant dengan putusan “sintetis a priori”. Kant membedakan adanya tiga macam putusan, yaitu pertama, putusan analitis a priori; yaitu prediket tidak menambah sesuatu yang baru pada subjek karena sudah termuat didalamnya (misalnya setiap benda menempati ruang). Kedua, Putusan sintesis aposteriori; misalnya pernyataan “meja itu bagus”, disini prediket dihubungkan dengan subyek berdasarkan pengalaman indrawi, karena dinyatakan setelah mempunyai pengalaman dengan aneka ragam meja yang telah diketahui. Ketiga, sintesis a priori; disini dipakai sebagai suatu sumber pengetahuan yang kendati bersifat sintetis namun bersifat a priori juga. Misalnya putusan yang berbunyi “segala kejadian mempunyai sebabnya. Putusan yang ketiga ini berlaku umum dan mutlak (jadi a priori) namun putusan ini juga bersifat sintetis dan aposteriori. Sebab didakam pengertian “kejadian” belum dengan sendirinya tersirat pengertian sebab. Maka di sini baik akal maupun pengalaman indrawi dibutuhkan serentak. Pendekatan sintesis a priori dalam memahami korupsi lebih mendekati kebenaran apa sebenarnya korupsi itu.
Korupsi harus juga dilihat dari hukum kausalitas, yaitu sesuatu tidak mungkin terjadi kalau tidak ada sebabnya. Sebab itulah yang menimbulkan akibat. Karupsi adalah akibat, yiatu akibat dari sistem yang longgar. Sistem yang memberikan peluang orang untuk melakukan korupsi. Korupsi juga adalah akibat dari kehilangan idealisme dan pengutamaan pada materialisme. Sementara, dengan kondisi pragmatis keuangan pegawai yang bersumber dari gaji adalah tidak mungkin memenuhi kebutuhan material pegawai negeri. Pandangan dan kebutuhan materialistis itulah yang menjadi sebabnya korupsi.
Demikian juga persoalan suap. Dari sudut mana kita memandang bahwa suap itu adalah perbuatan tercela yang harus dihukum. Dalam banyak hal “suap” itu dibutuhkan untuk efisiensi dan efektifitas dalam filsafat kapitalisme dan ekonomi pasar. Pasarlah yang menentukan seseorang untuk mengambil suatu putusan. Persaingan kehidupan modern sekarang selalu diukur dengan kecepatan dan ketepatan dalam bertindak, karena jika tidak, maka pasti akan ketinggalan. Itulah filsafat abad modern. Ketaatan pada aturan main kadang dianggap bisa menghambat kemajuan ekonomi dan persaingan dalam dunia bisnis yang serba cepat. Karena itulah negosiasi pelanggaran lalulintas di jalan antara polisi dan pelanggar lalulintas untuk memberi dan menerima suap adalah lebih efektif dan efisien daripada diproses tilang yang harus datang ke pengadilan menghabiskan waktu dan biaya yang bisa lebih besar. Demikian juga dalam pengurusan ijin-ijin usaha dan lisensi yang membutuhkan kecepatan maka pemberian hadiah dan fasilitas bagi penentu kebijakan akan dapat mempercepat penyelesaian perijinan dan dikeluarkanya kerbijakan itu. Pemegang saham dan atasan di perusahaan akan memberikan apresiasi yang luar biasa atas pekerjaan seseorang atau pimpinan perusahaan yang efektif dan efisien untuk kemajuan perusahaan dan secara tidak langsung akan menguntungkan bagi negara karena negara akan mendapat pemasukan pajak yang lebih besar dan karyawan akan mendapat kesejahteraan lebih baik. Jadi “suap” dari sudut pandang filsfat ekonomi pasar yang mengedepankan efektifitas dan efisiensi dapat merupakan perbuatan tidak tercela dan tidak merugikan negara atau orang lain. Sedangkan undang-undang anti korupsi melihat masalah “suap” dari sudut pandang filasat idealisme saja.
Perbuatan menyalahgunakan kewenangan atau kedudukan dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain walaupun dapat merugikan negara, tidak selalu berkonotasi jahat sehingga harus dihukum dan dianggap korupsi jika dipandang dari filsafat materialisme itu. Dalam banyak kasus korupsi, koruptor merasa telah banyak berjasa pada negara dengan berjuang dan bekerja keras sehingga negara diuntungkan dari kerjanya itu. Negara pada sisi lain tidak memberikan kontra prestasi material kepada yang bersangkutan sehingga yang bersangkutan merasa sah-sah saja mendapatkan uang dari negara dalam berbagai bentuknya seperti “tantiem”.
Dengan demikian perlu dikaji kembali apa yang dimaksud perbuatan korupsi itu sehingga kita dapat memberikan definisi yang tepat tentang yang disebut “korupsi” dan apa yang tidak “korupsi”, dan tidak bisa dilihat hanya dari satu sudut pandang saja pikiran ideal dari para pembentuk undang-undang yang sebenarnya bisa bias kalau dilihat dari sisi empiris. Disamping itu pendekatan hukum untuk memahami korupsi tidak saja dilakukan dengan pendekatan dari pandangan positivis, tetapi juga dilihat dari sudut pandang legal realism.

