ILMU HUKUM MENJADI SEBENAR ILMU
HUKUM
PROGRESIF: UPAYA UNTUK MEWUJUDKAN ILMU HUKUM
MENJADI
SEBENAR ILMU
Oleh:
Nur Moklis
I.
Pendahuluan
Sebagai suatu disiplin ilmu, sejarah hukum tergolong sebagai pengetahuan yang masih muda,jika dibanding dengan
disiplin-disiplin ilmu lainnya
yang terlebih dahulu lahir. Bahkan dibanding dengan
disiplin ilmu lain, Ilmu
Hukum masih menjadi perdebatan dan perkembangan untuk mengukuhkan diri menjadi ilmu yang sebenar ilmu. Salah satu masalah yang masih
dihadapi oleh ilmu hukum terkait dengan hakikat pengetahuan apa yang dikaji
(ontologis), bagaimana cara untuk mengeksplorasi suatu pengetahuan
yang benar (epistemologis), dan untuk apa pengetahuan dipergunakan
(aksiologis). Pada dasarnya
semua pengetahuan apakah ilmu, seni, atau pengetahuan apa saja mempunyai ketiga landasan tersebut. Yang berbeda adalah materi perwujudannya serta sejauh mana landasan-landasan dari tiga
landasan tersebut dikembangkan dan dilaksanakan.
Tidak dapat dihindari bahwa dalam
perjalanannya ilmu hukum mengalami pasang surut keberadaan tergantung pada
konteks dan waktu dimana ilmu hukum tersebut berkembang. Agar ilmu hukum dapat
berkualitas sebagai ilmu, maka tidak dapat dihindari bagi ilmu hukum masuk
dalam siklus terbentuknya ilmu yang telah ada. Untuk menjadikan ilmu hukum sebagai sebenar ilmu, pertama-tama yang perlu dikaji
apa dan bagaimana serta manfaat dari ilmu.
Sebagaimana dikatakan oleh
Satjipto Rahardjo, bahwa Ilmu adalah untuk kenyataan, bukan sebaliknya. Apabila
kenyataan adalah untuk ilmu, maka kenyataan itu akan dimanipulasi sehingga
cocok dengan ilmu dan teori yang ada. Sebagai contoh teori Newton yang melihat segalanya sebagai
keteraturan, yang berhubungan secara mekanistik. Dengan kata lain teori Newton
bersifat linear, matematis, dan deterministik. Teori Newton mengabaikan
kenyataan dalam alam yang menyimpang dari teorinya. Ia menganggap
bahwa fenomena yang ada di alam ini tidak dapat dimasukkan dalam tubuh
grand-theori-nya dianggap
sebagai penyimpangan yang harus diabaikan. Ketika teori Newton gagal menjelaskan fenomena tersebut, akhirnya digantikan oleh
teori lain yaitu teori
kuantum yang mampu menjelaskan fenomena tersebut.
Ditinjau dari sisi filsafat, maka ilmu dan pengetahuan merupakan
sesuatu yang berbeda pemahamannya. Imu adalah suatu cara untuk mengetahui,
dalam artian bahwa ilmu bukanlah satu-satunya cara bagi manusia untuk
mengetahui. Di samping ilmu terdapat cara lain untuk mengetahui,
yang secara umum disebut dengan
pengetahuan. Menurut Liek Wilardjo ilmu itu merupakan bagian dari pengetahuan. Sebagai bagian dari pengetahuan, ilmu tidaklah
sekedar akumulasi informasi. Lebih dari itu, ilmu juga membentuk cara
berpikir. Selain itu Koento Wibisono Siswomihardjo menyatakan bahwa hakikat ilmu adalah
sebab fundamental dan kebenaran universal yang implisit melekat di dalam
dirinya. Dengan pengertian tersebut, maka ilmu itu niscaya berorientasi dan
selalu berusaha untuk mengungkapkan kebenaran (searching for the truth)
yang universal dan hakiki. Sejalan dengan pemikiran perkembangan
kehidupan manusia, Liek Wilardjo menyatakan bahwa kebenaran yang
ingin dicapai oleh ilmu
itu tidak mutlak dan tidak langgeng, namun bersifat nisbi, sementara, dan hanya merupakan pendekatan saja. Apa yang selama ini dipedomani
sebagai kebenaran akan selalu merupakan hasil jerih payah bertahun-tahun mengembangkan dan menyempurnakan kebenaran lama. Demikian pula
sesuai dengan siklus kehidupan manusia, maka apa yang sekarang ini
menjadi pedoman untuk mencari kebenaran, pada waktu yang datang muncul
kebenaran.
Dengan menggunakan model revolusi ilmu dari Kuhn, dapat diketengahkan
bahwa paradigma akan membentuk cara berpikir dari suatu komunitas keilmuan. Yang lebih jati lagi, manusia merupakan makhluk yang selalu ingin tahu. Tidak pernah puas terhadap segala sesuatu yang telah ada. Sebagai
konsekuensinya ilmu terus menerus berkembang sejalan dengan pemikiran
manusia pada waktu dan
tempat yang dijalaninya. Dalam perkembangan dunia yang semakin modern ilmu juga mengalami perubahan-perubahan. Dalam kaitan ini
praktik-praktik komunitas
ilmuwan dalam kegiatannya bukan saja dipengaruhi oleh Weltanschauung dan perspektif religius serta politik sang ilmuwan, melainkan juga telah dibayangi ilmu itu sendiri dalam hakekatnya sebagai
kekuasaan.
Dengan perkembangan yang demikian, maka akan sangat sulit untuk mengatakan bahwa ilmu itu netral. Sejak semula ilmu memang tidak
netral, melainkan sarat nilai. Bukan saja nilai-nilai konstitutif yang
mempengaruhi ilmuwan dan karenanya juga proses serta produk kegiatan
keilmuannya, melainkan juga nilai-nilai kontekstual. Dengan
nilai-nilai kontekstual tersebut, ilmuwan sangat rentan terhadap pengaruh kepentingan-kepentingan
pihak lain. Dengan demikian, sistem nilai yang dianut suatu
komunitas ilmuwan akan mempengaruhi
kesepakatan mengenai anggapan apa yang merupakan ilmu itu.
Ilmu Hukum yang berkembang hingga saat ini pada dasarnya tercipta setelah melalui perdebatan-perdebatan intelektual yang panjang dan
melelahkan untuk menemukan “kebenaran hukum” itu.
