ILMU HUKUM MENJADI SEBENAR ILMU



HUKUM PROGRESIF: UPAYA UNTUK MEWUJUDKAN ILMU HUKUM
MENJADI SEBENAR ILMU
Oleh:
Nur Moklis

I.       Pendahuluan
Sebagai suatu disiplin ilmu, sejarah hukum tergolong sebagai pengetahuan yang masih muda,jika dibanding dengan disiplin-disiplin ilmu lainnya yang terlebih dahulu lahir.  Bahkan dibanding dengan disiplin ilmu lain, Ilmu Hukum masih menjadi perdebatan dan perkembangan untuk mengukuhkan diri menjadi ilmu yang sebenar ilmu. Salah satu masalah yang masih dihadapi oleh ilmu hukum terkait dengan hakikat pengetahuan apa yang dikaji (ontologis), bagaimana cara untuk mengeksplorasi suatu pengetahuan yang benar (epistemologis), dan untuk apa pengetahuan dipergunakan (aksiologis). Pada dasarnya semua pengetahuan apakah ilmu, seni, atau pengetahuan apa saja mempunyai ketiga landasan tersebut. Yang berbeda adalah materi perwujudannya serta sejauh mana landasan-landasan dari tiga landasan tersebut dikembangkan dan dilaksanakan.
Tidak dapat dihindari bahwa dalam perjalanannya ilmu hukum mengalami pasang surut keberadaan tergantung pada konteks dan waktu dimana ilmu hukum tersebut berkembang. Agar ilmu hukum dapat berkualitas sebagai ilmu, maka tidak dapat dihindari bagi ilmu hukum masuk dalam siklus terbentuknya ilmu yang telah ada. Untuk menjadikan ilmu hukum sebagai sebenar ilmu, pertama-tama yang perlu dikaji apa dan bagaimana serta manfaat dari ilmu.
Sebagaimana dikatakan oleh Satjipto Rahardjo, bahwa Ilmu adalah untuk kenyataan, bukan sebaliknya. Apabila kenyataan adalah untuk ilmu, maka kenyataan itu akan dimanipulasi sehingga cocok dengan ilmu dan teori yang ada. Sebagai contoh teori Newton yang melihat segalanya sebagai keteraturan, yang berhubungan secara mekanistik. Dengan kata lain teori Newton bersifat linear, matematis, dan deterministik. Teori Newton mengabaikan kenyataan dalam alam yang menyimpang dari teorinya. Ia menganggap bahwa fenomena yang ada di alam ini tidak dapat dimasukkan dalam tubuh grand-theori-nya dianggap sebagai penyimpangan yang harus diabaikan. Ketika teori Newton gagal menjelaskan fenomena tersebut, akhirnya digantikan oleh teori lain yaitu teori kuantum yang mampu menjelaskan fenomena tersebut.
Ditinjau dari sisi filsafat, maka ilmu dan pengetahuan merupakan sesuatu yang berbeda pemahamannya. Imu adalah suatu cara untuk mengetahui, dalam artian bahwa ilmu bukanlah satu-satunya cara bagi manusia untuk mengetahui. Di samping ilmu terdapat cara lain untuk mengetahui, yang secara umum disebut dengan pengetahuan. Menurut Liek Wilardjo ilmu itu merupakan bagian dari pengetahuan. Sebagai bagian dari pengetahuan, ilmu tidaklah sekedar akumulasi informasi. Lebih dari itu, ilmu juga membentuk cara berpikir. Selain itu Koento Wibisono Siswomihardjo menyatakan bahwa hakikat ilmu adalah sebab fundamental dan kebenaran universal yang implisit melekat di dalam dirinya. Dengan pengertian tersebut, maka ilmu itu niscaya berorientasi dan selalu berusaha untuk mengungkapkan kebenaran (searching for the truth) yang universal dan hakiki. Sejalan dengan pemikiran perkembangan kehidupan manusia, Liek Wilardjo menyatakan bahwa kebenaran yang ingin dicapai oleh ilmu itu tidak mutlak dan tidak langgeng, namun bersifat nisbi, sementara, dan hanya merupakan pendekatan saja. Apa yang selama ini dipedomani sebagai kebenaran akan selalu merupakan hasil jerih payah bertahun-tahun mengembangkan dan menyempurnakan kebenaran lama. Demikian pula sesuai dengan siklus kehidupan manusia, maka apa yang sekarang ini menjadi pedoman untuk mencari kebenaran, pada waktu yang datang muncul kebenaran. Dengan menggunakan  model revolusi ilmu dari Kuhn, dapat diketengahkan bahwa paradigma akan membentuk cara berpikir dari suatu komunitas keilmuan.  Yang lebih jati lagi, manusia merupakan makhluk yang selalu ingin tahu. Tidak pernah puas terhadap segala sesuatu yang telah ada. Sebagai konsekuensinya ilmu terus menerus berkembang sejalan dengan pemikiran manusia pada waktu dan tempat yang dijalaninya. Dalam perkembangan dunia yang semakin modern ilmu juga mengalami perubahan-perubahan. Dalam kaitan ini praktik-praktik komunitas ilmuwan dalam kegiatannya bukan saja dipengaruhi oleh Weltanschauung dan perspektif religius serta politik sang ilmuwan, melainkan juga telah dibayangi ilmu itu sendiri dalam hakekatnya sebagai kekuasaan.
Dengan perkembangan yang demikian, maka akan sangat sulit untuk mengatakan bahwa ilmu itu netral. Sejak semula ilmu memang tidak netral, melainkan sarat nilai. Bukan saja nilai-nilai konstitutif yang mempengaruhi ilmuwan dan karenanya juga proses serta produk kegiatan keilmuannya, melainkan juga nilai-nilai kontekstual. Dengan nilai-nilai kontekstual tersebut, ilmuwan sangat rentan terhadap pengaruh kepentingan-kepentingan pihak lain. Dengan demikian, sistem nilai yang dianut suatu komunitas ilmuwan akan mempengaruhi kesepakatan mengenai anggapan apa yang merupakan ilmu itu.
Ilmu Hukum yang berkembang hingga saat ini pada dasarnya tercipta setelah melalui perdebatan-perdebatan intelektual yang panjang dan melelahkan untuk menemukan “kebenaran hukum” itu.