VII.          KESIMPULAN
Dari uraian tersebut di atas dari kajian filsafat ilmu terdapat banyak kekurangan yang ditemukan dalam memberikan pengertian tentang korupsi, terutama dari segi rumusan perbuatan pidana korupsi yang tercantum dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi. Rumusan tersebut ternyata tidak menjangkau seluruh pandangan masyarakat tentang apa yang dianggap “korup” dan apa yang tidak. Sehingga rumusan tersebut potensial tidak menyentuh seluruh aspek perbuatan tercela yang seharusnya dianyatakan sebagai perbuatan “korup”, dan bahkan dapat menjerat seseorang sebagai telah melakukan korupsi, padahal sebenarnya bukanlah perbuatan tercela yang seharusnya tidak dapat dihukum.
Persoalan tersebut disebabkan oleh tidak jelasnya epistemologi penentuan suatu perbuatan sebagai perbuatan korupsi. Nampaknya pembentuk undang-undang lebih banyak mempergunakan pendekatan dari sisi idealisme dan tidak berdasarkan pendekatan sisi materislisme dan empiris. Disamping itu, dari sisi filsafat hukum pendekatan yang dipergunakan lebih menonjolkan sisi pandang positivis dibanding sudut pandang prgamatis dan “legal realisme”. Apa yang diuraikan di atas adalah baru dari satu persoalan saja yaitu persoalan rumusan tindak pidana korupsi dan suap belum lagi persoalan-persoalan lain yang diatur dalam undang-undang pemberantasan korupsi itu.
Penggunaan pendekatan yang lebih komprehensif dalam melihat korupsi akan sangat berpengaruh terhadap upaya pemberantasan korupsi. Kesalahan pendekatan berakibat salah persepsi terhadap korupsi dan akan menyebakan terhambatnya pemberantasan korupsi. Untuk penyempurnaan ke depan perlu pendekatan yang lebih komprehensip dalam membuat undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi dan dalam implementasinya yaitu tidak saja menggunakan pendekatan idealisme, tapi perlu juga pendekatan lainnya yaitu pendekatan dari sudut pandang materialisme dan pragmatisme. Penggunaan pendekatan yang utuh seperti ini akan dapat memberikan pemahaman utuh tentang tindak pidana korupsi.


DAFTAR PUSTAKA

Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti Bandung, 1990.
Pipin Syarifin,SH.Pengantar Ilmu Hukum Untuk Fakultas Syari’ah MKDK, CV Pustaka Setia, Bandung, 1999, Hal. 53.
Prof Drs. CST. Kansil,SH Dan Christine ST Kansil,SH.,MH., Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia Jilid I,  Cet.XII, 2002.
Prof. DR. Satjipto Rahardjo,S.H., Ilmu Hukum, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, Hal. 261.
Purnadi Purbacaraka dan M Chidir Ali, Disiplin Hukum, cetakan ke empat, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1990).
Soehardjo Sastrosoehardjo, Silabus Mata Kuliah Filsafat Hukum, Program Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang, 1997.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Yang Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.



[1] Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti Bandung, 1990, halaman 26-27.
[2] Soehardjo Sastrosoehardjo, Silabus Mata Kuliah Filsafat Hukum, Program Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang, 1997, halaman 1.
[3] Bahwa terhindarnya Indonesia dari krisis moneter tahun 2008 dan tahun 2012 menurut para pengamat perekonomian karena Indonesia telah mengembangkan perbankan syari’ah. Hal ini didukung berbagai fakta antara lain ketika eropa terkena krisis enomoni tersebut, Inggris yang menjadi basis ekonomi syari’ah di eropa terhindar dari krisis ini.
[4]Disarikan Dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Yang Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
[5] Prof Drs. CST. Kansil,SH Dan Christine ST Kansil,SH.,MH., Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia Jilid I,  Cet.XII, 2002, Hal.14-17.
[6] Pipin Syarifin,SH.Pengantar Ilmu Hukum Untuk Fakultas Syari’ah MKDK, CV Pustaka Setia, Bandung, 1999, Hal. 53.
[7] Prof. DR. Satjipto Rahardjo,S.H., Ilmu Hukum, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, Hal. 261.
 [8] Purnadi Purbacaraka dan M Chidir Ali, Disiplin Hukum, cetakan ke empat, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1990), Hal.,  hal. 4-11.
 [9] Ibid,  hal. 11-17
     
      [10] Soehardjo Sastrosoehardjo, Op. Cit., halaman 12.
      [11] Bandingkan dengan Lili Rasjidi, Op. Cit., halaman 43.

Comments

Popular posts from this blog

HADITS-HADITS AHKAM TENTANG JUAL BELI (SALE AND PURCHASE)

SHUNDUQ HIFZI IDA’ (SAFE DEPOSIT BOX) BANK SYARI’AH

STUDI TENTANG PEMIKIRAN IMAM AL-SYAUKANI DALAM KITAB IRSYAD AL-FUHUL