Namun perlu dipahami bahwa
meskipun suatu paradigma dalam suatu Ilmu Hukum dianggap telah usang dan tidak
mampu untuk menjawab dan memberi solusi atas problem baru yang muncul
belakangan, yang kemudian memunculkan paradigma baru Ilmu Hukum, namun
paradigma lama tidak dengan sendirinya tergusur. Paradigma lama tersebut masih bertahan secara teguh dalam suatu komunitas ilmuwan yang bersangkutan, tanpa mau
menoleh kepada paradigma yang muncul belakangan.
Dalam kaitan ini terdapat dua kubu yang ‘berhadap-hadapan’ yang
belum saling sepakat tersebut, yakni antara kubu
normatif/dogmatis/doktrinal dengan kubu empirik/non-dogmatis/non-doktrinal. Seringkali, argumentasi
yang dibangun antara dua kubu tersebut berseberangan satu dengan lainnya
tanpa melihat kelebihan dan kekurangan dari masing-masing. Para
ilmuwan hukum dari kedua kubu
tersebut sibuk dalam perdebatan-perdebatan yang tidak pernah selesai, karena perbedaan aliran-aliran pemikiran yang diacu, yang tak satu
pun memperoleh penerimaan umum oleh para ilmuwan hukum untuk dijadikan fundasi pengembangan Ilmu Hukum. Oleh karena itu, persoalan yang
harus segera dipecahkan adalah bagaimana membangun suatu ilmu hukum agar berkualitas sebagai sebenar ilmu.
Kebutuhan untuk menempatkan Ilmu
Hukum sebagai sebenar ilmu akan sangat menentukan terciptanya di samping suatu
landasan intelektual bagi komunitas keilmuwan, juga memaparkan masalah-masalah
yang perlu dibahas, dan langkah-langkah
yang perlu ditempuh oleh para pakar ilmu untuk memecahkan berbagai persoalan
yang dihadapi oleh Ilmu Hukum.
II. Ilmu dan Pengetahuan
Untuk membedakan dengan entitas lainnya, maka ilmu sebagai bagian dari pengetahuan niscaya memiliki ciri-ciri khas. Ciri khas atau
karakteristik pengetahuan keilmuan ini mencerminkan landasan yang
akan digunakan untuk menjelaskan
apakah pengetahuan itu dapat dikatagorikan sebagai ilmu ataukah
hanya berhenti pada pengetahuan saja. Jujun S.
Suriasumantri menyatakan bahwa
ilmu itu memilki tiga landasan, yaitu: (1) ontologi, (2) epistemologi, dan (3) aksiologi/teleologi.
Landasan ontologis membahas tentang apa yang ingin diketahui, atau dengan kata lain ontologi merupakan suatu
pengkajian mengenai teori
tentang ada. Dasar ontologi dari ilmu berhubungan dengan materi yang menjadi objek penelaahan ilmu. Berdasarkan objek yang ditelaahnya,
ilmu dapat disebut sebagai pengetahuan empiris hal ini dikarenakan
objeknya adalah sesuatu
yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh panca indera
manusia. Berlainan Paradigma terdiri atas asumsi-asumsi teoritis
yang umum dan hukum-hukum serta teknik-teknik untuk penerapannya yang diterima oleh para anggota suatu masyarakat ilmiah. dengan
agama atau bentuk-bentuk pengetahuan yang lain, ilmu membatasi diri hanya pada kejadian-kejadian yang bersifat empiris, dan karenanya
selalu terhadap dunia empiris. Pendapat lain mengatakan ontotologi
hukum (ajaran hal ada,
zijnsleer), adalah penelitian tentang:Hakikat”:dari hukum, tentang “hakikat”,misalnya dari demokrasi, tentang hubungan antara hukum
dan moral.
Landasan epistemologis membahas secara mendalam segenap proses
yang terlibat dalam usaha manusia untuk memperoleh pengetahuan. Dengan
kata lain, epistemologi adalah suatu teori pengetahuan. Ilmu merupakan
pengetahuan yang diperoleh melalui proses tertentu yang dinamakan
metode keilmuan. Kegiatan
dalam mencari pengetahuan tentang apa pun selama hal itu terbatas pada objek empiris dan pengetahuan tersebut diperoleh dengan mempergunakan metode keilmuan, sah disebut keilmuan. Kata-kata
sifat keilmuan lebih mencerminkan hakikat ilmu daripada istilah ilmu
sebagai kata benda. Hakikat keilmuan ditentukan oleh cara berpikir
yang dilakukan menurut syarat
keilmuan, yaitu bersifat terbuka dan menjunjung kebenaran di atas segala-galanya. Oleh
karena itu, ilmu barangkali boleh salah, tetapi yang tidak boleh (haram) adalah bohong (menutupi/menghilangkan kebenaran) dalam
ilmu. Epistemologi hukum (ajaran pengetahuan,kennisleer) menurut
Jan Gijssels dan Marks
van Hoecke yang diterjemahkan oleh B.Arif Sidharta; adalah penelitian tentang pertanyaan sejauh mana pengetahuan tentang “hakikat” dari
hukum atau masalah-masalah filsafat hukum fundamental lainnya
mungkin. Jadi ini adalah suatu
bentuk dari meta-filsafat.
Dasar aksiologi ilmu membahas tentang manfaat yang diperoleh
manusia dari pengetahuan yang didapatkannya. Tidak dapat dipungkiri
bahwa ilmu telah memberikan
kemudahan-kemudahan bagi manusia dalam mengendalikan kekuatan-kekuatan alam. Aksiologi Hukum (ajaran nilai,waardenleer)
menurut Jan Gijssels dan Marks van Hoecke yang diterjemahkan oleh B.Arif
Sidharta adalah penentuan isi dan nilai-nilai seperti kelayakan, persamaan,
keadilan, kebebasan, kebenaran,penyalahgunaan hak.
III. Perjalanan Keberadaan Ilmu Hukum untuk mewujudkan ilmu
hukum menjadi sebenar ilmu
Sejak abad 19, muncul pandangan yang meragukan posisi keilmiahan
dari Ilmu Hukum. J.H. von Kirchmann pada tahun 1848 dalam sebuah
pidatonya yang diberi judul Die Wertlosigkeit der Jurisprudenz als Wissenschaft (Ketakberhargaan Ilmu Hukum sebagai Ilmu) menyatakan
bahwa Ilmu Hukum itu adalah
bukan ilmu. Pada abad 20, juga muncul pandangan yang menolak keilmiahan dari Ilmu Hukum. Hal ini tercermin dari karya A.V.