Namun perlu dipahami bahwa meskipun suatu paradigma dalam suatu Ilmu Hukum dianggap telah usang dan tidak mampu untuk menjawab dan memberi solusi atas problem baru yang muncul belakangan, yang kemudian memunculkan paradigma baru Ilmu Hukum, namun paradigma lama tidak dengan sendirinya tergusur. Paradigma lama tersebut masih bertahan secara teguh dalam suatu komunitas ilmuwan yang bersangkutan, tanpa mau menoleh kepada paradigma yang muncul belakangan.
Dalam kaitan ini terdapat dua kubu yang ‘berhadap-hadapan’ yang belum saling sepakat tersebut, yakni antara kubu normatif/dogmatis/doktrinal dengan kubu empirik/non-dogmatis/non-doktrinal. Seringkali, argumentasi yang dibangun  antara dua kubu tersebut berseberangan satu dengan lainnya tanpa melihat kelebihan dan kekurangan dari masing-masing. Para ilmuwan hukum dari kedua kubu tersebut sibuk dalam perdebatan-perdebatan yang tidak pernah selesai, karena perbedaan aliran-aliran pemikiran yang diacu, yang tak satu pun memperoleh penerimaan umum oleh para ilmuwan hukum untuk dijadikan fundasi pengembangan Ilmu Hukum. Oleh karena itu, persoalan yang harus segera dipecahkan adalah bagaimana membangun suatu ilmu hukum agar berkualitas sebagai sebenar ilmu.
Kebutuhan untuk menempatkan Ilmu Hukum sebagai sebenar ilmu akan sangat menentukan terciptanya di samping suatu landasan intelektual bagi komunitas keilmuwan, juga memaparkan masalah-masalah yang perlu dibahas, dan  langkah-langkah yang perlu ditempuh oleh para pakar ilmu untuk memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi oleh Ilmu Hukum.

II.      Ilmu dan Pengetahuan
Untuk membedakan dengan entitas lainnya, maka ilmu sebagai bagian dari pengetahuan niscaya memiliki ciri-ciri khas. Ciri khas atau karakteristik pengetahuan keilmuan ini mencerminkan landasan yang akan digunakan untuk menjelaskan apakah pengetahuan itu dapat dikatagorikan sebagai ilmu ataukah  hanya berhenti pada pengetahuan saja. Jujun S. Suriasumantri menyatakan bahwa ilmu itu memilki tiga landasan, yaitu: (1) ontologi, (2) epistemologi, dan (3) aksiologi/teleologi.
Landasan ontologis membahas tentang apa yang ingin diketahui, atau dengan kata lain ontologi merupakan suatu pengkajian mengenai teori tentang ada. Dasar ontologi dari ilmu berhubungan dengan materi yang menjadi objek penelaahan ilmu. Berdasarkan objek yang ditelaahnya, ilmu dapat disebut sebagai pengetahuan empiris hal ini dikarenakan objeknya adalah sesuatu yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh panca indera manusia. Berlainan  Paradigma terdiri atas asumsi-asumsi teoritis yang umum dan hukum-hukum serta teknik-teknik untuk penerapannya yang diterima oleh para anggota suatu masyarakat ilmiah. dengan agama atau bentuk-bentuk pengetahuan yang lain, ilmu membatasi diri hanya pada kejadian-kejadian yang bersifat empiris, dan karenanya selalu terhadap dunia empiris. Pendapat lain mengatakan ontotologi hukum (ajaran hal ada, zijnsleer), adalah penelitian tentang:Hakikat”:dari hukum, tentang “hakikat”,misalnya dari demokrasi, tentang hubungan antara hukum dan moral.
 Landasan epistemologis membahas secara mendalam segenap proses yang terlibat dalam usaha manusia untuk memperoleh pengetahuan. Dengan kata lain, epistemologi adalah suatu teori pengetahuan. Ilmu merupakan pengetahuan yang diperoleh melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan. Kegiatan dalam mencari pengetahuan tentang apa pun selama hal itu terbatas pada objek empiris dan pengetahuan tersebut diperoleh dengan mempergunakan metode keilmuan, sah disebut keilmuan. Kata-kata sifat keilmuan lebih mencerminkan hakikat ilmu daripada istilah ilmu sebagai kata benda. Hakikat keilmuan ditentukan oleh cara berpikir yang dilakukan menurut syarat keilmuan, yaitu bersifat terbuka dan menjunjung kebenaran di atas segala-galanya. Oleh karena itu, ilmu barangkali boleh salah, tetapi yang tidak boleh (haram) adalah bohong (menutupi/menghilangkan kebenaran) dalam ilmu. Epistemologi hukum (ajaran pengetahuan,kennisleer) menurut Jan Gijssels dan Marks van Hoecke yang diterjemahkan oleh B.Arif Sidharta; adalah penelitian tentang pertanyaan sejauh mana pengetahuan tentang “hakikat” dari hukum atau masalah-masalah filsafat hukum fundamental lainnya mungkin. Jadi ini adalah suatu bentuk dari meta-filsafat.
Dasar aksiologi ilmu membahas tentang manfaat yang diperoleh manusia dari pengetahuan yang didapatkannya. Tidak dapat dipungkiri bahwa ilmu telah memberikan kemudahan-kemudahan bagi manusia dalam mengendalikan kekuatan-kekuatan alam. Aksiologi Hukum (ajaran nilai,waardenleer) menurut Jan Gijssels dan Marks van Hoecke yang diterjemahkan oleh B.Arif Sidharta adalah penentuan isi dan nilai-nilai seperti kelayakan, persamaan, keadilan, kebebasan, kebenaran,penyalahgunaan hak.

III.   Perjalanan Keberadaan Ilmu Hukum untuk mewujudkan ilmu hukum menjadi sebenar ilmu
Sejak abad 19, muncul pandangan yang meragukan posisi keilmiahan dari Ilmu Hukum. J.H. von Kirchmann pada tahun 1848 dalam sebuah pidatonya yang diberi judul Die Wertlosigkeit der Jurisprudenz als Wissenschaft (Ketakberhargaan Ilmu Hukum sebagai Ilmu) menyatakan bahwa Ilmu Hukum itu adalah bukan ilmu. Pada abad 20, juga muncul pandangan yang menolak keilmiahan dari Ilmu Hukum. Hal ini tercermin dari karya A.V. Lundstedt yang berjudul Die Inwissenschaftlichkeit der Rechtswissenshaft (Ketakilmiahan Ilmu Hukum) yang terbit pada tahun 1932. Berdasarkan metodenya, A.V. Lundstedt dengan tegas menolak keilmiahan dari Ilmu Hukum.