Lundstedt yang berjudul Die Inwissenschaftlichkeit der
Rechtswissenshaft (Ketakilmiahan Ilmu Hukum) yang terbit pada tahun 1932. Berdasarkan metodenya, A.V.
Lundstedt dengan tegas menolak keilmiahan dari Ilmu Hukum.
Dalam kaitan ini J.H. von
Kirchmann berpendapat bahwa obyek studi dari apa yang dinamakan Ilmu Hukum itu adalah hukum positif yang hidup dan berlaku
dalam suatu masyarakat. Begitu
Ilmu Hukum selesai memaparkan sistem
hukum positif yang berlaku dalam masyarakat, maka hasil pemaparannya itu akan tertinggal oleh dinamika hukum positif itu sendiri. Hal
ini disebabkan oleh karena
hakikat dari sistem hukum positif itu yang selalu bergerak dinamis dan berubah-ubah mengikuti dinamika kebutuhan masyarakat. Dengan latar
yang demikian ini, maka Kirchmann sampai pada kesimpulan
bahwa objek dari Ilmu Hukum
itu - tidak seperti ilmu lainnya yang memiliki sifat universal – bersifat lokal. Objek Ilmu Hukum tidak dapat dipegang oleh Ilmu Hukum
karena selalu berubah-ubah dan berbeda-beda dari waktu ke waktu dan
dari tempat ke tempat. Jadi, Ilmu Hukum tidak memiliki landasan
keilmuan sebagaimana yang dimiliki
oleh ilmu lain, demikian inti pandangan yang menolak keilmuan dari Ilmu Hukum.
Atas pandangan yang minor terhadap Ilmu Hukum tersebut, Paul
Scholten melalui karyanya berjudul De Structuur der Rechtswetenschap yang
terbit pada tahun 1942 mencoba menjernihkan tentang status ilmu
hukum sebagai ilmu yang sesungguhnya.
Dalam karyanya ini, Scholten secara ringkas, jernih dan dan jelas memaparkan pandangannya tentang hukum, keadilan dan Ilmu Hukum.
Di Indonesia sendiri, perdebatan tentang ontologi dan epistemologi
dari Ilmu Hukum mulai marak pada tahun 1970-an. Munculnya
pemikiran-pemikiran sosiologis
dalam kajian Ilmu Hukum menimbulkan reaksi yang cukup signifikan dari Ilmu Hukum dogmatis. Sebagaimana diketahui, Ilmu Hukum yang
dibangun dan dikembangkan di Indonesia, sebagai bekas jajahan Belanda,
hingga menjelang tahun 1970 adalah berlandaskan pada pemikiran
positivisme hukum. Di
dalam pengaruh paradigma positivisme,para pelaku hukum menempatkan diri dengan cara berpikir dan pemahaman hukum secara legalistik
positivis dan berbasis peraturan (rule bound) sehingga tidak
mampu menangkap kebenaran, karena
memang tidak mau melihat atau mengakui hal itu. Dalam ilmu hokum yang legalitis positivistis, hukum hanya dianggap sebagai
institusi pengaturan yang
kompleks telah direduksi menjadi sesuatu yang sederhana, linier, mekanistik, dan deterministik, terutama untuk kepentingan profesi.
Dalam konteks hukum Indonesia, doktrin dan ajaran hukum demikian yang
masih dominan, termasuk kategori “legisme”nya Schuyt. Hal ini
dikarenakan “legisme” melihat
dunia hukum dari teleskop perundang-undangan belaka untuk kemudian menghakimi peristiwa-peristiwa yang terjadi17. Dalam Negara
modern, penerapan positivisme dimaksudkan untuk mencapai kepastian hukum
walaupun dalam kenyataannya kelemahan-kelemahan dalam pelaksanaan lebih
banyak dihadapi.Salah satu kritikan terhadap positivisme adalah
sebagaimana dikatakan oleh
Anwarul Yaqin,pertama, bahwa tidak semua hukum lahir dari keinginan pihak yang berdaulat.Kebiasaan-kebiasaan yang diperkenalkan oleh pengadilan,sama sekali tidak merupakan ungkapan keinginan pihak
yang berdaulat. Kedua,deskripsi Austin tentang hukum lebih mendekati
hukum pidana yang membebankan kewajiban-kewajiban.Ketiga,rasa takut
bukan satu-satunya motif
sehingga orang menaati hukum,Terdapat banyak motif lain sehingga orang menaati hukum, seperti rasa respek terhadap hukum,simpati terhadap pemeliharaan tertib hukum, atau alasan yang sifatnya manusiawi.
Rasa takut hanya motif tambahan. Keempat, definisi hukum dari kaum
positivis tidak dapat diterapkan
terhadap hukum tata negara, karena hukum tata negara tidak dapat digolongkan dalam perintah dari yang berdaulat. Hukum tata negara
dari suatu negara didefinisikan sebagai kekuasaan dari berbagai
organ dari suatu negara,termasuk kekuasaan dari kedaulatan politik.
Dari sisi kritik praktis, Achmad Gunaryo
menjelaskan bahwa ilmu hukum konvensional (positivistis),juga logika hukum,
gagal menjelaskan secara meyakinkan sejumlah peristiwa social kemanusian.19 Munculnya
sosiologi dalam Ilmu Hukum dikarenakan ingin melihat hakikat hukum yang tidak terbatas pada teks normatif
yang abstrak. Tetapi lebih jauh dari itu, hukum ingin dilihat dalam segenap
kompleksitasnya dalam interaksinya dengan alam realitas empirik sebagai medan
tumbuh-kembangnya hokum tersebut. Apakah bunyi aturan hukum benar-benar berfungsi atau tidak
berfungsi dalam realitas empirik. Hal tersebut tidak akan
diketahui jika hanya melakukan pengamatan
terhadap ajaran-ajaran atau rumusan-rumusan yang resmi dan formal. Untuk itu dibutuhkan penggunaan sosiologi dalam Ilmu
Hukum. Terdapat beberapa
faktor yang mendorong perkembangan minat terhadap sosiologi hukum, yaitu: perubahan-perubahan yang terjadi di dalam hubungan-hubungan sosial (termasuk sudah perubahan fisik dan teknologis)’
ketidaksesuaian antara ideal
dan kenyataan; dan sehubungan dengan kedua hal tersebut adalah terjadinya konflik-konflik nilai-nilai,konflik kepentingan dan
sebagainya di dalam masyarakat.Memang
tidak dapat dipungkiri ada pandangan, baik dari sosiolog maupun sarjana hukum
sendiri, bahwa Ilmu Hukum termasuk kelompok Ilmu-ilmu Sosial. Tetapi dalam penerapannya penggunaan metode penelitian
ilmu social kurang dapat diandalkan untuk dapat menciptakan suatu
analisis hukum, doktrin hukum,
atau suatu produk hukum (rancangan undang-undang, misalnya) yang dibutuhkan untuk pembangunan hukum. Bernard Arief Sidharta
berusaha membuktikan sifat keilmuan dari Ilmu Hukum dengan pokok-pokok
pemikirannya menjelang akhir abad 20. Menurut beliau Ilmu Hukum itu
juga seperti halnya ilmu
lain, memiliki landasan keilmuan yang dibutuhkan oleh setiap ilmu. Ilmu Hukum membangun konsep dan obyeknya yang dapat dieksplorasi oleh
siapa pun. Obyek-telaah Ilmu Hukum adalah tata hukum positif, yakni
sistem aturan hukum yang ada pada suatu waktu tertentu dan berlaku
dalam suatu wilayah tertentu. Lebih lanjut diuraikan bahwa Ilmu Hukum termasuk ke dalam jajaran Kelompok Ilmu Praktis-Normologis. Ilmu Praktis merupakan medan tempat berbagai ilmu bertemu dan berinteraksi, yang produk akhirnya
berupa penyelesaian yang secara ilmiah (rasional) dapat
dipertanggungjawabkan. Meski obyek telaahnya adalah tata hukum
positif, dalam perkembangannya, Ilmu Hukum harus terbuka dan mampu mengolah
produk berbagai ilmu lain tanpa berubah menjadi ilmu lain tersebut dengan
kehilangan karakter khasnya sebagai ilmu normatif. Memasuki abad 21, muncul
karya yang berbeda dengan pendapat Sidharta tersebut dalam mengkonstatasi keberadaan Ilmu Hukum. Bernard
L. Tanya seorang pemikir hukum menyatakan bahwa Ilmu Hukum tidaklah memadai jika hanya berkubang dalam paradigma normatif-dogmatis
saja. Sebab, jika hanya berkisar pada aspek normatif saja, maka
tidaklah akan dapat menangkap
hakikat hukum sebagai upaya manusia untuk menertibkan diri dan masyarakat berikut kemungkinan berfungsi atau tidaknya hukum
tersebut dalam masyarakat. Untuk melihat hakikat hukum dengan segala kompleksitasnya
tersebut, kemudian Bernard mengatakan bahwa Ilmu Hukum merupakan
bagian dari Ilmu Humaniora.
Sebagai bagian dari Ilmu Humaniora, maka Ilmu Hukum mempelajari hukum dengan titik tolak dari manusia sebagai subyeknya. Meletakkan Ilmu Hukum sebagai bagian dari Ilmu Humaniora tersebut jelas sangat
berbeda dengan pendapat Sidharta di atas yang menyatakan bahwa Ilmu Hukum
berada dalam tataran Ilmu Praktikal-Normologik. Dengan objek telaah (ontologi) yang berbeda tersebut, Ilmu Hukum Dogmatik objek telaahnya adalah semata-mata pada teks-teks
otoritatif. Sedangkan Ilmu Hukum Non-dogmatis objek telaahnya
adalah hukum dengan sekalian
keterkaitannya dengan realitas-empirik. Hal ini berakibat kepada model penelaahan (epistemologi) yang berbeda pula. Metode penelitian
dalam Ilmu Hukum Dogmatik menggunakan metode penelitian hukum
beserta perangkatperangkat penafsirannya
yang ‘murni’ hukum dogmatik. Sedangkan Ilmu Hukum Non-dogmatik (empiris) menggunakan perangkat metode penelitian
‘baru’, yaitu ‘tidak alergi meminjam’ metode yang dikembangkan ilmu
lain. Ilmu Hukum Dogmatik hanya melihat ke dalam hukum dan menyibukkan diri dengan membicarakan dan melakukan analisis ke dalam,
khususnya hokum sebagai
suatu bangunan peraturan yang dinilai sebagai sistematis dan logis. Jadi, kegunaan dari Ilmu Hukum Dogmatis ini tidak lebih hanya
menelaah bangunan logis-rasional dari deretan pasal-pasal peratuiran. Oleh
karenanya, Ilmu Hukum Dogmatik seperti ini juga lazim disebut
dengan analytical jurisprudence, yang dalam praktiknya sangat bertumpu pada dimensi
bentuk formal dan prosedural dalam berolah hukum untuk mencapai
(aksiologi) kepastian. Yang benar dan adil adalah peraturan hukum
itu sendiri. Kebalikan dari itu, Ilmu Hukum Non-dogmatik tidak
berhenti kepada menyibukkan
diri dengan bangunan logis-rasional dari sebuah peraturan. Tujuan (aksiologi) yang ingin dicapai oleh Ilmu Hukum Non-Dogmatik adalah
untuk mencari dan mencapai kebenaran hukum sebagai institusi kemanusian
dan kemasyarakatan. Kebenaran hukum yang demikian itu jelas tidak
dapat diperoleh jika
hanya bertumpu pada peraturan hukum semata-mata. Bukankah hukum dihadirkan
untuk manusia?
IV.
Mewujudkan Landasan Keilmuan Ilmu Hukum
Dalam kaitan dengan upaya untuk mewujudkan suatu landasan keilmuan ilmu hukum yang holistic (berhubungan dng sistem keseluruhan sebagai
suatu kesatuan lebih daripada sekadar kumpulan bagian), maka langkah yang dilakukan tidak hanya menetapkan unsur-unsur teoritis tentang apa dan bagaimana suatu objek, tetapi
juga menentukan sebagai apa orang dapat memandang dan
menjelaskan suatu fenomena.