Dalam kaitan ini J.H. von Kirchmann berpendapat bahwa obyek studi dari apa yang dinamakan Ilmu Hukum  itu adalah hukum positif yang hidup dan berlaku dalam suatu masyarakat. Begitu Ilmu Hukum selesai memaparkan sistem hukum positif yang berlaku dalam masyarakat, maka hasil pemaparannya itu akan tertinggal oleh dinamika hukum positif itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh karena hakikat dari sistem hukum positif itu yang selalu bergerak dinamis dan berubah-ubah mengikuti dinamika kebutuhan masyarakat. Dengan latar yang demikian  ini, maka Kirchmann sampai pada kesimpulan bahwa objek dari Ilmu Hukum itu - tidak seperti ilmu lainnya yang memiliki sifat universal – bersifat lokal. Objek Ilmu Hukum tidak dapat dipegang oleh Ilmu Hukum karena selalu berubah-ubah dan berbeda-beda dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Jadi, Ilmu Hukum tidak memiliki landasan keilmuan sebagaimana yang dimiliki oleh ilmu lain, demikian inti pandangan yang menolak keilmuan dari Ilmu Hukum.
Atas pandangan yang minor terhadap Ilmu Hukum tersebut, Paul Scholten melalui karyanya berjudul De Structuur der Rechtswetenschap yang terbit pada tahun 1942 mencoba menjernihkan tentang status ilmu hukum sebagai ilmu yang sesungguhnya. Dalam karyanya ini, Scholten secara ringkas, jernih dan dan jelas memaparkan pandangannya tentang hukum, keadilan dan Ilmu Hukum.
Di Indonesia sendiri, perdebatan tentang ontologi dan epistemologi dari Ilmu Hukum mulai marak pada tahun 1970-an. Munculnya pemikiran-pemikiran sosiologis dalam kajian Ilmu Hukum menimbulkan reaksi yang cukup signifikan dari Ilmu Hukum dogmatis. Sebagaimana diketahui, Ilmu Hukum yang dibangun dan dikembangkan di Indonesia, sebagai bekas jajahan Belanda, hingga menjelang tahun 1970 adalah berlandaskan pada pemikiran positivisme hukum. Di dalam pengaruh paradigma positivisme,para pelaku  hukum menempatkan diri dengan cara berpikir dan pemahaman hukum secara legalistik positivis dan berbasis peraturan (rule bound) sehingga tidak mampu menangkap kebenaran, karena memang tidak mau melihat atau mengakui hal itu. Dalam ilmu hokum yang legalitis positivistis, hukum hanya dianggap sebagai institusi pengaturan yang kompleks telah direduksi menjadi sesuatu yang sederhana, linier, mekanistik, dan deterministik, terutama untuk kepentingan profesi. Dalam konteks hukum Indonesia, doktrin dan ajaran hukum demikian yang masih dominan, termasuk kategori “legisme”nya Schuyt. Hal ini dikarenakan “legisme” melihat dunia hukum dari teleskop perundang-undangan belaka untuk kemudian menghakimi peristiwa-peristiwa yang terjadi17. Dalam Negara modern, penerapan positivisme dimaksudkan untuk mencapai kepastian hukum walaupun dalam kenyataannya kelemahan-kelemahan dalam pelaksanaan lebih banyak dihadapi.Salah satu kritikan terhadap positivisme adalah sebagaimana dikatakan oleh Anwarul Yaqin,pertama, bahwa tidak semua hukum lahir dari keinginan pihak yang berdaulat.Kebiasaan-kebiasaan yang diperkenalkan oleh pengadilan,sama sekali tidak merupakan ungkapan keinginan pihak yang berdaulat. Kedua,deskripsi Austin tentang hukum lebih mendekati hukum pidana yang membebankan kewajiban-kewajiban.Ketiga,rasa takut bukan satu-satunya motif sehingga orang menaati hukum,Terdapat banyak motif lain sehingga orang menaati hukum, seperti rasa respek terhadap hukum,simpati terhadap pemeliharaan tertib hukum, atau alasan yang sifatnya manusiawi. Rasa takut hanya motif tambahan. Keempat, definisi hukum dari kaum positivis tidak dapat diterapkan terhadap hukum tata negara, karena hukum tata negara tidak dapat digolongkan dalam perintah dari yang berdaulat. Hukum tata negara dari suatu negara didefinisikan sebagai kekuasaan dari berbagai organ dari suatu negara,termasuk kekuasaan dari kedaulatan politik.   Dari sisi kritik praktis, Achmad Gunaryo menjelaskan bahwa ilmu hukum konvensional (positivistis),juga logika hukum, gagal menjelaskan secara meyakinkan sejumlah peristiwa social kemanusian.19 Munculnya sosiologi dalam Ilmu Hukum dikarenakan ingin melihat hakikat  hukum yang tidak terbatas pada teks normatif yang abstrak. Tetapi lebih jauh dari itu, hukum ingin dilihat dalam segenap kompleksitasnya dalam interaksinya dengan alam realitas empirik sebagai medan tumbuh-kembangnya hokum tersebut. Apakah bunyi aturan hukum benar-benar berfungsi atau tidak berfungsi dalam realitas empirik. Hal tersebut tidak akan diketahui jika hanya melakukan pengamatan terhadap ajaran-ajaran atau rumusan-rumusan yang resmi dan formal. Untuk itu dibutuhkan penggunaan sosiologi dalam Ilmu Hukum. Terdapat beberapa faktor yang mendorong perkembangan minat terhadap sosiologi hukum, yaitu: perubahan-perubahan yang terjadi di dalam hubungan-hubungan sosial (termasuk sudah perubahan fisik dan teknologis)’ ketidaksesuaian antara ideal dan kenyataan; dan sehubungan dengan kedua hal tersebut adalah terjadinya konflik-konflik nilai-nilai,konflik kepentingan dan sebagainya di dalam masyarakat.Memang tidak dapat dipungkiri ada pandangan, baik dari sosiolog maupun sarjana hukum sendiri, bahwa Ilmu Hukum termasuk kelompok Ilmu-ilmu Sosial. Tetapi dalam penerapannya penggunaan metode penelitian ilmu social kurang dapat diandalkan untuk dapat menciptakan suatu analisis hukum, doktrin hukum, atau suatu produk hukum (rancangan undang-undang, misalnya) yang dibutuhkan untuk pembangunan hukum. Bernard Arief Sidharta berusaha membuktikan sifat keilmuan dari Ilmu Hukum dengan pokok-pokok pemikirannya menjelang akhir abad 20. Menurut beliau Ilmu Hukum itu juga seperti halnya ilmu lain, memiliki landasan keilmuan yang dibutuhkan oleh setiap ilmu. Ilmu Hukum membangun konsep dan obyeknya yang dapat dieksplorasi oleh siapa pun. Obyek-telaah Ilmu Hukum adalah tata hukum positif, yakni sistem aturan hukum yang ada pada suatu waktu tertentu dan berlaku dalam suatu wilayah tertentu. Lebih lanjut diuraikan bahwa Ilmu Hukum termasuk ke dalam jajaran Kelompok Ilmu Praktis-Normologis. Ilmu Praktis merupakan medan tempat berbagai ilmu bertemu dan berinteraksi, yang produk akhirnya berupa penyelesaian yang secara ilmiah (rasional) dapat dipertanggungjawabkan. Meski obyek telaahnya adalah tata hukum positif, dalam perkembangannya, Ilmu Hukum harus terbuka dan mampu mengolah produk berbagai ilmu lain tanpa berubah menjadi ilmu lain tersebut dengan kehilangan karakter khasnya sebagai ilmu normatif. Memasuki abad 21, muncul karya yang berbeda dengan pendapat Sidharta tersebut dalam mengkonstatasi keberadaan Ilmu Hukum. Bernard L. Tanya seorang pemikir hukum menyatakan bahwa Ilmu Hukum tidaklah memadai jika hanya berkubang dalam paradigma normatif-dogmatis saja. Sebab, jika hanya berkisar pada aspek normatif saja, maka tidaklah akan dapat menangkap hakikat hukum sebagai upaya manusia untuk menertibkan diri dan masyarakat berikut kemungkinan berfungsi atau tidaknya hukum tersebut dalam masyarakat. Untuk melihat hakikat hukum dengan segala kompleksitasnya tersebut, kemudian Bernard mengatakan bahwa Ilmu Hukum merupakan bagian dari Ilmu Humaniora. Sebagai bagian dari Ilmu Humaniora, maka Ilmu Hukum mempelajari hukum dengan titik tolak dari manusia sebagai subyeknya.  Meletakkan Ilmu Hukum sebagai bagian dari Ilmu Humaniora tersebut jelas sangat berbeda dengan pendapat Sidharta di atas yang menyatakan bahwa Ilmu Hukum berada dalam tataran Ilmu Praktikal-Normologik. Dengan objek telaah (ontologi) yang berbeda tersebut, Ilmu Hukum Dogmatik objek telaahnya adalah semata-mata pada teks-teks otoritatif. Sedangkan Ilmu Hukum Non-dogmatis objek telaahnya adalah hukum dengan sekalian keterkaitannya dengan realitas-empirik. Hal ini berakibat kepada model penelaahan (epistemologi) yang berbeda pula. Metode penelitian dalam Ilmu Hukum Dogmatik menggunakan metode penelitian hukum beserta perangkatperangkat penafsirannya yang ‘murni’ hukum dogmatik. Sedangkan Ilmu Hukum Non-dogmatik (empiris) menggunakan perangkat metode penelitian ‘baru’, yaitu ‘tidak alergi meminjam’ metode yang dikembangkan ilmu lain. Ilmu Hukum Dogmatik hanya melihat ke dalam hukum dan menyibukkan diri dengan membicarakan dan melakukan analisis ke dalam, khususnya hokum sebagai suatu bangunan peraturan yang dinilai sebagai sistematis dan logis. Jadi, kegunaan dari Ilmu Hukum Dogmatis ini tidak lebih hanya menelaah bangunan logis-rasional dari deretan pasal-pasal peratuiran. Oleh karenanya, Ilmu Hukum Dogmatik seperti ini juga lazim disebut dengan analytical jurisprudence, yang dalam praktiknya sangat bertumpu pada dimensi bentuk formal dan prosedural dalam berolah hukum untuk mencapai (aksiologi) kepastian. Yang benar dan adil adalah peraturan hukum itu sendiri. Kebalikan dari itu, Ilmu Hukum Non-dogmatik tidak berhenti kepada menyibukkan diri dengan bangunan logis-rasional dari sebuah peraturan. Tujuan (aksiologi) yang ingin dicapai oleh Ilmu Hukum Non-Dogmatik adalah untuk mencari dan mencapai kebenaran hukum sebagai institusi kemanusian dan kemasyarakatan. Kebenaran hukum yang demikian itu jelas tidak dapat diperoleh jika hanya bertumpu pada peraturan hukum semata-mata. Bukankah hukum dihadirkan untuk manusia?