Dalam kapasitasnya sebagai sistem pemikiran yang mendasari suatu disiplin ilmu, maka landasan keilmuan itu sekaligus menentukan
sikap dasar terhadap pengetahuan dan hubungan pengetahuan tersebut dengan sasaran yang ingin diketahui, yaitu realitas. Upaya untuk
mewujudkan keilmuan dari ilmu hukum mau tidak mau perlu melihat pada dua aliran
yang sampai dengan saat ini masih mempunyai pandangan yang berbeda namun
sebenarnya dapat saling melengkapi. Yaitu pandangan
dogmatik dan pandangan non-dogmatik, dapat dipandang sebagai suatu rahmat dan kekayaan dalam khazanah Ilmu Hukum. Sebagai
bagian dari dinamika ilmu, hal ini sah-sah saja. Yang
memprihantinkan ialah jika tolak tarik perbedaan tersebut menghasilkan sesuatu yang kontra produktif bagi perkembangan hukum. Dikatakan kontra produktif, karena para
komunitas dari kedua kubu tersebut hanya sibuk berdebat dan bersilang
sengketa mengenai kebenaran
argumentasi dan aliran pemikiran yang dijadikan acuannya. Yang kemudian terjadi adalah mereka berkutat untuk saling mencari-cari
kelemahan masing-masing tanpa mau melihat dan berusaha memahami
secara jernih tentang kelemahan dan keunggulan yang ada dari kedua
pandangan tersebut. Sebagai implikasinya, kegiatan-kegiatan
ilmiah, khususnya kegiatan penelitian masih berlangsung dengan cara yang hampir
dapat dikatakan tanpa mengacu pada perencanaan atau pun kerangka konseptual dan
teoretikalnya yang diterima secara umum oleh komunitas ilmuwan hukum. Itulah
sebabnya, tidak heran hingga kini dalam Ilmu Hukum belum memiliki
kesepakatanmenyangkut dalil-dalil, konsep-konsep dan instrumentasi sebagai
model untuk mengembangkan tradisi riset ilmiah yang terpadu. Menurut Bernard L. Tanya, ini semua disebabkan oleh ketiadaan kesepakatan menyangkut segi
ontologis dan epistemologis Ilmu Hukum di kalangan ilmuwan hukum
sendiri. Di samping itu, adanya
kecurigaan dari kalangan ilmuwan hukum bahwa masuknya sosiologi dalam kajian Ilmu Hukum barangkali dianggap sebagai suatu intervensi
orang luar dalam masalah-masalah dalam negeri. Ketiadaan kesepakatan tentang dua landasan keilmuan juga belum mendapat solusi bagaimana menjembataninya. Sampai pada tahap ini tampaknya belum juga ada suatu kesepakatan untuk mengakhiri
fenomena kegandaan dari Ilmu Hukum. Ketidaksepakatan tersebut jika
dibiarkan terus niscaya
kurang baik bagi perkembangan dan pembangunan Ilmu Hukum. Andai ada pernyataan bahwa Ilmu Hukum adalah ilmu yang membingungkan, barangkali hal itu tidak dapat disalahkan. Oleh karenanya harus
diupayakan untuk mengakhiri ketidaksepakatan landasan keilmuan
dari Ilmu Hukum. H. Ph. Visser ‘t Hooft dalam hal ini
mengatakan bahwa Ilmu-ilmu Hukum (Rechtswetenschappen) mencakup semua
kegiatan ilmiah yang mempunyai hukum sebagai objek-telaahnya. Kegiatan ilmiah ini sangat banyak jenisnya, yang tidak melulu kegiatan yang mengkaji aspek normatif dari
hukum. Untuk mendapatkan kejelasan tentang hukum, niscaya dilakukan
dengan cara menempatkan hukum dalam konteks dari keseluruhan
dunia-kehidupan (lebenswelt)
manusiawi kita. Atas dasar pemikiran yang demikian itu,
Soekanto dengan tegas mengatakan bahwa pemisahan secara ketat antara segi
normatif dengan segi perilaku dari gejala kemasyarakatan akan menyesatkan,
sebab akan terjadi dikotomi antara pendekatan yuridis dengan pendekatan
sosiologis terhadap hukum. Hal ini tidak perlu terjadi apabila disadari bahwa kedua segi
tersebut merupakan bagian dari kesatuan. Jadi, persoalan pokoknya bukanlah
kembali pada segi normatifnya, namun bagaimana menyerasikan kedua segi tersebut sekaligus dengan sekalian pendekatan-pendekatannya. Lebih lanjut
Soekanto mengatakan bahwa selama kalangan hukum sudah mempunyai kerangka
pemikiran yang mantap, maka ‘bahaya’ dari sosiologi tidaklah perlu
dikhawatirkan. Bahkan
suatu keuntungan akan diperoleh darinya, yakni metode penelitian yang lazim digunakan dalam penelitian
sosiologi akan dapat dimanfaatkan di dalam pengembangan Ilmu Hukum.
Dengan demikian, kalangan
ilmuwan hukum tidak perlu kembali ke penelitian hukum normatif. Yang perlu adalah suatu kesadaran bahwa penelitian hukum normatif
dengan objek telaahnya teks-teks otoritatif dan penelitian hukum
empiris atau sosiologis dengan
objek telaahnya hukum sebagai gejala kemasyarakatan, adalah saling melengkapi. Keduanya merupakan segi-segi dari satu masalah. Di samping itu diperlukan juga suatu kesadaran bahwa jika hanya
ada satu jenis penelitian, maka itu baru dilakukan kegiatan ilmiah
yang belum lengkap. Melihat hukum hanya dari sisi normatifnya saja
tentu tidak bias menggambarkan
fakta empiriknya. Demikian juga melihat hukum dari sisi gejala kemasyarakatan tidak bisa menggambarkan hukum sebagai sistem atau
tata norma yang positif, sebab ia hanya berhenti kepada deskripsi
gejala-gejala saja.
V.