IV. Mewujudkan Landasan Keilmuan Ilmu Hukum
Dalam kaitan dengan upaya untuk mewujudkan suatu landasan keilmuan ilmu hukum yang holistic (berhubungan dng sistem keseluruhan sebagai suatu kesatuan lebih daripada sekadar kumpulan bagian), maka langkah yang dilakukan tidak hanya menetapkan unsur-unsur teoritis tentang apa dan bagaimana suatu objek, tetapi juga menentukan sebagai apa orang dapat memandang dan menjelaskan suatu fenomena. Dalam kapasitasnya sebagai sistem pemikiran yang mendasari suatu disiplin ilmu, maka landasan keilmuan itu sekaligus menentukan sikap dasar terhadap pengetahuan  dan hubungan pengetahuan tersebut dengan sasaran yang ingin diketahui, yaitu realitas. Upaya untuk mewujudkan keilmuan dari ilmu hukum mau tidak mau perlu melihat pada dua aliran yang sampai dengan saat ini masih mempunyai pandangan yang berbeda namun sebenarnya dapat saling melengkapi. Yaitu pandangan dogmatik dan pandangan non-dogmatik, dapat dipandang sebagai suatu  rahmat dan kekayaan dalam khazanah Ilmu Hukum. Sebagai bagian dari dinamika ilmu, hal ini sah-sah saja. Yang memprihantinkan ialah jika tolak tarik perbedaan tersebut menghasilkan sesuatu yang kontra produktif bagi perkembangan hukum. Dikatakan kontra produktif, karena para komunitas dari kedua kubu tersebut hanya sibuk berdebat dan bersilang sengketa mengenai kebenaran argumentasi dan aliran pemikiran yang dijadikan acuannya. Yang kemudian terjadi adalah mereka berkutat untuk saling mencari-cari kelemahan masing-masing tanpa mau melihat dan berusaha memahami secara jernih tentang kelemahan dan keunggulan yang ada dari kedua pandangan tersebut. Sebagai implikasinya, kegiatan-kegiatan ilmiah, khususnya kegiatan penelitian masih berlangsung dengan cara yang hampir dapat dikatakan tanpa mengacu pada perencanaan atau pun kerangka konseptual dan teoretikalnya yang diterima secara umum oleh komunitas ilmuwan hukum. Itulah sebabnya, tidak heran hingga kini dalam Ilmu Hukum belum memiliki kesepakatanmenyangkut dalil-dalil, konsep-konsep dan instrumentasi sebagai model untuk mengembangkan tradisi riset ilmiah yang terpadu. Menurut Bernard L. Tanya, ini semua disebabkan oleh ketiadaan kesepakatan menyangkut segi ontologis dan epistemologis Ilmu Hukum di kalangan ilmuwan hukum sendiri. Di samping itu, adanya kecurigaan dari kalangan ilmuwan hukum bahwa masuknya sosiologi dalam kajian Ilmu Hukum barangkali dianggap sebagai suatu intervensi orang luar dalam masalah-masalah dalam negeri. Ketiadaan kesepakatan tentang dua landasan keilmuan juga belum mendapat solusi bagaimana menjembataninya. Sampai pada tahap ini tampaknya belum juga ada suatu kesepakatan untuk mengakhiri fenomena kegandaan dari Ilmu Hukum. Ketidaksepakatan tersebut jika dibiarkan terus niscaya kurang baik bagi perkembangan dan pembangunan Ilmu Hukum. Andai ada pernyataan bahwa Ilmu Hukum adalah ilmu yang membingungkan, barangkali hal itu tidak dapat disalahkan. Oleh karenanya harus diupayakan untuk mengakhiri ketidaksepakatan landasan keilmuan dari Ilmu Hukum. H. Ph. Visser ‘t Hooft dalam hal ini mengatakan bahwa Ilmu-ilmu Hukum (Rechtswetenschappen) mencakup semua kegiatan ilmiah yang mempunyai hukum sebagai objek-telaahnya. Kegiatan ilmiah ini sangat banyak jenisnya, yang tidak melulu kegiatan yang mengkaji aspek normatif dari hukum. Untuk mendapatkan kejelasan tentang hukum, niscaya dilakukan dengan cara menempatkan hukum dalam konteks dari keseluruhan dunia-kehidupan (lebenswelt) manusiawi kita. Atas dasar pemikiran yang demikian itu, Soekanto dengan tegas mengatakan bahwa pemisahan secara ketat antara segi normatif dengan segi perilaku dari gejala kemasyarakatan akan menyesatkan, sebab akan terjadi dikotomi antara pendekatan yuridis dengan pendekatan sosiologis terhadap hukum. Hal ini tidak perlu terjadi apabila disadari bahwa kedua segi tersebut merupakan bagian dari kesatuan. Jadi, persoalan pokoknya bukanlah kembali pada segi normatifnya, namun bagaimana menyerasikan kedua segi tersebut sekaligus dengan sekalian pendekatan-pendekatannya. Lebih lanjut Soekanto mengatakan bahwa selama kalangan hukum sudah mempunyai kerangka pemikiran yang mantap, maka ‘bahaya’ dari sosiologi tidaklah perlu dikhawatirkan. Bahkan suatu keuntungan akan diperoleh darinya, yakni metode penelitian yang lazim digunakan dalam penelitian sosiologi akan dapat dimanfaatkan di dalam pengembangan Ilmu Hukum. Dengan demikian, kalangan ilmuwan hukum tidak perlu kembali ke penelitian hukum normatif. Yang perlu adalah suatu kesadaran bahwa penelitian hukum normatif dengan objek telaahnya teks-teks otoritatif dan penelitian hukum empiris atau sosiologis dengan objek telaahnya hukum sebagai gejala kemasyarakatan, adalah saling melengkapi. Keduanya merupakan segi-segi dari satu masalah. Di samping itu diperlukan juga suatu kesadaran bahwa jika hanya ada satu jenis penelitian, maka itu baru dilakukan kegiatan ilmiah yang belum lengkap. Melihat hukum hanya dari sisi normatifnya saja tentu tidak bias menggambarkan fakta empiriknya. Demikian juga melihat hukum dari sisi gejala kemasyarakatan tidak bisa menggambarkan hukum sebagai sistem atau tata norma yang positif, sebab ia hanya berhenti kepada deskripsi gejala-gejala saja.

V.      Hukum Progresif Sebagai Salah Satu Upaya Untuk Mewujudkan Ilmu Hukum Sebagai Sebenar Ilmu
Sebagaimana diuraikan oleh Phippe Nonet dan Philip Selznich, bahwa di Amerika pada tahun 70-an timbul persoalan-persoalan sosial, kejahatan,kemerosotan lingkungan, protes massa, hak-hak sipil, kemiskinan, kerusuhan dikota-kota serta abuse of power pada tahun 1960-an,masyarakat merasakan betapa hukum gagal untuk menangani berbagai problema social tersebut.31 Kondisi hukum di Amerika tersebut memunculkan suatu kritik pada pakar hukum di Amerika melalui “Critical Legal Studies Movement”. Kemudian dengan tulisan dari Philippe Nonet dan Philip Selznich yang bertitik tolah dari teori sosial tentang hukum membedakan 3 (tiga) tipe hukum,yaitu hokum represif; hukum otonom; dan hukum responsif. Sebagaimana evolusi yang terus berkembang dari sisi keimuan, maka pemikiran untuk mengukuhkan keberadaan ilmu hukum untuk menjadi sebenar ilmu juga terus berkembang. Di Indonesia, muncul yang dinamakan hukum Progresif yang muncul pada sekitar tahun 2002. Hukum progresif lahir karena selama ini ajaran ilmu hukum positif (analytical jurisprudence) yang dipraktikkan pada realitas empirik di Indonesia tidak memuaskan. Gagasan Hukum Progresif muncul karena prihatin terhadap kualitas penegakan hukum di Indonesia terutama sejak terjadinya reformasi pada pertengah tahun 1997. Jika fungsi hukum dimaksudkan untuk turut serta memecahkan persoalan kemasyarakatan secara ideal, maka yang dialami dan terjadi Indonesia sekarang ini adalah sangat bertolak belakang dengan cita-cita ideal tersebut. Untuk mencari solusi dari kegagalan penerapan analytical jurisprudence, Hukum Progresif memiliki asumsi dasar hubungan antara hukum dengan manusia. Progresivisme bertolak dari pandangan kemanusiaan, bahwa manusia pada dasarnya adalah baik, memiliki sifat-sifat kasih sayang serta kepedulian terhadap sesama. Dengan demikian, asumsi dasar Hukum Progresif dimulai dari  hakikat dasar hukum adalah untuk manusia. Hukum tidak hadir untuk dirinya –sendiri sebagaimana yang digagas oleh ilmu hukum positif–tetapi untuk manusiadalam rangka mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Posisi yang demikian mengantarkan satu predisposisi bahwa hukum itu selalu berada pada status ‘law in the making’ (hukum yang selalu berproses untuk menjadi).Gagasan yang demikian ini jelas berbeda dari aliran hukum positif yang menggunakan sarana analytical jurisprudence yang bertolak dari premis peraturan dan logika. Bagi Ilmu Hukum Positif (dogmatik), kebenaran terletak dalam tubuh peraturan. Ini yang dikritik oleh Hukum Progresif, sebab melihat hukum yang hanya berupa pasal-pasal jelas tidak bisa menggambarkan kebenaran dari hukum yang sangat kompleks. Ilmu yang tidak bisa menjelaskan kebenaran yang kompleks dari realitas-empirik jelas sangat diragukan posisinya sebagai ilmu hukum yang sebenar ilmu (genuine science). Hukum Progresif secara sadar menempatkan kehadirannya dalam hubungan erat dengan manusia dan masyarakat. Dalam posisi yang demikian  ini, maka Hukum Progresif dapat dikaitkan dengan developmetal model hokum dari Nonet dan Selznick. Hukum Progresif juga berbagi paham dengan Legal Realism dan Freirechtslehre. Meminjam istilah Nonet dan Selznick, Hukum Progresif memiliki tipe responsif.34 Dalam tipe yang demikian itu, hukum selalu dikaitkan pada tujuan-tujuan di luar narasi tekstual hukum itu sendiri. Atau sebagaimana disebutkan oleh Mulyana dan Paul S.Baut bahwa hukum responsive mencoba mengatasi kepicikan (prokialisme) dalam moralitas masyarakat serta mendorong pendekatan yang berorientasi pada masalah yang secara social terintegrasi. Terkait dengan Legal Realism dan Freirechtslehre, Hukum Progresif melihat hukum tidak dari kacamata hukum itu sendiri, melainkan melihatnya dari tujuan sosial yang ingin dicapainya serta akibat-akibat yang timbul dari bekerjanya hukum. Oleh sebab kehadiran hukum dikaitkan dengan tujuan sosialnya, maka Hukum Progresif juga dekat dengan Sociological Jurisprudence36 dari Roscoe Pound, yang menolak studi hukum sebagai studi tentang peraturan-peraturan. Dengan demikian dalam berolah ilmu, Hukum Progresif melampaui peraturan dan dokumen hukum yang positivistik. Hukum Progresif juga dekat dengan teori-teori Hukum Alam, yakni pada kepeduliannya terhadap hal-hal yang oleh Hans Kelsen disebut ‘meta-juridical’. Dengan demikian, Hukum Progresif mendahulukan kepentingan manusia yang lebih besar daripada menafsirkan hukum dari sudut ‘logika dan peraturan’. Meski hampir mirip dengan Critical Legal Studies Movement yang muncul di Amerika Serikat tahun 1977,39 tapi Hukum Progresif tidak hanya berhenti pada kritik atas sistem hukum liberal. Hukum Progresif mengetengahkan paham bahwa hokum itu tidak mutlak digerakkan oleh hukum positif atau hukum perundang-undangan, tetapi ia juga digerakkan pada aras non-formal. Oleh sebab Hukum Progresif bersumsi dasar bahwa hukum itu ada dan hadir untuk manusia maka sangat tepat jika dikatakan bahwa ‘law as a great  Aliran sosiologis dalam ilmu hukum berasal dari pemikiran orang Amerika bernama Roscoe Pound, dalam bahasa asalnya disebut the Sociological Jurisprudence adalah suatu aliran pemikiran dalam jurisprudence yang berkembang di Amerika Seikat sejak tahun 1930-an. Aliran dalam ilmu hukum tersebut disebut sociological karena dikembangkan dari pemikiran dasar seorang hakim bernama Oliver Wendel Holmes, perintis pemikiran realisme dalam ilmu hukum yang mengatakan” bahwa sekalipun hukum itu memang benar merupakan sesuatu yang dihasilkan lewat proses-proses yang dapat dipertanggungjawabkan menurut imperative-imperatif logika, namun the life of law has not been logic, it is experience. Yang dimaksud dengan experience oleh Holmes adalah the sosial atau mungkin the socio psychological experience. Oleh karena itu dalam sociological jurisprudence, walaupun fokus kajian tetap pada persoalan kaidah positive berikut doktrin-doktrinnya yang logis untuk mengembangkan sistem normative hukum berikut prosedur-prosedur aplikasinya guna kepentingan praktik professional, namun faktor-faktor sosiologis secara realistis (walaupun tidak selalu harus secara normative-positif) senantiasa ikut diperhatikan dalam setiap kajian. anthropological document.  