Hukum Progresif Sebagai Salah Satu Upaya Untuk Mewujudkan Ilmu Hukum Sebagai Sebenar Ilmu
Sebagaimana diuraikan oleh Phippe Nonet dan Philip Selznich, bahwa
di Amerika
pada tahun 70-an timbul persoalan-persoalan sosial, kejahatan,kemerosotan
lingkungan, protes massa, hak-hak sipil, kemiskinan, kerusuhan
dikota-kota serta abuse of power pada tahun 1960-an,masyarakat merasakan
betapa hukum gagal untuk menangani berbagai problema social tersebut.31
Kondisi hukum di Amerika tersebut memunculkan suatu kritik pada pakar
hukum di Amerika melalui “Critical Legal Studies Movement”. Kemudian dengan
tulisan dari Philippe Nonet dan Philip Selznich yang bertitik tolah dari teori
sosial tentang hukum membedakan 3 (tiga) tipe hukum,yaitu hokum represif;
hukum otonom; dan hukum responsif. Sebagaimana evolusi yang terus berkembang
dari sisi keimuan, maka pemikiran untuk mengukuhkan keberadaan ilmu
hukum untuk menjadi sebenar ilmu juga terus berkembang. Di
Indonesia, muncul yang dinamakan hukum Progresif yang muncul pada
sekitar tahun 2002. Hukum progresif lahir karena selama ini ajaran ilmu hukum
positif (analytical jurisprudence) yang dipraktikkan pada realitas
empirik di Indonesia tidak memuaskan. Gagasan Hukum Progresif muncul karena
prihatin terhadap
kualitas penegakan hukum di Indonesia terutama sejak terjadinya reformasi
pada pertengah tahun 1997. Jika fungsi hukum dimaksudkan untuk turut
serta memecahkan persoalan kemasyarakatan secara ideal, maka yang dialami
dan terjadi Indonesia sekarang ini adalah sangat bertolak belakang dengan
cita-cita ideal tersebut. Untuk mencari solusi dari kegagalan penerapan analytical
jurisprudence, Hukum Progresif memiliki asumsi dasar hubungan antara hukum dengan manusia.
Progresivisme bertolak dari pandangan kemanusiaan, bahwa manusia pada
dasarnya adalah baik, memiliki sifat-sifat kasih sayang serta kepedulian terhadap
sesama. Dengan demikian, asumsi dasar Hukum Progresif dimulai dari hakikat dasar hukum adalah untuk manusia.
Hukum tidak hadir untuk dirinya –sendiri sebagaimana yang digagas oleh ilmu
hukum positif–tetapi untuk manusiadalam rangka mencapai kesejahteraan dan
kebahagiaan manusia. Posisi yang demikian
mengantarkan satu predisposisi bahwa hukum itu selalu berada pada status
‘law in the making’ (hukum yang selalu berproses untuk menjadi).Gagasan
yang demikian ini jelas berbeda dari aliran hukum positif yang menggunakan
sarana analytical jurisprudence yang bertolak dari premis peraturan
dan logika. Bagi Ilmu Hukum Positif (dogmatik), kebenaran terletak dalam
tubuh peraturan. Ini yang dikritik oleh Hukum Progresif, sebab melihat hukum
yang hanya berupa pasal-pasal jelas tidak bisa menggambarkan kebenaran
dari hukum yang sangat kompleks. Ilmu yang tidak bisa menjelaskan kebenaran
yang kompleks dari realitas-empirik jelas sangat diragukan posisinya sebagai
ilmu hukum yang sebenar ilmu (genuine science). Hukum
Progresif secara sadar menempatkan kehadirannya dalam hubungan
erat dengan manusia dan masyarakat. Dalam posisi yang demikian ini, maka Hukum Progresif dapat dikaitkan dengan developmetal
model hokum dari Nonet dan Selznick. Hukum Progresif juga berbagi paham dengan Legal Realism
dan Freirechtslehre. Meminjam istilah Nonet dan Selznick,
Hukum Progresif
memiliki tipe responsif.34 Dalam tipe yang demikian itu, hukum selalu dikaitkan
pada tujuan-tujuan di luar narasi tekstual hukum itu sendiri. Atau sebagaimana
disebutkan oleh Mulyana dan Paul S.Baut bahwa hukum responsive mencoba
mengatasi kepicikan (prokialisme) dalam moralitas masyarakat serta mendorong
pendekatan yang berorientasi pada masalah yang secara social terintegrasi. Terkait dengan Legal Realism
dan Freirechtslehre, Hukum Progresif melihat hukum tidak dari
kacamata hukum itu sendiri, melainkan melihatnya dari tujuan sosial yang ingin
dicapainya serta akibat-akibat yang timbul dari bekerjanya hukum. Oleh sebab kehadiran hukum dikaitkan dengan tujuan sosialnya,
maka Hukum Progresif juga dekat dengan Sociological Jurisprudence36
dari Roscoe Pound, yang menolak studi hukum sebagai studi tentang
peraturan-peraturan. Dengan demikian dalam berolah ilmu, Hukum Progresif
melampaui peraturan dan dokumen hukum yang positivistik. Hukum
Progresif juga dekat dengan teori-teori Hukum Alam, yakni pada kepeduliannya
terhadap hal-hal yang oleh Hans Kelsen disebut ‘meta-juridical’. Dengan
demikian, Hukum Progresif mendahulukan kepentingan manusia yang lebih
besar daripada menafsirkan hukum dari sudut ‘logika dan peraturan’. Meski hampir
mirip dengan Critical Legal Studies Movement yang muncul di Amerika Serikat
tahun 1977,39 tapi Hukum Progresif tidak hanya berhenti pada kritik atas sistem
hukum liberal. Hukum Progresif mengetengahkan paham bahwa hokum itu
tidak mutlak digerakkan oleh hukum positif atau hukum perundang-undangan, tetapi
ia juga digerakkan pada aras non-formal. Oleh sebab
Hukum Progresif bersumsi dasar bahwa hukum itu ada dan hadir
untuk manusia maka sangat tepat jika dikatakan bahwa ‘law as a great Aliran sosiologis dalam ilmu hukum berasal
dari pemikiran orang Amerika bernama Roscoe Pound, dalam bahasa asalnya
disebut the Sociological Jurisprudence adalah suatu aliran pemikiran dalam
jurisprudence yang berkembang di Amerika Seikat
sejak tahun 1930-an. Aliran dalam ilmu hukum tersebut disebut sociological
karena dikembangkan dari pemikiran dasar seorang hakim bernama Oliver Wendel Holmes,
perintis pemikiran realisme dalam ilmu hukum yang mengatakan”
bahwa sekalipun hukum itu memang benar merupakan sesuatu yang dihasilkan lewat
proses-proses yang dapat dipertanggungjawabkan menurut imperative-imperatif logika,
namun the life of law has not been logic, it is experience. Yang dimaksud dengan experience oleh Holmes adalah the sosial
atau mungkin the socio psychological experience. Oleh karena itu dalam sociological jurisprudence, walaupun
fokus kajian tetap pada persoalan kaidah positive berikut
doktrin-doktrinnya yang logis untuk mengembangkan sistem normative hukum
berikut prosedur-prosedur aplikasinya guna kepentingan praktik professional, namun
faktor-faktor sosiologis secara realistis (walaupun tidak selalu harus
secara normative-positif) senantiasa ikut diperhatikan dalam setiap
kajian. anthropological
document. Dengan pengertian
tersebut, maka Hukum Progresif menempatkan hukum sebagai suatu “institusi manusia”, yang saling
melengkapi satu dengan lain dengan aspek manusia, baik dalam hubungan antar
manusia maupun
masyarakat yang lebih luas. Bagi Hukum Progresif, hukum adalah realitas yang ada dan hadir
dalam kehidupan
manusia. Hukum, sebagaimana halnya dengan alam dan kehidupan, bahkan
sebelumnya lagi yakni Allah SWT, merupakan realitas yang telah ada lebih
dulu daripada ilmu. Realitas itu merupakan basis ilmu. Kebenaran adalah jalan
yang melalui itu ilmu digali dan disajikan kepada publik. Kebenaran merupakan
moral dari ilmu. Tidak ada jalan lain yang dapat digunakan oleh ilmu dalam
menghadapi hukum kecuali berdasarkan kebenaran. Agar ilmu hukum
dapat tampil sebagai sebenar ilmu, maka pemahaman, penggarapan,
dan penyelenggaraan hukum dilakukan dengan secara holistik. Untuk
mencapai tujuan seperti itu, maka hukum harus diterima sebagai realitas yang
utuh, tanpa ada reduksi. Untuk itu cara pandang, pemikiran ataupun pendekatan
yang bersifat linier-mekanistik-rasional, perlu direkonstruksi secara menyeluruh,
bukan saja pada tataran normatif, melainkan juga pada tataran paradigmatis.