Dengan pengertian tersebut, maka Hukum Progresif menempatkan hukum sebagai suatu “institusi manusia”, yang saling melengkapi satu dengan lain dengan aspek manusia, baik dalam hubungan antar manusia maupun masyarakat yang lebih luas. Bagi Hukum Progresif, hukum adalah realitas yang ada dan hadir dalam kehidupan manusia. Hukum, sebagaimana halnya dengan alam dan kehidupan, bahkan sebelumnya lagi yakni Allah SWT, merupakan realitas yang telah ada lebih dulu daripada ilmu. Realitas itu merupakan basis ilmu. Kebenaran adalah jalan yang melalui itu ilmu digali dan disajikan kepada publik. Kebenaran merupakan moral dari ilmu. Tidak ada jalan lain yang dapat digunakan oleh ilmu dalam menghadapi hukum kecuali berdasarkan kebenaran. Agar ilmu hukum dapat tampil sebagai sebenar ilmu, maka pemahaman, penggarapan, dan penyelenggaraan hukum dilakukan dengan secara holistik. Untuk mencapai tujuan seperti itu, maka hukum harus diterima sebagai realitas yang utuh, tanpa ada reduksi. Untuk itu cara pandang, pemikiran ataupun pendekatan yang bersifat linier-mekanistik-rasional, perlu direkonstruksi secara menyeluruh, bukan saja pada tataran normatif, melainkan juga pada tataran paradigmatis. Paradigma baru yang dibutuhkan adalah paradigma holistik.Pendekatan holistik dalam ilmu hukum ini merupakan pendekatan baru yang berbeda bahkan berseberangan dengan pendekatan konvensional yang positivistik. Pendekatan ini penting untuk digunakan sebab saat ini dalam tataran teoritis maupun praktis telah terjadi krisis hukum yang begitu kompleks dan multidimensional dalam skala lokal, nasional maupun global. Krisis hokum tersebut apabila dicermati identik dengan pemikiran Newtonian, hukum positif atau sering disebut sebagai hukum modern43 adalah karya manusia yang purposeful, sistematis, logis-rasional, sehingga segala hal yang serba metafisis dan teologis dipandang sebagai “abberational data”, dan oleh karenanya mesti ditolak. “Positivisme”, berolah ilmu dengan cara-cara atomisasi, yaitu memecah-mecah  memilah-milah, dan menggolong-golongkan obyek yang dipelajarinya secara rasional. Hasil berolah ilmu positivisme yang demikian itu menghasilkan  ilmu hukum sebagai building blocks – ibarat bangunan yang tersusun atas batubatu, di mana masing-masing batu itu merupakan entitas yang terpisah dan mandiri. Dengan mendasarkan diri pada tertib berfikir Cartesian (Cogito ergo sum), maka terlihat bahwa “berpikir” adalah kategori tersendiri, sementara obyek yang dipelajari pun merupakan kategori tersendiri pula, yang masing-masing terlepas. Di sana, ada pemisahan antara mind dan matter. Pikiran, memiliki otoritas penuh, dan pikiranlah yang menentukan identitas dari obyek yang dipelajari itu. Dalam posisi mind determined the matter itulah, berbagai manipulasi terhadap obyek dapat dan sering terjadi. Manipulasi itu antara lain berujud pembuangan data yang dianggap tidak dapat dimasukkan dalam tubuh teorinya, akan dipandang sebagai ”aberrational data”, dan oleh karena itu harus dibuang. Hal demikian dilakukan demi menjaga, menyelamatkan dan mempertahankan teorinya. Lebih lanjut ketika tertib berpikir Newtonian yang mekanistik juga dimasukkan dalam berolah ilmu, maka keutuhan realitas menjadi semakin tereduksi. Realitas yang dapat diterima dan dipandang rasional serta dijadikan obyek kajian, hanyalah realitas yang diperoleh melalui cara-cara kerja yang atomistik-linier-mekanistik. Dalam suasana rationality above else dan tertib berpikir yang atomistiklinier- mekanistik itu, perkembangan ilmu hukum seakan-akan telah menemukan  bentuknya, yaitu hukum yang diperlukan bagi manusia modern. Apa yang ingin dicapai dengan “hukum” bukanlah “keadilan dan kebahagiaan”, melainkan “cukup” membuat, menjalankan dan menerapkan hukum secara rasional. Artinya, hukum sudah diyakini sebagai cermin kebenaran apabila orang sudah dinilai dari sudut kegunaannya sebagai sarana untuk menggarap masyarakat, tidak dari kualitas formalnya; hukum itu bias diubah-ubah dan bukan merupakan sesuatu yang keramat-kaku; eksistensi hukum dikaitkan pada (kedaulatan) Negara. berpegangan pada rasionalitas itu. Hukum tidak untuk tujuan yang lebih besar daripada sekedar rasionalitas. Akibatnya, hukum menjadi kering. Perkembangan ilmu dan teori-teori hukum mutakhir, seperti teori relativitas, teori kuantum maupun chaos theory of law, tidak dapat menerima tertib berpikir yang atomistik-linier-mekanistis tersebut. Bagi ilmuwan-ilmuwan pengikut teori-teori mutakhir tersebut, hukum bukanlah statis, melainkan dinamis. Hukum tidak dapat direduksi ke dalam partikel-partikel yang terlepas dan mandiri. Hukum yang utuh adalah kesatuan jaringan dari entitas-entitas, yang terhubungkan dalam suatu proses interaksi, interkoneksi dan indeterminasi. Dalam kesatuan jaringan dan proses yang demikian itu, akan terlihat bahwa  hukum penuh dengan ketidakpastian (uncertainty), dan ada yang bersifat metafisis dan teologis. Untuk berbicara ilmu hukum sebagai genuine science, realitas keteraturan maupun ketidakteraturan itu harus diterima secara utuh, tidak boleh ada reduksi sebagaimana dilakukan positivisme. Cara yang lebih tepat untuk berolah ilmu terhadap realitas yang  kompleks adalah dengan teori hukum yang bertolak dari realitas hukum yang  tidak