Paradigma baru yang dibutuhkan adalah paradigma holistik.Pendekatan holistik
dalam ilmu hukum ini merupakan pendekatan baru yang berbeda
bahkan berseberangan dengan pendekatan konvensional yang positivistik.
Pendekatan ini penting untuk digunakan sebab saat ini dalam tataran teoritis
maupun praktis telah terjadi krisis hukum yang begitu kompleks dan multidimensional
dalam skala lokal, nasional maupun global. Krisis hokum tersebut
apabila dicermati identik dengan pemikiran Newtonian, hukum positif atau
sering disebut sebagai hukum modern43 adalah karya manusia yang purposeful, sistematis, logis-rasional, sehingga segala hal yang serba
metafisis dan teologis dipandang sebagai “abberational data”, dan oleh
karenanya mesti ditolak. “Positivisme”, berolah ilmu dengan cara-cara atomisasi, yaitu
memecah-mecah memilah-milah,
dan menggolong-golongkan obyek yang dipelajarinya secara
rasional. Hasil berolah ilmu positivisme yang demikian itu menghasilkan ilmu hukum sebagai building blocks – ibarat bangunan yang
tersusun atas batubatu, di mana masing-masing batu itu merupakan entitas yang terpisah dan mandiri.
Dengan mendasarkan diri pada tertib berfikir Cartesian (Cogito ergo sum), maka terlihat bahwa “berpikir” adalah kategori tersendiri,
sementara obyek yang dipelajari pun merupakan kategori tersendiri pula, yang
masing-masing terlepas. Di sana, ada pemisahan antara mind dan matter.
Pikiran, memiliki otoritas penuh, dan pikiranlah yang menentukan identitas dari obyek
yang dipelajari
itu. Dalam posisi mind determined the matter itulah, berbagai manipulasi
terhadap obyek dapat dan sering terjadi. Manipulasi itu antara lain berujud
pembuangan data yang dianggap tidak dapat dimasukkan dalam tubuh teorinya,
akan dipandang sebagai ”aberrational data”, dan oleh karena itu harus dibuang.
Hal demikian dilakukan demi menjaga, menyelamatkan dan mempertahankan
teorinya. Lebih lanjut ketika tertib berpikir Newtonian yang mekanistik
juga dimasukkan dalam berolah ilmu, maka keutuhan realitas menjadi semakin
tereduksi. Realitas yang dapat diterima dan dipandang rasional serta dijadikan
obyek kajian, hanyalah realitas yang diperoleh melalui cara-cara kerja yang
atomistik-linier-mekanistik. Dalam suasana rationality above else dan tertib berpikir
yang atomistiklinier- mekanistik itu, perkembangan ilmu hukum seakan-akan telah menemukan bentuknya, yaitu hukum yang diperlukan bagi manusia modern. Apa
yang ingin dicapai dengan “hukum” bukanlah “keadilan dan kebahagiaan”,
melainkan “cukup” membuat, menjalankan dan menerapkan hukum secara rasional. Artinya, hukum sudah diyakini
sebagai cermin kebenaran apabila orang sudah dinilai dari sudut kegunaannya
sebagai sarana untuk menggarap masyarakat, tidak dari kualitas formalnya; hukum
itu bias diubah-ubah dan bukan merupakan sesuatu yang keramat-kaku; eksistensi
hukum dikaitkan pada (kedaulatan) Negara. berpegangan pada rasionalitas itu. Hukum tidak untuk tujuan yang lebih besar daripada
sekedar rasionalitas. Akibatnya, hukum menjadi kering. Perkembangan
ilmu dan teori-teori hukum mutakhir, seperti teori relativitas,
teori kuantum maupun chaos theory of law, tidak dapat menerima tertib
berpikir yang atomistik-linier-mekanistis tersebut. Bagi ilmuwan-ilmuwan pengikut
teori-teori mutakhir tersebut, hukum bukanlah statis, melainkan dinamis. Hukum
tidak dapat direduksi ke dalam partikel-partikel yang terlepas dan mandiri.
Hukum yang utuh adalah kesatuan jaringan dari entitas-entitas, yang terhubungkan
dalam suatu proses interaksi, interkoneksi dan indeterminasi. Dalam
kesatuan jaringan dan proses yang demikian itu, akan terlihat bahwa hukum penuh dengan ketidakpastian (uncertainty), dan ada
yang bersifat metafisis dan teologis. Untuk berbicara ilmu hukum sebagai genuine
science, realitas keteraturan maupun
ketidakteraturan itu harus diterima secara utuh, tidak boleh
ada reduksi sebagaimana dilakukan positivisme. Cara yang lebih tepat untuk berolah ilmu
terhadap realitas yang kompleks adalah
dengan teori hukum yang bertolak dari realitas hukum yang tidak teratur atau kacau (chaos), dan
sekaligus menempatkan keteraturan dan ketidakteraturan hukum tersebut sebagai
satu kesatuan utuh. Di sinilah kehadiran paradigma holistik menjadi
keniscayaan. Dalam perspektif paradigma holistik, tujuan saintifik (termasuk
ilmu hukum) adalah pengungkapan kesatuan yang mendasari semua alam ciptaanNya. Di sini, beragam disiplin ilmu dipahami, digarap dan
diselenggarakan secara holistik, untuk memberikan gambaran alam dan kehidupan yang
utuh. Ilmu hukum dapat dikategorikan
sebagai sebenar ilmu, apabila segenap aktivitas keilmuannya dapat mendekatkan
orientasi manusia kepada Tuhan, berporos
pada Tuhan dan dimaksudkan untuk menuju kepada keridhaan Allah swt, baik secara teoritis maupun praktis. Tidaklah berlebihan, kalau rumusan-rumusan paradigma
holistik dipandang sebagai escape into total order. Paradigma holistic merupakan
upaya untuk mengetahui alam dengan norma-norma sains-sakral, yaitu
sains yang terbingkai dalam pandangan dunia yang teistik. Paradigma holistik merupakan upaya untuk menuju dan memperoleh kebenaran absolute yang
memberikan pencerahan rohani, berakar pada kalbu dan akal, berpegang pada
pandangan kesatuan alam, dan perhatiannya luas pada perikemanusiaan. Paradigma
inilah yang dapat menjadikan ilmu hukum sebagai ilmu yang bermanfaat.
Hanya dengan bantuan ilmu hukum yang demikian itulah manusia dapat
hidup serasi dengan dirinya, dengan alam, dan dengan Tuhan. Bagaimana pun ilmu hukum tidak
dapat mengisolasi diri terhadap ilmu lain,karena pada dasarnya semua ilmu
merupakan satu kesatuan, yang terjalin dalam hubungan saling mempengaruhi. Ilmu hukum tidak dapat menutup
diri dari hal-hal yang metafisis dan teologis. Oleh sebab itu
akan lebih tepat kalau ilmu hukum
ipahami sebagai ilmu tentang tatanan (order). Order di sini
dalam pengertiannya yang utuh merupakan substansi yang paling luas dan
kompleks, daripada segala yang biasa tampil sebagai obyek ilmu
hukum konvensional. Order,
adalah suatu keadaan yang ada begitu saja dan tidak
normatif. Order, adalah
“hukum” yang lebih utuh. Mengkonsepkan
hukum sebagai order membawa konsekuensi bahwa teori yang dapat memberi penjelasan dengan baik terhadap realitas
hukum yang kompleks adalah chaos theory of law. Ketertiban
dan kekacauan bukanlah dua hal
yang berseberangan, bukan sesuatu yang dikotomi, hitam atau putih, melainkan sebagai realitas yang saling berhubungan, saling
mengisi, dan berkelindan dalam suatu proses perubahan secara
terus-menerus, tanpa henti. Chaos, bukanlah sesuatu yang harus ditakuti, melainkan dapat
diubah menjdai sebuah peluang masa depan. Syaratnya adalah kesediaan
untuk melihat hukum sebagai “tumbuhan merambat” (rhizome) yang
bersifat chaotic, dengan
menerapkan prinsip-prinsip hubungan (connection), musyawarahdialogis, adaptasi (adaptability), dan keutuhan (wholenessity).
Dengan prinsipprinsip tersebut,
hukum dipahami sebagai realitas yang tak henti-hentinya menghubungkan dirinya dengan realitas lain dalam pola chaotic.
Nilai-nilai keadilan hukum yang relatif dan plural dikomunikasikan
terhadap pihak lain melalui
musyawarah-dialogis. Penilaian etis terjalin dengan penalaran, dan dalam bernalar/berpikir mencakup pula mawas diri dengan jujur,
sampai pada andaian-andaian dasarnya (Begruendungs-verfahren). Lebih
lanjut, hasil-hasil musyawarah-dialog
dirangkum (integrated) ke dalam kerangka kefilsafatan yang lebih luas, demi “Bildung” individual. Dengan demikian,
tatkala dua sistem hokum atau
lebih bertemu, maka terjadi hubungan timbal balik yang saling mengisi, dan bukan tolak-menolak. Segala bentuk pemahaman, penggarapan dan penyelenggaraan hukum dilakukan secara simultan konsisten dan
terpadu.
VI. PENUTUP
Esensi yang paling signifikan dari Hukum Progresif adalah
membiarkan entitas empirik yang bernama hukum itu seperti apa
adanya. Hukum Progresif tidak
berusaha untuk mereduksi hukum hanya sekedar peraturan-peraturan, tetapi suatu yang lebih besar dari itu yakni hukum diletakkan
dalam kaitannya dengan
kemanusiaan. Hukum Progresif mengingatkan jika ada usaha mereduksi keutuhan dari realitas-empirik, sejak awal sudah dapat diduga ia
akan mengalami kegagalan dalam pengujiannya seperti yang pernah dialami
oleh teori Newton. Bercermin dari kegagalan dari suatu ilmu
yang mereduksi kebenaran data sekaligus dengan meluaskan pandangannya terhadap
perkembangan ilmu di luar ilmu hukum positif, maka dalam berolah ilmu, Hukum
Progresif menggunakan pendekatan holistik dalam rangka menjadikan ilmu hukum
yang berkualitas sebagai ilmu sebenarnya (genuine science) sehingga
dapat disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain. Sudah cukup banyak contoh kegagalan penerapan hukum di Indonesia apabila hanya berdasarkan pada
peraturan tertulis sebagai pedoman untuk melaksanakan hukum
sebagaimana dianut oleh hukum
modern. Pendekatan holistik sebagaimana ditawarkan oleh hokum
progresif bukan berarti mengecilkan arti peraturan
tertulis sebagai salah satu bentuk
kepastian hukum, namun harus ada upaya saling melengkapi dari masing-masing kelemahan dan kelebihan baik dari pandangan dogmatik
maupun non dogmatik, tanpa melihat ada kecurigaan akan adanya intervensi
satu dengan lainnya. Dengan situasi keterpurukan hukum dan
permasalahan yang semakin kompleks
yang dialami Indonesia ditambah dengan pengaruh globalisasi, maka ada baiknya para ahli hukum di Indonesia bersatu padu memikirkan
secara bersama mencari solusi demi perbaikan kondisi hukum di Indonesia
dengan tidak melihat latar belakang aliran yang dianut. Semoga.
Comments
Post a Comment