teratur atau kacau (chaos), dan sekaligus menempatkan keteraturan dan ketidakteraturan hukum tersebut sebagai satu kesatuan utuh. Di sinilah kehadiran paradigma holistik menjadi keniscayaan. Dalam perspektif paradigma holistik, tujuan saintifik (termasuk ilmu hukum) adalah pengungkapan kesatuan yang mendasari semua alam ciptaanNya. Di sini, beragam disiplin ilmu dipahami, digarap dan diselenggarakan secara holistik, untuk memberikan gambaran alam dan kehidupan yang utuh. Ilmu hukum dapat dikategorikan sebagai sebenar ilmu, apabila segenap aktivitas keilmuannya dapat mendekatkan orientasi manusia kepada Tuhan, berporos  pada Tuhan dan dimaksudkan untuk menuju kepada keridhaan Allah swt, baik  secara teoritis maupun praktis. Tidaklah berlebihan, kalau rumusan-rumusan paradigma holistik dipandang sebagai escape into total order. Paradigma holistic merupakan upaya untuk mengetahui alam dengan norma-norma sains-sakral, yaitu sains yang terbingkai dalam pandangan dunia yang teistik. Paradigma  holistik merupakan upaya untuk menuju dan memperoleh kebenaran absolute yang memberikan pencerahan rohani, berakar pada kalbu dan akal, berpegang pada pandangan kesatuan alam, dan perhatiannya luas pada perikemanusiaan. Paradigma inilah yang dapat menjadikan ilmu hukum sebagai ilmu yang bermanfaat. Hanya dengan bantuan ilmu hukum yang demikian itulah manusia dapat hidup serasi dengan dirinya, dengan alam, dan dengan Tuhan. Bagaimana pun ilmu hukum tidak dapat mengisolasi diri terhadap ilmu lain,karena pada dasarnya semua ilmu merupakan satu kesatuan, yang terjalin dalam hubungan saling mempengaruhi. Ilmu hukum tidak dapat menutup diri dari hal-hal yang metafisis dan teologis. Oleh sebab itu akan lebih tepat kalau ilmu hukum  ipahami sebagai ilmu tentang tatanan (order). Order di sini dalam pengertiannya yang utuh merupakan substansi yang paling luas dan kompleks, daripada segala yang biasa tampil sebagai obyek ilmu hukum konvensional. Order, adalah suatu keadaan yang ada begitu saja dan tidak normatif. Order, adalah “hukum” yang lebih utuh. Mengkonsepkan hukum sebagai order membawa konsekuensi bahwa teori yang dapat memberi penjelasan dengan baik terhadap realitas hukum yang kompleks adalah chaos theory of law. Ketertiban dan kekacauan bukanlah dua hal yang berseberangan, bukan sesuatu yang dikotomi, hitam atau putih, melainkan sebagai realitas yang saling berhubungan, saling mengisi, dan berkelindan dalam suatu proses perubahan secara terus-menerus, tanpa henti. Chaos, bukanlah sesuatu yang harus ditakuti, melainkan dapat diubah menjdai sebuah peluang masa depan. Syaratnya adalah kesediaan untuk melihat hukum sebagai “tumbuhan merambat” (rhizome) yang bersifat chaotic, dengan menerapkan prinsip-prinsip hubungan (connection), musyawarahdialogis, adaptasi (adaptability), dan keutuhan (wholenessity). Dengan prinsipprinsip tersebut, hukum dipahami sebagai realitas yang tak henti-hentinya menghubungkan dirinya dengan realitas lain dalam pola chaotic. Nilai-nilai keadilan hukum yang relatif dan plural dikomunikasikan terhadap pihak lain melalui musyawarah-dialogis. Penilaian etis terjalin dengan penalaran, dan dalam bernalar/berpikir mencakup pula mawas diri dengan jujur, sampai pada andaian-andaian dasarnya (Begruendungs-verfahren). Lebih lanjut, hasil-hasil musyawarah-dialog dirangkum (integrated) ke dalam kerangka kefilsafatan yang lebih luas, demi “Bildung” individual. Dengan demikian, tatkala dua sistem hokum atau lebih bertemu, maka terjadi hubungan timbal balik yang saling mengisi, dan bukan tolak-menolak. Segala bentuk pemahaman, penggarapan dan penyelenggaraan hukum dilakukan secara simultan konsisten dan terpadu.

VI.   PENUTUP
Esensi yang paling signifikan dari Hukum Progresif adalah membiarkan entitas empirik yang bernama hukum itu seperti apa adanya. Hukum Progresif tidak berusaha untuk mereduksi hukum hanya sekedar peraturan-peraturan, tetapi suatu yang lebih besar dari itu yakni hukum diletakkan dalam kaitannya dengan kemanusiaan. Hukum Progresif mengingatkan jika ada usaha mereduksi keutuhan dari realitas-empirik, sejak awal sudah dapat diduga ia akan mengalami kegagalan dalam pengujiannya seperti yang pernah dialami oleh teori Newton. Bercermin dari kegagalan dari suatu ilmu yang mereduksi kebenaran data sekaligus dengan meluaskan pandangannya terhadap perkembangan ilmu di luar ilmu hukum positif, maka dalam berolah ilmu, Hukum Progresif menggunakan pendekatan holistik dalam rangka menjadikan ilmu hukum yang berkualitas sebagai ilmu sebenarnya (genuine science) sehingga dapat disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain. Sudah cukup banyak contoh kegagalan penerapan hukum di Indonesia apabila hanya berdasarkan pada peraturan tertulis sebagai pedoman untuk melaksanakan hukum sebagaimana dianut oleh hukum modern. Pendekatan holistik sebagaimana ditawarkan oleh hokum  progresif bukan berarti mengecilkan arti peraturan tertulis sebagai salah satu bentuk kepastian hukum, namun harus ada upaya saling melengkapi dari masing-masing kelemahan dan kelebihan baik dari pandangan dogmatik maupun non dogmatik, tanpa melihat ada kecurigaan akan adanya intervensi satu dengan lainnya. Dengan situasi keterpurukan hukum dan permasalahan yang semakin kompleks yang dialami Indonesia ditambah dengan pengaruh globalisasi, maka ada baiknya para ahli hukum di Indonesia bersatu padu memikirkan secara bersama mencari solusi demi perbaikan kondisi hukum di Indonesia dengan tidak melihat latar belakang aliran yang dianut. Semoga.

Comments

Popular posts from this blog

HADITS-HADITS AHKAM TENTANG JUAL BELI (SALE AND PURCHASE)

SHUNDUQ HIFZI IDA’ (SAFE DEPOSIT BOX) BANK SYARI’AH

STUDI TENTANG PEMIKIRAN IMAM AL-SYAUKANI DALAM KITAB IRSYAD AL-FUHUL